BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DISPARITAS, SANKSI PIDANA, DAN LALU LINTAS 2.1 Disparitas 2.1.1 Pengertian Disparitas Dalam suatu kasus yang sama, hukum tidak boleh dibenarkan untuk menerapkan peraturan yang berbeda. Dalam ilmu hukum biasa dikenal dengan disparitas.Sehingga artinya bahwa suatu kasus hukum yang sama, harus juga diterapkan peraturan yang sama. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity of sentencing mengundang perhatian lembaga legislatif serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkannya.1Selain untuk menghindarkan dari diskriminasi yang harus dirasakan oleh para pelaku, menggugat ketidakadilan publik juga memberikan kepastian hukum di tengah masyarakat. Masalah disparitas pidana (disparity of sentencing) merupakan masalah universal yang merupakan “criticism of sentencing”, sebab persoalan ini hampir terjadi di negara manapun juga. Yang dimaksud dengan disparitas pidana dalam hal ini tidak hanya meliputi penerapan pidana yang tidak sama untuk tindak-tindak pidana yang sama tanpa dasar pembenaran yang jelas, tetapi juga untuk tindak-tindak pidana yang “comparable seriousness”.Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang
1
Muladi, 1984, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Alumni, Bandung, h. 52.
24
dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatdikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaansangat menentukan. Terjadinya disparitas pidana sudah tentu tidak terlepas dari kebebasan penuh yang dimiliki oleh hakim itu sendiri dalam menangani kasus sehingga hakim bisa menekankan pada pidana apa saja yang ingin diterapkannya. Di samping itu, disparitas kian berpeluang terjadi ketika hakim bebas menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Sebab, undang-undang hanya mengatur mengenai pidana maksimum dan minimum, bukan pidana yang pas. Disparitas pidana mempunyai dampak yang luas karena didalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk memidana. Bagi masyarakat dan si terpidana yang merasa menjadi korban “judicial caprice” sebagai akibat disparitas pidana, akan menjadikannya tidak menghargai hukum pada umumnya dan usaha rehabilitasi pada khususnya, kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam Negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi bilamana disparitas tersebut tidak diatasi, yaitu timbulnya demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang lebih berat daripada yang lain dalam kasus yang sebanding.Ditinjau dari sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system), yang dimaksud dengan disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifatnya
berbahaya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas2, maka adanya disparitas pidana merupakan indikator daripada kegagalan suatu sistem untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekaligus akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana. 2.1.2 Dampak Disparitas Pidana Akibat menerapkan suatu peraturan yang berbeda-beda, maka publik akan kesulitan memahami tindak pidana yang terjadi. Apakah tindak pidana tertentu, masuk kedalam hukum administrasi negara ataupun peraturan lainnya.Terjadinya disparitas pidana tentu tidak lepas dari ketentuan hukum pidana sendiri yang memberikan kebebasan penuh kepada hakim untuk memilih jenis pidana yang dikehendaki.KUHP kita menganut sistem alternatif hukuman, misalnya, antara pidana penjara, pidana kurungan, dan denda.Di sini, hakim bisa saja menekankan pada pidana penjara ketimbang denda, atau sebaliknya.
Di samping itu, disparitas kian berpeluang terjadi ketika hakim bebas menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Sebab, undang-undang hanya mengatur mengenai pidana maksimum saja, bukan pidana yang pas. Sehingga pada disparitas pidana mempunyai dampak di dalamnya, karena di dalamnya terkandung kebebasan individu dan Hak Negara untuk memidana, yang menjadikan timbulnya ketidak pastian hukum, begitu pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
2
Muladi dan Barda Nawawi, op.cit., h. 52.
ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat luas khususnya pada masyarakat Jembrana.
2.2. Sanksi Pidana 2.2.1 Pengertian Sanksi Pidana Pada umumnya “sanksi” adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati normanorma yang berlaku.Sanksi terhadap pelanggaran norma hukum diserahkan atau dapat diserahkan kepada penguasa, berupa hukuman yang dapat langsung atau segera dapat dirasakan oleh pelanggar. Kemudian pada istilah pidana merupakan terjemahan kata “straf”, disamping pidana, straf juga lazim diterjemahkan dengan hukuman. pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah”. Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang dikenakan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan – ketentuan undang – undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.3 Sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaraan- pelanggaran norma hukum. Sehingga sanksi pidana merupakan suatu hukum sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi biasanya akan masuk ke penjara atau akan terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Orang yang terkena hukuman ini juga biasanya telah melakukan suatu perkara
3
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, h. 109.
tindak pidana4.Pengaruh ini tidak hanya ada bila sanksi pidana itu benar- benar diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit tetapi sudah ada, karena sudah tercantum dalam peraturan hukum.Salah satu dari sanksi hukum itu adalah sanksi hukum pidana yang merupakan sanksi yang paling keras diantara sanksi hukum lainnya. Sehingga pengertian dari sanksi dalam hukum pidana (sanksi pidana) adalah reaksi yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang mempunyai kekuasaan (wewenang), berupa pengenaan penderitaan nestapa atau akibat -akibat lain yang tidak menyenangkan kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran kiadah hukum atau tindak pidana menurut undang – undang.5 2.2.2 Tujuan Pemidanaan Tujuan pemidanaan untuk menakut-nakuti orang lain agar tidak melakukan kejahatan atau untuk mencegah terjadinya kejahatan. Dan untuk memberi pelajaran kepada si terhukum agar tidak melakukan kejahatan lagi, atau untuk memperbaiki mereka yang melakukan kejahatan lagi, atau untuk memperbaiki mereka yang melakukan kejahatan agar terciptanya ketertiban hukum. Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang membenarkan pidana dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, ada 3 (tiga) teori yaitu :
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings Theorien)
4
Sukma Yudha Wiguna, 2015, Pengertian Sanksi Pidana Menurut Para Ahli, URL :http://www.mediapusat.com, diakses pada tanggal 23 Agustus 2015. 5 Hambali Thalib, 2009. Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, cet. II, PT Ukhuwah Grafika, Jakarta, h. 13.
Teori ini muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak, dan para sarjana lain yang berdasarkan ajaran pada filsafat Katolik dan Islam. Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana.Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori pembalasan ini terbagi menjadi lima yaitu : a. Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika, bahwa dasar pemidanaan adalah tuntutan mutlak kesusilaan kepada seseorang penjahat yang telah merugikan orang lain. b. Pembalasan bersambut (dialektis), bahwa untuk mempertahankan hukum yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan maka kejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan memberikan ketidak adilan (pidana) kepada penjahat. c. Pembalasan demi keindahan atau kepuasan (aesthetisch), bahwa pidana adalah merupakan tuntutan mutlak dari perasan ketidak puasan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan untuk memidana penjahat agar tidak puasan masyarakat terimbangi. d. Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama), bahwa kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perikeadilan Tuhan dan harus ditiadakan. Karenanya mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat demi terpeliharanya peri-keadilan Tuhan.
e. Pembalasan sebagai kehendak manusia. Menurut ajaran ini pidana adalah merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakkukan kejahatan, dia akan menerima sesuatu yang jahat. Karena warga negara telah menyerahkan sebagian haknya pada negara, maka jika kepentingan hukumnya terganggu karena kejahatan maka untuk kepentingan hukum tersebetu, kepada penjahat mutlak harus diberikan pembalasan berupa pidana.6 2. Teori Relatif atau tujuan (Doel Theorien) Penganut teori ini antara lain yaitu Saneca, Von Feuerbach, Muller Grolman, Van Hamel, Van Krause, dan Roder. Pada teori ini membenarkan pemidanaan adalah untuk memepertahankan tata tertib masyarakat.Oleh kerena itu tujuan daripada hukuman adalah perlindungan masyarakat atau mencegah terjadinya kejahatan (prevensi).Karena untuk mempertahankan tata tertib dalam masyarakat maka hukuman itu merupakan sesuatu yang terpaksa perlu diadakan. Dipandang dari tujuan pemidanaan, teori ini dapat dibagi sebagai berikut : -
Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti calon penjahat.
-
Perbaikan atau pendidikan bagi penjahat, kepada penjahat diberikan pendidikan yang berupa pidana agar ia kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakat dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna.
6
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,Rajawali Pers, Jakarta, h. 153.
-
Menyingkirkan penjahat dari lingkungan/pergaulan masyarakat. Terhadap penjahat yang kebal dengan ancaman pidana berupa menakut-nakuti supaya dijatuhi pidana penjara yang cukup lama, bila perlu dengan penjatuhan pidana mati.
-
Menjamin keteriban hukum. Caranya adalah mengadakan norma-norma yang menjamin ketertiban hukum. Kepada pelanggar norma negara menjatuhkan pidana, ancaman pidana akan bekerja sebagai peringatan dan mempertakutkan.
3. Teori Gabungan (Verenigings Theorien) Pendukung teori gabungan antara lain Binding, Thomas Aquino, dan Vos. Teori ini membuat suatu kombinasi antara teori absolut dengan teori relatif, yang menganggap bahwa hukuman itu disamping merupakan konsekuensi dilakukannya suatu kejahatan juga untuk mempertahankan tata tertib masyarakat. Teori gabunangan ini dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) : -
Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat.
-
Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
-
Teori gabungan yang menganggap bahwa kedua asas tersebut diatas harus diterapkan sama.
2.3 Lalu Lintas 2.3.1 Pengertian Lalu Lintas Dalam pasal 1 angka 1 undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, menentukan bahwa “lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan”. Lalu lintas juga dapat diartikan sebagai gerak pindahnya manusia dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain melalui jalan umum baik dengan penggerak maupun tidak. Pemerintah mempunyai tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien melalui manajemen lalu lintas dan rekayasa lalu lintas. Pada tata cara berlalu lintas di jalan diatur dengan peraturan perundangan menyangkut arah lalu lintas, perioritas menggunakan jalan, lajur lalu lintas, jalur lalu lintas dan pengendalian arus di persimpangan. 2.3.2 Dasar Hukum Lalu Lintas Berkaitan dengan hal tersebut sehingga yang menjadi landasan hukum pelaksanaan kecelakaan lalu lintas mendasari pada beberapa ketentuan perundangundangan sebagai berikut : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 2.3.3 Pelanggaran Lalu Lintas Masalah yang patut diperhatikan di kota besar adalah masalah lalu lintas, perkembangan lalu lintas bisa menyebabkan pengaruh positif maupun negatif bagi kehidupan dimasyarakat. Setiap tahunnya juga jumlah kendaraan terus meningkat dan
tidak sedikit masyarakat yang melanggar peraturan-peraturan lalu lintas sehingga pemerintah maupun kepolisian harus semakin ketat dan tegas untuk masalah lalu lintas, hal tersebut untuk mengurangi atau menekan tingkat kecelakan lalu lintas. Pelanggaran adalah mengenai hal-hal kecil atau ringan, yang diancam dengan hukuman denda, misalnya sopir mobil yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), bersepeda pada malam hari tanpa lampu, dan lain-lain.7 Terkait dengan hal tersebut pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia di Jembrana hampir selalu terjadi setiap harinya dikarenakan kesalahan pengemudi itu sendiri. Kecelakan juga banyak terjadi karena faktor lain, diantaranya adalah karena pengemudi tidak mematuhi peraturan lalu lintas untuk menjaga keselamatan, keamanan dan juga kelancaran lalu lintasnya juga. Berkaitan dengan hal tersebut bagi masyarakat pengguna jalan raya di kabupaten Jembrana masih banyak yang belum sadar atas pentingnya peraturan lalu lintas dan hal ini yang harus diperhatikan oleh pihak yang bersangkutan maupun pemerintah. Dewasa ini banyak perkara pelanggaran lalu lintas yang tidak sesuai dengan aturan atau ketentuan hukum yang berlaku. Pelanggaran lau lintas adalah salah satu pelanggaran dalam ranah hukum pidana.8Banyak pelanggaran lalu lintas yang diselesaikan di tempat oleh oknum yang berwenang atau polantas sehingga pelanggaran lalu lintas tidak sampai proses hukum, hal ini lah yang banyak terjadi di Indonesia jadi banyak orang yang menyepelekan peraturan lalu lintas karena apabila mereka melanggar peraturan lalu lintas mereka tinggal menyuap aparat tersebut. Dan bagi 7
C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,cet. VII, Balai Pustaka, Jakarta, h. 258. 8 Yosvita Prasetyaningtyas, 2014, Hukum Untuk Awam, cet. I, Efata Publishing, Yogyakarta, h. 52.
aparat hal ini bisa disalah gunakan, dengan jabatan mereka sebagai aparat bisa mengahasilkan uang lebih dengan hal tersebut. Dari hal tersebut berikut adalah pelanggaran yang sering terjadi di masyarakat Jembrana adalah sebagai berikut : 1. Berkendara tidak memakai sistem pengaman yang lengkap seperti pengendara motor tidak memakai helm ataupun helm yang tidak standar SNI, pengendara mobil tidak memakai safety belt; 2. Menggunakan jalan dengan membahayakan diri sendiri ataupun pengendara lain, hal ini banyak faktor penyebabnya diantaranya pengendara dalam keadaan mabuk atau dalam keadaan terburu-buru; 3. Pengendara melanggar lampu rambu lalu lintas, hal ini yang sering kita lihat di setiap peremapatan atau pertigaan yang terdapat lampu rambu lalu lintas, kebanyakan para pengendara melanggar lampu rambu lalu lintas karena sedang terburu atau malas menunggu karena terlalu lama; 4. Tidak membawa surat-surat kendara STNK dan tidak membawa surat ijin mengemudi SIM; 5. Membiarkan kendraaan bermotor yang ada dijalan tidak memakai plat nomor atau plat nomor yang sah sesuai dengan STNK; 6. Tidak mematuhi perintah petugas pengatur lalu lintas. Sehingga dapat dilihat dengan jelas masih lemahnya kesadaran pengemudi kendaraan di Kabupaten Jembrana akan ketertiban lalu lintas, oleh sebab itu perlu adanya peningkatan kesadaran akan mematuhi peraturan lalu lintas, berikut beberapa
hal yang menyebabkan rendahnya kesadaran akan mematuhi peraturan lalu lintas, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Minimnya pengetahuan mengenai rambu lalu lintas Hanya patuh ketika ada petugas Memutar balikkan ungkapan Tidak memikirkan keselamatan diri atau orang lain Bisa “damai” ketika di tilang.9 Dalam hal tersebut yang kemudian pastinya setiap hal yang melanggar pasti
akan ada dampaknya termasuk juga dampak pelanggaran lalu lintas, berikut adalah dampak dari pelanggaran lalu lintas : 1. Tingginya angka kecelakan dipersimpangan atau perempatan maupun dijalan raya; 2. Keselamatan pengendara yang mengunakan jalan menjadi terancam bahkan pejalan kali yang menyebrang jalan maupun berjalan di trotoar; 3. Kemacetan lalu lintas yang semakin parah dikarenakan para pengendara tidak mematuhi peraturan maupun rambu-rambu lalu lintas; 4. Kebiasaan para pengendara yang melanggar lalu lintas sehingga budaya melanggar peraturan lalu lintas. Sehingga harus adanya penanggulangan pelanggaran lalu lintas, agar terciptanya ketertiban dalam berlalu lintas, berikut adalah upaya penanggulangan pelanggaran lalu lintas antara lain : a. Upaya Preventif adapun upaya – upaya preventif yang dilakukan pihak Satlantas untuk mencegah terjadinya pelanggaran lalu lintas yaitu : 9
Rinto Raharjo, op.cit, h. 61.
1. Pengaturan lalu lintas yang diartikan aktivitas dari polisi dalam mengatur lalu lintas di jalan umum ; 2. Penjagaan lalu lintas adalah suatu kegiatan pengawasan lalu lintas pada tempat – tempat tertentu yang diadakan sesuai kebutuhan terutama yang bersifat pencegahan ; 3. Sosialisasi atau kampanye untuk mematuhi peraturan lalu lintas melalui pemasangan spanduk. 4. Menambah jumlah sarana pos polisi yang agak rawan terhadap pelanggaran marka jalan. b. Upaya Represif Adapun kegiatan Satlantas dalam menanggulangi pelanggaran lalu lintas dengan cara refresif adalah sebagai berikut : 1. Tilang adalah bukti pelanggaran ; 2. Penyitaan dilakukan karena pengendara kendaraan tidak membawa atau mempunyai surat – surat kelengkapan kendaraan bermotor dan Surat Izin Mengemudi (SIM) ; 3. Teguran dilakukan kepada pengendara kendaraan bermotor yang melakukan pelanggaran tetapi berjanji tidak akan melakukan pelanggaran lagi.10
10
Ibid, h. 67.