3
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekstraktif dan Bahan Anorganik Zat ekstraktif adalah komponen kayu yang bukan merupakan komponen struktural, yang hampir semuanya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dan berbobot molekul rendah (Sjostrom 1995). Zat ekstraktif kayu dibagi menjadi 3 sub golongan yaitu senyawa alifatik (terutama lemak dan lilin), terpena dan terpenoid, serta senyawa fenolik (Achmadi 1990). Kandungan ekstraktif pada kayu bervariasi dari 3% sampai 30%. Bahanbahan ini pada kayu dapat memberi pengaruh pada kerapatan. Secara umum kekuatan dan kekakuan kayu meningkat seiring dengan naiknya kerapatan (Haygreen dan Bowyer 1996). Ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non polar. Dalam arti sempit ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik (Fengel dan Wegener 1983). Senyawa kimia berbobot molekul rendah diklasifikasikan menjadi dua yaitu bahan organik dan anorganik. Bahan organik biasa disebut ekstraktif dan bahan anorganik biasa disebut abu (Fengel dan Wegener 1983). Komponen utama abu kayu adalah kalsium, kalium dan magnesium. Dalam banyak kayu, jumlah Ca hingga 50% atau lebih dari unsur total dalam abu kayu. K dan Mg masing-masing menduduki tempat kedua dan ketiga, diikuti Mn, Na, P dan Cl (Ellis 1962 dalam Fengel dan Wegener 1983). Kayu tropika banyak yang menonjol karena persentase silikonnya yang tinggi dibandingkan dengan kayu asal daerah sub tropika dimana dapat melebihi kandungan kalsium dalam spesies tertentu (Hillis, de Silva 1979 dalam Fengel dan Wegener 1983). Menurut Haygreen dan Bowyer (1996) kandungan silika berpengaruh terhadap sifat pengolahan kayu utuh karena kandungan silika lebih dari 0,3 % dapat menumpulkan alat-alat pertukangan. Kandungan silika melebihi 0,5 % relatif umum terdapat pada kayu-kayu teras tropika. Pada sejumlah jenis kayu tropika kandungan ini mungkin lebih dari 2 %. Zat ekstraktif memiliki arti penting bagi kayu karena dapat mempengaruhi sifat keawetan, warna, bau, dan rasa jenis kayu. Selain itu ekstraktif dapat
4
digunakan untuk mengenal jenis kayu, namun menyulitkan dalam pengerjaan serta mengakibatkan kerusakan pada alat-alat pertukangan (Dumanauw 1982). Silika dalam ilmu kimia adalah suatu senyawa yang mengandung satu anion dengan satu atau lebih atom silikon pusat yang dikelilingi oleh ligan elektronegatif. Jenis silikat yang sering ditemukan umumnya terdiri dari silikon dengan oksigen sebagai ligannya. Anion silikat, dengan muatan listrik negatif, harus mendapatkan pasangan kation lain untuk membentuk senyawa bermuatan netral. Silika, atau silikon dioksida (SiO2 ) sering dianggap sebagai silikat, walaupun senyawa ini tidak bermuatan negatif dan tidak memerlukan ion pasangan. Silika ditemukan di alam dalam bentuk mineral kuarsa (Anonim 2008).
2.2 Nilai pH kayu Nilai pH merupakan suatu ukuran konsentrasi ion-H (atau ion –OH) dalam larutan dan digunakan untuk menentukan sifat-sifat keasamannya, netral atau basa (Fengel dan Wegener 1983). Nilai pH kayu memberi informasi penting dalam berbagai penggunaan kayu. Logam yang berhubungan dengan kayu dapat mengalami korosi, daya rekat lem, dan fiksasi pelindung kayu dapat dipengaruhi oleh pH. Nilai pH kayu juga berkaitan dengan produksi pulp, produksi papan serat, papan partikel, dan plastifikasi (Labsky 1974 dalam Fengel dan Wegener 1983). Sanderman dan Rothkamm (1959) dalam McNamara et al. (1970) menyatakan bahwa pH sangat penting dalam pemanfaatan kayu, terutama masalah korosi pada logam atau perubahan warna pada kayu. McNamara, et al. (1970) menyatakan bahwa pengujian perbandingan pH pada beberapa jenis kayu dengan tingkat kadar air yang berbeda menunjukkan bahwa kayu menjadi lebih asam ketika kadar air kayu menurun. Air ekstrak dari sebagian besar kayu adalah sedikit asam. Kondisi asam dapat mempercepat proses korosi pada logam (Farmer 1967). Pengujian korosi atau karat pada baja dalam larutan asam
lemah atau yang kurang terionisasi
seperti asam asetat, telah menunjukkan bahwa pH sekitar 4,0-4,3 merupakan batasan bawah dimana tingkat korosi meningkat dengan cepat (Farmer 1962 dalam Krilov et al. 1988).
5
Keasaman kayu disebabkan oleh asam organik dan zat-zat polifenol yang ditemukan dalam jenis kayu tertentu merupakan faktor penting sebagai petunjuk bagi masalah umum yang terjadi pada korosi logam, khususnya korosi yang terjadi pada bilah gergaji baja (Krilov et al. 1988).
2.3 Jenis Kayu 2.3.1 Ulin (Eusideroxylon zwageri T) Ulin memiliki nama latin Eusideroxylon zwageri T. termasuk ke dalam famili Lauraceae. Ulin biasanya tersebar di daerah Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan. Tinggi pohon ulin bisa mencapai 35 m dengan panjang batang bebas cabang 5-20 m, diameter mencapai 100 cm, kulitnya berwarna coklat kemerahmerahan sampai coklat tua atau coklat kelabu. Kayu ulin memiliki berat jenis 1,04 (0,88-1,19) dan termasuk ke dalam kelas kuat dan kelas awet I. Kandungan komponen kimia kayu ulin disajikan pada Tabel 1. Kayu Ulin dapat digergaji dan diserut dengan hasil baik, tetapi sangat cepat menumpulkan alat-alat karena kayunya sangat keras. Kayu Ulin dapat dipakai untuk tiang landasan dalam tanah, balok, papan lantai, mebel dan ukiran untuk hiasan rumah (Martawijaya et al. 1989).
Tabel 1 Komposisi Kimia Kayu Ulin Komponen Kayu
Kadar (%)
Kelarutan
Kadar (%)
Selulosa
58,1
Alkohol-Benzene
5,2
Lignin
28,9
Air dingin
2,9
Pentosan
12,7
Air panas
6,8
Abu
1,0
NaOH 1 %
18,2
Silika
0,5
Sumber : Martawijaya et al. 1989
2.3.2 Tapi-Tapi (Santiria laevigata) Tapi-tapi memiliki nama latin Santiria
laevigata
Blume.
Tapi-tapi
merupakan salah satu spesies yang termasuk famili Burseraceae. Nama lain kayu tapi-tapi antara lain kerantai, kedondong kerantai lichin, berambang, kambajau
6
burung, dan pegah kabu-kabu. Tinggi pohon tapi-tapi bisa mencapai 57 m dan memiliki diameter 126 cm, daunnya berbentuk alternet, biasanya ditemukan dihutan campuran tetapi juga bisa ditemukan di hutan rawa dan hutan keranga. Sebagian besar di lereng bukit dengan tanah berpasir. Kayu tapi-tapi biasa digunakan untuk tiang dan memliki buah yang bisa dimakan. Daerah penyebaran kayu tapi-tapi ini diantaranya adalah Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatra, Kalimantan (Serawak, Brunei, Sabah dan Kalimantan timur), Filipina dan Sulawesi. Kayu tapi-tapi di Kalimantan memiliki nama lokal asam, kandis, kedongdong, kembajau burung, merambang, merasam, pasan, pinyayasan, pusan, sumbit (Anonim 2011).
2.4 Papan Partikel Menurut Maloney (1993) papan partikel merupakan salah satu jenis produk komposit yang terbuat dari pertikel-partikel kayu atau bahan-bahan berlignoselulosa lainnya yang diikat dengan perekat atau bahan pengikat lainnya kemudian dikempa panas. Dikemukakan juga bahwa berdasarkan kerapatannya papan partikel dapat dibagi ke dalam tiga golongan yaitu : a. Papan partikel berkerapatan rendah (Low density Particle Board) yaitu papan yang mempunyai kerapatan kurang dari 0,4 g/cm3 . b. Papan partikel berkerapatan sedang (Medium Density Particle Board) yaitu papan yang mempunyai kerapatan antara 0,4-0,8 g/cm3 . c. Papan partikel berkerapatan tinggi (High Density Particle Board) yaitu papan yangmempunyai kerapatan lebih dari 0,8 g/cm3 . Menurut Haygreen dan Bowyer (1996), tipe partikel yang digunakan untuk bahan baku pembuatan papan partikel adalah : a. Pasahan (shaving), partikel kayu kecil dengan berbagai dimensi yang dihasilkan apabila mengetam lebar atau mengetam sisi ketebalan kayu. b. Serpih (flake), partikel kecil dengan dimensi yang telah ditentukan sebelumnya yang dihasilkan dari peralatan yang dikhususkan. c. Biskit (wafer), serupa serpih dalam bentuknya tetapi lebih besar. Biasanya lebih dari 0,025 inci tebalnya dan lebih dari 1 inci panjangnya.
7
d. Tatal (chips), sekeping kayu yang dipotong dari suatu blok dengan pisau yang besar atau pemukul, seperti dengan mesin pembuat tatal kayu pulp. e. Serbuk gergaji (sawdust), berupa serpih yang dihasilkan oleh pemotongan dengan gergaji. f. Untaian (strand), pasahan panjang, tetapi pipih dengan permukaan yang sejajar. g. Kerat (silver), potongan melintangnya hampir persegi dengan panjang paling sedikit 4 kali ketebalannya. h. Wol kayu (excelsior), keratin yang panjang, berombak, ramping, yang juga digunakan sebagai kasuran pada pengepakan.
2.5 Oriented Strand Board (OSB) Oriented Strand Board (OSB) merupakan salah satu jenis papan partikel yang dibuat dari partikel yang berbentuk unting (strand). Berdasarkan jumlah lapisannya, OSB dapat terdiri atas satu lapis, tiga lapis, lima lapis atau lebih. OSB berlapis tiga dengan arah serat lapisan luar tegak lurus dengan lapisan tengah. OSB memiliki sifat sama dengan kayu lapis, sehingga dalam pemakaiannya dapat menggantikan kayu lapis dengan ketebalan yang sama. OSB dapat digunakan sebagai bahan pembuatan atap, dinding, dan lantai pada perumahan serta furniture (Sutrisno 2001). Oriented Strand Board (OSB) merupakan papan yang diproduksi untuk penggunaan
struktural
terbuat
dari
untaian
(strand)
kayu
yang
sengaja
diorientasikan secara bersilangan sehingga kekuatannya sama atau lebih dari kekuatan kayu lapis (Plywood) dan memiliki sifat tahan air (waterproof) sehingga dapat digunakan untuk keperluan eksterior (Nuryawan dan Massijaya 2006). Tsoumis (1991) menyatakan bahwa OSB merupakan panel tiga lapis yang terbuat dari unting, dengan lapisan permukaan ditempatkan sejajar searah produksi panel sementara bagian intinya (core) tegak lurus. Konstruksi OSB mirip dengan kayu lapis, karena itu sifat-sifat kekuatan lengkung (bending), kekakuan (MOE), dan stabilitas dimensinya hampir sama dengan kayu lapis. Bowyer et al. (2003) menyatakan bahwa kayu yang banyak digunakan untuk memproduksi OSB
adalah kayu dengan kerapatan rendah sampai sedang
karena kayu dengan kerapatan tinggi sukar ditangani dan harganya lebih mahal.
8
Kayu
berkerapatan
rendah
lebih
disukai
karena
lebih
mudah
dikempa
menghasilkan kontak yang sempurna antar strand. Kandungan zat ekstraktif tinggi dari suatu jenis kayu menyebabkan masalah dalam pengerasan perekat dan menimbulkan blister yaitu pada bagian tengah papan terdapat ruang kosong akibat tekanan gas internal zat ekstraktif yang mudah menguap.
2.6 Bahan Pisau 2.6.1 High Speed Steel Sejak perang dunia II bahan pisau High Speed Steel telah dikembangkan dan dipergunakan secara luas pada industri pengerjaan logam. Beberapa waktu setelah perang dunia II berakhir, bahan pisau High Speed Steel mulai dipergunakan dan mendapat tempat pada industri pengolahan kayu. Hingga saat ini bahan pisau High Speed Steel masih diproduksi untuk pembuatan pisau pemotong kayu. High Speed Steel merupakan bahan yang terbuat dari campuran beberapa unsur logam seperti besi (Fe), karbon (C), chromium (Cr), nikel (Ni), tungsten (W), dan molybdenum (Mo) (Davis 1995). High Speed Steel atau disebut juga sebagai self hardening steel memiliki kandungan karbon 0,70%-1,50%. Bahan pisau tersebut biasa dipergunakan dalam pembuatan alat potong drills, reamers, countersinks, lathe tool bits, moulder dan milling cutters. Disebut High Speed Steel karena alat potong yang dibuat dengan material tersebut dapat diaplikasikan dua kali lebih cepat dibanding dengan carbon steel (Hasnan 2006). Sifat penting yang dimiliki bahan High Speed Steel adalah kekerasannya yang tinggi pada temperatur yang tinggi. Oleh karena itu pisau yang terbuat dari bahan High Speed Steel dijadikan pilihan pada sebagian besar proses pemotongan kayu (Darmawan 2003). Ada beberapa kualitas bahan pisau High Speed Steel yang diproduksi diantaranya T1, M2, M7, M35, dan M42 (Tabel 2). Perbedaan mendasar antara kualitas bahan pisau High Speed Steel tersebut yaitu pada komposisi unsur logam penyusun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa M2 merupakan kualitas bahan High Speed Steel yang memberikan hasil (performance) yang lebih baik untuk pemotongan kayu dibandingkan kualitas lainnya. Sebagai alasannya adalah pisau
9
dari M2 yang memiliki sifat keuletan (toughness) yang baik dan daya tahan yang cukup tinggi terhadap tumpul (wear).
Tabel 2. Komposisi bahan penyusun High Speed Steel (%) Grade
C
Cr
Mo
W
V
Co
Mn
Si
T1
0,650,80 0,95 1,00 0,94 1,10
3,754,00 4,20 3,80 4,10 3,80
-
17,2518,25 6,00 1,60 6,00 1,50
0,901,30 2,00 2,00 2,00 1,20
-
0,100,40 -
0,200,40 -
M2 M7 M35 M42
5,00 8,70 5,00 9,50
5,00 8,00
Sumber : Davis (1995)
2.6.2 Tungsten Carbide Sejalan dengan berkembangnya teknologi metalurgi, maka sejak perang dunia II beberapa pengusaha bahan pisau telah melakukan berbagai macam usaha untuk mendapatkan bahan pisau pemotong kayu dengan kualitas yang lebih baik. Bahan pisau yang dicobakan dan memberikan hasil yang memuaskan pada pemotongan kayu adalah bahan Tungsten Carbide. Tungsten Carbide merupakan bahan yang terbuat dari campuran tungsten (W), cobalt (Co), dan carbon (C). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pisau Tungsten Carbide memiliki masa pakai 20-50 kali lebih lama dibandingkan dengan pisau High Speed Steel untuk pemotongan
kayu. Oleh karena itu saat ini pisau Tungsten Carbide mulai
dipergunakan
untuk
pekerjaan
tertentu
mengingat
harganya
yang
mahal
(Darmawan 2003). Darmawan (2003) juga menjelaskan bahan Tungsten Carbide saat ini banyak dipergunakan untuk mata sirip gergaji bundar (circular saw blade tip), mata router (router bit), dan pisau profile. Sifat-sifat penting yang dimiliki bahan Tungsten Carbide yaitu kekerasannya tinggi dan sifat penghantar panasnya baik. Disamping itu bahan Tungsten Carbide dapat dipersiapkan atau dibuat dalam berbagai bentuk mata pisau sisip (insert cutting tool edge), baik sebagai mata pisau permanen maupun mata pisau lepas pada bilah pisaunya (cutting tool blade).
10
2.7 Karakteristik Aus Mata Pisau Keausan atau penumpulan mata pisau pengerat kayu secara umum merupakan suatu proses yang menyebabkan pisau tersebut tidak layak digunakan lagi dalam pengerjaan kayu. Keausan atau penumpulan mata pisau pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor mekanis dan faktor kimiawi. Keausan mata pisau secara kimiawi ditandai dengan adanya korosi pada permukaan mata pisau yang digunakan untuk memotong kayu. Korosi atau secara awam lebih dikenal dengan istilah perkaratan. Perkaratan merupakan fenomena kimia pada bahan-bahan logam yang pada dasarnya merupakan reaksi logam menjadi ion pada permukaan logam yang kontak langsung dengan lingkungan yang mengandung air dan oksigen. Faktor yang cukup besar pengaruhnya terhadap peristiwa korosi adalah gerakan dari logam di dalam suatu media (Susanti 2008). Penumpulan pisau pengerat kayu dapat terjadi secara cepat dimana bagian kontak pisau mengalami kerusakan serius dalam tempo singkat, atau secara berangsur melalui pengikisan mikroskopis partikel logam oleh kayu yang berlangsung secara kontinu (Balfas 1994). Aus mata pisau secara mekanis terjadi karena adanya gesekan antara kayu dengan bahan pisau pada saat pemotongan yang menyebabkan pengikisan partikel logam pada pisau. Darmawan (2000) menyatakan bahwa aus pisau secara mekanis disebabkan karena adanya gesekan pada proses pemotongan akibat adanya bahanbahan abrasif seperti silika, pasir, debu, dan semen. Semakin tinggi kandungan silika yang terdapat pada kayu atau papan komposit maka semakin tinggi pula laju keausan pisau. Klamecki (1979) dalam Balfas (1994) menyatakan bahwa penumpulan yang terjadi pada pisau memiliki pengaruh yang langsung terhadap kualitas
permukaan
kayu
yang
dikerjakan.
Hal ini menunjukkan adanya
kemungkinan cara untuk menentukan penumpulan pada pisau tersebut. Namun demikian pengukuran penumpulan pisau umumnya dilakukan dengan mengukur besarnya rompal (nicks) yang tejadi pada bagian mata pisau. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan alat fotografi seperti yang dilakukan oleh Chardin dan Froidure (1969), Edamatsu dan Ihira (1957), dan Neusser dan Schall (1970). Cara lain yang digunakan adalah dengan pengukuran perubahan geometri pada mata pisau dengan menggunakan mikroskop.