18
Bab II TINJAUAN UMUM POLITIK KIAI
A.Politik Kiai dan Politik Santri 1. Pengertian Politik Politik diberi arti the art and science of government (seni dan ilmu pemerintahan). Ilmu politik adalah ilmu tentang negara yang bertalian dengan: a. hubungan-hubungan antar individu yang diatur oleh negara dengan undang-undang . b. hubungan-hubungan antar individu dan atau kelompok dengan negara. c. hubungan antar negara dengan negara.26 Menurut Prof. Miriam Budiardjo, politik adalah: bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuantujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Sedangkan Roger F Saltou berpendapat bahwa ilmu politik adalah: ilmu yang mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lain. Sedangkan J Barent mengatakan, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara, yang merupakan bagian
26
Sukarno, Sistem Politik, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1990, hlm. 140
19
dari kehidupan masyarakat; ilmu politik, mempelajari negara-negara yang melakukan tugas-tugasnya.27 Di dalam Islam, kata politik lebih dikenal dengan kata siyasah yang berasal dari kata sasa. Kata ini berarti mengatur, mengurus dan memerintah. Siyasah juga bisa berarti pemerintahan dan politik, atau membuat kebijaksanaan sedangkan secara terminologi, siyasah adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemaslahatan.28 Yang menjadi dasar pokok tata aturan pemerintahan dalam Islam menurut Hasby Ashidiqy adalah keadilan, syuro (permusyawaratan), tanggung jawab pemerintahan29. Sedangkan dalil yang menerangkan tentang keadilan terdapat dalam surat An Nahl ayat 90
ان اﷲ ﻳﺎ ْﻣﺮﺑﺎ ﻟﻌﺪل واﻻء ﺣﺴﺎن Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan” Dan yang menerangkan tentang permusyawaratan adalah surat Asy Syuro ayat 38
واﻟﺬ ﻳﻦ ا ﺱﺘﺠﺎ ﺑﻮاﻟﺮﺑﻬﻢ واﻗﺎ م ااﻟﺼﻠﻮاة واﻣﺮهﻢ ﺷﻮرئ ﺑﻴﻨﻬﻢ وﻣﻤﺎ رزﻗﻨﻬﻢ ﻳﻨﻔﻘﻮن Artinya: “Dan bagi orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawaroh antara dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka”
27
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm. 8 28 J Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-5, hlm. 23 29 Teungku Muhammad Hasby Ashidiqy, Islam dan Politik Bernegara, Semarang, 2002, hlm. 159
20
Asfuri Mughni menambahkan landasan normatif
politik didalam
ummat Islam yaitu fungsi kekholifahan manusia yang terdapat dalam surat Al-An’am ayat 165
وهﻮ ا ﻟﺬي ﺝﻌﻞ ﻟﻜﻢ ﺧﻠﺌﻒ اﻻرض ورﻓﻊ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﻓﻮق ﺑﻌﺾ درﺝﺖ ﻟﻴﺒﻠﻮآﻢ ﻓﻲ ﻣﺎ اﺕﻜﻢ ان رﺑﻚ ﺱﺮﻳﻊ اﻟﻌﻘﺎب واﻥﻪ ﻟﻐﻔﻮررﺣﻴﻢ Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian dari kalian atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji kalian tentang apa yang Dia berikan kepada kalian. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”30 Maksud dari tanggung jawab pemerintah menurut Hasby Ashidiqy adalah pemerintah harus bertanggung jawab terhadap keselamatan negara dan rakyat. Oleh karena itu kepala negara adalah orang yang menegakkan perintah Allah, selaku hakim yang adil, yang melaksanakan hokum-hukum syari’at dan harus mengikuti hukum-hukum itu dalam segala tindak tanduknya, serta memelihara amanah dan janji.31
2. Pengertian Kiai Menurut asal-usulnya, kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda : a. Sebagai gelar kehormatan bagi benda-benda yang dianggap keramat; umpamanya “kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta; 30
Asfuri Mughni, Menyoal Kota Santri Kaliwungu, Kendal: Panitia Festival Al-Muttaqin Kaliwungu IV, 2001, hal.32 31 Teungku Hasby Ashidiqy, op.,cit, hlm. 170
21
b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. c. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pondok pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya. Selain gelar kiai ia juga sering disebut seorang alim (orang yang luas pengetahuan Islamnya). Perlu ditekankan disini bahwa ahli-ahli pengetahuan Islam dikalangan umat Islam disebut ulama. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ulama yang memimpin pesantren disebut kiai, di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Namun di zaman sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat juga mendapat gelar kiai walaupun tidak memimpin pesantren.32 Ulama adalah jamak dari kata alima, yang berarti sesorang yang memiliki ilmu yang dalam, luas dan mantap. Di dalam Al-qur’an terdapat dua kata ulama, yaitu pada surat: 35 (Fathir): 28 dan surat 26 (asy-Syura): 197. didalam surat: 35 (Fathir): 28 ditegaskan bahwa ulama adalah orang yang memiliki jiwa kemampuan dan potensi serta memiliki kepribadian dan akhlaq yang dapat menjaga hubungan dekatnya dengan Allah Swt dan memiliki benteng kekuatan untuk menghalau dan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah Swt.33 Bagi seorang kiai atau ulama, Abdul Qodir Jailani memberikan Syarat atau kriteria ulama, diantaranya adalah: 1. Dalam masalah keilmuan dan ketrampilan, seorang ulama harus memahami 32 33
Al-qur’anul karim dan sunnah Rosululloh serta ulumuddin
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982, hlm. 55 Abdul Qodir Jailani, Peran Ulama Dan Santri, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994, hlm. 3
22
lainya. Memiliki kemampuan memahami situasi dan kondisi serta dapat mengantisipasi perkembangan masyarakat dan da’wah Islam. Mampu membimbing dan memimpin umat dalam melaksanakan kewajiban hablum minalloh, hablum minannas dan hablum minal ‘alam (hubungan dengan Allah Swt, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam). 2. Berakhlak mulia, ikhlas, sabar, tawakkal, istiqomah, berpikir kritis, berjiwa dinamis, bijaksana, lapang dada, penuh dedikasi, kuat fisik dan mental. 3. Mengabdikan seluruh hidup dan kehidupan hanya kepada Allah Swt, menjadi pelindung, pembela dan pelayan umat. Menunaikan segenap tugas dan kewajibannya atas landasan iman dan taqwa kepada Allah Swt dengan penuh rasa tanggung jawab.34 Menurut Gus Mus, kiai bukanlah terjemahan dari ulama. Seseorang dapat menjadi kiai karena pengakuan masyarakat. Kiai yang mengasuh pesantren, sangat dihormati masyarakat karena diakui telah berjasa dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana dengan kiainya, pesantren juga ada karena masyarakat. Ia lahir karena kebutuhan akan tempat belajar masyarakat Islam pada waktu itu. Pesantren lahir bukan merupakan hasil adopsi dari sistem pendidikan Islam luar negeri, sehingga pesantren adalah lembaga
34
Ibid, hlm. 5
23
pendidikan produk lokal –bahkan ia merupakan kelanjutan dari berbagai modifikasi- dari tradisi pendidikan pra-Islam.35
3. Pengertian Santri Menurut pengertian yang dipahami dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kiai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab-kitab Islam klasik. Oleh karena itu santri merupakan elemen penting dalam suatu keluarga pesantren. Walaupun demikian didalam tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri: a. Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. b. Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa disekeliling pesantren yang biasanya tidak menetap di pesantren. Untuk mengikuti pelajarann di pesantren, mereka bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendri.36 Menurut Prof. Johns, istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti ”guru mengaji”. Sedangkan CC Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari kata “sha,tri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama atau seorang sarjana ahli kitab suci agama hindu.
35 36
IDEA, Dari Kaum Sarung Sampai Pesantren Radikalis, Edisi 18/Maret 2003, hlm. 32 Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 52
24
Kata sha,tri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.37 Santri dalam hasanah kehidupan bangsa Indonesia dan khususnya umat Islam mempunyai dua makna, pertama menunjuk sekelompok peserta sebuah pendidikan pesantren atau pondok. Dan yang ke dua menunjuk akar budaya sekelompok pemeluk Islam38 Santri adalah sekelompok orang yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ulama. Karena berbicara mengenai kehidupan ulama senantiasa menyangkut kehidupan para santri yang menjadi murid dan sekaligus menjadi pengikut dan pelanjut perjuangan ulama yang setia. Sehingga santri adalah siswa atau mahasiswa yang di didik di dalam lingkungan pondok pesntren. Sedangkan pengertian pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, tempat kewajiban belajar mengajar dan pusat pengembangan jamaah (masyarakat) yang diselenggarakan dalam kesatuan tempat
pemukiman
dengan
masjid
sebagai
pusat
pendidikan
dan
pembinaanya.39 Berdasarkan fakta sosial, bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan. Maka kelompok santri dibedakan kedalam dua ragam yaitu: modernis dan tradisionalis.40
37
IDEA, Istilah Pesantren, Edisi 18/Maret 2003, hlm. 39 Abdul Munir Mulkhan, op.cit., hlm. 1 39 Abdul Qodir Jaelani, op.cit.., hal. 7 40 Abdul Munir Mulkhan, Moral Politik Santri, Jakarta: Erlangga, 2003, hal. vii 38
25
Santri modernis diidentikkan dengan Muhammadiyah dan tradisionalis dengan NU. Namun modernisasi pendidikan dan rekayasa orde baru bukan saja telah merubah kerangka sosial masyarakat Indonesia dan watak teologi serta ideologi santri, akan tetapi juga telah merubah kultur priyayi-priyayi tradisional. Setidaknya keduanya telah menipiskan kesenjangan budaya antara santri dan priyayi, dan juga menunjukan semakin kaburnya batas kategorisasi golongan tradisionalis dan golongan modernis.41
4.Tradisi Pesantren Dan Kiai Pesantren dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu pesantren salaf dan pesantren kholaf. Pesantren salaf adalah pesantren yang mempertahankan pengajian kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan. Sedangkan pasantren kholaf dapat dibagi dua yaitu pesantren yang masih mengajarkan kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) sebagai inti pendidikan dengan menambahkan pelajaran-pelajaran umum dalam bentuk sekolah atau madrasah. Adapun yang kedua adalah pesantren modern yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkan. Dalam hal ini kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) sudah tidak diajarkan.23 Pemimpin pesantren (pengasuh) tidak hanya didukung oleh faktor keistimewaan keilmuan maupun genetis dari kharisma kekiaian, tetapi faktor pengalaman memimpin, meskipun kurang wawasan tentang kepemimpinan. Pengalaman tersebut merupakan kesempatan sekaligus otoritas yang diberikan 41 23
Ibid, hal. 5 Nur Uhbiyati, op.cit., hlm. 267
26
masyarakat dari hasil interaksi kiai dan masyarakat, sehingga kemampuannya dalam membantu masyarakat yang telah teruji dapat mewujudkan dirinya sebagai pemimpin.42 Sentralitas peran kiai baik dalam kewenangan maupun kekuasaan dan kelebihan dibidang pengetahuan agama Islam, memungkinkan tumbuhnya suatu ikatan khusus terhadap para santri dan pengikutnya. Bahkan sejarah panjang kolonialisme Belanda di Indonesia mengalami kesulitan yang hebat justru ketika berhadapan dengan kepemimpinan para kiai dan pondok pesantren.43 Keberadaan kiai diibaratkan seperti lebah. Lebah dalam membangun rumahnya biasanya kalau tidak menempel dipohon, ia menggantung diperumahan, akhir-akhir ini juga banyak diternakkan. Meski demikian tidak ada sejarahnya lebah menyengat tuannya sendiri, tentu saja sepanjang sang tuan tidak mengganggunya, malah sebaliknya lebah mampu menjaga tuannya dari gangguan orang lain. Lebah juga memberi keuntungan terhadap tuannya, terutama lewat madu yang dikeluarkannya, belum lagi terhadap masyarakat luas yang mempergunakan khasiatnya untuk menyembuhkan berbagai penyakit atau menambah daya kekuatan. Tetapi perlu juga kita catat, sesama lebah memang tak jarang terlibat pertengkaran atau saling berebut tempat. Untuk yang terakhir ini ialah suatu hal yang wajar sebagaimana kewajaran makhluk hidup lainnya. 42 43
Moh Ali Aziz, op.cit.,hlm. 83 Anasom, op.cit., hlm. 81
27
Begitulah
kiai
dengan
pesantrennya,
selain
keberadaan
dan
eksistensinya berada dalam sebuah negara, ia juga menjadi penjaga sekaligus penguat negara itu sendiri. Tidak ada ceritanya pesantren berubah menjadi negara, ataupun melawan negara yang ditempatinya. Kiai memang mempunyai otoritas penuh terhadap kepemimpinan ataupun pengelolaan pesantren, dan biasanya menjadi pemimpin dari masyarakat sekitarnya, namun ia tidak pernah mengganggu atau bertindak tidak patuh terhadap negara yang ditempatinya. Tentu saja sekali lagi, sepanjang negara tidak mengganggu keberadaannya.44 Setiap kiai memiliki karisma, karena dalam suatu pondok pesantren selalu ada seorang kiai yang menjadi figur sentral yang secara relatif menjadi panutan seluruh santri yang ada di pesantren, termasuk juga masyarakat yang ada di lingkungan desa atau sekitar lingkungan desa pondok pesantren tersebut. Nakamura menyatakan derajat sosial seorang ulama tergantung dari penghormatan yang diperoleh dari masyarakat sekelilingnya maupun pada pengakuan persetujuan yang ia terima dari suatu jaringan luas kolega-kolega ulama.45 Peran kiai sebagaimana dituturkan Drs Yahya Azie Mag, sebagai pemimpin agama yang secara tradisional berasal dari keluarga yang berpengaruh. Kiai merupakan faktor pemersatu dalam tatanan sosial
44
31
45
Zainal Arifin Thoha, Kenyelenehan GUSDUR, Yogyakarta: Gama Media, 2001, hlm.
Laode Ida, Anatomi Konflik NU,Elit Islam dan Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. 123
28
masyarakat. Pemanfaatan peran kiai juga dinilai amat tinggi oleh masyarakat desa. Hiroko Harikoshi intelektual dari Jepang mengatakan, bahwa kiai menduduki posisi sentral dalam masyarakat pedesaan dan mampu mendorong untuk bertindak kolektif. Dia mengambil peran antara umat dengan Tuhan. Pada pandangan sebagian besar pengikutnya, kiai adalah contoh muslim ideal yang ingin mereka capai. Dia seorang yang diberi pengetahuan dan rahmat dari Tuhan. Peran penting kiai lainya adalah sebagai patron kelompok Islam yang berusaha mengartikulasi kepentingan mereka. Hal ini kerena ia memposisikan dirinya sebagai pengantar dengan hubungan dunia luar. Dengan kelebihan kiai yang memiliki karisma dan pengaruh yang sangat kuat terhadap masyarakat. Kiai dengan segala kelebihannya diakui oleh masyarakat sebagai figur ideal yang mengindikasiakan adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi dalam masyarakat. penghormatan masyarakat yang tinggi kepada kiai merupakan hasil dari integritas para kiai terhadap godaan-godaan yang bermotifkan kepentingan diri untuk melakukan oportunisme politik. Hal ini memungkinkan kiai mempunyai peran yang besar dalam masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan masyarakat.46 Sumber kewibawaan kiai terdiri dari lima faktor yang masing-masing sumber dapat dijelaskan sebagai berikut:
46
Posmo, Peran Kiai, edisi 268, 2 Juni 2004, hlm. 10
29
a) Suprioritas dalam bidang agama yang melebihi orang awam. Implikasinya, kiai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama tapi juga memiliki kekuatan supranatural. b) Sebuah kenyataan menunjukan kiai pesantren tidak hanya berkedudukan sebagai guru, pemimpin pesantren, tapi kiai pesantren sekaligus pemilik pondok pesantren. Kedudukan ini memberikan otoritas yang sangat kuat di lingkungan pesantren. c) Adanya jaringan antar kiai yang bersumber dari beberapa basis pesantren dengan beberapa jaringan perkawinan merupakan simbol jaringan yang paling menonjol. Sehingga diantara kiai pesantren memiliki hubungan kekerabatan dengan kiai pesantren lainnya. d) Adanya relasi kiai dengan pemerintah dan pusat-pusat kekuasaan di luar, seperti partai politik, organisasi NU, dan LSM. Relasi-relasi tersebut merupakan basis kekuasaan kiai. e) Kualitas pribadi dalam penguasaan terhadap hukum Islam dan garis keturunan, karena dalam masyarakat memiliki keyakinan orang yang memilki garis keturunan kiai (Gus) memiliki ilmu laduni atau ilmu pemberian dari Allah Swt yang dibawa sejak lahir.47 Dalam hal perkawinan dapat membuat jaringan, salah satunya terlihat pada keluarga Abdul Wahid bin Hasyim Asy’ari yang menikah
dengan
Sholihah binti Bisri Syamsuri. Kedua ayah mereka KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syamsuri merupakan pendiri NU. KH Hasyim Asy’ari mendirikan
47
Khoiro Ummatin, op.cit., hlm. 27
30
Tebuireng sedangkan KH Bisri mendirikan Denanyar, dua-duanya di Jombang. Jaringan lewat tali perkawinan tak terbatas di Jombang. Pengasuh pesantren Maslakhul Huda Kajen Pati, KH Sahal Mahfudz yang pernah nyantri di Tebuireng, istrinyapun berasal dari Jombang. Hubungan keterkaitan seperti ini juga banyak terlihat pada pesantren di Jawa.48 Lihat juga tradisi pesantren oleh Zamakhsyari Dhofier.
5. Hubungan Kiai dan Politik (Ditinjau dari khittah NU 1926) Peran kiai dalam gelanggang politik perlu memperoleh catatan tersendiri. Dalam kehidupan politik yang kini banyak menyedot energi dan konsentrasi, peran dan arah perjuangan pesantren menjadi tidak jelas. Pesantren tampak tidak lebih sebagai pendukung dan penggembira dari boneka-boneka politik skenario negara, dan apabila tampil sebagai pemain ia terjebak dalam skenario permainan orang lain. Dari fenomena ini menarik untuk dicatat bahwa tidak sedikit akibat keterlibatan kiai dalam permainan politik, kiai melupakan jati dirinya sebagai penjaga tradisi dan patron dari masyarakat bawah dalam mengarungi proses perubahan. Pesantren yang dipimpinnya menjadi tak terawat dengan baik.49 Menurut Zamakhsyari Dhofier, keterlibatan kiai dalam politik dimulai sejarah Islam masuk pulau Jawa. Pada saat itu penguasa harus berkompetisi dengan pembawa panji-panji Islam, yaitu para ulama dalam hirarki kekuasaan 48 49
Kompas, loc.cit. Marzuki Wahid, op.cit., hlm. 358
31
yang lebih rumit. Sebab para kiai yang sepanjang hidupnya memimpin aktivitas kehidupan keagamaan juga memperoleh pengaruh politik. Pada masa akhir kekuasaan kerajaan Majapahit dan awal kemunculan kerajaan Islam Demak, memperlihatkan adanya peralihan legitimasi kekuasaan yang semula ditangan raja beralih ke tangan para ulama yang dikenal dengan sebutan Walisongo yang menurut Abdurrahman Wahid, kekuasaan politik mereka berpusat ditangan Sunan Kalijogo. Pada masa penjajahan Belanda, peran kiai dalam bidang politik ditandai dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh para ulama seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Tengku Umar, Tengku Cikditiro, KH Zainal Mustofa dan lain-lain. Begitu pula pada masa kebangkitan nasional, kiai ikut ambil peran dalam bidang politik yang dimotori oleh KH Umar Said Cokroaminoto, KH Samanhudi, KH Hasyim Asy’Ari dan KH Ahmad Dahlan. Kemudian berlanjut pada masa persiapan kemerdekaan RI dengan tampilnya KH Wahid Hasyim dari NU, KH Mas Mansur dari Muhamadiyah dan KH Agus Salim dari sareket Islam.50 Pada masa Demokrasi Parlementer (1945-1959) yaitu setelah proklamasi kemerdekaan, para ulama juga berperan aktif dalam politik berkenaan dengan maklumat No.X
tertanggal 5 November 1945 tentang
dibenarkannya pembentukan partai-partai politik sebagai sarana pelaksanaan demokrasi didalam negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 7-8
50
Posmo, loc.cit.
32
November 1945, diadakan kongres umat Islam Indonesia di Yogyakarta yang dihadiri oleh para ulama, tokoh-tokoh politik, organisasi-organisasi sosial. Kongres ini merupakan kongres Masyumi yang pertama dalam masa kemerdekaan.
Selain
berhasil
merumuskan
statement
politik,
yang
manyatakan bahwa 65 juta umat Islam siap mempertahankan kedaulatan RI dari setiap gangguan siapapun, juga berhasil menyusun susunan pimpinan pusat partai politik Masyumi, dimana ketua majlis syuro dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari dan ketua pengurus besar di pimpin oleh Dr. Sukiman Wirjosanjoyo.51 Peran kiai dalam mengontrol pemerintahan Pada masa orde baru, seperti KH Dalari Umar, KH Abdullah Syafe’I, KH Noer Ali berhasil mengerahkan masa pemuda Islam untuk melakukan demonstrasi ke DPR yang sedang membahas rancangan undang-undang perkawinan yang sebagian pasalnya bertentangan dengan hukum perkawinan Islam.52 Karena itu jika pada zaman reformasi ada sebagian kiai yang ikut ambil bagian dalam bidang politik untuk menjadi presiden ataupun wakil presiden tidak perlu dipermasalahkan. Seperti KH Abdurrahman Wahid dan Prof. Amin Rais yang mencalonkan diri sebagai presiden dan KH Hasyim Muzadi serta KH Sholahudin Wahid yang mencalonkan diri menjadi wakil presiden. Yang menjadi permasalahan dan banyak menimbulkan perdebatan dan penafsiran di kalangan NU ialah mengenai khitah 1926 yang mengatur warga 51 52
Abdul Qodir Jaelani, op.cit., hlm. 111 Ibid, hal. 135
33
NU khususnya para elit NU dalam hal berpolitik. Kiprah politik NU dalam kerangka khittah mengalami goncangan karena terjadinya peristiwa politik yang sangat menentukan: berhentinya Suharto dari jabatan presiden. Kalangan Nahdliyyin meyakini bahwa kini tibalah saatnya mereka menghentikan pengembaraan politik lewat media Orba yang terkooptasi dan mulai berpolitik secara sehat dengan menegaskan identitasnnya sebagai komunitas NU. Karenanya warga NU dari semua penjuru tanah air merespons peristiwa bersejarah itu dengan mengedepankan usulan bahwa PBNU segera menciptakan suatu wadah yang berfungsi menyalurkan aspirasi kalangan NU.53 Dengan
adanya fenomena di atas maka terbentuklah Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyatakan diri sebagai partainya orang NU dan menerima setiap lapisan masyarakat yang ingin bergabung dengan PKB. Kemunculan PKB di awal reformasi tidak menimbulkan permasalahan dikalangan NU mengenai apakah NU melahirkan PKB bertentangan dengan khittah ataukah tidak, karena berdirinya PKB juga diprakarsai oleh para ulama yang aktif dalam organisasi NU. Permasalahan mengenai khittah mulai muncul dan banyak menimbulkan perdebatan serta perbedaan penafsiran adalah ketika menjelang pemilihan umum 2004 dimana ada dua kader NU yang dicalonkan oleh salah satu partai politik untuk menjadi wakil presiden. Sebenarnya masalah khittah sudah lama menjadi perdebatan di kalangan NU, baik dalam muktamar NU di Surabaya tahun 1971 ataupun di
53
Amir Zainal Abidin, op.cit., hlm. 108
34
Semarang tahun 1979. Di Semarang sudah mulai ada pencerahan namun keputusan semarang masih mencerminkan langkah transisi dari pergulatan kalangan pemimpin NU sendiri mengenai hari depan NU dan hubungannya dengan politik. Ada beberapa pendapat yang muncul. Pertama, NU harus keluar dari PPP agar NU dapat membebaskan dirinya dari pengaruh politik kemudian mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mengembangkan karakter NU sebagai jamiyah sosial keagamaan yang murni. Kedua, perubahan yang dilakukan NU tidak harus menarik diri dari gelanggang politik , sebab menurut kalangan ini kelahiran NU sendiri sebenarnya merupakan sikap politik. Sisi politik masih tetap relevan sebagai bagian dari kegiatan NU. Mereka memang mengakui banyak segi NU yang perlu diperbaiki, tetapi mengabaikan politik sama dengan mengingkari jati diri NU sendiri. Ketiga, perubahan orientasi dengan menyeimbangkan semua sektor kegiatan sehingga yang satu tidak lebih penting dari yang lain. Kegiatan politik NU yang selama ini menghabiskan energi perlu dilokalisir dalam bagian tersendiri sejajar dengan bagian yang lain. Untuk itu mereka mengusulkan agar dibentuk biro politik NU yang terkait secara struktural dengan NU. Sedangkan pendapat lain mengusulkan biro itu dibentuk terlepas dari NU.54 Kiai Ahmad Shidiq menyatakan bahwa NU didirikan sebagai organisasi yang semata-mata bersifat keagamaan dan partisipasinya dalam politik praktis
54
M Ali Haidar, NU Dan Islam Di Indonesia, Jakarta: CET ke-2, 1998, hlm. 215
35
hanyalah selingan yang sebenarnya sudah berakhir pada 1973, ketika peranan politiknya diambil alih oleh PPP. Khitah asli tidak pernah dirumuskan secara tertulis, tetapi para pendirinya sepakat bahwa ia meliputi empat kelompok kegiatan: pendidikan (ma’arif), perekonomian (muamalah), kesejahteraan sosial (mubarrat) dan penyebaran agama (dakwah). Kiai achmad membicarakan berbagai kegiatan ini secara sangat umum, dengan disertai kutipan ayat Al-qur’dan dan hadist untuk menunjukan keharusan melaksanakannya. (tampaknya dia sengaja membiarkan pembicaraan tersebut sangat abstrak sehingga memungkinkan adanya penafsiran menurut kebutuhan waktu).55 Dalam
NU
muncul
pengelompokan
pemikiran
berdasarkan
pemahaman dan penafsirannya terhadap khittah 1926. Abdurrahman wahid pernah memberi penilaian terhadap kelompok ini yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu: 1.Kelompok khittah murni, yakni warga NU yang dalam menjelaskan dan mengamalkan khittah 1926 benar-benar dijelaskan dan diamalkan secara utuh, tanpa mengurangi, tanpa ada bagian-bagian yang ditutup-tutupi serta tanpa ada penambahan yang diwarnai oleh kepentingan pribadi. 2.Kelompok khitah plus, yakni warga NU yang didalam menjelaskan dan mengamalkan khitah dilakukan secara berlebihan, misalnya membuat larangan-larangan terhadap hal yang sebenarnya tidak dilarang oleh khitah 1926. 55
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKIS, CET ke-3, 1994, hlm. 130
36
3.Kelompok khitah minus, yakni warga NU yang didalam menjelaskan dan mengamalkan khitah 1926 tidak utuh, masih ada yang ditutup-tutupi yang kemungkinan disebabkan oleh karena jika menjelaskan secara utuh akan merugikan kepentingan pribadinya.56 Pergulatan dalam panggung politik telah membawa NU ke dalam perjuangan-perjuangan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan secara terbuka. Pergulatan ini tidak hanya berhubungan dengan kekuasaan pemerintah dan kekuasaan politik lain, tetapi secara internal telah membawa pada percaturan perebutan kepentingan antar elit dalam tubuh NU sendiri yang mengimbas pada kehidupan umat (warga NU). Secara internal telah menimbulkan faksi yang berorientasi pada perjuangan kepentingan politik dan dipihak lain para ulama yang berorientasi pada kehidupan umat dan pesantren. Faksi dalam hal ini ada faksi politik NU yang dikenal dengan kubu cipete di bawah pengaruh kuat Idham Cholid dan faksi ulama yang dikenal dengan kubu situbondo di bawah pengaruh kuat KH As’ad Samsul Arifin dan KH Yusuf Hasyim.57 Muktamar ke-27 di Situbondo, mempunyai nilai strategis dalam perjalanan NU untuk masa-masa berikutnya yang merupakan titik balik dari kegiatan dan sikap politik NU yang selama ini lebih menunjukan sebagai oposisi terhadap pemerintah, terutama sejak tahun 1970-an. Keputusan politik tentang penerimaan pancasila sebagai asas organisasi, dan pernyataan bahwa NU sebagai jam’iyah secara organisatoris tidak terikat pada organisasi politik 56 57
Laode Ida, op.cit., hlm. 98 Rozikin Daman, Membidik NU, Yogyakarta: Gama Media, 2001, hlm. 159
37
dan
organisasi
kemasyarakatan manapun
serta
masuknya
kelompok
pembaharu dalam kedudukan strategis dalam kepengurusan NU memberi gambaran langkah kegiatan dan bidang garapan NU setelah khittah akan mengalami perubahan dan menunjukan adanya pergeseran aktivitas politik NU.58 Seperti kita ketahui semenjak NU kembali ke khitah 1926 pada muktamar ke-27 di Situbondo (1984), tiga tahun setelahnya, yakni pada pemilihan umum 1987, perolehan suara yang diraih PPP secara drastis mengalami penurunan. PPP waktu itu hanya memperoleh 16% suara dan ini disinyalir oleh banyak pengamat sebagai “era jatuhnya Islam sebagai alat poitik”. Betapa kita lihat, sejumlah besar zone komunitas santri yang merupakan basis PPP, mengalami keruntuhan; mulai dari Aceh, Palembang, Padang, Lombok, NTB, Kudus, Demak, Jepara, Pekalongan, Probolinggo, Pasuruan, lalu Madura yang hanya menyisakan Sampang untuk kemenangan PPP. Fenomena inilah yang agaknya membenarkan sinyalemen Sidney Jones bahwa kekuatan gerakan politik Islam sepanjang sejarah modern Indonesia, tidak terletak pada kualitas penganut agama ini. Meski 90 %
penduduk
Indonesia menganut agama Islam, namun fragmentasi yang heterogen dari pemeluknya kurang menjamin kekuatan Islam yang sebenarnya . Akibat lebih jauh dari berakhirnya era parpol Islam tersebut adalah kumandangnya genta tentang berakhirnya kiprah politisi santri, cepat atau
58
Ibid, hlm. 176
38
lambat mereka disinyalir akan meninggalkan pijakan normatifitas sehingga agama dan politik akan mengalami kerenggangan.59 Fragmentasi santri juga terjadi pada pemilihan presiden 5 Juli, perolehan suara SBY (Susilo Bambang Yudoyono) sangat menakjubkan. Dilihat dari partai yang mendukungnya, SBY tidak memiliki basis massa tradisional yang memilih karena ikatan ideologi keagamaan atau ideologi politik yang militan. Sebagaimana survai LSI dan LP3ES, mayoritas pemilih perempuan memilih SBY karena gagah, col, calm, dan santun. Disamping faktor-faktor tersebut, melonjaknya dukungan terhadap SBY-Kalla juga disebabkan oleh fragmentasi pemilih santri. Menurut Abdul Mu’thi, pemilih santri adalah mereka yang memiliki komitmen dan latar belakang keagamaan Islam yang kuat. Pemilih santri berasal dari ormas-ormas Islam besar seperti Muhamadiyyah, NU, PERSIS dan ormas-ormas Islam yang lain. Meskipun basis dan asasnya relatif sama, dalam pemilihan presiden 5 Juli, partai-partai santri terfragmentasi menjadi empat kelompok. PPP mendukung pencalonan Hamzah-Agum, PBB mendukung pencalonan SBY-Kalla, PKB mendukung Wiranto-Solahudin, pasangan Amin-Siswono mendapat dukungan dari PAN, PBR, dan PKS. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa partai-partai Islam dan kaum santri sangat sulit bersatu? Pertama politik Islam memiliki kontradiksi internal yang cukup tajam, sehingga ikhtilaf politik dapat menimbulkan ekstrimitas dan militansi berlebihan dari para pendukung partai Islam terhadap partai
59
Zainal Arifin Thoha, op.cit., hlm. 216
39
lainnya. Ekstrimitas politik dapat dilihat dari sikap dan pendangan pendukung PBB dan PKS terhadap PAN, serta masa fanatik PPP terhadap PKB. Sebab kedua adalah kepentingan politik kekuasaan. Merebaknya partai-partai Islam menurut Azyumardi Azra lebih dimotifasi hawa nafsu kekuasaan kalangan elit politik muslim daripada motif-motif yang murni untuk kepentingan Islam. Fragmentasi politik itulah yang menjadi faktor kemenangan SBY. Meskipun tidak berasal dari kalangan santri, SBY mendapat suara terbanyak di Jawa timur. Disamping itu juga faktor tersingkirnya GusDur dalam pencalonan presiden dan juga karena faktor fragmentasi elite NU yang terbagi kedalam pasangan Wiranto-Solahudin dan pasangan Mega-Hasyim. Dengan prinsip tiji tibeh (mati satu mati semua), pemilih santri di Jawa timur memberikan suaranya ke SBY-Kalla. Sedangkan pada putaran ke dua, Megawati di vonis dengan fatwa kiai yang mengharamkan presiden perempuan, SBY-Kalla disinyalir didukung oleh kekuatan non muslim dan amerika, Amin yang dijagokan oleh mayoritas partai Islam dan ormas Islam tidak lolos pada putaran pertama. Karena itu sesungguhnya kaum santri tidak memiliki pilihan60 KH Said Aqil Siradj mengakui banyak suara NU yang lari ke SBY. Hal itu karena kebingungan warga harus memilih siapa mengingat kader NU yang maju sebagai cawapres ada dua yakni Hasyim Muzadi dan Sholahudin
60
Suara Merdeka, Fragmentasi Politik Santri, kamis, 15 Juli 2004, hlm. 8
40
Wahid. Kemungkinan karena melihat masing-masing calon tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Akhirnya warga nahdliyyin memilih yang lain.61 Kembali pada khittah apakah bisa di tinjau kembali supaya NU bisa berpolitik kembali, Gus Dur mengatakan: “khittah adalah cara hidup dan cara pandang paham ahlussunah waljamah. Dari cara pandang dan cara hidup itu, maka ditariklah sejumlah konsekuensi dan patokan moral. Dari patokan moral tersebut, dari kesadaran bahwa kita melakukan cara pandang dan cara hidup itu, melakukan kegiatan dakwah dan sebagainya otomatis timbul pertanyaan, dimana soal politik ? itu dijawab dalam komisi rekomendasi yang antara lain menyatakan bahwa NU tidak terkait secara organisatoris dengan organisasi sosial politik manapun. Sedangkan khittah sendiri adalah menyimpulkan bahwa NU menghormati hak-hak politik warga, dan menganjurkan agar mereka memakai hak-hak politik itu dengan sebaik-baiknya berdasarkan akhlakul karimah”. Jadi kalau mau ditinjau bukan khittahnya melainkan sikap di dalam berpolitik.62 KH Mustafa Bisri (Gus Mus) mengatakan, orang NU lebih suka menafsirkan khittah sesuai dengan aspirasi dan kepentingan sendiri dari pada membaca dan mangkajinya, dan kemudian menganggap dirinya telah mengerti lalu dengan sengaja mengajak orang lain sebagaimana yang mereka lihat dan mereka tafsirkan. Menurut Gus Mus, ada tiga jenis politik dalam pemahaman NU yaitu: politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan. NU sejak berdiri 61 62
Suara Merdeka, Pilpres 5 Juli Lari Ke SBY, 23 Juli 2004, hlm. 6 M Soleh, Tabayyun Gus Dur, Yogyakarta: LKIS, 1998, hlm. 205
41
memang berpolitik, terutama dalam pengertian yang pertama, karena NU sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perhatian NU dalam menjaga NKRI yang merupakan tujuan politik jenis ini, seperti dilihat dari sikap dan kiprahnya sejak Rois akbarnya mencanangkan fatwa jihad melawan penjajahan. Perjuangan para kiai NU yang tidak dicatat dalam sejarah tidak menjadi soal bagi mereka, karena bagi mereka penilaian Allah Swt sematalah yang dihitung. Politik jenis ke dua politik kerakyatan, adalah implementasi dari amar makruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat. Dan hal itulah yang kemudian diambil oleh generasi muda melalui LSMLSM, ketika mereka melihat NU secara struktural kurang peduli terhadap yang ini. Politik jenis ke tiga politik kekuasaan atau yang lazim disebut politik praktis Politik jenis ke tiga inilah yang paling menarik perhatian orang NU. Hal ini mungkin karena kesuksesan NU pada tahun 1950-an, yang dalam waktu persiapan relatif sangat pendek, partai NU yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki peringkat ke tiga setelah PNI dan Masyumi yang sangat siap waktu itu. Sejak itu, kemaruk politik praktis merebak disekujur urat nadi NU. Sehingga garapan-garapan mulia lainnya seperti pendidikan, ekonomi, sosial dan dakwah terbengkalai. Khittah NU memang tidak melarang warga NU berpolitik praktis, karena itu merupakan hak warga negara. Tapi NU jelas tidak berpolitik praktis, mengapa? Jelas; karena NU bukan partai politik. Warga NU yang
42
berpolitik praktis dan mencoba menarik-narik NU untuk mendukung politik praktis mereka, mungkin mengabaikan hal itu, ditambah kurang pede dan sudah terlanjur terjerat budaya instan serta pragmatisme ala Indonesia dan biasanya tidak berhasil atau tidak berkah.63 Sebuah wacana dengan majunya ketua umum PBNU (non aktif) KH Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden dalam pilpres 2004 mengemuka dalam pertemuan antara PW dan PCNU se-Jawa tengah, sabtu (24/7), di pondok pesantren Al-Ishlah Mangkang kulon Semarang. Pada acara yang dihadiri 29 dari 36 cabang NU se-Jawa tengah itu, tampaknya perkembangan situasi politik nasional menjadi hal yang paling banyak dibicarakan. Bahkan sejumlah pengurus cabang menghendaki PWNU Jawa tengah mengeluarkan instruksi tertulis agar warga nahdliyyin memilih Hasyim Muzadi dalam pilpres putaran kedua. Cara seperti itu menurut pengusul, juga telah dilakukan oleh PWNU Jawa timur. Menanggapi hal tersebut, Rois Syuriah KH Masruri Mughni menyebutkan, “apa yang disampaikan sejumlah pengurus cabang tersebut merupakan ungkapan emosional, dan itu hanya wacana, kami akan tetap sesuai dengan garis. NU tetap berpegang pada khittah, yang boleh merubah khittah hanya muktamar NU. Secara struktural kami tetap netral”.. Menurut pengamat politik dari UNDIP Teguh Yuwono Ssos Mpol Admin, “ketika dilahirkan, NU juga menolak penjajahan dan ikut berjuang dalam mencapai kemerdekaan RI”. Artinya, NU adalah lembaga yang
63
Suara Merdeka, Tafsir Khittah,, Selasa, 27 Juli 2004, hlm. 1
43
alamnya politik, apalagi saat ini sangat sulit untuk memisahkan antara Islam, politik dan negara. Sebab pendekatan agama dalam politik tidak mungkin hilang di Indonesia. Ada dua pendapat yang berkembang di tubuh NU, yakni golongan yang realistis dan golongan yang idealis. Golongan realistis adalah mereka yang berada di pemerintahan dan lembaga lain. Adapun yang idealis berharap tidak terlibat dalam proses politik tersebut. Karena itu idealnya NU tetap berada di jalur ormas yang melayani seluruh kepentingan bangsa. Hal itu lebih strategis daripada khittah NU di tinjau kembali. “Saya melihat NU akan lebih terhormat menjadi ormas yang mengabdi pada kepentingan masyarakat banyak” 64. Pernyataan
netral
disampaikan
oleh
sejumlah
organisasi
kemasyarakatan (ormas) di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) Jawa tengah yang menggelar pers di Semarang. Mereka menyatakan ormas-ormas NU tidak pernah menyatakan dukungan apalagi mendesak PWNU untuk mendukung salah satu pasangan tertentu. ”kami mewakili ormas Islam di bawah naungan NU Jawa tengah secara institusional memutuskan untuk tetap menjaga netralitas dalam pilpres 2004”, demikian bunyi salah satu dari empat point pernyataan sikap ormas-ormas NU. Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh para pengurus PW Fatayat NU, PW LPNU, PW Rabithul Ma’ahadil Islamiyyah (RMI) dan PW Lakspedam NU. Mereka juga menghimbau kepada seluruh jajaran NU Jawa tengah dan underbow-nya untuk tetap menjaga netralitas dalam pilpres 2004. 64
Suara Merdeka, Pengurus Cabang NU Minta Instruksikan Dukung Hasyim, minggu, 25, Juli, 2004, hlm. 9
44
hal itu sesua qoror (keputusan) PBNU 16 Mei 2004 mengenai identitas NU dalam pilpres. “Pengurus NU di semua tingkatan tidak boleh terlibat aksi dukung mendukung dalam pilpres 2004. bagi pengurus NU yang terlibat mendukung capres dan cawapres, secara pribadi tidak dipermasalahkan asalkan tidak membawa institusi NU” kata Muchsin Jamil dari PW lakspedam NU Jawa terngah. 65 Kedua tokoh NU yang juga tetap netral dalam pemilihan presiden 2004 yaitu KH Sahal Mahfudz dan KH Mustofa Bisri, meminjam istilah Cliford Geezt adalah pekerja kultural (cultural broker). Karena kedua kiai tersebut dianggap sebagai figur yang konsisten dijalur netral, ditengah umat yang plural yang berbeda jalur politiknya. Kedua tokoh ini walau punya pengikut besar tapi tetap istiqomah. Gus Mus misalnya mengambil sikap undur diri dari pencalonan anggota dewan perwakilan daerah (DPD). Padahal seandainya beliau tetap maju, dipastikan dengan mudah melenggang ke senayan. Kenapa beliau mundur? Jawabannya Gus Mus ingin tetap berada di tengah-tengah ummat, ngaji bersama santri-santrinya. Begitu juga mbah Sahal yang tetap netral walaupun KH Hasyim Muzadi minta restu untuk merebut RI-2. peran kiai untuk tetap menjadi pekerja kultur perlu dikuatkan. Sebab hanya kiailah (agamawan karena dengan karisma dan otoritasnya) akan mampu memberikan pembelaan
65
Suara Merdeka, Ormas-Ormas NU Tetap Bersikap Netral, Jum’at, 23 Juli 2004, hlm.5
45
kepada rakyat, memperjuangkan nasib rakyat ketika ditindas Rezim. Bukan malah sebaliknya menjadi bagian dari Rezim yang menindas rakyat.66 Menurut Mohammad Bisri, peristiwa yang menimpa NU sekarang ini agaknya hanya pengulangan sejarah, dimana para elitnya tidak bisa mengambil pelajaran berharga. Bagi para elit NU, Nahdlatul Ulama adalah kendaraan politik yang paling mudah mengantarkan mereka ke kursi kekuasaan. Hasyim Muzadi dicalonkan sebagai wakil presiden oleh PDI perjuangan karena sebagai ketua umum PBNU. Tentu saja nalar politik semacam ini sangat tidak menguntungkan bagi institusi NU, baik untuk masa sekarang ini maupun untuk masa-masa yang akan datang. Sudah jelas dalam khittah disebutkan NU sebagai organisasi sosial keagamaan bukan organisasi politik. Tetapi karena besarnya syahwat politik, kini para elitnya benar-benar menyeret NU seperti organisasi politik. Misalnya masuknya sejumlah pengurus NU dari tingkat poengurus besar, wilayah, cabang, dan majlis wakil cabang dalam tim sukses untuk memenangkan pasangan megawati-Hasyim Muzadi. Kiprah elit NU sekarang ini jelas tidak akan membesarkan NU, justru sebaliknya mengerdilkan dan membusukkan NU dari dalam. Beruntunglah, NU masih memiliki seorang Rois Aam DR. KH MA Sahal Mahfudz dan Rois Syuriyah KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang memegang teguh khitah NU 1926. sulit dibayangkan ketika syahwat politik elit NU tidak bisa lagi
66
68
Justisia, Mbah Sahal, Gus Mus Dan Sosok Cultural Broker, Edisi 25.XI, 2004, hlm.
46
dikendalikan, tidak ada lagi benteng terakhir, maka jam’iyah NU akan runtuh dan larut dalam euphoria politik praktis.67 Dr. Fahmi Dja’far Saifudin melukiskan bahwa sebenarnya hubungan NU dengan politik lebih banyak ditunjukan oleh persepsi NU tentang politik. Jadi masalahnya adalah masalah kualitas politik. Kalau politik hanya diartikan dalam hubungannya dengan perebutan kursi, itu memprihatinkan. Tetapi kalau politik diartikan sebagai setiap upaya mengangkat kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara, keterlibatan NU justru sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, orientasi yang terlalu menitikberatkan pada politik dapat diluruskan dengan kepemimpinan yang dapat mengendalikan semua garapan NU, pembagian kerja para aparatnya dalam suatu strategis yang jelas.68 Ulama sebagai pilar utama NU dilukiskan laksana penggembala umat, karena peranan ulama dalam masyarakat bisa membentuk lingkaran pengaruh dan getaran-getaran. Ibarat benda padat seperti batu yang membuat lingkaran riak-riak air manakala terjun ke permukaan air. Kekdudukan ulama yang demikian itu memang diperlukan bagi syarat kepemimpinan masyarakat.69 Keterlibatan NU ke gelanggang politik praktis kalau ditelusuri lebih jauh, merupakan langkah spekulatif dan sekedar mengikuti kemauan elit NU saja, bukan didasarkan pada sebuah perjuangan murni yang digariskan oleh organisasi NU. Sebab NU yang sejak awal digariskan sebagai organisasi keagamaan tiba-tiba berubah haluan menjadi partai poltik. Perubahan politik
7
67
Suara Merdeka, Mengendalikan Syahwat Politik Elit NU, Jum’at 6 agustus 2004, hlm.
68
Slamet Effendy Yusuf, op.cit., hlm. 138 Ibid, hlm. 134
69
47
NU ini tidak terlepas dari besarnya akses politik dari elit NU yang menyeret organisasi ini terjun ke politik praktis.70 Namun menurut Sumanto Al-Qurtuby khittah NU 1926 yang digulirkan dalam muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo perlu untuk dikaji ulang pada muktamar ke 31 di Donohudan Boyolali akhir November 2004. Karena khittah NU 1926 selama ini memang menjadi ganjalan dan batu sandungan bagi para kiai yang ingin terjun ke dunia politik praktis. Tidak sedikit para kiai yang bingung, canggung atau mungkin setengah hati menekuni dunia politik karena adanya kekhawatiran dengan keterlibatan secara intern di dunia politik pragmatis berarti telah menabrak atau melanggar khittah NU. Khittah NU bukan berarti NU harus lari dari politik atau apriori terhadap kekuasaan, melainkan sebuah kompromi politik untuk mendapatkan akses kekuasaan (kembali ). Sikap kompromi itu ditunjukkan dengan adanya salah satu butir khittah yang menerima asas tunggal pancasila, yang mestinya diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya kiai masuk kekuasaan, melainkan mampu tidaknya kiai jika ikut berkompetisi di dunia politik yang profan dan korup itu. Disinilah diperlukan pra-syarat berupa kompetisi personal, yakni integritas moral dan kemampuan untuk memahami politik yang baik. Jika para kiai memiliki kapabilitas untuk mengelola politik, mengapa mereka tidak diberi kesempatan untuk ikut bertarung di panggung politik ? sekali lagi tidak mengurangi makna dan semangat khitah NU 71
hlm. 54
70
Khoiro Ummatin, Perilaku Politik Kiai, Yogyakarta: pustaka pelajar OFFSET, 2002,
71
Suara Merdeka, Khitah NU Dan Siasat Politik Kiai, senin, 26, Juli, 2004, hlm. 8
48