BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (1988), pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu dari Trilogi Pembangunan yang harus dipenuhi sebagai landasan pembangunan tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang-bidang lain seperti politik, sosial dan kebudayaan. Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang mantap, maka pertumbuhan di bidang yang lain akan sulit untuk dicapai dengan baik; karena tanpa adanya kondisi ekonomi yang memadai, bangsa Indonesia akan selalu berorientasi pada tujuan jangka pendek dan ruang lingkup yang sempit pula (myopic). Konsep pertumbuhan dan pembangunan ekonomi telah mengalami perubahan makna sejalan dengan waktu dan kegagalannya dalam menterjemahkan konsepnya di beberapa negara yang sedang berkembang.
Sejalan dengan itu Anwar (1999)
menegaskan bahwa pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan yang memberikan kemaslahatan kepada orang banyak. Untuk itu maka konsep tersebut mempunyai dua defenisi berdasarkan fase waktu, yaitu paradigma lama dan paradigma baru.
2.2 Pardigma Lama Ada banyak pengertian tentang pertumbuhan ekonomi. Pada pemahaman masa lalu ser ing disamakan dengan pembangunan. Garis-garis Besar Haluan Negara
7
(1999) menyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia
yang
berdasarkan
kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dibuat definisi pembangunan sebagai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dengan Pancasila sebagai dasar,
tujuan dan pedoman pembangunan nasional.
Suparmoko (1995) mendefinisikan pertumbuhan dengan produksi nasional secara fisik atau dalam istilah umum adalah peningkatan Produk Nasional Bruto dan lebih lagi yaitu Produk Nasional Bruto. Sementara itu Winoto (1999) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses pembebasan dari kemiskinan dan kuatnya kepentingan diri
terhadapnya.
Lebih lanjut, menurutnya pembangunan berarti proses peningkatan kepercayaan diri dan kemampuan diri untuk membuat keputusan-keputusan masa depan.
Todaro
(1999) mempunyai defenisi yang berbeda tentang pembangunan, yaitu kapasitas dari suatu perekonomian nasional,
yang kondisi awalnya
lebih kurang statis dalam
jangka waktu yang cukup lama untuk berupaya menghasilkan dan mempertahankan kenaikan tahunan Gross National Product. Todaro (Rostow dalam Todaro, 1999) menerangkan bahwa Rostow membagi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahap yaitu : •
masa masyarakat tradisional
8
•
masa
prasyarat
untuk
lepas
landas
ke
arah
pertumbuhan
yang
berkesinambungan •
masa kematangan
•
dan masa konsumsi massa yang tinggi.
Namun Rostow menekankan tahapan ini tidak melulu deskriptif,
artinya negara
maju telah melalui masa prasyarat untuk lepas landas kearah pertumbuhan yang berkesinambungan,
sementara negara terbelakang sedang berada pada masa
masyarakat tradisional.
2.3 Paradigma Baru Pergeseran paradigma pembangunan diartikan sebagai perubahan-perubahan fundamental dalam cara pandang dan praksis pembangunan akibat adanya perubahan, baik internal maupun eksternal serta perubahan bobot relatif yang akan diberikan masyarakat terhadap keyakinannya untuk berbagai aspek pembangunan. Seers ( Seers dalam Winoto 1999) meyakini bahwa pada akhir tahun 70-an telah terjadi pergeseran paradigma dari cara pandang pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi yang bersandarkan investasi dan tekhnologi luar dengan korbanan ketergantungan ke arah pembangunan pada suatu kondisi yang menyandarkan diri pada self reliance. Paradigma baru pembangunan ini lebih diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang lebih baik,
pertumbuhan (eficiency) dan keberlanjutan
(sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Menurut Anwar (1999) paradigma
9
pembangunan ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The Second fundamental of Walfare Economics), dimana dalil ini menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi,
sedangkan
ekonomi selebihnya dapat diserahkan melalui mekanisme pasar. Dengan demikian penterjemahan dari dalil tersebut pada paradigma baru pembangunan adalah dengan dikembangkan hal-hal berikut : 1. Pembangunan lebih berorientasi pada pembangunan spatial pada tingkat wilayah dan lokal dengan mengutamakan sektor pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas masyarakat lokal. 2. Pada dasarnya Indonesia merupakan negara agraris dimana kegiatan pertanian merupakan sektor ekonomi basis dalam masyarakat,
maka dengan
menekankan kepada pembangunan sektor pertanian dan perdesaan,
berarti
mengarahkan pembangunan kepada kepentingan masyarakat kebanyakan Indonesia. Terutama dalam rangka mengurangi pengangguran dan setengah pengangguran,
pengentasan kemiskinan sehingga kebijakan ini dari segi
pemerataan dalam pembangunan dapat tercapai. 3. Diberlakukannya otonomi daerah (desentralisasi).
Dari konsep ekonomi,
efisiensi Pareto dalam alokasi sumberdaya dapat dilakukan dengan memadukan kebijakan pemerintah pada suatu batas tertentu seperti target pemerataan melalui transfer,
perpajakan dan subsidi;
diserahkan pada mekanisme pasar
10
sedangkan proses selanjutnya
4. Dengan menurunnya skala ekonomi di kawasan perkotaan ( yang umumnya berlokasi di daratan) menyebabkan paradigma pembangunan sebagian dapat bergeser dari orientasi pada daratan kepada orientasi kearah maritim sehingga tidak terjadi pengurasan yang berlebihan pada sumberdaya daratan.
2.4 Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt Von Thunen mengemukakan teori dapat dijadikan model tata guna lahan sederhana, didasarkan pada satu titik permintaan dalam suatu lingkungan ekonomi pedesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna baik pasar output maupun input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau et tapi terisolasi (tertutup), sehingga tidak ada eksport dan import. Berdasarkan asumsi tersebut, maka lokasi
lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran
konsentrik dengan kota sebagai pusatnya sekaligus tempat pemukiman, kemudian diikuti oleh areal sawah, tegalan, kebun dan terakhir adalah hutan. Bentuk lingkaran tidak harus simetris, tetapi tergantung kepada akses jalan atau sungai. Menurut Pakpahan dan Anwar (1989), teori ini merupakan model statis yang menghasilkan keseimbangan berdasarkan tiga parameter,
antara lain harga jual,
biaya produksi dan biaya angkutan. Sehingga kalau digunakan sebagai pedoman membuat keputusan lokasi lahan, memiliki beberapa kelemahan, salah satunya kelemahan adanya asumsi pasar sempurna, baik untuk input ataupun output karena adanya spatial monopoli.
Model Von Thunen ini merupakan model awal yang
penting sebagai peletak dasar untuk membuat model tata guna lahan yang lebih baik.
11
Untuk analisis serupa Von Thunen yang menggunakan di kawasan perkotaan, dilakukan oleh Burges.
Burges menganalogikan pusat pasar dengan pusat kota
(Central Business District atau CBD). CBD merupakan tempat yang lebih banyak digunakan untuk gedung pertokoan, bank dan perhotelan. Berbeda dengan Von Thunen yang menggambarkan pola kawasan untuk berbagai komoditi, bagi Burges pola tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi. Asumsi yang dipakai tetap sama. Semakin jauh dari kawasan CBD, nilai rent kawasan tersebut akan semakin kecil. Tetapi Burges menekankan pada faktor jarak komutasi ke tempat kerja dan tempat belanja merupakan faktor utama dalam tata guna lahan di perkotaan. Jadi Burges memusatkan pada tempat orang bermukim terhadap tempat bekerja dan belanja. Dalam area Burges, industri,
pusat area merupakan kawasan CBD,
kemudian kawasan
perumahan kelas rendah.
dikelilingi kawasan
Lingkaran selanjutnya
perumahan menengah kelas atas, terakhir kawasan pinggiran. Homer Hoyt mengemukakan gagasan pengganti konsentrasi kawasan berdasarkan kedudukan relatif tempat kerja dan belanja terhadap tempat pemukiman. Pendekatan sektor menggambarkan jaringan transportasi yang dianggap homogen oleh Burges,
diaplikasikan sesuai dengan keadaan jalan seperti kondisi jalan di
Amerika Serikat pada waktu itu.
Hasil analisis Hoyt adalah sistem jaringan
transportasi seperti keadaan sebenarnya.
Hoyt menyimpulkaan bahwa jaringan
transportasi tersebut mampu memberikan jangkauan yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih murah terhadap kawasan lahan tertentu. Jika digambarkan dalam bentuk lingkaran kawasan, hampir sama dengan bentuk Burges, hanya bedanya model Hoyt lebih menekankan pada peran jaringan transportasi terhadap suatu lahan. Faktor
12
jaringan transportasi yang baik akan membuat kawasan perumahan kelas atas bersambung dengan kawasan CBD. Sedang lahan yang aksesnya kurang baik, akan dihuni oleh kelompok bawah yang letaknya diluar lingkaran kawasan grosir dan industri. Kedua teori terakhir ini belum mampu menjelaskan hubungan fungsional antara ekonomi perkotaan disatu pihak dengan ekonomi pedesaan di pihak lain. Disamping itu teori-teori diatas belum mampu menjelaskan faktor-faktor yang biasa disebut faktor non ekonomi seperti zoning.
2.5 Teori Alfred Weber Teori Weber biasa disebut teori biaya terkecil. Dalam teori tersebut Weber mengasumsikan bahwa; pertama,
daerah yang menjadi objek penelitian adalah
daerah yang terisolasi. Konsumennya terpusat pada lokasi-lokasi tertentu dan semua unit perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna. Kedua, sumber daya alam tersedia secara tidak terbatas. Ketiga, barang-barang lain seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadik tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat. Keempat, tenaga kerja tidak tersedia secara luas,
ada yang
menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri yaitu : biaya transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi. Biaya trasportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan berat barang, sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian yang minimum. Dipandang dari
13
segi tata guna lahan, model Weber berguna untuk merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah,
pasar nasional dan pasar dunia. Dalam
model ini fungsi tujuan biasanya meminimkan ongkos transportasi sebagai fungsi jarak dan berat barang yang harus diangkut (input dan output).
2.6 Land Rent Lokasi dan Sektor Ekonomi Barlowe (1978) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sehingga sektorsektor tersebut berada dikawasan strategis. Sebaliknya, sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai komersil,
nilai land rent-nya semakin kecil. Land rent disini
diartikan sebagai locational rent. Kalau digambarkan secara grafis, sektor-sektor yang strategis fungsinya lebih curam.
Sebaliknya sektor yang kurang strategis
fungsinya lebih mendatar. Gambar di bawah menjelaskan hubungan antara land rent dengan lokasi kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, sektor A paling komersial maka kurvanya lebih curam, sehingga land-nya rent lebih tinggi, yaitu OE. Dalam gambar, lokasi OP* paling cocok untuk sektor A, sedang daerah lokasi P*P bisa saling bersubsitusi dengan sektor B yang relatif kurang komersial dibandingkan sektor A. Diluar OP tidak cocok untuk sektor A.
Sebagai contoh sektor perbankan jelas tidak layak
ditempatkan di kawasan yang sepi tetapi lebih cocok di kawasan komersial. Di lain pihak di daerah OP* bagi sektor selain sektor A, penggunaannya ditinjau dari segi lokasi
14
jelas kurang optimal
Land Rent E F
A
G
B
C H D
Pusat(O) P*
P
jarak dari pusat
Gambar 1. Hubungan Antara Land Rent, Jarak dari Pusat Pada Berbagai Sektor Ekonomi Sumber : Anwar, 1993 . 2.7 Land Rent dan Pasar Lahan Lahan,
termasuk didalamnya lahan sawah dalam kegiatan produksi
merupakan salah satu faktor tetap. Untuk dapat melihat nilai land rent dalam teori sumber daya disebut rente. Menurut Barlowe (1978), nilai rente sumber daya lahan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sewa kontrak (contract rent), sewa lahan (land rent) dan nilai rente ekonomi dari lahan (economic rent).
Economic rent
didefenisikan sebagai surplus ekonomi, yang merupakan kelebihan nilai produksi total atas biaya total (Suparmoko, 1989). Sementara menurut Nasution (1990), land rent merupakan pendapatan bersih yang diperoleh suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan yang dilakukan pada suatu unit ruang dengan tekhnologi dan efisiensi
15
management tertentu dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal (biasanya satu tahun). Suparmoko (1989) menganalogikan land rent sama dengan economic rent . Menurut Anwar (1990), suatu bidang lahan sekurang-kurangnya mempunyai empat bid ang rent yaitu : pertama Ricardian rent yakni menyangkut fungsi kualitas kesuburan dan kelangkaan lahan. Kedua locational rent yakni menyangkut fungsi eksesibilitas lahan. Ketiga ecological rent yakni menyangkut fungsi ekologi lahan dan keempat sosiological rent yakni menyangkut fungsi sosial dari lahan. Namun pada umumnya land rent yang merupakan cermin dari mekanisme pasar hanya mencakup Ricardian rent dan Locational rent. Sedang ecological dan sosiological rent tidak sepenuhnya terjangkau mekanisme pasar. Dengan demikian ditinjau dari sudut pandang masyarakat,
secara hakiki mekanisme pasar gagal dalam
mengalokasikan lahan secara optimal. Secara teoritis alokasi pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan melalui beberapa mekanisme, yaitu : 1. penataan ruang oleh pemerintah melalui undang-undang 2. melalui mekanisme pasar 3. kombinasi antara pengaturan pemerintah dan mekanisme pasar Menurut Nasution (1999) ketiga jenis tersebut mempunyai kekuatan dan kelemahan. Mekanisme pertama memerlukan pangkalan data yang menyeluruh, akurat serta sistem manajemen yang efisien dan hirarki pengambilan keputusan yang tidak ambigous.
Kekuatan sistem ini adalah pencapaian tujuan penataan tanah yang
dilakukan secara terkendali,
umumnya membutuhkan biaya yang relatif besar.
16
Sebaliknya mekanisme pasar alokasi ruang (lahan) biaya formalnya relatif kecil, tetapi jika ditinjau dari titik pandang masyarakat,
mekanisme pasar cenderung
mengakibatkan missalokasi sumber daya lahan. Misalokasi ini terjadi karena struktur pasar sumber daya lahan tidak sempurna.
Mekanisme ini juga tidak mampu
mencakup penilaian eksternalitas. Oleh sebab itu mekanisme ketiga seringkali lebih feasible untuk diterapkan. Kegagalan mekanisme pasar khususnya pasar lahan sangat merugikan pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia. Terutama jika ditinjau dari perspektif jangka panjang. Hal ini dikarenakan opportunitas penggunaan lahan relatif sangat besar. Lahan, khususnya lahan sawah tipologi penggunaanya sangat strategis bagi Indonesia.
2.8 Kota sebagai Pusat Pertumbuhan dan Konversi Lahan Kota timbul dan berkembang,
melalui proses yang oleh Hoteling disebut
proses aglomerasi. Mengumpulnya usaha-usaha sejenis menimbulkan penghematanpenghematan interen dan eksteren yang menyebabkan terjadinya keuntungan akibat pertukaran, tersedianya berbagai pasar termasuk pasar kapital, tenaga kerja dan sebagainya. Pusat-pusat kawasan tersebut merupakan sumber pertumbuhan bahkan merupakan prasyarat bagi suatu transisi perekonomian di kawasan pedesaan (rural) yang umumnya didominasi sektor pertanian kepada suatu perekonomian yang maju, dimana terdapat produktivitas yang tinggi dan berbagai aktivitas yang luas. Aspek kosmopolitan kota merupakan tempat strategis berbagai inovasi, berbagai input vital bahkan merupakan tempat perubahan. Kota merupakan media
17
penghubung (transmitter) masuknya pemikiran-pemikiran maupun tindakan yang berasal
dari
luar.
Kemudian
sistem
transportasi
yang
dibangun
untuk
menghubungkan kawasan kota dengan hinterland merupakan faktor pendorong berkembangnya kedua kawasan. Melalui proses waktu, semakin berkembangnya kota induk akan mengembangkan kawasan penyangga menjadi kota-kota kecil. Lewat suatu proses aglomerasi ganda, maka antara kota induk dan kota kecil tersebut akan saling bisa menyatu.
Hal ini menurut Anwar (1994) terjadi karena faktor
transportasi dan “ketidakmampuan” kota induk memenuhi tuntutan kebutuhan warganya, terutama dalam menyediakan lahan untuk pemukimam tempat tinggal dan tempat bekerja. Sehingga kawasan penyangga menjadi sangat penting, baik oleh kemungkinan tersedianya lahan,
lingkungan yang bersih dan lahan-lahan di kota
induk menjadi langka, sulit didapat serta mahal harganya. Terjadinya aglomerasi ganda serta bergabungnya dua kota yang didorong oleh perbaikan sistem transportasi mendorong terjadinya perubahan tata guna lahan terutama perubahan tersebut menyangkut pengalihan lahan-lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian di pinggiran wialayah urban atau di dekat akses transportasi. Proses terbentuknya kota inti secara berganda tersebut bisa terjadi untuk kota besar seperti JABOTABEK, hingga kota-kota kecil dengan kawasan penyangga di sekitarnya. Proses tersebut sangat penting pengaruhnya terhadap pola perubahan tata guna lahan, termasuk perubahan lahan sawah menjadi non-pertanian. Proses terbentuknya kota inti digambarkan dalam gambar berikut :
18
Rent
Jarak Keterangan : 1 = kawasan komersial/finansial
4 = kawasan pertanian
2 = kawasan industri
= jalan kereta
3 = kawasan perumahan
= jalan raya
Gambar 2. Pembentukan Kota Inti Secara Berganda
Proses aglomerasi kota mendorong terjadinya suatu proses yang oleh Gunar Myrdal (Jinghan, 1988) disebut spread effect dan backwash effect. Spread effect menunjuk pada dampak momentum pembangunan yang merugikan secara sentrifugal dari pusat pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya. Dorongan tersebut berbentuk pertambahan permintaan dari daerah yang kaya terhadap produksi barang dan jasa seperti hasil pertanian, industri rumah tangga dan sebagainya dari kawasan hinterland tersebut. Sebaliknya melalui proses backwash effect,
19
justru
terjadi proses penyedotan berbagai faktor input seperti tenaga kerja potensial, faktor kapital bahkan sumber daya potensial lain. Kaum klasik percaya bahwa proses aglomerasi melalui mekanisme pasar akan meratakan pembangunan antar wilayah. Myrdal berkeyakinan bahwa kawasan maju akan mengalami proses eksternal diseconomics, karena terjadi misorganisasi, lalu lintas macet, lingkungan yang semakin rusak bahkan kejahatan semakin subur akibat tekanan penduduk yang semakin tinggi. Akibatnya pemukim-pemukim golongan mapan keatas maupun perusahaan membutuhkan kawasan baru yang akan menjadi kawasan pertumbuhan baru nantinya. Seluruh rangkaian proses ini memungkinkan terjadinya realokasi lahan termasuk lahan sawah khususnya di sekitar kawasan pertumbuhan. Karena lahan seperti lahan sawah mempunyai land rent per satuan luasnya lebih rendah, kemudian dialokasikan kesektor lain yang land rent-nya tinggi.
Tekanan yang lebih luas
khususnya akan terjadi didaerah pertanian yang dekat kawasan pertumbuhan. Selain akan terjadi ketidakseimbangan antara wilayah kota dengan desa, yang lebih mendasar justru di dalam kawasan pertumbuhanpun akan terjadi kemampetan aliran manfaat dalam sektor-sektor strategis dari pemilik faktor produksi. Pemilik faktor kapital, tekhnologi dan management akan memperoleh rent yang lebih tinggi dibandingkan pemilik faktor produksi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja kasar yang jumlahnya merupakan mayoritas. Semakin rendah mutu tenaga kerja, jika persediannya besar, maka mekanisme pasar bebas akan membenarkan mereka untuk memperoleh upah yang rendah bahkan dibawah tingkat minimal (karena upah merupakan cerminan produktivitas).
20
Kondisi tersebut akan berimplikasi pada kesenjangan yang semakin melebar. Tetapi pada jangka pendek, kesenjangan ini akan merangsang pertumbuhan ekonomi yang semakin besar dan realokasi lahan yang besar juga. Hal ini dimungkinkan karena proses diatas akan melahirkan tiga kelompok masyarakat yaitu : 1. Masyarakat kelompok elit,
kaya dan makmur.
barang dan jasa yang berlebih dan nyaman dan jauh dari kebisingan.
berkualitas,
Mereka mengkonsumsi tinggal di pemukiman
Mereka juga membutuhkan perluasan
usaha sebagai akibat dari akumulasi kapital. 2. Masyarakat kelompok menengah umumnya yang membutuhkan kawasan pemukiman yang memadai dan cukup berkualitas di kawasan baru (perumahan hingga real estate). Konsumsi barang dan jasa mereka, akibat Demand Effect, semakin besar seiring dengan pertumbuhan ekonomi kawasannya. 3. Masyarakat kelompok yang hanya mampu mengkonsumsi pada tingkat marginal dan berada di kawasan kumuh atau tersingkir jauh dari pusat pertumbuhan sesuai dengan kemampuan ongkos sewa, ongkos transport dan daya beli mereka. Secara sederhana hubungan antara kota sebagai pusat pertumbuhan dengan konversi lahan digambarkan sebagai berikut :
21
Kelas bawah mayoritas
Over Migrasi
Eksternal ekonomi
Decreasing Cost of Return
Aliran manfaat tersumbat
Internal ekonomi
Kelas menengah
Dis-ekonomi ekstrem (kota kumuh)
Kelas elit 1. Tenaga kerja produktif 2. Barang & jasa primer semakin turun nilai-nya 3. Barang & jasa kota yang semakin naik nilai tukarnya
Spread effect Backwash effect
1. perluasan usaha baru 2. sarana sosial ekonomi
A L I H
3. perumahan & real estate Kesenjangan desa terhadap kota semakin besar 1.
Membutuhkan lahan baru
2.
Timbul kota baru
U S A H A
Konversi lahan sawah
Kawasan perdesaan dan wilayah pinggiran elit dan menengah berintegrasi ke kota. Kelas bawah semakin menyingkir ke pinggiran atau migrasi ke kawasan kumuh
Gambar 3. Hubungan Perkembangan Kota dan Konversi Lahan
2.9 Aspek Ekonomi Sumber Daya Lahan Sumberdaya lahan mempunyai peran yang semakin penting dalam kehidupan manusia karena pertumbuhan penduduk yang tinggi akan terus memberi tekanantekanan kepada permintaannya. Sementara dari sisi persediaan (supply) sumber daya lahan bersifat tetap. Dengan berkembangnya ekonomi dan pertambahan populasi penduduk serta meluasnya kegiatan ekonomi di luar pertanian, maka penggunaan
22
lahan-lahan semakin bersaing, misalnya untuk penggunaan industri, pemukiman, perdagangan, infrastruktur dan lain-lain (Anwar, 1994). Secara ekonomi manajemen pemanfaatan ruang memperhatikan kapasitas penggunaan ruang, khususnya bila ditinjau dari penggunaan lahan dan lingkungan bagi suatu tujuan tertentu yang terdefinisikan. Dan tujuan manajemen sumber daya lahan dan lingkungan adalah untuk mencapai “highest and best use” yaitu prinsip penggunaan alokasi sumber daya lahan yang terbaik dan yang memberikan nilai yang tertinggi (Winoto, 1998). Tujuan yang dimaksud ini harus senantiasa diletakkan dalam perspektif tujuan rumah tangga, tujuan masyarakat dan tujuan wilayah atau nasional.
Kapasitas penggunaan lahan mencerminkan kemampuan re-latif sumber
daya lahan untuk menghasilkan kepuasan.
Secara ekonomi konsep ini diartikan
sebagai land rent atau surplus ekonomi yang dapat dihasilkan oleh penggunaan lahan berdasarkan struktur biaya yang dikembangkan. Konsep ini memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhi kemampuan lahan, seperti aksebilitas dan kualitas sumber daya lahan dan lingkungan.
Penggunaan lahan ter-tinggi dan terbaik (highest and
best use ) diukur dari kemampuan lahan dalam memberikan kepuasan tertinggi bagi pengelolanya baik dari perspektif rumah tangga,
masyarakat maupun wilayah
nasional. Ada tiga pengertian “highest and best use” sumber daya lahan yaitu secara fisik, ekonomi dan sosial.
Secara fisik konsep ini hanya memperhatikan jenis
penggunaan yang memberikan kuantitas produksi tertinggi. Secara sosial, konsep ini mengarahkan penggunaan (alokasi) sumber daya lahan dan lingkungan yang memberikan nilai sosial yang tinggi.
23
Perubahan penggunaan lahan merupakan bagian dari proses urbanisasi. Hal ini dikarenakan dalam memenuhi kebutuhan manusia akan pangan, sandang,
papan,
aminity dan kebutuhan dasar lainnya memerlukan lahan baik sebagai faktor produksi maupun sebagai ruang yang mewadahi aktivitasnya (Nasution dan Saefulhakim, 1995). Davis dalam Rustiadi (1996) beberapa issue pokok tentang penggunaan lahan. Salah satu masalahnya adalah persaingan penggunaan lahan untuk aktivitas perkotaan dan pertanian di pinggiran kota dan pedesaan. Persaingan ini terjadi akibat urbanisasi dan industri yang begitu pesat, sehingga lahan yang baik dengan produktivitas yang tinggi terkonversi ke penggunaan aktivitas urban. Konversi lahan sebagai bagian dari proses suburbanisasai berkaitan dengan terjadinya alih fungsi dan alih penguasaan lahan.
Hal ini berarti mengandung
konsekuensi menyempitnya lahan yang dimiliki masyarakat setempat, sehingga akan memberi dampak yang besar terhadap tingkat kehidupan masyarakat sekitarnya. Selanjutnya bahwa penggunaan lahan di pinggiran perkotaan seringkali dicirikan dengan yang melibatkan berbagai komunitas/masyarakat dari para pemilik lahan, para pengembang, bahkan juga pemerintah lokal. Berbagai konflik tersebut sering diakhiri dengan pengusiran terhadap penghuni lama (pemilik lahan).
2.10 Kaitan Antara Penggunaan Lahan dengan Ekonomi Hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan antara penggunaan lahan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, dengan menggunakan Model simulasi memberikan hasil estimasi parameter yaitu: 1) peningkatan penduduk Indonesia sebesar 1% akan diikuti dengan peningkatan terhadap luasan lahan
24
pekarangan dan bangunan sebesar 0,87%, tambak, kolam, tebat dan empang sebesar 5,42% serta lahan terlantar sebesar 7,42%. 2) peningkatan lahan pekarangan dan bangunan sebesar 1% akan menyebabkan terjadinya konversi lahan terlantar sebesar 0,84%.
3) pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan harga tetap di
Indonesia sebesar 1% akan menyebabkan peningkatan terhadap lahan sawah sebesar 0,38% serta lahan pekarangan dan bangunan sebesar 0,60% tetapi akan menyebabkan konversi terhadap lahan perkebunan sebesar 0,27%,
dan lahan terlantar sebesar
0,64%. Hal ini menunjukkan peranan kontribusi lahan sawah terhadap perekonomian cukup besar, begitu juga dengan lahan terlantar, bahwa apabila ingin adanya peningkatan dalam PDB maka luasan lahan terlantar yang merupakan lahan tidak produktif harus dapat ditekan sehingga menjadi lahan yang lebih produktif.
4)
peranan perkebunan swasta besar dan pemerintah terhadap konstribusinya dalam peningkatan pertumbuhan PDB adalah kecil. Hal ini disebabkan karena banyaknya perkebunan swasta yang izinnya telah keluar, namun ternyata ditelantarkan (hingga tahun 2004.
5) peningkatan lahan sawah sebesar 1% menyebabkan terjadinya
konversi terhadap padang rumput sebesar 0,89%. Tetapi terhadap tambak, kolam, tebat dan empang mengakibatkan terjadinya peningkatan sebesar 0,96%. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan peningkatan lahan sawah di Indonesia, akan menggunakan
lahan
padang
rumput,
yang
apabila
kita
lihat
berdasarkan
kecenderungan pergeseran lahan sawah ke luar Jawa, maka kondisi ini menunjukkan bagaimana pembukaan lahan sawah di luar Jawa akan membutuhkan biaya yang lebih besar, untuk sistem irigasi.
25
2.11 Konversi Lahan Pertanian dan Kaitannya dengan Kinerja Pembangunan Ekonomi Selama periode 1979-1999 laju pertumbuhan pertanian menunjukkan penurunan yaitu dari 5,60% menjadi 2,73 %, sektor non pertanian menunjukkan terjadinya peningkatan dari 6,25% menjadi 8,37%. Penurunan pertumbuhan sektor pertanian ini, berkaitan dengan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian sebesar 1,55 juta Ha, seiring dengan peningkatan penduduk perkotaan di Indonesia yang cukup signifikan dari 26,2% menjadi 42,1%. Konversi lahan pertanian, merupakan konsekuensi perluasan kota yang membutuhkan lahan untuk pertumbuhan ekonomi kota. Lahan pertanian mengasilkan
land rent yang lebih rendah dari
penggunaan lahan industri, sehingga penggunaan lahan pertanian akan digeser oleh lahan industri. (berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2004) bahwa nilai land rent untuk penggunaan pertanian 1:500 dan untuk perumahan dan kawasan industri sebesar 1:622, sehingga konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya tidak dapat dicegah.
2.12 Faktor-Faktor Utama Pemicu Konversi Lahan Sawah Suatu fenomena konversi lahan dapat dijelaskan dengan menggunakan teori land rent. Dengan pendekatan linier diterministik dari teori land rent, gambar dibawah mampu mengilustrasikan secara sederhana tentang fenomena konversi lahan dari penggunaan a menjadi penggunaan b dan a’.
26
land rent (Rp/ha/thn) LR a’
LR a a
a’
LR b
b
jarak (km) Jb lokasi
J ab
utama
J a’ Ja
J a’ b
Gambar 4. Land Rent dan Fenomena Konversi Lahan Sumber : Saefulhakim dan Nasution (1996)
Rumus umum dari land rent untuk suatu penggunaan lahan dapat dinyatakan sebagai berikut : LRi = Pi (Hi – Bi – ti J i) LRi
: Land rent dari penggunaan (Rp/ha/tahun)
Pi
: Produktivitas komoditas (t/ha/tahun)
Hi
: Harga dari komoditas i di pusat pemasaran (Rp/tahun)
Bi
: Biaya produksi komoditas i (Rp/tahun)
ti
: Biaya untuk transportasi komoditas i ke pusat pasar (Rp/tahun/km)
Ji
: Jarak lokasi produksi komoditas i dari pusat pasar (km)
27
Sebagian lahan akan dibudidayakan dengan suatu komoditas tertentu, apabila pembudidayaan komoditas tersebut dapat memberikan land rent yang positif. Dengan menggunakan prinsip bahwa suatu aktivitas budi daya adalah mencari nafkah untuk memenuhi budget kehidupan keluarga (misalnya keluarga tani), maka land rent tersebut akan positif manakala nilainya lebih besar dari nilai minimum fungsi budget tersebut. Apabila tersedia lebih dari satu kemungkinan alternatif komoditas yang dapat dibudidayakan, maka sebidang lahan akan dibududayakan dengan komoditas yang dapat memberikan land rent yang lebih tinggi. Dengan menggunakan prinsip dasar ini, untuk kasus komoditas a dan b seperti gambar diatas, akan terjadi pola penggunaan lahan sebagai berikut : 1. Pada kondisi awal komoditas a akan dibudidayakan sampai dengan radius J ab km dari pusat pasar, sedangkan komoditas b dibudidayakan di luar radius J ab tersebut sampai dengan radius J b. 2. Bila kurva land rent dari komiditas a bergeser ke a’, maka areal budidaya a meluas dari radius J ab menjadi J a’b. Dalam hal ini sejumlah luasan tertentu dari penggunaan lahan b akan dikonversikan ke penggunaan a. Menurut Saefulhakim dan Nasution (1996) ada beberapa faktor utama pemicu konversi lahan sawah sebagai berikut : 1. Perkembangan Standard Tuntutan Hidup Petani akan cenderung mengkonversikan sawahnya ke penggunaan lain apabila pembudidayaan sawah tersebut tidak mampu memberikan land rent yang dapat memenuhi perkembangan standard hidup tuntutan hidupnya. 2. Struktur Harga
28
Petani akan cenderung mengkonversikan sawahnya ke penggunaan lain apabila harga-harga dari komoditas yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya padi dan palawija) tetap lebih rendah. 3. Struktur Biaya Produk Biaya produksi dari aktivitas budi daya lahan sawah yang semakin mahal akan cenderung memperkuat proses pengkonversian lahan sawah ke penggunaan lain. Salah satu factor pendorong meningkatnya biaya produksi ini adalah berkaitan dengan skala usaha. Pengusahaan lahan yang sempit tidak mampu menangkap apa yang dikenal dengan economies of scale. Tanpa adanya introduksi kelembagaan, semakin menyempitnya skala penguasaan lahan, akan berimplikasi pada semakin tidak efisiennya usaha pertanian petani.
Pengkonversian lahan-lahan ini ke
penggunaan lain yang jauh lebih efisien menjadi susah untuk dielakkan. 4. Tekhnologi Kemandegan perkembangan tekhnologi intensifikasi terutama pada penggunaan lahan yang
permintaannya
terus
meningkat
(seperti
perumahan
seiring
dengan
perkembangan penduduk, areal bisnis dan industri seiring dengan laju transformasi struktur perekonomian), dominan.
akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih
Proses ekstensifikasi dari penggunaan lahan demikian yan gakan terus
mendorong proses konversi lahan sawah. 5. Aksesibilitas Pengembangan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi meningkatnya aksesibilitas lokasi (menekan satuan biaya transportasi),
akan lebih mendorong
perkembangan penggunaan lahan yang mempunyai bidrent curve yang lebih curam
29
(seperti pemukiman, areal bisnis dan industri). Penggunaan lahan yang mempunyai bidrent curve yang lebih landai (seperti umumnya kegiatan pertanian termasuk wilayah didalamnya akan semakin tersingkir). 6. Risiko dan Ketidakpastian Land rent dari penggunaan lahan akan melibatkan aspek risiko dan ketidakpastian dari segi produksi,
harga maupun keuntungan bisnis.
Tingkat resiko dan
ketidakpastian yang lebih tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga dan keuntungak sehingga nilai harapan land rent menjadi rendah. Dengan demikian,
penggunaan lahan yang mempunyai tingkat resiko dan
ketidakpastian yang lebih tinggi cenderung dikonversikan ke penggunaan lahan lain yang tingkat resiko dan ketidakpastian lebih rendah. 7. Tanah Sebagai Asset Pandangan
atas
tanah
sebagai asset (walaupun tanpa pemanfaatan) lebih
memperunyam proses konversi. Dalam hal ini nilai lahan sebagai akibat potensi produksi, kelangkaan dan aksesibilitasnya dipandang sebagai milik pribadi penguasa lahan. Padahal, nilai lahan sebagai turunan dari ketiga factor ini sma sekali tidak melibatkan usaha manusia secara pribadi.
Potensi produksi adalah alamiah.
Kelangkaan dan aksesibilitas tercipta karena perkembangan ekonomi masyarakat secara keseluruhan dalam pembangunan.
Karena system kepemilikan seperti ini
dalam hal lahan tidak ada, maka muncullah berbagai fenomena spekulan tanah yang mengkonversikan lahan-lahan pertanian (termasuk lahan beririgasi) ke penggunaan lain yang tidak jelas (dibeli hanya untuk mengejar rent).
30
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
Proses pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, akan menciptakan faktor pendorong (push factor) maupun faktor penarik (pull factor) yang mampu menimbulkan migrasi.
Hal ini dimungkinkan karena tempat dan awal
pertumbuhan adalah kawasan perkotaan dengan dukungan hinterland sawah. Perubahan struktural melalui pertumbuhan ekonomi lewat kawasan perkotaan tersebut, diharapkan mampu menjawab tantangan pertumbuhan angkatan kerja baru. Sehingga dalam proses tersebut terjadi proses pembentukan lahan terutama lahan yang berada di kawasan kota. Artinya pada tahap ini terjadi pendesakan lahan-lahan pertanian oleh aktivitas non-pertanain yang semakin tumbuh dan berkembang lewat proses aglomerasi. Selama sawah merupakan kawasan hinterland bagi kota,
maka sawah
tersebut masih bisa diharapkan terus kontribusinya, dan kawasan kota tersebut akan terus dipacu perkembangannya. Sebaliknya jika sawah menunjukkan semakin kurang nilai ekonomisnya, maka intesitas pendesakan terhadap sawah tersebut akan semakin cepat. Hal tersebut akan menimbulkan banyak masalah; selain terhadap petani juga yang tidak kalah penting terhadap lingkungan. Kondisi sektor pertanian di perdesaan yang kurang menguntungkan tersebut terlihat dari indikator meningkatnya jumlah petani gurem (9,53 juta rumah tangga tahun 1983 menjadi 10,94 juta tahun 1993), serta transformasi tenaga kerja di pedesaan yang cukup lambat. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB berkurang
31
dari 34,1 % menjadi 19 % pada tahun yang sama, tetapi sektor tersebut menanggung 50 % dari tenaga kerja yang ada. Sebaliknya sektor industri hanya menampung sekitar 20 % sementara
sumbangannya terhadap PDRB terus meningkat.
Tidak
berkembangnya upah riil di pedesaan dapat dijadikan indikator bahwa kesempatan kerja di pedesaan adalah sangat terbatas.
Menurunnya peranan pangan sebagai
sumber pendapatan masyarakat juga mengisyaratkan bahwa peranan padi yang selama ini menjadi tumpuan peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan di perdesaan tidak lagi dapat diandalkan. Kondisi tersebut pada akhirnya akan mendorong penduduk perdesaan mulai beralih ke sektor non-pertanian.
Maka salah satu alternatifnya adalah mereka
melakukan migrasi atau bekerja ke sektor informal, baik di perdesaan ataupun di perkotaan. Karena sektor pertanian kurang memberi insentif, maka suatu hal yang lumrah jika para petani menjual sawah / lahannya atau bahkan mengkonversi lahan tersebut menjadi lahan non-pertanian. Pertumbuhan ekonomi dan industri yang lamban di perdesaan semakin memperkecil pangsa sektor pertanian termasuk sub sektor pangan,
mendorong
penduduk perdesaan melakukan migrasi. Hal tersebut akan semakin memperberat tekanan penduduk kawasan perkotaan.
Beratnya tekanan penduduk akan
menimbulkan proses alokasi lahan terutama di kawasan perkotaan yang semakin padat, melalui kawasan pinggiran kota. 3.1 Faktor Penentu Konversi Lahan Secara Wilayah Secara teoritis konversi lahan sawah ke penggunaan lahan tidak terlepas dari berbagai faktor ekonomi secara keseluruhan maupun faktor demografis. Berdasar-
32
kan atas asumsi persediaan lahan tetap, maka pertumbuhan ekonomi yang tercermin oleh tumbuhnya beberapa sektor ekonomi akan membutuhkan banyak lahan baru. Apabila lahan sawah tersebut berada di dekat pusat pertumbuhan ekonomi, terutama dekat kawasan perkotaan,
maka secara langsung atau tidak langsung,
lahan
pertanian akan dikonversikan ke arah penggunaan lain seperti pemukiman, industri, maupun sarana prasarana. Hal ini disebabkan oleh karena rent per satuan luas lahan yang diperoleh oleh aktivitas baru akan lebih tinggi dari sektor pertanian.
Secara
logika, hal ini berimplikasi pada terjadinya realokasi lahan yang semakin cepat dan meluas. Mengingat produktivitas sektor pertanian relatif rendah, dilain pihak nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor lain semakin menurun, maka jumlah pekerja di sektor pertanian cenderung menjadi pengangguran tidak kentara. Akibatnya secara teoritis proporsi tenaga kerja pertanian terhadap total pekerja diduga berkorelasi dengan konversi lahan sawah secara negatif, artinya semakin besar proporsi pekerja pertanian tersebut, justru akan mengurangi proporsi sawah secara keseluruhan. Di Kabupaten Bogor, sebagai daerah penelitian, kondisi mobilitas barang dan jasanya relatif tinggi.
Implikasinya adalah pada orientasi kebijaksanaan
swasembada pangan akan bersifat lebih relatif, bukan swasembada pangan absolut. Kebijakan ini lebih mementingkan kepentingan untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini berpengaruh terhadap kebijaksanaan proporsi sawah yang diperlukan oleh suatu wilayah. Secara empirik kebijaksanaan ini diperlukan dalam rangka menghadapi perluasan kota. Implikasi selanjutnya justru tingkat migrasi lewat proses reaklafikasi wilayah akan lebih menekan lahan-lahan pertanian di sekitarnya. Dalam pengertian
33
ini,
artinya bahwa tidak setiap wilayah yang padat penduduknya berpotensi
mempunyai permintaan efektif yang besar terhadap lahan sekitarnya.
Jadi hanya
kawasan padat di sekitar kota yang berpotensi mempunyai permintaan efektif kuat terhadap lahan.
Faktor tersebut diduga mempengaruhi terjadinya konversi lahan
secara agregat.
Berdasarkan hal ini diduga pula hanya pertumbuhan penduduk
perkotaan saja yang mempunyai peranan proses konversi lahan sawah di sekitarnya. Untuk kasus kabupaten Bogor juga, dikarenakan pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia terpusat di Jakarta, maka Jakarta dengan sendirinya menjadi penarik bagi para pendatang untuk bekerja disana.
Sebagai konsekwensinya masyarakat
pendatang yang secara ekonomis tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya di Jakarta ataupun penduduk Jakarta sendiri yang tergusur, maka Bogor ( baik kabupaten ataupun kota) menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk dijadikan tempat tinggal. Sebagai akibatnya konversi lahan di Bogor tidak lagi dapat dibendung.
Petani dan Konversi Lahan Sawah Sektor pertanian cenderung mendasarkan diri pada Ricardian rent, yaitu rent lahan karena kesuburannya; dimana untuk kasus Indonesia, merupakan lahan sawah beririgasi yang umumnya cocok untuk tanaman pangan seperti padi dan palawija. Tetapi permasalahannya menjadi rumit karena ada beberapa masalah mendasar. Sebagaimana yang telah diterangkan dalam tinjauan makro, banyaknya petani gurem,
yaitu semakin
sektor pertanian sudah tidak bisa diandalkan untuk
peningkatan pendapatan. Apalagi ditambah dengan upah di pedesaan yang sudah
34
tidak dapat diandalkan lagi, sehingga di tingkat rumah tangga petani, pertanian tidak lagi menjadi sandaran untuk mendapatkan penghasilan.
Permasalannya menjadi
semakin kompleks, karena lahan sawah berada di daerah pertumbuhan , sehingga nilai rent lahan semakin tinggi karena faktor lokasi. Masuknya nilai locational rent cenderung mempertinggi nilai rent secara keseluruhan. Secara toritis suatu kawasan yang potensial secara lokasi, walaupun kondisinya subur,
dalam pasar bebas akan
cenderung memperbesar dorongan relokasi lahan untuk penggunaan kegiatan yang menghasilkan rent tertinggi.
3.3 Dampak Konversi Lahan Sawah Secara makro masalah konversi
lahan sawah adalah suatu dilema dan
aplikasinya sering menjadi kontradiktif. Di satu pihak diizinkan untuk melakukan konversi lahan, padahal nilai opportunitas lahan sawah tersebut sangat tinggi. Di lain pihak ada usaha pencetakan sawah baru sebagai usaha penggantian sawah yang telah dikonversi tersebut. Seperti telah diketahui biaya mencetak sawah sangat mahal per hektarnya, apalagi potensi lahan yang tersedia untuk pencetakan tersebut sangat bersifat spekulasi. Akibatnya proses konversi lahan sawah ke non-pertanian jelas mengurangi kemampuan swasembada beras karena berkurangnya kemampuan produksi dan produktivitas pangan khususnya padi. Untuk itu dicoba melihat dampak konversi lahan terhadap produktivitas lahan tersebut. Proses konversi lahan sawah dari sisi petani diduga banyak melibatkan apa-rat pemerintah, yang sering membuat permasalahan baru (kolusi) dengan calon pembeli. Rasionalitas petani diuji, mulai dari awal konversi hingga pasca konversi, seperti
35
management pengelolaan uang hasil lahan. Diduga proses konversi lahan sawah oleh petani banyak mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan petani. Selain itu konversi lahan sering menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil. Mulai dari rusaknya lingkungan, hilangnya daerah resapan air, hingga lingkungan yang tidak nyaman. Semua kerusakan ini pada akhirnya merupakan biaya yang harus ditanggung masyarakat sekitar.
3.4 Disparitas Penguasaan Lahan Pertanian 3.4.1 Penurunan Skala Penguasaan Lahan Pertanian Tahun 1983, persentase usaha tani yang termasuk kelompok penguasaan lahan gurem (kurang dari 0,5 ha) mencapai 40,8% dari total usaha tani. Proporsi ini meningkat menjadi 48,5% dalam waktu 10 tahun kemudian (1993), dan meningkat lagi menjadi 55,11% pada tahun 2003. Peningkatan persentase usaha tani ini diperparah dengan menurunnya angka luasan rata rata usaha tani gurem dari 0,26 ha menjadi 0,17 ha. Luas lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian yang ada di Jawa pada tahun 1993 umumnya lebih kecil dari pada di luar Jawa. Sebagian besar rumah tangga pertanian di Jawa menguasahakan lahan pertanian dibawah 0,50 hektar. Sementara untuk luar Jawa penguasaan lahan rata-rata antara 0,50- 1,00 hektar.
36
3
Tahun 1993
2,5
2
1,5
1
Tahun 2003 -
0,5
Pa pu a
ma lu t
ma lu ku
Su ls el Su lt en gg Go ro nt al o
Su ku t Su lt en gh
NT T Ka lb ar ka lt en g Ka ls el Ka l ti m
NT B
Ba li
DI Y Ja rt im Ba nt en
DK I Ja ba r ja te ng
Ba be l
Ri au
Ja mb i Su ms el Be ng ku lu La mp un g
Su mu t Su mb ar
0
Gambar 5 : Perbandingan Pertumbuhan Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah Tangga Petani Gurem Tahun 1993 dan Tahun 2003 (%/10tahun) Sumber: Hasil Sensus Pertanian 2003.
3.4.2 Ketimpangan Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian Rata-rata gini ratio kepemilikan lahan pertanian di Indonesia adalah sebesar 0,479%, dan Jawa sebesar 0,460 serta luar Pulau Jawa sebesar 0,469. Gini ratio di pulau Jawa dan Papua adalah lebih rendah, yaitu DKI 0,299, Jawa barat 0,267, Jawa tengah 0,198
DIY 0,295, Jawa timur 0,38, Papua 0,292. Hal ini menunjukkan
bahwa distribusi kepemilikan lahan untuk provinsi yang berada di Pulau Jawa dan Papua adalah merata, dibanding dengan provinsi lainnya di Indonesia kecuali Pulau Bali, yang gini rationya bahkan mencapai 0,89 (distribusi kepemilikan lahan adalah sangat tidak merata). Meskipun distribusi kepemilikan lahan lebih merata untuk provinsi di Pulau Jawa dan Papua, namun rata-rata mempunyai skala kepemilikan lahan yang kecil (70% berada dibawah 0,5%) bahkan mengalami polarisasi. Skala kepemilikan lahan yang semakin kecil terjadi karena 1) sistim pewarisan, sehingga lahan yang ada harus dibagi-bagi menjadi terfragmentasi, 2) kepemilikan lahan yang kecil secara ekonomis adalah tidak dapat diandalkan sebagai pertahanan hidup bagi petani, sehingga timbul keinginan untuk menjualnya, 3) spekulan lahan yang semakin meningkat, yang berusaha mendapatkan lahan pertanian
37
dengan harga yang murah sebagai akibat informasi yang diterima petani tidak sempurna (asymetris information) terutama pada lahan-lahan pertanian yang berada pada kawasan pinggiran kota yang tinggi perkembangannya. Hal ini sependapat dengan Lipton (1977) dalam Anwar dan Rustiadi (2000) bahwa kaum elit di kawasan urban mempertahankan keadaan perdesaan tetap lemah dalam posisi bargaining, yaitu dengan mengorganisasikan dan mengendalikan kekuasaaan politik dan ekonomi.
3.5 Dampak Disparitas Penguasaan Lahan terhadap Pendapatan Petani 3.5.1 Rumah Tangga Petani dan Pendapatan Petani di Indonesia Tingkat pertumbuhan rumah tangga di Indonesia dari tahun 1993 sampai 2003 rata-rata adalah sebesar 2,46% per tahun, sementara rumah tangga pertanian peningkatannya adalah sebesar 2,10% per tahun. Lebih rendahnya tingkat pertumbuhan rumah tangga petani untuk Jawa (1,81% per tahun) dibanding dengan luar Jawa (2,45% per tahun), mengindikasikan bahwa penduduk di Jawa lebih cepat tingkat transformasinya ke sektor non pertanian dibanding dengan luar Jawa. Meskipun jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia meningkat, persentase banyaknya rumah tangga pertanian terhadap banyaknya rumah tangga justru menurun dari 50,45% (tahun 1993) menjadi 48,66% (tahun 2003). Data ini sepintas menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama dari sebagian besar penduduk Indonesia. Penerimaan upah dan gaji serta pendapatan yang diterima rumah tangga petani dibandingkan dengan rumah tangga lainnya menunjukkan bahwa tenaga kerja di
38
sektor pertanian merupakan jenis pekerjaan yang tidak mempunyai pilihan lain (merupakan alt ernatif apabila di sektor lain tidak tersedia lapangan kerja). Rumah tangga petani tahun 2003 mencapai 25,58 juta KK (48,67%), jika dihubungkan dengan rata-rata upah dan gaji tenaga kerja pertanian Rp 4,14 juta/tahun dan Rp 5,13 juta/tahun yang merupakan penerima upah yang paling rendah, menunjukkan bahwa hampir setengah dari penduduk Indonesia berpenghasilan rendah. Sedangkan tenaga kerja
profesional, teknisi, manager dan militer merupakan penerima upah dan gaji
yang paling tinggi yaitu sekitar Rp 14 juta.
3.5.2 Dampak Disparitas terhadap Pertumbuhan Ekonomi Ada kaitan yang significant antara pemerataan penguasaan lahan (equity) dengan pertumbuhan ekonomi, artinya apabila terdapat kondisi disparitas penguasaan lahan (inequity) maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi (Deininger dan Olinto, 2000) Untuk itu perlu perhatian yang lebih terhadap akses lahan bagi rumah tangga petani. Selama ini ketimpangan hanya dibahas pada sisi pendapatan saja yang implikasinya terhadap distribusi income. Namun yang lebih penting adalah memahami akar permasalahnnya, yaitu pentingnya distribusi akses lahan bagi petani. hasil indeks gini ratio kepemilikan lahan menunjukkan bahwa pada umumnya distribusi aset lahan di Indonesia adalah tidak merata (rata-rata 0,45). Bahkan untuk provinsi Bali indeks gini ratio mencapai 0,9 yang menunjukkan bahwa kondisinya distribusi kepemilikan lahan adalah sangat timpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya pertanian, sedang mengalami hambatan pertumbuhan. Untuk provinsi di pulau Jawa,
39
meskipun indeks gini ratio
menunjukkan angka yang lebih kecil yang berarti adalah lebih merata, namun kondisinya adalah merata dalam skala kepemilikan yang kecil-kecil (seperti di Jawa Timur rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar pada tahun 2003 mencapai 72,60 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada pemerataan aset, namun dengan skala kepemilikan yang kecil maka economies of scale tidak akan tercapai, sehingga hasil usaha tani pada kondisi tersebut adalah merugi.
3.6 Fragmentasi Lahan dan Kepemilikan Lahan Dalam satu hektar lahan dimiliki oleh beberapa kepala keluarga dan kepemilikan yang terpencar-pencar untuk daerah Jawa lebih tinggi dari daerah lainnya.
Semakin terfragmentasinya lahan dan kepemilikan lahan maka dari sisi
ekonomi biaya persatuan unit hektarnya akan jadi lebih besar sehingga dalam kegiatan perekonomian akan sulit untuk bersaing. Karena hal ini berlawanan dengan kondisi hukum ekonomi (Economies of scale) yaitu apabila biaya rata-ratanya lebih besar dari biaya marginalnya maka pengembangan aktifitas usaha tani akan lebih menguntungkan, sehingga dalam skala kepemilikan yang terpencar-pencar dan kecil perlu dilakukan kesatuan manajemen pengelolaan untuk menekan pembiayaan
40
Tabel 1. Nilai Rataan Berbobot dari Variabel-Variabel Karakteristik Kepemilikan Usaha Pertanian di Beberapa Wilayah Skala Kepemilikan /Penguasaan Lahan (ha/KK)
Indeks Fragmentasi Pemilikan Lahan (Persil/KK)
Deli Serdang Simalungun
0.918 0,490
1,962 1,867
Indeks Fragmentasi Lahan (Persil/ha) 2,136 3,810
Musi Banyuasin Ogan Komering Ulu Lampung Tengah Lampung Utara Garut Subang Lamongan Nganjuk Bone Bulukumba
1,087 0,644 0,566 0,915 0,210 0,592 0,297 0,565 0,937 1,061
1,227 1,529 2,100 2,033 2,241 1,966 2,269 2,367 1,958 4,105
1,129 2,376 3,712 2,222 10,657 3,318 7,645 4,188 2,091 3,869
Kabupaten Sumatera
Jawa
Sulawesi
Sumber: Saefulhakim, 1997 3.7 Aspek Property Right Lahan Secara umum, keberadaan suatu kepemilikan harus mempunyai pengakuan akan hak milik atau dengan bahasa lain disebut property right. Property right ini dapat bebrbentuk pengukuhan kekuasaan dengan menegaskan hak – hak atas individu melalui dokumentasi legal, dimana hak – hak tersebut dapat dilaksanakan Hak – hak lahan yang didokumentasikan menyatakan bahwa keadaan lahan dimana pemilik dapat mengancam orang lain yang
melanggar
atau
menjadi
saingan
dalam
mengklaim lahan tersebut, maka orang yang mencoba menggunakan lahan tersebut dapat dikenakan ancaman hukuman. Pada keadaan lahan mengalami perbaikan dan peningkatan nilai, property right ini dapat dijadikan tameng bagi pemiliknya jika para spekulator berusaha untuk memiliki lahan tersebut. Apabila terdapat kekurang jelasan atau tidak adanya hak–hak formal sama sekali,
maka hak-hak atas lahan tidak dapat ditransfer.
mengakibatkan,
Keadaan tersebut
pertama-tama dengan tidak adanya hak untuk menjual atau
41
mentransfer lahan, maka pemilik lahan tidak dapat mewujudkan nilai atas lahan. Kedua, jika nilai lahan semakin meningkat, pengguna lahan mungkin tidak dapat menahan tekanan para spekulator lahan untuk mengambil lahan yang bersangkutan, tindakan ini juga sering dilakukan oleh petani- petani kaya di pedesaan. Ketiga, lahan yang tidak jelas haknya tidak akan dapat dijual di pasar lahan secara terbuka, yang berarti lahan tidak akan mendapatkan nilai tambah dalam penggunaannya. Keempat, tidak adanya lhak atas lahan berarti bahwa penguasa atas lahan tidak dapat menggunakan lahan tersebut sebagai agunan jika ia mengajukan pinjaman kepada lembaga perkreditan formal. Dengan adanya tekanan penduduk yang bertumbuh terus, maka property right yang lebih tegas dan jelas sampai mencapai pemilikan yang ekslusif dan nantinya akan mengarah kepada pemilikan individual. Adapun persyaratan dalam memenuhi hak- hak atas lahan adalah : 1. Hak–hak harus dispesifikasikan secara penuh.
Hal ini berarti pemiliknya
harus dapat dibeda – bedakan secara jelas. Demikian juga pembatasan – pembatasan terhadap hak – hak kepemilikan dan sanksi – sanksi terhadap pelanggaran hak –hak tersebut. 2. Suatu property right harus mengandung arti bahwa kepemilikan harus ekslusif. Ekslusifitas ini menentukan siapa – siapa saja, jika ada, yang boleh menggunakan sumberdaya atau barang yang dimilikinya dan apa persyaratan yang dapat dipergunakan. 3. Pemilik lahan mempunyai hak untuk mentransfer barang miliknya. 4. Property right secara efektif harus dapat dipaksakan, karena tanpa adanya kekuatan untuk memaksa, property right tidak dianggap bermanfaat.
42