BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lempung Bentonit Tanah lempung merupakan jenis tanah yang mengandung paling banyak bahan – bahan anorganik, dengan ukuran partikel yang lebih kecil dari 2 mikrometer. Bahan – bahan anorganik tersebut terdiri atas fragmen – fragmen batuan, kumpulan mineral – mineral dalam berbagai ukuran dan komposisi serta bahan koloid. Tanah lempung mempunyai tekstur agak kasar, sedang dan halus dengan kemampuan menyerap air yang baik. Lempung terutama tersusun atas aluminium, silikon, dan oksigen sedangkan penyusun lainnya adalah magnesium, besi, alkali dan alkali tanah yang jumlahnya jauh lebih kecil. Lempung tanah dapat dijumpai dalam bentuk kristalin, dan struktur tidak teratur (amorf). Keadaan amorf umumnya tidak mempunyai bentuk yang dapat dikenal ataupun susunan internal atom secara geometris (Tan, 1991). Montmorilonit mempunyai sifat mengadsorpsi karena ukuran partikel koloidnya sangat kecil dan memiliki kapasitas pertukaran kation yang tinggi. Kemampuan mengembang monmorilonit disebabkan oleh adanya penggantian isomorfik pada lapisan oktahedral (Mg oleh Al) dalam menghadapi kelebihan muatan di ujung – ujung kisinya, dimana Mg digantikan oleh Al (Suhala, dan Arifin, 1997). Menurut Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara, montmorillonit merupakan mineral lempung yang terdapat dalam lempung bentonit yang merupakan suatu istilah yang digunakan didalam dunia perdagangan. Bentonit mempunya rumus Al2O3.4SiO2 xH2O terdiri dari 85%
6
7 mineral lempung montmorillonit dengan kation – kation Na+, K+, dan Ca+ yang mudah dipertukarkan (Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Utara, 2000). Secara geologis bentonit dapat terbentuk melalui salah satu proses berikut: 1. Proses pelapukan, pembentukan lempung bentonit oleh pelapukan disebabkan oleh reaksi ion - ion hidrogen yang terdapat dalam air tanah dengan mineral – mineral silikat. Faktor penting yang menyebabkan terbentuknya bentonit dalam proses pelapukan adalah komposisi mineral batuan, komposisi kimia dari air dan daya alir pada batuan. Faktor lain yang juga menentukan adalah iklim, macam batuan, relief serta tumbuh – tumbuhan yang berada diatas batuan. 2. Proses hidrotermal, pada proses hidrotermal atau alterasi hidrotermal tanah dan adanya unsur – unsur logam alkali dan alkali tanah selain kalsium, mineral – mineral mika , fero magnesian dan feldspar plagioklas dapat menyebabkan terbentuknya lempung bentonit. 3. Proses transformasi, transformasi abu gunung api yang mengendap dalam cekungan sedimen seperti danau atau laut dapat pula mengakibatkan terbentuknya lempung bentonit. 4. Pengendapan kimia, bahan galian bentonit dapat terjadi dari endapan sedimen dalam suasana basa.(Widihati, 2002) Berdasarkan jumlah lembar tetrahedral dan octahedral dalam suatu lapisan, montmorillonit merupakan mineral dengan tipe 2 : 1 karena strukturnya dibangun oleh 2 lembar tetrahedral dan satu lembar oktahedral. Bila dibandingkan dengan mineral lempung yang lain, montmorillonit mempunyai banyak kelebihan diantaranya yaitu memiliki kemampuan mengembang (swelling), memiliki kation
8 – kation yang dapat dipertukarkan (exchangeable cations), dapat diinterkalasi, dan dapat dimodifikasi sehingga memiliki sifat – sifat kimia fisik yang lebih baik dari sebelumnya. Kerangka struktur montmorillonit terdiri dari dua lapisan tetrahedral dan satu lapis oktahedral dengan rumus molekul sel satuan Al4Si8O20(OH)4. Struktur tiga dimensi dari montmorillonit ditunjukkan pada gambar 2.1( Tan, 1991).
Gambar 2.1. Struktur Tiga Dimensi dari Montmorillonit Hofmann dan Endell berhipotesis bahwa struktur sel unit yang dianggap simetris. Satu lembar oktahedral aluminium diapit oleh dua lembar tetrahedral silika. Lapisan – lapisan kristal dilaporkan bertumpukan dalam pola acak, sedang beberapa mineral tersebut bahkan berbentuk serat, seperti pada gambar 2.2 (Tan, 1991).
9
Gambar 2.2 Model Struktur Montmorillonit Menurut Hofmann dan Endell (Tan, 1991). Sel – sel satuan dalam montmorillonit saling melekat satu dengan yang lain yang dihubungkan oleh ikatan van der Waals. Ikatan tersebut tidak terlalu kuat sehingga ruang antarlapis masih dapat mengembang jika ada molekul air atau molekul polar yang masuk. Akibat perilakunya tersebut, montmorillonit disebut sebagai lempung mengembang (swelling clay) (Tan, 1991). Mineral – mineral montmorillonit pada umumnya berupa butiran yang sangat halus, sedangkan lapisan penyusunnya tidak terikat dengan kuat. Dalam kontaknya
dengan
air,
mineral
montmorillonit
tersebut
menunjukkan
pengembangan antarlapis yang menyebabkan volemnya meningkat menjadi dua kali lipat. Jarak dasar montmorillonit meningkat secara seragam dengan penyerapan air. Potensi mengembang – mengerut yang tinggi menyebabkan mineral ini dapat menerima dan menyemat ion – ion logam dan senyawa – senyawa organik. Interaksi dengan senyawa organik menghasilkan pembentukan
10 kompleks organik – mineral dimana ion – ion organik menggantikan kation – kation anorganik pada posisi antarlapis (Tan, 1991).
2.2
Rhodamine B Rhodamine B merupakan zat pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal
bewarna kehijauan, dalam bentuk larutan pada konsentrasi berwarna merah keunguan dan konsentrasi rendah berwarna merah terang, termasuk golongan pewarna xanthenes basa, dan terbuat dari metadietilaminofenol dan ftalik anhidrid suatu bahan yang tidak bisa dimakan serta sangat berfluoresensi (Ariani, 2004). Rumus molekul dari rhodamine B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat molekul sebesar 479 g/mol. Sangat larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru- biruan dan berfluorensi kuat (Ariani, 2004).
Gambar 2.3 Struktur Molekul Rhodamine B : C28H31N2O3Cl13 Di dalam Rhodamine B sendiri terdapat ikatan dengan klorin (Cl) yang dimana senyawa klorin ini merupakan senyawa anorganik yang reaktif dan juga berbahaya. Reaksi untuk mengikat ion klorin disebut sebagai sintesis zat warna, disini dapat digunakan Reaksi Frield-Crafts untuk mensintesis zat warna seperti triarilmetana dan xentana. Reaksi antara ftalat anhidrida dengan resorsinol, sedangkan dengan keberadaan seng klorida menghasilkan fluorescein. Apabila
11 resorsinol diganti dengan N-N-dietilaminofenol, reaksi ini akan menghasilkan Rhodamine B (Ariani, 2004). Selain terdapat ikatan Rhodamine B dengan klorin terdapat juga ikatan konjugasi. Ikatan konjugasi dari Rhodamine B inilah yang menyebabkan Rhodamine B berwarna merah. Ditemukannya bahaya yang sama antara Rhodamine B dan klorin membuat adanya kesimpulan bahwa atom Klorin yang ada pada Rhodamine B menyebabkan terjadinya efek toksik bila masuk kedalam tubuh manusia. Atom Cl yang ada sendiri adalah termasuk dalam halogen, dan sifat halogen yang berada dalam senyawa organik akan menyebabkan toksik dan karsinogenik (Ariani, 2004).
2.3
Aktivasi Asam pada Lempung Kapasitas adsorpsi lempung dapat ditingkatkan dengan melakukan aktivasi
terhadap lempung. Aktivasi lempung bentonit dapat dilakukan dengan pemanasan pada temperatur 300 – 3500C. Selain dengan pemanasan aktivasi lempung bentonit juga dapat dilakukan dengan aktivasi asam, hal ini bertujuan untuk menukakan kation seperti Na+, K+, dan Ca2+ yang ada dalam lempung monmorillonit dengan ion H+ dan melepaskan ion Al3+, Fe3+, Mg2+ dan pengotor lainnya dari kisi – kisi struktur, sehingga secara fisik monmorillonit menjadi lebih aktif (Sandra, 2004). Menurut Kumar, dkk,. dalam Armentina (2004), aktivasi asam menyebabkan terjadinya pertukaran ion – ion pada struktur antarlapis yang dipengaruhi oleh valensi ion yang dipertukarkan. Kation yang terdapat dalam ruang antarlapis memiliki kekuatan ikatan yang lebih lemah dibandingkan dengan kation yang terikat pada lapisan sel satuan montmorillonit, sehingga kation
12 tersebut dapat dipertukarkan dengan kation yang lain. Semakin tinggi valensi kation semakin tinggi pula kapasitas tukar kationnya. Ion H+ memiliki afinitas yang tinggi sehingga dapat melakukan banyak pertukaran ion, tetapi
bila
konsentrasi H+ yang direaksikan terlalu tinggi menyebabkan pecahnya situs lempung pada lapisan oktahedral sehingga terjadi pelepasan aluminium dari montmorillonit. Proses pelepasan lempung montmorillonit dari material aluminasilikat dapat dituliskan dengan reaksi sebagai berikut : (Al4)(Si8)O20(OH)4 + 3H+
(Al3)(Si8)O20(OH)2 + Al3+ +2H2O
(Al4)(Si8)O20(OH)4 + 4H+
(Al2)(Si8)O20 + 2Al3+ +4H2O
Aktivasi lempung montmorillonit dapat dipengaruhi oleh konsentrasi asam dan komposisi mineralnya. Asam yang biasanya digunakan untuk aktivasi adalah asam sulfat dan asam klorida. Penelitian yang dilakukan oleh kumar, dkk (1995) menyatakan bahwa lempung yang diberi perlakuan asam sulfat 4 N memiliki keasaman permukaan maksimal, hal ini terjadi karena struktur montmorillonit mengalami perubahan pada lapisa oktahedral sehingga memperbesar luas permukaan dan porositasnya meningkat. Kemampuan asam untuk melarutkan senyawa dalam tanah dapat dilihat dari prosentase kehilangan berat dari tanah selama perlakuan.
2.4
Adsorpsi Salah satu metode yang digunakan untuk menghilangkan zat pencemar
dari air limbah adalah adsorpsi (Rios et al., 1999 dan Saiful et al., 2005). Adsorpsi merupakan proses penjernihan suatu zat pada permukaan zat lain yang disebabkan oleh gaya tarik molekul – molekul pada permukaan adsorben. Mekanisme
13 penyerapan tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu, serapan secara fisika (fisisorpsi) dan serapan secara kimia (kemisorpsi) (Castellan 1982). Bila molekul – molekul teradsorpsi secara fisik, tidak ada ikatan secara langsung antara adsorbat dengan permukaan, adsorbat ditahan oleh gaya – gaya fisik seperti gaya van der waals. Energi adsorpsi yang terlibat pada fisisorpsi sekitar 2 – 10 kkal/mol, berlangsung pada temperatur rendah, dan jumlah zat yang teradsorpsi akan semakin kecil dengan naiknya temperature. Proses fisisorpsi bersifat dapat balik, sehingga memungkinkan desorpsi molekul – molekul yang teradsorpsi pada temperature yang sama, dengan menurunkan tekanan gas atau konsentrasi zat terlarut. Pada kemisorpsi, ada ikatan kimia secara langsung akibat pemakaian bersama electron antara adsorbat dab permukaan. Energi adsorpsi yang terlibat pada komisorpsi sekitar 15 – 100 kkal/mol, dan biasanya berlangsung pada temperatur tinggi, jumlah zat yang teradsorpsi akan semakin besar dengan naiknya temperatur, serta untuk melepaskan kembali adsorbat dari permukaan adsorben diperlukan banyak energi (Suarya, 2005). Tabel 2.1 Perbedaan Adsoprsi Fisik dengan Adsorpsi Kimia Adsorpsi Fisik Melibatkan gaya antarmolekul, seperti gaya van der Waals dan ikatan hidrogen.
Adsorpsi Kimia Melibatkan ikatan kovalen sebagai hasil dari penggunaan bersama pasangan elektron oleh adsorben dengn adsorbat Energi adsorpsi yang terlibat <20 Energi adsorpsi yang terlibat >20 kJ/mol kJ/mol Bersifat reversible ; sangat mudah Bersifat regenerasi ; lebih sulit dihilangkan (dilepas) dilepas Tebal lapis yang diadsorpsi : Tebal lapis yang teradsorpsi : beberapa lapis molekul adsorbat hanya terbentuk lapis tunggal
14 2.4.2
Isoterm adsorpsi Perubahan konsentrasi adsorbat oleh proses adsorpsi sesuai dengan
mekanisme adsorpsinya dapat dipelajari melalui penentuan isoterm adsorpsi yang sesuai. Isoterm Langmuir dan Isoterm Freudlich adalah dua diantara isotermisoterm adsorpsi yang dipelajari: a. Isotherm Langmuir Meskipun terminologi adsorpsi pertama kali diperkenalkan oleh Kayser (1853-1940), penemu teori adsorpsi adalah Irving Langmuir (1881-1957), Nobel laureate in Chemistry (1932). Isoterm adsorpsi Langmuir didasarkan atas beberapa asumsi,yaitu : 1) Adsorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal (monolayer), 2) Panas adsorpsi tidak tergantung pada penutupan permukaan, dan 3) Semua situs dan permukaannya. Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya kesetimbangan antara molekul-molekul zat yang diadsorpsi pada permukaan adsorben dengan molekul-molekul zat yang tidak teradsorpsi. Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat dituliskan sebagai berikut : 𝐶 1 𝐶 = + … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (1) 𝑥/𝑚 𝑏𝐾 𝑏 C merupakan konsentrasi adsorbat dalam larutan, x/m adalah konsentrasi adsorbat yang terjerap per gram adsorben, k adalah konstanta yang berhubungan dengan afinitas adsorpsi dan (x/m)mak adalah kapasitas adsorpsi maksimum dari adsorben. Kurva isoterm adsorpsi Langmuir dapat disajikan seperti berikut.
15
Gambar 2.4 Kurva Isoterm Adsorpsi Langmuir b.
Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich didasarkan atas terbentuknya
lapisan monolayer dari molekul-molekul adsorbat pada permukaan adsorben. Namun pada adsorpsi Freundlich situs-situs aktif pada permukaan adsorben bersifat heterogen. Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich dapat dituliskan sebagai berikut. 𝑥 1 𝐿𝑜𝑔 ( ) = log 𝑘 + log 𝐶 … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . . (2) 𝑚 𝑛 sedangkan kurva isoterm adsorpsinya disajikan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Kurva Isoterm Adsorpsi Freundlich
16 2.5
Interkalasi Interkalasi merupakan suatu proses penyisipan spesies kimia secara
reversibel ke dalam antarlapis suatu struktur yang mudah mengembang (antarlapis silikat montmorillonit) tanpa merusak strukturnya. Spesies kimia yang disisipkan disebut dengan interkalat, sedangkan material tempat interkalat disisipkan disebut interkalan. Spesies kimia umumnya digunakan adalah ion alkilamonium, kation amina bisklis dan beberapa logam komples (Simpen, 2001). Pada penelitian ini yang dipilih sebagai interkalat yaitu surfaktan kationik benzalkonium klorida (BKC) dengan rumus molekul C9H13C1NR. Dimana R merupakan alkil C8H17 sampai C18H37. Surfaktan benzalkonium klorida (BKC) termasuk ke dalam golongan ammonium klorida. Surfaktan jenis ammonium klorida sering digunakan untuk interkalasi karena dapat menghasilkan nanoruang dua dimensi pada antarlapis lempung. Nanoruang dua dimensi ini terjadi melalui interaksi antar ion organoamonium dengan ruang antarlapis lempung dalam lapisan silikat sehingga menyebabkan terbukanya ruang antarlapis yang menghasilkan perubahan pada kisi lempung (Susianah, 2005). Struktur molekul dari benzalkonium klorida (BKC) dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.6 Struktur Molekul Benzalkonium Klorida (BKC)
17 2.6
Metode Metilen Biru Metilen biru atau 3,7-bis (dimetilamino) phenothiacin-5-ion klorid
mempunyai rumus molekul C16H18CIN3S dengan berat molekul 320,5 g/mol. Metilen biru terdiri dari C=0,08%, H=5,67%, Cl=11,08%, dan N=10,00%. Metilen biru dapat membentuk kristal dengan 3, 4, dan 5 mol H2O. Kristal terhidratnya berwarna hijau gelap, berkilauan, dan tidak berbau. Serapan maksimumnya pada panjang gelombang 668 nm. Metilen biru larut dalam air dan alkohol dan digunakan sebagai pewarna dalam bakteriologi, sebagai indikator redoks, antidote sianida, dan antiseptik dalam kedokteran hewan (Astari, 2008).
Gambar 2.7 Struktur Molekul Metilen Biru
2.7
Titrasi Asam Basa Analisis titrimetri mengacu pada analisis kimia kuantitatif yang dilakukan
dengan menetapkan volume suatu larutan yang konsentrasinya diketahui dengan tepat. Larutan dengan kekuatan (konsentrasi) yang diketahui dengan tepat itu disebut larutan standar. Larutan standar biasanya ditambahkan dari dalam sebuah buret. Proses penambahan larutan standar sampai reaksi tepat lengkap disebut titrasi (Vogel, 1994). Analisis volumetri (titrimetri) adalah suatu teknik analisis
18 didasarkan atas pengukuran zat baku dengan jumlah tertentu dan konsentrasi tertentu yang bereaksi dengan sejumlah analit. Reaksi yang terjadi antara zat baku dengan analit harus stoikimetris (reaksi terumuskan dengan baik dan jelas), cepat, spesifik, tidak ada reaksi samping, serta reaksi harus kuantitatif, yaitu kesetimbangan reaksi bergeser ke kanan. Untuk mengetahui reaksi tersebut telah berjalan dengan sempurna, maka harus terjadi perubahan nyata, yaitu dapat berupa perubahan warna larutan, ataupun sifat fisik lainnya. Titik akhir titrasi harus berimpitan dengan titik ekivalen (Christian,1980). Asam didefinisikan sebagai senyawa yang mengandung hidrogen yang bereaksi dengan basa. Basa adalah senyawa yang mengandung ion OH– atau menghasilkan OH– ketika bereaksi dengan air. Basa bereaksi dengan asam untuk menghasilkan garam dan air (Golberg, 2002). Dalam analisis kuantitatif, indikator digunakan untuk menentukan titik ekuivalen dari titrasi asam-basa. Karena indikator mempunyai interval pH yang berbeda-beda dan karena titik ekuivalen dari titrasi asam-basa berubah-ubah sesuai dengan kekuatan relatif asam basanya, maka pemilihan indikator merupakan hal terpenting (Sukardjo, 1984). Titik ekuivalen, ialah titik pada saat sejumlah mol ion OH– yang ditambahkan ke larutan sama dengan jumlah mol ion H+ yang semula ada. Jadi untuk menentukan titik ekuivalen dalam suatu titrasi, kita harus mengetahui dengan tepat berapa volume basa yang ditambahkan dari buret ke asam dalam labu. Salah satu cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menambahkan beberapa tetes indikator asam-basa ke larutan asam saat awal titrasi (Chang, 2004).
19 Indikator biasanya ialah suatu asam atau basa organik lemah yang menunjukkan warna yang sangat berbeda antara bentuk tidak terionisasi dan bentuk terionisasinya. Kedua bentuk ini berikatan dengan pH larutan yang melarutkan indikator tersebut (Chang, 2004). Titik akhir titrasi terjadi bila indikator berubah warna. Namun, tidak semua indikator berubah warna pada pH yang sama, jadi pilihan indikator untuk titrasi tertentu bergantung pada sifat asam dan basa yang digunakan dalam titrasi (dengan kata lain apakah mereka kuat atau lemah). Dengan demikian memilih indikator yang tepat untuk titrasi, dapat menggunakan titik akhir untuk menentukan titik ekuivalen (Chang, 2004). Indikator asam – basa adalah zat yang berubah warnanya atau membentuk fluoresen atau kekeruhan pada suatu rentang pH tertentu. Indikator yang dipilih dalam titrasi asam basa harus berubah warna tepat saat titik ekivalen tercapai. Salah satu indikator yang sering dipakai adalah phenolphthalein dengan range pH 8,0-9,6, dimana bentuk asamnya tidak berwarna dan bentuk basanya berwarna merah (Christian, 1980). Penentuan keasaman permukaan dengan studi ikatan spesies dalam larutan dapat dilakukan dengan titrasi asam basa, dimana situs asam dari montmorillonit akan bereaksi dengan basa (NaOH). Sisa OH- (yang tidak beraksi dengan situs asam) akan dititrasi dengan asam (HCl). Titik akhir titrasi dideteksi menggunakan indikator phenolphtalein. Keasaman permukaan montmorillonit dapat diketahui dari selisih basa awal dengan basa sisa (Simpen, 2001).
20 2.8
Analisis Difraksi Sinar – X Analisis difraksi sinar – X merupakan metode yang paling luas digunakan
dalam indentifikasi lempung. Analisis difraksi sinar – X merupakan metode yang bersifat tak merusak, yang berarti bahwa sampel tidak dipengaruhi oleh analisis dan masih dapat digunakan untuk analisis lain. Tetapi metode ini tidak dapat diterapkan untuk analisis bahan yang bersifat amorf dan non kristalin (Tan,1991). Teknik X-Ray Diffraction (XRD) berperan penting dalam proses analisis padatan kristalin. XRD adalah metode karakterisasi yang digunakan untuk mengetahui ciri utama kristal, seperti parameter kisi dan tipe struktur. Selain itu, juga dimanfaatkan untuk mengetahui rincian lain seperti susunan berbagai jenis atom dalam kristal, kehadiran cacat, orientasi, dan cacat kristal. Dasar penggunaan sinar – X dalam penelitian lempung tanah adalah susunan sistematik atom – atom atau ion – ion dalam bidang kristal. Sinar – X adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek. Pada kebanyakan kristal, jarak antar atom atau bidang kristal mempunyai ukuran yang hampir sama dengan panjang gelombang sinar – X. Sinar – X dapat dipantulkan oleh atom – atom dalam bidang kristal, yang menghasilkan pola – pola khas sewaktu direkam. Pola difraksi ini digunakan sebagai sidik jari dalam identifikasi spesies mineral (Tan,1991). Sinar – X dihasilkan dalam suatu tabung sinar – X oleh pukulan elektron – elektron yang bergerak cepat ke suatu target logam. Atom-atom yang mengalami eksitasi dalam target tersebut mencarikan radiasi dengan panjang gelombang antara 0,01 dan 100Ǻ, yang merupakan panjang gelombang radiasi Kα dan Kβ. Penguatan sinar-X yang terpancarkan menjadi kuantitatif hanya jika hukum Bragg
21 dipatuhi. Menurut hukum Bragg, semua bidang- bidang dalam suatu kristal memantulkan sinar-X, apabila kristal dimiringkan dengan sudut tertentu terhadap berkas sinar datang. Sudut tergantung pada panjang gelombang (λ) dan jarak antar bidang atom dalam kristal (d) (Tan, 1991).
Gambar 2.8 : Gambar Skematik dari Berkas Sinar–X datang yang Memantul dari Bidang Kristal, dengan Mengikuti Hukum Bragg : nλ = 2 d sin θ
nλ = 2 d sin θ dimana d = jarak antar bidang atom dalam kristal λ = panjang gelombang θ = sudut sinar n = tingkat difraksi
2.9
Spektroskopi Inframerah (IR) Akhir – akhir ini spektroskopi inframerah telah banyak digunakan dalam
kajian mineralogi lempung. Lempung amorf maupun kristalin menyerap radiasi inframerah, dan metode ini lebih berguna bagi sampel yang tidak dapat dianalisis
22 dengan difraksi sinar – X. Spektrum serapan inframerah suatu mineral mempunyai pola yang khas, yang tidak hanya membuka kemungkinan untuk identifikasi mineral tersebut, tetapi juga menyingkap keberadaan gugus – gugus fungsional utama di dalam struktur senyawa yang sedang diidentifikasi (Tan, 1991). Serapan inframerah berkaitan dengan getaran molekul atau atom, dan hanya radiasi dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi getaran tersebut yang akan diserap. Atom atau molekul dalam suatu senyawa berosilasi atau bergetar dengan frekuensi sekitar 1013-1014 hitungan perdetik (hdp). Untuk tingkat molekul, perbedaan dalam keadaan vibrasi dan rotasi digunakan untuk mengadsorpsi sinar inframerah. Jadi untuk dapat mengadsorpsi, molekul harus memiliki perubahan momen dipol sebagai akibat dari vibrasi. Vibrasi (getaran) yang cepat dari atom – atom menghasilkan perubahan yang cepat dalam momen dipol, dan serapan radiasi inframerah berjalan intensif. Sebaiknya, getaran yang lemah dari atom – atom menghasilkan perubahan yang lambat dalam momen dipol dan akibatnya serapan radiasi inframerah relatife lemah. Molekul – molekul simetris sering tidak dapat menyerap radiasi inframerah (Tan, 1991). Dua kelompok daerah frekuensi yang biasanya mencirikan kurva inframerah dari kebanyakan mineral lempung yaitu : 1. Daerah antara 4000 dan 3000 cm-1 yang diakibatkan oleh getaran regang dari air terjerap dan atau gugus OH oktahedral disebut daerah gugus fungsional. 2. Daerah antara 1400 – 800 cm-1 yang disebabkan oleh getaran Al – OH dan atau Si – O disebut daerah sidik jari. (Tan, 1991) Fraksi lempung (<2μm) yang dipisahkan dengan analisis mekanik dapat digunakan secara langsung atau dapat dipisahkan dahulu dengan sentrifuge ke
23 dalam fraksi lempung kasar (2,0 – 0,2 μm). Jika diperlukan penghalusan, proses ini harus dilakukan dengan hati – hati, karena penggunaan tenaga yang berlebihan akan cenderung menghancurkan struktur mineral (menjadi amorf), dan cenderung meningkatkan sifat higroskopik dari sampel yang bersangkutan (Tan, 1991).
2.10 Spektrofotometer UV-vis Spektrofotometri sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk
mengukur
energi
secara
relatif
jika energi
tersebut
ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi sebagai panjang gelombang. Kelebihan spektrofotometer dengan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih dideteksi dan ini diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma, grating atau celah optis. Pada fotometer filter dari berbagai warna yang mempunyai spesifikasi melewatkan trayek panjang gelombang tertentu (Gandjar, 2007 :215). Adapun mekanisme kerja dari spektrofotometer adalah mula-mula sumber radiasi dari berbagai macam sinar tanda (λ) yang berbeda-beda, masuk ke dalam monokromator. Di monokromator ini cahaya diubah dari cahaya polikromatik menjadi monokromatik, jadi sinar yang ada pada monokromator sudah ada λ tertentu. Kemudian dari monokromator sinar menembus kuvet atau sampel dimana sampel telah dilarutkan dengan pelarut yang sesuai, yaitu pada percobaan
24 kali ini memakai pelarut etanol. Di kuvet ini, ada cahaya yang diserap oleh sampel (absorban) dan ada yang diteruskan disebut transmitan (Marzuki, 2012). Pada spektrofotometri, konsentrasi suatu larutan ditetapkan dengan pengukuran banyaknya cahaya yang diserap (adsorpsi) oleh larutan bersangkutan. Apabila suatu larutan dikenai sinar polikromatik maka ada suatu berkas sinar dengan panjang gelombang tertentu yang diserap, sedangkan berkas sinar lainnya diteruskan melalui larutan tersebut. Berkas sinar yang diteruskan berwarna. Warna yang diteruskan merupakan warna dari larutan, disebut warna komplementer dari warna sinar yang diserap (Muhammad dan Achmad, 1990). Pada tabel 2.2 dapat dilihat warna komplementer dari spektrum sinar tampak. Tabel 2.2 Warna Komplementer Spektrum Sinar Tampak (Muhammad dan Achmad, 1990). Panjang gelombang
Warna yang
Warna yang
(nm)
diserap
teramati
380 – 450
Violet
Hijau kekuningan
450 – 495
Biru
Kuning
495 – 570
Hijau
Violet
570 – 590
Kuning
Biru
590 – 620
Orange
Hijau – biru
620 – 750
Merah
Biru – hijau
Hubungan antara banyaknya cahaya yang diserap dengan konsentrasi kompenen yang menyerap dinyatakan dengan hukum Lambert - Beer yaitu : (Muhammad dan Achmad, 1990).
25 𝐿𝑜𝑔
𝐼𝑡 𝐼0
= −𝜀. 𝑏. 𝑐 ................................................................................... (3)
Jika It/I0 = T, maka : log T = -ε.b.c .................................................................................. (4) Dengan I0 adalah intensitas cahaya dating, It adalah intensitas cahaya yang ditransmisikan, T adalah transmitansi, ε adalah adsorptivitas molar atau koefisien ekstingsi molar (L mol-1 cm-1), b adalah tebal cuplikan (cm), dan c adalah konsentrasi larutan yang dinyatakan dalam mol/L. Jika –log T = A (absorbans), maka A = ε.b.c .......................................................................................... (5) Jika konsentrasi dinyatakan dalam gram/L, maka persamaan menjadi : A= a.b.c . .......................................................................................... (6) a = absorptivitas (L gram-1 cm-1) Pada penelitian ini, analisis spektrofotometri Uv-vis menggunakan metode kurva kalibrasi. Metode ini dilakukan dengan pengukuran suatu seri larutan standar dengan berbagai konsentrasi. Selanjutnya yaitu membuat grafik antara konsentrasi (c) terhadap adsorbans (A) seperti pada Gambar 2.9, yang merupakan garis lurus melewati titik nol dengan persamaaan regresi linier y = ax + b. Dimana y merupakan absorbans pengukuran, x = konsentrasi larutan, a = slope, b = intersep. Konsentrasi larutan sampel dapat dicari dengan mengintrapolasi absorbans sampel ke dalam grafik atau memasukkan harga absorbans sampel ke persamaan regresi linier sehingga konsentrasi dari sampel dapat dihitung (Muhammad dan Achmad, 1990).
26 A b s o r b a n s
y = ax + b
A3 A2 A1
C1
C2
C3
Konsentrasi
Gambar 2.9 Kurva Kalibrasi Penentuan luas permukaan adsorben lempung pada penelitian ini menggunakan Metode Metilen Biru dengan spektrofotoetri UV-vis sebagai teknik pengukurannya. Sejumlah tertentu adsorben dicampurkan dengan metilen biru pada suatu konsentrasi, adsorben akan mengadsorpsi sejumlah tertentu metilen biru. Sisa metilen biru yang tidak terserap akan diukur adsorbansnya dengan spektrofotometer Uv-vis, selanjutnya adsorbans tersebut diintrapolasi ke dalam kurva kalibrasi adsorbans vs konsentrasi standar metilen biru atau memasukan harga adsorbans ke persamaan regresi linier, sehingga konsentrasi metilen biru yang tidak terserap adsorben dapat dihitung (Haristyanti, 2006). Jumlah metilen biru yang terserap oleh setiap gram adsorben (Xm) dapat dihitung dengan rumus yaitu (Haristyanti, 2006) : Xm = (C1-C2).V ............................................................................ (7) 1000B Selanjutnya luas permukaan adsorben yang ditentukan dengan metode metilen, dapat dihitung dari persamaan :
27 S = Xm.N.a ..................................................................................... (8) Mr atau
S = 3,7015.103 Xm (m2/g) ............................................................. (9)
Dimana : C1
= konsentrasi metilen biru awal (ppm)
C2
= konsentrasi metilen biru sisa dalam filtrate (ppm)
V
= volume larutan metilen biru yang digunakan (mL)
B
= massa adsorben yang digunakan (g)
S
= luas permukaan adsorben (m2/g)
N
= bilangan Avogadro (6,022.1023mol-1)
Xm
= massa adsorbat teradsorpsi (g/g)
a
= luas penutup oleh 1 molekul metilen biru (197.10-20 m2)
Mr
= massa molekul relatif metilen biru (320,5 g/mol)