28
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI, JAMINAN, DAN PENYELESAIAN SENGKETA
A. Tinjauan Umum Tentang Gadai 1. Pengertian Gadai Syariah Rahn (Gadai) adalah menahan salah satu harta milik seseorang (peminjam) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya.1 Adapun secara terminologi para ulama fiqh mendefinisikan sebagai berikut: a. Menurut Muhammad Rawwas Qal‟ahji penyusun buku ensiklopedi fiqih Umar Bin Khattab r.a, berpendapat bahwa ar rahn adalah menguatkan uang dengan jaminan utang.2
1
Muhammad,2007.Lembaga Keuangan Syariah.Yogyakarta:Graha Ilmu. hlm
64 2
Muhammad Rawwas Qal‟ahji, 1999, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab r.a, Jakarta:Raja Grafindo Persada, hlm. 463
29
b. Menurut Masjfud Zuhdi Ar Rahn adalah perjanjian atau akad pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggunagn utang.3 c. Menurut Nasrun Haroun, ar rahn adalah menjadikan barang sebagai suatu jaminan sebagaia hak piuatang yang mungkin dijadiakn sebagai pembayaran hak piutang itu, baik keseluruhnnya ataupun sebagiannya.4Suatu tindakan kebajikan untuk menolong orang yang sedang dalam keadaan terpaksa. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa rahn adalah menjadikan barang berharga sebagai jaminan utang. Dengan begitu jaminan tersebut sangat erat dengan utang piutang dan timbul dari padanya. Sebenarnya pemberian utang itu merupakan suatu tindakan kebajikan untuk menolong orang yang sedang dalam keadaan terpaksa dan tidak mempunyai uang dalam keadaan kontan. Namun untuk ketenangan hati, pemberi utang memberikan suatu jaminan, bahwa utang itu akan dibayar oleh yang berutang. Untuk maksud itu pemilik utang boleh maminta jaminan dalam bentuk barang berharga.
3
Masjfud Zuhdi, 1988, Masail Fiqiyah., Jakarta: CV Haji Masagung, Cet ke1, hlm. 163 4
252
Nasrun Haroun, 2000, Fiqh Muamalah , Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm.
30
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan tetapi tidak diwajibkan, sebab gadai hanya bersifat jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling mempercayai.5 2. Landasan Hukum Gadai Syariah a. Al-Baqarah ayat 283 :
و ٌة َمو ِر ْقا ُبك ْق ُب ْق َمعلَمى َم َم ٍر َمو َم ْق ِرجدُبوا َمك تِر ً َم ِر َم ٌةا َم ْق ُب َم Artinya : “Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283) b. Hadist nabi riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari „Aisyah : َم َم ً ِر ْق َم ُب ْق ِر ٍّي ِر َمى َم َم ٍر َمو َم َم َم ُب ِر ْق ًع ِر ْق َم ِرد ْق ٍرد
ِر ا ْقا َم َم
َم َّنا َم ُب ْق َم
Artinya : sesungguhnya Rasulullah saw pernah membeli makanan dengan
berutang
dari
seorang
yahudi
dan
nabi
menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.6
5
Rahmat Syafe‟i, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, cet ke1, hlm.160-161
31
3. Rukun dan Syarat Gadai Syariah Para ulama fikih berbeda penadapat dalam dalam menetapkan rukun ar rahn. Menurut jumhur ulama rukun ar rahn itu ada empat, yaitu: 1) Orang yang berakad (ar rahin dan al murtahin) 2) Sighat (lafadz ijab dan qobul) 3) Utang (al marhun bih) 4) Harta yang dijadikan jaminan (al marhun) (asysyarbaini al-khatib, mughni al- muhtaj).7 Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa dalam gadai sendiri menahan suatu barang sebagai jaminan untuk mendapatkan suatu pinjaman. Ada beberapa jenis jaminan dan bukti kepemilikannya dalam gadai itu sendiri.
B. Tinjauan Umum Tentang Jaminan 1. Pengertian Jaminan Jaminan adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur kepada kreditur karena pihak kreditu mempunyai suatu kepentingan, yaitu debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan perjanjian.8
6
Dr. H. Hendi Suhendi,2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 107 7 Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hlm. 252 8 H. Budi Untung, S.H., M.M, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Andi, 2005, hlm. 56.
32
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Surat Keputusan Bank Indonesia no.23/69/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1991 Tenatng Jaminan Pembiayaan Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunaskan kredit sesuai dengan apa yang dijanjikan.9 Sebagian
besar
lembaga
Keuangan
Syariah
mensyaratkan sebuah jaminan yang bernilai sama atau bahkan lebih besar dari pembiayaan yang dicairkan (biasanya 70-80% dari nilai jaminan) oleh pihak Lembaga Keuangan Syariah. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga konsistensi keseriusan nasabah untuk memenuhi kewajiban yang telah disepakati bersama selama kurun waktu yang telah ditentukan. Jaminan berfungsi sebagai alternatif yang dapat diambil pihak Lembaga Keuangan Syariah pada saat pembiayaan mengalami masalah yang mana dikarenakan oleh kesalahan nasabah pembiayaan itu sendiri atau dikarenakan oleh situasi ekonomi yang tidak stabil sehingga mempengaruhi usaha yang dijalankan oleh nasabah pembiayaan. Jaminan yang ideal atau baik adalah jaminan yang tidak melemahkan potensi atau kekuatan si menerima kredit atau debitur untuk melakukan atau meneruskan usahanya, dan 9
69.
Hermansyah, Hukum Perikatan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005. Hlm.
33
juga jaminan yang dapat memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa, apabila perlu maka mudah digunakan untuk melunasi hutang si debitur.10 2. Jenis-jenis Jaminan dan bukti Kepemilikannya 1) Jenis-jenis Jaminan Jaminan yang dapat dijadikan kredit oleh calon debitur adalah sebagai berikut: a) Dengan Jaminan Dengan jaminan artinya bahwa, ada penguasaan yang jelas dari pihak yang menerima pinjaman berupa halhal sebagai berikut: (1) Jaminan benda berwujud yaitu barang-barang yang dapat dijadikan jaminan, seperti: tanah, bangunan, kendaraan barang
bermotor,
dagangan,
mesin-mesin/peralatan,
tanaman/kebun/sawah
dan
lainnya. (2) Jaminan benda tidak berwujud yaitu benda-benda yang
merupakan
dijadiak
jaminan
surat-surat seperti:
berharga sertifikat
yang saham,
sertifikat obligasi, sertifikat tanah, sertifikat deposito, rekening tabungan yang dibekukan,
10
Prof. Soebakti, Jaminan-Jaminan Untuk pemberian kredit menurut hukum indonesia, Bandung: Alumni, 1979. Hlm.29.
34
rekening giro yang dibekukan, rekening giro yang dibekukan, promes, wesel dan surat tagihan lainnya. (3) Jaminan orang yaitu jaminan yang diberikan oleh seseorang dan jika kredit tersebut macet akan orang yang memberikan jaminan itulah yang menanggung risikonya. b) Tanpa Jaminan Kredit tanpa jaminan maksudnya adalah bahwa kredit yang diberikan bukan dengan jamina barang tertentu. Biasanya diberikan untuk perusahaan yang memang benar-nenar bonafid dan profesional, sehingga kemungkinan kredit tersebut macet sangat kecil. Dapat pula kredit tanpa jaminan hanya dengan penilaian terhadap prospek usahanya atau dengan pertimbangan untuk pengusaha-pengusaha ekonomi lemah.11
11
Kartini Mulyadi Dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Encana, 2004, Hlm 29
35
C. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa 1. Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) Dalam Perkara Ekonomi Islam a. Musyawarah 1) Musyawarah
adalah
tindakan
dalam
bentuk
perundingan secara damai antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk
mencapai
kesepakatan
dan mendapat penyelesaian terhadap sengketa yang dihadapi. Dalam syariat Islam tindakan seperti ini biasa dinamakan perdamaian atau “shulhu” adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan anatara dua orang yang saling berlawanan atau untuk mengakhiri sengketa. 2) Pelaksanaan shulhu (perdamaian) dapat dilakukakan dengan beberapa cara antara lain: a) dengan cara ibra‟ artinya membebaskan debitur dari sebagian kewajiban; b) dengan cara mufaadah artinya pergantian dengan yang lain, misalnya dengan cara: (1) Shulhu hibah, yaitu pengugat menghibahkan sebagian barang yang dituntut kepada tergugat
36
dan tergugat selain
yang
melepaskan dihibahkan
barang oleh
sengketa penggugat
kepadanya; (2) Shulhu baiy‟, yaitu penggugat menjual barang yang dituntut kepada penggugat; (3) Shulhu ijarah, yaitu penggugat mempersewakan barang yang dituntut kepaa pnggugat dan tergugat membayar sewa. 3) Tipe Shulhu (perdamaian) ini masing masing pihak yang bersengketa dituntut untuk mau berkorban demi terlaksananya tujuan musyawarah untuk perdamaian demi tercapaianya
kesepakatan dalam penyelesaian
sengketa antara keduanya, sehingga tidak ada pihak yang kalah maupun yang menang. 4) Konsep Shulhu (perdamaian) masing-masing pihak yang
mengadakan perdamaian dalam syariah Islam
diistilahkan
dengan mushalih, sedangkan objek yang
diselisihkan oleh para pihak disebut dengan musholih „anhu, dan perbuaatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain untuk
mengakhiri
pertengkaran dinamakan musholih‟alaihi.
37
5) Musyawarah
dalam
upaya
perdamaian
terhadap
sengketa oleh orang-orang muslim disyariatkan dalam ajaran Islam, sebagaimana yang tercantum dalam Alqur‟an Surah Al-Hujurat ayat (9), yang sebagai berikut: ۡ َ ان مِنَ ۡٱل ُم ۡإ ِمنِينَ ۡٱق َت َتلُو ْا َفؤ صلِ ُحو ْا َب ۡي َن ُہ َم ۖا َفإِ ۢن َب َغ ۡت إِ ۡح ٰدَٮ ُه َما ِ َوإِن َطآ ِٕٮِ َف َت آء ۡت ِِۚ َّ َعلَى ۡٱۡل ُ ۡخ َر ٰى َف َق ٰـتِلُو ْا ٱلَّتِى َت ۡبغِى َح َّت ٰى َتف ِٓى َء إِلَ ٰ ٓى أَ ۡم ِر َ ٱَلل َفإِن َف ۖ ۡ ۡ َ َفؤ ِب ۡٱل ُم ۡقسِ طِ ين ُّ ٱَلل ُيح َ َّ َّصلِ ُحو ْا َب ۡي َن ُہ َما ِب ۡٲل َع ۡد ِل َوأَقسِ ُط ٓو ْا إِن Artinya: “Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin
berperang,
maka
damaikanlah
antara
keduanya, jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golonhan ynag berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dngan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berlaku adil”. 6) Perintah shulhu (perdamaian) dalam sengketa juga disebut dalam Hadist sebagai berikut:
صلَ ًحا أَ َحلَّ َح َرا ًما َو َح َّر َ َح الًأَ ْو أَ َحل َّ َح َرا ًما َ ص ْل ُ َ ااِ ٌز َبيْنَ ال ُم ْسلِ َم ْي ِن إآل ُّ ال َوا ْل ُم ْسلِ ُمونَ َعلَى ُ ُروطِ ِه ْ إِالَّ َ ْر ًطا َح َّر َ َح َالً أَ ْو أَ َحل َّ َح َرا ًما.
38
Artinya: “Dari Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al Hikam dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari „Amar bin Auf, Bahwa Rosulullah saw. bersabda: Pperjainjian di antara
orang-orang
muslim
itu
boleh,
kecuali
perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”. At-Tirmidzi dalam ini menambahkan “Dan (Muamalah) orang-orang Muslim itu berdasakan syarat-syarat mereka. Sedangkan salah seorang sahabat Rosul saw, Umar r.a pernah mengungkapkan: Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai,
karena
pemutusan
perkara
melalui
peradilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka yang bersengketa”. 7) Setiap
musyawarah
untuk
kebaikan
merupakan
keinginan hati nurani setiap manusia. Untuk itu, agar hasil perdamaian itu bisa mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, maka
harus dipenuhi hal-hal
sebagai berikut. a) Rukun Perdaamian meliputi (1) Adanya ijab; (2) Adanya kabul; dan (3) Adanya lafal.
39
Ketiga rukun ini sangat penting artinya dalam suatu perjanjian perdamaian, sebab tanpa adanya ijab, kabul dan lafas tidak diketahui adanay perdamain diantara mereka. Apabila rukun ini telah dipenuh, maka dari perjanjian
perdamaian
itu
lahirlah suatu ikatan hukum, yaitu masing-masing pihak berkewajiban untuk menaati isi perjanjian. Perjanjian itu dapat diaksakan pelaksanaanya, tidak dapat dibatalkan secara sepihak dan kalaupun dibatalkan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. b) Syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan sebagai beriku. (1) Perihal objek Orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum, dan juga harus mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksud dalam perdamaian itu. Sebab belum tentu orang yang cakap bertindak mempunyai kekuasaan dan wewenang. Orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi
40
tidak memiliki kekuasaan (wewenang) untuk memiliki adalah: (a) wali atas harta benda yang berada di bawah perwaliannya, (b) pengampu atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya, dan (c) nadzir (pengawas) wakaf atas tanah yang ada di bawah pengawasannya. (2) Perihal objek, harus memenuhi ketentuanketentuan sebagai berikut. Berbentuk harta (baik berwujud maupun tidak
berwujud)
dapat
dinilai,
diserahterimakan, dan bermanfaat, contoh tidak berwujud adalah hak milik intelektual. Dapat diketahui secara jelas, sehingga tidak menimbulkan kesamaan dan ketidakjelasan, yang dapat menimbulkan pertikaian baru terhadap objek yang sama. c) Sengketa yang boleh didamaikan Perkara yang boleh didamaikan menurut para ahli hukum Islam adalah meliputi: (1) Sengketa berbentuk harta yang dapat dinilai, (2) Dapat diketahui secara jelas, sehingga tidak menimbulkan kesamaan dan ketidakjelasan,
41
yang dapat menimbulkan pertikaian baru terhadap objek yang sama. (3) Perjanjian perdamaian hanya terbatas pada persoalan-persoalan muamalah saja (hubungan keperdataan). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak Allah swt. tidak dapat diadakan perdamaian. d) Pelaksanaan Perdamaian Pelaksanaan perjanjian damai dapat dilaksanakan melalui dua cara, yaitu sebagai berikut: (1) Di Luar sidang pengadilan penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri (yang melakukan perdamaian) tanpa melibatkan pihak lain atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah (wasit), itulah yanh kemudian disebut dengan istilah arbitrase atau dlam syariat Islam disebut dengan hakam. Pelaksanaan
perdamaian
(shulh)
yang
dilaksanakan sendiri oleh kedua belah pihak yang berselisih atau bersengketadalam praktek dibeberapa negara Islam, terutama dalam hak perbankan syariah disebut dengan “tafawud”
42
dan“taufiq”
(perundingan
dan
penyesuaian). (2) Melalui sidang pengadilan pelaksaan perjanjian damai melalui sidang pengadilan
dilangsungkan pada saat perkara
sedang diproses dalam sidang pengadilan. Didalam
ketentuan
perundang-undangan
ditentukan bahwa sebelum perkara diproses, atau dapat juga selam diproses bahkan sudah diputus
oleh
pengadialn
mempunyai kekuatan
tetapi
hukum
belum tetap,
hakim harus menganjurkan kepada para pihak yang
bersengketa
Seandainya hakim
supaya berhasil
berdamai. mendamaikan
pihak-pihak yang bersengketa, maka dibuatkan putusan perdamaian, kedua belah pihak yang melakukan perdamaian itu dihukum untuk mematuhi perdamaian yang telah mereka sepakati.
b. Arbitrase 1) Arbitrase berasal dari kata latin; “arbitrase” yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan perkara menurut kebijaksaan atau damai oleh arbiter atau wasit”.
43
Arbitrase adalah suatu proses yang mudah yang dipilih oleh para pihak secara sukarela karena ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut, dan para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.12 2) Arbitrase
adalah
penyelesaian
suatu
sengketa/perselisihan (perkara) oleh seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan, sedangakn menurut UU No. 30 Tahun 1999 Pasal1(1), arbitrase adalah cara menyelesaikan satu perkara perdata diluar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 3) Dari beberapa pengertian yang disebut diatas apabila dihubungkan dengan konsep arbitrase menurut Islam adalah “suatu jenis perikatan (akad/perjanjian) perdata Islam
dimana
para
pihak
telah
sepakat
untuk
menyelesaikan atau mengakhiri perselisihan yang terjadi antara dua atau pihak-pihak yang bersangkutan”. 12
Suhartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia, www.badilag.net, 1 Maret 2008
44
4) Basyarnas merupakan lembaga arbitrase yang berpernan untuk menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang melakukan perikatan (akat/perjanjian) dalam ekonomi syariah
diluar
jalur
pengadilan
untuk
mencapai
penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasikan mufakat. Putusan Basyarnas adalah bersifat final dan mengikat (binding) 5) Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (2) PBI No. 7/46/PBI/2005, Basyarnas yang digunakan sebagai lembaga yang akan mengatasi sengketa bank syariah adalah Basyarnas yang berdomisili paling dekat dengan kantor bank yang bersangkutan atau ynag ditunjuk sesuai kesepakatan antara bank dan nasabah. Tempat kantor Basyarnas menurut Pasal 4 ayat (4) Anggaran Rumah Tangga BAMUI tanggal 5 Jumadil Awwal 14141 H / tanggal 21 Oktober 1993 adalah berada distiap ibukota propinsi, sedangkan kantor pusat basyarnas adalah terletak di ruko Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat. 6) Sesungguhnya, keberadaan arbitrase Islam berupa Basyarnas di Indonesia merupakan condition sine qua (syarat
mutlak),
dan
secara
empiris,
keberadaan
basyarnas memiliki landasan hukum yang sangat kokoh dan
terbukti
sejak
berdiri
tahun
1993
yang
45
disempurnakan pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 sudah ada 14 kasus perselisihan yang diselesaikan dengan damai oleh Basyarnas. 7) Menurut pasal 1 angka (3) UU No. 30 Thun 1999 tentang Arbitase
dan
menentukan:
Alternatif “Perjanjian
Penyelesaian arbitrase
Sengketa,
adalah
suatu
kesepakatan berupa klausal arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatau perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa”. Sedangkan Pasal 7 menentukan: “Para pihak dapat menyetujui suatau sengketa yang terjadi atau akan terjadi antara mereka untuk diselesaiakna melalui arbitrase, 8) berdasarkan pada ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya suatu klasual kesepakatan yang terdiri atas dua bentuk, yakni: (a) pactum de compromitendo, yaitu klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa, dapat juga bersamaan dengan saat pembuatan perjanjian pokok atau sesudahnya. Ini berarti perjanjian arbitrase tersebut enjadi satu dengan
46
perjanjian pokoknya atau dalam suatu perjanjian yang tersendiri di luar perjanjian pokok. Oleh karena itu, perjanjian tersebut dibuat sebelum terjadinya sengketa, maka diperlukan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai perjanjian pokok untuk dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendaki tetapi mungkin saja terjadi. (b) acta compomitendo, yaitu suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa (acta compromitendo/akta kompromis), sehingga klausul
atau
dicantumkan
perjanjian dalam
pendahuluannya
atau
arbitrase
perjanjian dalam
ini pokok
suatu
dapat atau
perjanjian
tersendiri setelah timbul sengketa yang berisikan penyerahan sengketa kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. 9) Pasal 1 angka (3) UU NO. 30 Tahun 1999 tersebut diatas,manakala dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1234 KUH
Perdata, yang menentukan, “tiap-tiap
perikatan dilahirkan oleh karena perjanjian”. Maka, perjanjian arbitrase disebut juga perjanjian yang dilahirkan dari perjanjian.
47
10) Disebut dengan arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengkreta atau ditunjuk oleh
pengadilan atau lembaga arbitrase, untuk
memberikan
keputusan mengenai sengketa tertantu
yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. 11) Syarat-syarat seseorang dapat diangkat menjadi arbiter adalah diatur dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999, yaitu: a) cakap melakukan tindakan hukum; b) berumur paling rendah 35 tahun; c) tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa; d) tidak mempunyai kepentingan dengan salah satu pihak yang bersengketa; e) memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun; f) hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peardilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagian arbiter. 12) Dilihat dari bentuknya, lembaga arbitrase di indonesia terdiri atas 2 (dua) macam, yaitu sebagai berikut: a) Arbitrase internasional, yaitu arbitrase yang bersifat permatan permanen atau melembaga, yaitu suatu
48
organisasi
tertentu
ynag
menyediakan
jasa
administrasi yang meliputi pengawasan terhadap arbitrase, aturan-aturan prosedur sebagai pedoman bagi para pihak, dan pengangkatan bagi
para
arbiter. Adapun arbitrase yang melembaga di Indonesia adalah meliputi berikut ini. (1) BANI (BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA) ynag didirikan oleh oleh Kadin pada tanggal 3 Desember 1977, bertujuan untuk dapat menyelesaikan perselisihan dengan adil dan cepat atas persengketaan yang timbul di bidang
perdata
mengenai
soal-soal
perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. (2) BAMUI (badan arbitrase muamalah indonesia) yang didirikan oleh MUI (majeli ulama indonesia) pada tanggal 21 Oktober 1993, yang diubah namanya pada tahun2002 dengan nama Basyarnas (badan arbitrase syariah nasional), bertujuan untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalah yang timbul dalam
hubungan
perdagangan,
industri,
49
keuangan dan lain sebagainya di kalangan umat islam b) Arbitrase ad hoc, yaitu badab arbitrase yang tidak permanen atau juga disebut arbitrase volunter. Badan arbitrase ini bersifat sementara atau temporer saja,
karena
menyelesaikan
dibentuk atau
secara
khusus
memutuskan
untum
perselisihan
tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu, dan setelah selesai tugasnya, maka badan ini bubar dengan sendirinya. 13) Hukum acara yang berlaku dilingkungan peradilan agama adalah hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum, kecualai secara khusus telah diatur dalam undang-undang dan peraturan lainnya yang berlaku secara khusus di lingkungan peradilan agama, begitu juga dalam hal prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase, bahwa prosedur penyelesaian perkara melalui Basyarnas adalah sebagimana menurut BANI dan peraturan lain yang berlaku, kecuali secara khusus ditentukan dalam Basyarnas.13
13
Dr. Ahmad Mujahidin, M.H, Kewenangan Dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, Hlm. 137-144
50
2 . Fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan
di
antara
kedua
belah
pihak,
maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari‟ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. a. Musyawarah Musyawarah adalah tindakan dalam bentuk perundingan secara damai antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan dan mendapat penyelesaian terhadap sengketa yang dihadapi. Dalam syariat Islam tindakan seperti ini biasa dinamakan perdamaian atau “shulhu” adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan anatara dua orang yang saling berlawanan atau untuk mengakhiri sengketa. Begitupun penyelesaian sengketa berdasarkan Fatwa DSN No.25/DSNMUI/III/2002, diawali dengan musyawarah antar kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan bersama. Jika dalam musyawarah ini tidak ditemukan titik tengah maka penyelesaian sengketa akan berlanjut pada Arbitrase.
51
b. Arbitrase Arbitrase adalah suatu proses yang mudah yang dipilih oleh para pihak secara sukarela karena ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut, dan para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. Arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa/perselisihan (perkara) oleh seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan, sedangakn menurut UU No. 30 Tahun 1999 Pasal1(1), arbitrase adalah cara menyelesaikan satu perkara perdata diluar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Basyarnas merupakan lembaga arbitrase yang berpernan untuk menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang melakukan perikatan (akat/perjanjian) dalam ekonomi syariah diluar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasikan mufakat. Putusan
Basyarnas
adalah
(binding).14
14
Dr. Ahmad Mujahidin, Op.cit, hlm. 141
bersifat
final
dan
mengikat