PENGELOLAAN CEKUNGAN AIR BAWAH TANAH Dr. Heru Hendrayana Geological Engineering Dept., Faculty of Engineering, Gadjah Mada University Email :
[email protected] Website : www.heruhendrayana.staff.ugm.ac,id Tahun : 2003
• PENDAHULUAN Air bawah tanah merupakan sumber daya alam yang terbarukan (renewal natural resources), dan memainkan peranan penting di dalam penyediaan pasokan kebutuhan air bagi berbagai keperluan. Mengingat peranan air bawah tanah yang semakin vital, maka pemanfaatan air bawah tanah harus juga memperhatikan keseimbangan dan pelestarian sumber daya itu sendiri, atau dengan kata lain yang sekarang populer, pemanfaatan air bawah tanah harus berwawasan lingkungan. Air bawah tanah sebagai salah satu sumberdaya air, saat ini telah menjadi permasalahan Nasional, sehingga mutlak dituntut perlunya langkah-langkah nyata untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan eksploitasi air bawah tanah yang tidak terkontrol. Pengelolaan air bawah tanah harus dilakukan secara bijaksana yang bertumpu pada aspek hukum, yakni peraturan perundangan yang berlaku di bidang air bawah tanah serta aspek teknis yang menyangkut pengetahuan keair bawah tanahan (groundwater knowledge) suatu daerah. Pengelolaan air bawah tanah dalam arti luas adalah segala upaya yang mencakup inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi air bawah tanah. Pengelolaan air bawah tanah pada hakekatnya melibatkan banyak pihak dan harus dilakukan secara bijaksana dengan mendasarkan aspek hukum dan aspek teknis. Pengelolaan air bawah tanah harus didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan air bawah tanah ( Groundwater Basin Management ). Secara umum pengelolaan air bawah tanah yang berwawasan lingkungan mencakup kegiatan untuk pelaksanaan konservasi air bawah tanah dan pemantauan keseimbangan pemanfaatan air bawah tanah. Pada saat ini pengelolaan air bawah tanah dan kegiatan konservasi air bawah tanah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik Instansi Pemerintah maupun DR. Heru Hendrayana - 2003
Swasta. Tetapi pada kenyataannya hasil pengelolaan maupun konservasi air bawah tanah belum dapat mencapai sasaran dan masih relatif jauh dari titik optimal.
• PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DI INDONESIA Pengelolaan air bawah tanah di Indonesia pada dasarnya bertumpu pada aspek hukum dan aspek teknis. Aspek hukum merupakan peraturan dan perundangan yang digunakan untuk melandasi upaya pengelolaan air bawah tanah, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebenarnya merupakan pranata hukum yang bertindak sebagai ujung tombak pelaksanaan upaya pengelolaan dan perlindungan air bawah tanah, dengan demikian peraturan daerah sangat menentukan dalam pelaksanaan konservasi sumberdaya air bawah tanah. Karena sifatnya demikian, maka sebaiknya peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah disesuaikan dan mengacu pada kondisi fisik sumberdaya air bawah tanah yang ada di daerah tersebut. Aspek teknis pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah tidak mendasarkan pada batas administrasi suatu daerah, tetapi harus tetap mengacu pada konfigurasi cekungan air bawah tanah dengan memperhatikan kondisi batas hidrogeologi yang ada. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan air bawah tanah mencakup kegiatan inventarisasi, peruntukan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pemantauan pengambilan air bawah tanah, yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya keseimbangan pemanfaatan air bawah tanah dan konservasi air bawah tanah secara optimal. Atas dasar pengertian tersebut di atas, maka visi Pengelolaan Air Bawah Tanah adalah:
KELESTARIAN
KETERSEDIAAN
AIR
BAWAH
TANAH
DEMI
KESINAMBUNGAN
PEMANFAATANNYA. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya Air Bawah Tanah didasarkan atas: •
Sumber daya Air Bawah Tanah adalah karunia Tuhan yang terkandung di dalam bumi Indonesia, dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat.
DR. Heru Hendrayana - 2003
2
•
Sumber daya Air Bawah Tanah mempunyai fungsi sosial. Pola pengaturan Air Bawah Tanah didasarkan atas asas kemanfaatan, keseimbangan dan kelestarian,
•
Hak atas Air Bawah Tanah adalah semata-mata hak guna air, yakni hak untuk memperoleh air bagi keperluan tertentu.
•
Air Bawah Tanah untuk keperluan air minum merupakan prioritas utama diatas keperluan lain.
•
Perlunya memperhatikan kondisi alam (hidrogeologi) termasuk yang diatas permukaan (lahan) maupun di bawah permukaan (sub surface) tanah.
•
Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan Air Bawah Tanah: o
Keterpihakan kepada masyarakat atau kepentingan yang lebih luas yang tercermin pada prioritas peruntukannya
o
Tuntutan kebutuhan PAD perlu diimbangi dengan peningkatan upaya konservasi atau pelestarian Air Bawah Tanah dan pelayanan kebutuhan masyarakat terhadap air bersih.
Sedangkan perwujudan kebijakan dalam pengelolaan air bawah tanah oleh Menteri Pertambangan dan Energi, meliputi : •
Mengkoordinasi segala inventarisasi sumberdaya air bawah tanah dengan memperhatikan kepentingan umum, departemen dan lembaga lain terkait
•
Mengatur peruntukan pemanfaatan air bawah tanah
•
Melakukan pengendalian dan pemantauan pengambilan air bawah tanah dalam rangka ijin pengambilan dan konservasi
•
Mengelola data air bawah tanah sebagai sumber informasi air bawah tanah
•
Memberi ijin usaha perusahaan pengeboran air bawah tanah Sampai saat ini upaya pengelolaan air bawah tanah untuk menjamin
keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian air bawah tanah terus menerus diterapkan di lapangan, baik yang mencakup aspek teknis maupun aspek hukum. Tetapi pada kenyataannya, meskipun upaya pengelolaan air bawah tanah telah dilakukan oleh semua unsur terkait, di lapangan masih menunjukkan adanya degradasi sumberdaya air bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya, di samping terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal ini menunjukkan, bahwa pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah dalam rangka konservasi air bawah tanah belum berhasil secara optimal.
DR. Heru Hendrayana - 2003
3
Seperti dijelaskan diatas, bahwa pada dasarnya pengelolaan air bawah tanah di Indonesia bertumpu pada dua aspek, yaitu (1). Aspek hokum dan (2). Aspek Teknis. Aspek Hukum Peraturan dan perundangan yang melandasi upaya pengelolaan air bawah tanah adalah: •
Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3. Di sini tersirat bahwa air yang terkandung di dalam bumi perlu dikelola dan dilindungi agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
•
Undang-undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan, Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air, dan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1982 tentang Irigasi. Dalam peraturan dan perundangan ini, tersurat kewenangan dan tanggungjawab pengurusan air bawah tanah ada pada Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang pertambangan.
•
Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di sini tersirat kehendak pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam (termasuk air bawah tanah) sebagai salah satu komponen lingkungan.
•
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi (Permen PE) Nomor 02.P/101/M.PE/1994 tentang Pengurusan administrasi Air bawah tanah. Peraturan ini merupakan landasan kebijaksanaan pengelolaan air bawah tanah, sebagai perwujudan dari kewenangan Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang pertambangan dalam pengurusan administratif atas sumber air bawah tanah.
•
Keputusan
Direktur
Jenderal
Geologi
dan
Sumberdaya
Mineral
No.
005.K/10/DDJG/1995 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengurusan Administratif Air bawah tanah. •
Keputusan Memteri Pertambangan dan Energi No. 390.K/008/M.PE/1995 tentang Pedoman
Teknis
Penyusunan
Upaya
Pengeloaan
Lingkungan
dan
Upaya
Pemantauan Lingkungan kegiatan Pengambilan Air bawah tanah, sebagai pelaksanaan dari Pedoman tersebut ditetapkan keputusan Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral No. 048.K/101/DDJG/1995 tentang Petunjuk Teknis. •
Dan beberapa pedoman yang telah dikeluarkan oleh Departemen dan Instansi terkait pada tahun 2000 ke atas.
DR. Heru Hendrayana - 2003
4
Disamping itu, dalam rangka perbantuan tugas pemerintah pusat dalam pengelolaan air bawah tanah, di daerah-daerah telah ditetapkan Peraturan Daerah tentang Masalah Pengelolaan Air bawah tanah. Aspek Teknis Keterdapatan air bawah tanah tidak dibatasi oleh batas administratif suatu daerah, sehingga pengelolaan air bawah tanah berdasarkan aspek teknis yang mengacu pada cekungan air bawah tanah, yaitu suatu wilayah yang ditentukan oleh batasan-batasan hidrogeologi, dimana semua proses hidraulika (pengisian, pengambilan, pengaliran) berlangsung. Batasan-batasan teknis hidrogeologi tersebut meliputi : (1) waktu, (2) jumlah, (3) ruang/wadah dan (4) kualitas Waktu : dimaksudkan bahwa ketersediaan air bawah tanah dibatasi oleh dimensi waktu yang menyangkut waktu pengaliran dan pembentukan air bawah tanah. Ruang/wadah : tempat dimana air bawah tanah tersimpan, yaitu akuifer atau wadah yang secara hidrogeologi memungkinkan menyimpan dan melepaskan air bawah tanah dalam jumlah berarti, sehingga diperlukan pemahaman terhadap konfigurasi, geometri, dan parameter akuifer di suatu cekungan untuk membantu menentukan keterdapatan dan besaran sumberdaya air bawah tanah. Jumlah : dengan mengetahui adanya batasan waktu dan ruang/wadah, maka jumlah suatu sumberdaya air bawah tanah di suatu cekungan (1) dapat dihitung dan diketahui dan (2) ditentukan skenario pemanfaatannya. Kualitas : dengan analisis hidrokimia air bawah tanah dapat diketahui kesesuaian peruntukannya : air minum, industri, pertanian. Beberapa upaya pengelolaan air bawah tanah dari aspek teknis pada pengendalian dampak negatif akibat pemompaan air bawah tanah secara berlebihan, yaitu : 1. Penentuan Lokasi Pemompaan. Mengingat keterdapatan lapisan pembawa air bawah tanah tidak merata, maka penentuan lokasi pengambilan air bawah tanah sangat menentukan, agar sumberdaya air bawah tanah dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Disamping itu, pengaruh pengambilan
air
bawah
tanah
melalui
sumur-sumur
yang
berdekatan
akan
mengakibatkan penurunan muka air bawah tanah yang lebih besar, maka penentuan
DR. Heru Hendrayana - 2003
5
lokasi dan jarak antar sumur, akan dapat mencegah pengaruh dampak negatif tersebut di atas. 2. Pengaturan Kedalaman Penyadapan Suatu daerah sering mempunyai akuifer berlapis banyak (multi layer aquifer). Kondisi yang demikian sangat memungkinkan untuk dilakukan pengaturan kedalaman penyadapan
pada
lapisan
akuifer
tertentu.
Dengan
pengaturan
kedalaman
penyadapan dapat dihindari terjadinya eksploitasi air bawah tanah yang terkonsentrasi hanya pada satu lapisan akuifer tertentu, yang dampaknya tentu berbeda dengan penyadapan yang dilakukan pada beberapa lapisan akuifer. Peruntukan air bawah tanah untuk berbagai keperluan, diatur dengan mengambil air bawah tanah dari berbagai kedalaman yang berbeda. Namun pada dasarnya pengaturan kedalaman penyadapan air bawah tanah tetap mengacu pada prioritas peruntukan air bawah tanah, di mana air minum merupakan prioritas utama. 3. Pembatasan Debit Pemompaan Pembatasan besarnya air bawah tanah yang disadap, bertujuan agar penurunan muka air bawah tanah dapat dibatasi pada kedudukan yang aman. Pengertian aman mempunyai arti dapat mencegah terjadinya intrusi air laut pada pengambilan air bawah tanah di daerah pantai, maupun kemungkinan terjadinya amblesan, serta untuk menyesuaikan dengan cadangan air bawah tanah yang tersedia. Namun konsekuensi dari pembatasan ini adalah, harus dapat disediakan sumber-sumber pasokan air yang lain, misalnya dari air permukaan. Kondisi hidrogeologi suatu daerah sangat menentukan besar cadangan dan kualitas air bawah tanah, sehingga berapa batas yang aman jumlah debit pengambilan air bawah tanah, sangat berbeda dari suatu daerah ke daerah yang lain. Tetapi secara kualitatif dapat ditentukan, bahwa jumlah pengambilan air bawah tanah hendaknya tidak melebihi jumlah imbuhan air bawah tanah. 4. Penambahan Imbuhan Berdasarkan pada daur hidrologi, sumber utama air bawah tanah adalah berasal dari air hujan. Indonesia yang beriklim tropis basah, umumnya mempunyai curah hujan yang relatif tinggi, lebih dari 1000 mm/tahun, dengan hari hujan yang relatif panjang. Kondisi ini sangat menguntungkan dalam imbuhan air bawah tanah secara alami, di mana pada saat musim hujan terjadi pengisian dan penggantian dari defisit air bawah tanah yang terjadi pada musim kemarau. Dengan demikian akuifer akan DR. Heru Hendrayana - 2003
6
mendapat penambahan cadangan air bawah tanah. Permasalahannya adalah di daerah-daerah yang telah berkembang, terutama di kota-kota besar, peristiwa pengisian kembali air bawah tanah pada musim hujan terhambat karena adanya perubahan lingkungan. Daerah-daerah yang sebetulnya merupakan daerah imbuh air bawah tanah telah berubah fungsi, sehingga hanya sebagian kecil air hujan yang meresap dan mengimbuh air bawah tanah. 5. Penentuan Kawasan Lindung Kawasan lindung air bawah tanah mengarah kepada penataan ruang suatu daerah dengan maksud untuk melindungi jumlah dan mutu sumberdaya air bawah tanah. Oleh sebab itu, untuk menentukan kawasan lindung air bawah tanah, disamping kondisi hidrogeologi, maka penggunaan lahan dan keberadaan infrastruktur harus dipertimbangkan. Penentuan kawasan lindung ini merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan, karena sering terjadi pertentangan kepentingan. Misalnya, di daerah imbuh air bawah tanah, sering terjadi tuntutan pembangunan sebagai daerah pemukiman, industri, buangan sampah, dan penggunaan lahan lain yang berdampak negatif terhadap jumlah maupun mutu air bawah tanah. Oleh sebab itu banyak kendala untuk memberlakukan secara efisien upaya perlindungan air bawah tanah. Meskipun demikian usaha-usaha perlindungan air bawah tanah dapat ditetapkan dari sudut pandang hidrogeologi dan geologi lingkungan.
• PERMASALAHAN
PELAKSANAAN
PENGELOLAAN
AIR
BAWAH
TANAH Dengan mendasarkan pada kenyataan, bahwa di lapangan masih menunjukkan adanya gejala degradasi terhadap sumberdaya air bawah tanah, maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak dijumpai permasalahan pada pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah yang berwawasan lingkungan. Untuk mencapai hasil yang optimal, maka perlu identifikasi permasalahan dan meminimalkan kendala yang ada. Beberapa permasalahan dan kendala yang ada pada pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah secara terpadu dan berwawasan lingkungan, antara lain :
DR. Heru Hendrayana - 2003
7
•
Terlalu banyak Lembaga/Instansi yang terlibat pada penanganan air bawah tanah, merasa bertanggungjawab terhadap air bawah tanah, merasa membidangi dan membawahi air bawah tanah,
•
Instansi/Lembaga
yang
sebenarnya
bertanggungjawab
membidangi
dan
membawahi bidang air bawah tanah belum melakukan koordinasi optimal dengan Lembaga lain terkait •
Pola kerja dan kinerja Lembaga/Instansi terkait belum optimal, penelitian air bawah tanah belum terkoordinasi dengan baik, banyak terjadi duplikasi dan hasil penelitian yang tersebar di berbagai tempat
•
Data dan informasi yang ada kurang informatif dan tidak seragam dalam format, belum tersusunnya standart sistem informasi air bawah tanah
•
Konsep pengelolaan dan konservasi air bawah tanah tidak didasarkan pada konsep pengelolaan cekungan air bawah tanah, tetapi lebih mendasarkan pada pengelolaan sumur (well management) dan juga mendasarkan pada batas administrasi
•
Pada pelaksanaan pengelolaan dan konservasi air bawah tanah banyak yang mengesampingkan konsep-konsep dasar hidrologi, geologi dan hidrogeologi
•
Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat awam terhadap air bawah tanah
•
Belum
meratanya
kemampuan
sumberdaya
manusia
yang
menangani
permasalahan air bawah tanah •
Kurangnya penegakan hukum di bidang air bawah tanah Sedangkan
secara global permasalahan pada sumberdaya air dapat
diidentifikasikan sebagai berikut : a. Terjadinya peningkatan kebutuhan air baku di segala bidang b. Terjadinya degradasi kuantitas dan kualitas air c. Terjadinya konflik antar pengguna air d. Ketidakefektifan peraturan perundangan tentang sumberdaya air dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kepatuhan hukum e. Terbatasnya dana Pemerintah maupun Swasta untuk mendukung pada pengelolaan sumberdaya air f.
Belum terintegrasinya program antar sector pada pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air, dan masih adanya gejala ego-sektoral
g. Lemahnya kinerja organisasi/lembaga terkait pada pengelolaan sumberdaya air
DR. Heru Hendrayana - 2003
8
Demikian juga adanya perubahan paradigma yang pada akhirnya berpengaruh pada penentuan kebijakan dan proses pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air, antara lain : •
Perubahan fungsi status air dari Komoditas Sosial menjadi Komoditas SosialKomersial
•
Pergeseran peran Pemerintah sebagai Provider menjadi Enabler.
•
Perubahan sistem pemerintahan dari Sentralisasi menjadi Desentralisasi.
•
Perubahan pola pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air dari Government Centrist menjadi Private-Public Participation.
•
Perubahan
pelayanan
pemerintah
dari
birocrative-normative
menjadi
responsive-flexible •
Perubahan sistem kebijakan Pemerintah dari top-down menjadi bottom-up
Adapun kendala non teknis yang sangat berpengaruh pada pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air, antara lain : •
Masyarakat belum concern terhadap keberadaan sumberdaya air, baik kuantitas, kualitas dan kontinuitas
•
Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap air sebagai standart komoditas hidup sehat
•
Masyarakat belum menyadari dan mempertimbangkan air sebagai investasi kesehatan atau komoditas sehat
•
Masyarakat menganggap air sebagai komoditas bebas, kurang menyadari air sebagai public property ( bahkan saat ini air telah menjadi komoditas ekonomis dan strategis)
•
Masyarakat menganggap saat ini yang terjadi adalah krisis air, tetapi sebenarnya yang terjadi adalah krisis manajemen air
•
Masyarakat tidak menyadari bahwa dimasa datang masalah kualitas air menjadi permasalahan yang lebih komplek dari pada masalah kuantitas air
Banyaknya permasalahan dan kendala yang masih ada, baik yang bersifat teknis maupun non teknis sangat berpengaruh pada hasil pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah dan konservasinya.
DR. Heru Hendrayana - 2003
9
• KONSEP MANAJEMEN AIR BAWAH TANAH Kebutuhan Konsep Manajemen Sebagai alat bantu utama pada penentuan kebijakan pada proses pengelolaan sumberdaya air, maka diperlukan pemahaman konsep dasar pengelolaan sumberdaya air. Konsep pengelolaan sumberdaya air harus dibedakan menjadi dua konsep pendekatan manajemen pada dua macam sumberdaya air, yaitu : (1) Pengelolaan Air Permukaan, dan (2) Pengelolaan Air Bawah Tanah. Namum demikian implementasi kedua konsep pengelolaan sumberdaya air tersebut harus terintegrasi pada satu kebijakan dan dilaksanakan secara simultan. Pengelolaan air permukaan didasarkan pada pemahaman Daerah Aliran Sungai, dengan konsep : “One River - One Plan – One Management”. Sedangkan pengelolaan air bawah tanah didasarkan pada pemahaman Cekungan Air Bawah Tanah, yaitu dengan mendasarkan pada konsep sistem aliran air bawah tanah, yang dibedakan menjadi (1) sistem aliran airbawah tanah regional, (2) intermediate dan (3) sistem aliran air bawah tanah lokal atau artificial groundwater flow system. Sinkronisasi konsep pengelolaan air permukaan dan pengelolaan air bawah tanah tersebut di atas harus diimplementasikan secara benar dengan melibatkan berbagai pihak terkait dengan dukungan komitmen para pemegang kebijakan. Pengelolaan air bawah tanah berbasis cekungan air bawah tanah sampai saat ini masih merupakan aktivitas atau kegiatan berorientasi proyek, dan implementasinya belum mendasarkan pada konsep yang benar. Kenyataan tersebut di atas mendorong perlu segera diwujudkannya pendekatan konsep untuk pengelolaan air bawah tanah secara menyeluruh (total groundwater basin management).
Tahapan pada Konsep Manajemen Implementasi pengelolaan sumberdaya air bawah tanah perlu didahului oleh beberapa kegiatan awal, yaitu : (1) penentuan daerah/basin yang akan dikelola, (2) penyusunan sistem informasi dan data base dan (3) evaluasi data yang tersedia. Disamping itu perlu adanya dukungan komitmen semua pihak terkait pada pelaksanaan pengelolaannya. Penyusunan data base dan sistem informasi pada daerah yang akan dikelola dilaksanakan melalui pengumpulan data primer maupun data sekunder, termasuk di DR. Heru Hendrayana - 2003
10
dalamnya aspek legal, manajerial dan aspek teknis. Melalui evaluasi ketiga aspek tersebut, selanjutnya ditentukan variabel utama atau parameter-parameter yang digunakan pada proses commitment building dari semua pihak terkait. Hasil yang didapatkan pada proses commitment building tersebut digunakan untuk menyusun kebijakan yang dimanifestasikan pada item-item tujuan dan target yang diharapkan dari pelaksanaan pengelolaan. Bersamaan dengan proses tersebut diperlukan pembentukan kelembagaan / organisasi sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Item tujuan dan target pengelolaan yang telah ditentukan di suatu daerah yang akan dikelola harus diikuti dengan penyusunan program-program pengelolaan yang sesuai. Tahapan berikutnya pada proses siklus pengelolaan (management cycle) adalah proses audit. Hasil proses audit pengelolaan didasarkan pada evaluasi kebijakan yang telah dilaksanakan dan semua kegiatan dalam rangka pengelolaan. Hal tersebut sangat penting, karena hasil audit tersebut diharapkan sebagai control dari berbagai pihak terkait. Kontrol, saran dan kritik perbaikan dari semua pihak sangat diperlukan untuk peningkatan proses pengelolaan berkelanjutan. (gambar
)
• PENGELOLAAN CEKUNGAN AIR BAWAH TANAH Cekungan air bawah tanah didefinisikan sebagai suatu cekungan hidrogeologi pada suatu wilayah yang dibatasi oleh kondisi hidraulika yang berbeda. Cekungan air bawah tanah secara alamiah dibatasi oleh batas-batas hidraulika yang dikontrol oleh karakteristik kondisi geologi dan hidrogeologi wilayah setempat. Suatu cekungan air bawah tanah dapat dibatasi oleh satu atau lebih tipe batas yang kondisi hidraulika pada setiap batasnya berbeda-beda. Suatu cekungan air bawah tanah dapat berada dalam satu wilayah kabupaten/kota, lintas kabupaten/kota, lintas provinsi, atau bahkan lintas Negara, dengan demikian batas cekungan air bawah tanah tidak selalu berimpit denga batas administrasi. Dalam rangka menjaga kelangsungan ketersediaan sumberdaya air bawah tanah, maka diperlukan langkah-langkah sistematis untuk pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas dalam suatu cekungan air bawah tanah.
Pengelolaan
cekungan
air
bawah
tanah
harus
dilaksanakan
dengan
mendasarkan pada efektifitas pemanfaatan air bawah tanah untuk meminimalkan
DR. Heru Hendrayana - 2003
11
dampak negatif, seperti penurunan muka air bawah tanah, degradasi kualitas maupun terjadinya penurunan muka tanah/amblesan. Tidak tercapainya hasil yang optimal pada proses pengelolaan air bawah tanah selama ini, antara lain disebabkan adanya kesalahan konsepsi (misconception) pada pendekatan teknis pengelolaannya, yaitu : (1) implementasi pengelolaan air bawah tanah didasarkan hanya pada konsep well management; (2) batas administrasi dijadikan batas daerah pengelolaan air bawah tanah; (3) pengelolaan kuantitas dan kualitas air bawah tanah dilaksanakan dengan menggunakan konsep pendekatan pengelolaan yang sama; (4) belum adanya integrasi pengelolaan antara air bawah tanah dan air permukaan; (5) dan beberapa penyebab non teknis lainnya. Secara umum pengelolaan cekungan air bawah tanah dilaksanakan melalui tiga tahapan utama, yaitu : 1. Tahapan penelitian, untuk memperoleh gambaran karakteristik fisik cekungan air bawah tanah, identifikasi kuantitas dan kualitas air bawah tanah, inventarisasi permasalahan atau problem air bawah tanah, dll. 2. Tahapan observasi, untuk memantau perkembangan kuantitas dan kualitas air bawah tanah, analisa data dan mengumpulkannya pada sistem data base. 3. Tahapan pengelolaan, implementasi program pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah berbasis cekungan air bawah tanah Pada ketiga tahapan tersebut di atas, setiap tahapnya harus didukung oleh fasilitas seperti sumur pantau, sistem informasi dan software aplikasi untuk simulasi kondisi air bawah tanah. Pada kenyataan di alam, satu daerah aliran sungai di permukaan dapat mencakup satu atau lebih cekungan air bawah tanah, dan terdapat juga satu cekungan air bawah tanah di bawah permukaan dapat mencakup satu atau lebih daerah aliran sungai. (lihat gambar
). Masing-masing cekungan air bawah tanah dan
daerah aliran sungai dapat berada pada satu atau lebih daerah administrasi. Pada kasus kenyataan di alam seperti di atas, maka regulasi pemanfaatan sumberdaya air tidak ditentukan oleh batas administrasi, tetapi tetap mendasarkan pada batas cekungan air bawah tanah atau pun batas daerah aliran sungai. DR. Heru Hendrayana - 2003
12
Pengelolaan cekungan air bawah tanah di setiap wilayah mempunyai karakteristik dengan kata kunci, sebagai berikut : a. Bersifat spesifik pada setiap daerah yang dikelola b. Evaluasi bersifat spatial berdasar cekungan air bawah tanah c. Evaluasi Sebab-Akibat d. Implementasi program bersifat integrasi e. Memerlukan komitmen dari pemegang kebijakan f.
Didukung oleh peraturan perundangan
g. Memerlukan partisipasi Pemerintah–Masyarakat–Swasta h. Demokrasi-HAM-Lingkungan Hidup
DR. Heru Hendrayana - 2003
13
Gambar : Hubungan antara Cekungan Air Bawah Tanah dan Daerah Aliran Sungai Sumberdaya air bawah tanah baik secara kuantitas dan kualitas harus dikelola bersamaan, dengan menggunakan pendekatan konsep pengelolaan yang berbeda, sehingga dapat dicapai hasil pengelolaan yang lebih optimal dan nyata. Konsep dasar sistem pola aliran air bawah tanah secara regional, intermediate dan local sangat berperan pada pendekatan konsep pengelolaan cekungan air bawah tanah di suatu daerah. Aliran air bawah tanah regional (Regional Groundwater Flow System) adalah air bawah tanah yang mengalir secara regional dari satu wilayah ke wilayah lain dalam satu cekungan air bawah tanah atau lebih. Pola aliran air bawah tanah regional didapatkan dari hasil pemetaan pada skala regional 1 : 100.000 atau lebih kasar (1 : 250.000 dan seterusnya). Pola aliran ini merupakan kondisi aliran air bawah tanah secara alamiah, yang dikontrol oleh kondisi geologi dan hidrogeologi (=factor geogen). DR. Heru Hendrayana - 2003
14
Aliran air bawah tanah intermediate (Intermediate Groundwater Flow System) adalah air bawah tanah yang mengalir secara sub regional/intermediate/menengah dari satu tempat ke tempat lain dalam satu cekungan air bawah tanah. Pola aliran air bawah tanah intermediate didapatkan dari hasil pemetaan pada skala intermediate 1 : 50.000 atau 1 : 25.000. Pola aliran ini sebagian besar merupakan kondisi aliran air bawah tanah alamiah (dikontrol oleh kondisi geologi dan hidrogeologi = factor geogen), tetapi di beberapa tempat tertentu dapat dipengaruhi oleh kegiatan manusia (=factor anthropogen). Aliran air bawah tanah lokal (Local Groundwater Flow System = Artificial Groundwater Flow System) adalah air bawah tanah yang mengalir secara lokal dari satu lokasi ke lokasi lain dalam satu cekungan air bawah tanah. Pola aliran air bawah tanah lokal didapatkan dari hasil pemetaan pada skala rinci 1 : 12.500 atau lebih detil 1 : 10.000 dan seterusnya. Pola aliran ini sebagian besar merupakan kondisi aliran air bawah tanah yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia (=factor anthropogen), tetapi di beberapa tempat tertentu merupakan kondisi alamiah (dikontrol oleh kondisi morfologi local/setempat (=factor geogen).
DR. Heru Hendrayana - 2003
15
Gambar
: Sistem aliran air bawah tanah Regional-, Intermediate-, dan Lokal dalam Cekungan air bawah tanah
Gambar
: Sistem aliran air bawah tanah Regional-, Intermediate-, dan Lokal pada skala pemetaan yang berbeda
DR. Heru Hendrayana - 2003
16
Groundwater Basin
Regional GwFlow System
Intermediate GwFlow System
Regional hydrostratigraphical units
Intermediate hydrostratigraphical units
Local hydrostratigraphical units
(Regional hydrogeological System)
(Intermediate hydrogeological System)
(Micro hydrogeological System)
Solving the groundwater quantity problem, regional groundwater reserve, groundwater quality problems, at regional scale
Solving the groundwater quantity problem, intermediate groundwater reserve, groundwater quality problems, at intermediate scale
Solving the groundwater quantity problem, local groundwater reserve, groundwater quality problems, at local scale
Gambar
Local GwFlow System
: Klasifikasi sistem aliran air bawah tanah dan penerapannya pada pemecahan masalah air bawah tanah
DR. Heru Hendrayana - 2003
17
Pendekatan konsep pengelolaan KUANTITAS air bawah tanah dalam cekungan Langkah awal pada proses pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam cekungan adalah penentuan batas dan karakterisasi cekungan air bawah tanah yang akan dikelola. Pada pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam cekungan ini didasarkan pada pemahaman konsep aliran air bawah tanah secara regional atau intermediate tergantung luas penyebaran cekungan air bawah tanah. Analisis sistem aliran airtanah regional/intermediate digunakan untuk menentukan daerah recharge dan discharge air bawah tanah. Selanjutnya pada daerah-daerah tersebut dilakukan analisis neraca air bawah tanah dengan menggunakan evaluasi data numerik sistem aliran air bawah tanah dan bantuan dari sistem data base. Pada pendekatan konsep ini harus diintegrasikan dengan konsep pengelolaan air permukaan pada suatu daerah aliran sungai. Deliniasi dan karakterisasi daerah aliran sungai dilakukan untuk analisis sistem aliran sungai regional/intermediate dan karakterisasi daerah recharge dan discharge aliran air permukaan. Dengan demikian selanjutnya dapat dihitung neraca air permukaan. Berdasarkan pada hasil analisis neraca air bawah tanah pada cekungan air bawah tanah dan neraca air permukaan pada daerah aliran sungai, serta didukung oleh sistem data base dan sistem informasi sumberdaya air, maka pengelolaan kuantitas air bawah tanah dapat diimplementasikan dengan menggunakan sistem siklus pengelolaan (management cycle) (lihat gambar ) Pendekatan konsep pengelolaan KUALITAS air bawah tanah dalam cekungan Konseptualisasi secara kuantitatif dari suatu proses pergerakan massa yang komplek dalam air bawah tanah relative lebih rumit dibandingkan dengan analisis neraca air pada pengelolaan kuantitas air bawah tanah dalam suatu cekungan. Proses kontaminasi atau pencemaran air bawah tanah yang terjadi di suatu tempat harus diketahui secara akurat dengan melakukan penelitian dan pemantauan secara detil, yaitu untuk mengetahui proses dan pergerakan kontaminan dalam air bawah tanah. Proses pencemaran air bawah tanah berlangsung lambat dan komplek, sehingga memerlukan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan pemecahan masalah pada kuantitas air bawah tanah. Berdasar uraian di atas, maka pemahaman konsep pola aliran air bawah tanah secara lokal sangat berperan pada pendekatan konsep pengelolaan kualitas air bawah DR. Heru Hendrayana - 2003
18
tanah dalam cekungan, yaitu pemahaman terhadap interaksi air permukaan dan air bawah tanah secara lokal, pola aliran air bawah tanah akibat kegiatan manusia dan akibat pengaruh morfologi daerah setempat. Pada pendekatan konsep pengelolaan kualitas air bawah tanah ini, maka perlu dilakukan pembagian cekungan air bawah tanah dan daerah aliran sungai menjadi satuan-satuan yang lebih kecil, sesuai sub daerah yang akan dikelola kualitas air bawah tanah nya. Konsep MikroHidrogeologi dapat diterapkan pada cekungan air bawah tanah untuk mengetahui sistem aliran air bawah tanah secara lokal (Local and artificial groundwater flow system), yang pada dasarnya sangat berpengaruh pada proses dan pergerakan massa / kontaminan dalam air bawah tanah. Demikian juga pada suatu aliran sungai di dalam daerah aliran sungai seharusnya dibagi menjadi segmen-segmen yang lebih pendek untuk mengetahui interaksi antara air permukaan dan air bawah tanah secara lokal di setiap tempat. Dengan berbasis pada konsep aliran air bawah tanah secara local tersebut di atas, maka data hidrokimia air bawah tanah dan air permukaan yang sangat berkaitan dalam cekungan air bawah tanah dan daerah aliran sungai, serta dengan dukungan sistem database,
maka dapat diimplementasikan konsep pengelolaan kualitas air
bawah tanah dengan memanfaatkan sistem siklus pengelolaan (gambar )
DELINEATION AND CHARACTERIZATION GROUNDWATER BASIN DR. Heru Hendrayana - 2003
ANALYSIS REGIONAL AND INTERMEDIATE GWFLOW SYSTEM
D E V E L O P M
DELINEATION AND CHARACTERIZATION RIVER BASIN 19
ANALYSIS SURFACE WATER FLOW SYSTEM
Gambar : Pendekatan konsep pengelolaan KUANTITAS air bawah tanah secara total
DELINEATION AND CHARACTERIZATION GROUNDWATER BASIN
DR. Heru Hendrayana - 2003
ANALYSIS LOCAL AND ARTIFICIAL
D E V E L O
DELINEATION AND CHARACTERIZATION RIVER BASIN
ANALYSIS
20
Gambar
: Pendekatan konsep pengelolaan KUALITAS air bawah tanah secara total
CEKUNGAN AIR BAWAH TANAH SEBAGAI LANDASAN TATA RUANG DR. Heru Hendrayana - 2003
21
Penataan
ruang
yang
berdasarkan
kepada
paradigma
pengelolaan
sumberdaya air bawah tanah yang berwawasan lingkungan memperhatikan satu kesatuan hubungan hidrologi dengan sumberdaya air lainnya, seperti air hujan atau air permukaan pada umumnya. Pemahaman cekungan air bawah tanah artinya mengetahui secara pasti karakteristik kawasan resapan air bawah tanah dan kawasan pengambilan air bawah tanah secara tiga demensi. Neraca air bawah tanah yang seimbang, setelah dilakukan evaluasi dan optimasi, mampu memberi rekomendasi daya dukung sumberdaya air baku untuk memenuhi berbagai kebutuhan di suatu wilayah yang akan dilakukan penataan ruangnya, dan juga bagi pengembangan wilayah tersebut dikemudian hari. Potensi sumberdaya air yang terdapat pada suatu cekungan air bawah tanah perlu dikelola secara menyeluruh, tidak hanya terhadap air bawah tanahnya, tetapi juga cekungan air bawah tanah itu sendiri. Tujuan pengelolaan cekungan air bawah tanah antara lain agar terjadi efektivitas pemanfaatan air bawah tanah, yang mencakup : a) untuk rnernenuhi kebutuhan air baku, b) untuk menghindari kekeringan, c) dapat mengendalikan pencernaran, d) mampu memelihara lingkungan, e) mengetahui karakteristik imbuhan (imbuhan lokal, imbuhan regional, atau kombinasi diantaranya). Setelah dilakukan penataan ruang di suatu wilayah, maka pengelolaan cekungan air tanah tersebut bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi juga bagi pengguna air bawah tanah, misalnya masyarakat setempat, industri, pemakai air irigasi, para agen pengelola air bawah tanah dll. Pemerintah dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator dan mewujudkan “networking”, serta mengontrol mekanisme pengelolaan air bawah tanah berikut penataan kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona-zona tertentu. Dengan demikian pola distribusi pemukiman, lahan-lahan terbuka, kawasan konservasi, kawasan preservasi mempunyai pertimbangan yang kuat dan rasional dalam rangka mengendalikan pengembangan wilayah dari waktu ke waktu. Kondisi sistim hidrogeologi di suatu wilayah seharusnya menjadi salah satu parameter kendali dalam penataan ruang dan pengembangan wilayah.
DR. Heru Hendrayana - 2003
22