6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus (DM) Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kadar glukosa darah karena terjadi penurunan kadar hormon insulin. Penyebab terjadinya diabetes, yang pertama yaitu jumlah sekresi hormon insulin berkurang, sehingga tidak mampu mengambil glukosa dari sirkulasi darah dan tidak mampu mengontrol kadar glukosa sehingga kadar glukosa tetap tinggi dan terbuang melalui urin. Penyebab kedua adalah resistensi insulin, jumlah insulin cukup tetapi insulin tersebut tidak sensitif lagi sehingga tidak mampu bekerja secara optimal dan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel yang mengakibatkan penggunaan glukosa sebagai
energi
terhambat sehingga
menyebabkan kekurangan energi pada sel, kemudian akan menimbulkan respon tubuh untuk mencari energi dari sumber lain seperti glikogenolisis dan glukoneogenesis. Diabetes mellitus juga dapat terjadi akibat kombinasi dari kedua penyebab tersebut (McClung et al, 2004). Gejala umum yang sering dialami oleh penderita adalah cepat merasa lapar (polifagi), kehausan yang terus menerus (polidipsi), banyak kencing (puliuri), penurunan berat badan yang cepat, cepat lelah, dan kaburnya penglihatan. Keadaan kadar glukosa normal pada saat puasa adalah < 100 mg/dL dan 2 jam setelah beban < 140 mg/dL. Prediabetes pada saat puasa 100 – 125 mg/dL dan 2 jam setelah beban 140 – 199 mg/dL. Sedangkan untuk diabetes, kadar glukosa
6
7
puasa adalah ≥ 126 mg/dL dan 2 jam setelah beban ≥ 200 mg/dL (McWright, 2008). Diabetes Melitus pada umumnya dibagi menjadi 3 tipe, yaitu sebagai berikut: 1.
Diabetes tipe I Diabetes tipe I (sebelumnya disebut insulin dependent diabetes mellitus atau
IDDM) merupakan diabetes yang bergantung pada insulin. Diabetes ini dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Hal ini dapat diderita oleh anak-anak maupun remaja karena faktor keturunan (McWright, 2008; Suryo, 2010). Kebanyakan penderita diabetes tipe ini memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respon tubuh terhadap insulin umumnya normal, terutama pada tahap awal. Saat ini, diabetes tipe I hanya dapat diobati menggunakan insulin dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor penguji darah. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga) (Suryo, 2010). 2.
Diabetes tipe II Diabetes tipe II (sebelumnya disebut non insulin dependent diabetes mellitus
atau NIDDM) merupakan diabetes yang tidak tergantung kepada insulin. Dari seluruh pengidap diabetes, lebih dari 90% menderita diabetes tipe II (Nathan, 2009).
8
Ada dua penyebab utama diabetes tipe II, pertama adalah timbulnya resistensi terhadap insulin yang menyebabkan jaringan tubuh menjadi kurang peka terhadap efek insulin. Akibatnya, gula yang beredar dalam darah mengalami kesulitan untuk meninggalkan darah dan memasuki sel-sel tubuh. Untuk menurunkan kadar gula secara efektif dan memenuhi tugas insulin lainnya, dibutuhkan lebih banyak insulin. Penyebab kedua dari diabetes tipe II adalah tidak adanya kemampuan meningkatkan kadar insulin guna memenuhi kebutuhan yang meningkat (Nathan, 2009). Diabetes tipe II pada awalnya diobati dengan cara peningkatan aktivitas fisik, diet (pengurangan asupan karbohidrat), dan pengurangan berat badan. Hal ini dapat mengembalikan kepekaan terhadap hormon insulin. Langkah berikutnya, jika perlu, perawatan oral dengan obat antidiabetes di bawah pengawasan dokter (Suryo, 2010). 3.
Diabetes gestasional Diabetes gentasional adalah diabetes terjadi pada saat kehamilan, ada
kemungkinan akan normal kembali namun toleransi glukosa yang terganggu juga bisa berlanjut setelah kehamilan tersebut jika tidak mendapatkan penanganan dengan baik. Perlu dilakukan pemeriksaan sebelum 24 minggu kehamilan. Data statistik menunjukkan bahwa pengontrolan gula darah saat kehamilan bagi penderita diabetes gestasional akan menghindari ibu dan bayi yang dilahirkan dari kematian atau cacat (Gutrhrie dan Guthrie, 2003)
9
2.2 Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Gambar 2.1 Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) (Lindequiest et al., 2005) Klasifikasi tanaman jamur tiram putih adalah sebagai berikut (Lindequiest et al., 2005) : Kingdom : Mycetea
2.2.1
Divisi
: Amastigomycotae
Kelas
: Hymenomycetes
Ordo
: Agaricales
Famili
: Pleurotaceae
Genus
: Pleurotus
Spesies
: Pleurotus ostreatus
Deskripsi Jamur Tiram Putih
Jamur tiram putih memiliki bagian tubuh yang terdiri dari akar semu (rhizoid), tangkai (stipe), dan tudung (pileus/cap). Jamur tiram memiliki tudung membulat, lonjong, dan agak melengkung seperti cangkang tiram (Muchrodi,
10
2001). Jamur tiram memiliki ciri-ciri fisik seperti permukaannya yang licin dan agak berminyak ketika lembab, bagian tepinya agak bergelombang, letak tangkai lateral agak disamping tudung dan daging buah berwarna putih (pleurotus sp.). Jamur tiram memiliki diameter tudung yang menyerupai cangkang tiram berkisar antara 5-15 cm, jamur ini dapat tumbuh pada kayu-kayu lunak dan pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut, spesies ini tidak memerlukan intensitas cahaya tinggi karena dapat merusak miselia jamur dan tumbuhnya buah jamur. Jamur tiram dapat tumbuh dan berkembang dengan suhu 15o-30oC pada pH 5,5-7 dan kelembaban 80%-90%. Spesies ini tidak memerlukan intensitas cahaya tinggi karena akan merusak miselia jamur dan tubuh buah jamur (Achmad, 2011). 2.2.2
Kandungan Jamur Tiram Putih
Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian, jamur tiram putih mengandung protein rata-rata 3,5%-4% dari berat basah. Hal ini berarti kandungan protein dalam jamur dua kali lipat lebih tinggi dari asparagus dan kubis. Jika dihitung dari berat kering, jamur tiram mengandung protein yang cukup tinggi yaitu sebesar 19% sampai dengan 35%, apabila dibandingkan dengan produk makanan pokok lainnya, seperti beras yang hanya 7,3% gandum 13,2%, kedelai 39,1%, dan susu sapi 25,2%. Jamur tiram juga mengandung sembilan asam amino yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin danfenil alanin. Tujuh puluh dua persen lemak dalam jamur tiram adalah asam lemak tidak jenuh, sehingga aman dikonsumsi baik yang menderita kelebihan kolesterol (hiperkolesterol) maupun gangguan metabolisme lipid lainnya. Sebanyak 28% asam lemak jenuh serta adanya semacam
11
polisakarida kitin di dalam jamur tiram. Asam amino esensial jamur tiram sangat direkomendasikan untuk makanan diet sehari-hari (Sunarmi, 2006).
Tabel 2.1 Kandungan gizi dalam jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) (Johnny, 2013) Zat gizi Protein Serat Lemak Abu Karbohidrat Kalori Kalsium Zat besi Fosfor Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin C Niacin
Kandungan (gram) 13,8 3,5 1,41 3,6 61,7 0,41 32,9 4,1 0,31 0,12 0,64 5 7,8
Hasil penelitian dari Beta Glucan Health Center menyebutkan bahwa jamur tiram putih mengandung senyawa pleuran (β-1,6 dan β-1,3-glukan). Adanya polisakarida khususnya Beta-D-glucans pada jamur tiram mempunyai efek positif mereduksi gula darah, sehingga gula darah yang tidak tereduksi dapat direduksi kemudian dapat diserap tubuh dan dapat meningkatkan sistem imun (Sumarsih, 2009). Menurut hasil penelitian dari Johnny (2013) bahwa jamur tiram putih mengandung saponin, alkaloid, dan flavonoid. Flavonoid adalah kelompok polifenol yang terdistribusi secara luas pada tumbuh-tumbuhan. Flavonoid seperti pada penelitian sebelumnya diperkirakan dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan menghambat penyerapan glukosa dari lumen saluran cerna, meningkatkan utilisasi glukosa di jaringan perifer,
12
hingga bekerja secara langsung terhadap sel β pankreas, dengan memicu pengaktifan kaskade sinyal cAMP (cyclic Adenosine Monophosphate) dalam memperkuat sekresi insulin yang disensitisasi oleh glukosa (Brahmachari, 2011). Flavonoid dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan kemampuannya sebagai zat antioksidan. Antioksidan dapat menekan apoptosis sel beta tanpa mengubah proliferasi dari sel beta pankreas. Antioksidan dapat mengikat radikal bebas yang telah dibuktikan dalam penelitian Ruhe et al. (2001), sehingga dapat mengurangi resistensi insulin. Antioksidan dapat menurunkan Reactive Oxygen Spesies (ROS). Dalam pembentukan ROS, oksigen akan berikatan dengan elektron bebas yang keluar karena bocornya rantai elektron. Reaksi antara oksigen dan elektron bebas inilah yang menghasilkan ROS dalam mitokondria. Antioksidan pada flavonoid dapat menyumbangkan atom hidrogennya. Flavonoid akan teroksidasi dan berikatan dengan radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi senyawa yang lebih stabil (Ruhe et al., 2001).
2.3 Aloksan Pada penelitian ini digunakan aloksan untuk membuat hewan percobaan menjadi hiperglikemia. Aloksan dengan rumus struktur seperti pada Gambar 2.2 memiliki sifat fisiko kimia sebagai berikut: serbuk berwarna putih, mudah larut dalam air, dan stabil pada suhu mendekati 00C. Aloksan adalah substrat yang secara struktural adalah derivat pirimidin sederhana. Aloksan murni diperoleh dari oksidasi asam urat oleh asam nitrat (Yuriska, 2009). Berikut merupakan beberapa informasi mengenai aloksan :
13
Rumus molekul
: C4H2N2O4
Rumus Struktur
:
Gambar 2.2 Struktur aloksan (Yuriska, 2009)
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan percobaan. Yuriska (2009) melaporkan dosis aloksan yang digunakan untuk menghasilkan diabetes bervariasi dari 60-125 mg/kg bb. Penggunaan dosis aloksan 125 mg/kg bb menghasilkan tikus diabetes sedang dengan kadar glukosa antara 200-400 mg/dl, sedangkan dosis 175 mg/kg bb menghasilkan tikus diabetes parah dengan kadar glukosa diatas 400 mg/dl yang diukur dalam 48 jam setelah induksi. Injeksi aloksan monohydrate dengan dosis 150 mg/kg bb bisa menyebabkan tikus diabetes. Kadar glukosa darah tikus normal adalah 78-150 mg/dl (Ganda et al., 1976; Farr et al., 1999 dalam Mahaswari, 2011).
2.4 Pankreas Pankreas terletak pada rongga abdomen, memiliki permukaan yang membentuk lobulasi, berwarna putih keabuan hingga kemerahan. Organ ini merupakan kelenjar majemuk yang terdiri atas jaringan eksokrin yang
14
menghasilkan enzim-enzim pankreas (amylase, peptidase, dan lipase), dan jaringan endokrin yang menghasilkan hormon–hormon (insulin, glukagon, dan somatostatin). Pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat total pankreas. Pulau Langerhans berbentuk opoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau Langerhans yang terkecil adalah 50μ, sedangkan yang terbesar 300μ, terbanyak adalah yang besarnya 100-225μ. Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 1-2 juta. Pada pewarnaan Hematoxylen-Eosin (HE), akan terlihat pulau Langerhans lebih pucat dibandingkan dengan sel-sel kelenjar acinar disekelilingnya sehingga pulau Langerhans mudah dibedakan. Penderita DM akan mengalami perubahan morfologi pada pulau Langerhans, baik dalam jumlah maupun ukurannya (Sandberg dan Philip, 2008). Perubahan sitologi sel β pankreas karena toksisitas aloksan terjadi sangat cepat dan mempunyai bentuk yang seragam pada berbagai species. Penyusutan sitoplasma dan inti sel teramati setelah pemberian aloksan selama 5 menit. Sitoplasma menjadi homogen dan diikuti dengan penyusutan ukuran sel. Sel β pankreas benar-benar hancur dan hanya tersisa debris sel setelah pemberian aloksan dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 3-5 hari tidak ada sel β yang teramati walaupun sel α tetap normal. Sistem endokrin dimana sistem saraf bekerja dengan perantara impuls elektrik dan neurotransmitor yang berfungsi menghantar impuls antar saraf. Sistem Endokrin bekerja dengan perantara suatu senyawa kimia yang dikenal dengan hormon. Senyawa ini akan membawa pesan dengan fungsi
15
tertentu melalui aliran darah menuju ke suatu jaringan atau organ. Sistem endokrin bekerja lebih lambat dibanding dengan sistem saraf, dimana proses produksi, sekresi, transport dan eliminasi hormone dalam darah akan membutuhkan waktu lebih panjang. Hal ini berbeda dengan sistem saraf, yang perambatan dan pengiriman sinyal terjadi sangat cepat (Sandberg dan Philip, 2008).
Gambar 2.3 Organ pankreas (Sandberg dan Philip, 2008)
Kelenjar pankreas memproduksi hormon insulin dan glukagon, juga memproduksi enzim-enzim yang dibutuhkan untuk pencernaan makanan dalam usus. Kelenjar Pankreas adalah kelenjar yang bersifat eksokrin dan endokrin. Sebagai kelenjar eksokrin, kelenjar pankreas memproduksi getah pankreas (pancreatic juice) yang mengandung enzim-enzim dan berguna untuk pencernaan makanan. Getah pankreas ini disalurkan melalui saluran pancreas, masuk ke dalam usus dua belas jari dan mengambil bagian dalam proses pencernaan. Sebagai kelenjar endokrin, pankreas memproduksi dan mensekresi tiga jenis
16
hormon peptida secara langsung dalam pembuluh darah : Hormon Insulin, Glukagon, Somatostatin. Insulin dan glukagon adalah hormone pankreas yang paling penting. Hormonhormon tersebut bekerja berlawanan pada hati dalam mengatur kadar gula darah. Secara topografinya, pankreas terletak dalam rongga abdomen, berada di belakang organ lambung dengan ukuran panjang kurang lebih 15 cm. Histologi kelenjar eksokrin terdiri dari sel-sel asiner pankreas dan memproduksi cairan getah pankreas sedangkan kelenjar endokrin terdiri dari kelompok sel-sel endokrin yang tersebar di seluruh pancreas. Kelompok sel ini dikenal sebagai Panceratic Islets atau Pulau Langerhans. Secara histologis, sel Langerhans terdiri dari tiga jenis tipe sel : sel alfa memproduksi glukagon, sel beta memproduksi insulin, dan sel delta memproduksi somatostatin, dimana sel beta merupakan sel dominan dalam kelompok sel Langerhans (Butler et al., 2001).
2.5 Glukosa Glukosa merupakan zat terpenting dalam kaitannya dengan penyediaan energi dalam tubuh. Semua karbohidrat yang dikonsumsi baik itu monosakarida, disakarida maupun polisakarida akan dikonversi menjadi glukosa dalam hati. Di dalam tubuh, glukosa tidak hanya dapat tersimpan dalam bentuk glikogen di dalam otot dan hati namun juga dapat tersimpan pada plasma darah dalam bentuk glukosa darah. Glukosa selain akan berperan sebagai bahan bakar bagi proses metabolisme, juga sebagai sumber energi utama bagi kerja otak (Irawan, 2006).
17
Glukosa diabsorbsi dalam tubuh, kadar glukosa dalam darah akan meningkat untuk sementara waktu, dan akhirnya akan kembali ke kadar semula. Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagaian besar tergantung dari ekstraksi glukosa, sintesis glikogen, dan glikogenolisis dalam hati. Selain itu jaringan perifer otot dan adipose juga mempergunakan glukosa sebagai sumber energi. Jaringanjaringan ini ikut berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah, meskipun secara kuantitatif tidak sebesar hati (Price dan Wilson, 1998). Glikogen dalam hati dan otot dimetabolisme menjadi glukosa kembali melalui proses glikolisis dan trigliserida dimetabolisme menjadi asam lemak dan gliserol (lipolisis) untuk diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis. Hal ini terjadi ketika tingkat glukosa darah menurun, atau ketika jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel tidak mencukupi dan cadangan glikogen terpakai habis (Ciappesoni, 2002). Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang dipergunakan oleh jaringan perifer tergantung dari keseimbangan fisiologis hormon. Hormonhormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang menurunkan kadar glukosa darah dan hormon yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Hormon insulin merupakan hormon yang berfungsi dalam menurunkan kadar glukosa darah. Penyerapan glukosa dalam sel diperantarai oleh insulin yang merupakan hormon yang dilepaskan oleh sel-sel β pankreas. Peningkatan kadar glukosa darah setelah makan atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar glukosa darah yang
18
lebih lanjut dan menyebabkan kadar glukosa darah menurun secara perlahan (Muraay et al., 2003). Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel terutama otot serta mengkonversi glukosa menjadi glikogen (Glikogenesis) sebagai cadangan energi. Insulin juga menghambat pelepasan glukosa dari glikogen hepar (Glikogenolisis) dan memperlambat pemecahan lemak menjadi trigliserida, asam lemak bebas, dan keton. Selain itu insulin juga menghambat pemecahan protein dan lemak untuk memproduksi glukosa (Glukoneogenesis) di hepar dan ginjal (Muraay et al., 2003). Hormon yang diklasifikasikan sebagai hormon yang mampu meningkatkan glukosa darah adalah glukagon, epinefrin, glikokortikoid, dan growth hormone. Keempat hormon ini membentuk suatu mekanisme counter-regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin. Glukagon adalah hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel α pankreas. Glukagon penting karena ikut melibatkan diri dalam mobilisasi glukosa dari hati dan asam lemak dari jaringan adipose. Glukagon disekresikan jika tubuh hewan dalam keadaan hipoglikemia dan strees. Ephineprin disekresikan oleh medula adrenal dan jaringan kromatin (Muraay et al., 2003). Hormon yang juga mempengaruhi kadar glukosa darah dalam tubuh adalah hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar anak ginjal yaitu glukokortikoid dan adrenalin. Hormon glukokortikoid yang dihasilkan pada bagian kortek berperan dalam perubahan protein menjadi glikogen di hati, selanjutnya merubah
19
glikogen menjadi glukosa. Hormon adreanalin yang dihasilkan pada bagian medula mempengaruhi pemecahan glikogen (glikogenolisis) dalam hati sehingga kadar glukosa darah meningkat. Sekresi kelenjar anak ginjal tersebut dipengaruhi oleh hormon adenokortikotropik (ACTH) yang dihasilkan oleh kelenjar hifofise anterior (Muraay et al., 2003). Penurunan kadar glukosa darah terjadi pada keadaan hipoglikemia disebabkan oleh out put glukosa (glukoneogenesis dan glikogenolisis) dari hati normal sedangkan pemasukan glukosa di perifer normal atau kombinasi keduanya. Peningkatan kadar glukosa darah dapat terjadi pada keadaan hiperglikemia, lipemia, dan ketonemia (Coles, 1980). Hiperglikemia dapat terjadi apabila kadar glikogen tinggi, karena fungsi hormon glukagon pancreas meningkat dan fungsi hormon insulin pankreas menurun (Muraay et al., 2003). Jika kadar glukosa darah rendah (hipoglikemia), organ pertama yang terkena pengaruhnya adalah otak. Untuk melindungi otak, tubuh segera mulai membuat glukosa dari glikogen yang tersimpan di hati. Proses ini melibatkan pelepasan epinefrin (adrenalin), yang cenderung menyebabkan rasa lapar, kecemasan, meningkatnya kesiagaan, dan gemetaran. Berkurangnya kadar glukosa darah ke otak bisa menyebabkan sakit kepala, apabila tidak diatasi dengan segera bisa menyebabkan koma dan kadang cedera otak menetap (Peretta, 2005). Sedangkan jika terjadi peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia), glukosa, filtrat glomerulus mengandung glukosa di atas batas ambang untuk direabsobsi, sehingga kelebihan glukosa tersebut dikeluarkan melalui urin. Gejala ini disebut glikosuria. Akibatnya penderita akan banyak kencing, timbul rasa
20
haus, polidipsia, dan kehilangan berat badan. Tubuh mulai membakar lemak untuk memenuhi kebutuhan energinya. Sel lemak yang dipecah akan menghasilkan keton yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Komplikasi lebih lanjut yaitu terjadi kerusakan saraf pada retina, kehilangan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan diri dan melawan infeksi, juga menyebabkan kerusakan pada saraf dan infeksi pada gusi (Peretta, 2005).
2.6 Glibenklamid Glibenklamid merupakan obat anti-diabetika oral golongan sulfonilurea, berbentuk tablet dimana tiap tablet mengandung glibenklamide 5 mg. Obat-obat anti diabetika oral tidak mengandung insulin tetapi merangsang pankreas untuk menghasilkan lebih banyak insulin, atau membantu sel untuk menggunakan insulin yang tersedia dengan lebih maksimal. Glibenklamid menstimulasi sel-sel beta dari pulau langerhans pankreas, sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Disamping itu kepekaan sel-sel beta bagi kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transport glukosa. Ada indikasi bahwa obat ini juga memperbaiki kepekaan organ tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin oleh hati (Tjay dan Rahardja, 2002). Glibenklamid dengan dosis 5 mg sehari dapat menurunkan kadar glukosa darah. Golongan sulfonylurea lain yang mempunyai efek hipoglikemik antara lain klorpropamid, tolazamida (tolirase), gliklazid, glipizid, glikuidun dan tolbutamid. Meskipun secara kualitatif golongan sulfonylurea mempunyai efek farmakologi yang sama, tetapi secara kualitatif ada perbedaanya. Berdasarkan beratnya
21
glibenclamid lebih poten dibandingkan dengan sulfonylurea yang lain, misalnya efek hipoglikemik glibenklamide 5 mg sama dengan tolbutamide 1000 mg, klorpropamide 250 mg atau tolazamide 250 mg. Meskipun demikian, kemampuan efek hipoglikemik maksimum dan efektivitas terapinya sebanding dengan sulfonylurea yang lain (Hardjasaputra et al.,2002). Glibenklamid secara relatif mempunyai efek samping yang rendah. Hal ini umum terjadi dengan golongan sulfonylurea dan biasanya bersifat ringan dan hilang sendiri setelah obat dihentikan. Hipoglikemia merupakan efek samping utama glibenklimide yang biasanya bersifat ringan, tetapi kadang-kadang dapat menjadi berat dan berkepanjangan. Glibenclamid dapat menimbulkan efek samping saluran cerna seperti mual, rasa tidak enak di perut atau anoreksia (Hardjasaputra et al.,2002).
2.7 Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus L.) Hewan coba merupakan hewan yang dikembang biakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik genetik yang hampir mirip dengan manusia, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada malam hari (nocturnal) (Moore, 2000). Tikus putih (Rattus norvegicus) atau biasa dikenal dengan nama lain Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat. Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di Filipina, Indonesia, Laos, Malaysia, dan Singapura (Moore, 2000). Tikus Wistar saat ini menjadi salah satu yang strain
22
tikus paling populer yang digunakan untuk penelitian laboratorium. Hal ini ditandai oleh kepala lebar, telinga panjang, dan memiliki panjang ekor yang selalu kurang dari panjang tubuhnya. Galur tikus Sprague dawley dan Long-Evans dikembangkan dari tikus galur Wistar. Tikus Wistar lebih aktif (agresif) daripada jenis lain seperti tikus Sprague dawley. Tikus putih merupakan strain albino dari Rattus norvegicus. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis atau persilangan (Moore, 2000).
Gambar 2.4 Tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus L.) (Moore, 2000) Tikus jantan banyak digunakan dibandingkan dengan tikus betina disebabkan karena tikus jantan menunjukkan periode pertumbuhan yang lebih lama. Taksonomi dari tikus putih adalah sebagai berikut (Moore, 2000): Kingdom : Animalia Divisi
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Muridae
23
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus L.
2.8 Ekstraksi Ekstraksi adalah cara untuk memisahkan campuran beberapa komponen menjadi komponen yang terpisah. Tahapan yang harus diperhatikan dalam mengekstraksi jaringan tumbuhan adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut dan kondisi proses ekstraksi, proses pengambilan pelarut, pengawasan mutu dan pengujian yang dikenal pula sebagai tahapan penyelesaian. Penggunaan pelarut bertitik didih tinggi menyebabkan kerusakan komponenkomponen senyawa penyusun. Pelarut yang digunakan harus bersifat inert terhadap bahan baku, mudah didapat dan harganya murah (Sabel dan Waren, 1973 dalam Wibudi, 2006). Pemilihan pelarut harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah terbakar dan selektif. Selektif yaitu hanya menarik zat yang dikehendaki. Polaritas pelarut sangat berpengaruh terhadap daya larut. Indikator kelarutan pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik dan nilai polaritas pelarut (Wibudi, 2006). Air dipertimbangkan sebagai pelarut karena murah, mudah didapat, stabil, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, tidak beracun, alamiah, dan mampu mengekstraksi banyak bahan kandungan simplisia. Adapun kerugian air sebagai pelarut adalah tidak selektif, diperlukan waktu yang lama untuk memekatkan
24
ekstrak, ekstrak dapat ditumbuhi kapang atau kuman serta cepat rusak (Voight, 1994 dalam Wibudi 2006). Etanol dipertimbangkan sebagai pelarut karena lebih selektif dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorpsinya baik, dapat mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim. Selain itu, etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit. Guna meningkatkan ekstraksi, biasanya digunakan campuran antara etanol dan air dalam berbagai perbandingan tergantung pada bahan yang akan diekstrak (Voight, 1994 dalam Wibudi 2006). Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan antara lain maserasi, perkolasi, sokletasi (Ansel, 1989 dalam Wibudi, 2006). Metode maserasi digunakan dengan cara merendam sampel dengan pelarut sesuai, baik murni maupun campuran. Setiap waktu tertentu filtratnya diambil dan residunya ditambahi pelarut baru. Demikian seterusnya sampai semua metabolit yang diperkirakan ada dalam sampel tersebut terekstrak. Metode perkolasi biasanya digunakan dengan cara melewatkan pelarut tetes demi tetes pada sampel yang diekstrak. Pelarut yang digunakan sebaiknya tidak mudah menguap. Pada metode ini dibutuhkan pelarut yang lebih banyak (Ansel, 1989 dalam Wibudi, 2006).
25
Hasil ekstraksi dari maserasi berupa filtrat (zat terlarut dalam pelarut). Setelah pelarutnya diuapkan dengan menggunakan penguap putar vakum (rotary cacum evaporator) akan menghasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau cairan (Ansel, 1989 dalam Wibudi, 2006).