BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT UANG A. Pengertian dan Jenis-Jenis Uang 1. Definisi Uang Para tokoh ekonomi pada umumnya memberikan definisi yang sama mengenai uang. Mereka mendefinisikan uang sebagai sesuatu yang secara umum diterima sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual-beli barang dan jasa, pembayaran utang, pajak dan lainnya.1 Definisi yang lain diberikan oleh An-Nabhani yang mengatakan bahwa uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga yaitu sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga.2 Weber yang lebih dikenal sebagai seorang sosiolog pun, tidak mau ketinggalan untuk ikut mendefinisikan uang. Ia tidak hanya mendefinisikan uang dari perspektif ekonomi tetapi juga melihat uang dari perspektif sosial. Menurut Weber sebagaimana yang dikutip kembali oleh Nugroho mengatakan bahwa uang adalah sarana yang paling akurat untuk transaksi dan interaksi sosial ekonomi.3
1
Iswardono, Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE, 1999, hlm. 4. Pendapatan senada disampaikan juga oleh beberapa ekonom lain seperti William A. Mc Eachern, Economics: A Contemporary Introduction, terj. Sigit Triandaru: “Ekonomi Makro Pendekatan Kontemporer”, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 258. Selain itu definisi serupa disampaikan oleh Y. Sri Susilo, et.al., Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta: Salemba Empat, 2000, hlm. 5 2 Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nidham Al-Iqtishadi Fil Islam, terj. M. Maghfur Wahid: “Membangun Sistem Ekonomi Alternatif”, Surabaya: Risalah Gusti, 2002, hlm. 297 3 Heru Nogroho, Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. I, hlm. 25
24
25
Dari definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa sesuatu itu menjadi uang karena pemilihan masyarakat, hukum dan sejarahnya. Hal ini tampak dari definisi-definisi yang diberikan oleh para tokoh di atas, di mana mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikan uang karena mereka tidak berada pada situasi dan kondisi yang sama. Keadaan masyarakat baik itu dari segi hukum maupun historisnya sangat mempengaruhi pemikiran mereka. Namun setidaknya ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan patokan dalam menentukan sesuatu agar bisa disebut sebagai uang. Criteria-kriteria tersebut antara lain: a. Acceptability dan Cognizability Uang harus dapat diterima secara umum dan diketahui secara umum, baik itu sebagai alat tukar, penimbun kekayaan, standar cicilan utang, dan lain-lain. b. Stability of Value Uang harus memiliki nilai yang stabil. Kepercayaan seseorang akan nilai uang serta perubahan nilai uang yang terlalu besar, hanya dapat terwujud jika nilai uang terjaga kestabilannya. c. Elasticity of Supply Jumlah uang yang beredar harus mencukupi kebutuhan dunia usaha (perekonomian). Kekurangan supplay uang akan menghambat kegiatan perekonomian sehingga mengakibatkan kemacetan perdagangan. Oleh karena itu, otoritas moneter (Bank Sentral) perlu memantau
26
perkembangan perekonomian sehingga elastisitas ketersediaan dana terjaga. d. Portability Uang harus bisa dibawa setiap hari, sehingga transaksi akan berjalan lancar. e. Durability Uang harus dijaga nilai fisiknya. Dengan kata lain uang harus relatif tahan lama. Karena kerusakan pada uang akan menurunkan nilai dan merusakkan kegunaan moneter dari uang tersebut. f. Divisibility Uang harus memiliki nilai satuan nominal. Dan nilai nominal tersebut harus tetap dijaga untuk menjamin dapat ditukarkannya uang yang satu dengan yang lainnya.4 Uang
memainkan
peranan
yang
sangat
penting
dalam
perekonomian. Beberapa peranan uang tersebut antara lain:5 a. Alat tukar-menukar. Uang berfungsi sebagai alat pertukaran. Karena uang merupakan sesuatu yang diterima secara umum untuk pembayaran barang dan jasa. b. Satuan hitung atau alat pengukur nilai. Uang digunakan sebagai satuan umum untuk mengukur nilai setiap barang dan jasa. Sehingga uang
4
Iswardono, op. cit, hlm. 5-6. lihat juga Y. Sri Susilo, et.al., op. cit, hlm. 5 William A. Mc Eachern, dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Sigit Triandaru, hanya menyebutkan tiga fungsi uang yaitu sebagai alat pertukaran, satuan hitung, dan penyimpan nilai. Selengkapnya lihat Wiliam A. Mc Eachern, op. cit, hlm. 259 5
27
dapat berfungsi sebagai alat yang menciptakan harmoni perekonomian, di mana satuan nilai tersebut disepakati oleh semua orang. c. Standar pembayaran masa depan. Uang juga berfungsi sebagai standar untuk pencicilan utang atau untuk menyatakan besarnya utang. d. Alat penimbun kekayaan atau penyimpan nilai. Uang berperan sebagai penyimpan nilai bila dapat menyimpan daya beli selama waktu tertentu.6 2. Jenis-Jenis Uang Berdasarkan bahan (material), uang dapat dibedakan menjadi: 1) Uang logam. Uang logam ini biasanya terbuat dari emas, perak, dan perunggu. 2) Uang kertas. Uang kertas ini dibagi lagi menjadi dua yaitu uang kartal (currencies) dan uang giral (deposit money). Berdasarkan nilainya, uang dibedakan menjadi: 1) Uang bernilai penuh (full bodied money), yaitu uang yang nilai bahannya (intrinsik) sama dengan nilai nominalnya. 2) Uang yang tidak bernilai penuh (representative full bodied money) atau yang dikenal sebagai “uang bertanda” (token money), artinya uang yang nilai intrinsiknya lebih kecil daripada nilai nominalnya. Berdasarkan lembaga atau badan pembuatnya, uang juga dibedakan menjadi:
6
Y. Sri Susilo et.al, op. cit, hlm. 5-6. Mengenai fungsi uang ini, dapat dilihat juga dalam Iswardono, op, cit, hlm. 6-9
28
1) Uang kartal yaitu uang yang dicetak atau dibuat dan diedarkan oleh bank sentral berupa uang kertas dan uang logam. 2) Uang giral, yaitu uang yang dibuat dan diedarkan oleh bank-bank umum (komersial) dalam bentuk demand deposit atau yang lebih dikenal dengan check. Berdasarkan kawasan atau daerah berlakunya, uang dapat dibedakan menjadi: 1) Uang domestik, yaitu uang yang berlaku hanya di suatu negara tertentu. 2) Uang internasional, yaitu uang yang berlaku tidak hanya dalam suatu negara tetapi mungkin berlaku atau diakui berlaku di berbagai negara atau di seluruh dunia. Berdasarkan pertimbangan bahwa uang merupakan kekayaan, maka uang dibedakan menjadi: 1) Inside money (uang dalam). Uang jenis ini oleh sektor swasta secara keseluruhan tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan. 2) Outside money (uang luar). Uang jenis inilah yang dapat dikategorikan sebagai kekayaan oleh sektor swasta.7 Sedangkan Susilo hanya mengklasifikasikan uang dalam dua golongan uatama, yaitu uang dalam pengertian sempit (narrow money) yang terdiri dari uang kartal dan uang giral serta uang dengan pengertian luas (broad money) yang bisa diartikan dalam dua kelompok. Kelompok
7
Iswardono, Ibid, hlm. 10-16
29
pertama terdiri dari narrow money ditambah dengan saving deposit dan time deposit. Kelompok pertama ini biasa diberi notasi M2. kelompok kedua terdiri dari M2 ditambah dengan seluruh simpanan dalam masyarakat pada lembaga keuangan non bank dan biasa diberikan notasi M3.8 B. Konsep Uang Menurut Islam 1. Uang dalam Sejarah Islam Orang Arab sebelum datangnya Islam telah dikenal dengan aktivitas perdagangannya. Dalam hubungan perdagangan tersebut, mereka menggunakan dinar dan dirham sebagi media pertukaran dengan negaranegara sekitarnya. Ketika pulang dari Syam mereka membawa dinar emas Romawi (Byzantium) dan membawa dirham perak Persia (sassanid) dari Irak. Kadang-kadang mereka membawa pula sedikit dirham himyar dari Yaman. Jadi saat itu banyak uang mata uang asing yang masuk negeri Hijaz, berupa dinar emas Romawi dan dirham pereak Persia. Tetapi pada saat itu dinar dan dirham digunakan menurut beratnya, tidak berdasarkan nilai nominal maupun cetakannya. Hal itu dikarenakan bentuk dan timbangan dirham tidak sama dan beratnya menyusut akibat peredarannya. Agar tidak terjadi penipuan, mereka menggunakan standar timbangan khusus seperti auqiyah, nasy, nuwah, mitsqal, dirham, daniq, qirath, dan habbah. Mitsqal setara dengan 22 qirath kurang satu habbah. Sedangkan 10 dirham sama dengan 7 mitsqal.9
8
Y. Sri Susilo, Ibid, hlm. 4 Sigit Purnawan Jati, “Seputar Dinar dan Dirham”, dalam Muhammad Ismail Yusanto, et.al. (eds), Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, Jakarta: PIRAC, 2001, Cet.I, hlm. 119-120 9
30
Pada masa Rasulullah SAW datang membawa Islam, orang-orang Arab masih menggunakan emas dalam bentuk dinar dan perak dalam bentuk dirham dalam kegiatan tukar-menukar mereka. Dinar Romawi dan dirham Persia tidak mereka gunakan secara menyeluruh, karena bentuk, berat dan ukurannya bermacam-macam. Timbangan-timbangan khusus yang mereka pakai antara lain rithl (12 uqiyah), uqiyah (40 dirham), nasy (20 dirham atau ½ uqiyah) dan nawat (5 dirham). Nabi Muhammad SAW menetapkan untuk memamakai timbangan mata uang Makkah. Beliau bersabda, “Timbangan berat (wazan) adalah timbangan penduduk Makkah dan takaran (mikyal) adalah takaran penduduk Madinah”. (H.R. Abu Dawud dan An-Nasya’i). Dan beliau mewajibkan zakat harta dalam dinar dan dirham, begitu pula mengenai hukum perdagangan seperti riba dan pinjaman, dalam hal mahar perkawinan, pemotongan tangan pencuri, denda (diyat), sehingga emas dan perak dianggap sebagai mata uang yang disyari’atkan.10 Di samping itu, sepanjang kehidupannya Nabi tidak pernah merekomendasikan perubahan apapun terhadap mata uang. Begitu pun khalifah sesudahnya membenarkan praktek ini. Dalam ilmu hadits hal ini disebut hadits af’al dan taqrir, yaitu jenis hadits yang tidak diucapkan tetapi dilakukan dan sikap Nabi yang membenarkan (tidak mengingkari) sesuatu yang diperbuat oleh seorang sahabat (orang yang mengikuti syara’) dihadapan Nabi atau diberitakan kepada beliau, lalu beliau tidak
10
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Az-Zakah, Jilid I, Kairo: Maktabah Wahabah, t.t, hlm. 62
31
menyanggah atau tidak menyalahkan serta menunjukkan bahwa beliau menyetujuinya.11 Pada tahun 20 H (tahun kedelapan kekhalifahan Umar), khalifah Umar mencetak uang dirham baru berdasarkan pola dirham Persia, di mana berat, gambar, maupun tulisan Bahlawinya (huruf Persianya) tetap ada, hanya pada tepi lingkarannya ditulisi dengan huruf arab gaya Kufi, seperti lafadz “bismillah” (dengan nama Allah) dan “bismillahi rabbi” (dengan nama Allah Tuhanku). Kaum muslimin pada abad-abad kemudian juga melestarikan tradisi ini. Pada tahun 75 H (695 M) – ada yang mengatakan 76 H – khalifah Abdul Malik bin Marwan mencetak dirham khusus yang bercorak Islam dengan lafadz-lafadz Islam bergaya Arab Kufi, bukan bercorak dirham Persia lagi. Kemudian pada tahun 77 H (697 M), gambar-gambar manusia dan hewan pada dinar dan dirham diganti dengan lafadz-lafadz Islam. Lafadz-lafadz tersebut seperti “Allahu Ahad” (Allah itu Tunggal), “Allahu Baqa” (Allah itu Abadi), dan salah satu sisinya diberikan tulisan “Laa Ilaaha Illa Allah”, sedang sisi sebaliknya terdapat tanggal pencetakan dan nama khalifah atau wali (gubernur) yang memerintah pada saat pencetakan uang. Sudarsono menyebutkan pada waktu mata uang Islam dan gedung tempat pembuatan mata uang disebut dengan sikkah dan dar as-sikkah. Sedangkan mata uang utamanya adalah dinar emas dan dirham perak, yang 11
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarng: Pustaka Rizqi Putera, 2001, hlm. 7-8
32
nama keduanya diambil dari kosakata Yunani denarius dan drachmos. Uang pecahan (maksur) seperti qitha dan mitsqal, juga dikenal pada masa itu. Ketika Islam mengalami krisis mata uang emas dan perak pada abad ke-4 H dikenal juga mata uang tembaga tipis yang dicampur dengan perak yang disebut fulus (dari bahasa latin follies), dan disebut juga dengan alqarathis.12 Sejak saat itu kaum muslimin mempunyai dinar dan dirham Islam sebagai mata uang resmi mereka dan tidak menggunakan mata uang lainnya. Namun, menjelang Perang Dunia I, dunia menghentikan penggunaan emas dan perak sebagai mata uang. Paska Perang Dunia I, emas dan perak dipakai kembali sebagai mata uang, tetapi hanya bersifat parsial. Apalagi ketika Turki (khilafah atau negara Islam) pada tahun 1924 hancur, dinar dan dirham tidak lagi menjadi mata uang kaum muslimin. Meskipun demikian, emas dan perak tetap digunakan, walaupun makin lama makin berkurang. Ketika Richard Nixon – Presiden AS saat itu – mengumumkan secara resmi penghentian sistem Bretton Woods, maka pada tanggal 15 Agustus 1971, penggunaan emas dan perak dihentikan secara total. Padahal sebelumnya ditetapkan bahwa dolar harus ditopang oleh emas dan terikat dengan emas pada harga tertentu.13 Berat (wazan) dinar di masa Jahiliyah (dinar Romawi) tidak berbeda dengan berat dinar di masa Islam. Dinar memiliki satu standar berat, yaitu satu mitsqal. Dinar inilah yang disebut dengan dinar syar’i, 12 13
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Yogyakarta: EKONISIA, 2002, cet. I, hlm. 144 Sigit Purnawan Jati, op.cit.,hlm. 121-123
33
karena Rasulullah SAW mengakuinya serta hukum-hukum seperti zakat, diyat, dan pemotongan tangan pencuri dikaitkan dengan dinar tersebut. Khalifah Malik bin Marwan ketika mencetak dinar Islam pada tahun 77 H (697 M), juga menggunakan standar berat dinar tersebut.14 Al-Baghdadi (1987), sebagaimana dikutip kembali oleh Jati menyebutkan bahwa dirham Persia pada masa itu berbeda-beda beratnya dan ada tiga macam: a. Dirham besar (dirham kibar atau baghliyah atau As-Su’ud al Wafiyah). Beratnya satu mitsqal atau 20 qirath. b. Dirham kecil (dirham shighar atau thibriyah), disebut thibriyah, karena tempat pembuatannya di Thibristan. Beratnya 0,5 mitsqal atau 10 qirath. c. Dirham sedang (dirham wasath atau Jawariqiyah), disebut demikian karena tempat pembuatannya di Jurqah (Iran). Sedangkan beratnya 0,6 mitsqal atau 12 qirath.15 Sedangkan yang disebut sebagai dirham syar’i, yaitu berat 10 dirham sedang (dirham wasath) setara dengan bert 7 mitsqal. Berat inilah yang dikenal sebagai “waznu sab‘ah”. Standar berat inilah yang dipakai Rasulullah untuk menghukumi kewajiban zakat perak, yaitu untuk setiap 200 gr, zakatnya sebesar 5 dirham. Begitu pula khalifah Abdul Malik bin
14 15
Ibid. Ibid, hlm. 124
34
Marwan dalam mencetak dirham Islam pada tahun 75 H (695 M), juga menggunakan standar berat dirham tersebut.16 Jati mengemukakan bahwa mata uang beserta berat timbangan yang dipakai pada masa Jahiliyah, serta disahkan dan diakui oleh Islam tersebut, dapat dikonversi ke dalam satuan-satuan berat yang dikenal di zaman modern saat ini. Konversi tersebut ditunjukkannya melalui tabel-tabel berikut ini.17 Tabel 1. Konversi Berat (Wazan) Dinar: Standar Berat syar’i
Perhitungan
Berat Emas (gr)
-
4,25
Standar berat dinar
1 daniq emas
1/8 x 4,25 gr emas
0,53125
1 mitsqal = 8 daniq
1 qirath
1/20 x 4,25 gr emas
0,2125
1 mitsqal = 20 qirath
1 habbah sya’ir
1/72 x 4,25 gr emas
0,059
1 mitsqal = 72 habbah
1 mitsqal (1 dinar)
Keterangan
sya’ir (biji gandum)
Tabel 2. Konversi Berat (wazan) dirham: Standar berat syar’i
Perhitungan
Berat Emas (gr)
Keterangan
1 dirham
7/10 x 4,25 gr emas
2,975
1 dirham = 7/10 mitsqal
10 dirham
10 x 2,975 gr perak
29,75
10 dirham = 7 mitsqal
1 nasy
20 x 2,975 gr perak
59,5
1 nasy = 20 dirham
1 nuwah
5 x 2,975 gr perak
14,8751
Nuwah = 5 dirham
1 daniq perak
1/6 x 2,975 gr perak
0,495
1 dirham = 6 daniq
1 uqiyah
40 x 2,975 gr perak
119
1 uqiyah = 40 dirham
Jadi, dari kedua tabel di atas dapat diketahui bahwa 1 dinar syar’i adalah emas seberat 4,25 gr. Sedangkan 1 dirham syar’i adalah perak seberat 2,975 gr. Dengan demikian, pada dasarnya sistem uang di dalam 16 17
Ibid, hlm. 124 Ibid, hlm. 125-126
35
Islam mengikuti timbangan emas dan perak. Hanya berat, cetakan, bentuk, dan model ukirannya saja yang bervariasi. Sejarah juga menunjukkan bahwa sistem moneter yang dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW adalah sistem dua mata uang (bimetallic standard) yang terdiri dari emas dan perak. Pada waktu itu ratio dari peredaran dinar dibanding dirham hanya stabil pada periode tertentu, yaitu 1:10 sampai dengan masa keempat khalifah. Namun setelah itu, orang lebih senang menyimpan uang dinar dan menggunakan dirham sebagai alat transaksi, sehingga memperkecil peredaran dinar, mencapai tingkat ratio 1:50. Peristiwa inilah yang dikenal sebagai Gresham’s Law pada abad ke-16, yaitu: bad money tends to drive good money out of circulation (peredaran uang yang buruk menggeser uang yang baik). Sistem dua mata uang ini juga diadopsi oleh AS pada tahun 1729, pada saat gold-silver rationya hanya 1:15. Namun pada tahun 1873 AS mendemonetisasi silver karena harga jenis metal tersebut berfluktusi tajam, sehingga sulit untuk mengaitkan kedua jenis mata uang tersebut dalam suatu tingkat ratio tertentu, yang berdampak pada tidak dipakainya lagi bimetallic standard secara universal.18 Selanjutnya, emaslah yang diberlakukan secara universal sebagai standar mata uang (monometalism). Gold currency standard ini pada asasnya membolehkan suatu negara untuk mengkonversikan atau menyetarakan mata uangnya dengan emas dengan tingkat legal yang 18
Mulia E. Siregar, “Manajemen Moneter Alternatif”, dalam Muhammad Ismail Yusanto et.al.(eds), Dinar Emas Solusi Krisis Moneter, Jakarta : PIRAC, 2001, Cet. I, hlm.84-85
36
ditetapkan oleh otoritas moneter. Sedangkan bentuknya ada empat macam, yaitu: a. The gold coin standard; yaitu suatu sistem moneter di mana gold coin aktif beredar di masyarakat sebagai standar alat tukar (medium of exchange). b. The gold bullion standard; merupakan standar moneter dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1) Nilai satuan-satuan moneternya dikaitkan dengan seberat tertentu emas 2) Pemerintah membeli dan menjual seluruh emas yang ditawarkan pada harga tetap. 3) Emas tidak beredar dalam perekonomian. 4) Emas yang tersedia digunakan untuk tujuan industri dan transaksi-transaksi internasional dari bank. 5) Pemerintah menerima uang kredit untuk ditukarkan dengan emas. c. The managed gold bullion standard; merupakan sistem moneter di mana emas tidak dapat dipakai lagi dalam peredaran umum. d. The gold exchange standard atau Breton woods system, yaitu kesepakatan internasional di bidang moneter di mana mata uang merupakan fiat money yang dapat dikonversikan ke dalam emas dengan harga tertentu.19
19
Iswardono, op. cit, hlm. 22-25
37
Namun ternyata dengan sistem gold standard ini tidak mudah untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uang, karena meningkat dan menurunnya produksi emas yang tiada menentu. Apalagi ketika terjadi PD I pada tahun 1914, di mana negara-negara yang terlibat perang berupaya untuk menjadikan sistem uang emas tersebut menjadi tidak menentu. Ada negara yang menghentikan kemungkinan bisa ditukarkannya mata uangnya menjadi emas dan ada yang sengaja membelenggu pengeluaran uang emas tersebut.20 Akhirnya pada Agustus 1971 AS mendemonetisasi gold, setelah Breton Woods System yang diterapkan pasca PD II ternyata tidak memuaskan. Dengan berakhirnya Breton woods system maka bergantilah dengan sistem fully fledged managed money standard di mana mata uang yang beredar sama sekali tidak terkait dengan emas. Konsekuensinya muncullah dua fenomena utama yaitu tingginya tingkat inflasi dan tidak stabilnya nilai tukar. Dan sistem inilah yang berlaku hingga sekarang, tidak hanya di AS saja tapi hampir seluruh negara di dunia ini menerapkannya. 2. Konsep Uang Menurut Pandangan Syari’ah Dalam kitab-kitab fiqh, konsep uang tidak dijelaskan secara jelas dan eksplisit. Ulama-ulama fiqh klasik lebih suka untuk mendefinisikan dan menjelaskan seluk beluk harta daripada uang. Apakah mereka menganggap uang ini sebagai harta ataukah karena mereka merasa tidak perlu lagi membicarakan tentang masalah uang karena uang bentuknya
20
Taqiyuddin An-Nabhani, op. cit, hlm. 305
38
telah pasti? Karena itulah banyak ulama kontemporer yang mengkaji kembali tentang konsep harta sekaligus konsep uang di dalamnya. Harta dalam kitab-kitab fiqh ditunjukkan dengan istilah al-mal yang bentuk jamaknya adalah al-amwal. Secara literal al-mal berarti “condong” atau “berpaling’ dari satu posisi kepada posisi lainnya. Ia adalah sesuatu yang naluri manusia cenderung kepadanya.21 Secara terminologi atau istilah, pengertian tentang harta atau al-mal ada bermacam-macam, di antaranya ta’rif harta yang berkembang di kalangan fuqaha’ Hanafiyah sebagai berikut: 22
“Sesuatu yang tabi’at manusia cenderung kepadanya dan mungkin untuk disimpan sampai batas waktu yang diperlukan.” Golongan Hanafiyah mensyaratkan adanya unsur iddikhar (dapat disimpan), hal ini dikarenakan menurut mereka “manfaat” tidak termasuk bagian dari konsep harta melainkan masuk dalam konsep milkiyah. Mereka membedakan antara konsep milik dan konsep mal. Milik adalah sesuatu yang kita dapat bertasharruf dengannya secara ikhtishash, tanpa dicampuri orang lain. Oleh karena itu manfaat masuk ke dalam bagian milik. Sedangkan mal adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk dimanfaatkan diwaktu yang diperlukan.23 Sedangkan konsep harta menurut kalangan jumhur fuqaha’ madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah adalah: 21
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual, Jakarta:P.T. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. I, hlm. 10 22 Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, Al-Madkhal Al-Fiqh Al-‘Amm, Juz III, t.t. hlm. 114 23 Ibid.
39
24
“Sesuatu yang tabi’at manusia cenderung kepadanya dan dapat diserah terimakan dan orang lain terhalang untuk mempergunakannya.” Dari ta’rif di atas dapat disimpulkan bahwa menurut kalangan jumhur, harta tidak terbatas pada materi saja, melainkan juga manfaatnya. Adapun para fuqaha’ muta’akhirin mendefinisikan harta sebagai berikut: a. Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, mengatakan yang dimaksud dengan harta adalah: 25
"
!
“Harta adalah setiap benda (‘ain) yang mempunyai nilai dan bersifat materi yang beredar di kalangan manusia”. b. Muhammad Sya’labi sebagaimana dikutip kembali oleh Mas’adi menyampaikan definisi harta sebagai berikut: 26
$&
#$
' #$
%
%$“Sesuatu yang dapat dikuasai, dapat disimpan, serta dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan.” Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa harta memiliki empat unsur,27 yaitu: a. Bersifat materi (‘ainiyah) atau mempunyai wujud nyata b. Dapat disimpan untuk dimiliki (qabilan lit-tamlik)
24
Ibid, Ibid, hlm. 118 26 Ghufron A. Mas’adi, op. Cit, hlm. 12 27 Ash-Shiddiqy, dalam pengantar fiqh muamalahnya hanya menyebutkan dua unsur harta, yaitu ‘ainiyah dan ‘urf. Selengkapnya baca Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka Rizqi Putera, 1999, hlm. 155 25
40
c. Dapat dimanfaatkan (qabilan lil-intifa’) d. ‘Urf (adat atau kebiasaan) masyarakat memandangnya sebagai harta.28 Menurut
Mas’adi
unsur
‘urf
ini
tercermin
dalam
term
mutadawilatin bainannas (beredar di kalangan masyarakat) yang disampaikan oleh Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, juga sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad Sya’labi dalam term Mu’tadan (menurut kebiasaan).29 Hal ini menunjukkan bahwa adat atau kebiasaan sangat berperan dalam menentukan apakah sesuatu itu dipandang sebagai harta atau bukan. Adat atau tradisi sebagiamana sesuatu yang berkembang dalam masyarakat tertetntu bersifat dinamis, sehingga suatu materi pada masyarakat tertentu bisa dianggap sebagai harta, namun tidak demikian pada masyarakat yang lain. Melihat unsur-unsur harta sebagaimana disebut di muka, maka unsur-unsur tersebut juga dimiliki oleh uang. Term “sesuatu” (ma) dan “materi” (‘ain), tidak menafikan uang sebagai harta (mal). Begitu juga unsur-unsur “disimpan, diserah terimakan dan bermanfaat”.30 Mata uang termasuk dalam jenis mal mitsli dan mal istihlaki huquqi. Mal mitsli yaitu benda-benda yang ada persamaan dalam satu kesatuannya dalam arti bisa berdiri sebagiannya di tempat sebagian yang lain, tanpa ada perbedaan yang perlu diperhatikan (dinilai). Adapaun yang dimaksud dengan mal istihlaki adalah sesuatu yang hanya dapat diambil 28
Ghufran A. Mas’adi, op. cit, hlm. 12 Ibid, hlm. 13 30 Ibid. 29
41
manfaat dan kegunaan secara biasa dengan cara menghabiskannya. Sedangkan uang dipandang sebagai istihlaki huquqi karena ia hanya istihlak dari segi hukum, namun bendanya masih utuh.31 Dalam pandangan al-Qur’an uang diartikan sebagai harta kekayaan dan nilai tukar bagi sesuatu. Islam memandang positif terhadap uang dan harta. Al-Qur’an memerintahkan untuk mencari fadhl Allah, yang arti harfiyahnya berarti “kelebihan yang bersumber dari Allah”. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia hendaknya mencari rezqi lebih dari kebutuhannya. Maksudnya agar kelebihan tersebut dapat menjadi motivator bagi manusia untuk beribadah secara sempurna serta mendistribusikannya kepada pihak lain yang tidak bercukupan.32 Salah satu ayat yang menunjuk hal ini adalah:
2 1 &
0(
)
*$ +
,$ -. /
)
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah.” (Q.S. 62: 10).33 Selanjutnya Allah SWT menilai harta atau uang sebagai “qiyaman”, yaitu “sarana pokok kehidupan” (Q.S. An-Nisa’: 5), di mana Islam memerintahkan untuk menggunakan uang secara baik pada tempatnya, serta tidak memboroskannya.34
31
Secara lengkap, harta dibagi menjadi sepuluh bagian yang asasi, ditinjau dari berbagai segi yang masing-masing memiliki ciri-ciri dan hukum sendiri. Untuk lebih jelasnya lihat Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, op. cit, hlm. 157-187 32 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, Cet. III, 1996, hlm. 403 33 Departemen Agama RI, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 933 34 M. Quraish Shihab, loc.cit,
42
Tidak ada dalil yang lebih tegas tentang nilai dan urgensi harta dalam pandangan Islam, selain dari diturunkannya ayat terpanjang dalam kitab Allah yang mengatur urusan harta, memelihara, menjaganya, dan memperkuat berbagai muamalahnya dengan melakukan pencatatan, persaksian, pegadaian, dan sebagainya. Ayat tersebut terkenal dengan sebutan ayat Mudayanah (utang piutang), yaitu Surat Al-Baqarah ayat 282.35 Jadi menurut pandangan syari’ah (Al-Qur’an maupun fiqh), uang termasuk ke dalam jenis harta. Namun syari’ah hanya menyebutkan kriteria-kriteria uang saja. Sedangkan mengenai ‘ain atau materinya tidak ada penentuan secara pasti. Yang penting uang tersebut harus memenuhi unsur-unsur harta sebagaimana di atas. Di dalam al-Qur’an hanya terdapat larangan untuk tidak menimbun emas dan perak (Q.S. 9:34). Walaupun dikatakan bahwa yang dimaksud dengan emas dan perak dalam ayat tersebut adalah uang, karena pada saat diturunkannya ayat itu, emas dan perak diperlakukan sebagai uang. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa uang tidak perlu mengandung emas dan perak, tapi emas dan perak menjadi standar nilai uang. Pemerintah harus memberikan jaminan terhadap uang yang tidak mengandung emas dan perak, serta harus menetapkan nilainya.36
35
Yusuf al-Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq Fil Iqtishadil Islam, terj. Didin Hafiduddin et.al.: “Peran Nilai Dengan Moral Dalam Perekonomian Islam”, Jakarta: Robbani Press, 1997, hlm. 96 36 Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Jilid. I, t.k: Dar al-Fikr, t.t., hlm. 388
43
Hal senada disampaikan oleh Al-Ghazali, bahwa peredaran uang yang sama sekali tidak mengandung emas dan perak dibolehkan, asal pemerintah menyatakannya sebagai alat bayar resmi.37 Namun tidak demikian dengan An-Nabhani menurutnya Islam memang tidak menetapkan barang tertentu sebagai asas pertukaran (mubadalat atau tabadul) untuk barang dan jasa, baik itu dalam menetapkan hukum-hukum jual-beli (bai’) dan sewa-menyewa (ijarah). Selama terdapat unsur saling ridha (taradhi), maka Islam membolehkan manusia untuk melakukan pertukaran dengan apa saja yang mereka kehendaki, baik yang dipertukarkan itu barang, jasa, atau uang.38 Hanya saja, Islam membedakan masalah pertukaran (mubadalat atau tabadul) dengan masalah mata uang (naqd) yang akan dicetak oleh negara Islam (khilafah). Dalam masalah mata uang bagi negara, Islam telah menetapkan standar tertentu sebagai asas pertukaran , yaitu emas dan perak. Dalil syara’ untuk ketentuan hukum ini dipahami dari pengaitan emas dan perak dengan hukum-hukum syara’ yang tetap dan tidak berubah-ubah. Hukum-hukum syara’ itu adalah: a. Islam mengharamkan menimbun emas dan perak. Allah SWT berfirman:
3 4 & 3! , (
5 6#
)#
4!
% 2
1
$0
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada 37 38
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz. II, Kairo: Daru Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.t., hlm. 70 Taqiyuddin An-Nabhani, loc. Cit.
44
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (Q.S. 9:34)39 Larangan pada ayat di atas tertuju pada penimbunan emas dan perak, sebagai emas dan perak, dan sebagai mata uang dan alat tukar. Pada saat ayat tersebut turun, zat emas dan perak ketika itu menjadi alat tukar (medium of exchange), satuan hitung tenaga yang terdapat dalam suatu pekerjaan dan standar manfa’at yang terdapat pada harta. Baik dalam bentuk cetakan seperti dinar dan dirham, ataupun tidak dalam bentuk cetakan atau batangan.40 Yang dimaksud dengan menimbun (al-kanz) adalah mengumpulkan sesuatu tanpa ada keperluan (hajat). Adapun mengumpulkan sesuatu karena ada suatu keperluan, disebut al-ihtikar (menabung atau menyimpan), dan hukumnya boleh, misalnya mengumpulkan emas dan perak (atau uang) untuk membayar mahar dalam pernikahan, membangun usaha, membangun rumah, pergi haji, dan sebagainya. b. Islam mewajibkan pembayaran diyat dengan emas dan perak, serta menentukan ukuran tertentu untuk masing-masingnya. Islam juga menentukan ukuran tertentu dalam bentuk emas, dalam kasus pencurian. Diyat berupa emas besarnya 1000 dinar, sedangkan diyat berupa perak besarnya 12.000 dirham. Diriwayatkan dari Ibnu Abas r.a bahwa pernah seorang laki-laki dari kabilah Bani Ady terbunuh. Lalu Nabi SAW menetapkan bahwa diyatnya adalah sebesar 12.000 dirham
39 40
Departemen Agama RI, op,cit., hlm. 283 Taqiyuddin An-Nabhani, op. Cit, hlm. 278
45
(H.R. An-Nasa’i).41 Rasulullah SAW pernah mengatakan di dalam surat beliau yang beliau kirimkan kepada penduduk Yaman: “Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta… dan terhadap pemilik emas, (ada kewajiban) sebanyak 1000 dinar.” (H.R. An-Nasa’i, dari Amru bin Hazm).42 Diriwayatkan dari A’isyah r.a bahwa Rasululah SAW bersabda, “Tangan itu wajib dipotong, (apabila mencuri) ¼ dinar atau lebih (H.R. Imam Bukhari).43 c. Rasulullah SAW telah menetapkan emas dan corak sebagai uang, dan beliau hanya menjadikan emas dan perak sajalah sebagai standar uang. Beliau telah membuat standar uang ini dalam bentuk uqiyah, dirham, daniq, mitsqal, qirath dan dinar. d. Ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah mewajibkan zakat tersebut untuk emas dan perak, dan menentukan nishabnya dengan emas dan perak juga. e. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (sharf atau money changer) yang terjadi dalam transaksi uang, hanya dilakukan dengan emas dan perak semua transaksi dalam bentuk finansial yang dinyatakan dalam Islam hanya dinyatakan dengan emas dan perak. Diriwayatkan dari Abi Bakrah r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh jual-beli emas dengan emas kecuali dengan nilai setara, dan perak dengan perak kecuali dengan nilai setara (sama nilainya). 41
235
42
An-Nasa’i, As-Sunnan Al-Kubra, Juz IV, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiah, t.t., hlm. 234-
Ibid, hlm. 234 Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz VII, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiah, t.t., hlm. 328, lihat juga An-Nasa’i, Ibid, hlm. 236 43
46
Dan jual belilah emas dan perak, dan perak dengan emas sekehendak kalian.” (H.R. Bukhari)44 Berdasarkan kelima hal di atas, maka An-Nabhani menyatakan bahwa uang tersebut harus berupa emas dan perak atau standar moneter (monetary standard)-nya berupa emas dan perak. Jadi uang dalam Islam harus berupa emas dan perak. Namun demikian ia memperbolehkan untuk melakukan pertukaran dengan selain emas dan perak, karena menurutnya masalah uang terkait dengan masalah penggunaan uang, bukan dengan masalah pertukaran.45 3. Fungsi Uang dalam Perspektif Islam Dalam hukum Islam, fungsi uang diterima secara bulat sebagai alat tukar menukar. Dalam menjalankan fungsi ini, uang dapat dipecah dalam satuan-satuan terkecil. Sedangkan barang-barang yang lain tidak bisa demikian, melainkan barang tersebut akan menjadi berkurang nilainya atau bahkan mengakibatkan kerusakan. Tetapi dalam era industri dan perdagangan seperti sekarang ini menurut ekonomi konvensional, fungsi uang tidak hanya sebagai alat tukar, melainkan sudah meluas fungsinya sebagai komoditas (hajat hidup yang bersifat terbatas) dan sebagai modal. Dikatakan bahwa uang berfungsi komoditas, karena uang kedudukannya tidak berbeda dengan barang yang dijadikan sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba). Sedangkan uang berfungsi sebagai modal, karena uang dapat menghasilkan 44 45
Ibid, Juz III, hlm. 44 Penjelasan lebih rinci, lihat Taqiyuddin An-Nabhani, op. cit, hlm. 298-301
47
sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang atau jasa. Fungi uang sebagai komoditas dan modal ini dapat dilihat dengan semakin maraknya lembaga keuangan seperti pasar modal, bursa efek dan perbankan konvensional. Fungsi uang sebagai komoditas atau modal ditentang keras oleh sebagian ekonom Islam. A. Mannan, salah seorang pakar ekonomi Islam menyatakan bahwa Islam hanya mengakui fungsi uang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi dan juga bukan sebagai modal. Karena dalam Islam uang tidak bersifat produktif.46 Demikian juga Ibnu Taimiyah menolak keras perdagangan uang. Karena menurutnya uang itu bukan suatu komoditas. Ia melarang sultan untuk berbisnis uang, dengan cara membeli tembaga dan mencetak fulus, sehingga mendapatkan keuntungan dari pencetakan tersebut.47 Dalam istilah finansial, hal ini disebut seignorage.48 Sejumlah tokoh ekonom muslim Indonesia, seperti Adiwarman A. Karim, Syafi’i Antonio dan Zainul Arifin juga bersikap dan berpandangan serupa. Adiwarman A. Karim misalnya, mengatakan bahwa semakin banyak uang yang diperdagangkan, maka akan semakin sedikit yang dapat berfungsi sebagai alat tukar. Konsekuensinya akan terjadi inflasi yang cukup
tinggi
dan
menurunnya
perdagangan
domestik,
maupun
internasional.49 Penolakan mereka terhadap fungsi uang sebagai komoditas
46
Abdul Mannan, op. cit, hlm. 163 Ibnu Taimiyah, Majmu’atu Al-Fatawa Li Syaikh Al-Islam, Jilid 29, Pakistan: Dar al-Wafa’, 2001, hlm. 256 48 Seignorage adalah selisih antara biaya pencetakan dengan nilai nominal uang yang dicetak. 49 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam (Suatu Kajian Kontemporer), Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 54 47
48
sebagai modal, semata-mata hanyalah untuk melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran dan eksploitasi dalam ekonomi tukar-menukar (barter) karena ketidakjujuran ini digolongkan sebagai riba al-fadhl yang dilarang agama. Pendapat senada disampaikan oleh M. Syafi’i Antonio bahwa uang dalam Islam hanya dipandang sebagai alat tukar, bukan komoditas atau barang dagangan. Dalam Islam hanya dikenal money demand for transaction (motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi) sedangkan money demand for speculation (permintaan akan uang untuk spekulasi atau trading) tidak dikenal dalam Islam. Uang adalah
flow
concept,
karena
itu
harus
selalu
berputar
dalam
perekonomian.50 Namun lain halnya dengan Mas’adi, ia berpendapat bahwa uang, juga berfungsi sebagai komoditas dan modal. Alasannya, karena konsep harta dalam fiqh mu’amalah meliputi harta yang bersifat alamiah dan harta dalam bentuk uang. Tidak ada perbedaan antara barang alamiah (benda) maupun uang. Demikian juga tidak terdapat keterangan dalam al-Qur’an mengenai fungsi uang, apakah hanya berfungsi sebagai alat tukar, ataukah dapat difungsikan sebagai komoditas dan sekaligus sebagai midal. Tetapi, penghalalan al-Qur’an terhadap kegiatan niaga (tijarah), selama dilakukan dengan saling rela (‘an taradhin), mengindikasikan bahwa harta (termasuk
50
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, cet. I, hlm. 185
49
uang) dapat diperdagangkan (berfungsi sebagai komoditas) dan dapat difungsikan sebagai modal untuk disewakan manfa’atnya.51 Quraisy Syihab mengatakan bahwa menurut pandangan al-Qur’an uang merupakan modal serta salah satu faktor yang penting, tetapi bukan yang terpenting. Manusia berkewajiban menggunakannya dengan baik, agar ia terus produktif dan tdak habis digunakan. Allah menjadikan uang atau harta untuk sarana kehidupan manusia, bukan untuk disimpan atau ditimbun.52 Jadi, menurut pandangan Islam, selain fungsi pokok uang sebagai alat tukar, uang juga berfungsi sebagai modal dan komoditas (fungsi pelengkap). Namun, hendaknya jangan sampai terjadi penyalahgunaan fungsi uang, di mana fungsi pokok dikalahkan oleh fungsi pelengkapnya. Karena
Islam
mengakibatkan
sangat
tidak
lahirnya
menghendaki
kesenjangan
dan
pengeksploitasian,
yang
ketidakadilan
dalam
perekonomian. C. Zakat atas Uang Zakat artinya sejumlah harta yang dikeluarkan dari orang-orang kaya dan dibagikan kepada kaum fakir miskin dengan niat melaksanakan perintah Allah SWT dan mengharap pahala dari sisinya. Dalam UU RI No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, disebutkan bahwa zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
51 52
Ghufron A. Mas’adi, op. Cit, hlm. 16-17 M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op. Cit, hlm. 406
50
muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Zakat ada dua macam, yaitu zakat fithrah dan zakat mal (harta). Zakat fithrah artinya zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim ketika berakhirnya puasa Ramadhan yang berupa makanan pokok (beras) sebanyak 1 sha’ (2,5 kg = 3,5 liter). Sedangkan zakat mal (harta) adalah zakat yang dikeluarkan dari kekayaan atau sumber kekayaan, yang mencakup emas dan perak (uang), pertanian, perdagangan, peternakan, harta galian, termasuk juga pendapatan dari profesi, usaha, investasi, dan lain-lain. Zakat mal diwajibkan pada tahun ke-9 H., sedangkan zakat fithrah pada tahun ke-2 H. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukumnya. Namun setelah tahun ke-9 H, disusunlah peraturan yang meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenai zakat, batas-batas zakat, dan tingkat persentase zakat untuk barang yang berbeda-beda.53 Dalam Bab IV pasal II ayat 2, dari UU zakat tersebut juga dinyatakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: emas, perak, dan uang, perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan, hasil pertambangan dan hasil peternakan, hasil pendapatan dan jasa, dan rikaz. Sedangkan mengenai penentuan nishab, kadar dan waktunya diserahkan kepada hukum agama.
53
Heri Sudarsono, op. Cit, hlm. 120
51
Zakat dan ushr (zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan), merupakan sumber pendapatan primer pada masa Rasulullah SAW. Namun obyek yang dikenakan zakat masih terbatas. Emas dan perak zakatnya ditentukan berdasarkan beratnya. Barang dagangan, bahan tambang, dan luqathah ditentukan berdasarkan nilai jualnya. Sedangkan hasil pertanian dan buah-buahan ditentukan berdasarkan kuantitasnya.54 Pewajiban zakat memiliki tiga landasan filosofis, yaitu: 1. Istikhlaf (penugasan sebagai khalifah di bumi) Harta benda yang dimiliki seseorang hanyalah titipan Allah SWT. seluruh alam raya dan segala isinya adalah milik Allah SWT. Titipan tersebut hanyalah sebagai sarana untuk kehidupan manusia, karena itu harus digunakan untuk kepentingan bersama, baik itu melalui zakat, infaq, dan shadaqah. 2. Solidaritas sosial Manusia tidak dapat hidup sendiri. Segala sesuatu yang diperolehnya merupakan bantuan dari orang lain, baik disadari maupun tidak. Manusia hanya mengelola bahan baku (alam seisinya) yang telah disediakan Allah SWT. Hakikatnya Allahlah pemilik segala sesuatu. Karena itu, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya kepada saudaranya yang kurang beruntung.
54
Ibid, hlm. 123
52
3. Persaudaraan Diakui atau tidak, seluruh manusia di alam ini berasal dari satu keturunan. Hubungan persaudaraan itu akan lebih kuat, dalam suatu ikatan kesamaan agama, bangsa, dan sebagainya. Hubungan itu tidak hanya sebatas take and give (mengambil dan menerima) saja, melainkan disertai dengan kerelaan untuk saling membantu tanpa pamrih, menyisihkan harta untuk saudara-saudara yang membutuhkan.55 Penentuan obyek zakat mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan ekonomi masyarakat pada umumnya. Situasi ekonomi sekarang tentunya berbeda jauh dengan keadaan ekonomi seribu tahun yang lalu. Misalnya saja tentang naqdain atau atsman (alat tukar dan standar harga). Sekian abad lamanya, termasuk di masa Rasulullah SAW, emas dan perak telah mantap posisinya sebagai alat tukar dan standar harga di seluruh dunia, berupa dinar dan dirham. Namun sekarang, mata uang tersebut sudah tidak dijumpai lagi. Perekonomian sekarang didominasi oleh uang kertas dan uang giral, cek, bilyet, dan sebagainya. Pasar uang dan valas, serta money changer merupakan suatu hal yang sudah tidak asing lagi. Dan dalam konteks seperti ini, ibadah zakat akan tetap diterapkan. Uang merupakan alat tukar langsung yang memiliki harga yang sah yang biasanya dijamin dengan persedian emas sebesar yang ditentukan
55
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 323-325.
53
oleh undang-undang. Uang ini diterbitkan oleh pemerintah atau badan yang diberi ijin oleh pemerintah untuk menerbitkannya. Zakat uang oleh mayoritas ulama disamakan dengan zakat emas dan perak. Emas dan perak merupakan logam mulia yang selain merupakan lambang elok, juga sering dijadikan perhiasan. Emas dan perak juga dijadikan mata uang yang berlaku dari waktu ke waktu. Islam memandang emas dan perak sebagai harta yang potensial berkembang. Oleh karena itu, syara’ mewajibkan zakat atas keduanya, baik berupa uang, leburan logam, bejana, souvenir, ukiran atau yang lain. Masalahnya sekarang, uang yang ada atau beredar saat ini bukanlah uang emas dan perak, bahkan sama sekali tidak disandarkan pada emas dan perak. Uang yang ada sekarang menganut sistem fiat money, di mana nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas atau perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau dibuat dari kertas). Al-Qur’an hanya mewajibkan emas dan perak saja yang harus diinfakkan sebagiannya di jalan Allah (Q.S. At-Taubah: 34). Begitu juga hadits Nabi SAW dan pendapat para ulama klasik, hanya mewajibkan zakat emas dan perak. Sedangkan mengenai uang yang ada sekarang ini, belum tersentuh hukumnya oleh ijtihad mereka. Para fuqaha telah sepakat mengenai wajibnya zakat emas dan perak.56 Dasar yang mereka gunakan adalah firman Allah:
56
Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah, t.t., hlm. 414; lihat juga Ibnu Hazm, al-Muhallah, Juz V, Beirut: Dar al-Affaq al-Jadidah, t.t., hlm. 60 dan 68; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz II, Dar al-Fikr, 1985, hlm. 317; As-Sayyid Syabiq, Fiqh As-Sunnah,
54
3 73 4 & 3! , ( 3
%$5 6#
! 3! 58 35
35! 2
;
)#
5 1
4!
$ 35 $0
% 9
5:
% $ 3$
3 #
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (Q.S. 9: 34-35).57 Adapun dasar kewajiban zakat emas dan perak yang terdapat dalam hadits Nabi SAW, adalah sunnah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a:
5
=
35
)
4! 4 /
9 5: 9 6
3
9
< 13:
>?#/ : 58
3:
: < &
: ( #/
6 3
58
$5
(
:/ (
)6 $
56 5 @ A
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang yang memiliki emas dan perak yang dia tidak mengeluarkan zakatnya kecuali harta tersebut akan dipanaskan dalam neraka Jahannam kemudian disetrikakan dilambungnya, keningnya dan punggungnya, sampai Allah SWT selesai menghukumi di anatara hamba-hamba-Nya pada suatu hari yang kadarnya sama dengan 50.000 tahun”. (H.R. Muslim). Menurut Abdurrahim dan Mubarok, yang dimaksud “menyimpan” dalam ayat tersebut adalah tidak mau memberikan zakatnya. Jadi semua
Jilid I, Kairo: Dar al-Fath, hlm. 433; Wahabah Az-Zuhaili, Alfiqhu al-Islami wa Adillatu, Juz III, Dar Al-Fikr, hlm. 1819 57 Departemen Agama RI, op. cit, hlm. 283 58 Ibnu Qudamah, loc. cit.
55
emas dan perak termasuk perhiasan yang dimiliki, kalau sudah mencapai nishab harus dizakati.59 An-Nabhani menyatakan bahwa kata emas dan perak dalam ayatayat al-Qur’an maupun ketentuan-ketentuan syara’, bisa berarti dua macam: untuk uang yang dipergunakan dalam berbagai transaksi, baik berupa tembaga, maupun uang kertas, yang dijamin dengan emas dan perak, serta berarti untuk emas dan perak itu sendiri.60 Itulah sebabnya sehingga para ulama kontemporer menjadikan ayat tersebut sebagai dasar hukum diwajibkannya zakat uang. Menurut mereka, mata uang yang berlaku pada masa sekarang di masing-masing negara termasuk dalam kategori emas dan perak. Begitu juga segala bentuk penyimpanan uang seperti tabungan, deposito, cek, saham atau surat berharga lainnya. Sehingga penentuan nishab dan besarnya zakat disetarakan dengan emas dan perak. Kekayan lainnya seperti, rumah, villa, kendaraan, tanah dan lain-lain, yang melebihi keperluan menurut syara’ dan dibeli atau dibangun dengan tujuan menyimpan uang dan sewaktu-waktu dapat diuangkan juga diwajibkan zakat. Para ulama salaf berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya zakat atas uang kertas (An-Nuqud al-Waraqiyah). Jumhur fuqaha yaitu
59
Abdurrahim dan Mubarok, Zakat dan Peranannya dalam Pembangunan Bangsa serta Kemaslahatannya Bagi Umat, Bandung: Surya Handayani Pratama, 2002, cet. I, 39 60 Taqiyuddin An-Nabhani, op. Cit, hlm. 302
56
Hanafi, Maliki dan Syafi’i, menetapkan bahwa uang kertas tersebut wajib dikeluarkan zakatnya. Namun tidak demikian dengan madzhab Hanbali.61 Madzhab Syafi’i mengatakan: Uang kertas sama dengan hutang bank, selama bank belum menginvestasikannya. Bank sebagai pemilik dari nilai hutang dan bank sebagai tempat yang siap membayar, maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakatnya. Tidak adanya ijab dan qabul tidak membatalkannya, karena itu sudah menjadi tradisi. Hal itu karena menurut sebagian ulama syafi’i yang dimaksudkan dengan ijab dan qabul adalah kerelaan (ridha), baik dalam perkataan atau perbuatan. Dan keridhoan di sini benar-benar telah nyata. Madzhab Hanafi berkata: “Uang kertas – hutang bank – termasuk dalam jenis hutang, kecuali jika dimungkinkan untuk ditukarkan dengan perak secara langsung, maka wajib zakat atasnya langsung.” Sedangkan Madzhab Maliki berpendapat: “Nota bank walaupun dalam bentuk kwitansi hutang, jika dapat diwujudkan dengan perak secara langsung, dan mengambil alih kedudukan emas dalam pergaulan tukar-menukar (mu’amalah), maka wajib atasnya zakat, lengkap dengan syarat-syaratnya.” Madzhab Hanbali menetapkan bahwa tidak wajib zakat atas uang kertas. Mereka mengatakan: “Tidak diwajibkan zakat atas uang kertas kecuali jika dapat ditukarkan dengan emas atau perak dan terdapat syarat-syarat zakat padanya.”62 61
Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hlm. 1834 Abdur Rahman al-Jaziri, Kitab Al-Fiqhi Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz I, Mesir: ALMaktabah at-Tijarah al-Kubra, t.t., hlm. 605-606 62
57
Az-Zuhaili mengatakan bahwa alasan madzhab Hambali tidak mewajibkan zakat atas uang kertas, karena ia tidak dapat ditukarkan langsung dengan emas dan perak, dianalogikan dengan penerimaan hutang. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pengqiyasan jenis uang tersebut dengan hutang adalah salah. Dalam hutang, pemiliknya (ad-da’in) tidak bisa memanfaatkan uang yang dihutangkan tersebut, sehingga para fuqaha’ tidak mewajibkan zakat atasnya sampai hutang tersebut diterima oleh orang yang menghutangkan. Namun tidak demkian dengan uang, di mana pemilik uang dapat memanfaatkannya, sebagaimana pemanfa’atan emas sebagai harga dari segala sesuatu. Jadi dalam penentuan hukum zakat atas uang yang ada sekarang, masih terjadi ikhtilaf di kalangan para fuqaha’. Hal tersebut tergantung dari sudut mana serta bagaimana cara pandang atau persepsi mereka terhadap uang itu sendiri. Metode istinbath mereka juga ikut andil dalam penetapan hukum zakat uang. D. Nishab dan Kadar Zakat Uang 1. Nishab Zakat Uang Yang dimaksud dengan nishab adalah ketentuan minimal untuk harta yang diwajibkan zakatnya.63 Rahman menjelaskan bahwa dalam
63
Sofyan Syafri Harahap, Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam, Jakarta: Pustaka Quantum, 2001, cet. I, hlm. vii
58
Islam setiap jenis harta telah ditentukan batas pembebasannya yang disebut dengan nishab.64 Adapun nishab bagi emas adalah 20 mitsqal atau 20 dinar.65 Haditshadits yang menerangkan tentang hal ini adalah sebagai berikut:
1
9:
- )
3/
9
B
&
9
9 66
D –
C A/
(
0 <3!
,
9<
3!
$?
Diceritakan dari Abu Bakr Bin ‘Iyasy dari Ishaq dari ‘Ashim bin Dhamrah dari Ali, ia berkata: “Pada setiap dua puluh dinar (dikeluarkan zakatnya) sebesar setengah dinar dan setiap empat puluh dinar (zakatnya) satu dinar dan setiap dua ratus dirham sebesar lima dirham.” (H.R. Abu Dawud).
3! (
( :/ 9
D1
1 ,? A/
D –
A: (
/
,
E . 67
3:
: &
Telah menceritakan pada kami Bakr bin Khalaf dan Muhammad bin Yahya, keduanya berkata Abdullah bin Musa telah bercerita bahwa Ibrahim bin Isma’il telah mengabarkan kepadanya, diriwayatkan dari Abdillah bin Waqid, dari Ibnu Umar dan A’isyah, bahwasannya Nabi SAW. mengambil (zakat) pada setiap dua puluh dinar atau lebih, setengah dinar dan dari empat puluh dinar satu dinar. Hadits yang pertama menurut Abu Ubaid merupakan hadits marfu’68, sedangkan hadits yang ketiga, dinyatakan dha’if oleh Ibnu Majah, karena dha’ifnya Ibrahim bin Isma’il.69 64
Afzanur Rahman, Ecomic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo Nastangin, “Doktrin Ekonomi Islam, Jilid. III, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2002, cet. II, hlm. 264 65 Lihat Abu Ubaid, op.cit, hlm. 413; Ibnu Qudamah, op.cit., hlm. 319; Ibnu Hazm, op.cit., hlm. 66; As-Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 434; Wahbah az-Zuhaili, op.cit., hlm. 1820 66 Ibid. 67 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Dar al-Fikr, t.t., hlm. 571 68 Hadits Marfu’ yaitu hadits (khabar) yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik muttashil sanadnya maupun tidak muttashil yaitu ada putus pada sanadnya. Jika putus pada satu tempat atau
59
Mengenai berapa sebenarnya ukuran mitsqal atau dinar para ulama fiqh berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi, 1 mitsqal = 5 gr. Bank Islam Faishal di Sudan mengatakan 1 mitsqal = 4,457 gr atau 4,25 gr. Sedangkan golongan Hanbali mengatakan bahwa ukuran dinar lebih kecil dari mitsqal. Sehingga besarnya nishab emas = 25 2/7 + 1/9 dinar. Ukuran 20 mitsqal atau 20 dinar juga disamakan dengan 14 Lira emas Utsmaniyah atau 15 Lira emas Prancis, 12 Lira Inggris dan disamakan dengan 100 gr untuk mitsqal Irak, 96 gr mitsqal a’jam, sedangkan menurut Jumhur 20 dinar = 91 23/25 gr.70 Adapun menurut Imam Malik dalam al-Muwaththa’ 20 dinar itu sama dengan 280 4/7 dirham menurut kurs dirham Mesir.71 Afzalur Rahman mengatakan bahwa 20 dinar = 7 ½ tolas.72 Pendapat senada juga dikemukakan oleh Triyuwono, di mana 7,5 tolas kalau dikonversikan dengan timbangan sekarang, seberat 3 ons.73 Namun Mursyidi berpendapat bahwa 20 dinar itu seukuran dengan 85 gr emas74 dan pendapat ini didukung oleh Jati.75 Untuk perak, para fuqaha’ menetapkan nishabnya sebesar 200 dirham, dan tidak ada ihtilaf di kalangan para ulama mengenai hal ini. Adapun hadits Nabi SAW yang menjelaskan tentang hal ini adalah: lebih secara tidak beriringan, namanya munqathi’ dan jika putus pada dua tempat secara beriringan dinamanakan mu’dhal. Lebih jelasnya lihat Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, op. cit, hlm. 171 69 Ibnu Majah, loc. cit. 70 Wahbah Az-Zuhaili, loc.cit. 71 As-Sayyid Sabiq, loc.cit. 72 Afzalur Rahman, op. Cit, hlm. 282 73 Iwan Triyuwono, op. Cit, hlm. 32 74 Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 96 75 Sigit Purnawan Jati, op. Cit, hlm. 125
60
9 "
<1
3:
: (
:/ 9
@
-
& 9 < F, 3!
$?
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudhri dari Nabi SAW., beliau bersabda: “Tidak ada (kewajiban zakat) untuk yang lebih sedikit dari dua ratus dirham.”
" "
"
<1
/
3:
: (
" 76
3:
-
:/ ( "
7 /
/ B $
B
B
Diriwayatkan dari Jabir dari Rasulullah SAW. beliau bersabda: “Tidak ada kewajiabn zakat untuk perak yang kurag dari lima uqiyah, tidak wajib zakat untuk unta yang kurang dari lima ekor, dan tidak wajib zakat untuk kurma yang kurang dari lima wasaq.” (H.R. Muslim) Madzhab Hanafi mengatakan ukuran 200 dirham dengan 700 gr. Sedangkan Jumhur menyamakannya dengan 642 gr. Namun telah disepakati bahwa ukuran dirham yang digunakan adalah dirham syar’i, yaitu ukuran yang digunakan untuk menentukan nishab zakat, ukuran jizyah, diyat dan nishab pemotongan tangan pencuri pada masa Nabi SAW. Sehingga ukuran tersebut harus disesuaikan dengan dirham Arab (timbangan Makkah). Tetapi, dalam menentukan ukuran inipun para ulama masih juga berbeda pendapat. Madzhab Hanafi mengatakan bahwa 1 dirham itu sama dengan 3,5 gr, Jumhur menyetarakannya dengan 3,208 gr, sedangkan menurut dirham Arab ukuran 1 dirham = 2,975 gr, dan 1 dinar = 85 gr. Pendapat terakhir inilah yang lebih utama.77 Afzalur Rahman dan
76 77
Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 267 Wahbah az- Zuhaili, loc. Cit.
61
Triyuwono mengatakan bahwa 200 dirham itu setara dengan 52,5 tolas atau 21 ons.78 Dumairi mengatakan bahwa 1 dirham sama dengan 6 daniq, sedangkan setiap 10 dirham setara dengan 7 mitsqal. Sejak zaman Jahiliyah sampai datangnya Islam ukuran mitsqal ini tidak berubah. Golongan Hadawiyah berpendapat bahwa nishab perak sebanding dengan 13 qursy dan 15 qursy. Adapun menurut pendapat golongan Hanafi, nishab perak kira-kira 20 qursy lebih sedikit, dan nishab emas kurang lebih 20 qursy.79 Jadi mengenai ukuran dari dirham dan dinar ini, masih terjadi perselisihan di antara para fuqaha’. Sedangkan Az-Zuhaili mengesahkan untuk menentukan ukuran dirham dan dinar tersebut, sesuai dengan ukuran yang berlaku di negara masing-masing.80 Mengenai besarnya nishab bagi zakat uang yang berlaku sekarang, yaitu mencakup uang logam dan juga uang kertas, yang tidak disandarkan pada emas dan perak, ada beberapa pendapat. Menurut Az-Zuhaili nishabnya disamakan dengan emas yaitu sebesar 20 dinar atau 20 mitsqal. Seseorang yang memiliki uang seharga 20 dinar, maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakat. Ia menyandarkan nishab uang dengan nishab emas, karena menurutnya nishab emas setara dengan nishab hewan ternak, sejalan dengan perkembangan zaman serta sesuai dengan kebutuhan. Di samping
78
Afzalur Rahman, op. Cit, hlm. 166, lihat juga Imam Triyuwono, loc. Cit. Ash-Shan’ani, op.Cit., hlm.261 80 Wahbah az- Zuhaili, op.Cit, hlm. 1821 79
62
itu ia menentukan nishab yang seharga 85 gr emas atau 595 gr perak, di mana 1 dirham Arab = 2,975 gr perak.81 Abidin sebagaimana dikutip oleh Abdurrahim menyebutkan bahwa nishab zakat uang setara dengan 94 gr emas atau 672 gr perak. Adapun Rifa’i
dalam
bukunya
“Tarjamah
Khulashah
Kifayatul
Akhyar”,
mengatakan bahwa 20 dinar itu sebanding dengan kira-kira 96 gr emas dan ukuran inilah yang digunakan untuk nishab zakat uang.82 Rahman mengemukakan bahwa uang selain yang terbuat dari emas dan perak, yang digunakan untuk berbelanja pribadi tidak dikenakan zakat. Hanya mata uang yang terbuat dari emas dan perak saja yang dikenai zakat.83 Mursyidi mengatakan bahwa nishab zakat uang adalah sebesar nilai pengganti atau harga emas seberat 85 gr. Sedangkan uang yang dizakati adalah uang yang ada di tangan muzakki (cash on hand), maupun uang yang tersimpan di bank (cash at bank) apapun jenis uangnya.84 Selain mereka banyak juga ulama-ulama muta’akhirin yang menetapkan nishabnya dengan nishab perak. Mereka berargumen bahwa penyandaran nishab dengan perak akan lebih bermanfaat bagi para fuqara’, sebagai upaya berhati-hati (ihtiyath) terhadap hutang, serta sesungguhnya nishab perak telah disepakati dan ditetapkan dengan sunnah yang shahih.
81
Ibid, hlm. 1834 Abdurrahim dan Mubarok, op. Cit, hlm. 41 83 Afzalur Rahman, op. Cit, hlm. 265 84 Mursyidi, loc, Cit. 82
63
2. Kadar Zakat Uang Kadar wajib bagi zakat uang (emas dan perak) adalah 1/40 atau 2,5%.85 Para fuqaha’ tidak ada perselisihan mengenai hal ini. Karena besarnya kadar yang harus dikeluarkan zakatnya sudah ditetapkan dengan sunnah Rasulullah SAW sebagai berikut:
3 !
#
<3:
&
: ( ,&
86
:/ (
1
$!
@
@
7B
$
–
9: /
/
7 !
Diceritakan dari Ali, ia berkata bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku memaafkan (tidak mewajibkan) kalian (untuk mengambil) zakat dari kuda dan hamba sahaya (budak). Akan tetapi berikanlah (keluarkanlah zakat) 1/40-nya, yaitu setiap empat puluh dirham satu dirham.”(H.R. Ibnu Majah dan dibenarkan oleh Tirmidzi dan Bukhari)
3: &
: (
:/ 9
1 ,? A/
-
(
/
, 87
E 7
Diriwayatkan dari Abdillah bin Waqid, dari Ibnu Umar dan A’isyah, bahwasannya Nabi SAW. mengambil (zakat) pada setiap dua puluh dinar atau lebih, setengah dinar dan dari empat puluh dinar satu dinar. (H.R. Ibnu Majah) Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa bila perak telah mencapai 200 dirham, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 5 dirham. Begitu pula bila emas telah mencapai 20 dinar, maka zakat yang harus dikeluarkan sebesar ½ dinar.
85
Lihat Ibnu Qudamah, op. cit., hlm. 320; Ibnu Hazm, op. cit., hlm. 63; Ash-Shan’ani, op. cit., hlm. 261; As-Sayyid sabiq, op. cit., hlm. 434-435; Wahbah Az-Zuhaili, Ibid, hlm. 1822; lihat juga Abdurrahim dan Mubarok, Zakat dan Peranannya dalam Pembangunan Bangsa serta Kemaslahatan bagi Umat, Bogor: Surya Handayani Pratama, 2002, hlm. 42 86 Ibnu Majah, Sunnah Ibnu Majah, Juz I, Beirut: Dar al-Jaili, hlm. 546 87 Ibnu Majah, op. cit, hlm. 547
64
Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana hukumnya, bila kurang dari nishab atau lebih dari nishab. Para ulama pada umumnya sepakat bahwa bila emas atau perak ataupun uang yang belum mencukupi nishab, maka tidak akan dikenakan zakat. Mereka berpegang pada hadits:
4!
6D
,
9 "
1
88
3:
: (
7 / 3!
:/ 9
$?
Diceritakan dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Tidak ada (tidak wajib) zakat untuk emas yang kurang dari dua puluh mitsqal dan yang kurang dari dua ratus dirham.” (H.R. Abu Ubaid) 89
F, 3!
$?
"
<1
3:
: (
:/ 9
9:
Diriwayatkan dari Ali, dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Tidak wajib (mengeluarkan zakat) dari sesuatu apapun yang kurang dua ratus dirham.” Adapun bila melebihi nishab, para fuqaha’ berbeda pendapat. Menurut ulama Hanafiyah bila lebih 40 dirham, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1 dirham. Begitu pula pada dinar. Kelebihan pada nishab dinar tidak diperhitungkan zakatnya, kecuali bila kelebihannya tersebut mencapai 4 dinar. Dalil yang mereka pakai adalah hadits Nabi SAW:
"3!
!
"
&
“Dari setiap empat puluh dirham (dikeluarkan zakatnya) sebesar satu dirham.” Jumhur fuqaha’ mengatakan bahwa kelebihan dari nishab akan diperhitungkan zakatnya sesuai dengan kelebihannya tersebut. Mereka berpedoman pada hadits: 90
88
Abu Ubaid, op. cit., hlm. 414 Ibnu Hazm, op. cit, hlm. 60 90 Wahbah Az-Zuhaili, op. cit, hlm. 1824 89
"G
4
%
"
65
“Maka jika bertambah, dihitung (sesuai dengan kelebihannya) tersebut.” E. Syarat Wajib Zakat Uang Kekayaan (uang) wajib dizakati bila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:91 1. Milik penuh, artinya harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaannya secara penuh dan dapat diambil manfaatnya secara penuh. Harta tersebut didapatkan melalaui proses pemilikan yang dibenarkan menurut syari’at Islam. Bila suatu barang tidak memenuhi syarat ini, maka tidak wajib dizakati, misalnya: barang dagangan yang belum diterima oleh pedagangnya, barang yang hilang, harta yang menjadi milik umum, tanah wakaf dan harta yang diperoleh dengan cara yang haram. 2. Berkembang,
artinya
harta
tersebut
dapat
bertambah
atau
berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang. Maksudnya adalah meningkatnya jumlah harta atau kekayaan akibat dari perdagangan dan pembiakan, bukan hasil dari penggunaan harta seperti melakukan investasi yang menghasilkan dividen dan harta untuk menghasilkan pendapatan. 3. Cukup nishab, artinya harta tersebut telah mencapai jumlah sesuai dengan ketetapan syara’. Sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari zakat dan dianjurkan mengeluarkan infaq serta shadaqah. 4. Lebih dari kebutuhan pokok, kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. 5. Bebas dari hutang, orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama 91
Az-Zuhaili hanya menyebutkan 4 syarat, yaitu: sampai nishab, mencapai haul, bebas dari hutang dan lebih dari kebutuhan pokok (tambahan dari Iman Hanafi). Untuk lebih jelasnya baca Wahbah Az-Zuhaili, Ibid, hlm. 1835
66
(dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat. 6. Berlaku satu tahun (haul), persyaratan berlaku 1 tahun hanya diterapkan pada zakat modal, seperti ternak, uang dan harta benda dagang.92 Adapun hadits yang menjelaskan tentang syarat tersebut adalah:
:
3!
$? G
, G <
$ 4! A/
<1
3:
9 & F, G : "
5#
: (
:/ 9 3!
:
9: 5#
, G 93
E 965
Diceritakan dari Ali, dari Nabi SAW. beliau bersanda: “Jika kamu mempunyai dua ratus dirham, dan telah mencapai haul, maka wajib (zakat) di dalam (dua ratus dirham tersebut), sebesar lima dirham. Dan tidak wajib bagimu sesuatupun, yakni bagi emas sehingga kamu mempunyai dua puluh dinar, yaitu ketika kamu memiliki dua puluh dinar dan telah mencapai haul, maka wajib (ditunaikan zakatnya) sebesar setengah dinar.” (H.R. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad yang baik) F. Hikmah Zakat Uang Zakat diterapkan atau diwajibkan pada kaum muslimin, karena zakat mengandung hikmah yang sangat banyak sekali. Di antara hikmah-hikmah tersebut antara lain: 1. Hikmah yang dapat dikembalikan kepada pihak pemberi: a) Dapat membersihkan diri dari sifat kikir dan tamak terhadap harta. b) Dapat membiasakan diri dan mendekatkan diri kepada Khaliq. c) Dapat melaksanakan kesyukuran hamba kepada Pemberi nikmat. 92 93
Mursyidi, op. cit, hlm. 91-94 Wahbah az-Zuhaili, op. cit, hlm. 1822
67
2. Hikmah bagi penerima zakat: a) Dapat memenuhi kebutuhan pihak penerima yang betul-betul memerlukan. b) Dapat memotivasi penerima untuk melaksanakan kebajikan seperti itu. 3. Hikmah yang kembali kepada harta itu sendiri: a) Harta dapat difungsikan sebagai nikmat Allah dan manifestasi kesyukuran hamba kepada Khaliknya. b) Uang dijadikan sarana untuk mencapai tujuan hidup masyarakat, bukan sebagai tujuan hidup dalam masyarakat. 4. Hikmah yang kembali kepada pihak pemberi, penerima dan masyarakat: a) Terjadinya hubungan yang baik antara fuqara, masakin dan aghniya. b) Terpenuhinya sebagian keperluan masyarakat. c) Dapat mengurangi jurang pemisah atau gap dan kecemburuan sosial di dalam masyarakat.94
94
IAIN Raden Intan, Pengelolaan Zakat Mal Bagian Fakir Miskin Suatu Pendekatan Operatif, Lampung: IAIN Raden Intan, 1990, hlm. 77-78