BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspek Epidemiologi DM Tipe 2 DM tipe 2 yang ditandai dengan adanya resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif atau sering disebut juga dengan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM). DM tipe 2 ini lebih banyak terjadi di negara berkembang seperti Asia dan Afrika dibandingkan dengan negara maju, hal ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup yang tidak sehat seperti pola makan (ADA, 2004). Mencegah terjadinya insiden DM tipe 2 merupakan salah satu upaya yang dilakukan banyak pihak untuk mengurangi terjadinya kematian yang bertambah besar. Oleh sebab itu, pentingnya pencegahan pada penderita DM dapat diawali dengan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi dapat dicegah dengan melakukan kontrol glikemik yang optimal (PERKENI, 2011). Prevalensi DM tipe 2 dengan pengendalian glukosa darah yang buruk di Asia diperkirakan sekitar 68%, dan lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang (Nitiyanant et al, 2002). Sekitar 90-95% DM tipe 2 ditemukan paling banyak dan terjadi diseluruh dunia. Pengendalian kadar gula darah merupakan faktor utama dalam pencegahan komplikasi dan dampak buruk terhadap penderita DM tipe 2. Saat ini epidemi penyakit tidak menular muncul menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia.
Indonesia merupakan negara keempat yang
memiliki jumlah penderita DM terbanyak di dunia dan terdapat sebanyak 47,2%
9
10
memiliki kendali yang buruk pada kadar gula darah penderita DM tipe 2 (Waspadji, 2007). 2.2 Pengendalian Kadar Gula Pengendalian gula darah yakni menjaga kadar glukosa darah dalam kisaran normal seperti bukan DM, sehingga dapat terhindar dari hyperglikemia dan hypoglikemia (Soegondo, 2009). Pengendalian DM tidak hanya sekedar menjaga kadar gula darah dalam batas normal, namun dibutuhkan pengendalian penyakit penyerta dan mencegah terjadinya penyakit kronik. Oleh sebab itu, faktor-faktor risiko dan indikator penyulit perlu pemantauan ketat sehingga pengendalian DM dapat dilakukan dengan baik. Tujuan pengendalian DM dapat dibagi menjadi tujuh tujuan, seperti: menghilangkan
gejala,
menciptakan
dan
mempertahankan
rasa
sehat,
memperbaiki kualitas hidup, mencegah komplikasi akut dan kronik, mengurangi laju perkembangan komplikasi yang telah ada, mengurangi kematian dan mengobati penyakit penyerta bila ada (Soegondo, 2009). Tabel 2.1 Kriteria Pengendalian Penyakit Diabetes Melitus Indikator Glukosa darah puasa (mg/dl) Glukosa darah 2 jam (mg/dl) HbA1c (%) Kolesterol LDL (mg/dl) tdk PJK Kolesterol LDL (mg/dl) dg PJK Kolesterol HDL (mg/dl) dg PJK Trigliserid (mg/dl) tanpa PJK Trigliserid (mg/dl) dg PJK BMI=IMT wanita BMI=IMT pria Tekanan darah (mmHg) Sumber: Perkeni,2011
Baik 80-109 110-159 4-5,9 <130 <100 >45 <200 <150 18,5-22,9 20-22,9 120/80
Sedang 110-139 160 6-8 130-159 100-129 35-45 200-249 150-199 23-25 25-27 140-160/90-95
Buruk ≥140 ≥200 ≥8 ≥160 ≥130 <35 ≥250 ≥200 >25/< 18,5 >27/<20 >160/95
11
2.3 Strategi Pengendalian Kadar Gula Darah Pengendalian kadar gula darah pada penderita diabetes secara umum bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan tujuan jangka pendek adalah untuk menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman serta dapat mencapai target pengendalian glukosa darah. Sedangkan tujuan jangka panjang dalam penatalaksanaan pengendalian kadar gula darah ini yakni
untuk
mencegah
atau
menghambat
penyakit
makroangiopati,
mikroangiopati dan neuropati sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari DM (ADA, 2015). Kerangka utama dalam pengelolaan DM yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologi. a. Edukasi Edukasi DM merupakan pelatihan dan pendidikan tentang pengetahuan dan keterampilan penderita DM sebagai suatu langkah untuk meningkatkan pemahaman terhadap penyakit, untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik (Soegondo, 2007). Edukasi yang diberikan, diharapkan terjadi perubahan perilaku pada penderita DM kearah yang lebih baik. Perubahan perilaku ini didukung oleh partisipasi aktif penderita DM serta keluarga dan tim kesehatan (ADA, 2015). b. Terapi Makanan Medis Terapi makanan medis memiliki prinsip pengaturan makan yakni makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori serta zat gizi masing-masing individu. Pada penatalaksanaan ini, untuk mencapai keberhasilan diperlukan keterlibatan dari tenaga kesehatan, penderita DM dan keluarga. Selain itu,
12
perlunya ditekankan bahwa keteraturan makan dalam jadwal, jenis dan jumlah makanan terutama pada penderita DM yang menggunakan obat hypoglykemik atau insulin sangatlah penting (PERKENI, 2011). Pada konsensus perkumpulan endokrinologi Indonesia telah menetapkan bahwa standar yang dianjurkan yaitu santapan dengan komposisi seimbang berupa karbohidrat (60-70%), protein (10-15%) dan lemak (20-35%) (Mansjoer, 2009). Makanan yang diberikan telah disesuaikan dengan jumlah energi yang dihitung kemudian didistribusikan kedalam tiga porsi makan, yakni makan pagi 20%, makan siang 30% dan makan sore 25% serta 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15% diantara makan besar (PERKENI, 2011). c. Latihan Jasmani Latihan jasmani pada penderita DM bertujuan untuk menurunkan berat badan serta memperbaiki sensitivitas insulin agar dapat mengendalikan kadar gula darah menjadi lebih baik (PERKENI, 2011). Penderita DM dianjurkan latihan jasmani 3 hingga 4 kali tiap minggu selama ±0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhytmica, Interval, Progresive, Endurance Training). Latihan dilakukan secara terus menerus, otot-otot berkontraksi dan berelaksaasi secara teratur, bergantian antara gerak cepat dan lambat, berangsur-angsur dari sedikit kelatihan yang lebih berat secara bertahap dan dalam tahap waktu tertentu. Latihan yang dapat dijadikan pilihan seperti: jalan kaki, jogging, lari, renang bersepeda dan mendayung (Mansjoer, 2009).
13
d. Intervensi Farmakologi Terapi farmakologi pada penderita DM dapat dibagi menjadi 2 yaitu obat hipoglikemik oral (OHO) dan terapi insulin dilakukan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (PERKENI, 2011). Apabila pengaturan makanan dan kegiatan jasmani telah dilakukan oleh penderita DM secara teratur, tetapi kadar glukosa darah tidak stabil maka dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik baik oral maupun suntik. Contoh obat hipoglikemik oral: sulfoniluria, biguanid, inhibitor α glukosidase, insulin sensitizing agent (Mansjoer, 2009). 2.4 Faktor yang Mempengaruhi Pengendalian DM Tipe 2 a) Umur Umur dapat berpengaruh meningkatkan kadar gula darah seseorang, terutama bila usianya telah lebih dari 40 tahun. Pada umur lebih dari 40 tahun jumlah insulin dan resistensi insulin telah berkurang yang disebabkan oleh fungsi sel beta pankreas mengalami penurunan yang besarnya tergantung pada beban kerja sel beta pankreas, sehingga kadar gula dalam darah akan meningkat (Holt, 2009). Umur merupakan faktor yang tidak bisa diubah, oleh karena itu sebaiknya seseorang yang sudah lebih dari 40 tahun rutin untuk mengecek kadar gula darah, mengatur pola makan dan olahraga agar kadar gula darah tetap normal (Soewondo, 2009). Faktor umur berperan dalam pengendalian glukosa darah pada penderita DM tipe 2. Studi yang dilakukan oleh Sunjaya (2009) menemukan bahwa kelompok umur yang paling banyak menderita DM adalah kelompok umur 45-52
14
tahun (47,5%). Selain itu, hasil penelitian Ahmad et al tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pengendalian kadar gula darah di tujuh klinik daerah Hulu Langat Malaysia pada tahun 2013, dari karakteristik responden yang diteliti bahwa proporsi responden yang memiliki kadar gula darah tidak terkontrol berusia antara 41-64 tahun lebih besar (78,5%) dari pada yang memiliki kadar gula darah terkontrol (21,5%). Menurut Trisnawati dan Setyorogo tahun 2013 bahwa DM tipe 2 menunjukan adanya hubungan yang signifikan pada kelompok umur kurang dari 45 tahun. b) Jenis Kelamin DM berisiko lebih besar dialami oleh perempuan dari pada laki-laki, hal ini disebabkan secara fisik perempuan memiliki kesempatan peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Premenstruasi syndrome, pasca menopaus yang dialami oleh perempuan membuat distribusi pada lipid tubuh menjadi mudah terakumulasi yang disebabkan oleh proses hormonal yang dialami, sehingga perempuan lebih berisiko mengalami DM tipe 2 (Irawan, 2010). Hasil penelitian mengenai faktor risiko jenis kelamin pada DM tipe 2 masih bervariasi, seperti penelitian Xu et al
(2007) menunjukkan bahwa di
Amerika jenis kelamin perempuan dengan pengendalian kadar gula darah yang lebih buruk dari pada laki-laki. Trisnawati dan Setyorogo (2013) juga menyatakan bahwa di Indonesia menunjukkan perempuan memiliki pengendalian kadar gula darah yang buruk. Sedangakan penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2013) menyatakan bahwa proporsi pengendalian kadar gula darah yang buruk lebih tinggi pada laki-laki (63,6%) dibandingkan pada perempuan (60,4%). Adanya
15
perbedaan kadar gula darah pada perempuan dan laki-laki disebabkan oleh perbedaan perilaku dan sikap terhadap DM. c) Ras dan Etnik Pada beberapa ras tertentu, pengedalian kadar gula darah penderita DM dinyatakan lebih baik. Pengendalian glukosa darah pada penderita DM tipe 2 di Asia Selatan yang diukur melalui Hb1AC lebih buruk jika dibandingkan dengan penderita DM kulit putih di Eropa (Mustafa et ai, 2012). Namun, penelitian yang dilakukan di Inggris menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal pengendalian kadar gula darah antara etnik India, Afro-Karabia dan Kaukasia (Davis et al, 2001). Pebedaan yang terjadi dapat dipengeruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan akses terhadap pelayanan kesehatan. d) Durasi Penyakit Meningkatnya durasi DM berhubungan dengan semakin buruk kendali pada kadar gula darah. Hal ini berkaitan dengan progresivitas penurunan sekresi insulin yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas (Khattab et al, 2010). Hasil penelitian mengenai faktor risiko durasi penyakit dengan kejadian DM tipe 2 masih bervariasi, seperti penelitian Siddiqui et al (2013) menunjukkan bahwa meskipun pengendalian glukosa darah lebih buruk pada durasi penyakit yang lebih panjang, tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara durasi penyakit dengan pengendalian kadar gula darah. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Pascal et al (2012) dan Ahmad et al (2013) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara durasi penyakit
16
dengan pengendalian glukosa darah pada penderita DM tipe 2 dengan proporsi pengendalian kadar glukosa darah (OR: 0,948; 99%CI: 0,090-0,989). e) Kepatuhan Minum Obat Kepatuhan dalam pengobatan juga berpengaruh terhap pengendalian kadar gula darah seseorang. Pengobatan yang diberikan bertujuan untuk membantu meningkatkan produksi insulin sehingga dapat membantu agar kadar gula darah tetap dalam kondisi stabil (Maulana, 2008). Kepatuhan minum obat merupakan keterlibatan secara fisik dan sukarela dari penderita terhadap pengelolaan penyakit yang diderita dengan mengikuti kesepakatan pengobatan yang telah dibuat antara penderita dan petugas kesehatan (WHO, 2003). Obat-obatan hipoglikemi oral memiliki cara kerja yang berbeda, yakni sebagai pemicu sekresi insulin (sulfoniluria dan glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin (metformin dan tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (metformin),
penghambat
absorbsi
glukosa
(penghambat
glukosidase
alfa/aarbose) dan DPP-IV inhibitor (PERKENI, 2011). Menurut Anani et al (2012) menunjukkan proporsi kendali kadar gula darah yang buruk lebih tinggi pada responden yang tidak teratur minum obat (84%) dibandingkan dengan yang teratur (59,6%). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2013) menunjukan bahwa responden dengan pengendalian kadar gula darah yang buruk memiliki proporsi lebih tinggi (78,1%) dibandingkan dengan responden yang memiliki kepatuhan minum obat sedang (62,8%), sehingga secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara kepatuhan minum obat dengan pengendalian kadar glukosa darah dengan nilai p
17
value 0,042. Sedangkan menurut Mihardja (2009) penderita DM memiliki pengendalian kadar gula darah tidak terkontrol lebih banyak pada penderita yang tidak teratur minum obat (OR: 1,7; 95%CI: 1,2-2,6). f) Kepatuhan Diet Kepatuhan (adherency) adalah keterlibatan penuh pasien dalam proses penyembuhan diri baik melalui kepatuhan atas instruksi yang diberikan untuk terapi ataupun ketaatan melakukan anjuran lain dalam mendukung terapi (Depkes, 2006). Kepatuhan diet dalam mengikuti anjuran konsumsi makanan bagi penderita DM sesuai dengan PERKENI 2011, seperti diuraikan dibawah ini. 1. Asupan energi 90-110% dari kebutuhan energi. 2. Asupan karbohidrat sebanyak 45-65% dari total energi dengan konsumsi sukrosa tidak <5% dari total asupan energi. 3. Asupan lemak sebanyak 20-25% total energi, dengan asupan lemak jenuh <7% dan lemak tak jenuh ganda <10% total energi dan kolesterol <200mg. 4. Asupan protein sebesar 10-20% total energi. Prinsip diet yang dianjurkan adalah teratur dalam jadwal, jumlah dan jenis. Diet makan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan energi yang berkaitan dengan tinggi badan, berat badan dan jenis pekerjaan yang dilakukan. Pengaturan diet pada penderita DM diatur dalam 3 makanan utama (pagi, siang, sore) dan 2-3 makanan selingan diantara makanan utama jarak waktu makan dilakukan tiap 3 jam (Waspadji, 2009).
18
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengendalian kadar glukosa darah penderita DM tipe 2 barhubungan dengan kepatuhan terhadap diet yang dianjurkan (Dewi, 2013). Sedangkan pengendalian kadar glukosa darah yang buruk secara signifikan disebabkan ketidakpatuhan dalam melakukan diet (Ahmad et al, 2013). Sedangkan responden yang mengkonsumsi sayur kurang dari 5 porsi perhari lebih banyak dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi sayur ≥5 porsi sehari yakni sebesar 91,2 % (Mihardja, 2009). g) Asupan Karbohidrat, Protein, Lemak dan Serat Karbohidrat adalah sumber tenaga utama untuk kegatan sehari-hari, terdiri atas tepung-tepungan dan gula yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah post pradial dan kebutuhan insulin. Karbohidrat berperan menyediakan glukosa yang berfungsi sebagai sumber energi untuk sel-sel tubuh (Moore, 2009). Makanan yang termasuk dalam jenis karbohidrat sederhana (monosakarida dan disakarida) hanya mengandung karbohidrat saja namun tidak mengandung zat gizi penting lain sehingga kurang bermanfaat bagi tubuh dan lebih cepat meningkatkan kadar gula darah (Maulana, 2008). Beberapa penelitian menyatakan asupan karbohidrat merupakan faktor yang berhubungan dengan pengendalian kadar glukosa darah, glukosa darah tidak terkontrol pada penderita DM yang mengkonsumsi tinggi karbohirat (Eid et al, 2004). Kadar gula darah mengalami penurunan seiring menurunnya asupan karbohidrat. Kadar gula darah lebih rendah pada asupan karbohidrat 40% dibandingkan dengan asupan 55% karbohidrat (Wheeler et al, 2012).
19
Asupan protein yang dianjurkan oleh PERKENI (2011) bagi penderita DM yakni sebesar 10-20% dar total kebutuhan kalori, kecuali pada penderita DM nefropati yakni sebesar 10% atau 0,8g/kg BB. Perencanaan makan dapat mencakup penggunanan beberapa makanan sumber protein nabati seperti kacangkacangan dan biji-bijian yang utuh untuk membantu mengurangi asupan kolesterol serta lemak jenuh yang dapat mempengaruhi kadar gula darah (Smeltzer, 2002). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Gannon et al (2003) diketahui bahwa peningkatan asupan protein dari 15% menjadi sebesar 30% kebutuhan energi serta penurunan asupan karbohidrat dari 55% menjadi 40% mampu menurunkan kadar gula darah post pradial serta memperbaiki pengendalian glukosa darah pada penderita DM tipe 2. Asupan protein diketahui berhubungan dengan pengendalian kadar gula darah penderita DM tipe 2 (Xu, et al, 2007). Anjuran asupan lemak bagi penderita DM sebesar 20-25% total energi, dengan asupan lemak jenuh <7% dan lemak tak jenuh ganda <10% total energi (PERKENI, 2011). Selain itu, pembatasan asupan total kolesterol dari makanan hingga <30 mg/hari sangat dianjurkan. Kadar kolesterol tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas sehingga terjadi lipotoksisitas. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya
kerusakan
sel
beta
pankreas
yang
akhirnya
mengakibatkan DM tipe 2 (Kemenkes, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Xu et al (2007) menunjukkan asupan total lemak >30% total energi berhubungan dengan pengendalian kadar gula darah yang buruk ditandai dengan tingginya nilai HbA1C. hasil uji statistik
20
menunjukkan asupan lemak memiliki p value 0,044 (p value < 0,05) menunjukkan bahwa ada hubungan antara asupan lemak dengan pengendalian glukosa darah (Astuti, 2013). Tipe diet pada asupan serat berperan dalam penurunan kadar total kolesterol dan LDL (Low Desity Lipoptotein) kolesterol dalam darah dan memperbaiki kadar glukosa darag sehingga kebutuhan insulin dari luar dapat dikurangi (Smeltzer, 2002). Serat terbagi menjadi dua golongan, yakni serat larut air meliputi pectin, gum, mulkilase, glukan dan algal, serta serat tidak larut dalam air meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin (Almatsier, 2004). Berdasarkan beberapa penelitian, asupan serat diketahui memiliki hubungan yang signifikan dengan pengendalian kadar gula darah pada penderita DM tipe 2. Serat diketahui berhubungan dengan indeks glikemi makanan, dimana semakin tinggi kadar serat dalam makanan akan menurunkan indeks glikemik makanan tersebut (Post et al, 2012). h) Indeks Masa Tubuh (IMT) Pengaruh indeks masa tubuh terhadap DM dapat disebabkan oleh aktivitas fisik yang kurang serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan faktor risiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan peningkatan asam lemak (Free Fatty Acid (AFF)) dalam sel. Peningkatan AFF akan menurunkan translokasi transporter glukosa ke membran plasma, sehingga menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada jaringan otot dan adipose (Lemos, et al. 2011). Perhitungan berat badan ideal untuk Indeks Masa Tubuh (IMT) dapat
21
dihitung dengan rumus IMT = BB (Kg)/TB (m2). Klasifikasi IMT menurut WHO dapat diuraikan dibawah ini. Tabel 2.2 Klasifikasi IMT Menurut WHO Klasifikasi Berat badan kurang Berat badan normal Berat badan lebih (at risk) Obes 1 Obes 2
Nilai < 18,5 18,5 – 22,9 23,0 – 24,9 25,0 – 29,9 ≥ 30
Sumber: The Asia-Pasific Perspective: Redefining Obesity and its Treatment, 2000
Beberapa penelitian menyatakan bahwa indeks masa tubuh memiliki hubungan dalam pengendalian kadar gula darah pada DM tipe 2. Penelitian yang dilakukan oleh Sunjaya (2009) menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami obesitas mempunyai risiko 2,7 kali lebih besar terkena penyakit DM dibandingkan dengan seseorang yang tidak mengalami obesitas. Hasil perhitungan OR menunjukkan seseorang yang obesitas mempunyai risiko untuk menderita DM. Kelompok dengan risiko DM terbesar yakni pada kelompok obesitas dengan odds 7,14 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok IMT normal dengan OR: 0,14 dan 95%CI: 0,041-0,527 (Ahmad et al, 2013). i) Indeks Glikemik Indeks glikemi merupakan pengelompokan makanan berdasarkan respon kadar gula darah dalam tubuh terhadap makanan dibandingkan dengan respons gula darah tubuh terhadap glukosa murni. Indeks glikemi bermanfaat untuk menentukan respon gula darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Waspadji, 2003). Menurut Jenny Miller, nilai indeks glikemik digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: rendah <55, sedang 55-70 dan tinggi >70.
22
Beberapa penelitian menyatakan bahwa penderita DM tipe 2 yang melakukan diet rendah indeks glikemik yang dilakukan selama 4-12 minggu dapat menurunkan kadar gula darah puasa serta memberikan nilai A1C lebih rendah (Heilbornn et al, 2002). j) Aktivitas Fisik Latihan fisik yang teratur bertujuan untuk memperbaiki proses pengolahan gula darah, asam lemak serta menyusun kadar gula darah di dalam otot tidak menjadi berlebihan. Sehingga latihan fisik yang dilakukan dapat membantu menghilangkan kelebihan kalori untuk mencegah obesitas serta mengurangi kolesterol (Moeloek, 2003). Aktivitas fisik dapat mengontrol kadar gula darah. Glukosa akan diubah menjadi energi pada saat melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga glukosa dalam darah akan berkurang. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM (Kemenkes, 2010). Sumosardjuno (2003) menyarankan untuk penderita DM berolahraga 6 kali seminggu dalam porsi sedang. Jenis latihan fisik yang dapat dilakukan yakni aerobik seperti jalan kaki atau senam dengan durasi 20-45 menit per hari. Berdasarkan hasil penelitian Trisnawati et al (2013) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan secara statistik antara aktivitas fisik dengan kejadian DM tipe 2. Seseorang yang melakukan aktivitas fisik sehari-harinya berat memiliki risiko lebih rendah untuk menderita DM dibandingkan dengan yang memiliki aktivitas fisik ringan (OR: 0,239; 95% CI: 0,071-0,802).
23
k) Stres Stres psikologis memiliki hubungan dengan pengendalian kadar gula darah baik secara langsung, yakni melalui mekanisme hormon dalam tubuh maupun secara tidak langsung yang dipengarahui dari perilaku pengelolaan DM (Goldstein dan Dirk, 2008). Mekanisme tubuh dalam menanggapi adanya stres yakni dengan mengirimkan sinyal kelenjar adrenal untuk memproduksi hormon ketokelamin, kortisol dan juga menstimulasi kelenjar pituitari untuk memproduksi hormon pertumbuhan. Hormon kortisol dapat berfungsi sebagai pemecah karbohidrat, lemak dan protein untuk mempersiapkan energi bagi tubuh agar dampak yang ditimbulkan oleh stres dapat berkurang (Lloyd et al, 2005). Stres tidak hanya mempengaruhi pengendalian kadar gula darah melalui mekanisme fisiologis, tatapi juga mempengaruhi pengelolaan diabetes. Reaksi yang ditimbulkan akibat stres dapat berupa kecemasan dan depresi sehingga menyebabkan pengaturan makan tidak dilakukan dengan baik, kepatuhan dalam pengobatan menjadi buruk serta perilaku tidak sehat seperti merokok dapat menyebabkan kadar gula darah tidak terkendali dengan baik (Lloyd et al, 2005). l) Pengetahuan Pengetahuan didapatkan dari hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan faktor yang terpenting dalam pembentukan perilaku seseorang. Perilaku yang berdasarkan pengetahuan akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan perilaku yang tidak berdasarkan pengetahuan (Soekidjo, 2003).
24
Diketahui bahwa penderita DM tipe 2 yang memiliki tingkat pengetahuan lebih tinggi memiliki pengendalian kadar gula darah lebih baik (Trisnawati dan Setyorogo, 2013). Peningkatan pengetahun seseorang dengan DM melalui pemberian edukasi diharapkan dapat menunjang perubahan perilaku sehingga penderita DM dapat memperoleh keadaan sehat secara optimal dan kualitas hidup yang lebih baik (Mihardja, 2009). m) Dukungan Keluarga Pengelolaan DM tipe 2 diperlukan adanya perubahan perilaku seseorang dengan DM kearah yang lebih sehat. Perubahan perilaku pada penderita diabetes membutuhkan dukungan sosial dan lingkungan sekitar, seperti anggota keluarga penderita DM. Dukungan keluarga secara langsung dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan, dimana dukungan negatif keluarga berhubungan dengan ketidakpatuhan pengobatan pada penderita DM tipe 2 (Mayberry dan Osborn, 2012). Sejalan dengan penelitian Adetunji et al (2007) menyatakan bahwa dukungan keluarga berhubungan dengan pengendalian kadar gula darah. n) Jarak Fasilitas Kesehatan Pengendalian glukosa darah pada penderita DM tipe 2 membutuhkan keteraturan pengobatan secara rutin. Apabila tidak dilakukan pengendalian secara teratur dapat berdampak buruk terhadap glukosa darah dan kesehatan penderita DM tipe 2. Analisis lanjut pada studi mortalitas tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian cenderung lebih banyak terjadi di pedesaan daripada perkotaan. Salah satu penyebab dalam hal ini karena kurang meratanya distribusi tenaga kesehatan di wilayah pedesaan dan kurangnya fasilitas kesehatan yang tersedia. Selain itu
25
jarak dan sarana transportasi dapat membatasi kemauan dan kemampuan dalam mencari fasilitas kesehatan. Sebagaimana dilihat dari tempat kematian, sebagian besar (≥60%) kejadian kematian akibat penyakit terjadi di rumah (Handajani et al. 2010). o) Paparan Asap Rokok Merokok merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM tipe 2. Terpapar asap rokok dapat meningkatkan kadar gula darah. Pengaruh rokok (nikotin) merangsang kelenjar adrenal dan menyebabkan meningkatnya kadar glukosa. Beberapa penelitian menyatakan bahwa perokok pasif memiliki risiko 76% lebih tinggi terutama mengalami DM tipe 2 dibandingkan dengan yang tidak terpajan (Irawan, 2010). Sedangkan studi yang dilakukan oleh Trisnawati dan Setyorogo (2013) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara terpapar
asap
rokok
95%CI: 1,026-11,47).
dengan
kejadian
DM
tipe
2
(OR:
3,431;