11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Kontruksi, dan Variabel Penelitian 2.1.1 Pajak 2.1.1.1 Definisi Pajak Pajak sebagai piranti pembelajaran yang digunakan secara terus menerus oleh rumah tangga Negara telah lama dikenal sejak zaman sebelum masehi. Diawali dengan bentuk pungutan atau upeti kepada pihak yang memiliki kekuasaan di suatu daerah, missal kaisar, raja, bangsawan, tuan tanah dan sebagainya, yang dilakukan dengan pemaksaan demi kepentingan pihak berkuasa tersebut. Namun secara bertahap bentuk pungutan paksa tersebut berubah disertai dengan pemberontakan, revolusi atau perlawanan lain hingga dikenal pajak yang saat ini berlaku. (Salamun, 1991) Menurut Adriani (2003) menjelakan bahwa: “Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum undangundang dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjukan dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”
12
Menurut Rochmat Soemitro (1997) Pajak adalah iuran rakyat pada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada jasa timbale balik (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan suplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.” 2.1.1.2 Jenis Pajak Menurut Waluyo (2013:12) pajak dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok adalah sebagai berikut: 1. Menurut golongan atau pembebanan, diantaranya: a. Pajak Langsung, adalah pajak yang pembebannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang pembebannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut sifat Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip adalah sebagai berikut:
13
a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak. Contoh: Pajak Penghasilan b. Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tapi memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut Pemungutan dan Pengelolaan, diantaranya: a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: pajak reklame, pajak hiburan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan sector perkotaan dan pedesaan. 2.1.1.3 Fungsi Pajak Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak sebagai berikut. 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
14
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkan pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang social dan ekonomi. Contoh: dikenakannnya pajak yang lebih tinggi terhadap minimum keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah. 2.1.1.4 Kedudukan Hukum Pajak Menurut Rochmat Soemitro (2011:9) hukum pajak mempunyai kedudukan di antara hukum-hukum sebagai berikut: a.
Hukum Perdana Mengatur hubungan antara saat individu dengan individu lainnya.
b.
Hukum Publik Mengatur antara pemerintahan dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut: -
Hukum Tata Kelola
-
Hukum Tata Usaha (Hukum Administrasi)
-
Hukum Pajak
-
Hukum Pidana
15
2.1.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi tiga jenis menurut Aristanti (2011:14), diantaranya: a.
Official Assessment system System ini merupakan system pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri Official Assessment System: -
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus.
-
Wajib pajak bersifat pasif.
-
Utang pajak timbul setelah dukeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b.
Self Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajak terutang. Sistem ini memberikan peluang kepada wajib pajak untuk jujur dan bertanggung jawab akan kewajiban pajaknya.
c.
Withholding System
16
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak member wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
2.1.1.6 Asas Pemungutan Pajak Dalam pemungutan pajak didasarkan pada asas-asas tertentu bagi fiskus sehingga dengan asas ini Negara member hak kepada dirinya sendiri untuk memungut pajak dari penduduknya, yang pada hakeketnya memungut dengan paksa (berdasarkan undang-undang) sebagian dari harta yang dimiliki penduduknya. Asasasas tersebut menurut (Siti Kurnia, 2010:42): a.
Asas Domisili Pengenaan pajak tergantung pada tempat tinggal (domisili) wajib pajak. Wajib pajak tinggal di suatu Negara maka Negara itulah yang berhak menggenakan pajak atas segala hal yang berhubungan dengan objek yang dimiliki wajib pajak yang menurut undang-undang dikenakan pajak.
b.
Asas Sumber Cara pemungutan pajak yang bergantung pada sumber di mana objek pajak diperoleh. Tergantung dinegara mana objek pajak
c.
Asas Kebangsaan
17
Cara yang berdasarkan kebangsaan menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan dari suatu Negara. Asas kebangsaan atau asas nasional adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang dihubungkan dengan kebangsaan dari suatu Negara. 2.1.1.7 Penggolongan Jenis Pajak Menurut Siti Kurnia (2010:50) terdapat perbedaan atau penggolongan serta jenis-jenis pajak. Pembedaan atau penggolongan tersebut didasarkan pada suatu criteria, yaitu: a.
Siapa yang membayar pajak
b.
Siapa yang pada akhirnya memikul beban pajak
c.
Apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak laim
d.
Siapa yang memungut pajak
e.
Sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan
f.
Pajak dikenakan atas apa
2.1.2 Pajak Penghasilan Pajak penghasilan sesuai dengan pasal 1 Undang Undang pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak. Oleh karena itu Pajak Penghasilan melekat pada subyeknya. Pajak
18
Penghasilan termasuk salah satu jenis pajak subjektif. Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima atau memperoleh penghasilan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut sebagai Wajib Pajak. Demikian pula atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, terutang Pajak Penghasilan dan dalam hal ini yang bersifat final. 2.1.2.1 Subjek Pajak Penghasilan Jenis-jenis Subjek Pajak sebagaima diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Pajak Penghasilan 1.
Orang Pribadi Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Pengertian orang pribadi menurut Rochmat Soemitro adalah manusia dari daging, tulang, dan darah.
2.
Warisan belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris, maksud warisan disini adalah warisan yang menghasilkan atau masih ada pajak terutang yang ditinggalkan. Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya, warisan yang belum terbagi bisa diwakili oleh: a. Salah seorang ahli warisnya
19
b. Pelaksana wasiatnya c. Pihak yang mengurus harta peninggalannya 3.
Badan Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha dan melakukan kegiatan di Indonesia.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UU PPh, subjek pajak dalan PPh terdiri dari 2 (dua) jenis, yakni: 1. Subjek Pajak Dalam Negeri
20
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. b.
Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
2. Subjek Pajak Luar Negeri, adalah a. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
bukan warga Negara Indonesia
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut
negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik
21
b. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
c. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
bukan warga negara Indonesia; dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.1.2.2 Objek Pajak Penghasilan Dalam UU PPh Pasal 4 (1) yang menjadi objek pajak penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
22
2.1.3 Pengertian Wajib Pajak Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa: “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan”.
2.1.3.1 Wajib Pajak Orang Pribadi Wajib Pajak Orang Pribadi dapat bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia Menurut Mardiasmo (2013:56), subjek pajak orang pribadi dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut: a. Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau berada di Indonesia dalam satu tahun pajak dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. b. Subjek Pajak Orang Pribadi luar negeri, yaitu orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, tetapi memperoleh penghasilan dari Indonesia.
23
2.1.3.2 Wajib Pajak Badan Definisi Badan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 1 ayat 3 yaitu: “Badan adalah sekumpulan orang pribadi dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koprasi, dan pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”.
2.1.4 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 2.1.4.1 Pengertian NPWP Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya (Mardiasmo, 2009). Menurut Diana Sari (2013:180) fungsi NPWP antara lain adalah sebagai berikut:
24
1. Sarana dalam administrasi perpajakan. 2. Tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan. Setiap dokumen perpajakan sebagai contoh Surat Setoran Pajak (SSP), Faktur Pajak, Surat Pemberitahuan, harus mencantumkan NPWP. 4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan. 5. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan, seperti dokumen impor. 6. Menjadi persyaratan dalam pelayanan umum, misalnya paspor, kredit bank dan lelang. Dengan memiliki NPWP, Wajib Pajak memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya, seperti: 1. Memenuhi salah satu persyaratan ketikan melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). 2. Salah satu syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank; dan 3. Memenuhi persyaratan untuk bisa mengikuti tender-tender yang dilakukan oleh pemerintah.
25
2.1.4.2 Pendaftaran NPWP Dalam (Mardiasmo, 2009), semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jendral Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan
pemungutan
sesuai
dengan
ketentuan
Undang-Undang
Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya.
2.1.5 Surat Pemberitahuan (SPT) 2.1.5.1 Pengertian SPT Kewajiban Wajib Pajak selain mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP adalah melakukan sendiri perhitungan, pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang
26
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa: “Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1:11)”.
2.1.5.2 Fungsi SPT Fungsi SPT menurut Mardiasmo (2011:31) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan pajak yang sebenarnya terutang untuk melaporkan tentang: a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak. c. Harta dan kewajiban; dan/atau d. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak Orang Pribadi atau Badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
27
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang telah dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
2.1.5.3 Jenis SPT Menurut Mardiasmo (2011:34) secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua: a. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. Jenis SPT Masa yaitu SPT Masa Pajak Penghasilan. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai, dan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
28
b. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahunan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Jenis SPT Tahunan yaitu SPT Tahunan Pajak Penghasilan. SPT dapat berbentuk: a. Formulir kertas (hardcopy);atau b. e-SPT 2.1.6 Cara Menghitung Pajak Penghasilan Orang Pribadi Pajak penghasilan (bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetep) setahun dihitung dengan cara mengalihkan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17.menghitung Wajib Pajak Orang Pribadi digunakan rumus senagai berikut:
Pajak Penghasilan (Wajib Pajak Orang Pribadi) =Penghasilan Kena Pajak x Tarif Pasal 17 =(Penghasilan Netto – PTKP) x Tarif Pasal 17 =(Penghasilan Bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh – PTKP) x Tarif Pasal 17
2.1.7 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
29
Pasal 6 ayat (3) UU PPh menyatakan bahwa dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP), kepada Wajib Pajak Orang Pribadi diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besaran PTKP sendiri diatur di Pasal 7 UU PPh yang telah disesuaikan terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 122/PMK.010/2015. Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah unsur dalam pengurangan dalam perhitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Secara historis pengurangan PTKP berasal dari pendapatan Montesquieu, bahwa untuk diterapkan tarif Pajak Penghasilan, penghasilan kotor harus dikurangi dulu dengan suatu jumlah yang memungkinkan Wajib Pajak Orang Pribadi dan keluarganya dapat “hidup minimum” yang disebut dengan necessaries physique atau kebutuhan fisik (Safri Nurmantu, 2003:123). Menurut Djoko Muljono (2009:91) Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah batasan penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menentukan perlu tidaknya atas Penghasilan Wajib Pajak perseorangan dikenakan pajak penghasilan sebesar PTKP berkaitan dan besarnya biaya minimum dari Wajib Pajak. dalam Aswita (2009) menurut Rosdiana (2005) hamper seluruh Negara yang memungut pajak Penghasilan menerapkan tax reliefs berupa personal exemtion dalam memperhitungkan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi termasuk
30
Indonesia. Dalam system pajak penghasilan Indonesia, personal exemption ini dikenal dengan Penghasilan aaatidak Kena Pajak (PTKP). Perhitungan PTKP ditentukan menurut keadaan awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Perhitungan PTKP untuk pegawai lama (tahun sebelumnya sudah bekerja di Indonesia) dilakukan dengan melihat keadaan awal tahun takwim (1 januari). Bagi pegawai yang baru dating dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan (Mardiasmo, 2011). Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan penghasilan Tidak Kena Pajak. Juga bagi seorang suami yang istrinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabungkan. Bagi wajib pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus keturunan yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan sepenuhnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
31
2.1.1.7 Perubahan Besarnya penghasilan Tidak Kena Pajak Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah diatur dalam Undangundang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Atas pertimbangan perkembangan di bidang ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat, maka Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UUPPh) pasal 7ayat (3), yaitu “Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dilonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.”
2.1.8 Penerimaan Pajak Penghasilan Menururt APBN, Penerimaan Pajak Penghasilan terdiri dari: 1. Migas 2. Non Migas
32
Pajak Penghasilan termasuk ke dalam kategori penerimaan pajak dalam negeri yang digabungkan dengan penerimaan pajak lainnya, diantaranya: 1. Pajak Pertambahan Nilai; 2. Pajak Bumi dan Bangunan; 3. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan; 4. Cukai; dan 5. Serta pajak lainnya.
2.2
Penelitian Terdahulu Dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Hoirina (2014) yang berjudul
“Pengaruh Kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak”, diketahui bahwa diketahui variable PTKP (X) tidak berpengaruh signifikan terhadap variable Kepatuhan Wajib Pajak (Y). ini terjadi alibat biasnya informasi yang diterima masyarakat mengenai pelaksanaan peraturan perundang-undang perpajakan. Wajib Pajak yang penghasilannya dibawah PTKP setelah adanya kebijakan penyesuaian besarnya PTKP menjadi Wajib Pajak Penghasilan tertentu sebagaimana telah diatur dalam perundang-undang, menyebabkan Wajib Pajak tidak diwajibkan untuk melaporkan SPT karena dipastikan Pajak Penghasilan Pasal 21-nya adalah Nihil. Namun kebanyakan Wajib Pajak tidak diwajibkan untuk melaporkan SPT-nya karena merasa tidak perlu melaporkan SPT PPh yang Nihil, sehingga
33
menimbulkan kesulitan bagi fiskus membedakan antara Wajib Pajak yang tidak melaporkan karena memang Wajib Pajak PPh tertentu atau Wajib Pajak yang memang dengan sengaja tidak melaporkan Spt-nya dan menyebabkan keduanya menerima serat teguran. Dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nuritomo (2008) yang berjudul “Pengaruh Peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak Terhadap Penerimaan Pajak studi pada KPP Yogyakarta satu”, diketahui hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan PTKP member pengaruh yang besar terhadap penerimaan pajak penghasilan pasal 21. Penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 mengalami penurunan sebear 26,04% dengan diberlakukan PTKP baru ini. Pajak Penghasilan Pasal 21 dikenakan kepada para pekerja yang menerima gaji atau penghasilan yang relatif srabil. Gaji cenderung jarang berfluktuasi jika dibandingkan dengan Wajib Pajak.
2.3 Kerangka Pemikiran Pemerintah sendiri telah mengaturnya dalam pasal 23 Undang-undang Dasar 1945, terutama pada ayat 2 yang berbunyi: “segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang”. Menurut buku Manajemen Perpajakan karangan Mohammad Zain yang mengutip pernyataan Soemitro bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
34
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak mempunyai kontribusi cukup tinggi dalam penerimaan Negara. Berbagai kebijakan dalam ekstensifikasi dan intensifikasi telah dibuat oleh Pemerintah untuk mencapai target pererimaan pajak. Kebijakan ini membawa pengaruh kepada masyarakat, dunia usaha, dan pihak-pihak yang berkaitan dengan pajak. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan biaya hidup minimal seseorang dalam setahun. Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak(PTKP) telah diatur dalm Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan disesuaikan dengan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor:
122
/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghailan Tidak Kena Pajak. Pajak penghasilan orang pribadi adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak orang pribadi atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau dapat pula dikenkkan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Kenaikan PTKP sedikit banyak berpengaruh terhadap penerimaan pajak, baik itu negative maupun positif. Kenaikan PTKP akan berpengaruh negative terhadap penerimaan PPh pasal 21, karena jumlah wajib pajak yang penghasilannnya dipotong PPh Pasal 21 berkurang. Di sisi lain, kenaikan PTKP akan memberikan pengaruh
35
positif terhadap penerimaan PPN maupun pajak lainnya karena adanya peningkatan daya beli, daya investasi dan daya tabung masyarakat. Menurut surat edaran Dirjen Pajak No.04/PJ.5/86 tanggal 25 April 1986, diberikan urutan ketidak patuhan pemenuhan kewajiban perpajakan adalah sebagai berikut: 1. Wajib Pajak sengaja tidak mendaftarkan 2. Wajib Pajak dengan sengaja menyalahgunakan/menggunakan dengan tanpa hak NPWP 3. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT 4. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/ tidak lengkap/ melampirkan keterangan yang tidak benar 5. Wajib
Pajak
dengan
sengaja
memperlihatkan
pembukuan
pencatatan/ dokumen lain yang palsu/ dipalsukan seolah-olah benar 6. Wajib pajak dengan sengaja tidak bersedia meminjam pembukuan, catatan/ dokumen lainnya. Sebagaimana telah disebutkan, PTKP merupakan pengurang dari Pajak Penghasilan Pasal 21 Wajib Pajak dalam negeri. Sehingga semakin tinggi PTKP yang ditetapkan, maka pajak yang disetorkan atas penghasilan tersebut semakin kecil. Maka diharapkan kepatuhan pembayaran pajak akan semakin meningkatkan dalam
36
melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) dan membayar pajaknya dengan tepat waktu. Dan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nuritomo (2008) yang berjudul “Pengaruh Peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak Terhadap Penerimaan Pajak studi pada KPP Yogyakarta satu”, diketahui hasil penelitian menunjukan bahwa peningkatan PTKP member pengaruh yang besar terhadap penerimaan pajak penghasilan pasal 21. Penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 mengalami penurunan sebear 26,04% dengan diberlakukan PTKP baru ini. Pajak Penghasilan Pasal 21 dikenakan kepada para pekerja yang menerima gaji atau penghasilan yang relatif srabil. Gaji cenderung jarang berfluktuasi jika dibandingkan dengan Wajib Pajak.
2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka penulis menyajikan model hipotesis sebagai berikut:
H :
Kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak
Perubahan Penerimaan Pajak Penghasilan
(X)
(Y)
kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak berpengaruh signifikan terhadap Perubahan Penerimaan Pajak Penghasilan.
37
H :
Kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berpengaruh signifikan terhadap Perubahan Penerimaan Pajak Penghasilan.