BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Remaja
2.1.1 Pengertian Remaja Remaja atau adolescence adalah periode perkembangan individu yang mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya antara usia 13-20 tahun. Istilah adolescence biasanya menunjukkan maturasi psikologis individu, ketika pubertas menunjukkan titik dimana reproduksi mungkin dapat terjadi. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat, baik secara fisik maupun psikologis pada individu (Potter & Perry, 2005). Menurut Depkes RI (2005), remaja adalah individu yang sedang mengalami masa peralihan hingga perlahan mencapai kematangan seksual. Perkembangan pada diri remaja meliputi perkembangan fisik yaitu pertumbuhan organ seksual baik primer maupun sekunder, pertumbuhan otot, tulang, hormon, serta perkembangan kejiwaan yang meliputi emosi, intelek, sosial dan moral.
2.1.2 Tahapan Masa Remaja Kelompok remaja di Indonesia sebagaimana di sebagian besar negara di dunia, memiliki proporsi yang cukup besar yaitu sekitar 1/5 dari jumlah seluruh penduduk. Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kategori remaja termasuk di dalamnya, yakni menurut Departemen Kesehatan sesuai dengan batasan WHO menjelaskan bahwa batasan usia remaja yaitu antara 10-19 tahun (Depkes RI, 2005).
10
11
Menurut Soetjiningsih (2004), remaja akan melewati tahapan tumbuh kembangnya dalam 3 tahap, yaitu : masa remaja awal 11-13 tahun (Early Adolescence), masa remaja pertengahan 14-16 tahun (Middle Adolescence), dan masa remaja akhir 17-20 tahun (Late Adolescence).
2.2
Personal Hygiene Genetalia
2.2.1 Alat Reproduksi Wanita Menurut Manuaba (2009), macam-macam dan fungsi organ reproduksi : a. Ovarium (indung telur) Yaitu indung telur atau ovarium terletak antara rahim dan dinding panggul. Organ di kiri dan kanan rahim di ujung saluran fimbrae (rumbai-rumbai) dan terletak di rongga pinggul yang berfungsi mengeluarkan sel telur (ovum). Sel telur adalah sel yang dapat dibuahi oleh sperma sehingga terbentuk janin. Bila tidak dibuahi, akan ikut keluar bersama darah pada saat menstruasi. b. Tuba Fallopi Yaitu saluran di kiri dan kanan rahim yang berfungsi untuk dilalui oleh ovum dari indung telur menuju rahim. Di ujungnya terbuka dan mempunyai fimbrae (rumbai-rumbai), berfungsi menangkap ovum (telur) yang dikeluarkan oleh indung telur saat terjadi pelepasan telur (ovulasi). c. Uterus (rahim) Bentuk rahim seperti buah pir, dengan berat sekitar 30-50 gram, terletak di panggul kecil diantara rektum (bagian usus sebelum dubur), dan di depannya terletak kandung kemih. Uterus berfungsi sebagai tempat
12
berkembangnya janin, dinding rahim yang menebal yang berisi pembuluh darah akan keluar sebagai menstruasi. d. Servik Servik (leher rahim) yaitu bagian bawah rahim bagian luar ditetapkan sebagai batas penis waktu masuk ke dalam vagina. Fungsinya pada saat persalinan tiba, leher rahim membuka sehingga bayi dapat keluar . e. Vagina Vagina merupakan saluran muskulo-membranasea (otot selaput) yang menghubungkan rahim dengan dunia luar,bagian ototnya berasal dari otot levator ani dan otot sfingter ani (otot dubur) sehingga dapat dikendalikan dan dilatih. Dinding depan vagina berukuran 9 cm dan dinding belakangnya 11 cm yang bersifat elastis dengan berlipat-lipat. Selaput vagina tidak mempunyai kelenjar sehingga cairan yang selalu membasahi berasal dari kelenjar rahim atau lapisan dalam rahim. Vagina mempunyai fungsi penting sebagai jalan lahir bagian lunak, sebagai sarana hubungan seksual, saluran untuk mengalirkan lendir dan darah menstruasi. Lendir vagina banyak mengandung glikogen yang dapat dipecah oleh bacteria Doderlain, sehingga keasaman cairan vagina sekitar 4,5 (bersifat asam). f. Vulva Vulva yaitu awal dari vagina, rongga penghubung rahim dengan bagian luar tubuh, fungsinya untuk melindungi vagina. Terdiri dari: 1.
Mons veneris/pubis disebut juga gunung venus, menonjol ke bagian depan menutupi tulang kemaluan berupa tonjolan lemak yang besar. Area ini mulai ditumbuhi rambut pada masa pubertas.
13
2.
Labia mayora (bibir besar) berasal dari mons veneris bentuknya lonjong menjurus ke bawah dan bersatu di bagian bawah, bagian luar labia mayora terdiri dari kulit berambut, kelenjar lemak, dan kelenjar keringat, bagian dalamnya tidak berambut dan mengandung kelenjar lemak, bagian ini mengandung banyak ujung saraf.
3.
Labia minora (bibir kecil) merupakan lipatan kecil di bagian dalam labia mayora, bagian depannya mengelilingi klitoris. Kedua labia ini mempunyai pembuluh darah.
4.
Klitoris merupakan bagian erektil, seperti penis pada pria, mengandung banyak pembuluh darah dan serat saraf, sehingga sangat sensitif.
5.
Vestibulum merupakan bagian kelamin yang dibasahi oleh kedua labia kanan-kiri dan bagian atas oleh klitoris serta bagian belakang pertemuan labia minora. Pada bagian ini terdapat muara vagina, saluran kencing, kelenjar bertholini, dan kelenjar skene.
6.
Himen (selaput dara) merupakan selaput tipis yang menutupi sebagian lubang vagina luar. Pada umumnya himen berlubang sehingga menjadi saluran aliran darah menstruasi atau cairan yang dikeluarkan oleh kelenjar rahim dan kelenjar endometrium (lapisan dalam rahim).
2.2.2 Hygiene Alat Reproduksi Wanita Hygiene adalah ilmu kesehatan. Cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan diri sendiri disebut hygiene perorangan. Pemeliharaan hygiene perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan
14
kesehatan (Potter & Perry, 2006). Perilaku hygiene organ reproduksi merupakan upaya mempertahankan atau memperbaiki kesehatan dengan memelihara kebersihan organ reproduksi (Rahmayanti, 2012). Kebersihan perorangan pada remaja sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila kebersihan kurang mendapat perhatian. Menurut Mubarak & Nurul Chayatin (2008), personal hygiene atau kebersihan diri adalah upaya seseorang dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memperoleh kesejahteraan fisik dan psikologis. Tujuan personal hygiene adalah untuk memelihara kesehatan diri, menciptakan keindahan, serta meningkatkan derajat kesehatan individu sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit pada diri sendiri. Menjaga kesehatan organ reproduksi pada wanita diawali dengan menjaga kebersihan organ kewanitaan: a. Menjaga kebersihan vagina dengan membasuh secara teratur bagian vulva (bibir vagina) setiap hari dengan cara membasuh dari arah depan (vagina) ke belakang (anus) secara hati-hati menggunakan air yang bersih setiap setelah buang air kecil, buang air besar, dan ketika mandi. b. Setiap membasuh alat kelamin, sebaiknya dikeringkan dengan handuk atau lap yang bersih sebelum mengenakan pakaian dalam untuk mennghindari suasana lembab yang dapat menyebabkan jamur lebih mudah berkembang. c. Kebersihan daerah kewanitaan juga bisa dijaga dengan mengganti pakaian dalam, paling tidak sehari dua kali setelah mandi, terutama bagi wanita aktif dan mudah berkeringat. Bahan celana dalam yang digunakan sebaiknya terbuat dari bahan yang mudah menyerap keringat seperti bahan katun. Selain
15
itu, hindari menggunakan pakaian dalam yang terlalu ketat karena menyebabkan peredaran darah tidak lancar. d. Menghindari penggunaan sabun antiseptik yang keras atau cairan pewangi karena jika terlalu sering membasuh vagina dengan cairan kimia (douching) dan penggunaan deodoran di sekitar vagina akan merusak keseimbangan organisme dan cairan vagina sehingga memungkinkan terjadinya infeksi pada vagina (vaginitis). e. Menghindari bertukar pakaian dalam dan handuk dengan orang lain karena berpotensi untuk menularkan penyakit. f.
Dianjurkan mencukur/merapikan rambut kemaluan agar tidak berpotensi untuk ditumbuhi jamur atau kutu yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau gatal dan dapat mengakibatkan infeksi.
g. Menjaga kebersihan daerah vagina saat haid dengan membersihkan secara benar, mengganti pembalut secara teratur 4-5 kali sehari atau setelah buang air kecil dan mandi untuk menghindari pertumbuhan bakteri dan jamur. h. Periksa secara rutin ke dokter spesialis (setidaknya dua tahun sekali) untuk mendeteksi kemungkinan adanya kanker yang kerap menyerang organ reproduksi wanita, yaitu kanker indung telur dan kanker leher rahim (Rahmayanti, 2012; Achjar, 2005). 2.3
Konsep Dasar Kanker Serviks
2.3.1 Pengertian Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks yaitu bagian terendah dari rahim yang menonjol ke liang senggama atau vagina sehingga jaringan disekitarnya tidak dapat melaksanakan
16
fungsi sebagaimana mestinya dan biasanya disertai dengan adanya perdarahan dan pengeluaran cairan vagina yang abnormal (Aminati, 2013). Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus, daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dan liang senggama (vagina). Waktu yang diperlukan bagi kanker serviks untuk berkembang cukup lama, sekitar 10-15 tahun. Kanker ini biasanya terjadi pada wanita yang berusia antara 30 tahun sampai 50 tahun, yaitu di usia reproduktif wanita (Smart, 2010).
2.3.2 Etiologi Faktor penyebab kanker rahim adalah Human Papilloma Virus (HPV). Adapun tipe yang beresiko adalah HPV 16, 18, 31, dan 45 yang sering ditemukan pada kanker maupun lesi prakanker serviks, yaitu menimbulkan kerusakan sel lendir luar menuju keganasan. Dari tipe-tipe ini, HPV tipe 16 dan 18 merupakan penyebab tersering kanker serviks yang terjadi di seluruh dunia. HPV tipe 16 mendominasikan infeksi (50-60%) pada penderita kanker serviks disusul dengan tipe 18 (10-15%) (Rasjidi, 2008).
2.3.3 Faktor Risiko Menurut Diananda (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kanker serviks yaitu: a. Usia > 35 tahun Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh.
17
b. Usia pertama kali menikah Menikah pada usia kurang dari 20 tahun berisiko 10-12 kali lebih besar daripada usia > 20 tahun. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. c. Wanita dengan aktivitas seksual tinggi dan sering berganti pasangan Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya HPV. d. Penggunaan antiseptik Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks. e. Wanita yang merokok Penelitian menunjukkan lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya di dalam rokok. Zat-zat itu akan menurunkan daya tahan serviks di samping merupakan ko-karsinogen infeksi virus.
f. Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia Wanita yang terkena penyakit kelamin akibat hubungan seksual berisiko terkena virus HPV yang diduga penyebab utama kanker leher rahim. g. Paritas (jumlah kelahiran) Dari berbagai literatur yang ada, wanita yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi terkena penyakit kanker leher rahim, karena akan berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya sehingga akan memudahkan timbulnya HPV.
18
2.3.4 Tanda dan gejala Pada fase sebelum terjangkitnya kanker (pra kanker serviks), penderita sering tidak mengalami gejala atau tanda yang khas. Namun beberapa gejalagejala yang biasanya ditemukan sebagai berikut: a. Keluarnya cairan encer dari vagina (keputihan) dan dapat keluar cairan berwarna kekuning-kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah. b. Perdarahan setelah senggama yang kemudian dapat berlanjut menjadi perdarahan yang abnormal. c. Timbulnya perdarahan setelah masa menopause. d. Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis. e. Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila ada radang panggul. Selain itu bisa timbul nyeri di tempat lainnya (Aminati, 2013). Namun bila sel-sel tidak normal ini berkembang menjadi kanker serviks dan telah menyebar dan sulit untuk disembuhkan, maka tanda dan gejala yang sering timbul pada stadium lanjut adalah : a. Perdarahan yang tidak normal, baik perdarahan setelah bersenggama atau pemeriksaan panggul. Perdarahan di antara periode menstruasi yang regular, menstruasi yang lebih lama dan lebih banyak dari biasanya. b. Rasa sakit saat berhubungan seksual c. Keluarnya cairan yang tidak normal dari vagina, berwarna kekuningan, encer dan berbau tidak sedap terutama pada masa nekrosis lanjut dan reaksi peradangan non spesifik. Nekrosis ini terjadi karena pertumbuhan tumor yang cepat tidak diimbangi dengan pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) agar mendapat aliran darah yang cukup.
19
d. Kanker yang berkembang makin lanjut dapat menimbulkan gejala-gejala seperti berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, kelelahan, nyeri panggul, punggung dan tungkai. e. Pada stadium lanjut tumor sudah menyebar ke luar dari serviks melibatkan jaringan di rongga pelvis (Aziz, Andrijono, & Saifuddin, 2006; Aminati, 2013).
2.3.5 Pencegahan Kanker Serviks
A.
Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah pencegahan awal kanker yang utama. Hal ini
untuk menghindari faktor resiko yang dapat dikontrol. Cara-cara pencegahan primer adalah sebagai berikut (Dalimartha, 2004) : 1. Tidak berhubungan seksual sampai batas usia di atas remaja Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang bukan hanya dilihat dari sudah menstruasi atau belum, namun juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah perempuan berusia 20 tahun ke atas. Terutama yang masih di bawah 16 tahun memiliki resiko yang sangat tinggi. 2. Batasi jumlah pasangan Resiko terkena kanker serviks lebih tinggi pada perempuan yang bergantiganti pasangan seks daripada yang tidak. Hal ini terkait dengan kemungkinan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya HPV. 3. Hindari kebiasaan mencuci vagina terlalu sering dengan bahan kimia
20
Membersihkan vagina dengan menggunakan bahan kimia yang terlalu sering dapat menyebabkan iritasi di serviks. Iritasi yang berlebihan akan merangsang terjadinya perubahan sel, yang akhirnya berubah menjadi sel kanker. Sebaiknya pencucian vagina tidak dilakukan secara rutin, kecuali bila ada indikasi, misalnya infeksi yang memerlukan pencucian dengan zat-zat kimia atas saran dokter. 4. Hindari kebiasaan menaburi bedak Pemakaian bedak pada vagina perempuan usia subur bisa memicu terjadinya kanker di daerah serviks dan ovarium (indung telur), karena pada usia subur sering terjadi ovulasi dan saat ovulasi dipastikan terjadi perlukaan di ovarium. Bila partikel bedak masuk dan menempel di atas luka, menumpuk dan mengendap maka akan menjadi benda asing yang berubah sifat menjadi kanker. 5. Melakukan vaksinasi HPV Vaksin dapat dilakukan sebelum remaja. Bisa dilakukan saat umur 10 tahun. Hal ini juga dijelaskan dalam Aminati (2013), daya kerja vaksin HVP yakni untuk pencegahan kanker serviks dengan melindungi dari kejadian infeksi. 6. Hindarilah rokok Zat yang terkandung dalam nikotin akan mempermudah selaput sel lendir tubuh bereaksi. Sedangkan isi daerah serviks adalah lendir, dan resiko untuk berkembangnya sel yang abnormal akan semakin mudah. Diperkirakan nikotin memberikan efek toksik (racun) pada sel epitel,
21
sehingga memudahkan masuknya mutagen virus. Rokok juga dapat menurunkan kekebalan tubuh. 7. Mengkonsumsi makanan mengandung vitamin c, beta karoten dan asam folat Vitamin C, beta karoten dan asam folat dapat memperbaiki/memperkuat mukosa serviks. Beta karoten banyak terdapat dalam wortel, vitamin C terdapat dalam buah-buahan, sedangkan asam folat terdapat dalam makanan hasil laut yang dapat memperbaiki/memperkuat mukosa serviks.
B.
Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk menentukan
kasus-kasus dini sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan, termasuk skrining, deteksi dini dengan pap smear atau Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dan pengobatan. Deteksi dini penyakit kanker dengan program skrining dapat memperoleh keuntungan yaitu: memperbaiki prognosis pada sebagian penderita sehingga terhindar dari kematian akibat kanker, tidak diperlukan pengobatan radikal untuk mencapai kesembuhan (Dalimartha, 2004). Menurut Aminati (2013), dianjurkan pemeriksaan pap smear dilakukan 3 tahun setelah memulai aktivitas seksual atau setelah memasuki usia 21 tahun dan dilakukan lagi setiap tahun. Sedangkan wanita berusia lebih dari 30 tahun dan hanya memiliki 1 partner seks dapat melakukan pemeriksaan rutin setiap 3 tahun, apabila sebelumnya sudah rutin melakukan pemeriksaan dan hasilnya negatif.
2.4
Peer Education
2.4.1 Pengertian
22
Peer education (pendidikan sebaya) adalah suatu proses komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang dilakukan oleh dan untuk kalangan sebaya yaitu satu kelompok diantaranya kelompok sebaya pelajar, kelompok mahasiswa, sesama rekan profesi, ataupun disesuaikan berdasar jenis kelamin (Harahap dan Andayani, 2004). Menurut Romlah (2001), edukasi peer group merupakan upaya perubahan perilaku kesehatan melalui kelompok sebaya dimana mereka akan berinteraksi dalam kelompok, individu akan merasa ada kesamaan satu dengan lain, dan mengembangkan rasa sosial sesuai dengan perkembangan kepribadian. Pendidik sebaya menggunakan bahasa yang kurang lebih sama sehingga informasi mudah dipahami dan pesan-pesan sensitif dapat disampaikan secara lebih terbuka dan santai sehingga pengetahuan remaja, terutama masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi banyak diperoleh (BKKBN dan YAI, 2002). Pendidikan
sebaya
menyiratkan
pendekatan,
saluran
komunikasi,
metodelogi, filosofi dan strategi. Istilah sebaya merujuk pada kesetaraan dengan yang lain, seseorang yang menjadi anggota kelompok sosial khususnya didasarkan pada umur, tingkat atau status dan istilah ini digunakan pada pendidikan, pelatihan. Pendidikan sebaya saat ini dilihat sebagai strategi perubahan perilaku yang efektif (Rahardjo, Topatimasang, & Fakih, 2001).
2.4.2 Manfaat Pendidikan sebaya dipandang sangat efektif dalam pemberian KIE karena penjelasan yang diberikan oleh teman sebayanya sendiri akan lebih mudah dipahami. Pendidikan yang diberikan lebih bermanfaat dilaksanakan antar kelompok sebaya mereka sehingga komunikasi menjadi lebih terbuka. Hal-hal yang tidak dapat dibicarakan bersama orang lain termasuk yang sifatnya sensitif
23
dapat didiskusikan secara terbuka dan dapat diselesaikan bersama sehingga hasilnya lebih baik (Negara, Pawelloi, Jelantik, & Arnawa, 2006).
2.4.3 Karakteristik Pendidik Sebaya Menurut Rahardjo, Topatimasang, & Fakih (2001), proses peer education meliputi 3 hal pokok yakni belajar dari realitas atau pengalaman, tidak menggurui, dan dialogis. Semua orang berada pada posisi dan kedudukan yang sejajar sebagai sumber informasi. Menurut WF Connell (1972), kelompok sebaya (peer group) mempunyai ciri-ciri yaitu jumlah anggotanya kecil. Pendidik sebaya sebaiknya mulai melatih diri dengan menyebarkan informasi kesehatan reproduksi dalam kelompok kecil yang berjumlah tidak lebih dari 12 orang. Pendidik Sebaya harus memiliki keterampilan komunikasi interpersonal, yaitu hubungan timbal balik yang bercirikan komunikasi dua arah, perhatian pada aspek komunikasi verbal dan non-verbal, penggunaan pertanyaan tertutup/terbuka untuk menggali informasi, perasaan dan pikiran dan sikap mendengar yang efektif (Muadz, dkk, 2008).
2.4.4 Kriteria Pendidik Sebaya Menurut Negara, Pawelloi, Jelantik, & Arnawa (2006), pendidik sebaya adalah orang yang dipilih karena mempunyai sifat memimpin dalam membantu orang lain. Pendidik sebaya haruslah seseorang yang berasal dari kelompoknya, mampu berkomunikasi mempunyai jiwa kepemimpinan, dapat diterima anggota kelompoknya, serta dapat membaca dan menulis. Pendidik sebaya adalah orang yang berusia 10-24 tahun, menjadi narasumber bagi kelompok sebayanya dan aktif dalam kegiatan sosial di lingkungannya misalnya di karang taruna, pramuka, OSIS, dan sebagainya. Peran
24
fasilitator dilakukan dengan merangkum, mengkomunikasikan kembali dan membangun komitmen serta dialog. Fasilitator menempatkan dirinya sebagai sumber informasi yang setara dengan peserta, menarik kesimpulan, memberikan feedback dan respon (Rahardjo, Topatimasang, & Fakih, 2001). Menurut Depkes RI (2004), kriteria peer education yakni: a. Mempunyai
kemampuan
berkomunikasi
yang
baik
dan
mampu
mempengaruhi teman sebayanya; b. Mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, hukum, agama, serta peraturan perundang-undangan mengenai kesehatan reproduksi; c. Mempunyai hubungan pribadi yang baik serta memiliki kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain; d. Mempunyai perilaku yang cenderung tidak menghakimi; e. Mempunyai rasa percaya diri dan sifat kepemimpinan; f. Mampu melaksanakan pendidikan kelompok sebaya.
2.4.5 Kegiatan dalam Peer Education Pendekatan pendidikan sebaya dapat dilakukan melalui metode pelatihan yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang atau kelompok orang. Pendidikan sebaya dilaksanakan antar kelompok sebaya dengan dipandu oleh fasilitator yang berasal dari kelompok itu sendiri dan diharapkan dapat mengembangkan pesan maupun memilih media yang tepat. Peer education dilakukan dalam rangkaian aktivitas diskusi, ceramah, latihan pengenal persiapan karir dan diskusi panel. Pendidikan sebaya berjalan dengan baik dalam melibatkan remaja untuk mengungkapkan pengetahuan mereka dan belajar lebih banyak dibanding hanya mendapatkan informasi yang
25
sekedar terstruktur satu arah. Melalui pendidik sebaya, dapat membuat lebih terbuka dan berperan aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan dengan pendekatan bersahabat yang tidak bersifat menggurui atau menghakimi (Rahardjo, Topatimasang, & Fakih, 2001). Kegiatan yang dapat dilakukan oleh pendidik sebaya dengan anggota kelompoknya antara lain mengadakan diskusi perorangan, diskusi kelompok kecil maupun besar, memberikan motivasi kepada perorangan maupun kelompok, membagi, menggunakan, membahas bahan-bahan pendidikan dan dapat bersamasama membuat bahan pendidikan (Negara, Pawelloi, Jelantik, & Arnawa, 2006).
2.4.6 Hal yang perlu diperhatikan dalam peer education Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam peer education diantaranya: a. Pesan yang disampaikan harus jelas b. Menggunakan bahasa yang sederhana dan menghindari istilah-istilah yang sulit dimengerti c. Saran yang diberikan harus konkrit dan mudah dilakksanakan d. Menciptakan komunikasi dua arah dan berikan kesempatan tanya jawab e. Menciptakan suasana yang santai tapi serius f. Memilih tempat yang jauh dari keramaian/kegaduhan g. Peka terhadap sasaran (memperhatikan situasi, tempat, waktu, serta lingkungan) (Negara, Pawelloi, Jelantik, &Arnawa, 2006).
2.5
Konsep Dasar Perilaku
2.5.1 Pengertian
26
Secara biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas makhluk hidup. Perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia yang mempunyai artian sangat luas antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Jadi, perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo, 2007). Dilihat dari bentuk respon stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: a.
Perilaku tertutup (covert behavior) Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b.
Perilaku terbuka (overt behavior) Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam atau praktik (practice) yang dengan mudah diamati atau dilihat orang lain (Notoatmodjo, 2007).
2.5.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007), dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: a.
Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor pendorong seperti pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai yang berkenaan dengan motivasi seseorang untuk bertindak, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan.
b.
Faktor pendukung (enabling factors) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana prasarana atau fasilitas yang mendukung dan memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang.
27
c.
Faktor penguat (reinforcing factors) Faktor-faktor ini meliputi sikap dan perilaku keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan, termasuk undang-undang atau peraturanperaturan baik dari pusat maupun kebijakan daerah terkait kesehatan.
2.5.3 Teori Dan Model Perilaku Kesehatan Menurut Becker dan Rosenstock (dalam Sarafino, 2006), teori Health Belief Model merupakan teori yang dikembangkan khusus untuk memprediksi beragam perilaku kesehatan sebagai fungsi dari banyaknya kepercayaan mengenai kesehatan. Health Belief Model memiliki empat komponen utama: 1.
Keseriusan (Perceived Severity) yaitu persepsi individu terhadap tingkat keseriusan penyakit.
2.
Kerentanan (Perceived Susceptibility) yaitu persepsi individu terhadap kerentanan dirinya untuk penyakit tersebut.
3.
Keuntungan (Perceived Benefits) yaitu persepsi individu terhadap keuntungan yang didapat.
4.
Hambatan (Perceived Barrier) yaitu persepsi individu terhadap hambatan yang akan dialami dalam melakukan perilaku yang diharapkan. Kombinasi dari persepsi individu terhadap kerentanan dan keparahan suatu
penyakit akan menghasilkan persepsi individu terhadap seberapa besar ancaman penyakit terhadap dirinya (Perceived Vulnerability/Perceived Threat), dengan mempertimbangkan keuntungan yang didapat dari perilaku yang diharapkan dan tanda-tanda/situasi lingkungan (cues to action), individu juga mempertimbangkan tanggapan dari lingkungan sekitarnya, sebelum pada akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan perilaku yang diharapkan (Sarafino, 2006).
28
2.5.4 Domain perilaku Determinan perilaku adalah faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus rangsangan dari luar organisme (orang) yang berbeda. Benyamin Boom (1908) dalam Notoatmodjo (2007) membagi perilaku manusia dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Cara pengukurannya yaitu domain kognitif diukur dari pengetahuan (knowledge), domain afektif dengan sikap (attitude), dan domain psikomotor dari keterampilan (psychomotor).
A.
Pengetahuan
1.
Pengertian Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Perilaku yang didasari pengetahuan umunya bersifat langgeng. Pengetahuan seseorang individu terhadap sesuatu dapat berubah dan berkembang sesuai kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya mobilitas informasi tentang sesuatu dilingkungannya. Menurut Mubarak, Chayatin, Rozikin, & Supradi (2007) pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya yang sangat berbeda dengan kepercayaan (beliefs), takhayul (superstition), dan penerangan yang keliru (misinformation) dan merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk kejadian yang pernah dialami baik sengaja maupun tidak sengaja, terjadi setelah melakukan kontak atau pengamatan terhadap objek.
2.
Tingkat Pengetahuan Di Dalam Domain Kognitif
29
Menurut Notoatmodjo (2007), tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu : a.
Tahu (know) adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran tahu dapat dinilai dari mampu menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan.
b.
Memahami
(comprehension)
adalah
kemampuan
menjelaskan,
menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Ukuran memahami adalah dapat menjelaskan, memberi contoh, menyimpulkan. c.
Penerapan (application) adalah kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi kondisi yang sebenarnya atau dapat menggunakan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dalam konteks atau situasi yang lain.
d.
Analisis (analysis) adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Ukuran kemampuan adalah dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan.
e.
Sintesis
(synthesis)
adalah
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.
Ukuran
kemampuan
adalah
dapat
menyusun,
merencanakan,
meringkas, dan menyesuaikan tehadap teori atau rumusan yang telah ada. f.
Evaluasi (evaluation) adalah kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek dengan menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.
30
3.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Mubarak, Chayatin, Rozikin, & Supradi (2007), beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal antara lain : a. Faktor internal 1) Umur : semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. 2) Pendidikan : semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah dalam menerima informasi dan banyak pengetahuan yang dimiliki. 3) Pekerjaan : lingkungan pekerjaan menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan secara langsung maupun tidak langsung. 4) Pengalaman : cara untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan, jika pengalaman terhadap objek menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaannya. 5) Minat : minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. b. Faktor eksternal 1) Lingkungan : seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok. 2) Informasi yang diperoleh : informasi dapat diperoleh di rumah, sekolah, lembaga organisasi, media cetak, tempat pelayanan kesehatan. Pemberian informasi akan meningkatkan pengetahuan yang dapat menambah kesadaran untuk berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki.
31
4.
Kriteria Pengukuran Tingkat Pengetahuan Menurut Arikunto (2006), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
dengan wawancara atau angket yang menyatakan isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan, yaitu: a. Pengetahuan baik : hasil presentase benar 76%-100% b. Pengetahuan cukup : hasil presentase benar 56%-75% c. Pengetahuan kurang : hasil presentase benar <56%
B.
Sikap
1.
Pengertian Menurut Notoatmodjo (2007), sikap adalah reaksi atau respon seseorang
yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku tertutup tersebut. Sikap secara realistis menunjukkan kesesuaian respon terhadap stimulus tertentu (Sunaryo, 2004).
2.
Tingkatan Sikap Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan
berdasarkan intensitasnya, yakni : a. Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). b. Merespons (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
32
c. Menghargai (valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah. d. Bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko. Faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap yakni faktor internal menyangkut sikap dalam diri individu, serta minat dan perhatian, perasaan sakit, lapar, haus dan faktor eksternal yang berasal dari luar individu berupa pengalaman, situasi, norma, dan hambatan yang dihadapi (Sunaryo, 2004).
3.
Pengukuran Sikap Menurut Sunaryo (2004), pengukuran sikap dibedakan menjadi dua yakni: a. Secara langsung Terdapat dua cara, yaitu langsung berstruktur dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang disusun sedemikian rupa missal dengan skala Guttman atau skala Likert, sedangkan langsung tak berstruktur dengan pengukuran sederhana seperti wawancara bebas (free interview), pengamatan langsung atau survei. b. Secara tidak langsung Cara pengukuran sikap dengan menggunakan tes yang umumnya menggunakan skala sematik-differential yang terstandar. Menurut Riwidikdo (2013), hasil pengukuran dapat dikategorikan menjadi
baik, cukup, kurang dengan menggunakan aturan normatif yang menggunakan rata-rata (mean) dan simpangan baku (standard deviation), yaitu: a. Baik, bila nilai responden yang diperoleh (x) > mean + 1 SD b. Cukup, bila nilai mean – 1 SD ≤ x ≤ mean + 1 SD
33
c. Kurang, bila nilai responden yang diperoleh (x) < mean – 1 SD
C.
Tindakan
1.
Pengertian Suatu sikap optimis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).
Untuk mewujudkan sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, seperti fasilitas (Notoatmodjo, 2007).
2.
Tingkatan Tindakan atau Ketrampilan a. Persepsi (persection), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. b. Responsi terpimpin (guide response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang besar dan sesuai dengan contoh. c. Mekanisme (mecanisme), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan. d. Adopsi (Adoption), adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007).
3.
Pengukuran Tindakan Menurut Riwidikdo (2013), hasil pengukuran dapat dikategorikan menjadi
baik, cukup, kurang dengan menggunakan aturan normatif yang menggunakan rata-rata (mean) dan simpangan baku (standard deviation), yaitu: a.
Baik, bila nilai responden yang diperoleh (x) > mean + 1 SD
b.
Cukup, bila nilai mean – 1 SD ≤ x ≤ mean + 1 SD
34
c.
2.6
Kurang, bila nilai responden yang diperoleh (x) < mean – 1 SD
Kaitan antara peer education dengan perubahan perilaku Teman sebaya (peer) adalah siswa dengan tingkat kematangan atau usia
yang kurang lebih sama. Menurut Laursen (2005), teman sebaya menjadi model peran yang penting, di samping guru, wali kelas, kepala sekolah dan orang dewasa lain di sekolah dan orang tua di rumah. Salah satu fungsi dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan komparasi tentang dunia di luar keluarga (Santrock, 2004). Upaya yang dapat dilakukan untuk membangun budaya sebaya yang positif adalah dengan mengembangkan pendidikan sebaya dalam komunitas remaja (Laursen, 2005). Pengetahuan reproduksi pada remaja sangat efektif dalam mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengetahuan teman sebayanya. Peer education berupaya mengembangkan potensi diri dan teman sebayanya, mengajak teman sebayanya untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi serta memiliki berbagai keterampilan sebagai pendidik sebaya, seperti keterampilan sosio emosional, keterampilan mengumpulkan informasi seputar kesehatan reproduksi. Apabila teman sebaya memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang memadai, diharapkan mereka dapat mempengaruhi temannya untuk mengambil keputusan yang sehat dan bertanggung jawab serta mampu melakukan kontrol. Pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan kelompok sebaya (peer group) dalam pencegahan kanker serviks merupakan intervensi yang dapat diberikan oleh perawat. Pencegahan kanker serviks dengan strategi kelompok sebaya diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal, karena di dalam kelompok sebaya dapat dilakukan kegiatan edukasi dalam bentuk penyuluhan,
35
sharing, dan diskusi serta adanya proses dinamis sebagai kelompok. Peer group sebagai salah satu bentuk dari proses kelompok, dan juga sebagai salah satu bentuk intervensi keperawatan pada masyarakat yang dilakukan bersama-sama dengan masyarakat melalui support social dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di komunitas (Stanhope & Lancaster, 2004). Hal ini juga dijelaskan dalam penelitian Herniyatun, Astutiningrum, Nurlaila. (2008) bahwa model intervensi dengan menggunakan peer group untuk meningkatkan aspek pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat khususnya wanita untuk pencegahan kanker serviks menjadi hal yang perlu dikembangkan, mengingat modelnya lebih efektif dan efisien.