BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Stroke Iskemik 2.1.1
Pengertian
Stroke atau cerebrovaskular accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2002:2131). Secara garis besar stroke dibagi menjadi dua golongan yaitu stroke perdarahan dan stroke iskemik (Irfan, 2010:69). Stroke iskemik terjadi sekitar 80% sampai 85 % dari total insden stroke yang diakibatkan obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi ini dapat disebabkan karena adanya bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal (Price & Wilson, 2006:1113). Stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan adanya obtruksi dari pembuluh darah oleh plak aterosklerotik, bekuan darah atau kombinasi keduanya sehingga menghambat aliran darah ke area otak (Linton, 2007:467). 2.1.2
Klasifikasi Stroke Iskemik
Menurut Harsono (2007:86) stroke iskemik secara patologik dapat dibagi tiga yaitu Trombosis pembuluh darah (thrombosis serebri), Emboli serebri, Arteritis sebagai akibat dari lues/arteritis temporalis. Sedangkan berdasarkan bentuk klinisnya stroke iskemik diklasifikasikan menjadi :
8
9
a. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA) pada bentuk ini gejala neurologic yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam. b. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND), gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu. c. Stroke Progresif (Progessive Stroke/stroke in evolution), stroke yang gejala neurologiknya makin lama makin berat. d. Stroke Komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke), stroke yang gejala klinisnya sudah menetap. 2.1.3
Patofisiologi Stroke Iskemik
Iskemik serebri sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus dan kemudian dapat terlepas sebagai emboli (Harsono, 2007:87). Trombus, emboli yang terjadi mengakibatkan terjadinya iskemik, sel otak kehilangan kemampuan menghasilkan energi terutama adenosin trifosfat (ATP), pompa Natrium Kalium ATPase gagal sehingga terjadi depolarisasi (Natrium berada dalam sel dan Kalium diluar sel) dan permukaan sel menjadi lebih negatif, kanal Kalsium terbuka dan influk Kalsium kedalam sel. keadaan depolarisasi ini merangsang pelepasan neurotransmiter eksitatorik yaitu glutamat yang juga menyebabkan influk kalsium kedalam sel, Sehingga terjadi peningkatan Kalsium dalam sel. Glutamat yang dibebaskan akan merangsang aktivitas kimiawi dan
10
listrik di sel otak lain dengan melekatkan ke suatu molekul di neuron lain, reseptor N-metil D-aspartat (NMDA). Pengikatan reseptor ini memicu pengaktifan enzim nitrat oksida sintase (NOS) yang menyebabkan terbentuknya molekul gas, Nitrat oksida (NO). Pembentukan NO yang terjadi dengan cepat dan dalam jumlah besar melemahkan asam deoksiribonukleat (DNA) neuron, dan mengaktifkan enzim, Poli (adenozin difosfat-[ADP] ribosa) polimerase (PARP). Enzim ini menyebabkan dan mempercepat eksitotoksitas setelah iskhemik serebrum sehingga terjadi deplesi energi sel yang hebat dan kematian sel. Peningkatan Kalsium intra sel mengaktifkan protease (enzim yang mencerna protein sel), Lipase (enzim yang mencerna membran sel) dan radikal bebas yang terbentuk akibat jenjang sistemik. Sel-sel otak mengalami infark, jaringan otak mengalami odema, sehingga perfusi jaringan cerebral terganggu. Sawar otak mengalami kerusakan akibat terpajan terhadap zat-zat toksik, kehilangan autoregulasi otak sehingga Cerebral Blood Flow (CBF) menjadi tidak responsif terhadap perbedaan tekanan dan kebutuhan metabolik. Kehilangan autoregulasi adalah penyulit stroke yang berbahaya dan dapat memicu lingkaran setan berupa peningkatan odema otak dan peningkatan tekanan intrakranial dan semakin luas kerusakan neuron. Odema otak juga akan menekan struktur-struktur saraf didalam otak sehingga timbul gejala sesuai dengan lokasi lesi (Price & Wilson, 2006:1116). Infark otak timbul karena iskemia otak yang lama dan parah dengan perubahan fungsi dan struktur otak yang ireversibel. Gangguan aliran darah otak akan timbul perbedaan daerah jaringan otak : a. pada daerah yang mengalami hipoksia akan
11
timbul edema sel otak dan bila berlangsung lebih lama, kemungkinan besar akan terjadi infark, b. Daerah sekitar infark timbul daerah penumbra iskemik dimana sel masih hidup tetapi tidak berfungsi, c. Daerah diluar penumbra akan timbul edema local atau daerah hiperemisis berarti sel masih hidup dan berfungsi (Harsono, 2007:86). 2.1.4
Gejala/Manifestasi Klinis
Kelumpuhan/disabilitas adalah salah satu gejala umum yang dialami pasien stroke, kelumpuhan terjadi pada salah satu sisi tubuh yang berlawanan dengan sisi otak yang mengalami kerusakan akibat stroke, kelumpuhan dapat berupa hemiparesis atau hemiplegia. Keadaan ini dapat mempengaruhi wajah, lengan dan kaki atau seluruh sisi tubuh sehingga pasien mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari hari seperti berjalan atau memegang benda (National Institut of Neurological Dissorder and Stroke [NINDS], 2008 ). Menurut Price & Wilson (2006:1118), gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak akibat stroke iskemik disebut sindrom neurovaskular, diantaranya : a. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral). Cabang-cabang arteria karotis interna adalah arteria oftalmika, arteria komunikantes posterior, arteria koroidalis anterior, arteria serebri anterior, arteria serebri media. Dapat timbul berbagai sindrom diantaranya kebutaan satu mata, gejala sensorik dan motorik di ektermitas kontra lateral karena insufisiensi arteria serebri media. Bila lesi terjadi di daerah antara arteria
12
serebri anterior dan media atau arteria serebri media , gejalanya mula mula pada ekstremitas atas (misalnya, tangan lemah, baal). b. Arteria serebri media (tersering), Gejalanya adalah hemiparesis atau monoparesis kontralateral (biasanya mengenai lengan), kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral, afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi dan disfasia. c. Arteri Serebri Anterior Gejalanya adalah kebingungan, kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai, lengan proksimal juga mungkin terkena, gerakan volunteer tungkai yang bersangkutan terganggu, deficit sensorik kontralateral, Demensia, gerakan menggengam, reflex patologik (disfungsi lobus frontalis). d. Sistem Vertebrobasilar (sirkulasi posterior : manifestasi biasanya bilateral) Gejalanya adalah kelumpuhan disatu sampai ke empat ekstremitas, meningkatnya reflek tendon, ataksia, tanda babinski bilateral, tremor, vertigo, disfagia, disartria, sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi, gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis) tinitus, gangguan pendengaran, rasa baal di wajah, mulut atau lidah. e. Arteri serebri posterior (di lobus otak tengah atau thalamus) Gejalanya adalah koma, hemiparesis kontralateral, afasia visual atau aleksia. Gejala neurologik yang timbul akibat stroke di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Gejala utama stroke iskemik akibat thrombosis serebri ialah timbulnya defisit neurologik secara mendadak /sub
13
akut, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tidak menurun (Harsono, 2007:88). Kematian jaringan otak pada pasien stroke dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan tersebut, salah satu gejala yang ditimbulkan adalah kelemahan otot pada anggota gerak tubuh (Wiwit, 2010). Gangguan fisik Stroke seperti kelemahan otot, nyeri, dan spastisitas dapat menyebabkan penurunan kemampuan untuk menggunakan ekstremitas atas yang terkena stroke dalam aktivitas sehari-hari, keadaan ini membuat seseorang menghindari menggunakan lengan dan tangan yang terkena stroke, tidak menggunakan lengan yang terkena stroke dapat menyebabkan kelemahan atau kehilangan kekuatan otot, penurunan rentang gerak dan keterampilan motorik halus (Eng & Harris, 2009). 2.1.5
Komplikasi Stroke Iskemik
Pasien yang mengalami gejala berat misalnya imobilisasi dengan hemiplegia berat rentan terhadap komplikasi yang dapat menyebabkan kematian lebih awal, yaitu : pneumonia, septikemia (akibat ulkus dekubitus atau infeksi saluran kemih), thrombosis vena dalam/deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru, sekitar 10% pasien dengan infark serebri meninggal 30 hari pertama dan hingga 50 % pasien yang bertahan akan membutuhkan bantuan dalam mejalankan aktivitas sehari– hari. Faktor-faktor yang mempunyai kontribusi pada disabilitas jangka panjang meliputi ulkus dekubitus, epilepsi, depresi, jatuh berulang, spastisitas, kontraktur dan kekakuan sendi (Ginsberg, 2007:91).
14
2.1.6
Penatalaksanaan Stroke Iskemik
Penatalaksanaan stroke menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (2011:39) adalah : a. Pengobatan terhadap hipertensi, hipoglikemia/hiperglikemia, pemberian terapi trombolisis, pemberian antikoagulan, pemberian antiplatelet dal lain-lain tergantung kondisi klinis pasien. b. Pemberian cairan, pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral), cairan parenteral yang diberikan adalah yang isotonis seperti 0,9% salin. c. Pemberian Nutrisi, Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah tes fungsi menelan baik. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik. d. Pencegahan dan penanganan komplikasi, mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru, kontraktur) perlu dilakukan. e. Rehabilitasi, direkomendasikan untuk melakukan rehabilitasi dini setelah kondisi medis stabil, dan durasi serta intensitas rehabilitasi ditingkatkan sesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Setelah keluar dari rumah sakit direkomendasikan untuk melanjutkan rehabilitasi dengan berobat jalan selama tahun pertama setelah stroke. f. Penatalaksanaan medis lain, pemantauan kadar glukosa, jika gelisah lakukan terapi psikologi, analgesik, terapi muntah dan pemberian H2 antagonis sesuai
15
indikasi, mobilisasi bertahap bila keadaan pasien stabil, kontrol buang air besar dan kecil, pemeriksaan penunjang lain, edukasi keluarga dan discharge planning. 2.1.7
Pemulihan Stroke
a. Fenomena Plastisitas Otak Proses pemulihan stroke pada awalnya terjadilah reperfusi jaringan iskemik disertai oleh terhentinya peradangan yang dipicu oleh glutamin yang dapat menyebabkan kerusakan neuron lebih lanjut. Kerusakan neuron berkurang sewaktu neuron- neuron didaerah penumbra iskemik mulai pulih. Kemudian beberapa hari dan minggu setelah stroke akut, otak mulai melakukan proses memulihkan fungsi yang hilang. Proses belajar kembali bergantung pada kemampuan luar biasa otak untuk mereorganisasi dirinya sendiri (suatu fenomena yang disebut plastisitas) dalam mempelajari suatu tugas atau sewaktu pulih dari cedera. Plastisitas merupakan Kemampuan unik yang membedakan sistem saraf dari jaringan lainnya, karena jaringan neuro tidak memiliki kemampuan seperti jaringan lain untuk melakukan regenerasi (Price & Wilson, 2006: 1127) b.
Peran Plastisitas Otak dalam Pemulihan Stroke Kerusakan jaringan otak yang disebabkan oleh stroke dapat mengakibatkan hilangnya
fungsi
cerebral,
namun
otak
mampu
melakukan
proses
neuroplastisitas untuk mengembalikan fungsinya dengan cara menata kembali/ reorganisasi cortical maps sehingga proses penyembuhan terjadi (Petrina, 2010).
16
Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi terhadap kebutuhan fungsional. Neuroplacity ini akan dimulai dari hari pertama sampai kedua pasca stroke dan dapat berlangsung sampai sebulan (Brito, 2001; Irfan, 2010:37). Untuk memberikan gambaran tentang plastisitas, maka penulis memberikan ilustrasi dengan membandingkan antara sifat plastisitas dan elastisitas pada gambar berikut ini :
Awal
Proses
Akhir
Awal
Proses
Akhir
Gambar 2.1. Deskripsi Plastisitas
Suatu benda dengan bentuk awal segi empat jika diberi intervensi atau dimanipulasi untuk membentuk segitiga, maka pada saat proses dilakukan benda berbentuk segitiga akan tetapi pada akhirnya benda tersebut akan kembali pada bentuk awalnya, hal ini disebut sebagai kemampuan elastisitas. Jika bentuk awal suatu benda berbentuk segi empat kemudian diberikan intervensi untuk membentuk segitiga, maka pada saat proses dilakukan benda akan membentuk segitiga dan juga membentuk akhir dari benda tersebut, hal ini disebut sebagai kemampuan plastisitas. Dengan demikian jelas bahwa sifat elastisitas berbeda dengan sifat plastisitas. Sifat plastisitas menunjukkan kemampuan benda untuk berubah kedalam bentuk lain (Irfan, 2010:38)
17
Petrina (2010) menyatakan plastisitas pada pemulihan fungsi ektremitas lebih susah terjadi berhubungan dengan fenomena yang dikenal dengan learned nonuse, bagian-bagian tubuh yang berhubungan dengan otak yang telah kehilangan fungsinya akan berpengaruh serta akan kehilangan kekuatan bergeraknya. Pasien yang tidak dapat menggerakkan ektremitas lemah menyebabkan pasien berusaha menggunakan ektremitas yang normal, setelah beberapa lama saat efek kerusakan sudah tidak terjadi lagi maka terjadilah adaptasi kembali dari otak, kekuatan bergerak pulih namun pasien terlanjur belajar bahwa ektremitas yang mengalami kelemahan sudah tidak berfungsi lagi. Ektremitas yang mengalami kelemahan tidak dapat menggerakkan otot dan otot tidak digunakan secara rutin, hal ini mengakibatkan bagian otak yang bertanggung jawab tidak terstimulasi. Untuk mengurangi dan memulihkan kondisi dari efek learned nonuse perlu dilakukan latihan pada ektremitas yang lemah. Stimulasi pada daerah yang terkena stroke dalam otak perlu dilakukan untuk membangun koneksi baru dalam otak, caranya adalah dengan menyentuh benda yang memiliki tekstur yang berbeda-beda menggunakan ektremitas atas yang mengalami kelemahan. Stimulasi ini dapat menggunakan alat untuk melatih ektremitas atas guna memperbaiki sensasi dan kekuatan ototnya ataupun dengan cara menjalin jari-jari yang normal dan lemah, lalu meletakkan telapak tangan pada bahan dan permukaan yang berbeda-beda (Hutton 2008:119).
18
2.1.8
Sistem Saraf
Sistem syaraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta terdiri terutama dari jaringan syaraf. Kemampuan untuk menstransmisi suatu respon terhadap stimulasi diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama : a. Input Sensorik, sistem syaraf menerima sensasi atau stimulus melalui reseptor, yang terletak di tubuh baik eksternal (reseptor somatik) maupun internal (reseptor viseral). Reseptor adalah organ sensorik khusus yang mampu mencatat perubahan tertentu di dalam organism dan sekitarnya serta menghantarkan rangsangan ini sebagai impuls. Reseptor merupakan organ akhir dari serat syaraf aferen. b. Aktivitas integratif. Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang menjalar disepanjang saraf sampai ke otak dan medulla spinalis, yang kemudian akan menginterpretasikan dan mengintegrasi stimulus, sehingga respon terhadap informasi bisa terjadi. c. Output motorik. Impuls dari otak dan medulla spinalis memperoleh respon yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh, yang disebut sebagai efektor (Sloane, 2004:154).
2.2 Konsep Kekuatan Otot 2.2.1
Pengertian Sistem Otot
Otot adalah jaringan yang terbesar dalam tubuh (Irfan, 2010:6). Jaringan otot yang mencapai 40% sampai 50% berat tubuh, pada umumnya tersusun dari sel- sel kontraktil yang di sebut serabut otot. Melalui kontraksi, sel-sel otot menghasilkan
19
pergerakan dan melakukan pekerjaan (Sloane,2004:119) Otot secara umum dibagi atas tiga jenis yaitu, otot rangka, otot jantung, dan otot polos. Otot rangka merupakan massa yang besar yang menyusun jaringan, gambaran garis lintang sangat jelas , tidak berkontraksi tanpa adanya rangsangan dari syaraf, Secara umum dikendalikan oleh kehendak/volunter (Ganong, 2003:62). Otot melakukan pergerakan berupa kontraksi dan relaksasi yang didukung oleh berbagai komponen didalam otot. Kontraksi otot dilakukan dengan gerakan tarikan (pemendekan otot) dan untuk mengembalikannya memerlukan gerakan relaksasi. Gerakan kontraksi dan relaksasi inilah yang memungkinkan kita bisa bergerak, melakukan mobilisasi (Saryono, 2011:2). Kekuatan otot merupakan kemampuan otot menahan beban baik berupa beban eksternal maupun beban internal. Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan system saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi. Dengan demikian semakin banyak serabut otot teraktivasi, maka semakin besar pula keuatan yang dihasilkan oleh otot tersebut (Irfan, 2010:47). Kekuatan kontraksi otot dipengaruhi oleh ukuran otot dan susunan otot. Ukuran unit motorik dan perekruitan unit motorik, dan panjang otot saat awal kontraksi. Latihan beban atau hambatan/tahanan (angkat beban), akan merangsang pembesaran sel akibat sintesis miofilamen yang banyak. Latihan daya tahan menghasilkan peningkatan mitokondria, glikogen dan densitas kapiler. Otot yang tidak digunakan dapat mengalami atropi. Hal ini akibat serabut otot secara progresif memendek (Saryono, 2011:110).
20
2.2.2
Fungsi Sistem Muskular
Fungsi otot menurut Sloane (2004:119) adalah : a. Pergerakan. Otot menghasilkan gerakan pada tulang tempat otot tersebut melekat dan bergerak dalam bagian-bagian organ internal tubuh b. Penopang tubuh dan mempertahankan postur. Otot menopang rangka dan mempertahankan tubuh saat berada dalam posisi berdiri atau saat duduk terhadap gaya gravitasi c. Produksi Panas. Kontraksi otot secara metabolis menghasilkan panas untuk mempertahankan suhu normal tubuh. 2.2.3
Mekanisme Umum Kontraksi Otot
Impuls saraf berasal dari otak, merambat ke neuron motorik dan merangsang serabut otot pada neuromuscular junction (tempat hubungan sel saraf dengan otot). Ketika serabut otot dirangsang untuk berkontraksi, miofilamen bergeser (overlap) satu dengan yang lain menyebabkan sarkomer memendek. (Saryono, 2011:46). Menurut Guyton & Hall (2007:76) mekanisme kontraksi otot timbul dan berakhirnya terjadi dalam urutan tahap-tahap berikut : a. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik sampai ke ujungnya pada serabut otot. b. Disetiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmitter, yaitu asetilkolin dalam jumlah sedikit.
21
c. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serabut otot untuk membuka banyak kanal melalui molekul-molekul protein yang terapung pada membran. d. Terbukanya kanal yang memiliki asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membran serabut otot. Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial aksi pada membran. e. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serabut otot dengan cara yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang membran serabut saraf. f. Potensial aksi ini akan menimbulkan depolarisasi membran otot dan banyak aliran listrik potensial aksi mengalir melalui pusat serabut otot. Potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium yang telah tersimpan di dalam retikulum ini. g. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan miosin yang menyebabkan kedua filamen tersebut bergeser satu sama lain dan menghasilkan proses kontraksi. Selama proses kontraksi sejumlah ATP dipecah membentuk ADP. h. Setelah kurang dari satu detik ion kalsium dipompa kembali ke dalam retikulum sarkoplasma oleh pompa membran Ca dan ion-ion ini tetap disimpan dalam retikulum sampai potensial aksi otot yang baru datang lagi. Pengeluaran ion kalsium dari myofibril akan menyebabkan kontraksi otot terhenti.
22
2.2.4
Sistem Motorik
Watson (2002:80) menjelaskan bahwa sistem motorik mengatur pergerakan berbagai bagian tubuh. Area motorik terletak di bagian depan suklus sentral, areanya disebut girus prasentral, di depan area motorik terdapat area pramotorik yang bertanggung jawab terhadap pola gerakan. Area motorik menerima impuls dari berbagai bagian otak, termasuk area sensorik. Dari korteks impuls dikirim ke medulla spinalis, inti motorik pada batang otak, basal ganglia, serebelum dan pons. Stimulus masuk melewati saraf perifer ke otot skeletal, yang tetap dalam keadaan tegang dan disebut sebagai tonus otot melalui berbagai traktus saraf. Keletihan otot dicegah dengan menggunakan berbagai rangkaian serabut motorik secara berturut-turut dan derajat tonus bergantung kepada jumlah serabut yang digunakan pada suatu waktu. Istilah neuron motorik bagian atas menggambarkan serabut motorik dalam sistem saraf pusat sejauh ia bersinaps dengan sel suatu sel kornu anterior. Neuron motorik bagian bawah menggambarkan suatu sel kornu
anterior dan
serabutnya.Traktus kortikospinal biasanya disebut traktus piramidal, sehingga istilah sistem ekstra-piramidal menggambarkan semua sistem motorik traktus kortikospinal dan kortikonuklear. Fungsi utama sistem ini ialah koordinasi gerakan otot dalam mempertahankan postur tubuh sehinnga gerakan dapat dilakukan dengan akurat sambil mempertahankan postur yang diinginkan. 2.2.5
Sistem Sensori
Sistem sensori bertugas menginterpretasi impuls, impuls sensori dikirim ke sistem saraf pusat dari organ pengindraan khusus, kulit dan bagian dalam tubuh, saraf
23
sensori berakhir pada kulit dan jaringan lain. Berbagai sensasi seperti suhu, sentuhan, tekanan dan ketegangan memerlukan ujung saraf yang berbeda untuk mencetuskannya. Pada kulit saraf sensori dapat berfungsi sebagai : (1) ujung saraf yang akan menyalurkan nyeri dan perubahan suhu, (2) menyalurkan sentuhan ringan, (3) menyalurkan tekanan yang kuat. Di dalam otot ada yang disebut gulungan otot yang akan berespon terhadap derajat tekanan yang didapat. Serabut saraf membawa rangsangan sentuhan dan ketegangan otot kemudian beberapa serabut bercabang ke sel bagian anterior dan Posterior membentuk unit fungsional (Watson, 2002:86). 2.2.6
Karakteristik Fungsional Otot
Saryono (2011 : 6) menyatakan, karakteristik fungsional otot terdiri dari : a. Eksitabilitas atau iritabilitas; kemampuan otot untuk berespon terhadap stimulus b. Kontraktilitas; kemampuan otot unuk memendek secara paksa c. Ekstensibilitas; serabut otot dapat direganggangkan d. Elastisitas; kembalinya otot ke panjang normal setelah memendek. 2.2.7
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekuatan Otot
Baik tidaknya kekuatan otot seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor penentu, faktor penentu tersebut antara lain : a. Besar kecilnya potongan melintang otot (potongan morfologis yang tergantung dari proses hipertrofi otot).
24
b. Jumlah fibril otot yang turut bekerja dalam melawan beban, makin banyak fibril otot yang bekerja berarti kekuatan bertambah besar. c. Tergantung besar kecilnya rangka tubuh, makin besar skelet makin besar kekuatan. d. Inervasi otot baik pusat maupun perifer. e. Keadaan zat kimia dalam otot (glikogen, ATP). f. Keadaan tonus otot saat istirahat. Tonus makin rendah (rileks) berarti kekuatan otot tersebut pada saat bekerja semakin besar. g. Umur, Sampai usia pubertas, kecepatan perkembangan kekuatan otot pria sama dengan wanita. Baik pria maupun wanita mencapai puncak pada usia kurang 25 tahun, kemudian menurun 65% - 70% pada usia 65 tahun. h. Jenis kelamin juga menentukan baik dan tidaknya kekuatan otot. i. Perbedaan kekuatan otot pada pria dan wanita (rata- rata kekuatan wanita ⅔ dari pria) disebabkan karena ada perbedaan otot dalam tubuh. Faktor penting yang dapat meningkatkan kekuatan otot adalah dengan pelatihan. Dengan pelatihan secara teratur akan menimbulkan pembesaran (hipertrofi) fibril otot. Semakin banyak pelatihan yang dilakukan maka semakin baik pula pembesaran fibril otot itulah yang menyebabkan adanya peningkatan kekuatan otot. Untuk mencapai peningkatan kekuatan otot dengan baik, diperlukan pelatihan yang disusun dan dilaksanakan dengan program pelatihan yang tepat. Agar pelatihan yang dilakukan dapat mencapai hasil yang sesuai dengan yang diharapkan, program pelatihan yang disusun untuk meningkatkan kekuatan otot harus memperhatikan faktor-faktor tersebut (Sudarsono, 2011).
25
2.2.8
Rangsangan Saraf Terhadap Otot
Otot skelet harus dirangsang oleh sel syaraf untuk berkontraksi. Satu unit motor diinervasi oleh satu neuron. Jika sel otot tidak dirangsang, sel akan mengecil (atrofi) dan mati, bahkan kadang kadang diganti dengan jaringan konektif yang irreversible ketika rusak. Gunakanlah otot atau otot akan kehilangan fungsinya kalau tidak digunakan. Masalah akan timbul bagi pasien yang menetap tanpa aktifitas (bedrest), dan immobilisasi anggota tubuh (Saryono, 2011: 47). 2.2.9
Pemeriksaan Kekuatan Otot Tangan
Bahannon (2005:3) menyatakan kekuatan otot ekstremitas atas dapat diukur menggunakan Manual Muscle Testing (MMT) dan handgrip dynamometer, pengukuran kekuatan otot menggunakan MMT bersifat subjektif tergantung pada penilai. Tabel 2.1. Katagori kekuatan otot menggunakan MMT Skor 0 1
Kekuatan Otot Paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi otot Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi 2 Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi kekuatannya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi 3 Disamping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa 4 Kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan kemampuan otot melawan tahanan yang ringan 5 Kekuatan otot normal Sumber : Muttaqin, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Persarafan, 2008
Handgrip dynamometer dapat digunakan pada pasien stroke untuk mengukur kekuatan otot ekstremitas atas. Bentuk alat Handgrip dynamometer dapat dilihat pada gambar 2.2 :
26
Gambar 2.2. Handgrip Dynamometer
Adapun nilai dari dari kategori kekuatan otot berdasarkan pemeriksaan handgrip dynamometer yaitu : Tabel 2.2. Kategori kekuatan otot berdasarkan hasil pemeriksaan Handgrip Dynamometer Kategori Laki-laki (kg) Perempuan (kg) Sempurna > 64 > 38 Sangat kuat 56 – 64 34 – 38 Diatas rata-rata 52 – 56 30 – 34 Rata-rata 48 – 52 26 – 30 Dibawah rata-rata 44 – 48 22 – 26 Rendah 40 – 44 20 – 22 Sangat rendah < 40 < 20 Sumber;diunduh dari http://www.topendsports.com/testing/tests/handgrip.htm
2.3 Rehabilitasi Ekstremitas Atas 2.3.1
Pengertian
Rehabilitasi adalah usaha pemulihan seseorang untuk mencapai fungsi normal atau mendekati normal setelah mengalami sakit fisik atau mental, cedera, atau penyalahgunaan zat kimia (Potter & Perry, 2005:38). Pada pasien stroke iskemik program rehabilitasi dapat dimulai 24 – 36 jam setelah serangan stroke, jika
27
keadaan pasien memungkinkan, jika tidak memungkinkan rehabilitasi dapat ditunda sampai keadaan pasien stabil. Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, pasien yang memakai alat bantu nafas dapat diberikan rehabilitasi pasif dengan menggerakkan sendi – sendi untuk mencegah terjadinya atropi otot (Sutrisno, 2007:110). Nuartha (2008) menyatakan, pada pasien stroke iskemik mobilisasi biasanya sudah dapat dimulai pada hari ke dua sampai ke tiga setelah serangan stroke, kecuali terjadi gangguan fungsi jantung yang memerlukan penundaan mobilisasi. Tahap-tahap rehabilitasi meliputi pengaturan posisi berbaring, latihan kandung kencing, latihan gerak sendi, latihan memperkuat otot, latihan nafas, yang kemudian dilanjutkan dengan latihan duduk, latihan berdiri, latihan transfer dan latihan berjalan. Rehabilitasi medis pada stroke memerlukan pendekatan interdisipliner dan keterlibatan semua anggota keluarga. Pada pasien stroke akut perlu dilakukan pendekatan rehabilitasi dini sejak awal masuk rumah sakit untuk meningkatkan outcome. Pemilihan jenis terapi disesuaikan dengan kondisi stroke yang dialami dan kebutuhan pasien untuk dapat mandiri. Intensitas terapi yang semakin besar dapat mempercepat proses pemulihan dan menghasilkan kemampuan fungsional yang lebih baik. Latihan yang diberikan diutamakan pada ketrampilan spesifik yang penting dan bermakna bagi pasien stroke (Susilawathi, 2013:56). Rehabilitasi untuk ektremitas atas yang dapat diberikan pada penderita adalah latihan rentang gerak atau Range of Motion (Smeltzer & Bare, 2002:399), selain itu dapat diberikan rehabilitai spesifik yang dapat meningkatkan kekuatan otot dan
28
untuk mengembalikan fungsional tangan. Latihannya dengan cara menggenggam, memegang, mengangkat objek, salah satu bentuk latihannya dapat menggunakan alat spring grip. Latihan menggenggam dapat juga menggunakan alat : hand grip dynamometer, Rainbow putty, cylindrical grip, spherical grip, hook grip, lateral prehension grip, precision handling (Mehrholz, 2012:75, Irfan, 2010:205). 2.3.2
Latihan ROM Aktif Asistif Spring Grip dan Penerapannya pada Pasien Stroke Iskemik
Latihan Range of Motion (ROM) adalah kegiatan latihan yang bertujuan untuk memelihara fleksibilitas dan mobilitas sendi (Tseng, et al., 2007) dalam Cahyati (2011). Latihan ROM dapat menggerakkan persendian seoptimal dan seluas mungkin sesuai kemampuan seseorang dan tidak menimbulkan rasa nyeri pada sendi yang digerakkan. Adanya pergerakan pada persendian akan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke dalam kapsula sendi. Ketika sendi digerakkan, permukaan kartilago antara kedua tulang akan saling bergesekan. Kartilago banyak mengandung proteoglikans yang menempel pada asam hialuronat yang bersifat hidrophilik. Adanya penekanan pada kartilago akan mendesak air keluar
dari matrik kartilago ke cairan sinovial. Bila tekanan
berhenti maka air yang keluar ke cairan sinovial akan ditarik kembali dengan membawa nutrisi dari cairan (Ulliya, dkk., 2007). Latihan ROM aktif asistif spring grip adalah suatu latihan rentang gerak yang dilakukan oleh pasien dengan cara menggengam alat spring grip dibantu oleh perawat/terapis. Latihan ROM ini spesifik untuk ekstremitas atas yang dapat meningkatkan kekuatan otot. Gerakan saat latihan dapat dilakukan dengan cara
29
memegang, menggenggam dan mengangkat alat spring grip, kegiatan ini dapat meningkatkan kekuatan otot dan dapat menstimulasi otot jari sampai ke bahu, sehingga dapat meningkatkan kemampuan fungsional tangan. (Mehrholz, 2012:75). Latihan fungsional tangan berupa power grip dilakukan selama 5 detik kemudian rileks, lakukan pengulangan sebanyak 7 kali. Latihan diberikan 2 kali sehari pagi dan sore (Irfan, 2010: 205). Latihan ROM dapat dilakukan 4 sampai 5 kali dalam sehari, Terapi latihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian pasien, mengurangi tingkat ketergantungan pada keluarga, dan meningkatkan harga diri dan mekanisme koping pasien. Ekstremitas yang mengalami kelemahan dilatih secara pasif dan diberikan
rentang
gerak
penuh
empat
atau
lima
kali
sehari,
untuk
mempertahankan mobilitas sendi, mengembalikan kontrol motorik, mencegah terjadinya kontraktur pada ekstremitas yang mengalami parese, mencegah bertambah
buruknya
sistem
neurovaskular
dan
meningkatkan
sirkulasi.
Pengulangan aktivitas membentuk jaras baru system saraf pusat dan dapat membentuk pola-pola baru pada gerakan (Smeltzer & Bare, 2008). Ektremitas atas mempunyai fungsi yang penting dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti untuk makan, mandi, kebersihan diri, toileting, dan lain-lain dan merupakan bagian yang paling aktif, maka lesi pada bagian otak yang mengakibatkan kelemahan akan sangat menghambat dan menggangu kemampuan dan aktivitas sehari-hari seseorang. Fungsi tangan untuk menggenggam (grip) melalui tiga tahap yaitu : membuka tangan, menutup jari – jari untuk menggenggam objek, mengatur kekuatan menggenggam. Untuk meningkatkan
30
kekuatan otot dan untuk mengembalikan fungsional tangan diperlukan latihan ROM (Irfan, 2010 : 203). Klasifikasi latihan rentang gerak/ROM menurut Smeltzer & Bare (2002:399) rentang gerak dibagi menjadi beberapa jenis yaitu : Tabel 2.3. Klasifikasi Latihan Rentang Gerak Latihan Pasif
Deskripsi Suatu latihan yang dilakukan oleh terapis atau oleh perawat tanpa bantuan pasien
Aktif Asistif Aktif
Suatu latihan yang dilakukan oleh pasien dengan bantuan terapis Suatu latihan yang diselesaikan tanpa bantuan oleh pasien Latihan aktif yang dilakukan oleh pasien yang bekerja terhadap tahanan Latihan yang dilakukan oleh pasien dengan meregangkan dan merilekskan bagian yang dilatih
Resisitif
Isometrik atau setting otot
Tujuan Untuk mencapai kembali sebanyak mungkin rentang gerak sendi, untuk mempertahankan sirkulasi Untuk meningkatkan fungsi otot normal Untuk meningkatkan kekuatan otot Untuk memberikan tahanan sehingga meningkatkan kekuatan otot Untuk mempertahankan kekuatan ketika sendi dimobilisasi
Alat Spring Grip yang dapat digunakan untuk melatih pasien stroke iskemik dengan kelemahan pada ekstremitas atas secara aktif asistif, dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.3. Spring Grip Sumber :
diunduh dari promotion.html
http://www.aliexpress.com/promotion/sport_finger-grip-exercise-
31
Klasifikasi alat yang digunakan dalam latihan spring grip sebagai berikut : Tabel 2.4. Spesifikasi Alat Spring Grip Bahan Warna Ukuran Berat
Metal, plastik Silver, biru 9 x 5 cm 170 gram