IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH: EVALUASI PERDA KOTA BEKASI NO. 10 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH Irmawatty Paula Tamburaka Universitas Haluoleo Kendari email :
[email protected]
Abstract : This study is the evaluation of implementation of the Local Regulation No.10 the year 2002 on the management of underground water which consists of all aspects are aspects planning, permitting, controlling, orderly and underground water conservation. Research evaluation of policy implementation, data collection in addition to secondary data collected through existing local regulation, supporting data from relevant agencies as well as primary data collected through interviews with informants.expected data have been obtained to answer the problems that exist.The results are local regulation N0.10 of 2002 has been implemented by the country and community to improve people’s understanding of the policy should begin socialization better to provide good value. Which aim to preserve the environment needs to involve the public on the importance of conservation closer to the water resources. Keywords: Implementation, Policy, Underground water
PENDAHULUAN
Air mempunyai peran sangat besar dalam menunjang kegiatan bidang pertanian, air bersih perkotaan dan perdesaan, industri, perikanan tambak, pariwisata, tenaga listrik dan konsumsi rumah tangga. Untuk menunjang kegiatan diberbagai bidang, telah dibangun prasarana yang cukup banyak dalam skala besar, sedang dan kecil sehingga dalam rangka untuk mempertahankan infrastruktur perlu adanya pemeliharaan sejak dini. Dalam rangka
melaksanakan
pembangunan
terpadu,
menyeluruh
dan
berkesinambungan perlu terwujudnya pendayagunaan sumber daya air yang
1
optimal dengan meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat secara adil, merata dan berkelanjutan yang bertumpu pada kemandirian dan masyarakat. Untuk mencapai terwujudnya
kelestarian
swadaya
sumber daya air
diharapkan adanya koordinasi terpadu antar sektor, antar daerah dan kesadaran dari masyarakat serta kemampuan tenaga pengelola
pengairan
yang berada di lapangan.(Arsyad; 2009 : 64). Meningkatnya jumlah kebutuhan akan air, baik secara kualitas maupun kuantitas adalah akan lebih
merupakan tanggung jawab bersama. Tanggung jawab ini
besar karena terkait
dengan bidang lain yang berpengaruh
terhadap kelestarian sumber daya air baik secara kualitas maupun kuantitas. Beberapa sebab terganggunya kelestarian sumber daya air antara lain : 1). Berkurangnya lahan sebagai daerah resapan air akibat dari berkembangnya daerah permukiman dan industri, 2). Menurunnya kualitas air sebagai akibat pembuangan berbagai limbah ke sungai atau sumber air, 3). Menurunnya daya dukung lingkungan terhadap kelestarian fungsi dan manfaat sumber daya air akibat perilaku pemanfaatan
lahan di daerah hulu yang kurang terkendali,
4). Terganggunya kelestarian sumber-sumber air dan terancamnya kelestarian fungsi bangunan-bangunan pengairan sebagai akibat kurang terkendalinya pengambilan bahan galian untuk bangunan.
2
Permasalahan yang dihadapi Kota Bekasi sebagai salah satu kota yang sedang giat-giatnya membangun yakni hasil Temuan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bekasi menunjukkan terjadi kerusakan kualitas maupun kuantitas air tanah. Kondisi air tanah di tiga kecamatan bahkan sudah masuk zona kritis, seperti di Medan Satria dan Bekasi Utara. Wilayah dengan zona kritis tersebut sudah mengalami pengurangan jumlah air tanah. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan penurunan muka tanah. Di Bekasi Utara kondisinya lebih parah lagi, air tanah sudah tidak layak
konsumsi karena
terasa payau. Kota Bekasi sebagai salah satu kota pusat perdagangan dan jasa semakin berat dikarenakan perkembangan penduduk dan semakin tingginya arus urbanisasi. Semakin bertambahnya penduduk menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap air bersih. Umumnya pemakaian air bawah tanah di Kota Bekasi dapat diidentifikasi dari jumlah titik ijin pengambilan air bawah tanah dari sumur yang dibuat oleh perusahaan untuk kepentingan komersial. Pada tahun 2007 jumlah perusahaan yang melakukan pengambilan
air tanah sebanyak 120 perusahaan dengan
jumlah titik sumur 256 buah dan pemakaian air bawah tanah sebanyak 13.271 m3/hari (Anonymous: 2010, h. 6).
3
Dampak penurunan kualitas air sumur/tanah yang bersifat permanen (menerus) diperkirakan terjadi di sekitar lokasi permukiman yang berbatasan langsung dengan TPA/TPST. Dampak permanen ini bersifat akumulatif dan berfluktuasi, serta berlangsung selama proses kegiatan pembuangan sampah di TPST. Sampah organik yang membusuk menyebabkan zat organik, Nitrat (NO3-), Nitrit (NO2-) dan ammonium (NH4+) serta bakteri koli hasil pembusukan sampah yang terakumulasi dalam lindi dan masuk kedalam aliran tanah. Sehingga kemungkinan akan berdampak terhadap penduduk dan tingkat
kesehatan
kualitas air sumur
masyarakat dalam mengkonsumsi air
bersih. Sebagian besar penduduk Kota Bekasi sampai saat ini masih menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih maupun air minum, hal ini disebabkan
masih terbatasnya penyediaan air bersih yang terlayani oleh
PDAM Kota Bekasi, sehingga air tanah merupakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan manusia disamping air sungai dan situ. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Environmental Health Risk Assessment (EHRA) 2010, dari 2.240 rumah tinggal di Kota Bekasi air sumur bor dengan jumlah 36 persen. Tingkat
kepadatan
penduduk yang tinggi akan menyebabkan letak
sumur-sumurnya berdekatan dengan septic tank penduduk yang kondisinya tidtak memenuhi syarat. Banyaknya penduduk yang memanfaatkan air sumur
4
dangkal yang tercemar, berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat akibat kontaminasi dan buruknya sanitasi. Kondisi semacam ini tentunya tidak sejalan lagi dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 ayat 3 yang menyebutkan bahwa air minum yang dikonsumsi oleh masyarakat, harus memenuhi persyaratan kualitas maupun kuantitas, dimana persyaratan ini tertuang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air. Tahun 2010, pengambilan air bawah tanah di Kota Bekasi sudah diterbitkan sebanyak 672 SIPA kepada 395 jenis usaha, yang pemanfaatannya meliputi penunjang, mck, sarana air bersih, perdagangan dan jasa, penunjang produksi dan operasional, kolam renang, bengkel, rumah sakit, dan sebagainya. (Harian Kompas: 2010, h.6) Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi implementasi kebijakan Perda Kota Bekasi No. 10 tahun 2002 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat Kota Bekasi sehingga diharapkan dapat mengoptimalkan tugas instansi pelaksana dan peran serta masyarakat dan
dalam
mengelola
memanfaatkan sumber daya air sesuai kebutuhannya serta menjaga,
melestarikan sumber daya air secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan memperoleh indikator dan
5
rekomendasi yang bermanfaat untuk revisi atau pembuatan kebijakan dimasa yang akan datang sehingga dapat mengatasi permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan air bawah tanah.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di lingkungan Pemerintahan Kota Bekasi, dalam hal ini Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah perusahaan / badan usaha pengguna air bawah
Kota Bekasi dan
tanah.
Waktu yang
dibutuhkan untuk pelaksanaan penelitian selama 3 (tiga) bulan yakni bulan September 2011 – Desember 2011, diawali dengan survey lapangan mencari informasi faktual secara mendetail sampai dengan wawancara kepada informan. Untuk mendapatkan informasi yang valid, akurat dan dapat dipercaya, penelitian ini melakukan evaluasi dari implementasi kebijakan Perda Kota Bekasi Nomor 10 Tahun 2002 dari pengamatan langsung, masukan, dan proses kebijakan. Meskipun demikian perbedaanya adalah bahwa evaluasi formal menggunakan undang-undang, peraturan, dokumen-dokumen program, wawancara dengan informan dalam hal ini adalah pemangku
pemerintah
6
dilingkungan Kota Bekasi selaku pelaksana program dengan mengidentifikasi, mendefinisikan dan menspesifikasikan tujuan dan target kebijakan. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi untuk evaluasi kebijakan sebagai berikut : a). Dokumentasi. Dokumentasi merupakan prosedur paling prinsipil untuk menghimpun data dan informasi mengenai kebijakan, mulai dari tahap perumusan sampai pemantauan. Dokumentasi harus dilakukan secara periodik, baik pendek, menengah, maupun panjang. Metode ini merupakan yang paling pokok dalam mendapatkan data dan informasi
yang dapat
dipercaya untuk melakukan penilaian atas hasil kebijakan, b). Survey. Data dan informasi tentang kebijakan juga dapat dihimpun dengan melakukan survey, misalnya kepada kelompok sasaran yang kepada mereka kebijakan atau program ditujukan, c). Wawancara. Metode ini dapat menghimpun data dan informasi secara
lebih
leluasa dan mendalam tentang kebijakan,
terutama untuk informan yang bersifat terbatas atau dalam jumlah yang tidak terlalu besar, d). Observasi. Pengamatan langsung merupakan metode yang dapat menunjang penilaian atas hasil kebijakan. Metode ini dapat memberikan data dan informasi tambahan, e). FGD (Focus Group Discussion). Metode ini belakangan banyak dilakukan oleh berbagai kalangan,
untuk menggali data
informasi dari stakeholders yang beragam, untuk mendapatkankan informasi
7
dan sudut pandang yang relatif lengkap guna melakukan penilaian terhadap suatu program atau
kebijakan publik. (Sugiyono: 2008 : 88)
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan statistik
sederhana,
langkah
pertama
dilakukan
mengidentifikasi data sesuai peruntukkannya,
tabulasi
data
untuk
selanjutnya diskor atau
persentase data untuk mengetahui rata-rata skor penilaian sesuai aspek– aspek yang diamati. Hasil yang diperoleh selanjutnya diinterpretasi sesuai dengan tujuan penelitian. Mengaju pada evaluasi formal, selain data sekunder yang dikumpulkan melalui peraturan daerah yang telah ada, data pendukung dari instansi terkait serta data primer yang dikumpulkan melalui wawancara dengan informan, diharapkan data yang telah diperoleh dapat memberikan gambaran yang aktual serta diharapkan dapat menjawab dari permasalahan penelitian evaluasi implementasi kebijakan pengelolaan air bawah tanah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat Kota Bekasi. Tahapan-tahapan penelitian yang dilaksanakan meliputi : perumusan masalah, merumuskan desain penelitian, analisis data dan rekomendasi perbaikan.
Metode
penelitian
yang
digunakan
adalah
kualitatif
dan
pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi dokumentasi. Analisis data meliputi tiga hal yakni; analisis kebijakan terkait dengan muatan
8
kebijakan, analisis implementasi kebijakan dan analisis hasil implementasi kebijakan. Proses penyusunan instrumen
mengacu pada definisi konseptual dan
definisi operasional masing-masing aspek. Masing-masing aspek yang diteliti dijabarkan menjadi sejumlah indikator. Dari indikator inilah disusun item pertanyaan atau pernyataan dengan menyertakan pilihan jawaban. Evaluasi implementasi kebijakan pengelolaan air bawah tanah adalah semua yang dipahami oleh aparat, masyarakat pengguna air bawah tanah yang meliputi; aspek mengenai perencanaan, perizinan, pengawasan, penertiban dan konservasi sumber daya , penertiban dan konservasi sumber daya air dan indikator-indikatornya melalui pernyataan yang telah disusun terlebih dahulu yang kemudian diisi oleh informan diberikan pilihan jawaban. Dalam penelitian ini secara spesifik menggunakan Rating Scale guna mengukur aspek dan indikator-indikator, kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan.
Rating Scale lebih fleksibel untuk mengukur
setiap item instrument. Oleh karena itu bagi peneliti harus dapat mengartikan setiap angka yang diberikan pada alternatif jawaban pada setiap item instrument. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
9
Berdasarkan hasil evaluasi implementasi kebijakan Perda No. 10 tahun 2002 tentang pengelolaan air bawah tanah. Pengelolaan air bawah tanah dilaksanakan berdasarkan atas asas manfaat umum, keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup, di samping itu hak atas air bawah tanah adalah hak untuk memperoleh dan menggunakan air untuk keperluan tertentu. Berdasarkan pengamatan pada wilayah penelitian, nilai aspek yang dievaluasi implementasi kebijakan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Nilai Aspek Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengelolaan Air Bawah Tanah Berdasarkan Karakteristik Wilayah Karakteristik Titik Pengamatan
Evaluasi Implementasi Kebijakan Perencanaan
Perizinan
Pengawasan
Penertiban
Bekasi Barat Bekasi Timur Bekasi Utara Pondok Gede Bekasi Selatan Rawa Lumbu Jati Asih Bantar Gebang
3,2 3,5 2,9 3,1 2,5 3,2 2,4 3,3
3,8 3,2 3,3 3,1 2,8 3,6 2,6 3,2
4.0 3,2 3,8 2,6 2,8 3,2 3,8 4,0
3,4 3,0 3,5 3,8 3,2 3,0 2,8 3,6
Konservasi Air Bawah Tanah 2,4 3,1 3,8 3,2 2,7 3,0 2,1 2,0
Jati Sampurna Medan Satria
3,5 3,2
4,0 3,7
3,8 3,2
3,2 2,9
2,7 3,0
10
Jumlah Rata-rata Persentase informan memperoleh air bersih
30,8 3,08
33,3 3,3
34,4 3,44
32,4 3,24
28,0 2,80 84,14 %
Sumber : Data Primer diolah, 2012
Nilai evaluasi implementasi kebijakan berdasarkan kuantifikasi data penilaian deskriptif rating scale yaitu 1 untuk nilai sangat tidak baik, nilai 2 kurang baik, nilai 3 cukup baik dan nilai 4 sangat baik. Nilai evaluasi implementasi kebijakan berdasarkan pengamatan adalah 2,80 pada aspek koservasi air bawah tanah artinya terdapat pemahaman yang rendah terhadap aspek konservasi air bawah tanah oleh pihak pengguna air bawah tanah dalam hal ini industry/badan usaha, aspek konservasi air bawah tanah mencakup pemeliharaan lingkungan, pembuatan sumur resapan, pembuatan lubang biopori, penanaman pohon dan penyediaan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) bagi setiap industri guna mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan air bawah tanah. Sedangkan nilai tertinggi berdasarkan pengamatan adalah 3,44 artinya terdapat pemahaman yang tinggi pada aspek pengawasan, Perangkat Daerah dalam hal ini Tim yang telah ditetapkan melalui Keputusan Walikota melakukan pemeriksaan dan pengumpulan keterangan yang diperlukan secara berkala
11
setiap 3 (tiga) bulan pada titik lokasi pengambilan air bawah tanah, disamping itu melakukan pendataan volume pengambilan air bawah tanah, penataan teknis dan konstruksi sumur bor dan uji
pemompaan. Pengawasan juga
dilakukan pada setiap pelaporan perbulan yang harus dilakukan bagi setiap pemegang izin, pihak industri selaku pengguna air bawah tanah berkewajiban melaporkan setiap kegiatan kepada petugas menyangkut volume debit air yang digunakan per bulan. Evaluasi kebijakan merupakan bagian penting dalam pelaksanaan, namun demikian, perkembangan terkini membuktikan bahwa keberhasilan dan kegagalan kebijakan tidak lagi ditentukan oleh keandalan kebijakan dan implementasinya,
namun
dukungan
lingkungan.
Konteks
lingkungan
dikedepankan karena perubahan yang terjadi hari ini dan di masa depan adalah perubahan dalam volume yang besar dan cepat. Kenyataan ini begitu mencemaskan karena kita banyak melihat sebuah kebijakan yang mendadak usang ketika selesai dibuat karena perubahan. Seperti halnya kebijakan pengelolaan air bawah tanah yang di sahkan tahun 2002 dengan tujuan memberikan landasan hukum yang jelas dalam pengaturan pengelolaan air bawah tanah di Daerah, di samping itu kebijakan ini agar dalam pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah dilakukan secara terkendali, berdaya guna dan berhasil guna serta berwawasan lingkungan.
12
Kota Bekasi merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami perkembangan
yang begitu pesat, jumlah penduduk semakin tinggi
membutuhkan air bersih untuk konsumsi semakin tinggi pula, sektor industri merupakan salah satu sektor yang sedang berkembang di Kota Bekasi. Sektor industri merupakan sektor yang sangat membutuhkan air proses produksinya.
untuk melakukan
Perda Kota Bekasi No. 10 tahun 2002 mengatur
pemanfaatan atau pengambilan air bawah tanah khususnya untuk badan usaha, baik berupa perseroan terbatas, BUMN, BUMD, Koperasi, Lembaga, Yayasan, Organisasi lainnya. Melalui kebijakan ini kebutuhan air bersih yang digunakan setiap perusahaan atau badan usaha untuk kegiatan proses produksinya dapat terpenuhi, akan tetapi masih banyak kegiatan pengambilan air bawah tanah secara berlebihan tidak melalui prosedur atau peraturan yang berlaku, dengan kata lain terjadi pencurian air bawah tanah, misalnya
menjamurnya usaha
pencucian mobil/motor tanpa melalui permohonan terlebih dahulu, hal ini sangat mengkwatirkan akan keberadaan aquifer air tanah. Keadaan air termasuk air bawah tanah di Kota Bekasi telah mengalami degradasi dengan imbangan air yang buruk. Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang menekankan upaya pada pencegahan karena hal itu lebih baik daripada penanggulangan setelah terjadinya dampak. Pengambilan air bawah tanah
13
dengan cara pemompaan yang berlebihan (overpumping) atau pengambilan air bawah
tanah yang melebihi serahan aman (safe yield) telah terbukti
rnenimbulkan dampak negatif terhadap kondisi dan lingkungan air
bawah
tanah. Dampak negatif karena pengambilan air
bawah tanah yang melebihi
serahan aman di awali dengan penurunan kuantitas air bawah tanah yang ditunjukkan oleh penurunan muka air tanah secara terus menerus hingga melebihi batas muka air tanah arnan. Dampak lanjutan lainnya yang dapat terjadi adalah degradasi kualitas air tanah karena intrusi air laut dan polusi air tanah, serta penurunan muka tanah karena amblesan tanah (land subsidence). Upaya untuk mencegah terjadinya dampak negatif karena pengambilan air
bawah tanah dapat dilakukan dengan pemanfaatan air bawah tanah
dalam jumlah lebih kecil atau sama dengan batas aman pengambilan air bawah tanah,
untuk mencapai sasaran pemanfaatan air bawah tanah secara
berkelanjutan yang sesuai dengan peruntukannya, air bawah tanah harus ditinjau ulang sebagai sumber daya tidak terbarukan. Untuk meminimalkan dampak negatif dari pemanfaatan air bawah tanah, pengembangan air bawah tanah perlu mempertimbangkan analisis resiko dan pengelolaan dampak (risk assessment, risk management). Analisis resiko mencakup kuantitas dan
14
kualitas air bawah tanah sedangkan pengelolaan dampak mencakup aspek teknis dan aspek kebijakan. Mengingat keberadaan air bawah tanah yang semakin mengkuatirkan, Pemerintah Kota Bekasi, mulai mengarahkan kalangan industri setempat untuk tidak bergantung pada penggunaan air tanah melalui diterbitkannya Peraturan Daerah Pajak Air Tanah. Hal ini lebih disebabkan , kondisi air tanah di Kota Bekasi saat ini sudah memasuki taraf memprihatinkan, menyusul penggunaan yang tinggi oleh kalangan industri dan rumah tangga, Menurut Kepala BPLHD Kota Bekasi Perda tentang Pajak Air Tanah yang disahkan Desember 2010 lalu merupakan bentuk pengendalian penggunaan air bawah tanah demi menjaga kelestarian ekosistem lingkungan. Pihaknya berencana melakukan pengurangan secara bertahap terhadap kebebasan industri dalam mengambil air bawah tanah guna keperluan komersial. Masing-masing industri sudah ditentukan kuota air tanah yang boleh dipergunakan. Setiap tahun, saat perpanjangan izin penggunaan air tanah, kuota yang diberikan akan terus dikurangi hingga akhirnya habis dan industri tidak bisa lagi menggunakan air bawah tanah. Apabila penggunaan air bawah tanah sudah melebihi kuota yang ditentukan, kelebihan airnya akan dikenakan pajak. Tujuannya, agar pengusaha berfikir lebih bijak dalam pengeluaran keuangannya.
Daripada
pihak pengusaha mengeluarkan biaya untuk
15
membayar pajak yang cukup tinggi, pemerintah sengaja menggiring industri untuk beralih ke Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
KESIMPULAN Berdasarkan hasil evaluasi dan pembahasan, maka disimpulkan sebagai berikut : Perda No 10 tahun 2002 telah dilaksanakan baik oleh perangkat daerah maupun masyarakat,
untuk lebih meningkatkan pemahaman masyarakat
terhadap kebijakan tersebut perlu diawali sosialisasi yang lebih mendalam agar setiap aspek dapat dipahami dan memberikan nilai yang baik. Guna menjaga kelestarian lingkungan, perlu melibatkan masyarakat mengenal lebih
dekat
akan
dapat
pentingnya
konservasi
sumber
daya
air.
Kebijakan
mengkomunikasikan antara penyelenggara dengan pihak pelaksana, agar kebijakan yang ada dapat diimplementasikan dengan baik.
REFERENSI Arsyad Sitanala, Konservasi Tanah dan Air, IPB Press : Bogor, 2009 Anonymus, Laporan Bank Dunia, Enabling Water Utilities to Serve the Urban Poor, 2006.
16
Djanius
Djamin,
Pengawasan
dan
Pelaksanaan
Undang-Undang
Lingkungan Hidup , Jakarta, 2007 Dunn, N. William., Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Terjemahan Samodra Wibawa, dkk. Gajah Mada University Press: Yogyakarta, 2000. Kodoatie Robert J., Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah, ANDI: Yogyakarta, 2002. ------------------------, Tata Ruang Air, ANDI, Yogyakarta, 2010 Mazmanian D, & P. Sabatier, Implementation and Public Policy, Collins: New York , 1983
Majchrzak, Ann, Methods California, 1984.
Harper
for Policy Research, SAGE Publications:
Nugroho Riant, Public Policy, Elex Media Komputindo: Jakarta, 2009. Osmar, Mungkasa, Pembangunan Air Minum dan Pembangunan; Jurnal Percik, Edisi Oktober 2006
Peraturan Menteri PU No. 45 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Mutu Air pada Sumber-sumber Air.
Peraturan Daerah Kota Bekasi No.10 Tahun 2002 Tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah
17
Sanim, Bunasor., Sumberdaya Air dan Kesejahteraan Publik, Suatu Tinjauan Teoretis dan Kajian Praktis, IPB-Press : Bogor, 2011.
18