12
BAB II LANDASAN TEORI Landasan teori merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah didefenisikan sebagai masalah yang penting. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk pelaksanaan penelitian (Sugiyono, 2005:55). Untuk itu perlu disusun suatu kerangka teori sebagai pedoman yang menggambarkan dari mana sudut masalah tersebut disorot. Dalam penelitian kualitatif, teori yang diajukan memang bukanlah sebagai jawaban terhadap fenomena yang diangkat melainkan lebih sebagai perspektif. Adapun yang menjadi kerangka dasar dalam penelitian ini adalah:
2.1 Implementasi Kebijakan 2.1.1 Implementasi Kebijakan Anak Menurut Patton dan Sawicki di dalam (Tangkilisan, 2003:9) Implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan perogram, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan, dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan perogram, serta melakukan interpretasi terhadap
12
13
perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan. Dari penjelasan tersebut implementasi merupakan wujud tindakan administratif yang sebelumnya merupakan rumusan kebijakan berupa tindakan politik sehingga membentuk kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan dari kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan, organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah yang menempatkan program kedalam tujuan kebijakan, dan penerapan, yaitu berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya (Tangkilisan, 2003:18) Sedangkan kebijakan publik adalah hal-hal yang berhubungan dengan apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapinya. Fredrickson dan Hart di dalam (Tangkilisan, 2003:19) mengatakan Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah di dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu sambil mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang di inginkan. George Edwards (Tangkilisan, 2003:3) mengatakan jika sebuah kebijakan diambil secara tepat, maka kemungkinan kegagalan pun masih saja
14
mungkin terjadi. Oleh karena itu, kebijakan yang sangat baik sekalipun jika diimplementasikan
buruk
akan
gagal
untuk
mencapai
tujuan
para
perancangnya. Kebijakan anak di Indonesia memerlukan kerangka hukum yang kuat untuk mencegah dan menangani kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran anak. Kerangka hukum tersebut harus menunjuk lembaga pemerintah dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang jelas terhadap penanganan dan penyediaan layanan perlindungan anak. Indonesia juga menghadapi tantangan untuk memastikan keselarasan peraturan daerah (perda) dan kebijakan perlindungan anak di hampir 500 kabupaten, masing-masing dengan kewenangan untuk menetapkan peraturannya sendiri. Selain kerangka hukum yang masih amat kurang, masalah anak saat ini masih dilihat bukan karena masalah yang penting, melainkan karena sedang banyak diberitakan. Kerangka hukum dan kebijakan yang ada saat ini kondusif untuk mempromosikan hak anak, tetapi masih terdapat beberapa kebijakan publik yang tak peka terhadap realitas sosiologis yang menimbulkan kesenjangan masyarakat. misalnya tidak terpenuhinya hak-hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Selain Itu masalah anak tidak masuk agenda politik dari partai politik karena tidak bisa dijadikan tenaga pendukung politik. Isu anak dinilai tidak menarik (non-marketable) dan sering dianggap biayanya melebihi manfaat kegunaannya (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 2012).
15
Mengatasi permasalahan anak diperlukan kebijakan yang isinya sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Menurut Jones kebijakan yang disusun harus menguraikan beberapa isi, yaitu tujuan, rencana, program, keputusan dan efek. a. Tujuan yang dimaksudkan adalah tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved), bukan suatu tujuan yang sekedar diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja bukanlah tujuan tetapi hanyalah sekedar keinginan, setiap orang pastinya boleh menginginkan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara keinginan hanya diperhitungkan bila ada usaha untuk mencapainya. b. Rencana atau proposal merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya. c. Program merupakan cara tertentu yang telah mendapatkan persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud d. Keputusan merupakan tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program. e. Efek atau dampak merupakan akibat yang timbul dari suatu program di dalam masyarakat (Zainal Abidin, 22:21).
2.1.2
Model-Model Kebijakan Penangulangan Pekerja Anak Jalanan Model-model pendekatan penanggulangan Pekerja anak jalanan yang
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia adalah: 1 2 3 4 5 6 7
Child based services yaitu model pendekatan yang menempatkan anak sebagai basis penerima pelayanan Institutional based services yaitu model pendekatan berbasis panti sosial Family based services yaitu model pendekatan yang menjadikan keluarga sebagai basis dan sasaran utama pelayanan Community based services yaitu model pendekatan menempatkan masyarakat sebagai pusat pelayanan Location based services/street based services yaitu model pendekatan yang memberikan pelayanan pada lokasi anak yang mengalami masalah Half- way house services yaitu model pendekatan semi panti sosial Stated based services yaitu model pendekatan pelayanan secara makro dan tidak langsung (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, 2011:180).
16
2.1.3
Perspektif Implementasi Kebijakan Menurut George Edward di dalam (Tangkilisan, 2003) implementasi
kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach. Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: 1. faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan, 2. faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi 1. Komunikasi Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga mengurangi distorsi implementasi. 2. Sumberdaya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya
17
tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja. 3. Disposisi Disposisi
adalah
watak
atau
karakteristik
yang
dimiliki
oleh
implementator, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. 4. Stuktur birokrasi Stuktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standard (SOP) yang menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak.
2.1.4 Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan Menurut Grindle dan Quade di dalam (Akib dan Tarigan, 2008:13) untuk mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan
18
kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Proses implementasi kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya. Sebagai komparasi dapat dipahami pemikiran Mazmanian dan Sabatier yang mengembangkan “kerangka kerja analisis implementasi” Menurutnya, peran penting analisis implementasi kebijakan negara ialah mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu mudah atau sulitnya mengendalikan
masalah
yang
digarap,
kemampuan
kebijakan
untuk
mensistematisasi proses implementasinya, pengaruh langsung variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam kebijakan (Wahab, 1991: 117).
19
2.2 Pekerja Anak Jalanan 2.2.1 Pengertian Anak Jalanan Istilah anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan di jalanan, Istilah anak jalanan pertama kali di perkenalkan di Amerika Selatan atau Brazilia yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup di jalanan. Anak-anak yang hidup dijalanan umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang berbau kriminal. Kelompok ini juga disebut dalam istilah kriminologi sebagai anak-anak dilinguent, istilah ini menjadi rancu ketika dicoba digunakan di negara berkembang lainnya yang pada umumnya mereka masih memiliki ikatan dengan keluarga. UNICEF kemudian menggunakan istilah hidup dijalanan bagi mereka yang sudah tidak memiliki ikatan keluarga, sedangkan istilah bekerja di jalanan adalah istilah bagi mereka yang masih memiliki ikatan dengan keluarga (Misran Lubis dkk, 2011:5). Pada dasarnya anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan demi mencari nafkah, baik dengan kerelaan hati maupun dengan paksaan orang tuanya. Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang sebagian waktunya mereka gunakan di jalan atau tempat-tempat umum lainnya baik untuk mencari nafkah maupun berkeliaran. Dalam mencari nafkah, ada beberapa anak yang rela melakukan kegiatan mencari nafkah di jalanan dengan kesadaran sendiri, namun banyak pula anak-anak yang dipaksa untuk bekerja di jalan oleh orang-orang di sekitar
20
mereka, baik itu orang tua atau pihak keluarga lain, dengan alasan ekonomi keluarga yang rendah. Aktivitas yang dilakukan anak jalanan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yaitu mengamen, mengasong, mengemis, buruh pasar atau kuli, menyemir sepatu, parkir mobil, kernet, ojek payung, pekerja seks hingga berkeliaran tidak tentu. Aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan di tempet-tempat atau pusat keramaian misalnya, terminal, stasiun, perempatan jalan, pelabuhan, tempet hiburan Plaza, dan sebagainya (Bagong Suyanto, 2003:185)
2.2.2 Pengelompokkan Anak di Jalanan Berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok (Bagong Suyanto, 2003:185) yaitu: Pertama, Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka untuk membantu ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya. Kedua, Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian
21
menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan buruk, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual. Ketiga, Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah menjalani kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai, walaupun secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.
2.2.3. Karakteristik Pekerja Anak Jalanan Pekerjaan di jalanan dapat dilakukan baik di sektor formal ataupun informal dan di daerah perkotaan ataupun di pedesaan, dan dibayar maupun tidak dibayar. Misalnya, anak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan tidak dibayar di usaha-usaha yang berorientasi pasar yang dioperasikan oleh seorang anggota keluarga yang tinggal di rumah yang sama dianggap terlibat dalam kegiatan ekonomi. Anak yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau melakukan jenis-jenis pekerjaan rumah tangga lainnya di rumah tangga orang lain juga dianggap aktif secara ekonomi. Namun, anak-anak yang melakukan tugas-tugas rumah di rumahnya sendiri tidak dianggap aktif secara ekonomi.
22
Ada perbedaan karakteristik antara anak yang bekerja dijalanan dan anak yang hidup di jalanan, perbedaan tersebut dijelaskan dalam tabel berikut, Tabel II.1 Karakteristik Umum Pekerja Anak jalanan dan Anak yang Hidup di Jalanan Pekerja Anak Jalanan
Anak yang Hidup di Jalanan
Waktu berada di jalan 7-12 jam
Waktu dijalan 24 jam
Masih memiliki hubungan dengan keluarga
Putus hubungan dengan keluarga
Tinggal bersama orang tua atau mengontrak bersama teman-teman
Tempat tinggal dijalan, menggunakan semua fasilitas yang ada di jalanan
Sebagian kecil masih bersekolah dan sebagian besar putus sekolah
Putus sekolah
Masih saling mengontrol satu dengan lainnya sesama pekerja anak maupun masyarakat setempat
Tidak serius bekerja, jika memiliki uang lebih digunakan untuk berjudi, merokok, atau kencan dengan teman wanita yang berfrofesi sebagai PSK Lari dari rumah karena keinginan pribadinya tidak terpenuhi, keluarga berantakan atau sering mendapatkan tindakan kekerasan di rumah Kedua orang tua meninggal/tidak ada saudara yang mengurus Korban bencana alam
Sumber: Misran Lubis dkk, 2011:54,55
23
2.3. Pengertian Kota Layak Anak Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2005 melalui kebijakan Kota Layak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak. Kota Layak Anak juga sering disebut juga Kota Ramah Anak, kedua istilah ini dipakai dalam arti yang sama untuk menjelaskan pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam pembangunan sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak (Hamid Patilima, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia). Kota Ramah Anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak : 1 Keputusannya mempengaruhi kotanya 2 Mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan 3 Dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial 4 Menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan 5 Mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik 6 Terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah 7 Aman berada di jalanan 8 Bertemu dan bermain dengan temannya
24
9 10 11 12
Mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan Hidup di lingkungan yang bebas polusi Berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial Setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan (Misran Lubis dkk, 2010:60)