BAB II PERJANJIAN JUAL BELI
2.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli
Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata ”suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga di namakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak lebih sempit karena ditunjuk kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
18 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain tercakup dengan nama undangundang. Jadi ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.25 Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1.
Sepakat mereka mengikatkan dirinya
2.
Cakap untuk suatu perjanjian
3.
Mengenai suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal Demikian menurut pasal 1320 KUHPerdata, dua syaray yang pertama,
dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjian sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal syarat obyektif, apabila syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semua tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perjanjian dan tidak pernah ada 25
Subekti , 1987 , Hukum perjanjian, intermasa, Hlm. 3.
19 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian : 1) Orang-orang yang belum dewasa 2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang perjanjianperjanjian tertentu. 26 Perjanjian jual beli adalah termasuk perjanjian yang paling kerap diadakan. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian pada mana satu pihak 26
Subekti, Hukum Perjanjian , InterMasa, Jakarta hlm 17
20 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
mengikatkan diri untuk menyerahkan (leveren) suatu barang (benda) dan pihak lain mengikatkan diri untuk membayar harga yang disetujui bersama. demikian kira-kira disebutkan di dalam pasal 1457 KUHPerdata.27 Agar suatu perjanjian dapat dinamakan perjanjian jual beli maka salah satu prestasinya harus berupa pemberian alat pembayaran yang sah. Jadi karena perjanjian jual beli itu maka timbul perikatan-perikatan. Perikatan dari penjual untuk menyerahkan barang dan perikatan dari pembeli untuk membayar harganya. Kewajiban dari penjual adalah ”levering” (penyerahan) barang yang dijual dan itu harus diartikan bahwa penjual harus menyerahkan hak milik dari barang yang dijualnya. Juga berdasarkan perjanjian lain dapat timbul perikatan untuk menyerahkan sesuatu barang, tetapi tidak dalam arti bahwa yang harus diserahkan itu adalah hak miliknya. Untuk adanya perjanjian jual beli cukup asal ada persesuaian kehendak. Persesuaian kehendak itu harus ada mengenai barang atau benda yang harus diserahkan dan harga yang terhutang. Dalam sistem BW maka hanya karena ada perjanjian jual beli saja hak milik dari barangnya belum pindah. Agar hak miliknya berpindah masih diperlukan penyerahan hak milik. Akibat suatu perjanjian menurut pasal 1338 KUHPerdata menentukan bahaw suatu perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang terhadap para pihak, berlaku seolah-olah perjanjian itu adalah undang-undang. Ini 27
Hartono Soerjopratikno, 1994, Aneka Perjanjian, Mustika Wikasa, Yogyakarta, hlm. 1.
21 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
berarti bahwa dengan membuat suatu perjanjian, para pihak menciptakan hak dan kewajiban yang mempunyai kekuatan yang tidak kalah dari ketentuan undang-undang. Hak itu berlaku seolah-olah hak itu berdasarakan undangundang dan kewajiban itu diperintahkan oleh undang-undang. Dengan demikian jumlah perjanjian tidak terbatas.28 Pasal 1340 ayat 1 KUHPerdata menentukan bahwa semua perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang disebut dalam perjanjian, pasal 1340 ayat 2 KUHPerdata menentukan suatu perjanjian tidak dapat merugikan pihak ketiga. Kemudian pasal 1340 ayat 2 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian antara dua orang, tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga, kecuali dalam hal yang disebut dalam pasal 1317 KUHPerdata. Pengertian jual beli menurut pasal 1457 KUHPerdata, jual-beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjiakan. Harga yang dimaksud adalah suatu alat pembayaran yang sah. Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan : “jual-beli dianggap telah terjadi anatara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai
28
Tan Thong Kie, Studi Notaria Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Hlm.411-412.
22 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Menurut pasal 1458 KUHPerdata diatas berarti jual beli bersifat konsensualisme. Dimana hal ini hanya berlaku pada benda bergerak saja sehingga bentuk perjanjiannya bebas. Sedangkan untuk benda tetap atau benda tidak bergerak, sifat perjanjian adalah rill yang berarti jual beli terjadi setelah ada penyerahan barang dan harga. Perjanjian jual beli pada benda tetap berbentuk formal dengan membuat sebuah akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. 2.2 Unsur Perjanjian Jual Beli a. Kesepakatan Untuk terjadinya jual beli menurut KUHPerdata tidak diperlukan lain kecuali penyesuaian kehendak antara para pihak mengenai barang (zaak) dan harga. Kata sepakat yang menimbulkan terjadinya perjanjian jual beli harus datang dari kehendak para pihak artinya tidak ada paksaan dari pihak lain (pasal 1321 KUHPerdata). Dalam perjanjian jual beli berlaku asas yang dinamakan konsenusalitas. Artinya asas konsensualitas adalah pada dasarnya perjanjian itu terjadi karena ada kesepakatan antara para pihak dan sudah ada sejak terjadi kata sepakat. Dengan kata lain perjanjian sudah sah apabila
23 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
sudah ada kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dan karena itu tidak diperlukan suatu formalitas.29 Perjanjian jual beli bersifat konsensus nampak jelas diatur dalam pasal 1458 KUHPerdata, jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan. b. Obyek Dalam perjanjian jual beli yang menjadi objek yaitu suatu benda atau barang dan harga. Yang dimaksud dengan benda atau barang yaitu suatu benda atau barang tersebut yang dapat dijadikan objek ”harta benda” atau ”harta kekayaan”. Jadi yang dapat dijadikan objek perjanjian jual beli adalah segala sesuatu yang bernilai harta kekayaan. Hal tersebut sesuai dengan pasal 1332 KUHPerdata, yaitu : hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”. Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan ”suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
29
Hartono Soerjopratiknjo, 1982, Aneka Perjanjian Jual Beli, PT. Citra Aditya Bahakti, Hlm 3
24 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
Dan dalam pasal 1334 KUHPerdata disebutkan bahwa barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian apa yang dapat menjadi objek perjanjian dengan sendirinya dapat dijadikan objek jual beli. Mengenai barang yang dimaksud dalam perjanjian jual beli paling tidak harus ditentukan jenisnya, dan kemudian nantinya dapat dihitung atau ditetapkan. Mengenai barang tersebut sudah ada atau belum saat perjanjian dibuat, undang-undang tidak mengharuskan. Demikian juga mengenai jumlahnya tidak perlu disebutkan. Mengenai harga ditentukan atas dasar kesepakatan antara para pihak atau ditentukan oleh pihak ke tiga. Meskipun tidak disebutkan dalam salah satu pasal undang-undang, tetapi kiranya cukup jelas bahwa yang dimaksud dengan harga adalah harga itu harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian maka tidak ada perjanjian jual beli. Didalam perkembangannya pembayaran tidak harus berupa uang tunai tetapi bisa berupa cek, hal ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 2 Tahun 1982. Apabila pembayaran (prestasi dari pihak pembeli) berupa barang lain, maka tidak ada jual beli melainkan yang ada adalah tukar menukar. Jika pembayarannya adalah prestasi lain seperti misalnya ”berbuat atau tidak berbuat sesuatu” maka tidak ada perjanjian jual beli melainkan yang ada adalah suatu perjanjian yang tidak bernama (onbenoemde contract) jadi uang itu sebagai
25 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
alat pembayaran yang sah, karena jika tidak dengan uang akan merubah perjanjian itu sendiri. c. Peralihan Hak Peralihan hak adalah unsur yang paling esensial untuk terjadinya jual beli dan ini membedakan dengan perjanjian khusus lain ( sewa menyewa). Peralihan hak dalam perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1549 KUHPerdata bahwa ”hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612, 613 dan 616 KUHPerdata. Pasal 612 KUHPerdata menyatakan bahwa ”penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada”. Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain telah dikuasai oleh orang atas kehendak menerimanya. Pasal 613 KUHPerdata menyatakan akan piutang-piutang atas nama dan kehendak tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta
26 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piuang karena surat bahwa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen. Pasal 616 KUHPerdata, berbunyi bahwa penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620 KUHPerdata. Perkataan jual beli menunjukan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli.30 Dari pengertian jual beli tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual beli terkandung adanya dua unsur pokok yaitu adanya barang dan harga barang.
30
R. Subekti, Aneka Perjnjian, Hlm 1.
27 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
d. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jual Beli Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa ”jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun keadaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Menurut pasal 1458 KUHPerdata di atas berarti jual beli bersifat konsensualisme. Dimana hal ini hanya berlaku pada benda bergerak saja sehungga bentuk perjanjiannya bebas. Sedangkan untuk benda tetap atau benda tidak bergerak, sifat perjanjiannya adalah rill yang berarti jual beli terjadi setelah ada penyerahan barang dan harga. Perjanjian jual beli pada benda tetap berbentuk formal dengan membuat akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. 2.3 Syarat Sahnya Perjanjian Pasal 1338 KUH Perdata memberikan kepada para pihak untuk antara lain menentukan isi perjanjian dan memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian. Setiap subjek hukum diberi keleluasaan untuk membuat perjanjian tetapi selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum, ketertiban umum dan kesusilaan. Pada pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi emapat syarat syahnya yaitu :
28 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Di dalam perjanjian harus ada kata sepakat dari kedua belah pihak, artinya bahwa tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun sehingga yang dikehendaki oleh pihak satu juga dikehendaki pihak lainnya.
2.
Kecakapan untuk membuat perikatan Perjanjian hanya dapat dibuat oleh subjek hukum yang dinyatakan cakap atau mampu secara hukum untuk membuat perjanjian. Cakap bertindak secara hukum juga memiliki arti mampu menyadari perbuatannya dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Akibat hukum ketidak cakapan membuat perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalan. Pada pasal 1330 KUH Perdata dikatakan ”tidak cakap” untuk membuat
suatu perjanjian adalah : (1)
Orang yang belum dewasa
(2)
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
(3)
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang
telah
melarang
membuat
tertentu.
29 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
perjanjian-perjanjian
KUH Perdata pada pasal 330 ayat (1) mensyaratkan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah menikah. Sedangkan pada pasal 47 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan ” anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahu atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasannya”. Dari perbedaan tersebut yang digunakan sebagai ukuran kedewasaan seseorang adalah 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Hal ini terkait dengan asas hukum lex spesaialis derogat legi generalis yang menyatakan bahwa ketentuan hukum khusus meniadakan ketentuan hukum umum. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, wanita yang bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum tanpa mendapat izin suaminya. 3.
Suatu hal tertentu Hal tertentu maksudnya objek yang diatur dalam perjanjian tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Hal ini penting untuk memberi jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya perjanjian fiktif. Pasal 1332 KUH Perdata menegaskan bahwa ” hanya barang-barang yang diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok
30 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
perjanjian”. Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata juga menyatakan ” tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”. 4.
Suatu sebab yang halal Ketentuan perundang-undangan tidak pernah mempedulikan apa yang menjadi penyebab subjek hukum untuk mengadakan perjanjian, namun yang diawasi oleh undang-undang adalah isi dari perjanjian yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Peranan hukum adalah mengawasi isi dari perjanjian tersebut sehingga tidak menyimpang dari asas-asas hukum yang berlaku dimana secara tegas dinyatakan dalam pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan ” suatu sebab adalah terlarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Pernyataan sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan kedalam syarat subjektif karena berkenaan dengan kapasitas orang yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat tentang suatu hal tertentu dan sebab yang halal digolongkan kedalam syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.31
31
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.
31 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
Keempat syarat di atas adalah syarat limitatif dalam suatu perjanjian, syarat tersebut harus terpenuhi sehingga perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat. Bila salah satu atau beberapa syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat berakibat batal (nieting) atau dapat dibatalkan. Dalam kaitan ini, Subekti mengatakan apabila tidak dipenuhi syarat-syarat pertama dan kedua maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan perjanjian itu kepada hakim, sedangkan apabila tidak dipenuhinya syarat ketiga dan ke empat maka perjanjian tersebut batal demi hukum.32 2.4 Asas-asas Hukum Perjanjian Berdasarkan teori didalam suatu hukum kontrak terdapat lima asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas ini antara lain adalah 33: 1.
Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) Yaitu semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dengan syarat tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, “ semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” 32
R. Subekti, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, PT. Intermesa, Jakarta. R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Intermasa,
33
32 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang member kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk : a. Membuat atau tidak membuat perjanjian b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya d. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau tidak tertulis e. Menerima atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang bersifat opsional Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatnya memenuhi syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan ketentuan yang sama seperti undang-undang. Para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian dengan isi apa saja didalam sebuah perjanjian dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku. 2.
Asas konsensualisme (Concsensualism)
Yaitu, bahwa perjanjian dianggap berlaku mengikat sejak adanya kesepakatan para pihak. Asas konsensualisme dapat diselusuri dalam rumusan pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dengan kata lain, perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas. Namun, berbagai ketentuan undang-undang
33 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian harus dilakukan secara tertulis (contohnya perjanjian perdamaian) atau yang diharuskan dibuat dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (contoh akta pendirian perseroan terbatas). Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata berkaiatan dengan bentuk perjanjian. 3. Asas kepastian hukum (Pacta sunt servanda) Asas pacta sunt servanda atau diterjemahkan sebagai asas kepastian hukum (janji wajib ditepati) terangkum dalam rumusan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Asas pacta sunt servanda menyatakan hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi atau campur tangan terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. 4. Asas itikad baik (Good faith) Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa, “semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik “. Asas itikad baik menyatakan bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur, harus melaksanakan subtansi kontrak berlandaskan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak.
34 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
5. Asas Kepribadian Asas kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUHPerdata. Dalam pasal 1315 KUHPerdata dirumsakan, “ pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, kecuali untuk dirinya sendiri”. Pasal 1315 KUHPerdata ini berkaiatan dengan rumusan pasal 1340 KUHPerdata, “perjanjian-perjanjian hanya berlaku diantara para pihak-pihak yang membuatnya”. Kedua pasal ini (pasal 1315 dan 1340 KUHPerdata) menerangkan bahwa perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya sehingga tidak boleh seseorang melakukan perjanjian yang membebani pihak ketiga.34
2.5 Perjanjian Baku Perkembangan zaman menuntut segalanya berkembang ke arah yang serba cepat dan serba praktis dalam segala hal termasuk juga dalam melakukan perjanjian. Untuk kepentingan tersebut maka terciptalah suatu perjanjian baru yang dikenal dengan perjanjian baku ( perjanjian standar).
34
BN. Marbun, Membuat Perjanjian yang aman & sesuai hukum, Puspa swara, Jakarta, Hlm 4-6.
35 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 1 nomor 10 menyebutkan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/ atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Perjanjian baku menurut Mariam Darus adalah “Perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir.”35 Klausula eksonerasi menurut Rijken adalah “ klausula yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.”36 Klausula eksonerasi timbul oleh karena adanya permintaan dalam frekuensi yang tinggi dan terjadi atas kehendak satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara masal. Bentuk yang bersifat masal ini telah dipersiapkan terlebih dahulu dan diperbanyak dalam bentuk formulir dan biasanya bertujuan untuk membatasi tanggung jawab salah satu pihak yang dalam hal ini biasanya tanggung jawab produsen ( kreditur). 35
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Buku III, Hukum Perikatan Dengan penjelasan, Alumni, Bandung 36 Ibid, hlm 48
36 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
Selanjutnya menurut Mariam Darus, dari gejala-gejala perjanjian buku yang terdapat di masyarakat, perjanjian ini dapat dibedakan dalam emapt jenis, yaitu :37 1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak kuat disini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan pihak debitur. 2. Perjanjian baku timbal balik, adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua belah pihak lazimnya terikat dengan organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif. 3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. 4. Perjanjian baku yang ditentukan dilingkungan notaries atau advokat, adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah
37
Ibid, hlm 49
37 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaries atau advokat yang bersangkutan.
Ketentuan pencantuman klausula baku ini mendapat perhatian guna menjamin adanya perlindungan bagi konsumen (debitur) yang ingin melakukan transaksi dengan adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, disebutkan beberapa hal yang melarang pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila : a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pengusaha b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli konsumen c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dinyatakan atas barang dan atau jasa yang dibeli konsumen d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung mamupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
38 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
e. Mengatur pihak pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen f. Membeli hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masalah konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara langsung. Adanya pencantuman syarat atau klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian atau yang sering dijumpai pada perjanjian standar (Perjanjian baku) tidaklah bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Apabila tersebut tidak sesuai dengan undang-undang, kesusuilaan dan ketertiban umum maka perjanjian tetap dapat dilaksanakan namun klausula yang bertentangan tersebut tidak dianggap (tidak perlu dilaksanakan) karena batal
39 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
demi hukum mengenai syarat sahnya perjanjian tentang adanya suatu hal tertentu dan sebab yang halal.
2.6 Hak dan Kewajiban Dalam Perjanjian Jual Beli Hak dan kewajiban para pihak dalam KUHPerdata yaitu penjual dan pembeli adalah sebagai berikut:38
1. Hak dan Kewajiban Penjual.
Penjual memiliki dua kewajiban utama yaitu menyerahkan hak milik atas barang dan barang menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung cacat tersembunyi. Sebaliknya Penjual memiliki hak atas pembayaran harga barang, hak untuk menyatakan pembatalan berdasarkan pasal 1518 KUHPerd dan hak reklame.
a. Hak Penjual Hak penjual adalah menerima pembayaran atas barang-barang yang diserahkan kepada pembeli.
38
Ester Dwi Magfirah, Upaya Hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli barang, www.solusi hukum.com/artikel/artikel32.php
40 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
Pasal 1513 KUHPerdata disebutkan bawa kewajiban utama si pembeli adalah membayar harga pembelian, pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. b. Kewajiban Penjual Bagi pihak Penjual ada dua kewajiban utama yaitu: 1) Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. Oleh karena KUHPerdata mengenal dua macam barang, yaitu : barang bergerak, barang tetap maka menurut KUHPerdata terdapat beberapa macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing macam barang itu : a) Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang itu b) Untuk barang tetap (tak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan ”balik nama”.
41 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
Sedangkan untuk Barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan ”cessie” sebagaimana diatur dalam pasal 613 KUHPerdata yang berbunyi : Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Mengenai biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam penyerahan, pasal 1476 KUHPerdata menyebutkan : ”biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli, jika tidak telah diperjanjikan sebaliknya. 2)
Menanggung Kenikmatan tentram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat tersembunyi ( Vrijwaring waranty). Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tentram merupakan konsekwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak. Pasal 1471 KUHPerdata menyebutkan : jual beli barang orang lain adalah batal, yang dapat memberikan dasar untuk penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika si pembeli tidak telah mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.
42 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
Kewajiban tersebut menemukan realisasinya dalam kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai terjadi si pembeli karena suatu gugatan dari pihak ketiga, dengan putusan hakim dihukum untuk menyerahkan barang yang telah di belinya kepada pihak ketiga tersebut. Gugatan tentang cacat yang tersembunyi terjadi antara pembeli dan penjual
dan
merupakan
bagian
dari
tuntutan
mengenai
kesesatan
(dwalingsactie) atau dari tuntutan karena cidera janji (actie uit wanprestatie). Dua bentuk jaminan diatas (penguasaan aman dan damai dan cacat tersembunyi) persamaan adalah bahwa kedua-duanya itu dapat menjadi sebab kewajiban memberikan ganti rugi atau pembatalan perjanjian dengan ganti rugi. Bahwa seorang pembeli yang diganggu dalam bezitnya (penguasaannya) karena munculnya pihak ketiga yang mengatakan bahwa dialah pemilik sesungguhnya, dapat menuntut penjualan berdasarkan kewajibannya untuk menjamin penguasaan yang aman dan damai. Ia tidak dapat menuntut penjual berdasarkan kewajibannya untuk menjamin penguasaan yang aman dan damai. Ia tidak menuntut penjual karena tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan hak miliknya, karena kewajiban demikian itu tidak ada pada penjual ( penjual hanya wajib melakukan penyerahan nyata).39
39
Hartono Soejopratiknjo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Hlm 23-24
43 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
2. Hak dan Kewajiban Pembeli.
Pembeli berkewajiban membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Pembayaran harga dilakukan pada jumlah, waktu dan tempat yang ditetapkan dalam perjanjian.
Harga tersebut harus berupa uang. Meski mengenai hal ini tidak ditetapkan oleh undang-undang namun dalam istilah jual-beli sudah termaktub pengertian disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang.40
Hak pembeli dalam perjanjian jual beli, Pembeli mempunyai dua hak utama yaitu : 1) Menerima penyerahan kebendaan dari Penjual sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam pasal 1483 KUHPerdata disebutkan bahwa si Penjual diwajibkan menyerahkan barang yang dijual seutuhnya, sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian dengan perubahan-perubahan sebagai berikut. 2) Mendapatkan jaminan atas barang yang telah diserahkan tersebut, yaitu berupa jaminan ketentraman dan rasa aman atas barang serta jaminan terhadap tidak adanya cacat tersembunyi. 40
Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm 21
44 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
Dalam pasal 1491 KUHPerdata dikatakan ; penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli adalah untuk menjamin dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tentram, kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya. b. Kewajiban Pembeli kewajiban pembeli yang utama adalah membayar harga pembelian barang pada waktu dan tempat yang telah disepakati menurut perjanjian. Apabila pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang itu, maka si pembeli harus membayar pada tempat dan waktu dimana penyerahan harus dilakukan. Demikian menurut pasal 1514 KUHPerdata. Harga yang dibayar pembeli kepada penjual harus berupa sejumalah uang yang sah serta harus yang senilai dengan barang yang diperjual belikan. Harga barang sesungguhnya tidak hanya dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian saja akan tetapi harga dapat juga ditentukan oleh pihak ketiga. Harga yang ditentukan oleh pihak ketiga tersebut sifatnya mengikat. Artinya apabila pihak ketiga telah menentukan maka dengan sendirinya perjanjian yang dikehendaki tersebut tidak pernah ada. Ini berarti bahwa dengan adanya penentuan harga oleh pihak ketiga dalam sebuah perjanjian, maka perjanjian tersebut disebut dengan perjanjian dengan syarat tangguh.
45 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
2.7 Objek perjanjian jual beli Oleh karena KUHPerdata mengenal dua macam barang yaitu ; 1)
Barang bergerak
2)
Barang tetap
Maka menurut KUHPerdata ada tiga macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing macam barang itu : a)
Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas
barang itu, pasal 612 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: “penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimannya”. b)
Untuk barang tetap (tak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan
“balik nama” di muka pegawai kadaster yang juga dinamakan pegawai balik
46 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.
nama, yaitu menurut pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620 KUHPerdata, pasal-pasal mana berbunyi sebagai berikut : Pasal 616 KUHPerdata menyebitkan bahwa “pernyataan atau penunjukan akan kendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akata yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalm pasal 620 KUHPerdata”. c)
Barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie”
sebagaimana diatur dalam pasal 613 KUHPerdata yang berbunyi : “pernyataan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan dan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain”. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya melainkan stelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tetulis, disetujui dan diakuinya.41
41
Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 9-11
47 Penerapan asas-asas..., Dirgo Laskono, FH UI, 2011.