BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori 1. Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan
penginderaan
terhadap
suatu
objek
tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoadmodjo, 2007). a. Proses Adopsi perilaku Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Roger mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut proses yang berurutan yaitu : 1) Awarenes (kesadaran) Yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu
2) Interest (merasa tertarik) Yakni orang mulai tertarik kepada stimulus 3) Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya) Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi 4) Trial (Mencoba) Orang telah mulai mencoba perilaku baru 5) Adoption (Adaptasi) Subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. b. Tingkat Pengetahuan di Dalam domain Kognitif Menurut Notoadmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu : 1) Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari
antara
lain
menyebutkan,
menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan, dan Sebagainya. 2) Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjalankan secara
benar
tentang
objek
yang
diketahui
dan
dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh , menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3) Aplikasi (aplication) Aplikasi
dapat
diartikan
sebagai
kemampuan
untuk
menggunakan materi yan telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cyclel) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
4) Analisis (analisis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,
seperti
dapat
menggambarkan
(membuat
bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. 5) Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formula-formula yang sudah ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan sendiri dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan tersebut. c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan : Menurut Notoatmodjo (2003) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan : 1) Faktor internal Meliputi : a) Jasmani Faktor jasmani diantaranya adalah keadaan indera seseorang b) Rohani Faktor Rohani diantaranya adalah kesehatan psikis, intelektual, psikomotor serta kondisi efektif dan konatif individu 2) Faktor eksternal Meliputi : a) Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan tersebut.
b) Paparan media massa Melalui bermacam-macam media baik cetak maupun elektronik berabagai informasi dapat diterima, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak dibandin dengan orang yang tidak terpapar informasi media massa. Ini berarti paparan media massa mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. c) Status ekonomi Tingkat status ekonomi dapat mempengaruhi pengetahuan dimana, dalam memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder. Keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih tercukupi dibanding keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini juga berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan sekunder. d) Hubungan sosial Manusia adalah mahluk sosial dimana dalam kehidupan saling berinteraksi satu sama lain. Individu yang dapat berinteraksi secara kontinyu akan dapat lebih mudah mendapatkan informasi.
Sementara
faktor
hubungan
sosial
juga
mempengaruhi kemampuan individu sebagai komunikan untuk menerima pesan menurut model komunikasi media. e) Pengalaman Pengalaman individu tentang berbagai hal bisa diperoleh dari tingkat kehidupan dalam proses perkembangannya. Misal
sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang mendidik seperti seminar. f) Akses layanan kesehatan Mudah atau sulitnya mengakses layanan kesehatan tentunya akan berpengaruh terhadap pengetahuan dalam hal kesehatan. d. Apabila konsep Blum yang menjelaskan bahwa derajat kesehatan itu dipengaruhi oleh 4 faktor utama, yakni lingkungan, perilaku, palayanan kesehatan, dan keturunan (hederitas), maka promosi kesehatan adalah sebuah intervensi terhadap faktor perilaku (konsep Green). Yang didalamnya juga dilakukan intervensi pemberian penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan. Oleh sebab itu, intervensi
pendidikan
(promosi)
hendaknya
dimulai
dengan
mendiagnosis ke-3 faktor penyebab (determinan) tersebut, kemudian intervensinya juga diarahkan terhadap 3 faktor tersebut. Pendekatan ini disebut model precede, yakni predisposing, reinforcing and enabling couse in educational diagnosis and evaluation. maka menurut Notoatmodjo (2007) kegiatan pendidikan kesehatan juga ditujukan kepada 3 faktor berikut : (1) Promosi kesehatan dalam faktor-faktor predisposisi Dalam hal ini pendidikan atau promosi kesehatan ditujukan untuk menggugah kesadaran, memberikan atau meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Disamping itu dalam konteks ini promosi kesehatan
juga
memberikan
pengertian
tentang
tradisi,
kepercayaan
masyarakat, dan sebagainya, baik yang merugikan ataupun yang menguntungkan kesehatan. Bentuk pendidikan ini antara lain penyuluhan kesehatan, pameran kesehatan, iklan-iklan layanan kesehatan, spanduk, billboard, dan sebagainya. (2) Promosi kesehatan dalam faktor-faktor enabling Karena faktor pemungkin (enabling) ini berupa fasilitas atau sarana dan prasarana kesehatan, maka bentuk pendidikan kesehatan adalah
memberdayakan
masyarakat
agar
mereka
mampu
mengadakan sarana dan prasarana kesehatan bagi mereka. Hal ini dengan memberikan kemampuan bantuan secara teknik (pelatihan dan bimbingan), memberikan arahan, dan cara-cara mencari dana untuk pengadaan sarana dan prasarana. Bentuk pendidikan sesuai dengan
prinsip
Pengorganisasian
ini
antara
Masyarakat
lain: (PPM),
Pengembangan upaya
dan
peningkatan
pendapatan keluarga (income generating), bimbingan koperasi, dan lain-lain, yang memungkinkan tersedianya polindes, pos obat desa, dan dana sehat. (3) Promosi kesehatan dalam faktor reinforcing Faktor ini menyangkut sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, serta petugas termasuk petugas kesehatan. Promosi kesehatan yang tepat adalah dalam bentuk pelatihan bagi toga, toma, dan petugas kesehatan sendiri. Undang-undang perkawinan
merupakan faktor reinforcing terhadap para remaja untuk menunda perkawinannya sampai umur yang cukup memenuhi persyaratan untuk kesehatan. e. Proses penerimaan informasi/pengetahuan Menurut
Ardianto
(2005)
tokoh
Everett
M.
Rogers
mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi contohnya pengetahuan dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu diantara para anggota suatu sistem sosial. Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Sedangkan komunikasi didefinisikan sebagai proses dimana para pelakunya menciptakan informasi dan saling bertukar informasi tersebut untuk mencapai pengertian
bersama.
Di dalam
pesan itu terdapat
ketermasaan (newness) yang memberikan cirri khusus kepada difusi yang menyangkut ketakpastian (uncertainty). Derajat ketidakpastian seseorang akan dapat dikurangi dengan jalan memperoleh informasi. Unsur utama difusi adalah 1) Inovasi 2) yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu 3) dalam jangka waktu tertentu 4) diantara para anggota suatu sistem sosial.
Inovasi adalah suatu ide, karya atau objek yang dianggap baru oleh seseorang. Ciri-ciri inovasi yang dirasakan oleh para anggota suatu sistem sosial menentukan tingkat adopsi : 1) relative advantage adalah suatu derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik daripada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan relatif tersebut dapat diukur secara ekonomis, tetapi faktor prestasi sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan unsur penting. 2) Compatibility adalah suatu derajat dimana inovasi dirasakan ajeg atau konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman dan kebutuhan mereka yang melakukan adopsi. 3) Complexity adalah mutu derajat dimana inovasi dirasakan sukar untuk dimengerti dan dipergunakan. 4) Observability adalah suatu derajat dimana inovasi dapat disaksikan oleh orang lain. Umumnya aplikasi komunikasi massa yang utama berkaitan dengan proses adopsi inovasi (hal-hal/nilai baru). Hal ini sangat relevan baik pada masyarakat sedang berkembang maupun masyarakat yang sudah maju. Kondisi perubahan sosial dan teknologi dalam masyarakat melahirkan kebutuhan yang dapat menggantikan metode lama dengan metode yang baru. Semua itu menyangkut komunikasi massa karena berada dalam situasi dimana perubahan potensial bermula dari riset
ilmiah, dan kebijaksanaan umum yang harus diterapkan oleh masyarakat. Everett M. Rogers (2003) dalam Ardianto (2005) mengemukakan bahwa teori difusi inovasi dalam prosesnya ada 4 tahap yaitu: pengetahuan, persuasi, keputusan dan konfirmasi. 1) Pengetahuan : kesadaran individu akan adanya inovasi dan pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi 2) Persuasi : Individu membentuk sikap setuju atau tidak setuju terhadap inovasi 3) Keputusan : Individu melibatkan diri pada aktifitas yang mengarah pada pilihan untuk menerima atau menolak inovasi 4) Konfirmasi : Individu mencari pengetahuan (dukungan) terhadap keputusan yang telah dibuatnya, tapi ia mungkin saja berbalik keputusan jika ia memperoleh isi persyaratan yang bertentangan 2. Kehamilan Menurut Rustam (1998) yaitu terjadi proses permulaan kehamilan yakni, Setiap bulan wanita melepaskan 1 atau 2 sel telur (ovum) dari indung telur (ovulasi) yang ditangkap oleh umbai-umbai (frimbiae) dan masuk ke dalam saluran telur. Waktu persetubuhan, cairan semen tumpah ke dalam vagina dan berjuta-juta sel mani (sperma) bergerak memasuki rongga rahim lalu masuk ke saluran telur. Pembuahan sel telur oleh sperma biasanya terjadi di bagian yang menggembung di tuba fallopi.
Disekitar sel telur, banyak terkumpul sperma yang mengeluarkan ragi untuk mencairkan zat-zat yang melindungi ovum. Kemudian pada tempat yang paling mudah dimasuki, masuklah satu sel mani dan kemudian bersatu dengan sel telur. Peristiwa ini disebut pembuahan (konsepsi = fertilisasi) Ovum yang telah dibuahi ini segera membelah diri sambil bergerak (oleh rambut getar tuba )menuju ruang rahim, kemudian melekat pada mukosa rahim untuk selanjutnya bersarang di ruang rahim , peristiwa ini disebut nidasi (implantasi). Dari pembuahan sampai nidasi diperlukan waktu kira-kira 6-7 hari. Untuk menyuplai darah dan zat-zat makanan bagi mudigah dan janin, dipersiapkan uri (plasenta). Jadi dapat dikatakan bahwa untuk setiap kehamilan harus ada ovum (sel telur), spermatozoa (sel mani), Pembuahan (konsepsi = fertilisasi), nidasi, dan plasentasi. Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi (Hanafiah, 2008). Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester kesatu berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke-13 hingga ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 hingga ke-40) (Hanafiah, 2008).
Menurut Manuaba (1998) kehamilan dibagi menjadi tiga triwulan, yaitu : 1) Triwulan pertama : 0 sampai 12 minggu 2) Triwulan kedua : 13 sampai 28 minggu 3) Triwulan ketiga : 29 sampai 42 minggu 3. Primigravida Adalah seorang wanita yang hamil untuk pertama kali (Rustam, 1998). Primigravida adalah seorang wanita yang hamil untuk pertama kali. Wanita yang pertama kali hamil sedangkan umurnya dibawah 20 tahun disebut pimigravida muda. Usia terbaik untuk seorang wanita hamil antara usia 20 tahun hingga 35 tahun. Sedangkan wanita yang pertama hamil pada usia diatas 35 tahun disebut primigravida tua. Primigravida muda termasuk didalam kehamilan risiko tinggi (KRT) dimana jiwa dan kesehatan ibu dan atau bayi dapat terancam. Risiko kematian maternal pada primigravida muda jarang dijumpai dari pada primigravida tua. Dikarenakan pada primigravida muda dianggap kekuatannya masih baik. (Manuaba, 2007) 4. Perdarahan Pada Kehamilan Muda Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya perdarahan. Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan muda sering dikaitkan dengan kejadian abortus, misscarriage, early pregnancy loss. Perdarahan pada kehamilan muda dikenal beberapa istilah sesuai dengan pertimbangan masing-masing, setiap terjadinya perdarahan pada kehamilan maka harus selalu berfikir tentang akibat dari
perdarahan ini yang menyebabkan kegagalan kelangsungan kehamilan (Hadijanto, 2008). a. Abortus 1) Definisi Adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram (Hadijanto, 2008). Berdasarkan jenisnya Sujiyatini dkk (2009) menyebutkan abortus dibagi menjadi: a) Abortus Imminens (threatened) Suatu abortus imminens dicurigai bila terdapat pengeluaran vagina yang mengandung darah, atau perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan. Suatu abortus iminens dapat atau tanpa disertai rasa mules ringan, sama dengan pada waktu menstruasi atau nyeri pinggang bawah. Perdarahan pada abortus imminens seringkali hanya sedikit, namun hal tersebut berlangsung beberapa hari atau minggu. Pemeriksaan vagina pada kelainan ini memperlihatkan tidak adanya pembukaan serviks. Sementara pemeriksaan dengan real time ultrasound pada panggul menunjukkan ukuran kantong amnion normal, jantung janin berdenyut, dan kantong amnion kosong, serviks tertutup, dan masih terdapat janin utuh.
b) Abortus Insipien (inevitable) Merupakan suatu abortus yang tidak dapat dipertahankan lagi ditandai dengan pecahnya selaput janin dan adanya pembukaan serviks. Pada keadaan ini didapatkan juga nyeri perut bagian bawah atau nyeri kolek uterus yang hebat. Pada pemeriksaan vagina memperlihatkan dilatasi osteum serviks dengan bagian kantung konsepsi menonjol. Hasil Pemeriksaan USG mungkin didapatkan jantung janin masih berdenyut, kantung gestasi kosong (5-6,5 minggu), uterus kosong (3-5 minggu) atau perdarahan subkorionik banyak di bagian bawah. c) Abortus Incompletus (incomplete) Adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa yang tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vagina, canalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam cavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari osteum uteri eksternum. Pada USG didapatkan endometrium yang tipis dan ireguler. d) Abortus Completus (complete) Pada
abortus
completus
semua
hasil
konsepsi
sudah
dikeluarkan. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, osteum uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Selain ini, tidak ada lagi gejala kehamilan dan uji kehamilan
menjadi negatif. Pada Pemeriksaan USG didapatkan uterus yang kosong. e) Missed Abortion Adalah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. f) Abortus Habitualis (habitual abortion) Adalah abortus spontan yang terjadi berturut-turut tiga kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, namun kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu. 2) Etiologi (Sujiyatini dkk, 2009) a) Hal yang dapat menyebabkan abortus dapat dibagi menjadi : (1) Infeksi akut virus, misalnya cacar, rubella, hepatitis, infeksi bakteri, misalnya streptokokus. Parasit, misalnya malaria. (2) Infeksi kronis Sifilis, biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua. Tuberkulosis paru, aktif, pneumonia. Keracunan, misalnya keracunan tembaga, timah, air raksa, dll. b) Penyakit kronis, misalnya: hipertensi, nephritis, diabetes, anemia berat, penyakit jantung, toxemia gravidarum, gangguan fisiologis misalnya syok, ketakutan. c) Penyebab yang bersifat lokal: Fibroid, inkompetensia serviks, radang pelvis kronis, endometritis, retroversi kronis, hubungan seksual yang berlebihan sewaktu hamil sehingga menyebabkan
hiperemia atau abortus, kelainan alat kandungan, lingkungan yang kurang sempurna. Penyakit plasenta, misalnya inflamasi dan degenerasi abortus spontan dapat terjadi pada trimester pertama kehamilan yang meliputi 85% dari kejadian abortus spontan dan
cenderung
disebabkan oleh faktor-faktor fetal. Sementara abortus spontan yang terjadi pada trimester kedua lebih cenderung disebabkan oleh faktor-faktor maternal termasuk inkompentensia serviks, anomali kavum uterus yang kongenital atau didapat, hipotiroid, diabetes mellitus, nefritis kronik, infeksi akut oleh penggunaan kokain, gangguan immunologi, dan gangguan psikologis tertentu. 3) Patofisiologi Abortus biasanya disertai dengan perdarahan di dalam desidua basalis dan perubahan nekrotik di dalam jaringan-jaringan yang berdekatan dengan tempat perdarahan. Ovum yang terlepas sebagian atau seluruhnya dan mungkin menjadi benda asing di dalam
uterus
sehingga
merangsang
kontraksi
uterus
dan
mengakibatkan pengeluaran janin (Sujiyatini dkk, 2009). 4) Diagnosis Abortus dapat diduga bila seorang wanita dalam masa reproduksi mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami haid terlambat, sering pula terdapat rasa mulas. Kecurigaan tersebut dapat diperkuat dengan ditentukannya
kehamilan muda pada pemeriksaan bimanual dan imunologi (Pregnosticon, Gravindex) bilamana hal tersebut dilakukan. Harus diperhatikan macam dan banyaknya perdarahan, pembukaan serviks, dan adanya jaringan dalam kavum uterus atau vagina (Sujiyatini dkk, 2009). 5) Komplikasi Komplikasi yang serius kebanyakan terjadi pada fase abortus yang tidak aman (unsafe abortion) walaupun kadang-kadang dijumpai juga pada abortus spontan. Komplikasi dapat berupa perdarahan, kegagalan ginjal, infeksi, syok akibat perdarahan dan infeksi sepsis (Sujiyatini dkk, 2009). a) Perdarahan Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisasisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya. b) Perforasi Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini penderita perlu diamati dengan teliti jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparotomi, dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan
oleh seorang awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparotomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi. c) Infeksi Infeksi dalam uterus dan adneksa dapat terjadi dalam setiap abortus tetapi biasanya didapatkan pada abortus inkomplet yang berkaitan erat dengan suatu abortus yang tidak aman (unsafe abortion). d) Syok Syok pada abortus bias terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat (syok endoseptik) 6) Pemeriksaan penunjang Tes kehamilan: positif bila janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah abortus. Pemeriksaan Doppler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup. Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion (Sujiyatini dkk, 2009). 7) Penatalaksanaan Penatalaksanaan abortus berulang dibutuhkan anamnesis yang terarah mengenai riwayat suami istri dan pemeriksaan fisik ibu
baik secara anatomis maupun laboratorik. Apakah abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester kedua juga penting untuk diperhatikan. Jika terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari sesuai kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang. Bila terjadi pada trimester kedua maka faktor-faktor penyebab lain cenderung pada faktor anatomis terjadinya inkompentensia serviks dan adanya tumor mioma uteri serta infeksi yang berat pada uterus atau serviks. Tahap-tahap penatalaksanaan tersebut menurut Sujiyatini dkk (2009) meliputi : a) Riwayat penyakit dahulu: (1) Kapan abortus terjadi, apakah pada trimester pertama atau trimester berikutnya, adakah penyebab mekanis yang menonjol. (2) Mencari kemungkinan adanya toksin, lingkungan dan pecandu obat terlarang. Infeksi ginekologi dan obstetri (3) Gambaran asosiasi terjadinya “antiphospholipid syndrome” (thrombosis, fenomena autoimun, false positive test untuk sifilis) (4) Faktor genetika antara suami istri (consanguinity) (5) Riwayat keluarga yang pernah mengalami terjadinya abortus berulang dan sindroma yang berkaitan dengan
kejadian abortus ataupun partus prematurus yang kemudian meninggal. (6) Pemeriksaan diagnostik yang terkait dan pengobatan yang pernah didapat. b) Pemeriksaan fisik : (1) Pemeriksaan fisik secara umum (2) Pemeriksaan ginekologi c) Pemeriksaan laboratorium: (1) Kariotik darah tepi kedua orang tua (2) Histerosangografi
diikuti
dengan
histeroskopi
atau
laparoskopi bila ada indikasi (3) Biopsi endometrium pada fase luteal (4) Pemeriksaan hormon TSHdan antibodi anti tiroid (5) Antibodi antifosfolipid (cardiolipin, fosfatidilserin) (6) Lupus antikoagulan (apartial thromboplastin time atau russel viper venom) (7) Pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit (8) Kultur
cairan
serviks
(mycoplasma,
ureaplasma,
chlamydia) bila diperlukan 8) Pengobatan Sujiyatini
dkk,
(2009)
menyatakan
setelah
didapatkan
anamnesis yang maksimal, bila sudah terjadi konsepsi baru pada ibu dengan riwayat abortus berulang maka support psikologis
untuk pertumbuhan embrio intra uterin yang baik perlu diberikan pada ibu. Kenali kemungkinan tejadinya anti fosfolipid syndrome atau mencegah terjadinya infeksi intra uterine. Pemeriksaan kadar HCG secara periodik pada awal kehamilan dapat membantu pemantauan kelangsungan kehamilan sampai pemriksaan
USG dapat
dikerjakan.
Gold
standard
untuk
monitoring kehamilan dini adalah pemeriksaan USG, dikerjakan setiap dua minggu sampai kehamilan ini tidak mengalami abortus. Pada keadaan embrio tidak terdapat gerakan jantung janin maka perlu segera dilakukan evakuasi serta pemeriksaan koriotip jaringan hasil konsepsi tersebut. Pemeriksaan serum á-fetoprotein perlu dilakukan pada usia kehamilan 16-18 minggu. Pemeriksaan koreotip dari buah kehamilan dapat dilakukan dengan amniosintesis air ketuban untuk menilai bagus atau tidaknya kehamilan. Bila belum terjadi kehamilan, pengobatan dilakukan sesuai dengan hasil penilaian yang ada. Pengobatan disini termasuk memperbaiki kualitas sel telur atau spermatozoa, kelainan anatomi, kelainan endokrin, infeksi dan berbagai variasi hasil pemeriksaan reaksi immunologi. Pengobatan pada penderita yang mengidap pecandu obat-obatan perlu dilakukan juga. Konsultasi psikologi juga akan sangat membantu.
Bila kehamilan kemudian berakhir dengan kegagalan lagi maka pengobatan secara intensif harus dikerjakan secara bertahap baik perbaikan kromosom, anomaly anatomi, kelainan endokrin, infeksi, faktor immunologi, anti fosfolipid sindrom, terapi immunoglobulin atau immunomodulator perlu diberikan secara berurutan. Hal ini merupakan
suatu
pekerjaan
yang
besar
dan
memerlukan
pengamatan yang memadai untuk mendapatkan hasil yang maksimal. b. Kehamilan ektopik 1) Definisi Ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dari 95% kehamilan ektopik berada di saluran telur (tuba Fallopii). Kejadian kehamilan ektopik tidak sama diantara senter pelayanan kesehatan. Hal ini bergantung pada kejadian salpingitis seseorang. Di Indonesia kejadian sekitar 5-6 per seribu kehamilan. Patofisiologi terjadinya kehamilan ektopik tersering karena sel telur yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju endometrium tersendat sehingga embrio sudah berkembang sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya akan tumbuh di luar rongga rahim. Bila kemudian tempat nidasi tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan besarnya buah kehamilan, akan terjadi rupture dan menjadi kehamilan ektopik terganggu (Hadijanto, 2008).
Berdasarkan
lokasi
terjadinya,
menurut
Hadijanto
(2008)
kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5 berikut ini : a) Kehamilan tuba, meliputi >95 % yang terdiri atas Pars ampularis (55%), Pars ismika (25%), pars fimbriae (17%), dan pars interstisialis (2%) b) Kehamilan ektopik lain (<5%) antara lain terjadi di serviks uterus, ovarium, atau abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan kehamilan abdominal sekunder dimana semula merupakan kehamilan tuba pars abdominalis (abortus tubaria) yang kemudian embrio/buah kehamilannya mengalami reimplantasi
di
kavum
abdomen,
misalnya
di
mesenterium/mesovarium atau di omentum. c) Kehamilan intraligamenter , jumlahnya sangat sedikit d) Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda dimana satu janin berada di kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik. Kejadian sekitar satu per 15.000-40.000 kehamilan. e) Kehamilan ektopik bilateral, kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun sangat jarang terjadi 2) Etiologi Menurut Sujiyatini (2009) kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur dari indung telur (ovarium) ke
rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor risiko yang diperkirakan sebagai penyebabnya adalah : a) Infeksi
saluran
telur
(salpingitis),
dapat
menimbulkan
gangguan pada motilitas saluran telur. b) Riwayat operasi tuba c) Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang d) Kehamilan ektopik sebelumya e) Aborsi tuba dan pemakaian IUD f) Kelainan zigot yaitu kelainan kromosom g) Bekas radang pada tuba menyebabkan perubahan-perubahan pada endosalping, sehingga walaupun fertilisasi dapat terjadi, gerakan ovum ke uterus terlambat h) Opersai plastik pada tuba i) Abortus buatan 3) Patofisiolagi Sujiyatini dkk (2009) menyebutkan terdapat gangguan mekanik terhadap ovum yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Pada suatu saat kebutuhan embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba. Ada kemungkinan akibat dari hal ini : a) Kemungkinan “tuba abortion”, lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya terjadi pada kehamilan ampulla, darah
yang keluar dan kemudian masuk ke rongga peritoneum biasanya tidak begitu banyak karena dibatasi oleh tekanan dari dinding tuba. b) Kemungkinan
ruptur
dinding
tuba
ke
dalam
rongga
peritoneum, sebagai akibat dari distensi berlebihan tuba. c) Faktor abortus ke dalam lumen tuba. Ruptur dinding tuba sering terjadi bila berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit hingga banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian. 4) Diagnosis Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara dapat ditegakkan, antara lain dengan melihat : a) Anamnesis dan gejala klinis Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat atau tidak ada perdarahan pervaginam, ada nyeri perut kanan/kiri bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum. b) Pemeriksaan fisik (1) Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa
(2) Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen. (3) Pemeriksaan ginekologis (4) Pemeriksaan dalam: serviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uterus kanan dan kiri. 5) Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi yaitu (Sujiyatini dkk, 2009): a) Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, ini merupakan indikasi operasi. b) Infeksi c) Sterilitas d) Pecahnya tuba fallopi e) Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya embrio. 6) Pemeriksaan penunjang (Sujiyatini dkk, 2009) a) Pemeriksaan laboratorium: kadar hemoglobin, leukosit, tes kehamilan bila baru terganggu b) Dilatasi kuretase
c) Kuldosintesis yaitu suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah di dalam cavum douglasi terdapat darah. Teknik kuldosintesis : (1) Baringkan pasien pada posisi litotomi (2) Bersihkan vulva dan vagina dengan antiseptic (3) Pasang speculum dan jepit bibir belakang porsio dengan cunam serviks. Lakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak. (4) Suntikan jarum spinal no.18 ke cavum douglasi dan lakukan pengisapan dengan semprit 10 ml. (5) Bila pada penghisapan keluar darah, perhatikan apakah darahnya berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku atau berupa bekuan kecil yang merupakan tanda hematokel retrouterina. d) Ultrasonografi berguna pada 5-10% kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus e) Laparoskopi atau laparotomi sebagai pendekatan diagnosis terakhir. 7) Penatalakasanaan Penanganan KET pada umumnya adalah laparotomi. Pada laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari adneksa yang menjadi sumber pardarahan. Keadaan umum penderita terus diperbaiki dan dalam rongga perut
sebanyak mungkin dikeluarkan. Dalam tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbagkan yaitu kondisi penderita, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik. Hasil ini menetukan apakah perlu dilakukan salpingektomi (pemotongan bagian tuba yang terganggu) pada kehamilan tuba. Dilakukan pemantauan terhadap kadar hCG (kuantitatif). Peningkatan kadar hCG yang berlangsung terus menerus menandakan masih adanya jaringan ektopik yang belum terangkat. Penanganan pada kehamilan ektopik dapat pula dengan transfusi, infus, oksigen, atau kalau dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika dan antiinflamasi. Sisa-sisa darah dikeluarkan dan dibersihkan sedapat mungkin supaya penyembuhan lebih cepat dan harus dirawat inap di rumah sakit (Sujiyatini dkk, 2009). c. Mola hidatidosa 1) Definisi Adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa millimeter sampai 1 atau 2 cm.
Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa ialah edema stroma vill, tidak ada pembuluh darah villi/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas (Hadijanto, 2008). 2) Etiologi Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun menurut Rustam (1998) faktor penyebabnya adalah : a) Faktor ovum yang memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan b) Imunoselektif dari trofoblas c) Keadaan sosio ekonomi yang rendah, paritas tinggi d) Kekurangan protein e) Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas 3) Patofisiologi Wilson (2000) dalam Sujiyatini dkk (2009) menyebutkan bahwa mola hidatidosa dapat terbagi menjadi: a) Mola Hidatidosa komplet (klasik), jika tidak ditemukan janin b) Mola Hidatidosa inkomplet (parsial), jika disertai janin atau bagian janin Atau beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblas yaitu teori missed abortion. Mudigah mati pada kehamilan 3-5 minggu karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan masenkim dari vili dan akhirnya terbentuklah gelembung-
gelembung. Teori neoplasma dari Park, Sel-sel trofoblas adalah abnormal dan memiliki fungsi yang abnormal dimana terjadi reabsorbsi cairan yang berlebihan ke dalam vili sehingga timbul gelembung. Studi dari Hertig lebih menegaskan lagi bahwa mola hidatidosa semata-mata akibat akumulasi cairan yang menyertai degenerasi awal atau tidak adanya embrio komplit pada minggu ke tiga dan ke lima. Adanya sirkulasi maternal yang terus menerus dan tidak adanya fetus menyebabkan trofoblas berproliferasi dan melakukan fungsinya selama pembentukan cairan. 4) Gejala-gejala dan tanda Menurut Hadijanto (2008) pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan biasa yaitu mual, muntah, pusing, dan lain-lain, hanya saja derajat keluhannya sering lebih hebat. Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga pada umumnya besar uterus lebih besar dari umur kehamilan. Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sama besar walaupun
jaringannya
belum
dikeluarkan.
Dalam
hal
ini
perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu aktif sehingga perlu dipikirkan kemungkinan adanya dying mole. Perdarahan merupakan gejala utama mola. Biasanya keluhan perdarahan inilah yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan
bias intermiten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia. Seperti juga pada kehamilan biasa, mola hidatidosa bisa disertai dengan pre-eklampsia (eklampsia), hanya perbedaannya ialah bahwa pre-eklampsia pada mola terjadinya lebih mudah daripada kehamilan biasa. Penyulit lain yang akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan ialah tirotoksikosis. Maka, dianjurkan agar tiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif seperti kita selalu mencari tanda-tanda pre-eklampsia pada tiap kehamilan biasa. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid. Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru-paru. Pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke paru-paru tanpa memberikan gejala apapun. Akan tetapi, pada mola kadang-kadang jumlah sel trofoblas ini sedemikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru-paru akut yang bisa menyebabkan kematian. Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral meupun bilateral. Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasus-kasus dimana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Dengan pemeriksaan klinis insidensi kista lutein lebih kurang 10,2%, tetapi bila menggunakan USG angkanya meningkat sampai 50%. Kasus
mola dengan kista lutein mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk mendapat degenerasi keganasan dikemudian hari daripada kasuskasus tanpa kista. 5) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang mola hidatidosa (Sujiyatini, 2009) : a) Foto torax b) hCG urine atau serum c) USG d) Uji sonde menurut Hanifa. Tandanya yaitu sonde yang dumasukkan tanpa tahanan dan dapat diputar 360 derajat dengan deviasi sonde kurang dari 10 derajat. e) T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis. 6) Penanganan umum a) Diagnosis dini akan menguntungkan prognosis b) Pemeriksaan ultrasonografi sangat membantu diagnosis. Pada fasilitas kesehatan dimana sumberdaya sangat terbatas, dapat dilakukan : (1) Evaluasi klinik dengan fokus pada : (a) Riwayat haid terakhir dan kehamilan (b) Perdarahan tidak teratur atau spotting (c) Pembesaran abnormal uterus (d) Pelunakan serviks dan korpus uteri (2) Kajian uji kehamilan dengan pengenceran urin
(3) Pastikan tidak ada janin (ballotement) atau denyut jantung janin sebelum upaya diagnosis dengan perasat Hanifa Wiknjosastro atau Acosta Sisson c) Lakukan pengosongan jaringan mola dengan segera d) Antisipasi komplikasi (krisis tiroid, perdarahan hebat atau perforasi uterus) e) Lakukan
pengamatan
lanjut
hingga
minimal
1
tahun
pascaevakuasi 7) Penanganan khusus a) Segera lakukan evakuasi jaringan mola dan sementara proses evakuasi berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml NS atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes per menit (sebagai tindakan preventif terhadap perdarahan hebat dan efektifitas kontraksi terhadap pengosongan uterus secara cepat) b) Pengosongan dengan Aspirasi Vakum lebih aman dari Kuretase Tajam. Bila sumber vakum adalah tabung manual, Siapkan peralatan AVM minimal 3 set agar dapat digunakan secara bergantian hingga pengosongan kavum uteri selesai. c) Kenali dan tangani komplikasi penyerta seperti tiritoksikosis atau krisis tiroid baik sebelum, selama dan setelah prosedur evakuasi. d) Anemia sedang cukup diberikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari, untuk anemia berat lakukan transfusi.
e) Kadar hCG diatas 100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai risiko tinggi untuk perubahan kearah ganas, pertimbangankan untuk memberikan methotrexate (MTX) 3-5 mg/kgBB atau 25 mg IM dosis tunggal f) Lakukan pemantauan kadar hCG hingga minimal 1 tahun pasacaevakuasi. Kadar yang menetap atau meninggi setelah 8 minggu pasacaevakuasi menunjukkan masih terdapat trofoblas aktif (di luar uterus atau invasif); berikan kemoterapi MTX dan pantauan ß-hCG serta besar uterus secara klinis dan USG tiap 2 minggu. g) Selama pemantauan, pasien dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi hormonal (apabila masih ingin anak) atau tubektomi apabila ingin menghentikan fertilitas. 5. Penyuluhan Menurut azwar (1983) penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan, yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan sesuatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Dengan pengertian seperti ini maka petugas penyuluhan kesehatan, disamping harus menguasai ilmu komunikasi juga harus menguasai pemahaman yang lengkap tentang pesan yang akan disampaikan.
Langkah-langkah Merencanakan Penyuluhan (Machfoedz, 2005) : a. Perencanaan Istilah perencanaan sudah sering didengar baik dalam tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum dan sederhana, dapat dikatakan bahwa “perencanaan ialah serangkaian kegiatan dimana keputusan yang dibuat dituangkan dalam bentuk tindakan-tindakan” . b. Rencana yang Dihasilkan Hendaknya : 1) Sesuai dengan kebutuhan masyarakat 2) Diterima oleh masyarakat 3) Sesuai dengan kebutuhan program 4) Didukung oleh kebijaksanaan yang ada 5) Bersifat praktis dan bisa dilaksanakan sesuai situasi setempat (feasible dan fleksibel) c. Langkah-langkah Dalam Perencanaan Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan terdahulu, maka dapat disusun langkah-langkah perencanaan sebagai berikut (Machfoedz, 2005): 1) Mengenal masalah, masyarakat, dan wilayah Tindakan pertama yang penting ialah mengumpulkan data atau keterangan tentang berbagai hal, yang diperlukan baik untuk kepentingan perencanaan, maupun untuk data awal sebagai pembanding dalam rangka penilaian. Langkah pertama ini akan kita bagi pembahasannya.
2) Menentukan prioritas 3) Menentukan tujuan penyuluhan 4) Menentukan sasaran penyuluhan 5) Menentukan isi penyuluhan 6) Menentukan metode penyuluhan yang akan dipergunakan 7) Memilih alat-alat peraga atau media penyuluhan yang dibutuhkan 8) Menyusun rencana penilaiannya 9) Menyusun rencana kerja/rencana pelaksanaannya d. Tujuan dari penyuluhan yang paling pokok menurut Effendy (1998) adalah : 1) Tercapainya
perubahan
perilaku
individu,
keluarga,
dan
masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. 2) Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. 3) Menurut WHO tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk merubah perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan.
e. Tempat penyelenggaraan Penyelenggaraan penyuluhan kesehatan dapat dilakukan di berbagai tempat menurut Effendy (1998) diantaranya adalah : 1) Di dalam institusi pelayanan Dapat dilakukan di rumah sakit, Puskesmas, rumah bersalin klinik dan sebagainya, yang dapat diberikan secara langsung kepada individu maupun kelompok mengenai penyakit, perawatan, pencegahan penyakit dan sebagainya. Tetapi dapat juga diberikan secara tidak langsung misalnya poster, gambar-gambar, flanfelt, dan sebagainya 2) Di masyarakat Penyuluhan kesehatan di masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan edukatif terhadap keluarga dan masyarakat binaan secara menyeluruh dan terorganisasi sesuai dengan masalah kesehatan dan keperawatan yang dihadapi oleh masyarakat. Agar penyuluhan kesehatan di masyarakat dapat mencapai hasil yang diharapkan diperlukan perencanaan yang matang dan terarah sesuai dengan tujuan program penyuluhan kesehatan masyarakat
berdasarkan
kebutuhan
kesehatan
masyarakat
setempat. Penyuluhan kesehatan masyarakat di masyarakat biasanya berkaitan dengan pembinaan wilayah binaan puskesmas atau oleh karena kejadian yang luar biasa seperti wabah dan lain sebagainya.
f. Materi/pesan Materi atau pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan dari individu, keluarga,
kelompok
dan
masyarakat.
Sehingga
materi
yang
disampaikan dapat dirasakan langsung manfaatnya. Materi yang disampaikan sebaiknya : 1) Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti masyarakat dalam bahasa kesehariannya 2) Materi yang disampaikan tidak terlalu sulit untuk dimengerti oleh sasaran 3) Dalam penyampaian materi sebaiknya menggunakan alat peraga untuk mempermudah pemahaman dan untuk menarik perhatian sasaran. 4) Materi atau pesan yang disampaikan merupakan kebutuhan sasaran dalam masalah kesehatan yang mereka hadapi. g. Metode Effendy (1998) menyebutkan metode yang dipakai dalam penyuluhan
kesehatan
hendaknya
metode
yang
dapat
mengembangkan komunikasi dua arah antara yang memberikan penyuluhan
terhadap
sasaran,
sehingga
diharapkan
tingkat
pemahaman sasaran terhadap pesan yang disampaikan akan lebih jelas dan mudah dipahami, diantaranya metode curah pendapat,
diskusi, demonstrasi, simulasi, bermain peran dan sebagainya, yang akan dijelaskan sebagai berikut. Dari banyak metode yang dapat dipergunakan dalam penyuluhan kesehatan masyarakat, dapat dikelompokkan dalam dua macam metode yaitu : 1) Metode didaktik Pada metode didaktik yang aktif adalah orang yang melakukan penyuluhan kesehatan, sedangkan sasaran bersifat pasif dan tidak diberikan
kesempatan
untuk
ikut
serta
mengemukakan
pendapatnya atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan apapun. Dan proses penyuluhan yang terjadi bersifat satu arah (one way method), yang termasuk dalam metode ini adalah : a) Secara langsung Ceramah b) Secara tidak langsung (1) Poster (2) Media cetak (3) Media elektronik (radio, televisi) 2) Media Sokratik Pada metode ini sasaran diberikan kesempatan mengemukakan pendapat, sehingga mereka ikut aktif dalam proses belajar mengajar, dengan demikian terbinalah komunikasi dua arah antara
yang menyampaikan pesan disatu pihak dengan yang menerima dilain pihak (two way method). Yang termasuk dalam metode ini adalah : a) Langsung : (1) Diskusi (2) Curah pendapat (3) Demonstrasi (4) Simulasi (5) Bermain peran (role playing) (6) Sosiodrama (7) Simposium (8) Seminar (9) Studi kasus, dsb b) Tidak langsung (1) Penyuluhan kesehatan melalui telepon (2) Satelit komunikasi Dari sekian banyak metode yang dapat digunakan dalam memberikan penyuluhan kesehatan, peneliti menggunakan metode ceramah yaitu suatu cara dalam menerangkan dan menjelaskan suatu ide, pengertian atau pesan secara lisan kepada sekelompok sasaran sehingga memperoleh informasi tentang kesehatan.
h. Alat peraga dalam penyuluhan (Effendy, 1998). 1) Definisi Alat peraga (audio visual aid) adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim pesan (penyuluh)
ke
penerima
pesan
(sasaran)
sehingga
dapat
menerangkan pikiran, perasaan, perhatian dan minat sasaran sedemikian rupa sehingga terjadi pemahaman, pengertian dan penghayatan dari apa yang diterangkan 2) Kegunaan alat peraga a) Dapat menumbuhkan minat terhadap kelompok sasaran b) Membantu kelompok sasaran untuk mengerti lebih baik c) Membantu kelompok sasaran untuk mengingat lebih baik d) Membantu kelompok sasaran untuk
meneruskan apa yang
diperoleh kepada orang lain e) Membantu kelompok sasaran untuk menambah atau membina sikap baru 3) Manfaat bagi sasaran a) Dapat melihat nyata inti materi yang disampaikan sehingga lebih mudah untuk dicerna b) Menghindari kejenuhan dan kebosanan c) Mudah mengingat pesan yang disampaikan penyuluh d) Mempermudah pengertian sasaran dalam menangkap makna materi yang disampaikan.
4) Macam-macam alat peraga (Effendy, 1998) a) Poster Definisi : pesan yang singkat dalam bentuk gambar, dengan tujuan untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok agar tertarik pada objek materi yang diinformasikan. b) Leaflet Definisi : selembar kertas yang berisi tulisan cetak tentang sesuatu masalah khususnya untuk suatu sasaran dengan tujuan tertentu. c) Flip chart Definisi : beberapa chart yang telah disususn secara berurutan dan berisi tulisan dengan gambar-gambar yang telah disatukan dengan ikatan atau ring spiral pada bagian pinggir sisi atas. Biasanya jumlah chart lebih dari 12 lembar, berukuran poster lebih besar atau lebih kecil. Dan biasanya memakai kertas tebal.
B. Kerangka Teori Promosi Kesehatan
Komunikasi (Penyuluhan)
Pemberdayaan Masyarakat
Training
Enabling Factors (ketersediaan sumbersumber/fasilitas kesehatan)
Reinforcing Factors (Sikap dan perilaku petugas, peraturan UU)
Predisposing Factors Sikap Kepercayaan Pengetahuan Tradisi/nilai
Perilaku
Pelayanan Kesehatan
Status Kesehatan
Lingkungan
Keturunan Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian Upaya Peningkatan Pengetahuan Ibu Primigravida tentang Perdarahan Antepartum pada Trimester III Sumber : Lawrence Green (1980) dan Blum (1974) dalam Notoatmodjo, 2007 Keterangan :
diteliti
C. Kerangka Konsep
Pre-test : Pengetahuan tentang perdarahan pada kehamilan muda
Gambar 2.2
Intervensi : Penyuluhan tentang perdarahan pada kehamilan muda
Post-test : Pengetahuan tentang perdarahan pada kehamilan muda
Kerangka Konsep Penelitian Upaya Peningkatan Pengetahuan Ibu Primigravida tentang Perdarahan pada Kehamilan muda
D. Hipotesis Ada pengaruh penyuluhan terhadap pengetahuan ibu primigravida tentang perdarahan pada kehamilan muda.