13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI
A. Pengertian Gadai Manfaat berarti guna, faedah. Manfaat juga diartikan sebagai laba, untung. Sedangkan kata “pemanfaatan” mempunyai arti proses, cara, perbuatan memanfaatkan.1 Barang diartikan sebagai benda umum (segala sesuatu yang berwujud atau yang berjasad), semua alat poerkakas rumah, perhiasan dan sebagainya. Barang juga diartikan sebagai sesuatu, segala sesuatu (untuk menyatakan segala yang kurang terang).2 Gadai menurut bahasa berarti menggadaikan, merungguhkan
-َﺭ َﻫ َﻦ
ُﺭ ْﻫﻨًﺎ-ُ َﻳ ْﺮ َﻫﻦatau jaminan (borg). Gadai juga bisa diartikan dengan kata ﺲ َ َﺣَﺒyang berarti penahanan, memenjarakan. Sementara secara etimologis 3
4
gadai berarti tetap atau lestari.5 Sedangkan barang gadai adalah barang yang dijadikan tanggungan hutang. Jadi, pemanfaatan barang gadai adalah perbuatan memanfaatkan barang yang dijadikan tanggungan hutang.
1
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 555 2 Ibid., hlm. 80 3
A.W. Munawir, Kamus Al Munawir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hlm. 542 4
Ibid., hlm. 231.
5
Chairuman Pasaribu & Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1996, hlm. 139.
13
14
Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam buku Suplemen Ensiklopedi Hukum Islam, kata Rahn berasal dari kata “Ar” yang berati tetap, kekal, sinambung dan tertahan.6 Di dalam firman Allah surat Al Mudatsir 38, al habsu nama lain dari gadai berarti
.(٣٨ ﺖ َﺭ ِﻫْﻴﻨَﺔ )ﺍﳌﺪﺛﺮ ْ ﺴَﺒ َ ﺲ ِﺑﻤَﺎ ﹶﻛ ٍ ﹸﻛﻞﱡ َﻧ ﹾﻔ “Tiap-tiap pribadi terikat (tertahan) dengan atas apa yang telah diperbuatnya”.7 Menurut Susilo, gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seseorang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berhutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.8 Pengertian gadai menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ gadai berarti menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.9
6
Abdul Aziz Dahlan, Suplemen Ensiklopedi Islam 2 (l-z), Jakarta: PT. Ikhtisar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 118. 7
Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Penafsir al-Qur'an, al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: 1971, hlm. 995. 8 9
M. Solikhul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, hlm. 16.
Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonosra, 2003, hlm. 153.
15
Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rohn ialah:10
ُﺱ ﻣَﺎ ٍﻝ ِﻟ َﻮﻓﹶﺎ َﺀ َﺣ ﱢﻖ ُﻳ ْﻤ ِﻜﻦُ ﺍ ْﺳِﺘْﺒﻔﹶﺎ ُﺀ ُﻩ ِﻣﻨْﻪ ُ ﺿ ْﻮ ُﻋ ُﻪ ﺍ ْﺣِﺘﺒَﺎ ُ َﻋ ﹾﻘ ُﺪ َﻣ ْﻮ “Akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya”. Ar Rahn juga berarti:
ﺤْﻴﺚﹸ ﻳُ ْﻤ ِﻜﻦُ ﹶﺃﺧْﺬﹸ َ ﻉ َﻭِﺛْﻴ ﹶﻘ ٍﺔ ِﺑ َﺪْﻳ ٍﻦ ِﺑ ِ َﺟ َﻌ ﹶﻞ َﻋْﻴ ِﻦ ﹶﻟ َﻬﺎِﻗْﻴ َﻤ ﹸﺔ ﻣَﺎِﻟﱠﻴ ﹲﺔ ﻓِﻰ َﻧ ﹾﻈ َﺮ ﺍﻟﺸﱠﺎﺭ ١١ .ﻚ ﺍﹾﻟ َﻌْﻴ ِﻦ َ ﻀ ِﻪ ِﻣ ْﻦ ِﺗ ﹾﻠ ِ ﻚ ﺍﻟ ﱠﺪْﻳ ِﻦ ﹶﺍ ْﻭ ﹶﺍ ْﺧ ﹶﺬ َﺑ ْﻌ َ ﺫِﻟ “Menjadikan suatu benda berharga dalam pendangan suara’ sebagai jaminan atas utang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.” Jaminan (borg) atau rungguhan ialah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguatan kepercayaan berpiutang dalam utang piutang.”12 Barang gadaian tersebut boleh dijual (dilelang) apabila seorang yang berpiutang tidak bisa membayar utangnya dan penjualan barang tersebut hendaklah dengan keadilan (dengan harga yang berlaku di waktu itu). Menurut Masjfuk Zuhdi, gadai adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.13 Ulama Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa rahn sebagai yang menjadikan materi
10
Hendi Suhendri, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Hak Milik, Fungsi Harta, Etika: Jual Beli, Hutang Piutang dan Gadai, Bunga Bank dan Riba, Koperasi, Asuransi dan Lain-lain, Jakarta: raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 105-106. 11
Ibid., hlm. 106.
12
Sulaiman Dasyid, Fiqh Islam, Jakarta: At Tahiriyah, 1973, hlm. 295.
13
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997, hlm. 123.
16
(barang)
sebagai jaminan terhadap uang yang terpaksa dapat dijadikan
pembayar utang apabila rahin tidak dapat membayar utangnya.14 Menurut Imam Abu Zakariya al Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn adalah “menjadikan benda yang bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar.”15 Sedangkan menurut Imam Taqiyyudin Abu Bakar al Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar fi Halli al Ikhtisar, definisi rahn adalah “akad atau perjanjian utang piutang dengan menjadikann harta sebagai kepercayaan atau penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.”16 Rahn atau gadai yaitu penitipan barang kepada orang lain dengan tujuan untuk beroleh satu pinjaman dan barang tersebut digadaikan seperti titipan untuk memperkuat jaminan pinjamannya. Selanjutnya H. Moh Anwar merumuskan “gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan (barang) utang
dan
dapat
dijual
bilamana
yang
menggadaikannya
tidak
membayarnya.”17 Dalam gadai benda hanya berfungsi sebagai jaminan dan barang tersebut harus benda yang ada pada murtahin (yang menerima gadaian)
14
Abdul Aziz Dahlan, Op-Cit. , hlm. 119
15
Imam Abu Zakariya al Anshari, Fathul Wahhab, Semarang; Thoha Putra, hlm.193
16
Imam Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayati al Ikhtisar, Semarang: Thoha Putra, hlm. 263 17
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001, hlm 470.
17
sebagai barang amanat, akan tetapi biaya pemeliharaan tetap menjadi tanggungan rahin (yang menggadaikan). Dalam hukum Romawi, hak gadai dinamakan “fiducia” yaitu berupa suatu pemindahan hak milik dengan perjanjian bahwa benda itu akan dikembalikan apabila siberhutang sudah membayar hutangnya. Selama hutang dibayar, orang yang menghutangkan menjadi pemilik benda yang menjadi tanggungan.18 Menurut Syafi’i Antonio Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimannya.19 Dalam KUH Perdata buku II bab XX Pasal 1150 pengertian gadai adalah “suatu hak yang diperoleh oleh seseorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”20 Hukum perjanjian gadai dibolehkan oleh Islam seperti yang tercantum dalam firman Allah SWT.:
18
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1985, hlm. 78.
19
M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 128. 20
R, Subekti & R. Tjitrisudinyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 1999, hlm. 297.
18
ﺿ ﹲﺔﻗﻠﻰ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺃ َﻣ َﻦ َﺑ ْﻌﻀُﻜﹸ ْﻢ َ ﺠ ُﺪﻭْﺍ ﻛﹶﺎﺗِﺒًﺎ ﹶﻓ ِﺮ َﻫﻦُ َﻣ ﹾﻘُﺒ ْﻮ ِ َﻭِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛْﻨُﺘ ْﻢ َﻋﻠﹶﻰ َﺳ ﹶﻔ ٍﺮ َﻭﹶﻟ ْﻢ َﺗ ﺸﻬَﺎ َﺩ ﹶﺓﻗﻠﻰ َﻭ َﻣ ْﻦ ﷲ َﺭﺑﱠ ُﻪﻗﻠﻰ َﻭ ﹶﻻ َﺗ ﹾﻜُﺘ ُﻤﻮْﺍ ﺍﻟ ﱠ ُ َﺑ ْﻌﻀًﺎ ﹶﻓ ﹾﻠُﻴ َﺆﺩﱢ ﺍﻟﱠ ِﺬﻯ ﹶﺍ ْﺅُﺗ ِﻤ َﻦ ﹶﺃ َﻣَﻨَﺘﻪُ َﻭﹾﻟَﻴﱠﺘ ِﻖ ﺍ (٢٨٣ :ﷲ ِﺑﻤَﺎ َﺗﻌْ َﻤﻠﹸﻮْ ﹶﻥ َﻋِﻠْﻴ ٌﻢ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ُ َﻳ ﹾﻜُﺘ ْﻤ َﻬﺎ ﹶﻓِﺈﱠﻧﻪُ ﹶﺍِﺛ ٌﻢ ﹶﻗ ﹾﻠﺒُﻪُﻗﻠﻰ ﻭَﺍ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpindah utang). Akan tetapi jika sebagian kami mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesuangguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”21 Gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh orang yang menggadaikan (rahin) sebagai jaminan atas utangnya dan barang gadaiannya dapat dijual atau dilelang oleh pihak pegadaian (murtahin) apabila nasabah tidak dapat melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Hak kebendaan yang memberi jaminan senantiasa tertuju pada benda orang lain, baik itu benda bergerak maupun benda tak bergerak. Apabila jaminan tersebut berupa benda tak bergerak maka hak kebendaan tersebut berupa hipotik, sedangkan apabila benda jaminan tersbut berupa benda bergerak maka hak kebendaan tersebut berupa gadai.22
21 22
Al-Qur'an dan Terjemahannya, Op. Cit., hlm. 71.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 97.
19
Gadai juga bisa diartikan hak atas benda bergerak milik si berutang yang diserahkan ke tangan si pemiutang sebagai pelunasan utang si berutang tersebut.
B. Dasar Hukum Gadai Menurut Zainuddin bin Abdul Aziz, hukum Rahn atau gadai adalah sah, yaitu menjaminkan barang yang dapat dijual sebagai jaminan utang, kelak akan dibayar darinya jika si pengutang tidak mampu membayar utangnya karena kesulitan. Oleh karena itu, tidak boleh menggadaikan barang wakaf dan ummul walad (budak perempuan yang punya anak dari tuannya).23 Perjanjian hukum gadai adalah jaiz (boleh) menurut Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat al baqarah 283:
ﺿ ﹲﺔﻗﻠﻰ ﹶﻓِﺎ ﹾﻥ ﹶﺍ َﻣ َﻦ َﺑ ْﻐﻀُﻜﹸ ْﻢ َ ﺠ ُﺪﻭْﺍ ﻛﹶﺎﺗِﺒًﺎ ﹶﻓ ِﺮ َﻫﻦُ ﱠﻣ ﹾﻘُﺒ ْﻮ ِ َﻭِﺇ ﹾﺫ ﹸﻛْﻨُﺘ ْﻢ َﻋﻠﹶﻰ َﺳ ﹶﻔ ٍﺮ َﻭﹶﻟ ْﻢ َﺗ ﺸﻬَﺎ َﺩ ﹶﺓﻗﻠﻰ َﻭ َﻣ ْﻦ ﷲ َﺭﺑﱠ ُﻪﻗﻠﻰ َﻭ ﹶﻻ َﺗ ﹾﻜُﺘ ُﻤ ْﻮﺍ ﺍﻟ ﱠ ِ َﺑ ْﻌﻀًﺎ ﹶﻓ ﹾﻠﻴُ َﺆ ﱢﺩ ﺍﱠﻟﹼّﺬِﻯ ﺍ ْﺅﺗُ ِﻤ َﻦ ﹶﺍﻣَﺎَﻧَﺘﻪُ َﻭﹾﻟَﻴﱠﺘ ِﻖ ﺍ .ﷲ ِﺑﻤَﺎ َﺗﻌْ َﻤﻠﹸﻮْ ﹶﻥ َﻋِﻠْﻴ ٌﻢ ُ َﻳﻜﹾﺘُﻤُﻬَﺎ ﹶﻓِﺈﱠﻧﻪُ ﺀَﺍِﺛﻢُ ﹶﻗ ﹾﻠُﺒ ُﻪﻗﻠﻰ َﻭﺍ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpindah utang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesunguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”24 23
Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani, Terjemahan Fathul Mu’in, Terj. K.H. Moch Anwar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994, hlm. 838 24
Al-Qur'an dan terjemahannya, Op. Cit., hlm. 71.
20
Bedasarkan ayat di atas, bahwa dalam melakukan kegiatan mu'amalah yang tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang pun yang mampu menjadi juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang oleh pihak yang berpiutang. Sedangkan para ulama telah sepakat bahwa hukum dari perjanjian gadai adalah mubah (boleh), dalam keadaan bepergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah.25 Sedangkan mazhab Az Zahiri, mujahid dan Dhahhak berpendapat bahwa Rahn (gadai) tidak disyari’atkan kecuali pada waktu bepergian.26 Hal ini berdasar pada ayat di atas. Masalah Rahn juga diatur dalam hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu:
ﺻّﹼﻠﱠﻰ ﺍﷲ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ َﺭﺳُ ْﻮﻝﹸ ﺍﷲ.ﷲ ﺗَﻌَﻠﹶﻰ َﻋﻨْﻪُ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ُ ﺿ َﻲ ﺍ ِ َﻭ َﻋ ْﻦ ﹶﺃِﺑﻰ ﻫُ َﺮْﻳ َﺮ ﹶﺓ َﺭ ﺸ َﺮﺏُ ِﺑَﻨ ﹶﻔ ﹶﻘِﺘ ِﻪ ِﺇﺫﹶﺍ ْ َﻭﹶﻟَﺒﻦُ ﺍﻟ ﱠﺪ ّﺭ َﻳ,َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﺍﻟ ﱠﻈ ْﻬ ُﺮ ﻳُ ْﺮ ﹶﻛﺐُ ِﺑَﻨ ﹶﻔ ﹶﻘِﺘ ِﻪ ِﺇﺫﹶﺍ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ َﻣ ْﺮ ُﻫ ْﻮﻧًﺎ ٢٧ (ﺏ ﺍﻟﱠﻨ ﹶﻔ ﹶﻘﺔﹸ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ُ ﺸ َﺮ ْ َﻭ َﻋﻠﹶﻰ ﺍﱠﻟ ِﺬﻯ َﻳ ْﺮ ﹶﻛﺐُ َﻭَﻳ,ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻣَﺮْﻫُﻮْﻧًﺎ “Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Binatang tunggangan yang dirunggukan (diborongkan) harus ditunggangi (dipakai), disebabkan ia harus dibiayai, air susunya boleh diminum (diperah) untuk pembayaran ongkosnya. Orang yang menunggangi dan yang meminum air susunya harus membayar.”
25 26
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 125.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12, Bandung: Al Ma’arif, 1998, hlm. 141. Imam Abdillah Muhammad bin Ismail Ibnu Ibrahim bin Maghirah bin Bani Zibal Bukhori Ja'fi, Shohih Bukhori, Jilid 3, Beirut, Libanon: Darul Qutub, hlm. 161. 27
21
Hadits di atas menerangkan bahwa binatang yang dijadikan jaminan boleh diambil manfaatnya seperti untuk tunggangan, diminum air susunya. Hal ini disebabkan karena adanya biaya yang telah dikeluarkan untuk pemeliharaan. Tetapi apabila hasil ternaknya ada kelebihannya, maka kelebihan itu dibagi rata antara murtahin dan rahin. Apabila orang yang menunggangi dan yang meminum air susunya tidak membaginya, maka orang tersebut harus membayar kelebihan itu. Hal tersebut di atas sesuai dengan hadits Nabi Saw.: 28
( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ.ﺽ ﺟَﺮﻣﻨﻔﻌﺔﹶﻓﻬُ َﻮ َﻭﺟْﻪ ﻣﻦ ُﻭ ُﺟﻮْﻩ ﺍﻟﺮﺑﹶﺎ ٍِ ُﹸﻛ ٍُِﻞ ﹶﻗ ٍِﺮ
“Semua pinjaman yang menarik manfaat adalah riba”. Hadits lain yang menerangkan tentang Rahn adalah:
ﻱ ﷲ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠﻢ ﺩِﺭ َﻋﻪ ِﻋْﻨ َﺪ َﻳ ُﻬ ْﻮ ِﺩ ﱟ ِ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ َ ﺲ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ َﺭ َﻫ َﻦ َﺭﺳُ ْﻮﻝﹸ ﺍﷲ ٍ َﻋ ْﻦ ﹶﺃَﻧ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ.ِ ﹶﻓﹶﺎ َﺧ ﹶﺬ ﻷﻫﻠﻪ ﻣﻨﻪ َﺷ ِﻌﻴْﺮًﺍ.ِﺑﺎﺍﹾﻟ َﻤ ِﺪْﻳﻨَﺔ 29
“Dari Anas, Katanya: “Rasulullah telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ibn Majah). Di dalam riwayat lain menernagkan bahwa, gandum yang dipinjam oleh Rasulullah sebanyak 30 Sha’ (+ 90 liter) dan sebagai jaminannya adalah baju perang Nabi Saw.30
28
Ibid. Al Hafidz abi Abdillah Muhammad bin Yazid al Qazwin, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Libanon, Darul Kutub, tth., hlm. 810 29
30
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transasksi dalam Islam (Fiqh Mu’amalat), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 255.
22
ﹶﻻ ﻳُ ْﻐﹶﻠﻖُ ﺍﻟﺮﱠ ْﻫ ُﻦ ِﻣ ْﻦ:ﷲ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﱠﻠ َﻢ ﹶﻗَﺎ َﹶﻝ ُ ﺻﱠﻠﻰ ﺍ َ َﻋ ْﻦ ﹶﺃِﺑ ْﻲ ﻫُ َﺮْﻳ َﺮ ﹶﺓ َﻋ ِﻦ ﺍﻟٍِﱠﻨِﺒ ِّﻲ .ُﺻَﺎ ِﺣِﺒ ِﻪ ﺍﻟﱠﺬِﻯ َﺭ َﻫَﻨﻪُ ﹶﻟﻪُ ﹶﻏَﻨ َﻤﻪُ َﻭ َﻋَﹶﻠْﻴ ِﻪ ِﻏ ْﺮﻣُﻪ 31
Abu Hurairah r.a. berkata bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda, “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian.”(HR. Syafi’i dan Daruqutni) C. Rukun dan Syarat-Syarat Gadai Sebagai sebuah transaksi, rukun-rukun rahn meliputi: orang yang menggadaikan (ar Rahin), barang yang digadaikan (Marhun), orang yang menerima gadai (Murtahin), sesuatu yang karena diadakan gadai, yakni harga dan sifat gadai.32 1. Orang yang menggadaikan (ar Rahin) dan orang yang menerima gadai (Murtahin). Pembicaraan mengenai orang yang menggadaikan ini tidak diperselisihkan lagi, bahwa diantara sifat-sifat orang yang menggadaikan adalah bahwa ia tidak dilarang untuk bertindak sebagai orang yang dibenarkan untuk bertindak (artinya orang tersebut tidak berada dalam pengampuan).33 Sedangkan Imam Syafi’i dan Suhnun berpendapat bahwa apabila seseorang menerima gadai yang dikarenakan harta yang
31
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 129. 32
Muhammad sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003,
hlm. 53. 33
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman & A. Haris Abdullah “Tarjamah Bidayatul Mujtahid”, 1990, hlm. 304.
23
dipinjamkannya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Imam Malik dan Syafi’i juga berpendapat, bahwa orang Muflis (bangkrut, pailit) tidak boleh menggadaikan, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah bahwa orang muflis boleh menggadaikan.34 2. Barang yang digadaikan Mazhab Maliki berpendapat bahwa gadai dapat dilakukan pada semua macam harga pada semua macam jual beli, kecuali pada jual beli mata uang (sharf) dan pokok modal pada saham yang berkaitan dengan tanggungan.35 Ulama-ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa barang yang digadaikan mempunyai tiga syarat yaitu:36 a. Berupa utang, karena barang itu tidak digadaikan b. Barang itu menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak bisa digadaikan c. Mengikatnya gadai tidak dinantikan akan terjadi, dan tidak menjadi wajib, seperti halnya gadai dalam khitobah. Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang di bawah tanggungan, dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga dibolehkan pada sewa menyewa termasuk pada perburuhan atau pengupahan.37
34
Ibid., hlm. 305.
35
Ibid., hlm. 306.
36
Nazar Bakry, Loc. Cit., hlm. 46.
37
Ibnu Rusyd, Op. Cit., hlm. 308.
24
Menurut Abdul Aziz Dahlan, syarat barang yang dijadikan jaminan adalah:38 a. Barang itu milik sendiri b. Nilai barang jaminan diperkirakan seimbang dengan nilai utang c. Indentitas barang jaminan cukup jelas, seperti 1 hektare tanah di tempat tertentu dengan batas-batas yang jelas. d. Barang jaminan merupakan barang yang halal bagi seorang muslim e. Barang jaminan itu bisa diserahkan, baik bendanya maupun manfaatnya f. Barang jaminan tersebut bisa dijual belikan Sedangkan menurut Marriam Darus Badrulzaman, benda yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak baik berujud maupun tidak berujud. Benda bergerak tidak berujud antara lain adalah hak tagihan (Vorderings rech)39 Barang yang akan digadaikan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana barang yang dijual belikan, yaitu:40 a. Barang itu sudah tersedia
38
Abdul Aziz Dahlan, Suplmen Ensiklopedi Islam 2 (l-z), Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 119. 39
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 56. 40
hlm. 197.
Moh. Rifa’i, dkk., Tarjamah Khulashah Kifayatul Ahyar, Semarang: Thoha Putra,
25
Barang yang digadaikan harus sudah ada, tidak boleh menggadaikan barang yang belum ada, seperti barang yang masih dipesan, barang yang dipinjam orang, ataupun barang yang sudah dirampas orang. b. Hutang harus jelas Rukun gadai (rungguhan) menurut Sulaiman Rasyid adalah:41 a. Lafaz (kalimat akad). Contoh: “Saya gadaikan (rungguhkan) barang ini kepada engkau untuk utangku yang sekian kepada engkau”, dan yang berpiutang menjawab “saya terima rungguhan ini”. b. Yang menggadaikan dan yang menerima gadai, keduanya harus ahli tasharruf (berhak membelanjakan hartanya). c. Barang yang dirungguhkan, tiap-tiap zat yang boleh dijual boleh dirungguhkan, dengan syarat keadaan barang tersebut tidak rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar. d. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap. Sedangkan menurut Heri Sudarsono, rukun dan syarat gadai adalah:42 a. Ar rahin (yang menggadaikan) dan al murtahin (yang menerima gadai). Rahin dan murtahin harus mempunyai; kemampuan (kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan), yaitu berakal sehat. b. Shighat, mempunyai 2 syarat:
41 42
Sulaiman Rasyid, op. cit., hlm. 296.
Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonosra, 2003, hlm 157-158.
26
1) Shighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan. 2) Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian hutang seperti halnya akad jual beli. Shighat tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan seuatu waktu di masa depan. c. Marhun bih (utang) 1) Harus merupakan hak yang wajib atau diserahkan kepada pemiliknya 2) Memungkinkan pemanfaatan. Apabila sesuatu yang menjadi utang tidak dimanfaatkan, maka tidak sah. 3) Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau tidak dikualifikasi rahn itu tidak sah. d. Marhun (barang yang digadaikan) Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat antara lain: 1) Harus diperjualbelikan 2) Harus berupa harta yang bernilai 3) Marhun harus dimanfaatkan secara syari’ah 4) Harus diketahui keadaan fisiknya, piutang tidak sah, untuk digadaikan berupa barang yang diterima secara langsung. 5) Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau penggadai). Setidaknya harus seizin pemiliknya.
27
Menurut Ahamd bin Hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan (borg) dalam masalah gadai ada 3 macam, yaitu: kesaksian, barang gadai dan barang tanggungan.43 Sedangkan menurut Sri Soedewi MS, benda yang dapat digadaikan adalah semua benda bergerak, yaitu:44 1. Benda bergerak yang berujud 2. Benda bergerak yang tidak berujud, yaitu berupa berbagai hak untuk mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-surat piutang aan toonder (kepada si pembawa), aa order (atas tunjuk), op naam (atas nama). Sayyid Sabiq berpendapat bahwa syarat sah untuk akad gadai (rahn) adalah: berakal, baligh, barang yang dijadikan bong itu ada pada saat akad meskipun tidak satu jenis dan barang yang digadaikan dipegang oleh orang yang menerima gadaian (murtahin) atau wakilnya.45 Madzhab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad kemudian
orang
yang
menggadaikan
(rahin)
dipaksakan
untuk
menyerahkan bong untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin). Jika borg sudah berada di tangan pemegang gadaian
43
Hendi Suhendi, Op. Cit., hlm. 108.
44
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 98. 45
Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 141.
28
(murtahin),
orang
yang
menggadaikan
(rahin)
mempunyai
hak
memanfaatkan.46 Asy Syafi’i mengatakan. Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan borg yang bekriteria jelas dalam serah terima. Apabila kriterianya berbeda dengan aslinya maka wajib tidak ada keputusan.47
D. Hak dan Kewajiban Gadai Dalam gadai dan selama gadai berlangsung, ada beberapa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak pemberi dan penerima gadai. Hak dan kewajiban tersebut adalah:48 1. Hak pemegang gadai a) Pemegang gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan, yaitu apabila pemberi gadai pada saat jatuh tempo atau pada waktu yang ditentukan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berutang. Sedangkan hasil dari penjualan barang jaminan tersebut sebagian
untuk
melunasi
utang
pemberi
gadai
dan
sisanya
dikembalikan kepada pemberi gadai. b) Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.
46
Ibid.
47
Al Imam Asy Syafi'i, Al Umm (Kitab Induk). Terj. Ismail Ya'kub, Jakarta: Faizan, 1982, hlm. 319. 48
M. Sholikul Hadi, Op. Cit., hlm. 23.
29
c) selama utangnya belum dilunasi, maka pemegang gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak retentre). 2. Kewajiban pemegang gadai a) Pemegang gadai wajib bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu semua merupakan kelalaiannya. b) Pemegang gadai tidak diperbolehkan menggunakan barang-barang yang digadaikan untuk kepentingan sendiri. c) Pemegang gadai wajib memberi tahu kepada pemberi gadai apabila diadakan pelelangan barang gadai. Adapun hak dan kewajiban dari pemberi gadai adalah 1. Hak pemberi gadai a) Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi utangnya. b) Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi dari kerusakan dan hilangnya barang gadai, apabila hal tersebut disebabkan oleh kelalaian pemegang gadai. c) Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan barang gadaiannya setelah dikurangi biaya pelunasan utang, bunga dan biaya yang lain.
30
d) Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya bila pemegang gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya. 2. Kewajiban pemberi gadai a) Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi uatng yang telah diterimanya dari pemegang gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan termasuk bunga dan biaya lain yang telah ditentukan oleh pemegang gadai. b) Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang miliknya yang telah digadaikan, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang gadai. Menurut Ibnu Rusyd hak penerima gadai dalam gadai adalah menahan
barang
gadai,
sehigga
orang
menggadaikan
melunasi
kewajibannya. Apabila pemberi gadai tidak melaksanakan kewajiban pada waktu yang telah ditentukan, maka penerima gadai bisa menjual barang gadai tersebut melalui perantara penguasa (hakim).49 Di dalam KUH Perdata buku II bab XX dijelaskan hak dan kewajiban gadai. Pemegang gadai mempunyai beberapa hak sebagai berikut:50 1. Menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi) Yang dimaksud dengan hak melakukan parate eksekusi, yaitu wewenang yang diberikan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan
49 50
Ibnu Rusyd, Op. Cit., hlm. 311. Mariam Darus Badruzassman, Op.Cit., hlm. 61-62.
31
piutang dari kekayaan debitur tanpa memiliki eksekutoriale titel. Hak pemegang gadai ini tidak terlahir karena terjadi perjanjian yang secara tegas dinyatakan oleh parapihak, akan tetapi terjadi demi hukum, kecuali apabila diperjanjikan lain. 2. Menjual benda gadai dengan perantaraan hakim. 3. Atas ijin hakim tetap menguasai benda gadai (Psl. 1156 ayat (1) KUH Perdata) 4. Hak untuk mendapat ganti rugi 5. Hak retensi (Recht Van Terughoudhen) 6. Selama pemegang gadai tidak menyalahgunakan barang yang diberikan dalam gadai, maka si berhutang tidak berkuasa menuntut pengembaliannya sebelum ia membayar sepenuhnya baik uang pokok maupun bunga dan biaya hutangnya. 7. Hak didahulukan (Recht Van Voorrang) Kreditur pemegang gadai memiliki beberapa kewajiban yaitu: 1. Bertanggung jawab untuk hilangnya atau merosotnya barang gadaim sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya (Psl. 1157 ayat (1) KUH Perdata) 2. Kewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai, jika barang gadai akan dijual, selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya. (Psl. 1156 ayat (2) KUH Perdata)
32
3. Bertanggung jawab terhadap penjualan barang gadai (Psl. 1159 ayat (1) KUH Perdata). Menurut Prof. Subekti hak-hak dari seorang pandnemer (penerima gadai) adalah sebagai berikut:51 1. Ia berhak untuk menahan barang yang dipertanggungjawabkan sampai pada waktu hutang dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga. 2. Ia berhak untuk mengambil pelunasan ini dari pendapatan penjualan barang tersebut, apabila orang yang berhutang tidak menepati janjinya. Penjualan barang tersebut, dapat dilakukan sendiri, tetapi dapat juga meminta perantaraan hakim. 3. Ia berhak minta ganti biaya-biaya yang telah ia keluarkan untuk menyelamatkan barang tanggungan tersebut. 4. Ia berhak untuk menggadaikan lagi barang tanggungan, apabila hak itu sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian suratsurat sero atau obligasi (herprolongatie). Sebaliknya seorang pemegang gadai memikul kewajibankewajiban sebagai berikut:52 1. Ia bertanggungjawab tentang hilangnya atau berkurangnya harga barang tanggungan, jika itu disebabkan oleh kelalaiannya.
51 52
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2003, hlm. 81. Ibid, hlm. 41.
33
2. Ia harus memberitahukan pada orang yang berhutang apabila ia hendak menjual barang tanggungannya. 3. Ia harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualannya itu dan setelah ia mengambil pelunasan hutangnya, ia harus menyerahkan kelebihannya kepada orang yang berhutang. 4. Ia harus mengembalikan barang tanggungan, apabila hutang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang tanggungan telah dibayar lunas.