BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI IZIN PENGELOLAAN AIR TANAH
2.1
Pengertian Pengelolaan Air Tanah Sebelum membahas mengenani pengelolaan air tanah, maka akan dibahas mengenai
pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan air tanah merupakan bagian dari lingkungan hidup itu sendiri. Menurut Otto Soemarwoto yang dikutip oleh Muhammad Akib, lingkungan hidup diartikan sebagai ruang yang ditempati suatu mahluk hidup bersama dengan benda hidup dan takhidup di dalamnya. 37 Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali mahluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda takhidup, seperti udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati mahluk hidup bersama benda hidup dan takhidup inilah dinamakan lingkungan hidup. 38
Lingkungan hidup
tersebut perlu dilindungi dan dikelola keberadaannya. Pengelolaan Lingkungan Hidup secara normatif sering didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.39 Sedangkan, dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) atau yang disingkat dengan UUPPLH menjelaskan “Perlindungan 37
Muhammad Akib, loc.cit. Ibid, h. 2. 39 Mukhlish dan Mustafa Lutfi, op.cit, h. 27. 38
24
25
dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.”
Dalam undang-undang ini
menunjukan jika pengelolaan lingkungan hidup merupakan kebutuhan Negara yang harus dijalankan dengan sungguh-sungguh bahkan menindak siapapun yang melakukan pelanggaran. Pelaksanaannya dilakukan oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dang tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lainnya dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup. Sektor lingkungan hidup oleh para perencana dan pelaku pembangunan masih kurang diperhatikan dibandingkan bidang ekonomi misalnya. Hal ini sesungguhnya mempengaruhi tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).40 Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas-asas yang terkandung dalam UUPPLH. Pasal 2 UUPPLH menyebutkan “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas : (a) tanggung jawab Negara, (b) kelestarian dan berkelanjutan, (c) keserasian dan keseimbangan, (d) keterpaduan, (e) manfaat, (f) kehati-hatian, (g) keadilan, (h) ekoregion, (i) keanekaragaman hayati, (j) pencemar membayar, (k) partisipatif, (l) kearifan lokal, (m) tata kelola pemerintahan yang baik, dan (n) otonomi daerah”. Tujuan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu : (a) melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan llingkungan hidup, (b) menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia, (c) 40
Ibid, h.28.
26
menjamin kelangsungan kehidupan mahluk hidup dan kelestarian ekosistem, (d) menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, (e) mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup, (f) menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan masa depan, (g) menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia, (h) mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, (i) mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dan (j) mengantisipasi isu lingkungan global. Tujuan-tujuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 3 UUPPLH. Ruang Lingkup Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 4 UUPPLH. Menurut Pasal 4 UUPPLH, “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi : (a) perencanaan, (b) pemanfaatan, (c) pengendalian, (d) pemeliharaan, (e) pengawasan, dan (f) penegakan hukum. Mengenai pengelolaan air tanah, ada banyak pengertian atau definisi mengenai air tanah. PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah, Pasal 1 angka 1 mendefinisikan air tanah sebagai “air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah”. Menurut Soemarto yang dikutip dalam Sistem Informasi Air Tanah Badan Geologi Kementerian ESDM, air tanah adalah air yang menempati rongga-rongga dalam lapisan geologi.41 Air Tanah juga perlu dilindungi dan dikelola keberadaannya. Dalam Pasal 1 angka 7 PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah disebutkan “Pengelolaan air tanah adalah upaya
merencanakan,
melaksanakan,
memantau,
mengevaluasi
penyelenggaraan
konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan pengendalian daya rusak air tanah”.
41
Badan Geologi Kementerian ESDM, “Sistem Informasi Air Tanah”, pag.bgl.esdm.go.id/siat/. diakses tanggal 14 Maret 2015
27
Tujuan dari pengelolaan air tanah diatur dalam Pasal 2 PP No. 43 Tahun 2008 yang menyebutkan “Sumber daya air termasuk di dalamnya air tanah dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudk an kemanfaatan air yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dapat disimpulkan pengelolaan air tanah meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air tanah. Kegiatan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kelestarian, kesinambungan ketersediaan serta kemanfaatan air tanah yang berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dalam Ketentuan Umum angka 2 Penjelasan atas PP No. 43 Tahun 2008. Dalam Penjelasan atas PP No. 43 Tahun 2008 angka 4 Ketentuan Umum disebutkan “Pengaturan pengelolaan air tanah diarahkan untuk mewujudkan keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan air tanah. Pelaksanaan kegiatan tersebut secara teknis perlu disesuaikan dengan perilaku air tanah yang meliputi keterpadatan, penyebaran, potensi mencakup kuantitas dan kualitas air tanah serta lingkungan air tanah. Namun karena keberadaannya dalam batuan yang pembentukannya erat kaitannya dengan proses geologi, maka dalam pengelolaan air tanah diperlukan pengaturan yang mendasarkan pada kaidah-kaidah geologi dan hidrogeologi.”
2.2
Hak dan Kewajiban Masyarakat dalam Pengelolaan Air Tanah
2.2.1 Hak dan Kewajiban Hukum itu mengatur hubungan hukum antara tiap orang, tiap masyarakat, tiap lembaga bahkan tiap Negara. Hubungan hukum tersebut terlaksana pada hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua sisi. Sisi yang satu ialah hak dan sisi lainnya adalah kewajiban. Antara hak
28
dan kewajiban terdapat hubungan yang sangat erat, yang satu mencerminkan adanya yang lain.42 Tidak ada hak tanpa kewajiban. Sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, hak memiliki pengertian tentang suatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan). Menurut Lord Llyod of Hamstead dan M.D.A Freeman yang dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki, terdapat dua teori mengenai hakikat hak, yaitu teori kehendak yang menitikberatkan kepada kehendak atau pilihan dan yang lain teori kepentingan atau teori kemanfaatan.43 Kedua teori tersebut berkaitan dengan tujuan hukum. 44 Salah satu ciri-ciri pada hak menurut hukum yang dikemukakan oleh Fitzgerald yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo adalah hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan koleratif. 45 2.2.2 Jenis-jenis Hak dan Kewajiban Masyarakat dalam Pengelolaan Air Tanah Sebelum membahas mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan air tanah, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan mengenai hak dan k ewajiban dalam pengelolaan lingkungan hidup. Bab X UUPPLH menetapkan mengenai hak, kewajiban dan 42
Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, Cet. 8, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 54. Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II), h. 174. 44 Ibid, h. 175. 45 Satjipto Rahardjo, op.cit, h. 55. 43
29
larangan terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Begitu juga dalam Bab XI menetapkan mengenai peran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ada delapan hak yang diakui dalam UUPPLH, yaitu : (1) hak atas lingkungan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia, (2) hak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, (3) hak akses informasi, (4) hak akses partisipasi, (5) hak mengajukan usul atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup, (6) hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (7) hak untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dan (8) hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata dalam memperjuangkan ha katas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 46 Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 65 ayat (1) UUPPLH, digolongkan sebagai hak-hak subjektif (subjective rights).47 Menurut Heinhard Steiger yang dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri, 48 adanya hak-hak subjektif itu mengandung dua fungsi yakni : (a) The function of defense (Abwherfunktion), the right of the individual to defend himself against an interfence with his environment which is to his disadvantage; (b) The function of performance (Leistungsfunktion), the right of the individual to demand the performance of an act in order to preserve, to restore or to improve his environment. Fungsi pertama mengandung pengakuan hak setiap orang untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap lingkungannya. Fungsi kedua mengakui adanya hak setiap
46
Takdir Rahmadi, op.cit, h. 65 Ibid, h. 66 48 Koesnadi Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Cet. 17, Gadjah Mada University Press, h. 94. 47
30
orang untuk menuntut si pencemar atau perusak lingkungan agar memulihkan atau memperbaiki lingkungan.49 Secara konstitusional, hak subjektif sebagaimana tertera dalam Pasal 65 ayat (1) UUPPLH tersebut dapat dikaitkan dengan hak umum yang tercantum dalam Pasal 28-H ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Setiap orang hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini dikaitkan pula dengan hak penguasaan kepada Negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang tertera dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Menurut John Swaigen dan Richard E. Woods yang dikutip oleh Takdir Rahmadi, hak untuk mendapatkan informasi dan berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup dalam kepustakaan asing disebut sebagai “participatory rights”.50 Hak atas informasi merupakan konsekuensi logis dari adanya pengakuan atas hak warga untuk berperanserta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Agar warga dapat memainkan peranserta secara lebih konstruktif, maka warga harus memiliki akses atas informasi pengelolaan lingkungan hidup. Hak akses informasi juga telah tegas diakui dalam Pasal 65 ayat (2) UUPPLH. 51 Peranserta dalam pengelolaan lingkungan dapat dilakukan, antara lain dengan cara cara seperti yang disebut dalam Pasal 65 ayat (2), (3), (4) dan (5) yaitu : mengajukan usulan dan keberatan atau menyampaikan pengaduan kepada pejabat yang berwenang. Selain peranserta masyarakat juga dapat dilihat dari ketentuan Pasal 70 UUPPLH, yaitu
49
Takdir Rahmadi, loc.cit. Ibid. 51 Ibid, h. 67. 50
31
melakukan pengawasan, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan penyampaian informasi atau laporan. 52 Selain mengakui adanya hak-hak, UUPPLH juga meletakkan atau menciptakan kewajiban-kewajiban hukum bagi setiap orang dalam pengelolaan lingkungan hidup. UUPPLH menciptakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut : (a) Kewajiban
memelihara
kelestarian
fungsi
lingkungan
hidup
serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Pasal 67), (b) Kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka dan tepat waktu (Pasal 68 butir a) (c) Kewajiban bagi pelaku usaha untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup (Pasal 68 butir b), (d) Kewajiban bagi pelaku usaha untuk menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (Pasal 68 butir c). Hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan air tanah dapat dilihat dalam PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah. Hak subjektif (subjective rigths) pengelolaan air tanah disebutkan dalam Pasal 2 PP No. 43 Tahun 2008 “Sumber daya air termasuk di dalamnya air tanah dikelola secara menyuluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air yang berkelanjutan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Begitu juga dengan hak guna air dari pemanfaatan air tanah (Pasal 1 angka 14), hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah (Pasal 1 angka 15) dan 52
Ibid.
32
hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah (Pasal 1 angka 16) merupakan hak subjektif dari pengelolaan air tanah yang tertuang dalam PP No. 43 Tahun 2008 tentang air tanah. Sedangkan hak untuk mendapatkan informasi terkait pengelolaan air tanah terdapat dalam Pasal 82 ayat (1) PP No. 43 Tahun 2008 yang menyebutkan “Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota menyediakan informasi air tanah bagi semua pihak yang berkepentingan dalam bidang air tanah”. Hak untuk berperanserta dalam pengelolaan air tanah terdapat dalam PP No. 43 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (6), Pasal 16 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 35 ayat (4) dan Pasal 47 ayat (4). Pasal-pasal tersebut menyatakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pengelolaan air tanah selalu mengikutsertakan unsur masyarakat di dalamnya. Selain peranserta masyarakat juga dapat dilihat dari ketentuan Bab VII PP 43 Tahun 2008 yaitu : melakukan pemberdayaan, pengendalian dan pengawasan. Hak untuk mendapatkan informasi dan berperanserta disebut juga dengan participatory rigths. Salah satu kewajiban dalam pengelolaan air tanah yaitu wajib memiliki izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah. Hal ini terdapat dalam Pasal 54 ayat (4) PP No. 43 Tahun 2008 yang menyebutkan “Hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah untuk kegiatan bukan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dengan izin pemakaian air tanah yang diberikan oleh Bupati/Walikota” dan dalam Pasal 58 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2008 yang menyebutkan “Hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui izin pengusahaan air tanah yang diberikan oleh Bupati/Walikota”. Jadi kegiatan pemakaian air tanah dapat dilakukan setelah mendapatkan hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah dan hak guna pakai air dari pemanfaatan air tanah diperoleh dengan izin pemakaian air tanah. Begitu
juga
dengan
33
kegiatan pengusahaan air tanah dapat dilakukan setelah mendapatkan hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah dan hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah diperoleh dengan izin pengusahaan air tanah. Dalam izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah juga terdapat hak dan kewajiban pemegang izin. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 76, Pasal 77 dan Pasal 78 PP No. 43 Tahun 2008. Dalam Pasal 76 disebutkan “Setiap pemegang izin pemakaian air tanah atau izin pengusahaan air tanah berhak untuk memperoleh dan menggunakan air tanah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin”. Sedangkan dalam Pasal 77 disebutkan, setiap pemegang izin pemakaian air tanah dan izin pengusahaan air tanah diwajibkan untuk : (a) Menyampaikan laporan hasil kegiatan pengeboran atau penggalian air tanah kepada Bupati/Walikota; (b) Menyampaikan laporan debit pemakaian atau pengusahaan air tanah setiap bulan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Menteri atau Gubernur; (c) Memasang meteran air pada setiap sumur produksi untuk pemakaian atau pengusahaan air tanah; (d) Membangun sumur resapan di lokasi yang ditentukan oleh Bupati/Walikota; (e) Berperanserta dalam penyediaan sumur pantau air tanah; (f) Membayar biaya jasa pengelolaan air tanah; dan (g) Melaporkan kepada Bupati/Walikota apabila dalam pelaksanaan peng eboran atau penggalian air tanah, serta pemakaian dan pengusahaan air tanah ditemukan hal-hal yang dapat membahayakan lingkungan. Kewajiban pemegang izin juga diatur dalam Pasal 78 ayat (1) PP No. 43 Tahun 2008. Dalam Pasal 78 ayat (1) PP No. 43 Tahun 2008 disebutkan “Setiap pemegang izin pengusahaan air tanah wajib memberikan air paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari batasan debit pemakaian atau pengusahaan air tanah yang ditetapkan dalam izin bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat setempat”.
34
2.3
Kedudukan Izin dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945
antara lain menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2014 “Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dimaksud dengan “asas otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah”. Berkaitan dengan urusan pemerintahan, dalam asas otonomi dikenal dengan istilah desentralisasi. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 UU No. 32 Tahun 2014 yang menyebutkan “Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi”. Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia, pada hakikatnya dibagi dalam tiga kategori, yakni urusan pemerintahan yang dikelola oleh pemerintah pusat (pemerintah); urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi; urusan
35
pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. 53 Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.54 Urusan pemerintahan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi dan dalam skala kabupaten/kota. Hal ini terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2014 yang meliputi : pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, sosial, tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pangan, pertahanan, lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan desa, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi, usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kepemudaan dan olahraga, statistik, persandian, kebudayaan perpustakaan dan kearsipan. Selain Urusan Pemerintahan Wajib terdapat pula Urusan Pemerintahan Pilihan. Dalam Pasal 12 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2014, Urusan Pemerintahan Pilihan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah meliputi : kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian dan transmigrasi. Apabila urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah tersebut dijalankan secara tertib, maka akan tercipta suatu pelaksanaan tugas pemerintahan yang baik. Suatu teknik pemeliharaan ketertiban ialah terikatnya beberapa kegiatan atau keadaan pada suatu perizinan, pengesahan, persetujuan atau suatu bentuk pemberian kuasa
53
Siswanto Sunarno, op.cit, h. 34. Ibid, h. 35.
54
36
yang lain oleh karena kegiatan-kegiatan itu pada dasarnya adalah terlarang kecuali jika dilaporkan dan memperoleh izin, maka pengawasan atau kontrol itu dilaksanakan pada saat dilaporkan dan kemudian penyelidikan apakah tidak ada orang yang bertindak tanpa memperoleh izin dan apakah mereka yang telah mendapatkan izin memang berpegangan pada peraturan.55 Perizinan merupakan salah satu bentuk penetapan. Sedangkan penetapan merupakan salah satu macam perbuatan-perbuatan hukum Administrasi Negara. Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, yaitu menyelenggarakan kepentingan umum seringkali melakukan perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan administrasi. Perbuatanperbuatan administrasi Negara secara garis besarnya dapat digolongkan dalam dua golongan besar yakni golongan perbuatan hukum (rechtshandelingen) dan golongan perbuatan yang bukan perbuatan hukum (feitelijkehandelingen).56 Dari kedua golongan perbuatan tersebut yang penting Hukum Administrasi Negara adalah golongan perbuatan hukum (rehctshandelingen), sebab perbuatan tersebut langsung menimbulkan akibat hukum tertentu bagi Hukum Administrasi Negara, sedangkan golongan perbuatan yang bukan perbuatan hukum tidak relevan (tidak penting). 57 Perbuatan pemerintah yang termasuk golongan perbuatan hukum dapat berupa perbuatan hukum menurut hukum privat (sipil) dan perbuatan hukum menurut hukum publik. 58 Perbuatan hukum publik ada dua macam, yaitu :59 55
Philipus M. Hadjon et. al., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet III, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 8. 56 E. Utrecht, op.cit, h. 87. 57 SF. Marbun dan Moh. Mahfud, 1987, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 68. 58 Ibid. 59 E. Utrecht, op.cit, h. 91.
37
a. Perbuatan hukum publik yang bersegi dua (tweezijdige publiekrechtelijke handeling). b. Perbuatan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling). Beberapa sarjana seperti S. Sybenga hanya mengakui adanya perbuatan hukum publik yang bersegi satu, artinya hukum publik itu lebih merupakan kehendak satu pihak saja yaitu pemerintah. Menurut mereka tidak ada perbuatan hukum publik yang bersegi dua, tidak ada perjanjian, misalnya, yang diatur oleh hukum publik. Jika pemerintah mengadakan perjanjian dengan pihak swasta maka perjanjian itu senantiasa menggunakan hukum privat (perdata). Perbuatan tersebut merupakan perbuatan hukum bersegi dua karena diadakan oleh kehendak kedua belah pihak dengan sukarela. Itulah sebabnya tidak ada perjanjian menurut hukum publik, sebab hubungan hukum yang diatur oleh hukum publik hanya berasal dari satu pihak saja yakni pemerintah dengan cara menentukan kehendaknya sendiri.60 Menurut Van der Pot, Kranenberg-Vegting, Wiarda dan Donner yang dikutip oleh E. Utrecht mengakui adanya hukum publik yang bersegi dua atau adanya perjanjian menurut hukum publik. Mereka memberi contoh tentang adanya kortverband contract (perjanjian kerja jangka pendek) yang diadakan seorang swasta sebagai pekerja dengan pihak pemerintah sebagai pihak pemberi kerja. 61 Perbuatan hukum publik yang bersegi satu (yang dilakukan oleh alat -alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa) diberi nama beschiking, dalam
60
SF. Marbun dan Moh. Mahfud, op.cit, h. 70-71. E. Utrecht, op.cit, h. 93
61
38
bahasa Indonesia telah dipakai umum istilah ketetapan. Perbuatan yang mengadakan suatu ketetapan disebut perbuatan penetapan (beschiking handeling).62 Dalam berbagai literatur Hukum Administrasi Negara, para sarjana telah banyak memberikan rumusan mengenai pengertian ketetapan. Beberapa sarjana ada yang memberi istilah “keputusan” dan sebagian sarjana ada yang lain lebih senang menggunakan istilah “ketetapan”. Salah satunya adalah E. Utrecht yang mengatakan bahwa ketetapan adalah suatu perbuatan pemerintah dalam arti kata luas yang khusus bagi lapangan pemerintahan dalam arti kata sempit.63 Menurut Mr. WF. Prins yang dikutip oleh SF. Marbun dan Moh. Mahfud menyebutkan beschiking (ketetapan) sebagai suatu tindakan hukum sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada pada alat atau organ itu.64 Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079), bahwa “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Bila diuraikan, Keputusan Tata Usaha Negara mengandung unsur-unsur antara lain :
62
Ibid, h. 94. Ibid, h. 97. 64 SF. Marbun dan Moh. Mahfud, op.cit, h. 75. 63
39
a. Suatu penetapan tertulis. b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. c. Berisi tindakan Tata Usaha Negara. d. Bersifat konkret, individual dan final. e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Mengenai macam-macam keputusan Tata Usaha Negara, terdapat beraneka macam penggolongan keputusan. Beragamnya penggolongan ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandang di kalangan para pakar. Prajudi Atmosudirjo membedakan dua macam penetapan yaitu penetapan negatif (penolakan) dan penetapan positif (permintaan dikabulkan). Penetapan negatif hanya berlaku satu kali saja, sehingga seketika permintaannya boleh diulangi lagi. Penetapan positif terdiri atas lima golongan yaitu :65 a. Penetapan yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya; b. Penetapan yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap satu obyek saja; c. Penetapan yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum; d. Penetapan yang memberikan beban (kewajiban); e. Penetapan yang memberikan keuntungan, yaitu : dispensasi, izin atau vergunning, lisensi dan konsensi. Dispensasi atau bebas syarat yaitu perbuatan yang menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak berlaku karena sesuatu hal yang sangat istimewa. Adapun tujuan diberikannya dispensasi adalah agar seseorang dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang menyimpang/menerobos peraturan perundang-undangan yang berlaku.66
65
Philipus M. Hadjon et. al, op.cit, h. 142. SF. Marbun dan Moh. Mahfud, op.cit, h. 94.
66
40
Vergunning atau izin yaitu apabila pembuat peraturan secara umum tidak melarang suatu perbuatan asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Perbuatan Administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin.67 Pengertian antara dispensasi dengan izin hampir sama, hanya m enurut WF. Prins yang dikutip oleh SF. Marbun dan Moh. Mahfud, perbedaannya terletak pada uraian yang tercantum. Pada izin, termuat uraian yang limitatif tentang alasan penolakannya, sedangkan dispensasi memuat uraian yang limitatif tentang hal-hal yang untuk itu dapat diberikan dispensasi. Namun perbedaan tersebut tidak selalu jelas. 68 Mengenai lisensi, menurut WF. Prins yang dikutip oleh SF. Marbun dan Moh. Mahfud nama lisensi lebih tepat untuk digunakan dalam hal menjalankan sesuatu perusahaan dengan leluasa, sehingga tidak ada gangguan lainnya termasuk dari Pemerintah sendiri dan mereka yang telah memperoleh lisensi dapat menjalankan usahanya dengan leluasa.69 Sedangkan konsensi yaitu apabila pihak swasta memperoleh delegasi kekuasaan dari Pemerintah untuk melakukan sebagian pekerjaan/tugas yang seharusnya dikerjakan oleh Pemerintah.70 Adapun tugas Pemerintah atau Bestuur adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg). Jadi kesejahteraan/kepentingan umum harus selalu menjadi syarat utama, bukan untuk mencari keuntungan semata-mata. Pendelagasian wewenang itu diberikan karena pemerintah sendiri tidak mampu untuk melakukannya sendiri, mengingat tugas pemerintah hampir mencakup seluruh bidang kehidupan manusia.
67
Ibid, h. 95. Ibid. 69 Ibid. 70 Ibid. 68
41
Sesudah mengetahui pengertian dispensasi, izin, lisensi dan konsensi, maka di bawah ini akan disampaikan secara lebih jelas mengenai izin. Hal ini berkaitan dengan pembahasan dalam penulisan skripsi ini yaitu “Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 25 Tahun 2013 terkait Pengawasan atas Izin Pengelolaan Air Tanah di Kecamatan Kuta Selatan”. Menurut Sjachran Basah yang dikutip oleh Ridwan HR, izin adalah perbuatan hukum administrasi Negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
71
E. Utrecht, mengatakan bahwa bilamana
pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka keputusan administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).72 Berdasarkan pemaparan pendapat para pakar tersebut, dapat disebutkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian ini ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu : (a) instrument yuridis; (b) peraturan perundang-undangan; (c) organ pemerintah; (d) peristiwa konkret; (e) prosedur dan persyaratan.73 Menurut N.M Spelt dan J.B.Jm. ten Berge yang dikutip oleh Ridwan HR, izin sebagai instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk memengaruhi para warga
71
Ridwan HR, op.cit, h. 198. E. Utrecht, op.cit, h. 187. 73 Ridwan HR, op.cit, h. 201. 72
42
agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai tujuan konkret. 74 Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa dan perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan. Hal ini berarti, lewat izin dapat diketahui bagaimana gambaran masyarakat adil dan makmur itu terwujud. Ini berarti persyaratan-persyaratan yang terkandung dalam izin merupakan pengendali dalam memfungsikan izin itu sendiri. 75 Adapun mengenai tujuan perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkret menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini, yang secara umum dapat disebutkan sebagai berikut :76 a. Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan). b. Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan). c. Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monument-monumen). d. Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk). e. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet”, di mana pengurus harus memenuhi syaratsyarat tertentu).
74
Ibid, h. 208. Ibid. 76 Ibid. 75