BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCURI, PRATIMA, HUKUM PIDANA ADAT DAN SANKSI ADAT
2.1.
Tinjauan Umum Tentang Pencuri Pengertian pencuri secara singkat adalah seseorang yang melakukan
tindakan dalam pencurian. Pengertian pencuri dalam kamus hukum memang tidak tertulis dan dipaparkan secara jelas, namun dalam kamus hukum menerangkan arti dari kata pencurian yaitu mengambil barang milik orang lain tanpa izin atau dengan cara yang tidak sah dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.1 Menurut pendapat penulis pencurian adalah pengambilan barang atau properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemiliknya yang dilakukan oleh seorang pencuri. Secara garis besar, pencuri adalah orang yang melakukan perbuatan pencurian. Oleh karena itu dalam penulisan tesis ini, penulis tetap menggunakan kata pencuri sebagai istilah yang tepat dalam menunjuk kepada pelaku kejahatan dan juga menggambarkan kepada suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan terhadap pelaku pencuri pratima tersebut. Sanksi pidana bagi pelaku pencurian diatur secara jelas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang kejahatan terdapat pada BAB XXII tentang pencurian yang selanjutnya penulis kutip dan di paparkan dalam penulisan tesis ini, sebagai berikut :
1
M. Marwan & Jimmy P, 2009, Kamus Hukum (Dictionary Of Law Complete Edition), Cetakan ke-I, Reality Publisher, Surabaya, h. 499.
38
39
Pasal 362 KUHP : Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun, atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Pasal 363 KUHP : 1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun : 1. pencurian ternak; 2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang; 3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; 4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; 5. pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. 2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 364 KUHP : Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 butir 4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima ribu rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah. Pasal 365 KUHP : 1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri. 2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun; 1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; 2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
40
3.
jika masuk ketempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu; 4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat. 3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam No. 1 dan 3. Pasal 366 KUHP : Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 362, 363, dan 365 dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1-4. Pasal 367 KUHP : 1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana. 2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan. 3) Jika menurut lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.2 Apabila dirinci rumusan pengertian pencurian yang tercantum pada Pasal 362 KUHP diatas maka terdiri atas unsur-unsur yaitu : a. Unsur Obyektif: 1. Perbuatan mengambil; 2. Barang; 3. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain. b. Unsur Subyektif: 1. Adanya maksud; 2. Untuk memiliki; 3. Dengan melawan hukum.3 2
R. Soenarto Soerodibroto, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 223-229. 3 S.R. Sianturi, op.cit, h. 590.
41
Unsur kesalahan yang berbentuk sengaja tersirat pada kata-kata “mengambil” yang dipertegas lagi oleh kata-kata “dengan maksud untuk memiliki”, kata dengan maksud berfungsi ganda, yaitu di satu pihak menguatkan unsur sengaja pada delik ini dan di lain pihak berperan untuk menonjolkan peran sebagai tujuan dari pelaku. Seseorang yang bermaksud untuk melakukan sesuatu, tidak ayal lagi bahwa sesungguhnya dalam dirinya pun mempunyai kehendak untuk melakukan sesuatu itu. Mempunyai kehendak berarti ada kesengajaan. Adapun yang dimaksud dengan barang pada delik ini pada dasarnya adalah setiap benda bergerak yang mempunyai nilai ekonomi, karena jika tidak ada nilai ekonominya sangat sulit dapat diterima akal sehat bahwa seseorang akan membentuk kehendak mengambil barang sesuatu itu sedangkan diketahuinya bahwa barang yang akan diambil itu tiada nilai ekonominya. Untuk itu dapat diketahui pula bahwa tindakan itu adalah bersifat melawan hukum. Barang yang menjadi obyek dari delik pencurian adalah seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, ini berarti bahwa sebagian adalah kepunyaan si pelaku itu sendiri, jika si pemilik mengambil kepunyaan sendiri tentunya tidak ada persoalan pencurian, yang menjadi masalah disini adalah bagian lain yang merupakan kepunyaan orang lain itu. Jadi betapa besar peranan tindakan mengambil itu, yang tanpa itu tidak mungkin terjadi pencurian. Oleh karena itu suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur-unsur tersebut diatas.4
4
Ibid, h. 593.
42
2.2.
Tinjauan Umum Tentang Pratima Pengertian pratima sendiri jika ditelusuri secara etimologi, berasal dari
bahasa sansekerta yang artinya gambar atau rupa, bentuk, manifestasi dari perwujudan dewa, atau disebut juga dengan Murti dan Vigraha. Melalui pratima yang menggambarkan dewa dari berbagai bentuk, gambar, mapun rupa dengan beberapa kepala, lengan, mata atau dengan fitur hewan tidak dimaksudkan untuk menjadi perwakilan dari bentuk duniawi, melainkan dimaksudkan untuk menunjuk kepada kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pada umumnya pratima berfungsi sebagai wahana Tuhan yang tidak terbatas dan mengambil bentuk terbatas serta memanifestasikan wujud dewa ketika dijalankan serta diyakini untuk hadir pada wujud, rupa, ataupun bentuk pada pratima.5 Pratima merupakan simbol dewa/bhatara yang dipergunakan sebagai alat untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penggunaan pratima di Bali adalah sebagai sarana untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pratima merupakan benda pusaka yang dikeramatkan atau disakralkan oleh umat Hindu di Bali khususnya. Penggunaan pratima diperkirakan sudah berkembang sejak abad ke IX dan berakhir sampai abad ke XIII.6
5 6
I Ketut Sandika, op.cit, h. 67. Paduarsana, Budaya “Mekemit”, Balipost, 13 Desember 2012, h. 3
43
2.3.
Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana Adat dan Sifat Hukum Pidana Adat
2.3.1. Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana Adat Hukum pidana adat bersumber dari sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Zevenbergen menyebutkan sumber hukum merupakan sumber terjadinya hukum yang secara konvensional dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.7 Utrecht menyebutkan sumber hukum materiil yaitu perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public opinion) yang menjadi determinan materiil membentuk hukum, menentukan isi hukum, sedangkan sumber hukum formil yaitu menjadi determinan formil membentuk hukum dan menentukan berlakunya hukum yang terdiri dari undang-undang, kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrina). Polarisasi pemikiran doktrina di atas, hampir identik dengan rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) Ketetapan MPR-RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan dimana disebutkan sumber hukum tersebut terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis.
7
Lilik Mulyadi, 2010, Eksistensi Yurisprudensi Dikaji Dari Perspekstif Teoretis dan Praktik Peradilan, Bahan Literatur Penelitian Kedudukan Dan relevansi Jurisprudensi Untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, Jakarta, h. 7.
44
Sumber hukum pidana Indonesia apabila dijabarkan lebih intens maka sumber hukum pidana Indonesia dapat terdiri atas hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis. Apabila dijabarkan, sumber hukum pidana tertulis sumber utamanya bertitik tolak kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvSNI) yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Akan tetapi, sebelum tanggal 1 Januari 1918 di Hindia Belanda berlaku 2 (dua) WvS yaitu WvS yang berlaku untuk golongan Eropa (K.B 1866 Nomor 55) dan WvS untuk orang Bumiputera atau yang dipersamakan berdasarkan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872. Konsekuensi logis dimensi konteks di atas, dapat dijabarkan bahwa pada kurun waktu itu secara formal hukum pidana adat tidak diperlukan oleh pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi secara materiil tetap diterapkan dan berlaku dalam praktek peradilan. Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau hukum adat pidana merupakan cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat. Hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti serta ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Hilman Hadikusuma menuliskan bahwa jika membicarakan tentang hukum pidana adat, berarti berusaha mencari pengertian tentang hukum adat yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran hukum adat yang menyebabkan terganggunya keseimbangan masyarakat dan seterusnya mencari pengertian tentang cara bagaimana masalah yang mengganggu keseimbangan masyarakat itu
45
diselesaikan.8 Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat
menimbulkan
keguncangan
dalam
masyarakat
karena
dianggap
mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat, oleh sebab itu bagi si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya. I Made Widnyana menyebutkan di Bali sumber tertulis dari hukum pidana adat dapat ditemukan pada beberapa sumber seperti: 1. Manawa Dharmasastra (Manu Dharmacastra) atau Weda Smrti (Compendium Hukum Hindu), 2. Kitab Catur Agama yaitu Kitab Agama, Kitab Adi Agama, Kitab Purwa Agama, Kitab Kutara Agama, 3. Awig-Awig (Desa Adat, Banjar) adalah aturan-aturan atau keinginankeinginan masyarakat hukum adat setempat yang dibuat dan disahkan melalui suatu musyawarah dan dituliskan di atas lontar atau kertas. Di dalam awig-awig dimuat/diatur larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga masyarakat yang bersangkutan atau kewajibankewajiban yang harus diikuti oleh masyarakat tersebut, yang apabila dilanggar mengakibatkan dikenakannya sanksi oleh masyarakat melalui pimpinan adatnya.9 Hukum pidana adat telah ada, lahir, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia sejak lama. Kemudian dalam bentuk kodifikasi hukum pidana adat setelah kemerdekaan diatur dalam ketentuan Pasal 1 dan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara
8 9
Hilman Hadikusuma, 1980, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni, Bandung, h. 98. I Made Widnyana, op.cit, h. 4.
46
Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara PengadilanPengadilan Sipil. 10 Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 disebutkan bahwa kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang meliputi badan pengadilan gubernemen, badan pengadilan swapraja (zelbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan badan pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechtsreeks bestuur gebied) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat telah dihapuskan. Hakikat dasar adanya ketentuan tersebut berarti sebetulnya Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 telah meniadakan badan-badan pengadilan lain kecuali badan pengadilan umum, agama dan pengadilan desa. Ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 disebutkan, bahwa: “Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian bahwa suatu perbuatan yang
10
Selain diatur dalam UU Nomor 1 Drt 1951 maka eksistensi hukum pidana adat juga diatur dalam Pasal 18 B UUD 1945 hasil Amandemen, UU Nomor 48 Tahun 2009, Yurisprudensi Mahkamah Agung. Kemudian secara parsial dalam daerah tertentu juga diatur seperti misalnya di Aceh Nangroe Darussalam dengan UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berikutnya diimplementasikan dalam bentuk Qanun baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten seperti Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo, dan lain sebagainya. Kemudian di Bali diatur dan diimplementasikan dalam bentuk Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) seperti Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) Karangasem, Awig-Awig Desa Adat Mengwi, Kabupaten Badung dan lain sebagainya.
47
menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana yang ada bandingnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut”. Ada 3 (tiga) konklusi dasar dari ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UndangUndang Darurat Nomor 1 Tahun 1951; Pertama, bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan ringan), minimumnya sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan
48
ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang berat ancaman pidana paling lama 10 (sepuluh) tahun, sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa. Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati Krama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP. Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan dan dinamika masyarakat yang teramat kompleks di satu sisi sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata eksistensi hukum pidana adat tersebut dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”.11 Pertama, dikaji dari dimensi asas legalitas formal (selanjutnya disebut sebagai asas legalitas) dan asas legalitas materiil. Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut dengan terminology “Principle of legality”, legaliteitbeginsel”,
11
M. Cherif Bassiouni, 1978, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Springfield, Illionis, USA, h.78. dikutip dari: Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, h. 3 menyebutkan tiga tahap kebijakan yaitu kebijakan pada tahap formulasi (proses legislasi), tahap aplikasi (proses peradilan/judicial) dan tahap eksekusi (proses administrasi).
49
“non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya”. (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”.12 Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang mendahuluinya”.13 Moeljatno menyebutkan pula bahwa “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.14 Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang). J.E. Sahetapy menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin semata-mata karena bahasa latin merupakan bahasa dunia hukum yang digunakan pada waktu itu.15 Moeljatno menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas
12
P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, 1990, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 1. 13 Andi Hamzah, 2005, Asas-Asas Hukum Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, h. 41. 14 Moeljatno, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Bumi Aksara, Jakarta, h. 3. 15 J.E. Sahetapy, 2003, Asas Retroaktif: Suatu Kajian Ulang, Edisi Mei, KHN Newsletter, h. 21.
50
tidak dikenal dalam hukum romawi kuno.16 Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang”. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Asas legalitas lahir, tumbuh dan berkembang dalam alam liberalisme, akan tetapi pada dimensi kekinian ternyata alam liberalisme tersebut relatif kurang cocok diterapkan dalam kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis sehingga konsekuensi logisnya perlu dicari suatu formula berupa adanya keinginan untuk menerapkan keseimbangan monodualistik antara asas legalitas formal dan asas legalitas materiil. Eksistensi asas legalitas materiil sebagaimana dikaji dari perspektif ius constituendum diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP Tahun 2008 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan, 2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi, 3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
16
Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 23.
51
4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Penjelasan ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP menentukan bahwa suatu kenyataan dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundangundangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu, sehingga dalam penerapan asas legalitas materiil tersebut hakikatnya mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini juga berorientasi pada nilai nasional dan internasional. Asas legalitas formal dan materiil hendaknya diatur dalam peraturan perundang-undangan dan diimplementasikan secara integral. Pada asas legalitas dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Kemudian asas legalitas materiil
52
menentukan bahwa dasar patut di pidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat. Barda Nawawi Arief menyebutkan dengan adanya perumusan asas legalitas yang formal di dalam Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di dalam masyarakat sama sekali tidak mempunyai tempat sebagai sumber hukum yang positif. Dengan kata lain, adanya Pasal 1 KUHP itu seolah-olah hukum pidana tidak tertulis yang hidup atau pernah ada di masyarakat sering “ditidurkan atau dimatikan”. Semasa zaman penjajahan, ditidurkannya hukum pidana tidak tertulis itu masih dapat dimaklumi karena memang sesuai dengan politik hukum Belanda pada saat itu. Namun, akan dirasakan lain apabila kebijakan itu juga diteruskan sesuai kemerdekaan. Dengan adanya Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis/tertulis hukum yang hidup itu tidak pernah tergali dan terungkap secara utuh kepermukaan, khususnya dalam praktek peradilan pidana maupun dalam kajian akademik di perguruan tinggi. Selanjutnya, berarti tidak pernah berkembang dengan baik “tradisi yurisprudensi” maupun “tradisi akademik/keilmuan” mengenai hukum pidana tidak tertulis itu. Apabila ada, hanya dalam ruang yang sangat terbatas dan tidak utuh atau tidak lengkap.17 Sejak UU 14 Tahun 1970 (berikut UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) yang tidak mengakui eksistensi peradilan adat fakta aktual dalam kebijakan aplikatif melalui yurisprudensi Mahkamah Agung RI eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. 17
Barda Nawawi Arief, 1994, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidato (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, h. 25.
53
Misalnya, sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUHP (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan “sanksi adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951 jo pasal-pasal KUHP). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila kepala adat tidak pernah memberikan “sanksi adat” terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan peradilan Negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUHP. Dari titik tolak tersebut maka dapat disebutkan bahwa
54
eksistensi hukum pidana adat bersifat multi dimensional baik dari kebijakan formulatif maupun kebijakan aplikatifnya. Konklusi dasar dari yang telah diuraikan disebutkan bahwa hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial akibat suatu pelanggaran adat. Mengenai masalah penegakan hukum dalam masyarakat hukum adat dalam perspektif socio legal menurut David Berker dan Collin Padfield dalam Sidik Sunaryo adalah “as a rule of human conduct imposed upon and enforced among the members of a give state”, artinya bahwa hukum merupakan kumpulan aturan baik tertulis (Undang-Undang) maupun kebiasaan (Custom), hukum sebagai pedoman tingkah laku, hukum ditentukan secara paksa oleh badan yang diberi otoritas (law is emposed), dan hukum memiliki daya eksekusi (enforcement).18 Namun, Eitzen berpendapat hukum sama dengan norma, ia mengatakan “norms are rules specipying appropriate and inappropriate behaviors. The important norms are called mores and the less important one are called folkways”, bahwa norma adalah aturan atau pedoman hidup tingkah laku manusia. Sehingga barangsiapa melanggar dianggap sebagai manusia yang tidak 18
Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Pertama, UMM Press, Malang, h. 3.
55
bermoral (amoral), sebab yang ditekankan di sini adalah aspek moral dan etika dari manusia. Selanjutnya agar norma atau hukum dipatuhi tanpa adanya paksaan oleh warga masyarakat maka perlu diadakan sosialisasi (pemasyarakatan).19 2.3.2. Sifat Hukum Pidana Adat Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa “Masyarakat bangsa Indonesia yang bertempat di desa-desa yang jauh dari kota-kota sangat dipengaruhi alam sekitarnya yang magis religious. Alam pikiran masyarakat itu mempertautkan antara yang nyata dan yang tidak nyata, antara alam fana dan alam baka, antara kekuasaan manusia dan kekuasaan gaib, antara hukum manusia dan hukum Tuhan.20 Oleh karena itu, maka pada umumnya masyarakat adat tidak banyak yang dapat berpikir rasionalistis atau liberalistis sebagaimana cara berpikirnya orang barat atau orang Indonesia yang cara berpikirnya sudah terlalu maju atau kebarat-baratan dengan menyampingkan kepribadian Indonesia. Oleh karenanya hukum adat bukan hasil ciptaan pikiran yang rasionil, intelektual dan liberal, tetapi hasil ciptaan pikiran komunal magis religious, atau komunal kosmis.21 Dikaji dari dimensi bahwa berdasarkan alam pikiran tradisional seperti itu, maka alam pikiran bersifat kosmis menempatkan kehidupan manusia sebagai bagian dari alam, kehidupan manusia berkorelasi dengan alam, kegoncangan hidup
manusia
merupakan
ketidakseimbangan
dengan
kehidupan
alam,
kegoncangan alam adalah akibat ketidakseimbangan kehidupan manusia. I Made Widnyana menyebutkan ada 5 (lima) sifat hukum pidana adat ;
19
Ibid. Hilman Hadikusuma, op.cit, h. 23. 21 Ibid, h. 21. 20
56
1. Menyeluruh dan menyatukan karena dijiwai oleh sifat kosmis yang saling berhubungan sehingga hukum adat pidana tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata. 2. Ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. 3. Membeda-bedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa pelanggaran yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh karena itu, dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda. 4. Peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil. 5. Tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan pada si pelaku tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin juga dibebankan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu.22 Menurut Hilman Hadikusuma, alam pikiran tradisional yang tercermin dalam sifat-sifat hukum pidana adat sebagai berikut : 1.
2.
3.
22
Menyeluruh dan menyatukan; ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana adat bersifat menyeluruh dan menyatukan, oleh karena latar belakang yang menjiwai bersifat kosmis, dimana yang satu dianggap bertautan dengan yang lain, maka yang satu tidak dapat dipisahpisahkan dengan yang lain. Hukum pidana adat tidak membedakan antara pelanggaran yang bersifat pidana, dengan pelanggaran bersifat perdata. Semuanya akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat sebagai satu kesatuan perkara yang pertimbangannya bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang mempengaruhinya. Ketentuan yang terbuka; oleh karena manusia tidak akan mampu meramalkan masa yang akan datang, maka ketentuan hukum pidana adat tidak bersifat pasti, sifat ketentuannya selalu terbuka untuk semua peristiwa yang mungkin terjadi, yang dijadikan ukuran adalah rasa keadilan masyarakat. Dalam penyelesaian peristiwa akan selalu terbuka dan selalu dapat menerima segala sesuatu yang baru, karenanya akan selalu tumbuh ketentuan-ketentuan yang baru. Membeda-bedakan permasalahan; apabila terjadi peristiwa pelanggaran adat, maka yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya, tetapi juga apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pemikiran demikian, maka dalam cara
I Made Widnyana, op.cit, h. 3-4.
57
4.
5.
6.
2.4.
mencari penyelesaian dan melakukan tindakan hukum terhadap suatu peristiwa menjadi berbeda-beda. Peradilan dengan permintaan; untuk memeriksa dan menyelesaikan perkara pelanggaran, sebagian besar didasarkan pada adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil, kecuali dalam hal yang langsung merugikan dan mengganggu keseimbangan masyarakat yang tidak dapat diselesaikan dalam batas wewenang kekerabatan. Tindakan reaksi atau koreksi; dalam hal melakukan tindakan reaksi atau koreksi dalam menyelesaikan peristiwa yang mengganggu keseimbangan masyarakat, petugas hukum tidak saja dapat bertindak terhadap pelakunya, tetapi juga terhadap keluarga, atau kerabat pelaku itu, atau mungkin diperlukan membebankan kewajiban kepada masyarakat bersangkutan atau seluruhnya untuk mengembalikan keseimbangan. Tidak Prae-Existente; hukum adat pidana tidak menganut sistem praexistente regel yang berarti tidak menganut asas legalitas dalam arti perbuatan pidana dalam hukum adat pidana tidak ditentukan terlebih dahulu sebagai suatu tindak pidana dalam suatu perundang-undangan tertulis, tetapi ditentukan begitu ada perbuatan yang mengganggu keseimbangan dalam masyarakat.23
Tinjauan Umum tentang Sanksi Adat dan Delik Adat
2.4.1. Pengertian dan Jenis-Jenis Sanksi Adat Bali Emile Durkheim, mengatakan bahwa reaksi sosial (sanksi Adat) yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat diperlukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan Adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.24 Reaksi adat ini merupakan tindakan-tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisasi suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat.25
23
Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, h. 232. 24 Emile Durkheim, dalam I Made Widnyana, op.cit, h. 8. 25 Ibid.
58
Masyarakat adat Bali terikat oleh suatu aturan adat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat atau yang lebih dikenal dengan awig-awig. Dalam awig-awig terdapat aturan yang bersifat mengatur dan memaksa yang tujuannya untuk menciptakan keserasian dan keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam awig-awig diatur mengenai perbuatan mana yang disebut dengan pelanggaran adat. Terhadap warga asli desa pakraman yang melanggar ketentuan awig-awig dapat diberikan tindakan berupa reaksi adat atau sanksi adat oleh pengurus adat (prajuru). Sanksi adat dalam hukum adat Bali dikenal dengan sebutan sanksi adat, koreksi adat dan reaksi adat (danda atau pamidanda). Tujuannya untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat. Sanksi ini dikenakan oleh lembaga adat atau lembaga desa kepada seseorang atau kelompok atau keluarganya atau bahkan seluruh masyarakat, karena dianggap telah melanggar norma adat (norma agama Hindu), dimana untuk dikembalikan keseimbangan sekala niskala (alam nyata & alam gaib). Ada 3 golongan sanksi adat yang disebut tri danda, yaitu: 1. Artha danda, sanksi adat berupa penjatuhan denda (uang atau barang), contoh: a. Dedosan Saha Panikel-nikelnya miwah panikel urunan (Denda berupa uang atau barang beserta kelipatannya atau kelipatan tunggakan iuran); b. Kataban (Penahanan ternak yang keberadaannya melanggar hukum); c. Kadaut Karang ayahan desanya (Pengambilalihan tempat kediamannya yang berupa tanah milik desa); d. Kerampag (Pengambilalihan secara paksa atau perampasan harta untuk melunasi utang pelanggar hukum); e. Ngingu Banjar/Desa (Menjamu seluruh anggota banjar/desa); dan lainlain.26 26
I Wayan Suardana, 2010, Delik dan Sanksi Adat dalam Perspektif Hukum Nasional, dalam Dewa Nyoman Rai Asmara Putra Dkk Wicara Lan Pamidanda Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Udayana University Press, Denpasar, h. 77-78.
59
2. Jiwa danda, sanksi adat berupa penjatuhan derita jasmani dan rohani. Contoh: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.
Kapademang (dibunuh); Katugel limane (dipotong tangannya); Mengaksama, mapilaku, lumaku, mengolas-olas, nyuaka (minta maaf); Matirta Gemana atau Matirta Yatra (melakukan perjalanan suci golongan Brahmana/Pendeta); Kaselong (dibuang ke luar kerajaan bahkan adakalanya keluar Bali); Mapulang kepasih (ditenggelamkan ke laut); Kablagblag (dipasung); Katundung, kairid (diusir); Kasepekang/kanorayang (dikucilkan atau tidak diajak berbicara); Ayahan panukun kasisipan (wajib kerja pengganti kesalahan); Kawasang mabanjar/madesa (diberhentikan sebagai warga banjar atau desa); Tan polih suaran kulkul (tidak mendapat informasi); Kalatengan (disiksa menggunakan daun lateng); Kaople (diarak keliling desa); Kapelungguh, kapesaje, karepotang (diperingatkan lisan, dilaporkan); Keantenang (mengawini gadis); Kaginggsiran (ditempatkan sementara di dekat kuburan atau diluar tegak desa).27
3. Sangaskara danda, sanksi adat berupa mengembalikan keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama). Contoh: kewajiban melaksanakan upacara pecaruan, pemarisudan, prayascita (bentuk-bentuk upacara yang bertujuan membersihkan benda-benda, tempat-tempat suci agar kembali kesuciannya seperti dahulu kala).28 Menurut Loeby Loeqman, Hukum yang hidup dalam masyarakat ada dua, yaitu hukum yang bersifat adil dan ada pula yang bersifat kurang atau tidak adil.29 Seiring perkembangan jaman, sebagian sanksi-sanksi adat yang dikenal dalam
27
Ibid, h. 78. Dharmayuda Suastawa, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, h. 145 29 Loeby Loeqman, 1994, Pengaruh Hukum (pidana) Adat di dalam Perkembangan Hukum Pidana Nasional, (Makalah) Seminar Nasional Relevansi Hukum Pidana Adat dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional. h. 8. 28
60
masyarakat Bali sudah ditinggal karena tidak sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat, bertentangan dengan aturan hukum nasional serta melanggar nilainilai hak asasi manusia. Sanksi adat yang bertentangan dengan keadilan masyarakat inilah yang oleh Loeby Loeqman dikatakan sebagai hukum adat yang bersifat kurang atau tidak adil. Oleh I Made Widnyana, jenis-jenis sanksi adat tersebut dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1. Sanksi adat yang sama sekali ditinggal oleh masyarakat: Sanksi adat yang sudah tidak sesuai dengan keadaan masyarakat, olehnya dilarang dengan tegas oleh pihak yang berwenang dengan peraturan perundang-undangan. Contoh: Kapademang (dibunuh), Katugel limane (dipotong tangannya), dan lain-lain. 2. Sanksi adat yang masih berlaku sepenuhnya: Sanksi yang masih hidup dan berlaku dalam masyarakat adat Bali walaupun terhadap pelaku suatu delik adat telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan berdasarkan peraturan yang berlaku, namun sanksi adat harus tetap dikenakan guna mengembalikan keseimbangan kosmis suatu daerah masyarakat adat.30 Sanksi-sanksi adat yang masih berlaku dalam masyarakat adat bali terdapat dalam awig-awig suatu desa, yaitu: 1. Danda (denda); 2. Maprayacitta (membuat upacara pembersihan menurut agama Hindu); 3. Kawasang mabanjar/madesa (diberhentikan sebagai warga Banjar atau Desa);
30
I Made Widnyana, op.cit, h. 21.
61
4. Karampag (dirampas harta kekayaannya); 5. Ngingu Banjar/Desa atau nyanguin Banjar/Desa (menjamu Banjar); 6. Keantenang (mengawini gadis).31 Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa ada beberapa sanksi adat Bali yang telah tidak diberlakukan lagi karena dianggap tidak adil (tidak sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat), bertentangan dengan hak asasi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat bersifat fleksibelitas. Sebagaimana dikatakan oleh Soepomo bahwa hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena penjelmaan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan sifatnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.32 Apabila ada hukum adat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka hukum adat tersebut dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adat Bali masih kuat memegang tradisinya, dan hukum adat Bali juga berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman sesuai dengan konsep Desa, Kala, Patra.33
31
Ibid. Ibid. h. 7. 33 Desa, Kala, Patra adalah konsep yang dipegag teguh oleh masyarakat Bali di dalam penerapan nilai-nilai hukum Adat. Dimana terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam hukum Adat Bali senantiasa disesuaikan menurut desa (tempat), dimana nilai-nilai tersebut diterapkan, kala (waktu) pada nilai itu dilaksanakan, serta dalam keadaan (patra) apa nilai-nilai hukum Adat ini hendak diterapkan. 32
62
2.4.2. Jenis-Jenis Delik Adat Bali Di Bali terdapat beberapa jenis tindak pidana adat (delik adat Bali). Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana sejak 19451973,34 di Bali dikenal 4 jenis tindak pidana adat (pelanggaran adat) yang masih hidup hingga sekarang yaitu: 1) Delik Adat Kesusilaan: Berbicara tentang kesusilaan tidaklah dapat dipisahkan dari kelahiran manusia itu sendiri karena tujuan dari kesusilaan itu adalah untuk menciptakan keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara makro kosmos (Bhuana Agung) dengan mikro kosmos (Bhuana Alit).35 Adapun contoh Delik Adat Kesusilaan: a. Lokika Sanggraha; Delik Lokika Sanggraha diatur dalam Pasal 359 Kitab Adigama. Secara etimologi Lokika Sanggraha berasal dari bahasa Sansekerta, terdiri atas dua kata yaitu Lokika dan Sanggraha. Kata Lokika berasal dari kata Laukika yang berarti umum, orang banyak, sedangkan kata Sanggraha berarti pegang (dalam arti luas), sentuh,
hubungan.
Jadi,
Lokika
Sanggraha
diartikan
dipegang/sentuh/jamah orang banyak (usud ajak anak liu).36 Secara etimologi belum dapat ditemukan secara jelas pengertian yang
34
Nyoman Serikat Putra Jaya, 1988, “Relavansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional (Studi Kasus Hukum Pidana Adat Bali)”, (tesis) dalam memperoleh gelar Magister Hukum Ilmu Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 109. 35 I Made Widnyana, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Centre (IBLC), Jakarta, h. 2. 36 Institut Hindu Dharma, 1985, Pandangan Agama Hindu Terhadap Delik Adat Lokika Sanggraha, Makalah, h. 2
63
mencerminkan adanya hubungan seksual yang terlarang. Secara yuridis yaitu berdasarkan Pasal 359 Kitab Adigama Lokika Sanggraha diartikan sebagai: “Malih Lokika Sanggraha, loewir ipoen djanma mededemenan, sane moewani tan neherang demen ipoen, dening djirih pantjang kasisipang, awanan ipoen ngerereh daje, saobajan iloeh kasanggoepin, wastoe raoeh ring pepadoen tungkas paksane, sane loeh ngakoe kesenggama, sane moewani ngelisang mepaksang patoet tetes terangan pisan, jan djakti imoewani menemenin wenang ipoen kesisipang dande oetama sehasa 24.000, poenika mewasta Lokika Sanggraha, oetjapang sastra”. (Lagi Lokika Sanggraha, misalnya orang bersenggama, si laki-laki tidak setia akan mencintainya, karena takut akan dipersalahkan maka mencari daya upaya, syarat-syarat si wanita disanggupi, kemudian si wanita menyatakan dirinya dipaksa disetubuhi dan si laki-laki dengan cepat mengaku diperkosa oleh si wanita, kalau demikian halnya sepatutnya diusut kejelasannya, dan kalau benar si laki-laki yang berbuat patutlah dihukum denda sebesar 24.000 uang kepeng). Pengertian Lokika Sanggraha menurut para ahli hukum, yaitu sebagai berikut: Menurut Made Widnyana, Lokika Sanggraha ialah hubungan cinta antara pria dan wanita yang sama-sama belum menikah, dilanjutkan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena adanya janji setia dari si pria untuk mengawininya, namun setelah si
wanita hamil
si
pria memungkiri
janjinya,
memutuskan hubungan tanpa alasan.37 Gede
Panetje
mengartikan
Lokika
Sanggraha
sebagai
pelanggaran berupa seorang perempuan Triwangsa yang bunting (dalam arti mengandung atau hamil), karena pergendekan
37
I Made Widnyana, op.cit, h. 14-15.
64
(hubungan seksual) yang sementara tidak diketahui atau tidak mau disebut siapa lelaki yang membuat kebuntingan itu.38 I Wayan Windia, Lokika Sanggraha adalah delik adat berupa seorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan diluar perkawinan dengan janji akan mengawini, tetapi ternyata tidak dikawini.39 Delik Lokika Sanggraha ialah suatu delik adat yang merupakan suatu perbuatan terlarang yaitu seorang laki-laki yang menghendaki pelayanan nafsu birahi terhadap seorang wanita bebas (status belum menikah atau janda) atas dasar suka sama suka dengan janji akan mengawini si perempuan, akibat dari perbuatan tersebut berakibat si wanita hamil, kemudian si pria mengingkari janjinya untuk mengawini si perempuan tanpa alasan. Adapun unsur-unsur daripada delik Lokika Sanggraha adalah: Adanya hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita; Antara pria dan wanita yang sedang bercinta itu terjadi hubungan seksual atas dasar suka sama suka; Pria berjanji akan mengawini si wanita; Hubungan seksual yang telah terjadi menyebabkan si wanita menjadi hamil; dan Pria memungkiri janji untuk mengawini wanita itu tanpa alasan. 38
Gede Panetje, 1986, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas, Denpasar, h. 39. I Wayan Windia, 2004, Memitra Ngalang, Catatan Populer Hukum Adat Bali, (Upada Sastra, Denpasar, h. 47. 39
65
Dalam adat istiadat Bali yang berlandaskan nilai-nilai agama Hindu, suatu perbuatan seksual hanya diperbolehkan dalam suatu hubungan perkawinan (pawiwahan). Suatu hubungan seksual yang dilakukan tanpa suatu upacara pakalan-kalaan dianggap tidak baik, karena disebut Kapirangan. Karena hal itu dipercaya dari hubungan tersebut apabila terjadi pembuahan dan melahirkan anak, maka anak tersebut dipercaya akan menjadi anak yang tidak akan mendengarkan nasehat orangtua atau ajaran-ajaran agama (raredyadyu). Oleh karena melanggar perasaan hukum dan kepercayaan masyarakat adat Bali maka hubungan seksual diluar pernikahan seperti Lokika Sanggraha dianggap sebagai perbuatan yang melanggar norma-norma adat dan moral agama. b. Amandel Sanggama; Suatu delik adat yang berupa seorang istri yang meninggalkan suaminya tanpa alasan yang jelas, sedangkan statusnya masih dalam suatu ikatan perkawinan. c. Drati Krama; Hubungan seksual antara wanita dan pria yang sedang masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain (sama dengan perzinahan KUHP).40 d. Gamia Gemana; Hubungan seksual antara pria dan wanita yang masih memiliki hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus maupun
40
Merupakan aspek pertimbangan atas Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.22/PID/S/1988/PT.DPS) dalam perkara Lokika Sanggraha dengan terdakwa I Nyoman AS, yang melanggar ketentuan Pasal 359 KItab Adigama jo Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
66
garis ke samping.41 I Made Widnyana mengartikan gamia gemana, sebagai perkawinan antara saudara kandung, antara ibu dengan anak, dan lain-lain.42 Sedangkan Jelantik Sushila menjelaskan gamia gemana sebagai perkawinan laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai ikatan keluarga yang agak dekat, yang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (1) gamia atau perkawinan sumbang, dan (2) gamia gemana.43 Dari penjelasan di atas tedapat tiga definisi mengenai gamia gemana, I Wayan Windia memasukkan unsur hubungan seksual antara orang-orang yang masih ada hubungan kekeluargaan, sedangkan I Made Widnyana dan Jelantik Sushila menyatakan bahwa gamia gemana adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai ikatan keluarga yang dekat. Disini ada dua istilah yang berbeda Wayan Windia dengan hubungan seksual, sedangkan I Made Widnyana dan Jelantik Sushila mempergunakan istilah perkawinan. Walaupun antara hubungan seksual dan perkawinan memiliki perbedaan yang tipis, namun tetap saja berbeda pengertiannya. Menurut Jiwa Atmaja, umumnya orang menganggap gamia gemana sebagai perkawinan yang terlarang, bukan sebagai hubungan seksual.44 Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dilarang antara dua orang yang:
41
I Wayan Windia, loc.cit, h. 87. I Made Widnyana, dalam Jiwa Atmaja, 2008, Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat Bali, Udayana University, Denpasar, h. 83-84. 43 Ibid, h. 84. 44 Ibid. 42
67
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan yang menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 3. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak istri, menantu dan Ibu/Bapak Tiri; 4. Berhubungan susuan, yaitu orang susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; 5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.; 6. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau aturan lain yang berlaku dilarang kawin. e. Mamitra Ngalang, Laki-laki sudah beristri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberi nafkah lahir batin seperti layaknya suami istri, tapi belum kawin secara sah.45 Hubungannya bersifat terus menerus. Mamitra Ngalang agak mirip dengan Drati Krama, namun yang membedakan ialah status pelaku. Jika dalam Drati Krama salah satu atau kedua pelaku masih terikat perkawinan yang sah (sama dengan delik Pasal 284 KUHP, Perzinahan), sedangkan dalam mamitra ngalang, pelaku pria berstatus suami.
45
Ibid, h. 188.
68
f. Salah Krama, Melakukan hubungan seksual dengan makhluk hidup tidak sejenis. Contoh; manusia dengan hewan. Misalnya; seorang wanita melakukan hubungan badan guna menyalurkan nafsu birahinya dengan memanfaatkan seekor anjing jantan. Bahkan kisah nyata adanya hubungan kelamin seorang manusia dan seekor binatang dilukiskan dalam Babad Prati Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan (1999). Dalam babad ini diungkapkan permusuhan antara Pangeran Kapal dan Pangeran Beringkit, berasal dari kematian seorang putri Pangeran Beringkit yang dipinang oleh Pangeran Kapal. Putri Pangeran Beringkit dipaksakan kawin dengan seekor kuda kesayangan pangeran kapal menuai ajalnya dikandang kuda. Hal ini dilakukan karena sumpah (kaul) yang pernah diucapkan pangeran beringkit ketika kuda kesayangannya itu sakit dalam kaulnya diucapkan jika kudanya sembuh akan dikawinkan dengan seorang putri. Akibat dari peristiwa ini terjadi Peperangan Beringkit dan Kapal. g. Kumpul Kebo, Seorang laki-laki dengan seorang perempuan hidup bersama, dalam satu rumah dan mengadakan hubungan seksual, seperti layaknya suami istri, tetapi mereka belum terikat oleh ikatan perkawinan. 2) Delik Adat menyangkut harta benda; Delik adat Bali yang berkaitan dengan harta benda pada umumnya sama dan ada persamaannya atau padanannya dalam KUHP. Namun perbedaannya bahwa dalam delik adat Bali lebih pada obyek yang
69
dijadikan tujuan kejahatan atau yang dicuri. Contoh delik adat dalam bidang harta benda adalah pencurian pratima. Pencurian terhadap pratima merupakan suatu perbuatan yang mengganggu keseimbangan magis dari pada daerah setempat. Pratima merupakan benda/barang berbentuk patung yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang disimbolkan dan digunakan sebagai stana (Pralingga) Sang Hyang Widhi Wasa atau dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan.46 Benda-benda suci menurut besar kecil nilai kesuciannya dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan: a.
b.
c.
Pralingga-Pralingga; merupakan benda suci yang dibuat khusus untuk melambangkan Sang Hyang Widhi Wasa yang wujudnya seperti pewayangan sesuai dengan manisfestasinya, misalnya: patung Dewi Saraswati sebagai simbol ilmu pengetahuan; Tapakan-Tapakan; benda suci yang dibuat dengan tujuan supaya dijiwai oleh Istadewata yang mempunyai kekuatan gaib supaya jangan mengganggu di alam semesta, misalnya: barong, rangda, celuluk; dan Alat-alat upacara yaitu semua alat yang khusus dipakai dalam upacara keagamaan, misalnya: umbul-umbul, wastra, bokor.
3) Delik adat menyangkut kepentingan pribadi, seperti memisuh, mapisuna, memauk, dan sebagainya. 4) Pelanggaran adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban terhadap lembaga tradisional, tidak datang ketika ada pertemuan desa (paruman), tidak membayar iuran (papeson) dan sebagainya.
46
Sarka dalam I Made Widnyana, op.cit. h. 17.
70
Oleh Nyoman Serikat Putra Jaya, delik-delik adat Bali diatas menjadi 2 (dua) kelompok berdasarkan tempat kejadiannya; 1. Jenis-jenis tindak pidana adat Bali yang dilakukan ditempat suci (pura), yaitu:
Pencurian benda suci (Pratima);
Pengerusakan benda suci/tempat suci (Pura);
Pembunuhan dan Penganiayaan dalam tempat suci;
Pelanggar Kesusilaan.
2. Jenis-jenis tindak pidana adat Bali yang dilakukan di luar tempat suci (Pura), yaitu:
47
Lokika Sanggraha;
Amandel Sanggama;
Gamia Gamana;
Salah Krama;
Drati Krama;
Wakparusia;
Melarikan istri orang lain;
Pembongkaran Kuburan.47
Nyoman Serikat Putra Jaya, loc.cit.
71
Delik Adat dalam masyarakat hukum adat Bali memiliki beberapa bandingnya dalam KUHP Nasional. Adapun bandingnya akan ditampilkan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 2.2 Jenis-Jenis Delik Adat Bali bandingnya dalam KUHP No
Jenis Tindak Pidana Adat Bali
Bandingnya dalam KUHP/Di Luar KUHP
1
Lokika Sanggraha
Tidak Ada Banding
2
Drati Krama
Pasal 284 KUHP
3
Gamia Gamana
Tidak Ada Banding
4
Mamitra Ngalang
Tidak Ada Banding
5
Salah Krama
Tidak Ada Banding
6
Kumpul Kebo
Tidak Ada Banding
7
Pencurian Benda Suci (Pratima)
Pasal 362 KUHP
8
Pasal 156 KUHP
9
Pengerusakan Benda Suci/tempat Suci (Pura) Pembunuhan/Penganiayaan
Pasal 338 KUHP/Pasal 351 KUHP
10
Pembongkaran Kuburan
Pasal 179 KUHP
11
Wakperusia
Pasal 315 KUHP
12
Melarikan istri orang
Pasal 332 KUHP
Memisuh (Mengucapkan kata 13
Pasal 310 KUHP kotor)
14
Mapisunah (memfitnah)
Pasal 310 KUHP
15
Memauk (Menipu)
Pasal 378 KUHP
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari delict atau strafbaar feit, setelah di
72
Indonesia istilah tersebut kemudian diterjemahkan dengan arti peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat di hukum dan perbuatan yang boleh di hukum, yang dari semua istilah ini mengandung suatu makna yang sama. M. Sudrajat Bassir berpendapat bahwa menurut wujud dan sifatnya perbuatan-perbuatan pidana adalah perbuatan-perbuatan melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan atau menghambat terlaksananya tata cara dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Sehingga suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut: a. Melawan hukum; b. Merugikan masyarakat; c. Dilarang oleh aturan pidana; d. Pelakunya diancam dengan pidana.48 Kemudian di dalam tindak pidana adat terdapat juga berbagai jenis delikdelik tertentu seperti : a) Pengkhianatan; b) Pembakaran kampong; c) Delik terhadap diri pribadi kepala adat; d) Sihir, tenung; e) Pengganggu kekuatan batin masyarakat; f) Incest (sumbang); g) Hamil tanpa nikah; 48
M. Sudrajat Bassir, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, Remadja Karya, Bandung, h. 2.
73
h) Melarikan gadis; i) Zina; j) Pembunuhan; k) Perbuatan; l) Pencurian; Terkait dengan tindak pidana adat pencurian yaitu delikdelik yang mengenai pencurian harta benda, misalnya pencurian tidak langsung memperkosa kepentingan hukum masyarakat seluruhnya, melainkan hanya kepentingan orang seorang atau golongan yang mempunyai barang yang bersangkutan. Berat ringannya pencurian bergantung kepada sifat barang yang dicuri (barang pusaka atau barang duniawi biasa, dan dalam hal terakhir ini, apakah ternak ataukah buah kelapa). Menurut Hukum Adat tradisional, pada umumnya pencuri dihukum membayar kembali barang yang dicuri serta membayar denda kepada orang yang kecurian. Seorang perampok yang telah berkali-kali melakukan kejahatan dapat diasingkan dari masyarakat hukum, bahkan dapat dibunuh.49 Terhadap suatu perkara adat (delik adat) tertentu terutama delik terhadap pencurian pratima yang hukumannya dianggap tidak cukup oleh masyarakat adat (desa), karena dianggap masih belum memenuhi rasa keadilan rakyat umum dapat dituntut hukuman tambahan oleh pengadilan desa untuk melakukan upaya-upaya adat guna memulihkan keseimbangan dalam masyarakat dan membersihkan hal-
49
Iman Sudiyat, op.cit, h. 188-195.
74
hal yang kotor akibat perbuatan tersebut. Maka disini pelaku memperoleh dua hukuman selain hukuman pidana yang diperoleh di pengadilan dan hukuman pemenuhan kewajiban adat oleh hakim desa yang berwenang. 50 Hal ini sebenarnya bertentangan dengan asas ne bis in idem. Dimana seseorang tidak dapat dihukum atas perbuatan yang sama sebelumnya. Bahkan terhadap perkara adat telah terdapat yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 Tanggal 15 Mei 1991 yang menyatakan bahwa terhadap terdakwa yang telah dijatuhi sanksi adat (reaksi adat) oleh kepala adat, ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan peradilan Negara (pengadilan negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhi penjara menurut ketentuan hukum pidana.51 Yurisprudensi ini menyamakan antara putusan hakim dalam pengadilan dengan putusan oleh pengadilan adat. Namun timbul persoalan sebab UU Darurat 1/1951 telah menghapus kedudukan pengadilan adat. Namun menurut penulis putusan pengadilan negeri dan pembebanan kewajiban adat bukanlah bentuk putusan yang sama, sehingga tidaklah tepat jika mengaitkan antara asas ne bis in idem terhadap kasus pelanggaran adat yang dihukum pidana oleh pengadilan negeri dan pembebanan kewajiban adat oleh masyarakat adat, karena dalam KUHP pembebanan kewajiban adat bukan termasuk jenis sanksi pidana berdasarkan KUHP.
50
Bushar Muhammad, op.cit, h. 73. Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer : Telaah Kritis Terhadap Hukum Adat Sebagai Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat, Alumni, Bandung, h. 157. 51
75
2.4.3. Tujuan Penjatuhan Sanksi Adat Tujuan penjatuhan sanksi adat dalam hukum pidana adat, hakikatnya adalah untuk pemulihan keseimbangan alam magis (sekala dan niskala), guna mengembalikan pada keseimbangan yang terganggu agar bersifat religio magis kembali. Penjatuhan sanksi pidana adat diperlukan eksistensinya, dan di satu sisi penjatuhan sanksi pidana adat ini bersifat preventif dan represif dan di sisi lainnya pemulihan keseimbangan magis yang terganggu sehingga diharapkan masyarakat hukum adat tersebut seperti sedia kala. Eksistensi sanksi pidana dan tujuan pemidanaan pada hukum pidana adat mempunyai korelasi yang erat dan penting. Pada asasnya, konsep RUU KUHP Tahun 2008 merumuskan tujuan pemidanaan. Aspek dan dimensi ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup representatif dalam hukum pidana Indonesia. Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c RUU KUHP menentukan, “pemidanaan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”. Dimensi ini harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan putusan sehingga secara menyeluruh putusan hakim mempunyai dimensi legal justice, moral justice, dan social justice. Tegasnya, agar dapat terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada praktek penegakan hukum telah ditentukan pula adanya eksistensi pidana tambahan sebagaimana ketentutan Pasal 67 ayat (1) huruf e berupa “pemenuhan kewajiban adat setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”. Pada dasarnya, hakim menjatuhkan pidana “pemenuhan kewajiban adat setempat
76
dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” apabila pelaku telah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP yang disebut sebagai tindak pidana adat. Kemudian, penjatuhan pidana tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Konsepsi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Apabila dikaji secara intens, detail dan terperinci sebagai dasar kewenangan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat ditegaskan oleh ketentuan Pasal 100 ayat (1) RUU yang menentukan, “dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat”, kemudian jika perbuatan pelaku merupakan tindak pidana adat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) maka penjatuhan pidana oleh hakim berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan. Pidana berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dianggap setara atau sebanding dengan pidana denda kategori I dengan besaran sejumlah RP. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan jikalau pidana berupa pemenuhan kewajiban adat
77
setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dilaksanakan terpidana maka dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda yang dapat berupa pidana pengganti kerugian. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat di dalam konsep RUU KUHP merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap korban dimana jenis pidana ini pada dasarnya dapat juga dilihat sebagai bentuk pemberian ganti rugi kepada korban. Hanya saja yang menjadi korban disini adalah masyarakat adat.52 Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang hidup (hukum pidana adat) akan memberikan tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus benarbenar memahami perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto menyebutkan bahwa mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil.53
52 53
Barda Nawawi Arief, op.cit, h. 59. Soedarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, h. 81.