BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT HUKUM ADAT
A. Pengertian dan Sejarah Masyarakat Hukum Adat Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan teoritik - akademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional. 30 Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people. Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional, yaitu : Convention of International Labor Organixation Concerning Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi CariOca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo (1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai (1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi 30
Taqwaddin, “Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat(Mukim) di Provinsi Aceh”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010), hlm. 36.
32
Universitas Sumatera utara
PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights of Indegenous People) pada tahun 2007. Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan. 31 Dalam skripsi ini, masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat, sebagaimana lazimnya ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan - kesatuan masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing - masing yang telah ada ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya. 32 Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah 31 32
Ibid. Ibid, hlm. 3
33
Universitas Sumatera utara
kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama – lamanya. 33 Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. 34 Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota – anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. 35 Sedangkan, masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang 33
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010), hlm. 30 34 Husen Alting, Op. Cit., hlm. 31. 35 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV Mandar Maju, 2003), hlm. 108.
34
Universitas Sumatera utara
sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. 36 Definisi lain tentang masyarakat adat juga dikemukakan oleh Maria Rita Ruwiastuti, 37 bahwa masyarakat adalah kelompok masyarakat yang leluhurnya merupakan orang – orang pemula di tempat itu, yang hubungannya dengan sumber – sumber agraria diatur oleh hukum adat setempat. Dalam kesadaran mereka, sumber – sumber agraria selain merupakan sumber ekonomi, juga adalah perpangkalan budaya. Artinya, kalau sumber – sumber tersebut lenyap (atau berpindah penguasaan kepada kelompok lain), maka yang ikut lenyap bukan saja kekuatan ekonomi mereka, melainkan juga identitas kultural. Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven, F.D. Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkat sebagai berikut 38: 1) Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada
36
Ibid. hlm. 109. Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria : Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak – Hak Adat, Kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 177. 38 Husen Alting, Op.Cit., hlm. 46. 37
35
Universitas Sumatera utara
Tuhan. Masyarakat percaya bahwa setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahan. 2) Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat. 3) Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar. 4) Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai kesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara sertamerta/seketika. H.M. Koesnoe 39 menyatakan bahwa masyarakat adat hendaknya memperhatikan hal – hal yang menjadi pertanyaan yang jawabannya akan menjadi kriteria ada atau tidaknya masyarakat hukum adat sebagai berikut : 1.
Apakah dalam territori yang bersangkutan ada kelompok yang merupakan satu kesatuan yang terorganisir.
2.
Sebagai kelompok yang demikian apakah organisasinya itu diurus oleh pengurus yang ditaati oleh para anggotanya.
3.
Sejak kapankah kelompok itu ada dalam lingkungan tanah yang bersangkutan (seperti sudah berapa generasi) 39
H. M. Koesnoe, Prinsip – prinsip Hukum Adat tentang Tanah, Ubaya Press, Surabaya, 2000, hlm. 34.
36
Universitas Sumatera utara
4.
Apakah kelompok itu mengakui suatu tradisi yang hegemony dalam kehidupannya sehingga kelompok itu dapat dikatakan sebagai satu persekutuan hukum.
5.
Bagaimana menurut tradisinya asal – usul kelompok itu sehingga merupakan satu kesatuan dalam lingkungan tanahnya. Pengertian masyarakat adat secara konkrit dituangkan dalam Pasal 1 ayat
(3) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang diterbitkan oleh Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional diatur bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. 40 Ditinjau dari latar belakang sejarah, masyarakat hukum adat di kepulauan Indonesia mempunyai latar belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah sangat tua dan jauh lebih tua dari terbentuknya kerajaan ataupun negara. Secara historis, warga masyarakat hukum adat di Indonesia serta etnik yang melingkupinya, sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di Asia Tenggara. Secara kultural mereka termasuk dalam kawasan budaya Austronesia, yaitu budaya petani sawah, dengan tatanan masyarakat serta hak kepemilikan yang ditata secara kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat. Dalam kehidupan politik, beberapa etnik berhasil mendominasi etnik lain beserta wilayahnya, dan
40
Husen Alting, Op.Cit., hlm. 14.
37
Universitas Sumatera utara
membentuk kerajaan-kerajaan tradisional, baik yang berukuran lokal maupun berukuran regional. 41 Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga saat ini. Ada beragam istilah yang digunakan, bahkan di dalam peraturan perundang-undangan pun digunakan berbagai istilah untuk merujuk sesuatu yang sama atau yang hampir sama itu. Mulai dari istilah masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, komunitas adat terpencil, masyarakat adat yang terpencil, sampai pada istilah desa atau nama lainnya. 42 Selanjutnya dalam Penjelasan Bab VI UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa
dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat lebih
kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Persekutuan hukum adat di Aceh disebut dengan gampong. 43 Daerah – daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenaya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah – daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengeanai daerah – daerah itu akan mengingat hak – hak asal usul daerah tersebut.
41
Saafroedin Bahar, Seri Hak Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta : 2005, Hal. 76-77. 42 Yance Arizona, “Mendefinisikan Indegenous Peoples di Indonesia” https://www.yancearizona.net/tag/masyarakat-hukum-adat/ (diakses tanggal 24 Januari 2015). 43 Ter Haar, Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta : 1960, hlm. 17.
38
Universitas Sumatera utara
Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat di Indonesia dinyatakan dalam beberapa pustaka antara lain : Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh van Vollenhoven yang dilakukan antara tahun 1906 sampai dengan tahun 1918. Dalam
karyanya
Adatrecht
van
Nederlandsch-Indie,
van
Vollenhoven
menyimpulkan bahwa di wilayah nusantara terdapat 19 wilayah hukum adat, yaitu daerah (1) Aceh meliputi; Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Siemelu. (2) Gayo, Alas, Batak, meliputi; Gayo luwes, Tanah Alas, Tanah Batak; Tapanuli Utara (Batak Pak-pak/Barus, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Toba), Tapanuli Selatan (Padang Lawas, Angkola, Mandailing) dan Nias. (3) Minangkabau (Padang Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Tanah Kampar, dan Korintji, dan Mentawai. (4) Sumatera Selatan meliputi; Bengkulu (Redjang), Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang), Palembang (Anak Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Samendo), Djambi (Batin dan Penghulu). (5) Melayu, meliputi; Lingga Riau, Indragiri, Sumatera Timur. (6) Bangka, Belitung, (7) Kalimantan, meliputi; Dayak, Kapuas Hulu, Mahakam Hulu, Pasir, Dayak Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tajan, Dayak Lawangan, Lepo-Alim, Lepo-Timai, Long Glat, Dayak Maanjai Patai, Dayak Maanjai Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot-Danum, Dayak Penyabung Punan. (8) Minahasa, Manado. (9) Gorontalo, meliputi; Bolaang, Mongondow, Boalemo. (10) Tana Toraja, meliputi; Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai (11) Sulawesi Selatan, meliputi; Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Salaisar, Muna. (12) Kepulauan Ternate, meliputi; Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kepulauan Sula. (13) Maluku, Ambon, meliputi; Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliaasar, 39
Universitas Sumatera utara
Saparna, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar. (14) Irian Barat, (15) Kepulauan Timor, meliputi; Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timor, Kodi, Flores, Ngada, Rote, Savu, Bima. (16) Bali dan Lombok, meliputi; Tanganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng. Djembrana, Lombok, Sumbawa. (17) Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, meliputi; Jawa Tengah, Kedu, Purwokerto, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura. (18) Daerah kerajaan (Solo dan Yogyakarta). (19) Jawa Barat, meliputi; Priangan Sunda, Jakarta dan Banten. 44 Di Provinsi Lampung saja, misalnya, terdapat sebanyak 76 kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut marga. Keberadaan marga – marga tersebut diakui oleh Gubernur melalui SK No. G/362/B.II/HK/96. Dasar keputusan Gubernur Lampung dalam mengesahkan 76 masyarakat hukum adat di Lampung adalah hasil – hasil penelitian pakar – pakar dalam adat dan kebudayaan Lampung. 45 Sedangkan di Provinsi NAD, jika mukim dan gampong dikategorikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, maka pada tahun 2006 terdapat 669 mukim dan 5958 gampong. 46 Keberadaan mukim dan gampong sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, telah di tetapkan dengan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi NAD dan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi NAD.
44
Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, Rangkaian Publikasi Hukum Adat dan Etnografi, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961. Hlm. 89-91. 45 Martua Sirait, Chip Fay dan A. Kusworo, Bagaimana Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur, ICRAF Southeast Asia Policy Research Working Paper, Bogor, 2002. 46 Aceh Dalam Rangka 2006, kerjasama BPS dan BAPPEDA NAD, Banda Aceh, 2007, hlm. 13.
40
Universitas Sumatera utara
Berdasarkan pendapat pakar hukum adat tersebut maka akan dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut 47 : 1.
Terdapat masyarakat yang teratur;
2.
Menempati suatu tempat tertentu;
3.
Ada kelembagaan;
4.
Memiliki kekayaan bersama;
5.
Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan lingkungan daerah;
6.
Hidup secara komunal dan gotong royong. Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu maka
dalam masyarakat hukum tersebut harus memiliki struktur pemerintahan atau kepemimpinan. Dalam hal ini mempunyai kedaulatan penuh (soverign) atas wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai kewenangan (authority) penuh untuk mengelola, mengatur dan menata hubunganhubungan antara warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk mencari keseimbangan hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang menjadi tujuan tersebut terwujud. 48 Di Indonesia, menurut Sandra Moniaga, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya masyarakat –masyarakat adat yang jumlahnya lebih dari seribu komunitas. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa, karena ada lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah mereka kembangkan. Dan, ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu
47
Syarifah M, “Eksistensi Hak Ulayat atas Tanah dalam Era Otonomi Daerah pada Masyarakat Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau”(Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU, 2010), hlm. 21. 48 Ibid, hlm. 22
41
Universitas Sumatera utara
pengembangan khasanah Bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal – hak lain yang mereka sumbangkan. 49
B. Hak-Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat Hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat menurut Komisi Hak Asasi Manusia dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Tahun 1986 meliputi 50: 1.
Hak untuk menentukan nasib sendiri;
2.
Hak untuk turut serta dalam pemerintahan;
3.
Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi;
4.
Hak atas pendidikan;
5.
Hak atas pekerjaan;
6.
Hak anak;
7.
Hak pekerja;
8.
Hak minoritas dan masyarakat hukum adat;
9.
Hak atas tanah;
10. Hak atas persamaan; 11. Hak atas perlindungan lingkungan; 12. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik; 13. Hak atas penegakan hukum yang adil.
49
Sandra Moniaga, Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat dan Masalah Kelestarian Lingkungan Hidup, Wacana HAM, Jakarta, No, 10/Tahun II/12 Juni 2002. 50 Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.,Aktualisasi Masyarakat Hukum Adat (MHA): Perspektif Hukum dan Keadilan terkait dengan status MHA dan Hak-Hak Konstitusionalnya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral MahkamahKonstitusiRepublikIndonesia2012.http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/contet infoumum/penelitian/pdf/2-Penelitian%20MHA-upload.pdf (diakses tanggal 1 Februari 2015).
42
Universitas Sumatera utara
Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan salah satu hak paling penting bagi masyarakat adat sebab keberadaan hak tersebut menjadi salah satu ukuran keberadaaan suatu komunitas masyarakat adat. Oleh karena itu, di dalam deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, persoalan hak atas tanah dan sumber daya alam ini diatur : Pasal 26 ayat (1) “Mayarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah digunakan atau yang telah didapatkan (Pasal 26 ayat 1 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)” Pasal 26 ayat (2) “Mayarakat
adat
memiliki
hak
untuk
memiliki,
menggunakan,
mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber dayasumber daya yang mereka atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya sumber daya yang dimiliki dengan cara lain (Pasal 26 ayat 2 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat)” Sedangkan Abdon Nababan menyebutkan dari sekian banyak kategori hak yang berhubungan dengan masyarakat adat, setidaknya ada empat hak masyarakat adat yang paling sering disuarakan, antara lain 51:
51
Yance Arizona., Satu Dekade Legislasi Masyarakat adat. http://epistema.or.id/wpcontent/uploads/2012/01/Working_Paper_Epistema_Institute_07-2010.pdf (diakses pada 08 Februari 2015)
43
Universitas Sumatera utara
1.
Hak untuk “menguasai” (memiliki, mengendalikan) dan mengelola (menjaga, memanfaatkan) tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya;
2.
Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat;
3.
Hak
untuk
mengurus
diri
sendiri
berdasarkan
sistem
kepengurusan/kelembagaan adat; 4.
Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistim pengetahuan (kearifan) dan bahasa asli. Tabel 1. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat berdasarkan Undang-Undang
No. 1.
2.
Peraturan
Hak – Hak Masyarakat Adat
Undang – Undang Pemerintahan Hak-hak trasisional masyarakat hukum Daerah
adat
Undang – Undang Hak Asasi
a. Pengakuan dan perlindungan lebih
Manusia
berkenaan dengan kekhususannya. b. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat.
3.
Undang – Undang Kehutanan
a.
Hak atas hutan adat
b.
Mengelola kawasan untuk tujuan khusus
c.
Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan 44
Universitas Sumatera utara
d. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang
berlaku
bertentangan
dan
dengan
tidak undang
undang e. Mendapatkan salam
pemberdayaan
rangka
meningkatkan
kesejahteraannya 4.
Undang - Undang Sumber Daya Hak Ulayat. Hak ulayat dianggap masih Air
ada apabila memenuhi tiga unsur: a. Unsur masyarakat adat b. Unsur wilayah c. Unsur
hubungan
masyarakat
tersebut
antara dengan
wilayahnya 5.
Undang – Undang Perkebunan
Masyarakat adat berhak memperoleh ganti rugi hak atas tanah mereka yang digunakan untuk konsesi perkebunan
6.
Undang-Undang
Pengelolaan Hak-hak masyarakat adat, masyarakat
Wilayah
dan
Pesisir
Pulau Kecil
Pulau- tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turuntemurun. Diberikan dalam bentuk hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) 45
Universitas Sumatera utara
7.
Undang-Undang
Perlindungan Keberadaan masyarakat adat, kearifan
dan Pengelolaan Lingkungan
lokal, dan hak-hak masyarakat adat
Hidup
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Mengenai fungsi hak-hak tradisional H.M. Koesnoe mengemukakan terdapat empat fungsi yang berkaitan dengan hak-hak tradisional dalam persekutuan masyarakat hukum pedesan (adat) berkenaan dengan menjaga tata harmoni antara masyarakat dengan tata semesta meliputi : Fungsi pemerintahan, Fungsi pemeliharaan roh, Fungsi pemeliharaan agama, dan Fungsi pembinaan hukum adat. 52 Konstitusi tidak menjelaskan hak-hak apa saja yang harus dipenuhi negara terhadap masyarakat adat. Di dalam konstitusi hak tersebut diistilahkan dengan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Sampai saat ini belum ada penjelasan yang memadai untuk menjelaskan apa saja yang digolongkan menjadi hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Diseluruh peraturan perundang-undang yang ada hanya menyalin saja rumusan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat di dalam konstitusi tanpa memberikan penjelasan. Mahyuni berpendapat hak-hak tradisional adalah hak-hak yang tercipta dari, oleh dan untuk masyarakat dalam lingkup dan batas kehidupan masyarakat yang
bersangkutan
sebagai
warisan
dari
para
leluhur
mereka
guna
mempertahankan kehidupan secara alami dan berkesinambungan. Prinsip yang
52
Irfan Nur Rahman, et.al., Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011), hlm. 4.
46
Universitas Sumatera utara
terkandung di dalam hak-hak tradisional dimaksud adalah hak untuk mempertahankan hidup secara biologis, sosial, nilai-nilai budaya maupun kepercayaan mereka. 53 Sedangkan Mahkamah Konstitusi memberikan pengertian hak-hak tradisional sebagai hak-hak khusus atau istimewa yang melekat dan dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat atas adanya kesamaan asal – usul (geneologis), kesamaan wilayah, dan obyek-obyek adat lainnya, hak atas tanah ulayat, sungai, hutan dan dipraktekan dalam masyarakatnya. 54 Hak-hak tradisional yang merupakan hak derogable rights yang diberikan oleh konstitusi kepada masyarakat hukum adat di daerah belum memperoleh pengakuan dan perlindungan dari negara, karena kewenangan daerah tidak sepenuhnya diberikan oleh pemerintah pusat. Berikut ini adalah beberapa hak-hak tradisional masyarakat hukum adat di Indonesia yang keberadaannya ditetapkan dalam beberapa peraturan perundangan 55: 1.
Hak pengelolaan dan pemanfaatan hutan Terkait dengan masalah hutan adat di dalam undang-undang kehutanan
dijelaskan bahwa Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut UUPA, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh negara sebagai organisasi 53
Mahyuni, “Pengakuan Dan Penghormatan Negara Terhadap Masyarakat Adat Serta Hak-Hak Tradisionalnya di Provinsi Kalimantan Selatan”. Makalah. http://mahyunish.blogspot.com/2013/09/makalah-pengakuan-dan-penghormatan. html (diakses tanggal 11 Februari 2015) 54 Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia., Loc.Cit 55 Ibid.
47
Universitas Sumatera utara
keluasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. 2.
Hak ulayat dan penguasaan tanah ulayat Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dalam Pasal 6 ayat (3) tetap diakui sepanjang masih ada dimana penguasaan negara atas sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan mengormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, seperti hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak-hak yang serupa dengan itu, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3.
Hak pengelolaan atas ladang atau perkebunan Pengelolaan hak atas tanah untuk usaha perkebunan sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan tetap harus memperhatikan hak ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi serta kepentingan nasional. 4.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam
Pasal 63 ayat (1) huruf t yang berbunyi Pemerintah bertugas san berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat 48
Universitas Sumatera utara
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian di dalam Pasal 63 ayat (2) huruf n juga dinyatakan bahwa Pemerintah Provinsi bertugas dan berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Di tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Di tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 63 ayat (3) huruf k bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berugas dan berwenang untuk melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat Kabupaten/Kota. 5.
Pengelolaan wilayah pesisir Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil menyatakan bahwa Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Hak-hak tradisional sebagaimana diatur dalam beberapa undang-undang sejatinya adalah merupakan hak konstitusional juga karena pengakuan terhadap hak-hak tradisional itu disebutkan dalam konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya…”. Oleh karena itu semua hak tradisional masyarakat hukum adat sekaligus merupakan hak konstutusional. 49
Universitas Sumatera utara
Dalam perkembangannya, hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang ada berpotensi dilanggar. Oleh karena itu, kesatuan masyarakat hukum adat dapat menjadi Pemohon sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun undang-undang lain. Selanjutnya Mahkamah berpendapat bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum ada beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu : a. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-perundangan. Berikut akan dipaparkan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang dikelompokaan atas dua, yakni hak atas tanah masyarakat hukum adat dan hak diluar hak atas tanah masyarakat hukum adat : 1.
Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Masyarakat hukum adat sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya
memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut bersumber pada pandangan yang bersifat religius magis. Hubungan yang bersifat religius magis ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup di situ. Hak masyarakat hukum adat atas tanah itu disebut hak pertuanan atau hak
50
Universitas Sumatera utara
ulayat,
dan
dalam
literatur
hak
ini
oleh
Van
Vollenhoven
disebut
beschikkingsrecht. 56 Beschikkingsrecht ataupun hak ulayat berlaku ke luar dan ke dalam 57 Berlaku keluar, karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan; hanya dengan seizin persekutuan karena serta setelah membayar pancang, uang pemasukan (Aceh), mesi (Jawa) dan kemudian memberikan ganti rugi, orang luar bukan warga persekutuan (masyarakat
hukum)
dapat
memperoleh
kesempatan
untuk
turut
serta
menggunakan tanah wilayah persekutuan atau masyarakat hukum. Berlaku kedalam, karena persekutuan sebagai suatu persekutuan yang berarti semua warga persekutuan bersama-sama sebagai satu keseluruhan melakukan hak ulayat dimaksud dengan memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang lain yang hidup diatasnya. Hak persekutuan ini pada hakekatnya membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para warga persekutuan sebagai perseorangan. Pembatasan ini dilakukan demi kepentingan persekutuan. Bushar Muhammad dalam bukunya menyatakan bahwa terdapat empat hal yang menjadi objek hak ulayat, yakni : tanah (daratan); air (perairan seperti misalnya: kali, danau, pantai bersama perairannya); tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liat (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar, dan sebagainya); dan binatang liar yang hidup bebas dalam hutan.
56
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1981),
hlm. 103. 57
Ibid, hlm. 104.
51
Universitas Sumatera utara
Persekutuan
masyarakat
hukum
adat
dalam
memelihara
dan
mempertahankan hak ulayat dilakukan dengan cara 58 : a.
Persekutuan
berusaha
meletakkan
batas-batas
di
sekeliling wilayah
kekuasaannya itu. Tetapi usaha ini lazimnya tidak dapat diselenggarakan secara sempurna, lebih-lebih apabila masyarakat persekutuan tersebut, tempat tinggalnya tersebar dalam pendukuhan – pendukuhan kecil atau apabila dae rah persekutuan tersebut, meliputi tanah – tanah kosong yang luas. b.
Menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan. Petugas – petugas itu sering disebut jarring (Minangkabau), teterusan (Minahasa), kepala kewang (Ambon), lelipis lembukit (Bali). Disamping petugas khusus ini, biasanya diadakan pula patroli perbatasan.
c.
Dilakukannya surat-surat pikukuh atupun piagam yang dikeluarkan oleh rajaraja dahulu, yang dikeluarkan sebagai keputusan hakim – hakim kerajaan ataupun hakim – hakim pemerintah kolonial Belanda dahulu atau oleh pejabat- pejabat pamong praja lainnya yang berwenang. Wilayah kekuasaan (beschikkingebied) persekutuan itu adalah milik
persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik atas wilayah ini adalah tidak diperbolehkan. Dalam kenyataannya terdapat pengecualian-pengecualian, oleh karenanya di atas tadi ditegaskan pada dasarnya bersifat tetap. 59
58
Ibid., Hlm. 105
59
Ibid.
52
Universitas Sumatera utara
2.
Hak Lain diluar Hak Atas Tanah Menurut Teuku Djuned, setiap persekutuan masyarakat hukum adat
mempunyai kewenangan hak asal usul, yang berupa kewenangan dan hak-hak 60: a.
Menjalankan sistem pemerintahan sendiri,
b.
Menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan warganya,
c.
Bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Keluar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum,
d.
Hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya, Hak membentuk adat,
e.
Hak menyelenggarakan sejenis peradilan.
C. Pengakuan Keberadaan dan Perkembangan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia 1.
Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat
a.
Menurut Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak – haknya mendapat
landasan hukum dalam Undang – Undang Dasar, yang dirumuskan dalam penjelasan Pasal 18 Undang – Undang Dasar. “Dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah – daerah itu mempunyai susunan asli,
60
Taqwaddin, Op.Cit., hlm. 38.
53
Universitas Sumatera utara
dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.” Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah – daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah – daerah itu akan mengingati hak – hak usul daerah tersebut. Negeri di Minangkabau dianggap sebagai salah satu daerah yang bersifat istimewa, keistimewaan negeri ini sudah beradab – adab dikenal orang. Negeri di Minagkabau diberi julukan republik kecil, ada wilayahnya, ada masyarakat, dan ada penguasanya. Penguasa mulai dari badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Wilayahnya disebutkan dengan tanah wilayah, sudah ada pengaturannya menurut adat, sistem pemerintahannya diatur menurut keselarasan masing – masing. Demikian juga di bidang peradilan, ada peradilan yang lebih dikenal dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Itulah beberapa hak usul negeri tersebut seperti dimaksud oleh Penjelasan Pasal II Pasal 18 Undang – Undang Dasar, sebelum diamandemen. Hak asal – usul inilah selama ini yang dihapus melalui UUPA dengan peraturan lainnya. 61 Setelah Undang – Undang Dasar diamandemen, mengenai masyarakat hukum adat dalam segi pengakuan, penghormatan, dan perlindungannya dapat berpedoman pada Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang – Undang Dasar perubahan kedua (tahun 2000). Pasal 18 B ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
61
Frans Magnis Suseno, dkk, Masyarakat Hukum Adat: Hubungan Struktural dengan Suku Bangsa dan Negara (Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia), Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia, 2006, hlm. 5.
54
Universitas Sumatera utara
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Pasal 28 I ayat (3): “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Kalimat dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang – Undang Dasar tersebut masih ditulis dalam tradisi kemutlakan dan hegemonial serta menunjukkan negara betapa memiliki sekalian kekuasaan (authority) dan kekuatan (power) untuk menentukan apa yang terjadi di NKRI ini, apakah hukum adat masih berlaku atau tidak. Dilihat secara sosiologis hukum dalam memahami ketentuan di atas tidak berangkat dari kemauan dan perintah Undang – Undang Dasar, melainkan dari kenyataan mengenai hukum adat itu sendiri. Kehadiran hukum adat tidak memikirkan dan mempertimbangkan apakah ia akan diakui atau tidak melainkan karena ia harus muncul. Kata – kata “harus muncul” menunjukkan otentitas hukum adat. Pada dasarnya ia muncul dari dalam kandungan masyarakat sendiri secara otonom dan oleh karena itu disebut otentik. Dengan meminjam istilah Hart (1961), maka hukum adat lebih dekat kepada orde “primary of obligation” daripada hukum negara yang dibuat dengan sengaja (purposeful) dan karena itu lebih dekat kepada orde “secondary rules of obligation”. 62 Hukum adat bersemayam dan berkelindan kuat dengan budaya setempat. Kata “budaya” di sini menunjukkan adanya unsur emosional tradisional yang kuat dari hukum adat. Ia juga merupakan hukum yang sarat dengan penjunjungan nilai – nilai (value laden) tertentu. Bahkan di wilayah – wilayah tertentu di Indonesia,
62
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm. 111
55
Universitas Sumatera utara
seperti Aceh, bagi para pemeluknya hukum adat adalah identik dengan hukum agama. Maka dengan menerima dan menjalankan hukum adat, orang sekaligus merasa berbudaya. 63 Berdasarkan perumusan Pasal 18 ayat (2) Undang – Undang Dasar terdapat 4 syarat bagi eksistensi hukum adat sebagai berikut : 1. “Sepanjang masih hidup”. Persyaratan tersebut perlu diteliti dengan seksama dan hati – hati, tidak hanya menggunakan tolok ukur kuantitatif-rasional, melainkan lebih dengan empati dan partisipasi. Kita tidak semata – mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari dalam, dengan menyelami perasaan masyarakat setempat. Metodelogi yang digunakan adalah partisipatif. 2. “Sesuai dengan perkembangan masyarakat”. Syarat tersebut tidak ditafsirkan dari segi ekonomi dan politik, melainkan dari kaca mata masyarakat setempat. Penafsiran dari kedua segi tersebut mengandung resiko untuk memaksakan (imposing) kepentingan raksas atas nama “perkembangan masyarakat”. Masyarakat akan sulit untuk menghindar dari penetrasi teknologi dan itu akan menimbulkan dinamika di dalam masyarakat tesebut. Yang ingin dikatakan di sini adalah untuk memberi peluang dan dinamika masyarakat setempat itu berproses sendiri secara bebas. 3. “Sesuai dengan prinsip NKRI”. Negara RI dan masyarakat lokal adalah satu kesatuan tubuh. Keduanya tidak boleh dihadapkan secara dikotomis atau hitam putih. Dipahami, bahwa masyarakat lokal atau adat adalah bagian dari dan darah daging dari NKRI itu sendiri. Penelitian yang dilakukan berdasarkan
63
Ibid.
56
Universitas Sumatera utara
paradigma tersbut akan berbeda daripada yang melihat NKRI dan masyarakat adat sebagai dua entitas yang berbeda dan berhadap – hadapan. Metode holistik akan lebih cocok apabila digunakan paradigma tersebut. 64 4. “Diatur dalam undang – undang”. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Apabila negara yang demikian itu segalanya diserahkan kepada hukum, maka kehidupan sehari –hari tidak akan berjalan dengan produktif. Banyak kejadian telah membuktikan hal itu. Tahun 1960-an di Amerika Serikat terjadi pergolakan sosial dan politik dan memunculkan masalah - masalah baru, ternyata hukum yang ada gagal untuk memberi penyesalan. Contoh ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya melihat ke dalam dirinya sendri dan berpatokan pada rules dan logic, karena akan menghambat berlangsungnya proses – proses produktif dalam masyarakat. Negara hukum tidak hanya membutuhkan praksis yang didasarkan pada the logic of the law melainkan juga social reasonableness. Di sini kita diingatkan Renner (1969) dengan kata – kata bahwa the development of the law gradually works out is what is socially reasonable. b. Menurut Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam TAP MPR No.IX/2001, hak-hak masyarakat adat tersebut tidak hanya sebatas
hak
atas
tanah
ulayat,
tetapi
juga
menyangkut
sumberdaya
agraria/sumberdaya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam pasal 4, bahwa ; “Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip: 64
Ibid, hlm. 120 – 121
57
Universitas Sumatera utara
a.
Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c.
menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d.
mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia;
e.
mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;
f.
mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/ sumber daya alam;
g.
memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
h.
melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i.
meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;
j.
mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam; Secara umum, TAP MPR No.IX/2001 itu, lahir karena situasi empirik
pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, eksploitatif, memiskinkan rakyat 58
Universitas Sumatera utara
(termasuk masyarakat adat) dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan, serta kerusakan lingkungan hidup yang massif. Karena itu, TAP MPR ini, mengamanahkan agar dilakukannya pembaharuan agraria oleh pemerintah dalam hal Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam berdasarkan prinsip-prinsip penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, dan partisipasi rakyat, keadilan penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat. 65
c.
Menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok –
Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA) adalah produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang – undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Dalam rumusan Pasal 5 ini jelaslah bahwa hukum adat yang berlaku atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka jika kita
65
Yayasan Merah Putih,”Pengakuan Masyarakat Adat dalam Instrumen Hukum Nasional, http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/ (diakses pada tanggal 14 februari 2015).
59
Universitas Sumatera utara
penggal – penggal Pasal 5 tersebut maka akan terdapat beberapa statement sebagai berikut 66 : 1.
Pro kepada kepentingan nasional, atau adanya prinsip nasionalitas, artinya hukum adat itu menyatakan dengan tegas bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang mempunyai hak sepenuhnya atas bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan dalam semua lembaga hak – hak atas agraria tersebut setiap kali akan menonjol, seperti siapa yang boleh mempunyai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha. Pasal 9 UUPA jelas – jelas memantapkan statement tersebut dengan kalimat “Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas – batas ketentuan Pasal 1 dan 2.”
2.
Pro kepada kepentingan negara, dalam artian keluar, negara tidak akan mengadakan suatu kompromi atau toleransi yang meniadakan hak – hak bangsa Indonesia terutama prinsip nasionalitas tersebut, dan ke dalam, kepentingan negara diatas segala – galanya sehingga kepentingan perorangan harus mengalah jika kepentingan negara menghendakinya.
3.
Pro kepada persatuan bangsa, artinya hukum adat menurut versi UUPA itu menyatakan setiap warga negara Indonesia di manapun dia berada di wilayah tanah air, sama berhak untuk boleh mempunyai hak – hak agraria.
4.
Pro kepada sosialisme Indonesia, artinya di sini bahwa pengertian sosialisme Indonesia tersebut sebagai Pancasila.
66
A.P. Parlindungan, Komentar atas UUPA (Bandung : Mandar Maju, 1998), hlm. 53
60
Universitas Sumatera utara
5.
Bahwa seterusnya hak – hak adat itu tunduk kepada ketentuan umum diatur oleh UUPA oleh peraturan sejenis yang lebih tinggi, berarti UUPA atau peraturan lain yang diterbitkan akan merupakan hukum yang umum, sedangkan hak – hak adat itu akan tunduk kepada perubahan atau penetapan dari hak – hak agraria yang akan dituangkan dalam undang – undang atau peraturan pemerintah lainnya, sehingga akan menyesuaikan kepada hukum umum yang diatur oleh pemerintah, dan tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan hukum umum yang sengaja diadakan untuk itu.
6.
Bahwa sebagai ciri khusus dari UUPA, lembaga hukum agama (Islam) sudah merupakan bagian dari hukum adat menurut versi UUPA tersebut artinya sudah diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya tanah wakaf. Didalam pasal ini sebagaimana yang tercantum didalam mukadimah dari
LN. 1960-104 yang menyatakan bahwa hukum adat diberikan kembali sebagai dasar hukum yang sudah lama tidak mendapatkan kedudukan pada masa Pemerintahan Kolonial, dengan demikian setelah kemerdekaan Republik Indonesia, maka tidak dimungkinkan adanya dualisme hukum dan tentu adanya reorientasi terhadap pelaksanaan hukum Indonesia yang akan mampu serta dapat memahami jiwa dari hukum adat tersebut. 67 Didalam penjelasan umum III dalam konsiderans/berpendapat huruf c disebutkan hukum adat sebagai hukum tanah nasional dengan sebagian terbesar rakyat Indonesia dengan demikian hukum adat yang oleh UUPA dijadikan sebagai dasar Hukum tanah Nasional tersebut, bukan hukum adatnya golongan timur asing menurut pengertian C. van Vollenhoven dan juga bukan hukum adat
67
Ibid , hlm. 56
61
Universitas Sumatera utara
menurut pengertian Kusumadi Pudjosewojo, melainkan hukum aslinya golongan Pribumi, oleh karena itu tidak ada alasan untuk meragukan bahwa yang dimaksudkan dengan UUPA dengan hukum adat itu adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan yang mengandung unsur – unsur Nasional yang aslinya yaitu sifat kemasyarakatakan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan. 68 Seyogyanya dapat diterima hukum adat seperti yang dikatakan oleh Boedi Harsono “hukum adat yang disaneer” atau oleh Sudargo Gautama disebutkannya sebagai Hukum Adat yang “diretool”.Namun setidak – tidaknya seperti yang disinggung adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat – sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat nasional. 69 Dengan demikian didalam Pasal 5 ini dapat disimpulkan bahwa agraria yang berlaku berdasarkan hukum adat bukanlah merupakan hukum adat yang murni akan tetapi hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang dapat menyesuaikan dengan ketentuan – ketentuan yang berlaku demi kepentingan bangsa dan negara atau dengan kata lain hukum adat dapat menyesuaikan dengan situasi dan keadaan yang berkembang ditengah – tengah masyarakat, sehingga tidak dimungkinkan lagi dikembangkan hukum adat yang murni yang selama ini kita pelajari, contoh sederhana tentang pewarisan yang berdasarkan Matrilinial (keibuan) di Minangkabau Sumatera Barat seseorang anak laki – laki tidak mempunyai hak atas sebidang tanah, namun sebaliknya di masyarakat suku batak atau karo yang berdasarkan Patrilinial (Kebapaan) yang lebih berhak atas tanah 68
Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Yogyakarta, 1975. 69 A.P. Parlindungan, Op. Cit., hlm. 52.
62
Universitas Sumatera utara
adalah anak laki – laki (patrilinial), dengan demikian didalam ketentuan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tidak akan membedakan antara anak laki – laki dan perempuan untuk memperoleh hak atas tanah. 70 Konsep kepemilikan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat tertanam dalam UUPA. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 UUPA yang menyebutkan : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Pasal 3 ini jika dikaitkan kepada Pasal 58 UUPA yang mengakui masih berlakunya hak – hak ulayat maupun hak – hak lain sejenis yang tidak bertentangan dan selama belum diatur khusus, maka apa yang menjadi petunjuk yang diatur oleh Pasal 3 ini jika dipenggal akan menjadilah dia sebagai 71 : a.
Bahwa hak ulayat itu masih terdapat dalam masyarakat dan masih ada atau (masih merupakan kenyataan hidup) artinya hak ulayat itu masih berfungsi dalam masyarakat dan masih dipatuhi oleh masyarakat sebagai suatu lembaga dalam masyarakatnya.
b.
Harus disesuaikan dengan kepentingan nasional, artinya ada prinsip nasionalitas, yaitu sungguhpun diketahui menurut hukum adat ada sejumlah justiabelnya menurut hukum adat masih berhak atas tanah hak – hak adat di
70
Affan Mukti, Pembahasan Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 ( Medan : USU Press, 2010), hlm.38. 71 A.P. Parlindungan, Op. Cit., hlm. 57.
63
Universitas Sumatera utara
daerah asalnya, namun karena mereka bukan lagi warga negara Indonesia maka hak – hak mereka menjadi terdinding. c.
Harus disesuaikan dengan kepentingan negara, apa yang dimaksud dengan pro kepentingan negara tersebut.
d.
Harus berdasarkan kepada persatuan bangsa, artinya hak ulayat itu selama ini melayani hanya orang yang menjadi anggota suku itu saja dan orang luar sukunya hanya boleh mempunyai sesuatu hak setelah membayar suatu rekognisi (atau di suku Batak dinamakan Pago – Pago). Dalam setiap konsep ini maka setiap warga negara Indonesia di manapun dia berada di dalam wilayah Indonesia sama berhak dengan lain – lain suku bangsa untuk mempunyai hak – hak Agraria.
e.
Akhirnya bahwa Hak Ulayat itu seterusnya untergeordnet kepada undang – undang maupun peraturan lainnya yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia. Dengan demikian biarpun hak ulayat itu adanya sebelum UUPA, namun kemudian harus seirama dan sejalan dan tunduk kepada ketentuan ketentuan umum yang dibuat untuknya dalam konteksnya keberlakuannya di Indonesia. Dalam pengertian ini dengan jelas bahwa hak ulayat adalah milik
masyarakat hukum adat. Pemahaman serupa juga dianut oleh UUPA dengan mengatakan bahwa masyarakat hukum adat yang memiliki hak ulayat dilarang untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha (HGU) atau menolak pembukaan hutan untuk keperluan penambahan bahan makanan dan pemindahan penduduk (Penjelasan Umum II angka 3). Dengan menggunakan konsep tersebut,
64
Universitas Sumatera utara
UUPA sekaligus mengakui keberadaan masyarakat hukum adat selaku subyek yang memiliki hak ulayat (obyek). Hak ulayat sebagai obyek tidak mungkin ada tanpa keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek. 72
d. Menurut Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang – Undang Nomor
No.39 tahun 1999 boleh dibilang sebagai
operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39 Tahun 1999, menyebutkan: 1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. 2) Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman. Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan
72
Rikardo Simarmata, Op. Cit., hlm. 57.
65
Universitas Sumatera utara
dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
e.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Undang-undang kehutanan juga mengatur keberadaan masyarakat hukum
adat yang tertuang di dalam Pasal 67 ayat (1) yang menyatakan keberadaan masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur 73 : a)
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschaap);
b) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya; c)
Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d) Ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang masih ditaati; e)
Mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Terdapat dua hal utama dalam undang-undang ini mengenai masyarakat
hukum adat 74, yakni : Pertama, bahwa sumber daya hutan dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dikatakan juga bahwa penguasaan hutan oleh ngeara bukan merupakan kepemilikan, namun negara memberi sejumlah kewenangan kepada pemerintah, termasuk kewenangan untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Hak menguasai negara membawa konsekuensi dimasukkannya hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke dalam hutan negara. Dengan demikian, cakupan hutan negara bukan hanya hutan yang tidak dibebani hak-hak 73 74
Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Op. Cit., hlm. 33. Rikardo Simarmata, Op. Cit., hlm. 94
66
Universitas Sumatera utara
atas tanah menurut UUPA, tetapi juga mencakup hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atau yang biasa disebut dengan hutan adat. Kedua, dimasukannya hutan negara tidak lantas meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Namun, masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu harus dikukuhkan keberadaannya lewat peraturan daerah. Pengukuhan tersebut hanya bisa dilakukan apabila masyarakat hukum adat itu memenuhi 5 syarat, yakni : 1) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeenschap); 2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; 3) ada wilayah hukum adat yang jelas; 4) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan 5) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. f.
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang
bertugas mengawal konstitusi secara langsung turut serta dalam penegakan hak – hak asasi manusia. Hal ini merupakan hakikat pengertian dari konstitusi itu sendiri sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi yang melindungi hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara maupun orang yang hidup dalam negara tersebut. Oleh karena fungsi konstitusi pada essensinya adalah untuk membatasi kekuasaan yang ada dalam skema ketatanegaraan suatu bangsa dan memformulasikan perlindungan hak-hak dasar warga negara atau hak-hak asasi 67
Universitas Sumatera utara
manusia secara menyeluruh, maka peran Mahkamah Konstitusi berkorelasi langsung sebagai aparatur penegak hak asasi manusia secara menyeluruh. 75 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 memutuskan perkara konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kesepuhan Cisitu. Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, terlebih dahulu harus jelas kedudukan hukum (Legal Standing) yang dimilikinya. Berkaitan dengan hal tersebut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyebutkan, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu 76 : a)
Perorangan warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama);
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c)
Badan hukum publikatau privat; 75
Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Op.Cit. hlm. 75. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Bab V, Pasal 51. 76
68
Universitas Sumatera utara
d) Lembaga Negara. Beberapa pasal yang menjadi dalil pertimbangan hak konstitusional yang dimiliki pemohon adalah Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (2) 77, Pasal 28D ayat (1) 78, Pasal 28G ayat (1) 79, Pasal 28I ayat (3) 80, dan Pasal 33 ayat (3) 81 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu juga terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Kehutanan yang menjadi dasar kerugian hak-hak konstitusional pemohon. Berdasarkan pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum (legal standing) serta dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh para Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon dan menurut Mahkamah, Pemohon I adalah badan hukum privat yang peduli memperjuangkan hak-hak masyarakat hukum adat, sedangkan Pemohon II dan Pemohon III adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara potensial dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal Undang-Undang Kehutanan yang dimohonkan pengujian, dan apabila dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu,
77
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). 78 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). 79 Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dancharta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan daricancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (Pasalc28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). 80 Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). 81 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945).
69
Universitas Sumatera utara
Mahkamah berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012
memberi
pengertian
masyarakat
hukum
adat
sebagaimana tertulis dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yakni “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yng diatur dalam Undang-undang”. Norma ini juga terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Republik. Satcipto Rahardjo mengungkakan empat klausula yuridis yang menjadi kriteria eksistensi masyarakat hukum adat disertai komentarnya sebagai berikut 82: a)
“Sepanjang masih hidup” Kita tidak semata-mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari dalam, dengan menyalami perasaan masyarakat setempat (pendekatan partisipatif).
b)
“Sesuai dengan perkembangan masyarakat” Syarat ini mengandung resiko untuk memaksakan (imposing) kepentingan raksasa atas nama “perkembangan masyarakat”. Tidak memberi peluang untuk membiarkan dinamika masyarakat setempat berproses sendiri secara bebas.
c)
“Sesuai dengan prinsip NKRI”
82
Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Op. Cit., hlm. 97.
70
Universitas Sumatera utara
Kelemahan paradigm ini melihat NKRI dan masyarakat adat sebagai dua antitas yang berbeda dan berhadap-hadapan. d) “Diatur dalam undang-undang” Indonesia adalah Negara berdasar hukum, apabila dalam Negara yang demikian itu segalanya diserahkan kepada hukum, maka kehidupan seharihari tidak akan berjalan dengan produktif. Hukum yang selalu ingin mengatur ranahnya sendiri dan merasa cakap untuk itu telah gagal (bila tidak melibatkan fenomena sosial lainnya). Dengan demikian, masyarakat hukum adat dapat melakukan atau mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selaku pemohon pengujian undang-undang) selama masyarakat hukum adat tersebut masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI.
2. Perkembangan Masyarakat Hukum Adat Perlindungan terhadap eksistensi dan hak masyarakat hukum adat ini merosot tajam sejak tahun 1960, seiring dengan meningkatnya kepentingan negara terhadap sumber daya alam, yang bagaimanapun juga berada dalam wilayah ulayat masyarakat hukum adat, terutama di luar pulau Jawa. Dengan berbagai peraturan perundang-undangan, Negara mengembangkan berbagai kebijakan, yang intinya adalah mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat yang ada, nota bene tanpa memberikan ganti rugi sama sekali. Secara retrospektif
71
Universitas Sumatera utara
dapat dikatakan bahwa sengaja atau tidak sengaja, seluruh kebijakan negara yang mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. 83 Masyarakat hukum adat tidak hanya berdiam diri terhadap pengurangan, pengambilalihan, atau pencabutan hak-hak tradisionalnya itu. Di seluruh Nusantara telah terjadi kritik, protes, bahkan perlawanan terbuka, dari warga masyarakat
hukum
adat,
yang
pada
umumnya
gagal
untuk
dalam
mempertahankan esksistensi dan hak-hak tradisionalnya itu. Mereka tidak berada pada posisi membela diri, karena tidak mempunyai akses pada kekuasaan, baik pada cabang legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif. Sejak reformasi bergulir tahun 1998 sudah banyak peraturan perundang undangan yang lahir untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya alam dan hak-hak dasar lainnya. Berbagai produk legislasi tersebut menyentuh semua level mulai dari konstitusi sampai peraturan desa. Pada level konstitusi misalkan dipertegas dengan keberadaan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Kemudian sejumlah undang-undang khususnya yang terkait dengan sumber daya alam berisi pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Seakan tidak lengkap sebuah peraturan bila tidak berisi pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Hal ini sangat
83
Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia terdapat penjelasan bahwa : “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia sesseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan , atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
72
Universitas Sumatera utara
dipengaruhi oleh advokasi yang dilakukan oleh masyarakat adat dan para pendukungnya yang sejak kemunculannya memang hendak mengatur ulang hubungan antara masyarakat adat dengan negara. Reposisi hubungan antara masyarakat adat dengan negara nampak dalam semboyan yang dikumandangkan pada saat pendirian AMAN pada tahun 1999: “Bila negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara.” 84 Tidak berhenti pada level nasional, pada level daerah pun terdapat sejumlah inisiatif serupa. Hal sejalan dengan semangat desentralisasi dan juga diinspirasikan oleh lahirnya Peraturan Menteri Agraria No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Meskipun Permenag itu mengatur bahwa penyelesaian hak ulayat masyarakat adat dapat diulakukan dengan Perda, tetapi pada kenyataanya diterjemahkan bahwa Perda dapat dipakai untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah. Politik pengakuan (politic of recognition) menjadi kata kunci dalam memperlakukan masyarakat adat pada situasi kontemporer. 85 Latief Fariqun mendefinisikan pengakuan sebagai 86: “… pernyataan penerimaan dan pemberian status keabsahan oleh negara dan hukum negara terhadap eksistensi hukum dan hak-hak warga negara baik sebagai perorangan maupun kesatuan masyarakat sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga negara” (Fariqun, 2007:81).
84
Yance Arizona, “Masyarakat Adat dalam Kontenstasi Pembaruan Hukum”,https://www.academia.edu/3537826/Masyarakat_adat_dalam_kontestas_pembaruan_huk um (diakses tanggal 08 Februari 2015). 85 Yance Arizona, “Masyarakat Adat dalam Kontenstasi Pembaruan Hukum”,https://www.academia.edu/3537826/Masyarakat_adat_dalam_kontestas_pembaruan_huk um (diakses tanggal 08 Februari 2015). 86 A. Latief Fariqun, “Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Alam dalam Politik Hukum Nasional”, (Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya, 2007), hlm. 81.
73
Universitas Sumatera utara
Pergeseran paradigma itu tidak lagi memposisikan masyarakat hukum adat sebagai kelompok tradisional yang perlu dimodernkan dengan tolak ukur orang kota, yang ‘mendesak’ perubahan pola sosial ekonomi masyarakat adat ke dalam kategori kesejahteraan menurut penguasa. Hal ini sejalan pula dengan semangat zaman yang melampaui paham linearitas dari tradisional ke modern. Dalam paham lama ini, semua masyarakat adat harus dimodernkan, diubah gaya hidup dan cara produksinya menjadi sebuah model tunggal yang mudah dikendalikan. 87 Cara pandang bahwa semua masyarakat dapat direkayasa agar berubah dari tradisional ke modern sudah mulai ditinggalkan. Diganti dengan pandangan bahwa masyarakat akan menentukan sendiri perubahannya sebagai sebuah subjek yang memiliki sejarah, peradaban dan kepentingannya masing-masing. 88 Hal ini sejalan dengan paradigma post-modern yang bertujuan menyediakan keberagaman agar masing-masing subjek dapat berinteraksi dalam ruang sosial yang bersaing. Cara pandang bahwa masyarakat hukum adat merupakan subjek yang lemah dan perlu diberdayakan sudah mulai bergeser. Istilah pemberdayaan beranjak dari asumsi bahwa masyarakat hukum adat merupakan kelompok yang lemah, lumpuh, tidak tahu apa-apa, tidak tahu mana yang baik untuk kepentingannya
sendiri,
sehingga
perlu
dibantu
berjalan
mengarungi
kehidupannya. Padahal, sudah diakui secara global bahwa masyarakat hukum adat memiliki kapasitas daya tahan dan daya lenting yang kuat ketika menghadapi perubahan. Oleh karena itu, istilah pemberdayaan perlu mendapatkan porsi yang pas sehingga tidak malah meremehkan masyarakat hukum adat, tetapi disisi lain
87 88
Ibid. Ibid.
74
Universitas Sumatera utara
juga bukan berarti masyarakat hukum adat tidak perlu menikmati pendampingan – pendampingan untuk bisa menikmati pembangunan. 89 Pasal 3 ayat (1) UUPA menyatakan: “Mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu, dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang – undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Pasal
tersebut
menunjukkan
adanya pengakuan,
tetapi
sekaligus
membatasi pengakuan tersebut. Pada satu sisi keberadaan masyarakat hukum adat diakui, tetapi masyarakat hukum adat juga dibatasi, yaitu dengan adanya klausul “…sepanjang
menurut
kenyataannya
masih
ada…”
Kalimat
tersebut
mengandung makna bahwa ukuran masih ada (eksist ini) sampai sekarang belum dapat diwujudkan, akhirnya sampai sekarang masih mengundang permasalahan bagi Pemerintah Daerah. Bahkan kehadiran PMNA/KBPN No. 5 Tahun 1999 pun tidak mampu menjawab eksistensi ini. Sehingga dalam bila berhadapan dengan keberadaan hak ulayat yang sebagian mulai kabur tentu hal ini sebaiknya Pemerintah membuka kesempatan kepada Pengadilan untuk menetapkan batas tanah ulayat, tanah adat dan tanah negara. Agar tidak saling mengklaim tanah tersebut sebagai tanahnya atau miliknya diluar kehendak aturan. Apalagi sering kali masyarakat membaca hak ulayat itu sesuai kehendaknya saat ini dengan ukuran yang lama yang sudah berbeda dan berkembang. Padahal hak ulayat yang diakui itu adalah hak ulayat yang masih eksis dimasyarakat jika tidak lagi eksis pemerintah daerah boleh mengapresiasinya untuk dikokohkan eksisnya menurut prosedur dan aturan yang ada. Hak ulayat saat ini tidak diada – adakan 89
A. Latief Fariqun. Ibid.
75
Universitas Sumatera utara
eksistensinya sebab harus terukur sebagai hak ulayat dan dapat dikokohkan sebagai hak ulayat sebagaimana dalam udang – undang agraria ini. Tentu bila demikian adanya untuk eksistensi hak ulayat pemerintah daerah harus aktif mengambil perannya agar masyarakat tidak salah guna untuk mengeksistensinya. Apalagi dengan banyaknya pemekaran desa, kecamatan yang tentunya dekat dengan batas – batas hak – hak tanah di masyarakat. Yang bila dibiarkan akan mengundang kerawanan demi menentukan batas desa dan batas wilayah kecamatan yang dimekarkan tersebut. 90 Di samping itu, terbitnya Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dapat dijadikan acuan bagi kepala daerah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Bupati/Walikota dapat membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota, yang bertugas untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat. Hasil verifikasi dan validasi tersebut, kemudian disampaikan kepada kepala daerah. Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah. Dengan adanya kedua payung hukum tersebut, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah daerah untuk mengabaikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, dengan berdalih tidak adanya aturan yang menjadi rujukan. Kita berharap, semoga pemerintah daerah memberikan perhatian yang penuh terhadap keberadaan masyarakat adat. Menolak keberadaan masyarakat
90
Jurnal Konstitusi LK SPs Universitas Sumatera Utara, Vol. I, No. 2, November 2009 “Politik Agraria dalam Menyahuti Perkembangan Otonomi Daerah” oleh Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN hal. 16 – 17
76
Universitas Sumatera utara
adat sama dengan membiarkan terjadinya diskriminasi kepada masyarakat adat di Negara ini. 91
91
https://sopianhadi1983.wordpress.com/2014/09/19/pengakuan-masyarakat-adat/#more137 (diakses pada tanggal 22 Februari 2015)
77
Universitas Sumatera utara