41
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PEMIDANAAN DAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK
2.1
Kebijakan Hukum Pidana dalam Perlindungan Anak Kebijakan hukum pidana atau penal policy merupakan suatu ilmu sekaligus
seni yang penting dalam perkembangan hukum pidana. Kebijakan tersebut, pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undangundang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksanaan putusan pengadilan.1 Kebijakan hukum pidana dilakukan untuk menanggulangi kejahatan baik dengan penggunaan sarana hukum pidana (penal policy) maupun penggunaan sarana diluar hukum pidana (non penal policy). Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan bukan hanya pendekatan yuridis normatif saja, melainkan juga pendekatan multidisipliner yang melibatkan ilmu-ilmu lain. Beberapa ilmu yang membantu hukum pidana seperti teologi, filsafat, sosiologi dan psikologi sangat bermanfaat dalam menentukan kebijakan perlindungan anak. Perlindungan Anak menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
1
Barda Nawawi Arief I, Op.cit., h. 21.
42
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan hak-hak anak tetap diberikan sekalipun anak menjadi pelaku tindak pidana. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan payung hukum bagi peradilan terhadap anak. Sebagai suatu sistem penegakan hukum pidana, undang-undang ini memiliki tiga aspek penegakan hukum, yaitu aspek hukum pidana materiel, aspek hukum pidana formal dan aspek hukum pelaksanaan pidana. Aspek hukum pidana materiil terlihat dari diaturnya ketentuan tentang diversi, batas umur pertanggung jawaban pidana anak, pidana dan tindakan. Aspek hukum pidana formalnya terlihat dari diaturnya ketentuan tentang prosedur beracara penyidikan,
penuntutan,
pemeriksaan
sidang
di
pada
tahap
pengadilan, penjatuhan
putusan serta pemberian petikan dan salinan putusan. Aspek dan dimensi pemeriksaan di sidang pengadilan, kemudian penjatuhan putusan, dilanjutkan dengan penandatanganan petikan dan salinan putusan dilakukan Hakim sebagai proses menjalankan hukum acara pidana. Menyangkut aspek hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat dari diaturnya ketentuan mengenai pelaksanaan tugas
dan
fungsi
Bapas
(Balai
Pemasyarakatan), LPKS (Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial), dan LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak).
43
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengubah paradigma penegakan hukum terhadap anak. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Keadilan restoratif ini diupayakan melalui diversi sejak tingkat penyidikan, penuntutan hingga persidangan. Ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kemudian dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diversi memiliki beberapa tujuan yakni tercapainya perdamaian antara korban dan anak yang berkonflik dengan hukum, tercapainya penyelesaian perkara anak tanpa melalui proses peradilan (diselesaikan di luar proses peradilan), penghindaran bagi anak dari pidana perampasan kemerdekaan serta sebagai upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat dan penanaman rasa tanggung jawab kepada anak. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, aparat hukum wajib mengupayakan diversi dalam sistem peradilan pidana Anak, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana yang sangat panjang dan melelahkan ke proses di luar peradilan pidana.
44
Anak yang berkonflik dengan hukum ditangani secara terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan restorative justice. Diversi berarti tidak dilakukan melalui cara pidana, melainkan perdamaian dengan mempertemukan korban dan pelaku beserta keluarganya, serta pihak lain beserta penegak hukum. Para pihak ini kemudian secara bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Proses diversi dilakukan dengan melibatkan anak beserta orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional untuk melakukan musyawarah berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Selain itu juga, dalam hal diperlukan, musyawarah tersebut juga dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial yang ada, dan/atau masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa harus ada keaktifan dari korban dan keluarganya dalam proses diversi, agar proses pemulihan keadaan dapat tercapai sesuai dengan keadilan restoratif. Bentuk-bentuk hasil kesepakatan diversi antara lain dapat berupa perdamaian yang disertai atau tanpa ganti kerugian, penyerahan anak kepada orang tua/wali kembali, keikutsertaan anak yang berkonflik dengan hukum dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS. Pendidikan atau pelatihan itu dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan, serta kewajiban anak untuk melakukan pelayanan masyarakat. Hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Proses diversi yang tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tersebut tidak dilaksanakan berakibat hukum pada dilanjutkannya proses peradilan pidana anak.
45
Terkait dengan umur Anak, anak yang belum berumur 12 tahun, belum dapat diajukan ke sidang Pengadilan Anak walaupun melakukan tindak pidana. Hal demikian didasarkan pada berbagai pertimbangan sosiologis, psikologis dan paedagogis, dimana anak yang belum berumur 12 tahun dipandang belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya. Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana tidak dapat dikenai sanksi pidana maupun sanksi tindakan. Untuk menentukan apakah kepada Anak akan dijatuhkan pidana atau tindakan, maka hakim mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan. Di samping itu juga diperhatikan, keadaan Anak, keadaan rumah tangga orang tua/wali/orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga, dan keadaan lingkungannya. Di samping itu hakim juga wajib memperhatikan laporan pembimbing kemasyarakatan. Menurut Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 69 ayat 2, Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Hakim dalam memutus perkara anak akan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenai tindakan demi keadilan dan kemanusiaan. Dengan demikian, Undang-Undang baru mengubah usia pertanggung jawaban pidana, dari minimal delapan tahun menjadi 12 sampai 18 tahun. Batasan usia yang bisa ditahan 14 sampai 18 tahun. Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, tingkat penuntutan maupun pada pemeriksaan perkara anak dalam persidangan di pengadilan negeri. Kata “wajib diupayakan” mengandung makna bahwa penegak hukum anak
46
dari penyidik, penuntut juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi bisa dilaksanakan. Hal inilah yang menjadi perdebatan dalam Panja RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa bagi penegak hukum anak apabila tidak melakukan upaya diversi haruslah diberikan sanksi. Diversi menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan diversi sejak pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri, sedangkan tindak pidana yang dapat diupayakan diversi menurut ayat (2) adalah: 1. tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun; dan 2. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Para pemangku hukum dalam melakukan diversi menurut Pasal 8 ayat (3) harus memperhatikan: a. Kepentingan korban; b. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak; c. Penghindaran stigma negatif; d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Pada penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a yaitu pada kategori tindak pidana, dijelaskan bahwa ketentuan ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun.
47
Penjelasan secara rinci mengenai kategori tindak pidana yang serius tersebut misalnya adalah pembunuhan. Pasal 338 KUHP menyebutkan bahwa pembunuhan merupakan kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Menurut Leden
Marpaung,
pembunuhan merupakan menghilangkan
nyawa/kehidupan pada manusia2. Dalam hukum pidana di Indonesia tindak pidana pembunuhan telah diatur dalam Pasal 338 KUHP. Yang berbunyi “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam
karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja yang menimbulkan suatu akibat yang dilarang harus dipelajari ajaran kausalitet. Dimana ajaran ini bertujuan untuk menentukan hubungan sebab dan akibat artinya bilamana
akibat
tersebut
dapat
ditentukan
oleh
suatu
sebab.
Tanpa
mempelajari kausalitet orang tidak akan tahu siapa yang melakukan tindak pidana tersebut3. Menurut Andi Hamzah, berkaitan dengan hal-hal tersebut, dapat diketahui bahwa terjadinya delik hanya pada delik yang mensyaratkan akibat tertentu, yaitu delik materiil, misalnya pembunuhan (pasal 338 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP) dan
delik
culpa,
misalnya
karena
kelalaiannya
mengakibatkan kematian orang lain (pasal 359 KUHP), karena lalainya ,menyebabkan lukanya orang lain (pasal 360 KUHP), dan sebagainya. 4
2
Marpaung, Leden, 2005, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar Grafika, Jakarta, h. 4 (selanjutnya disebut Marpaung, Leden II). 3
Suharto. R.M., 2002, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika, Jakarta, h 58.
4
Hamzah, Andi, Op.Cit., h. 144.
48
Dalam Pasal 338 KUHP menyebutkan bahwa barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Bagian inti delik ini adalah “dengan sengaja” serta “merampas nyawa orang lain.” Kesengajaan disini ditujukan kepada hilangnya nyawa orang lain, inilah yang membedakan dengan penganiayaan, tidak ada maksud atau kesengajaan untuk menghilangkan nyawa orang. Matinya orang itu hanya akibat dari penganiayaan. Salah satu substansi mendasar tujuan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan yang panjang, lama dan melelahkah sehingga sekaligus dapat menghindari stigmatisasi negatif terhadap anak baik sebagai pelaku, korban maupun sebagai saksi. Mengingat anak itu potensi dan penerus cita-cita bangsa serta merupakan amanah dan karunia Tuhan yang harus diberikan perlindungan khusus, maka Anak semestinya masih berpotensi untuk dibina sehingga anak diberi kesempatan kedua untuk menjadi sosok yang baru dan bersih dari kejahatan. Pembatasan diversi terhadap kategori tindak pidana pembunuhan
ini
bertentangan
dengan
tujuan
Undang-Undang
untuk
menghindarkan anak dari pemidanaan. Terkait dengan bunyi “Konsiderans Menimbang” huruf a, b, c dan d dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama
49
pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Bahkan Indonesia termasuk sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap Anak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum. Mengingat pula Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum
secara
komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ini dibuat untuk mewujudkan suatu peradilan yang secara konsisten menjamin perlindungan pada anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi dengan pendekatan restorative justice saat ini sebagai koreksi atas UU Nomor 3 Tahun 1997 yang menekankan retributive justice, sehingga penekanannya lebih pada pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan menekankan keadilan pada pembalasan. Permasalahan terbesar dari Anak yang berhadapan dengan hukum adalah karena UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak relevan lagi, baik dari aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Undang-Undang ini tidak memberikan solusi yang tepat bagi perlindungan Anak yang berkonflik dengan hukum. Anak
yang
berkonflik dengan
hukum
harus
diarahkan
untuk
diselesaikan ke pengadilan, akibatnya adalah akan ada tekanan mental dan psikologis terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sehingga mengganggu tumbuh kembangnya Anak. Dengan demikian, Anak yang berkonflik dengan
50
hukum harus ditangani secara berbeda dengan model retributive justice yang sama dengan penanganan orang dewasa, yakni hukuman sebagai pilihan utama atau pembalasan atas tindakan yang dilakukan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sangatlah spesial, karena merupakan cara terbaik dan paling efektif bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi ini menjadi jalan keluar yang paling tepat agar anak tidak dibawa ke pengadilan. Terkait bunyi konsiderans menimbang dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 seharusnya penyelesaian diversi menjadi kewajiban dalam penanganan semua kategori tindak pidana yang dilakukan Anak di bawah umur baik di penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan perkara di pengadilan. Anak adalah sosok yang belum matang baik secara fisik maupun psikis, anak tidak mengerti betul tentang kesalahan yang dilakukannya, anak mudah dibina daripada orang dewasa, penjara dan penghukuman adalah sekolah kriminal yang menjadikan stigma, labelisasi seumur hidup yang dapat menghancurkan masa depan anak, anak masih bergantung pada orang lain baik secara ekonomi maupun sosial, anak adalah pewaris bangsa dan penerus masa depan, generasi penerus yang berkualitas tidak dilahirkan di balik jeruji, hukuman adalah jalan terakhir. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 yang mengatur terhadap diversi dalam pembatasan kategori tindak pidana
bukanlah jalan penyelesaian terbaik dalam hal memutuskan anak
yangberkonflik dengan hukum melihat dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perkembangan anak.
51
Perlindungan anak bertujuan untuk memberikan pengayoman bagi anak dan menjamin keberlangsungan tumbuh kembang anak secara fisik dan mental. Anak memiliki masa depan yang masih sangat panjang. Pembinaan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dimaksudkan agar anak dapat menyongsong masa depannya kembali. Dalam
hal
ini
proses peradilan dan penjara bisa
membahayakan anak secara fisik dan psikis. Penyelesaian perkara melalui diversi berdasarkan atas asas keadilan. Dalam penyelesaian perkara anak, sistem peradilan pidana anak berupaya menghindarkan anak dari proses peradilan. Proses peradilan dikhawatirkan membebani psikis anak, apalagi jika kasus tersebut diberikan di media. Stigmatisasi terhadap anak pasti terjadi, bahkan pihak sekolah dapat mengeluarkan anak karena dianggap mencoreng nama sekolah. Lingkungan sosial juga kemungkinan akan menolak anak, karena anak tersebut dianggap penjahat yang harus dijauhi oleh anak-anak mereka. Proses pemeriksaan perkara anak yang berkonflik dengan hukum harus dilakukan secara khusus. Penegak hukum adalah aparat khusus yang sudah memahami mengenai proses pemeriksaan perkara anak. Penangkapan dan penahanan harus dipandang sebagai upaya terakhir bagi anak untuk menghindari stigmatisasi negative tersebut. Adanya asas non diskriminasi dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 mengindikasikan bahwa tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/ atau mental. Asas ini semestinya dipertimbangkan benar-benar dalam pasal yang membatasi diversi terhadap tindak pidana yang diancam tujuh tahun ke atas. Lebih lanjut,
52
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 mendasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak, ini artinya segala tindakan dan pengambilan keputusan yang menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat maupun pemangku hukum, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak harus selalu menjadi pertimbangan utama. Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum harus secara proporsional. Dengan demikian, segala memperhatikan
perlakuan
terhadap
anak
harus
berbagai hal. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah batas
keperluan, umur, dan kondisi anak yang masing-masing berbeda-beda. Anak yang berkonflik dengan hukum perlu mendapatkan bantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi. Anak harus diperlakukan sesuai dengan situasi, kondisi mental dan fisik, keadaan sosial dengan kemampuannya pada usia tertentu. Salah satu asas dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir, ini artinya pada dasarnya UU SPPA menekankan agar anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya,
kecuali
terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara.
Terkait diversi dengan pembunuhan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 menutup
harapan
pada
anak
yang
berkonflik
dengan
hukum
untuk
menyelesaikan perkara secara restorative justice. Pada dasarnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 berasaskan penghindaran pembalasan, sehinga semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana
(korban,
anak, dan
masyarakat), dalam
mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati tidak berdasarkan pembalasan.
53
Penghindaran pembalasan sesuai dengan prinsip pembinaan yakni menjauhkan upaya pembalasan (memberikan efek jera) dalam proses peradilan pidana. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tindak pidana yang diancam pidana di atas tujuh tahun tidak bisa melakukan diversi, dalam hal ini tidak ada bedanya dengan UU Nomor 3 Tahun 1997 yang menekankan pada retributive justice. Sehingga akan sulit memasyarakatkan anak yang berkonflik dengan hukum agar menjadi orang baik dan berguna, selain itu tertutup peluang untuk menyelesaikan konflik
yang
ditimbulkan
sehingga
sulit memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan Anak yang berkonflik dengan hukum akan sulit berkembang untuk masa depannya karena rasa bersalah yang selalu ada. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012, acara peradilan pidana anak diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 62, artinya ada 47 Pasal yang mengatur hukum acara pidana anak. Hukum acara pidana disebut juga sebagai hukum pidana formal. Menurut Lamintang, hukum pidana formal memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkret.5 Hukum acara peradilan pidana anak
merupakan peraturan-peraturan yang mengatur agar
hukum pidana anak yang bersifat abstrak diberlakukan secara konkret. Sebagai bentuk pemberian jaminan perlindungan hak-hak anak, maka penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberikan pelindungan khusus bagi Anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat
5
Lamintang, P.A.F., Op.Cit. h.10.
54
serta pelindungan khusus dan dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi tanpa pemberatan. Jaminan perlindungan hak-hak anak juga terdapat dalam Pasal 18 yang menyebutkan bahwa pihak yang menangani masalah anak wajib mengedepankan kepentingan terbaik baik anak. Pembimbing kemasyarakatan, pekerja
sosial
profesional maupun tenaga kesejahteraan sosial bertugas
mendampingi anak selama proses pemeriksaan penyidik, penuntut umum, hakim, dan selama berkonsultasi dengan advokat atau pemberi bantuan hukum. Proses tersebut dilaksanakan dengan suasana kekeluargaan. Identitas anak seperti nama, nama orangtua, alamat, sekolah, tampila wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak wajib dirahasiakan. Proses diversi dalam sistem peradilan pidana anak terdapat pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan pengadilan, dan tahap pelaksanaan putusan. Proses diversi dalam sistem peradilan pidana Anak adalah sebagai berikut: 1. Sejak dalam tahap masuknya perkara anak, penyidik telah dapat melakukan diversi, baik penyidik sebagai penegak hukum, maupun penyidik bertugas sebagai penjaga ketertiban, pengayoman masyarakat. Jika penyidik
tidak melakukan diversi, maka penyidik akan meneruskan
kepenuntutan. 2. Pihak penuntut umum setelah menerima pelimpahan perkara dari kepolisian, dapat menentukan apakah perkara akan dilimpahkan ke pemeriksaan pengadilan, atau perkara tersebut dilakukan diversi.
55
3. Pengadilan Anak setelah menerima pelimpahan perkaratersebut, maka akan melakukan seleksi untuk menentukan diteruskan pada pemeriksaan secara formal dalam sidang anak atau akan dilakukan pemeriksaan informal yang sama dengan diversi. 4. Setelah perkara diperiksa secara formal, dalam hal ini pun dapat menetapkan dilakukan pelepasan kembali ke masyarakat, ataupun perkara tersebut akan diputus bebas ataupun diputus dilakukan pembinaan dalam lembaga atau di luar lembaga. 5. Setelah dilakukan pembinaan tersebut, maka terhadap pelakunya dibebaskan kembali ke masyarakat. Diversi pada kasus-kasus Anak yang berhadapan dengan hukum menjadi jalan keluar yang menentukan bagi Anak baik pada kasus yang ringan maupun kasus yang berat. Program diversi sebagaimana dicantumkan dalam Beijing Rules akan memberikan jaminan bahwa anak mendapat resosialisasi dan redukasi tanpa harus menanggung stigmatisasi. Berkaitan dengan program diversi maka harus dirancang program intervensi yang efektif misalnya persiapan memasuki dunia kerja dan menyediakan lapangan pekerjaan, persiapan studi lanjutan, pengembangan potensi diri dan program khusus penurunan dan pengalihan agresivitas menjadi energi yang positif dan kreatif. Program diversi pada satu sisi harus bertujuan memberdayakan Anak, namun pada sisi lain harus mampu mengembangkan sikap anak untuk menghargai orang lain. Diharapkan setelah melalui program ini Anak memiliki kemampuan untuk memahami kesalahannya dan tidak mengulangi tindakannya lagi.
56
2.2
Anak yang Berkonflik dengan Hukum Pasal 1 Convention on The Rights of The Child, menjelaskan mengenai
definisi anak. Penggolongan anak beradasarkan usia adalah sebelum usia 18 tahun. Ketentuan ini dapat disimpangi berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak sepanjang kepentingannya menghendaki jika kedewasaan telah
diperoleh
sebelumnya. Selengkapnya dalam Article 1 Convention on The Rights of The Child tersebut dinyatakan “For the purposes of the present Convention, a child means every human being below the age of eighteen years unless under the law applicable to the child, majority is attained earlier.” (terjemahan bebas: Untuk tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah usia delapan belas tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku untuk anak, dewasa dicapai lebih awal). Dalam ketentuan hukum di Indonesia, anak diartikan dalam beberapa istilah yakni orang yang belum dewasa (minderjarig/ person under age), orang yang di bawah umur/ keadaan dibawah umur (minderjarig heid/inferiority) dan anak yang berada di bawah perwalian (minderjarige under voordij). Terkait dengan usia, beberapa aturan hukum mengatur ketentuan yang berbeda, penggunaan ketentuan tersebut berlaku secara lex specialist. Perbedaan pengaturan ini tergantung dari keperluan yang bersangkutan, misalnya berdasarkan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, batasan unsia anak adalah sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah terikat perkawinan.6
6
Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, h.5.
57
Pengaturan mengenai pengertian anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia. Dalam ketentuan tersebut ada beberapa kriteria anak yakni berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun, belum terikat perkawinan. Janin dalam kandungan juga dapat digolongkan anak sepanjang diperuntukkan demi kepentingannya. Pengertian tersebut hampir sama dengan pengertian anak dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ketentuan yang berbeda dapat dilihat dari ketentuan mengenai adminisitrasi kependudukan yang mengatur usia seseorang dalam melakukan perbuatan hukum yakni setelah 17 tahun. Ketentuan tersebut menjadi ukuran bagi seseorang dalam partisipasi politik melalui pemilu.
Penetapan usia minimal
ditentukan pada kepentingan-kepentingannya. Dari beberapa uraian diatas dan dilihat dari obyek penelitian yang ditulis maka dapat dipergunakan umur anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan. UNICEF mengkatagorikan anak dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult circumstances karena kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas institusi negara), membutuhkan proteksi berupa regulasi khusus, dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena Anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan
58
dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup. Berkaitan dengan analisis pemidanaan terhadap anak, maka definisi anak yang digunakan adalah didasarkan pada kriteria usia di bawah 18 (delapan belas) tahun sebagaimana yang dinormakan pada Undang Nomor 23 Tahun 2002, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memperkenalkan beberapa istilah yakni anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang berkonflik dengan hukum dan sebagainya. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Hal ini dapat didefinisikan sebagai anak yang disangka, dituduh, atau diakui sebagai telah melanggar undang undang hukum pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam ketentuan tersebut dinyataan bahwa anak yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum jika anak telah berumur 12 (dua belas) tahun. Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefinisikan sebagai berikut “A juvenile offender a child or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an
59
offence.” (terjemahan bebas: pelaku anak adalah anak atau orang muda yang diduga telah melakukan atau yang telah ditemukan telah melakukan pelanggaran). Dalam konvensi Hak Anak/ KHA (Convention on The Rights of The Child), anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection). Anak pelaku tindak pidana hanya dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu : “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Anak yang berkedudukan sebagai pelaku disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum. Jika dilihat dari penjelasan tersebut, Undang Undang mengisyaratkan tentang kemampuan anak dalam berkonflik dengan hukum adalah antara umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun, hal ini dimungkinkan mengingat perkembangan emosi anak lebih stabil disbanding anak dibawah umur 12 (dua belas) tahun, akan tetapi peradilan pidana perlakuan terhadap anak tetap harus dibedakan dengan perlakuan orang dewasa. Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pelaku anak yang dapat dijatuhkan sanksi pidana (pidana pokok dan pidana tambahan) serta tindakan. Dengan menyimak pidana pokok pada Pasal 71 ayat (1) dan (2) maka pidana yang dapat dijatuhkan bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah pidana peringatan; pidana dengan syarat (pembinaan diluar lembaga; pelayanan masyarakat; atau pengawasan); pelatihan kerja; pembinaan dalam lembaga; dan pidana penjara. Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan terdiri
60
atas perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau pemenuhan kewajiban adat. (1) Pidana Pokok. Ada beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhakan kepada anak yaitu: 1. Pidana Peringatan Pidana peringatan tidak menyebabkan pembatasan kebebasan bagi anak. Pidana ini termasuk pidana ringan bagi anak. (Pasal 72 UndangUndang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). 2. Pidana dengan syarat Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa pidana dengan syarat dapat dijatuhkan jika lama pidana penjara yang dijatuhkan maksimum 2 (dua) tahun atau pidana pengawasan yang dijatuhkan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. 3. Pelatihan kerja Pasal 78 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menentukan bahwa pidana pelatihan kerja
dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia anak. Pidana pelatihan kerja ini hanya dapat dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. 4. Pembinaan dalam lembaga Pasal 80 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa pidana pembinaan di dalam
61
lembaga dilakukan di tempat-tempat yang ditentukan yakni tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Pembinaan dalam lembaga tersebut dilaksanakan dalam waktu paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. 5. Penjara Pidana penjara anak berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi Anak yang berkonflik dengan hukum, hal ini dapat dilihat pada Pasal 79 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pidana pembatasan kebebasan hanya diberlakukan dalam hal tertentu saja, yakni dalam hal anak melakukan pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. Semangat perlindungan anak sangat menghindari jenis pemidanaan pembatasan kebebasan ini, jika memang anak harus dijatuhi pidana penjara maka pidana yang dijatuhkan paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. Kekhususan pemidanaan bagi anak juga dapat dilihat dari larangan pidana mati atau pidana seumur hidup bagi anak. Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun merupakan pidana terberat bagi anak apabila anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup bagi orang dewasa. Perbedaan perlakuan dan perbedaan ancaman pidana terhadap anak, bertujuan untuk melindungi dan memberikan pengayoman bagi anak. Anak yang menjalani pidana tidak akan dapat
62
menyongsong masa depannya secara optimal. Perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum ini didasarkan pada pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak. (2) Pidana tambahan. Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai pidana tambahan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang meliputi perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau pemenuhan kewajiban adat. Pidana denda dapat diganti dengan pelatihan kerja apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur ketentuan yang relatif lain dari orang dewasa seperti yang ada pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 77 sampai dengan Pasal 89, yaitu pidana penjara dan/atau denda, untuk pelaku anak pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Undang-undang menetapkan demikian sebagai ada upaya untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memilki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya (penjelasan Pasal 78 ayat (1). Lama wajib pelatihan kerja sebagai pengganti denda, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Tentunya hal demikian mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak serta perlindungan anak. Untuk anak dibawah 14 tahun yang berhadapan dengan hukum hanya dikenakan dengan tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 UndangUndang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Beberapa
63
tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak yang berkonflik dengan hukum khususnya anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun dapat dilihat di Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 82 : (1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi : a. Mengembalikan kepada orang tua/wali; b. Menyerahkan kepada seseorang; c. Perawatan di rumah sakit jiwa; d. Perawatan di LPKS; e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan.atau g. Perbaikan akibat tindak pidana. Tindakan berupa perawatan di LPKS; tindakan kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan dan pencabutan surat izin mengemudi dikenakan paling lama dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Penuntut Umum dalam tuntutannya memiliki kewenangan untuk mengajukan tindakan, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. Tindakan berupa penyerahan anak kepada seseorang hanya dilakukan sepanjang untuk kepentingan dari anak tersebut. Tindakan perawatan dilakukan melalui pendidikan dan pembimbingan dengan tujuan untuk membantu orang tua/ wali dari anak yang bersangkutan. 2.3
Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang dimaksud tindak pidana persetubuhan terhadap anak. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum.
64
Dalam kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).7” Tindak pidana yang dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai hukum dan idana, baar diartikan sebagai dapat dan kebolehan, dan feit yang diartikan sebagai peristiwa, pelanggaran, tindak, dan perbuatan. Pengertian tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.8 Penulis dalam hal ini akan memaparkan beberapa pengertian strafbaarfeit menurut beberapa pakar antara lain strafbaarfeit dirumuskan oleh Pompe sebagai pelanggaran suatu norma baik karena sengaja atau tidak sengaja, dilakukan oleh seseorang, mengakibatkan ganguan ketertiban dan penjatuhan sanksi bagi pelaku dilakukan demik menegakkan tertib hukum.9 Simons dalam Marpaung mengemukakan strafbaarfeit sebagai berikut: “Strafbaarfeit adalah suatu tindakan yang melanggar hukum, dimana tindaka tersebut ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang
7
dilakukan dengan sengaja
tindakannya
tersebut
dapat
Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Cetakan Kelima, P.T.Rineka Cipta, Jakarta, h 92.
8 Ilyas, Amir, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, Yogyakarta, h 20. 9
Lamintang, P.A.F., 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.182.
65
dipertanggung jawabkan. Perbuatan tersebut dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.” 10 Jonkers merumuskan bahwa: “Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
dapat
(strafbaarfeit)
dipertanggungjawabkan.11
Van
Hamel
merumuskan
delik
itu sebagai berikut: “Perbuatan seseorang sebagaimana yang
dirumuskan dalam undang-undang, dilakukan secara melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan12.” Sianturi merumuskan tindak pidana sebagai berikut:13 “Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan sanksi pidana yang diatur dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggung jawab).14” Moeljatno menyebut tindak pidana sebagai perbuatan pidana yang diartikan sebagai berikut: “Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melanggar atau yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman pidana yang berupa sanksi tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut”.15 Berdasarkan rumusan yang ada
10
Marpaung, Leden, 2012, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, h. 8. (selanjutnya disebut Marpaung, Leden I). 11 12
Ilyas, Amir, Op.Cit, h 20. Hamzah, Andi, Op.Cit., h.96.
13
Ilyas, Amir, Op.Cit., h 22.
14
Ilyas, Amir, Op.Cit., h 25.
15
Ilyas, Amir, Op.Cit., h 25.
66
maka tindak pidana (strafbaarfeit) memuat beberapa syarat-syarat pokok sebagai berikut: a) Suatu perbuatan yang dilakukan manusia; b) Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi dalam undang-undang; c) Perbuatan tersebut dapat dipertanggung jawabkan oleh pembuatnya.16 Dalam KUHP, tindak pidana dibagi menjadi dua yakni kejahatan dan pelanggaran yang masing-masing termuat dalam buku II dan Buku III KUHP. Pelanggaran sanksinya lebih ringan dari pada kejahatan. Banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian strafbaarfeit, bermacam-macam istilah dan pengertian yang digunakan oleh para pakar dilatarbelakangi oleh alasan dan pertimbangan yang rasional sesuai sudut pandang masing-masing pakar. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak merupakan penyimpangan yang dikenal dengan istilah kenakalan anak (juvenile delinquency), yang dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku yang bersifat asosial. Bahkan banyak kasuskasus kejahatan yang terjadi dengan pelaku anak, yang kemudian mengantarkan anak tersebut kepada proses hukum. Istilah kenakalan anak diambil dari istilah asing juvenile delinquency. Juvenile artinya anak-anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquency artinya terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, dursila, durjana, dan lain-lain.17 Paul Moedikdo Mulyono
16
Prasetyo, Teguh, 2011, Hukum Pidana, Cetakan Kedua, P.T. Raja Grafindo, Jakarta,
h.48 17
Soetodjo, Wagiati, 2008, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, h. 8-9.
67
sebagaimana dikutip oleh Gatot Supramono, memberikan perumusan mengenai pengertian juvenile delinquency sebagai berikut: 1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan lain sebagainya. 2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana yang tidak sopan dan sebagainya. 3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.18
Salah satu kenakalan anak juga dikategorikan sebagai kejahatan adalah perbuatan persetubuhan terhadap anak. Istilah persetubuhan harus dibedakan dengan pencabulan. Pengertian perbuatan cabul itu sendiri lebih luas dari pada pengertian bersetubuh. Pengertian bersetubuh menurut Hoge Raad, yang mengandung pengertian perpaduan alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan, dimana disyaratkan masuknya penis ke dalam liang vagina, kemudian penis
mengeluarkan sperma sebagaimana biasanya membuahkan kehamilan.
Apabila tidak memenuhi salah satu syarat saja, misalnya penis belum masuk spermanya
sudah keluar, kejadian ini bukan persetubuhan namanya, tetapi
perbuatan cabul sehingga bila dilakukan dengan memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, kejadian itu adalah perkosaan berbuat cabul menurut Pasal 289 apabila maksud memaksa ditujukan pada perbuatan cabulnya. Tetapi apabila maksud dan ditujukan pada persetubuhan, maka kasus tersebut adalah percobaan perkosaan bersetubuh menurut pasal 285 jo 53 KUHP. Dibentuknya
18
Supramono, Gatot, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, h. 9.
68
kejahatan perkosaan berbuat cabul ini ditujukan untuk mengatasi kesulitan dalam pembuktian perkosaan bersetubuh (285) khususnya tentang unsur telah terjadinya persetubuhan.19 Perbuatan cabul selalu terkait dengan perbuatan tubuh atau bagian tubuh terutama pada bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya, yang dipandang melanggar kesusilaan umum ini merupakan sifat melawan hukumnya perbuatan, yang terletak pada bermacam-macam keadaan, misalnya dilakukan di muka orang lain, dilakukan di luar adab kewajaran (walaupun secara tertutup), misalnya dilakukan sesama jenis kelamin (homoseks atau lesbian), atau bisa dilakukan bukan terhadap istri atau suaminya.20 Dalam rumusan undang-undang, persetubuhan dibedakan menjadi dua yakni persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan persetubuhan dengan anak. Dipidananya pelaku persetubuhan dengan anak tidak memerlukan unsur kekerasan dan ancaman kekerasan. Sepanjang dilakukan dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Persetubuhan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan disebut dengan tindak pidana perkosaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang menyatakan “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
19
Chazawi, Adami, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 80. (selanjutnya disebut Chazawi, Adami II). 20
Ibid. h. 82
69
Persetubuhan terhadap anak dalam aturan umum diatur dalam Pasal 287 KUHP. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan: (1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
Menurut Adami Chazawi, apabila didasarkan pada dibentuknya kejahatan Pasal 287, yang dimaksud memberi perlindungan terhadap kepentingan hukum anak perempuan dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan, maka tidak rasional dan tidak adil jika dia dipidana. Akan tetapi, apabila didasarkan pada perbuatan persetubuhan itu dilakukan suka sama senang padahal laki-laki itu telah beristri, dan Pasal 27 BW berlaku bagi laki-laki tersebut, dan tentang keadaan ini telah diketahui oleh perempuan pasangannya bersetubuh itu, dia dapat pula dijatuhi pidana.21 Delik ini kemudian dikembangkan dalam konsep-konsep perlindungan anak. Dalam ketentuan khusus, Pasal 76D Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 mengatur mengenai persetubuhan, yaitu “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Dalam Pasal 81 selanjutnya dinyatakan: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 21
Chazawi, Adami II, Op.Cit., h. 71.
70
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali,pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” Pencabulan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang buruk atau perbuatan yang tidak senonoh yang melanggar kesusilaan. Pasal 289 KUHP, menyatakan “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul, karena perbuatan yang merusak kesusilaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.” Perbuatan cabul terhadap anak terdapat pada Pasal 294. Dalam Pasal 294 dinyatakan: (3) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengm anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya diannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Diancam dengan pidana yang sama: 1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya, 2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
Dalam ketentuan khusus, larangan perbuatan cabul terhadap anak diatur dalam Pasal 76E Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 yang menyatakan “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa,
71
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.” Ketentuan pidana mengenai pencabulan terhadap anak diatur dalam Pasal 82 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 yang menyatakan: (1)
(2)
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Perlindungan khusus bagi anak wajib diberikan kepada korban kejahatan seksual. Dalam ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 dinyatakan: Perlindungan Khusus bagi Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan melalui: a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan Perlindungan Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c. pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan Masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap Anak secara ekonomi dan/atau seksual.”
Dalam Penjelasan Pasal 66 dinyatakan yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara ekonomi” adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara
72
melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil. Yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara seksual” adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan. Persetubuhan terhadap anak adalah tindak pidana yang bertentangan dengan kesusilaan.
Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
kejahatan kesusilaan adalah: 1.
Faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi Rendahnya tingkat pendidikan formal dalam diri seseorang dapat
menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan yang bersangkutan
mudah
terpengaruh melakukan suatu kejahatan tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya. Salah satu delik yang berhubungan karena pelakunya memiliki pendidikan formal yang rendah adalah tindak pidana kesusilaan. Menurut Aristoteles menyatakan bahwa “Kemiskinan menimbulkan pemberontakan dan kejahatan. Kejahatan yang besar itu tidak diperbuat orang untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan hidup yang vital, akan tetapi lebih banyak
didorong
oleh
keserakahan
manusia mengejar kemewahan dan
kesenangan yang berlebih-lebihan.” 22 Menurut Thomas van Aquino23 “Timbulnya
22
Kartono, Kartini 1981, Patologi Sosial jilid 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 145
23
Ibid.
73
kejahatan disebabkan oleh kemiskinan. Kemelaratan itu mendorong orang untuk berbuat jahat dan tidak susila”. 2.
Faktor Lingkungan atau Tempat Tinggal Kejahatan asusila adalah merupakan tindak manusia terhadap manusia
lainnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu manusia adalah anggota dari masyarakat, maka kejahatan asusila tidak dapat dipisahkan dari masyarakat setempat. Lingkungan sosial tempat hidup seseorang banyak berpengaruh dalam membentuk tingkah laku kriminal, sebab pengaruh sosialisasi seseorang tidak akan lepas dari pengaruh lingkungan. 3.
Faktor Minuman Keras (beralkohol) Kasus persetubuhan terhadap anak juga terjadi karena adanya stimulasi di
antaranya karena dampak alkohol. Orang yang di bawah pengaruh alkohol sangat berbahaya karena ia menyebabkan hilangnya daya menahan diri dari si peminum. Di luar beberapa hal yang terjadi, di mana si peminum justru untuk menimbulkan kehilangan daya menahan diri, bahwa alkohol jika dipergunakan akan membahayakan manusia pertama jiwanya paling lemah. Begitu seseorang yang mempunyai gangguan dalam seksualitasnya, di mana minuman alkohol melampui batas yang menyebabkan dirinya tak dapat menahan nafsunya lagi, dan akan mencari kepuasan seksualnya, bahkan dengan persetubuhan dengan siapa saja tak terkecuali menyetubuhi anaknya sendiri. 4.
Faktor Teknologi Adanya berkembangnya teknologi tentunya membawa pengaruh bagi
kehidupan. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan
74
pengaruh negatif. Dampak pengaruh globalisasi tersebut kita kembalikan kepada diri kita sendiri sebagai generasi muda agar tetap menjaga etika dan budaya, agar kita tidak terkena dampak negatif dari globalisasi. Informasi yang tidak tersaring membuat tidak kreatif, prilaku konsumtif dan membuat sikap menutup diri serta berpikir sempit. Hal tersebut menimbulkan meniru perilaku yang buruk. Mudah terpengaruh oleh hal yang tidak sesuai dengan kebiasaan atau kebudayaan suatu negara yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada . 5.
Peranan Korban Peranan korban atau sikap korban sangat menentukan seseorang untuk
melakukan kejahatan terhadapnya termasuk kejahatan asusila. Von Henting menyatakan bahwa: “ternyata
korbanlah yang kerap kali merangsang
seseorang untuk melakukan kejahatan dan membuat orang menjadi penjahat” 24. Berdasarkan uraian fakta-fakta di atas maka teori dari Sutherland yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana persetubuhan terhadap anak masih relevan. Walaupun dari uraian fakta di atas dapat terlihat ada faktor penghambat terungkapnya tindak pidana persetubuhan terhadap anak , di mana dalam masyarakat masih dianggap aib. Faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi, faktor lingkungan atau
tempat
tinggal, faktor minuman keras (beralkohol), faktor teknologi, dan peranan korban, merupakan faktor penyebab yang penting dari penyebab tindak pidana persetubuhan terhadap anak.
24
Widiyanti, Ninik, 1987, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahan, Bima Aksara, Jakarta, h. 133.