BAB III PEMIKIRAN MURTADHA MUTHAHHARI TENTANG HIJAB
A. Biografi Murtadha Muthahhari Ayatullah Murtadha Muthahhari adalah salah seorang arsitek utama kesederhanaan baru Islam di Iran, lahir pada 2 Februari 1919 di Fariman, sebuah dusun - kota sebuah kota praja – yang terletak 60 km dari Marsyhad, pusat belajar dan ziarah kaum syiria yang besar di Iran Timur. Ayahnya adalah Muhammad Husein Muthahhari, seorang ulama cukup terkemuka yang belajar di Najaf dan menghabiskan beberapa tahun di Mesir dan Hijaz sebelum kembali ke Fariman.1 Ia dibesarkan dalam asuhan ayahnya yang bijak hingga usia dua belas tahun. Pada usia itu Muthahhari mulai belajar agama secara formal di lembaga pengajaran di Marsyhad, yang pada waktu itu sedang mengalami kemunduran, sebagian karena alasan-alasan intern, dan sebagian karena alasan eksteren, yaitu tekanan-tekanan Rezalkhan, Otokrat pertama Pahlevi, terhadap semua lembaga ke Islaman. Tetapi di Marsyhad Muthahhari menemukan kecintaan besarnya kepada filsafat, teologi dan tasawuf (Irfan).2 Figur di marsyhad yang mendapat perhatian terbesar Muthahhari adalah Mirza Mahdi Syahidi Razail, seorang guru filsafat, beliau wafat pada 1936, ketika itu ia belum cukup umur untuk mengikuti kuliah-kuliahnya. Pada tahun 1937, ia berangkat ke Hauzah ‘ilmiyah Qum, pusat pengkajian agama terbesar di Iran.3 Berkat pengelolaan cakap syakh Abdul Karim Ha’iri, Qum menjadi pusat spiritual dan intelektual Iran, dari tempat ini Muthahhari memperoleh banyak manfaat dari pengajaran sejumlah ulama. Ia belajar fiqh dan ushul-mata pelajaran-mata pelajaran pokok kurikulum tradisional dari Ayatullah Sayyid Muhammad Damad, Sayyid Muhammad Riza Gulpayani dan Haji sayyid Sadr ad-
1
Haidar Baqir (penyunting), Mutadha Muthahhari sang Mujahid sang Mujahid, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1998), hlm. 25 2 Ibid, hlm. 26 3 Ensiklopedi Islam,3., (Jakarta: PT. Lehtiar Baru Van Hoeve), hlm.314
38
Din Sadr. Tetapi yang lebih penting diantara mereka adalah Ayatullah Burujerdi, pengganti Ha’iri sebagai direktur (Za’im) lembaga pengajaran di Qum.4 Selain itu Muthahhari mengenal imam Khomeini (pemimpin Revolusi Iran yang kemudian menjadi guru sekaligus sebagai sahabat dekatnya). Ketika Muthahhari tiba di Qum, sang imam adalah seorang pengajar (Mudarris) muda yang menonjol karena kedalaman dan keluasan wawasan ke Islaman dan kemampuan menyampaikannya kepada orang lain.5 Sekitar tahun 1946, imam Khomeini mulai memberikan kuliah kepada sekelompok kecil siswa, yang mencakup Muthahhari dan teman sekelasnya di madrasah Faiziyah, diantaranya Ayatullah muntazeri, mengenal dua teks utama filsafat, Asfar al-Arba’ah nya Mulla sadar dan Syarh- I Manzuma-nya Mulla Hadi Sabzavari. Keikutsertaan Muthahhari dalam kelompok ini sampai sekitar tahun 1951, membuatnya dapat membina hubungan-hubungan lebih dekat dengan imam Khomeini.6 Pada dua dasa warsa pertama setelah perang, imam Khomeini mendidik banyak siswa di Qum yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin Revolusi Islam dan Republik Islam, sehingga melalui mereka (ataupun secara langsung), warna kepribadiannya tampak dalam semua perkembangan penting dasa warsa silam. Diantara semua muridnya, Muthahhari adalah yang paling dekat hubungan dengannya. Mengenai hal ini imam sendiri bersaksi. Kedua murid guru itu sama-sama amat menekuni semua segi ilmu pengetahuan tanpa terjebak di dalamnya, suatu wawancara luas Islam sebagai sistem – menyeluruh kehidupan dan keimanan, dengan penekanan pada segi-segi filosofis dan mistikal, suatu kesetiaan penuh pada pranata keagamaan, yang di warnai oleh suatu kesadaran akan perlunya pembaruan, suatu keinginan akan perubahan social dan politik yang menyeluruh, disertai oleh kesadaran (Sense) akan strategi dan waktu, dan suatu kemampuan untuk menggapai
4
Haidar Baqir, (penyunting), Op Cit .hlm. 28 Ibid, hlm. 29 6 Ibid, hlm. 30 5
39
keluar lingkungan kaum religius tradisional dan memperoleh perhatian serta kesetiaan dari kaum berpendidikan sekuler.7 Pada tahun 1952, Muthahhari meninggalkan Qum menuju Teheran, disana ia menikah dengan putri Ayatullah Ruhani dan mulai mengajar filsafat di Madrasayi Marvi, sebuah lembaga utama pengetahuan keagamaan di ibu kota. Dua tahun setelah itu tahun 1954, ia diminta mengajar filsafat di fakultas teologi dan ilmu ke Islaman Universitas Teheran. Ia mengajar di sana selama dua puluh dua tahun.8 Selain membina reputasinya sebagai pengajar, Muthahhari ikut ambil bagian dalam aktivitas-aktivitas banyak organisasi (anjumanha) ke Islaman professional yang berada di bawah pengawasan Mahdi Bazargan dan Ayatullah Tale Qani. Organisasi-organisasi ini menyelenggarakan kuliah-kuliah kepada anggota-anggota mereka-dokter, insinyur, guru - dan membantu mengkoordinasikan pekerjaan mereka. Pada tahun 1960, memegang kepemimpinan sekelompok ulama Teheran, yang dikenal dengan masyarakat keagamaan(Anjumani-yi Dini)para anggota kelompok ini, mencakup almarhum Ayatullah Bahesyti, teman kuliah Muthahhari di Qum, mengorganisasikan kuliah-kuliah umum bulanan yang di rancang secara serempak untuk memaparkan relevansi Islam dengan masalah-masalah kontenporer, dan untuk menstimulasikan pemikiran reformasi dikalangan ulama, kuliah-kuliah tersebut di cetak dengan judul Guftar-imah (kuliah bulanan ) dan terbukti sangat popular. Tetapi pemerintah melarang penyebarannya.9 Konfrontasi serius pertamanya terhadap razim syah terjadi selama kebangkitan Khardad 6 Juni 1963, ketika ia menunjukkan diri secara politik maupun intelektual sebagai pengikut Imam Khomeini dengan membagi-bagikan pernyataanpernyataan dan agar orang mendukungnya dalam khutbah-khutbahnya. Karena itu ia ditahan selama 43 hari.10 Pada tahun 1964 beberapa bulan setelah di tahan, bersama-sama dengan beberapa ulama lainnya mendirikan Organisasi Tahiyyat-e Ruhaniyyat-e Mubarriz 7
Ibid, hlm. 31 Ibid, hlm. 35 - 36 9 Ibid, hlm. 37 10 Ibid, hlm. 44 8
40
(himpunan ulama pejuang), dan mengorganisasikan perlawanan terhadap syah dalam negeri.11 Ketika revolusi Iran di pimpin Ayatullah Khomeini meletus tahun 1978 – 1979, Muthahhari, merupakan salah seorang arsitek revolusi itu. Ketika revolusi sudah diambang pintu kemenangan, ia ditunjuk Khomeini untuk memimpin Syuraye Inqilab Islami (Dewan Revolusi Islam), yang mengendalikan roda politik di Iran. Akan tetapi sebelum sempat menerapkan konsep-konsep politiknya pada pemerintahan baru, ia menghembuskan nafas terakhir akibat peluru teroris Furqon, kelompok ekstrim kiri yang mengindentikkan diri dengan Islam.12 Tragedi ini bermula pada tahun 1972, ketika Muthahhari menerbitkan sebuah buku berjudul ‘Ilal-i Girayish ba Maddigari (alasan-alasan berpaling ke materialisme), sebuah karya penting yang menganalisis kisah-kisah histories materialisme di Eropa dan Iran. Selama revolusi ia menulis pengantar bagi edisi ke delapan buku itu, yang menyerang penyimpangan-penyimpangan atas pemikiran Hafiz dan Hallaj yang terjadi
dalam beberapa golongan masyarakat Iran, dan
menolak interpretasi-interprestasi materialistik terhadap al Qur’an. Sumber interpretasi-interprestasi itu adalah kelompok Furqon, yang berupaya menyangkal konsep-konsep asasi Al- Qur’an. Dalam kasus-kasus semacam itu, Muthahhari selalu bersifat persuasif dan menghimbau, tidak berang ataupun mengutuk, ia malah mengajak Fuqon dan kelompok-kelompok yang lain yang berkepentingan untuk menanggapi tulisannya. Tanggapan mereka atas tulisannya antara lain adalah penembakan atas dirinya.13 Sebelum terjadi penembakan atas dirinya, Muthahhari tampaknya telah terlihat alamat-alamat kesyahidan dirinya. Menurut kesaksian puteranya Mujtaba, Muthahhari tampak terlepas dari masalah-masalah duniawi. Pada saat menjelang tragedi itu, ia lebih memperbanyak shalat malam dan membaca Al Qur’an. Ia bermimpi menghadap Rasulullah bersama Khomeini.14
11
Ensiklopedi Islam ,loc. cit Ibid. 13 Haidar Baqir (penyunting), Op Cit, hlm. 46 14 Ibid, hlm. 47 12
41
Kejadian itu bermula pada hari selasa 1 Mei 1979, Muthahhari pergi kerumah dr. Yadulla Sahabi, bersama anggota-anggota lain dewan revolusi Islam. Sekitar pukul 10.30 malam, ia dan peserta lain yaitu, Ir. Katira’i, meninggalkan rumah Sahabi. Ia berjalan sendirian menuju jalan kecil tedekat, tempat parkir mobil yang akan membawanya pulang, Muthahhari tiba-tiba mendengar suara asing memanggilnya, ketika menengok ke arah suara itu, sebuah peluru menembus kepalanya. Ia meninggal hampir seketika. Meski sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun tidak ada lagi yang bisa dilakukanselain berduka cita atasnya. Ia dimakamkan di sebuah makam syaikh Abdul Karim Ha’iri.15 Kekokohan dan warisan Ayatullah Muthahhari takkan terlupakan. Kehadiran anumertanya hampir mengesankan prestasi-prestasinya di kala hidup. Syahadahnya senantiasa diperingati dan potretnya ada di mana-mana di seantero Iran. Banyak tulisannya yang belum diterbitkan, kini untuk pertama kalinya di terbitkan dan ditelaah secara ektensif. B. Karya-karya Murthadha Muthahhari Karya-karya Muthahhari merupakan bagian-bagian dari perjuangannya. Muthahhari memandang sebuah pemikiran barat sebagai musuh terbesar dari pemikiran Islam. Oleh karena itu ia menghadapi qazwal fikr (pertempuran intelektual) ini dengan menggunakan senjata intelektual pula. Yakni dengan tulisantulisannya, baik dalam bentuk artikel-artikel atau buku-buku yang membahas masalah-masalah falsafat, sosial, agama, etika. Topik-topik yang ia pilih untuk buku-bukunya adalah sesuai dengan pandangan kebutuhan (umat), bukan kepentingan pribadi. Bila sebuah buku tidak memuat topik penting tertentu mengenai masalah Islam kontenporer, Muthahhari berupaya mengisinya. Secara sendirian ia membina unsur-unsur utama sebuah kepustakaan Islam kontenporer. Karya-karyanya antara lain : 1. Adl-i llahi (keadilan Ilahi) 2. Nizam-i Huquqi Zan dar Islam (sistem hak-hak wanita dalam islam) 3. Mas’ala-yi Hijab (masalah Hijab) 15
Ibid.
42
4. Ashna’i ba’ulum-i Islami (pengantar keilmuan Islam) 5. Muqaddima bar Jahanbini-yi Islami (mukadimah pandangan dunia Islam)16 Buku-buku ini bisa dianggap sebagai sumbangan terakhir dan terpenting Muthahhari bagi kelahiran kembali Iran Islam.
C. Pemikiran Murtadha Muthahhari tentang Hijab 1. Definisi Hijab Ada kecenderungan pada masa sekarang ini tentang makna hijab.Mereka memaknai hijab dengan penutup, karena menunjuk kepada suatu alat penutup, yaitu : pakaian wanita. Apabila ditinjau dari asal katanya maka tidak semua penutup adalah hijab. Karena penutup yang dirujuk sebagai hijab adalah muncul di balik kata tabir. Maka makna penutup ini seolah-olah memberi pengertian bahwa seorang wanita yang ditempatkan di belakang tabir. Dari pengertian ini menyebabkan begitu banyaknya orang berpikir bahwa Islam menghendaki wanita untuk selalu berada di belakang tabir, harus dipingit dan tidak bleh meninggalkan rumah. Kewajiban menutup yang telah digariskan bagi wanita dalam Islam, tidak berupa larangan terhadap seorang wanita bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah mereka, dan berhendak memingit kaum wanita, kita dapat menjumpai gagasan semacam ini dimasa lampau (masa sebelum datangnya Islam) dan ketika seorang wanita itu hendak keluar rumah harus menutupi seluruh tubuh mereka tak terkecuali wajah dan telapak tangan. Mutadha Muthahhari berpendapat bahwa hijab wanita dalam Islam yang di maksud adalah kewajiban seorang wanita agar menutup badannya ketika berbaur dengan laki-laki yang menurut agama bukan muhrim, dan tidak mempertontonkan kecantikannya, dan tidak pula mengenakan perhiasan.17 Hal ini telah ditetapkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Akan tetapi Ayatayat yang berhubungan dengan hijab ini tidak merujuk kepada kata hijab. Ayat yang menggunakan kata hijab merujuk kepada istri-istri Nabi. 16 17
Ibid, hlm. 42 Murtadha Muthahhari, Wanita Dan Hijab, terj. Nashib Mustafa, (Jakarta: Lentera, tt), hlm.60
43
Pokok pangkal perkara hijab sebenarnya bukan apakah sebaiknya wanita berhijab dalam pergaulannya dengan masyarakat, melainkan apakah laki-laki bebas mencari kelezatan dan kepuasan dalam memandang wanita. Laki-laki hanya diijinkan mencari kelezatan dan kepuasan memandang dalam batas keluarga dan pernikahan saja, dan dilarang keras mendapatkannya di luar wilayah ini.18 2. Alasan-alasan Perkembangan Hijab dalam Islam Orang-orang yang tidak setuju dengan hijab tidak mengakui adanya perbedaan antara hijab dalam Islam dan non- Islam. Mereka mengatakan hijab dalam Islam seakan muncul dari kondisi bobrok tersebut antara lain: a. Alasan Filosif Persoalan hijab berkaitan erat dengan filsafat persemedian dan rahbaniah, karena wanita merupakan kenikmatan terbesar manusia. Jika seorang laki-laki dan wanita bercampur dan bergaul bersama-sama maka keduanya pasti akan melakukan sesuatu untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan, secara sadar atau tidak sadar. Oleh karena itu dengan mengikuti filsafat rahbaniah (yang menganggab bahwa wanita adalah kenikmatan terbesar manusia) dan untuk menciptakan lingkungan yang tenang, maka mereka mengenakan hijab.19 Jadi munculnya hijab berdasarkan teori ini, karena adanya pandangan bahwa perkawinan sebagai suatu hal yang kotor sementara membujang sebagai hal yang suci. b. Alasan Sosial Diantara penyebab lain yang mempunyai kaitan dengan munculnya hijab adalah hilangnya rasa aman. Ketidakadilan dan ketidak amanan telah melanda masa-masa zaman dahulu. Hanya orang kuat dan para penguasa yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan kehidupan mereka. Sehingga
bagi
siapa
saja
yang
memiliki
sedikit
harta
harus
menyembunyikannya dari pandangan orang lain dengan menguburnya 18 Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan alawiyah abdurrahman, ( Bandung: Mizan, 1990), hlm.17 19 Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, Op cit, hlm.17
44
kedalam tanah.20Jadi hilangnya rasa aman yang dulu menyertai harta kekayaan juga menimpa para wanita. Barang siapa yang mempunyai istri cantik harus menyembunyikannya dari mata-mata yang selalu mengintainya, karena apabila pengintai itu
melihatnya, pasti akan merampas dari
suaminya. c. Alasan Ekonomi Pemberlakuan hijab di dalam kehidupan wanita bertujuan untuk mencari keuntungan dari pihak wanita. Pria melihat bahwa menempatkan wanita belakang tirai, dan menjaganya agar tidak keluar masuk, membuat wanita dapat melakukan pekerjaan rumah yang diberikan kepadanya secara lebih baik hal ini sama ketika orang memenjarakan budaknya dan tidak memperbolehkan budak itu keluar agar dapat melakukan pekerjaan majikannya
dengan
lebih
baik.21Jadi
hijab
merupakan
bentuk
pengeksplotasian terhadap wanita. d. Alasan Etis Alasan ini berasa dari sikap egoistis dan kecemburuan oleh pihak pria. Mereka berpendapat bahwa munculnya hijab adalah karena kekuasaan laki-laki atas wanita. Mereka mengatakan sebab kaum lelaki menetapkan hijab dan memenjarakannya adalah karena kecenderungannya untuk memilikinya secara pribadi. Dia benar-benar tidak suka melihat ada laki-laki lain bercampur dengan wanita yang menjadi miliknya walau hanya sebatas berbicara atau melihat merek. 22 e. Alasan Psikologi Alasan ini berasal dari adanya perasaan rendah diri wanita terhadap pria. Dalam keberadaannya wanita dinomor duakan dalam memperoleh hakhaknya. Perasaan rendah diri ini muncul karena adanya dua hal, yaitu : a. Adanya perbedaan dalam fisik(tubuh) dan karakter antara wanita dan laki-laki. 20
Ibid, hlm.27 Murtadha Muthahhari, Hijab gaya hidup wanita Islam, terj. Agus Efendi dan Alawiyan Abdurrahman, (Bandung : Mizan, 1990), hlm.57 22 .Murtadha Muthahhari, Wanita Dan Hijab, Op cit, hlm.42 21
45
b. Adanya kebiasaan seorang wanita mengalami pendarahan pada masa menstruasi dan pada masa melahirkan.23 Menstruasi yang dialami perempuan merupakan proses biologis yang kodrati dan memiliki implikasi terhadap posisi perempuan dalam struktur social budaya, dan notasinya antara pria laki-laki dan perempuan. Dalam lintas sejarah, menstruasi dianggap sebagai simbol yang sarat dengan makna dan mitos. Istilah tersebut berasal dari bahasa indo-eropa , akar katanya adalah manas, mana, atau men,, yang sering disingkat menjadi ma. Artinya sesuatu yang berasal dari dunia gaib kemudian menjadi makanan suci (devine food) yang diberkahi, hanya pada jiwa, tetapi juga pada fisik.24 Perempuan yang mengalami menstruasi berada dalam suasana tabu. Darah menstruasi dianggap darah tabu yang menuntut berbagai perlakuan khusus, termasuk keluarga dekatnya sendiri, dan tidak diperbolehkan untuk melakukan hubungan seks, dan tatapan mata yang bersangkutan tidak boleh berkeliaran kemana-mana karena bisa mengundang malapetaka. Tatapan mata menstruasi mempunyai kekuatan khusus yang disebut mata iblis.25 Jadi inilah lima alasan perkembangan hijab yang telah dilontarkan oleh sebagian penentang hijab. Alasan-alasan tersebut diatas tidak sesuai dengan Islam. Dalam perkembangannya hijab Islam tidak memiliki alasan-alasan tersebut diatas. Islam memiliki alasan tersendiri dan tidak dapat diperbedakan dengan lima alasan yang telah tersebut diatas, yaitu : kesejahteraan diri, keluarga, masyarakat.26 Bahwasannya manusia menginginkan sesuatu yang dilarang dan yang mengakibatkan gairah, tetapi jika tidak ditonjol-tonjolkan maka tidak begitu bernafsu untuk mendapatkan hal itu. Begitu pula, dalam pergaulan bebas yang tidak terbatas, semakin banyak rangsangan, semakin berkeinginan seseorang itu
23
Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, Op cit, hlm. 65 Nasarudin Umar, Teologi Menstruasi : Antara Mitologi dan Kitab Suci, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. IV, hlm. 71 25 Nasarudin Umar, Antropologi Jilbab : Jilbab, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. VI, hlm. 37 26 Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, Op cit, hlm. 68 24
46
untuk memenuhinya, yang pada akhirnya akan membuat seseorang kecewa atau frustasi. Dengan demikian, perlu adanya suatu pembatas, dan nafsu seksual hanya dapat dipenuhi didalam lingkungan pernikahan. Dalam keluarga, usahausaha harus diciptakan sedemikian sehingga hubungan pernikahan menjadi kian baik. Dan apapun yang dapat merusak hubungan ini maka harus ditiadakan. Pembatasan pemenuhan kebutuhan seksual hanya pada pernikahan, apapun bentuk pemenuhannya, menyebabkan hubungan suami istri kian harmonis, karena seorang suami mengetahui bahwa hanya istrinyalah yang dapat memenuhi kebutuhannya, begitu juga seorang istri, hanya suaminyalah yang menjadi sumber kesenangan dan kebahagiaan. Kaitannya dalam masyarakat, hijab Islam tidak mengatakan bahwa manusia tidak boleh meninggalkan rumah, dan juga tidak mengatakan bahwa wanita tidak berhak melakukan pekerjaan yang sifatnya sosial atau ekonomi. Akan tetapi, wanita boleh meninggalkan rumah asal tidak tidak merangsang pria lain atau tidak menarik perhatian pria lain kepada dirinya. Ini merupakan kewajiban khusus bagi wanita. Dan tidak ada seorang priapun yang berhak memandang dengan nafsu wanita yang meninggalkan rumahnya. Ini kewajiban khusus bagi pria.
27
Jadi masyarakat hanya dapat dijadikan sebagai tempat
beraktivitas dan bekerja. Apabila wanita tidak berbicara dengan suara-suara merangsang di tengah-tengah masyarakat, maka apakah anak laki-laki dan permpuan tidak akan dapat belajar dengan lebih baik ? jika wanita mengenakan hijab dan pergi membeli sesuatu dan si penjual tahu bahwa ini bukan tempat untuk bermainmain, maka jalan yang mana yang lebih baik ? jelas, jika ada hijab Islam, kerja manusia, tentu akan lebih efisien, dengan demikian aktivitas-aktivitas perdagangan pun akan lebih meningkat.28
27 28
Ibid, hlm 75 Ibid, hlm. 76
47
3. Batas Hijab Dalam Islam Batas hijab dalam Islam menurut Murtadha Muthahhari meliputi dua hal, antara lain : a. Permintaan Ijin ketika akan memasuki rumah seseorang Orang-orang arab pada masa jahiliah tidak mengenal adanya budaya minta izin ketika akan memasuki rumah orang lain, karena pintu-pintu masuk rumah orang arab selalu dalam keadaan terbuka, maka budaya minta izin ketika hendak memasuki rumah orang lain dianggap suatu penghinaan. Kemudian Islam datang dan mencela kebiasaan tersebut. Seseorang tidak berhak untuk memasuki rumah orang lain kecuali apabila dia memperoleh izin dari pemiliknya atau penghuninya sebagaimana Allah berfirman dalam surat an Nur ayat 27, yang di dalamnya terdapat kalimat “hatta tasta nisu” (sebelum kalian meminta ijin) pada waktu yang diharapkan mendapatkan izin, sebenarnya memberi isyarat jeleknya memasuki rumah orang lain tanpa kerelaan mereka, kata “Izin” itu berlawanan dengan “menghalangi” atau “mengusir”. Jadi maksud dari ayat tersebut adalah permintaan izin ketika hendak memasuki rumah seseorang , karena masuknya kita tanpa meminta terlebih dahulu, terkadang memicu rasa keberatan, kebencian, marah dan gundah.29 Penekanan itu merupakan salah satu aspek pengantar bentuk hijab. Islam memerintahkan agar jangan memasuki rumah-ruamah yang berpenghuni tanpa minta izin, di karenakan ada dua perkara, yaitu : a. Menyangkut soal kehormatan dan terhijabnya seorang wanita b. Setiap orang ketika didalam rumahnya, ada hal-hal yang terkadang tidak suka dilihat orang lain, meskipun terhadap sahabat-sahabat karib. Karena bisa saja dua orang yang bertemu sejalan dalam segala hal, akan tetapi barang kali masing-masing mereka mempunyai rahasia tertentu yang tidak ingin di ketahui orang lain.
29
Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, Op cit, hlm. 108-109
48
Berdasarkan dari keterangan diatas, maka permintaan izin tidak hanya berlaku terhadap rumah-rumah yang terdapat wanita didalamnya, akan tetapi merupakan hukum yang umum. Pada ayat kedua (surat An-Nur ayat 28) menyebutkan apabila dengan permintaan izin, tetapi tidak seorangpun menjawabnya, dan kita mengetahui bahwa rumah tersebut kosong, maka kita tidak diperbolehkan untuk masuk kedalamnya kecuali anda telah memperoleh izin sebelumnya dari penghuninya. Disisi lain, jika penghuni rumah enggan memberi izin karena ada sesuatu halangan, maka kembali dan jangan tersinggung. Agama Islam bukanlah agama yang memberatkan dalam surat anNur ayat 29 terdapat adanya pengecualian. Permintaan izin hanya berlaku bagi rumah-rumah yang berpenghuni, yaitu tempat-tempat tertentu yang dimana dimana terdapat kehidupamanusia yang bersifat khusus da tempat tersendiri, dan jika kondisinya tidak seperti demikian
dan merupakan
tempat lalu lalang masyarakat umum misalnya : wc- wc umum, toko-toko, kedai-kedai.30 b. Tata cara hubungan antara pria dan wanita 1. Menjaga Pandangan Dalam suarat an-Nur ayat 30 – 31 terdapat kalimat “Ghaz” dan “abshar”. Al-Ghads disini bermakna menundukkan, menurunkan, sedangkan “abshar” merupakan bentuk jamak dari “bashar” yang memiliki makna pandangan.31 Jadi makna ghadul bashar adalah menundukkan pandangan. Janganlah mereka memandang dengan tajam dan liar, yaitu agar pandangan mereka berwibawa, tidak liar. Pada dasarnya ada dua bentuk pandangan, pandanga yang pertama adalah melihat orang lain dengan perhatian seakan-akan sedang menilai penampilan dan cara berpakaianya, yang kedua memandang
30 31
.Ibid, hlm. 115 Ibid, hlm. 92
49
orang lain ketika berbicara dengan orang itu, karena memandang diperlukan dalam bercakap-cakap.32 Dapat disimpulkan bahwa pandangan yang pertama adalah pandangan liar ( bebas ), pandangan ini tidak diperbolehkan, pandangan yang kedua adalah pandangan yang berlangsung antara kedua belah pihak
dinamakan
kekeluargaan,
larangan
memandang
dengan
pandangan liar yang hanya bertujuan untuk mendapat kesenagan, tidak hanya berlaku bagi seseorang yang bukan muhrim tetapi berlaku bagi yang muhrim. Dan memandang yang di bebaskan hanya kepada istri atau suaminya. 2. Menjaga Kesucian diri dengan menutup aurat di hadapan orang lain. Dalam surat an Nur ayat 30 - 31 telah disebutkan “dan memelihara kemaluan mereka”. Artinya, katakanlah kepada orangorang yang beriman agar memelihara aurat mereka. Bisa jadi yang dimaksud disini agar memelihara harga diri, kesucian dan menjauhi segala sesuatu yang dapat mencemarkannya, seperti zina. Karena sering kita
jumpai
dalam
al-Qur'an
ungkapan
memelihara
kemaluan
maksudnya adalah menjahui zina. Akan tetapi pada kedua ayat diatas ada pengecualian dimana yang dimaksud memelihara kemaluan mereka adalah menjaga dari pandangan orang lain dengan kewajiban menutupnya.33 Pengecualian pada dua ayat tersebut diatas (QS. 24 : 30 – 31), arti hifzhul farj adalah menjaga diri dari pandangan orang lain, alias menutup aurat.34 Islam mengajarkan bahwa pakaian adalah penutup aurat, bukan sekedar perhiasan, Islam mewajibkan setiap wanita dan pria untuk menutupi anggota tubuhnya yang menarik perhatian lawan jenisnya. Bertelanjang adalah suatu perbuatan yang sangat biadab.
32
Ibid, hlm. 93 - 94 .Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, Op cit, hlm.121- 122 34 Husein Shahab, Op cit, hal. 38 33
50
Langkah
pertama
yang
diambil
Islam
dalam
usaha
mengokohkan bangunan masyarakatnya adalah melarang bertelanjang, dan menentukan aurat laki-laki dan perempuan. Sebagai mana kita ketahui, dikalangaan orang-orang Arab zaman jahiliah tidak ada kebiasaan untuk memelihara kemaluan. Peradaban ini berlangsung juga dalam peradaban barat, mereka terus menerus mengarang bahwa ketelanjangan adalah sesuatu yang baik. Ada sesuatu hikayat tentang Rasulallah SAW: “ Bahwasanya beliau berkata, ketika masih kanak-kanak beliau bermain dengan anak-anak yang lain. ketika sedang bermain-main, tak jauh dari situ para tukang batu sedang membangun sebuah rumah bagi orang Quraisy. Anak-anak dengan senang hati membantu orang yang sedang membangun dengan membawa batu-batu yang diletakkan di baju putih mereka yang panjang, lalu meletakkannya di hadapan tukangtukang itu, sehingga kemaluan mereka tampak, kemudian Nabi SAW ingin membantu dan meletakkan sebuah batu pada gemisnya yang panjang, ketika beliau hendak bangkit, ada sesuatu yang terasa menghentikan perbuatannya itu, dan mengenai bagian bawah pakaiannya. Beliau mengulangi, dan beliau merasakan hal yang sama. Barulah beliau mengetahui bahwa beliau tidak boleh melakukan hal tersebut dan beliaupun mencobanya lagi.”1 Dari keterangan diatas disimpulkan bahwa, menghindari pandangan dan mejaga kesucian dengan menutup aurat merupakan kewajiban bagi kaum laki-laki dan juga perempuan. 3. Larangan memperlihatkan perhiasan pada
kenyataannya
bahwa
para
wanita
tidak
boleh
“memperlihatkan perhisan mereka”, yang pertama adalah “kecuali sesuatu yang nampak”, dan yang kedua adalah “kecuali terhadap suami mereka. Pengecualian yang pertama, diperbolehkannya wanita untuk membuka wajahnya dan kedua telapak tangan. Pengecualian itu mengandung makna bahwa menutupinya cukup memberatkan, karena hal itu sangat sulit bagi wanita dalam menjalankan aktivitasnya, seperti : 1
Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, Op cit , hlm. 96
51
dalam kesaksian, pemeriksaan pengadilan dan dalam perkawinan yang menutup adanya keterbukaan antar kedua anggota badan tersebut.2 Pengecualian yang kedua dan janganlah memperlihatkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka .....”. Ayat ini menjelaskan bahwa
hanya
orang-orang
tertentu
yang
boleh
bagi
wanita
menampakkan perhiasannya dihadapan mereka secara mutlak. Pada pengecualian pertama tempat-tempat perhiasan adalah lebih sempit dan pembolehan menampakkannya lebih umum (yaitu pada masyarakat umum), sedangkan pada pengecualian ini sebaliknya.
2
Ibid, hlm. 6