24
BAB II LANDASAN TEORI
A. Subjective well-being Subjective well-being merupakan bagian dari happiness, istilah happines dan subjective well-being ini juga sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008). Ada peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang sama (Snyder, 2007), akan tetapi lebih banyak peneliti yang menggunakan istilah subjective well-being (Eid & Larsen, 2008).
1. Definisi Subjective Well-Being Subjective well-being merupakan evaluasi subyektif seseorang mengenai kehidupan
termasuk
konsep-konsep
seperti
kepuasan
hidup,
emosi
menyenangkan, fulfilment, kepuasan terhadap area-area seperti pernikahan dan pekerjaan, tingkat emosi tidak menyenangkan yang rendah (Diener, 2003). Ryan dan Diener menyatakan bahwa subjective well-being merupakan payung istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat well-being yang dialami individu menurut evaluasi subyektif dari kehidupannya (Ryan & Diener, 2008). Veenhouven (dalam Diener, 1994) menjelaskan bahwa subjective wellbeing merupakan tingkat di mana seseorang menilai kualitas kehidupannya sebagai
sesuatu
yang
diharapkan
dan
merasakan
emosi-emosi
yang
menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
25
Subjective well-being menunjukkan kepuasan hidup dan evaluasi terhadap domain-domain kehidupan yang penting seperti pekerjaan, kesehatan, dan hubungan. Juga termasuk emosi mereka, seperti keceriaan dan keterlibatan, dan pengalaman emosi yang negatif, seperti kemarahan, kesedihan, dan ketakutan yang sedikit. Dengan kata lain, kebahagiaan adalah nama yang diberikan untuk pikiran dan perasaan yang positif terhadap hidup seseorang (Diener, 2008). Andrew dan Withey (dalam Diener, 1994) mengatakan bahwa subjective wellbeing merupakan evaluasi kognitif dan sejumlah tingkatan perasaan positif atau negatif seseorang. Dalam penelitian ini subjective well-being dijelaskan sebagai evaluasi subyektif seseorang mengenai kehidupannya, yang mencakup kepuasan terhadap hidupnya, tingginya afek positif dan rendahnya afek negatif.
2. Dimensi Subjective Well-Being Diener (1994) menyatakan bahwa subjective well-being memiliki tiga bagian penting, pertama
merupakan penilaian subyektif berdasarkan pengalaman-
pengalaman individu, kedua mencakup penilaian ketidakhadiran faktor-faktor negatif, dan ketiga penilaian kepuasan global. Diener (1994) menyatakan adanya 2 komponen umum dalam subjective wellbeing yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif. a. Dimensi kognitif Kepuasan hidup (life satisfaction) merupakan bagian dari dimensi kognitif dari subjective well-being. Life satisfaction (Diener, 1994) merupakan penilaian
Universitas Sumatera Utara
26
kognitif seseorang mengenai kehidupannya, apakah kehidupan yang dijalaninya berjalan dengan baik. Ini merupakan perasaan cukup, damai dan puas, dari kesenjangan antara keinginan dan kebutuhan dengan pencapaian dan pemenuhan. Campbell, Converse, dan
Rodgers (dalam Diener, 1994) mengatakan bahwa
kompoen kognitif ini merupakan
kesenjangan yang dipersepsikan antara
keinginan dan pencapaiannya apakah terpenuhi atau tidak. Dimensi kognitif subjective well-being ini juga mencakup area kepuasan / domain satisfaction individu di berbagai bidang kehidupannya seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang, artinya dimensi ini memiliki gambaran yang multifacet. Dan hal ini sangat bergantung pada budaya dan bagaimana kehidupan seseorang itu terbentuk. (Diener, 1984). Andrew dan Withey (dalam Diener, 1984) juga menyatakan bahwa domain yang paling dekat dan mendesak dalam kehidupan individu merupakan domain yang paling mempengaruhi subjective well-being individu tersebut. Diener (2000) mengatakan bahwa dimensi ini dapat dipengaruhi oleh afek namun tidak mengukur emosi seseorang.
b. Dimensi afektif Dimensi dasar dari subjective well-being adalah afek, di mana di dalamnya termasuk mood dan emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Orang bereaksi dengan emosi yang menyenangkan ketika mereka menganggap sesuatu yang baik terjadi pada diri mereka, dan bereaksi dengan emosi yang tidak menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka,
Universitas Sumatera Utara
27
karenanya mood dan emosi bukan hanya menyenangkan dan tidak menyenangkan tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan atau tidak (Diener, 2003) Dimensi afek ini mencakup afek positif yaitu emosi positif yang menyenangkan dan afek negatif yaitu emosi dan mood yang tidak menyenangkan, dimana kedua afek ini berdiri sendiri dan masing-masing memiliki frekuensi dan intensitas (Diener, 2000) Diener & Lucas (2000) mengatakan dimensi afektif ini merupakan hal yang sentral untuk subjective well-being. Dimensi afek memiliki peranan dalam mengevaluasi well-being karena dimensi afek memberi kontribusi perasaan menyenangkan dan perasaan tidak menyenangkan pada dasar kontinual pengalaman personal. Kedua afek berkaitan dengan evaluasi seseorang karena emosi muncul dari evaluasi yang dibuat oleh orang tersebut. Afek positif meliputi simptom-simptom antusiasme, keceriaan, dan kebahagiaan hidup. Sedangkan afek negatif merupakan kehadiran simptom yang menyatakan bahwa hidup tidak menyenangkan (Synder, 2007). Dimensi afek ini menekankan pada pengalaman emosi menyenangkan baik yang pada saat ini sering dialami oleh seseorang ataupun hanya berdasarkan penilaiannya (Diener, 1984) Diener (1984) juga mengungkapkan bahwa keseimbangan tingkat afek merujuk kepada banyaknya perasaan positif yang dialami dibandingkan dengan perasaan negatif.
Universitas Sumatera Utara
28
Diener (1994) kepuasan hidup dan banyaknya afek positif dan negatif dapat saling berkaitan, hal ini disebabkan oleh penilaian seseorang terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, masalah, dan kejadian-kejadian dalam hidupnya. Sekalipun kedua hal ini berkaitan, namun keduannya berbeda, kepuasan hidup merupakan penilaian mengenai hidup seseorang secara menyeluruh, sedangkan afek positif dan negatif terdiri dari reaksi-reaksi berkelanjutan terhadap kejadian-kejadian yang dialami.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being Ada beragam faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being individu, yaitu: a. Perbedaan jenis kelamin Shuman (Eddington dan Shuman, 2008) menyatakan penemuan menarik mengenai perbedaan jenis kelamin dan subjective well-being. Wanita lebih banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini; namun pria dan wanita mengungkapkan tingkat kebahagiaan global yang sama. Lebih lanjut, Shuman menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena wanita mengakui adanya perasaan tersebut sedangkan pria menyangkalnya. Penelitian yang dilakukan di Negara barat menunjukkan hanya terdapat sedikit perbedaan kebahagiaan antara pria dan wanita (Edington dan Shuman, 2008). Diener (2009) menyatakan bahwa secara umum tidak
Universitas Sumatera Utara
29
terdapat perbedaan subjective well-being yang signifikan antara pria dan wanita. Namun wanita memiliki intensitas perasaan negatif dan positif yang lebih banyak dibandingkan pria.
b. Tujuan Diener (dalam Carr, 2005) menyatakan bahwa orang-orang merasa bahagia ketika mereka mencapai tujuan yang dinilai tinggi dibandingkan dengan tujuan yang dinilai rendah. Contohnya, kelulusan di perguruan tinggi negeri dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan kelulusan ulangan bulanan. Carr (2004) menyatakan bahwa semakin terorganisir dan konsisten tujuan dan aspirasi seseorang dengan lingkungannya, maka ia akan semakin bahagia, dan orang yang memiliki tujuan yang jelas akan lebih bahagia. Emmons (dalam
Diener, 1999) menyatakan bahwa berbagai
bentuk tujuan seseorang, termasuk adanya tujuan yang penting, kemajuan tujuan-tujuan yang dimiliki, dan konflik dalam tujuan-tujuan yang berbeda memiliki implikasi pada emotional dan cognitive well-being.
c. Agama dan Spiritualitas Diener (2009) menyatakan bahwa secara umum orang yang religius cenderung untuk memiliki tingkat well being yang lebih tinggi, dan lebih
Universitas Sumatera Utara
30
spesifik. Partisipasi dalam pelayanan religius, afiliasi, hubungan dengan Tuhan, dan berdoa dikaitkan dengan tingkat well being yang lebih tinggi. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa subjective well-being berkorelasi signifikan dengan keyakinan agama (Eddington & Shuman, 2008). Ellison (dalam Eddington & Shuman, 2008), menyatakan bahwa setelah mengontrol faktor usia, penghasilan, dan status pernikahan responden, subjective well-being berkaitan dengan kekuatan yang berelasi dengan Yang Maha Kuasa, dengan pengalaman berdoa, dan dengan keikutsertaan dalam aspek keagamaan. Pengalaman keagamaan menawarkan kebermaknaan hidup, termasuk kebermaknaan pada masa krisis (Pollner dalam Eddington & Shuman, 2008). Taylor dan Chatters (dalam Eddington & Shuman, 2008) menyatakan agama juga menawarkan pemenuhan kebutuhan sosial seseorang melalui keterbukaan pada jaringan sosial yang terdiri dari orangorang yang memiliki sikap dan nilai yang sama. Carr (2004) juga menyatakan alasan mengikuti kegiatan keagamaan berhubungan
dengan
subjective
well-being,
sistem
kepercayaan
keagamaan membantu kebanyakan orang dalam menghadapi tekanan dan kehilangan dalam siklus kehidupan, memberikan optimisme bahwa dalam kehidupan selanjutnya masalah-masalah yang tidak bisa diatasi saat ini akan dapat diselesaikan. Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan religius memberikan dukungan sosial komunitas bagi orang yang mengikutinya. Keterlibatan dalam kegiatan keagamaan seringkali dihubungkan dengan
Universitas Sumatera Utara
31
lifestyle yang secara psikologis dan fisik lebih sehat, yang dicirikan oleh prosocial altruistic behaviour, mengontrol diri dalam hal makanan dan minuman, dan komitmen dalam bekerja keras. Diener (2009) juga mengungkapkan bahwa hubungan positif antara spiritualitas dan keagamaan dengan subjective well-being berasal dari makna dan tujuan jejaring sosial dan sistem dukungan yang diberikan oleh gereja atau organisasi keagamaan.
d. Kualitas hubungan sosial Penelitian yang dilakukan oleh Seligman (dalam Diener & Scollon, 2003) menunjukan bahwa semua orang yang paling bahagia memiliki kualitas hubungan sosial yang dinilai baik. Diener dan Scollon (2003) menyatakan bahwa hubungan yang dinilai baik tersebut harus mencakup dua dari tiga hubungan sosial berikut ini, yaitu keluarga, teman, dan hubungan romantis. Arglye dan Lu (dalam Eddington dan Shuman, 2008) menyatakan bahwa kebahagiaan berhubungan dengan jumlah teman yang dimiliki, frekuensi bertemu, dan menjadi bagian dari kelompok.
e. Kepribadian Tatarkiewicz (dalam Diener 1984) menyatakan bahwa kepribadian merupakan hal yang lebih berpengaruh pada subjective well-being dibandingkan dengan faktor lainnya. Hal ini dikarenakan beberapa
Universitas Sumatera Utara
32
variabel kepribadian menunjukkan kekonsistenan dengan subjective wellbeing diantaranya self esteem. Campbell (dalam Diener, 1984) menunjukkan bahwa kepuasan terhadap diri merupakan prediktor kepuasan terhadap hidup. Namun self esteem ini juga akan menurun selama masa ketidakbahagiaan (Laxer dalam Diener, 1984).
B. Kegiatan Menyanyi 1. Definisi kegiatan menyanyi Berdasarkan Longman Dictionary (2009:947) menyanyi merupakan kegiatan membuat suara musikal atau lagu dengan suara sendiri. Sedangkan Harvard Music Dictionary (1994:776) menyatakan bahwa menyanyi merupakan proses pembuatan musik yang tidak bergantung dengan instrumen. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Campbell (2004) bahwa menyanyi merupakan seni musik yang melibatkan suara manusia dan ekspresi diri, dan menyanyi merupakan kegiatan eksplorasi suara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan menyanyi adalah bentuk seni musik yang melibatkan eksplorasi suara dan ekspresi diri manusia.
2. Dampak kegiatan menyanyi Menyanyi merupakan aspek musik yang memiliki efek emosi yang dapat membantu individu dalam mencapai kepuasan dengan menstimulasi kesadaran emosi, dan memelihara kompetensi sosial (Bailey dalam Lalonde, 2009), juga
Universitas Sumatera Utara
33
meningkatkan hubungan sosial dan memperkuat sense of self (DeNora dalam Lalonde, 2009) MacLean (2008) menyatakan kegiatan menyanyi menawarkan manfaat kesehatan sebagaimana halnya dengan kegiatan olahraga. Dalam menyanyi, individu mengembangkan teknik pernafasan yang baik, dan ini berkorelasi dengan penurunan tingkat stres. Menyanyi juga merupakan aktivitas aerobik, dalam arti memperlancar sirkulasi oksigan dalam darah. Davidson (2008) menyatakan menyanyi berhubungan dengan stres yang dialami, meredakan efek yang ditimbulkan stres, menyanyi dapat membuat rileks dan menenangkan, kegiatan menyanyi dapat menurunkan hormon penyebab stres. Beberapa penelitian mencoba mencari tahu mengenai hubungan menyanyi dengan hormon dalam tubuh manusia. Beberapa di antaranya meneliti mengenai hormon cortisol (kortisol) dan secretory immunoglobulin A (sIgA). Kortisol merupakan ukuran stres, sedangkan sIgA merupakan endokrin yang melawan infeksi pada bagian pernafasan atas. Secara umum penurunan tingkat kortisol dan peningkatan sIgA adalah hal yang diharapkan. Meski, hasil pengukuran kortisol beragam, akan tetapi penelitian mengenai sIgA menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam menyanyi dapat meningkatkan sistem imun. Karenanya menyanyi memiliki keuntungan fisiologis yang nyata dan positif (Davidson, 2008) MacLean (2008) menyatakan bahwa menyanyi memiliki dampak psikologis yang bersifat positif. Tindakan menyanyi merangsang tubuh untuk melepaskan hormon endorfin yang memicu munculkan perasaan senang.
Universitas Sumatera Utara
34
Clift, dkk (2010) menyatakan ada beberapa alasan bernyanyi dalam PS dapat memberikan sumbangsih pada kesejahteraan personal dan banyak manfaat lainnya, yaitu; bernyanyi dalam PS dapat membantu anggotanya dalam coping stress yang disebabkan oleh masalah hubungan personal ataupun masalah keluarga yang dihadapi. Sarafino(2006) menyatakan coping stress meliputi dua hal yaitu problem focused di mana tujuannya adalah mengurangi tuntutan situasi yang membuat stres atau memperluas sumber-sumber yang dapat menguranginya, dan emotion focused yaitu mengendalikan respon terhadap situasi yang membuat stres Bernyanyi dalam PS juga dapat meningkatkan perasaan positif sehingga mengurangi perasaan sedih, cemas, dan depresi yang dirasakan dalam hidup. Selain itu, bernyanyi dalam PS juga membutuhkan fokus dan konsentrasi yang besar sehingga menghambat perhatian terhadap masalah-masalah personal yang berkaitan dengan sumber kekhawatiran, sehingga menawarkan relaksasi dan kelegaan. Para anggota PS juga memberikan dukungan sosial yang membuat perasaan terisolasi dan kesepian yang dialami anggota lainnya berkurang dan memberikan komunitas yang lebih luas. Kewajiban mengikuti latihan yang diadakan juga memberikan komitmen reguler yang memotivasi orang untuk tetap aktif (Clift, dkk, 2010). Selain memberikan dampak positif, bernyanyi dalam PS memberikan tekanan dan kecemasan tersendiri dan tidak jarang juga mempengaruhi emosi seseorang. Beck, dkk (dalam DeHann 2008) mengadakan penelitian yang menguji tingkat kortisol dalam tubuh penyanyi PS. Kortisol merupakan hormon yang dihasilkan oleh
Universitas Sumatera Utara
35
tubuh yang merupakan ukuran stres (Davidson, 2008). Dalam latihan tingkat kortisol berkurang, sedangkan saat penampilan, tingkat kortisol menaik, maka dapat disimpulkan bahwa saat latihan terdapat penurunan tingkat stres sedangkan saat penampilan terdapat kenaikan tingkat stres. Liston, Frost & Mohr (dalam Huston, 2011) menyatakan bahwa para musisi, termasuk para penyanyi dalam paduan suara, juga sering mengalami kecemasan. Kecemasan yang dialami disebabkan oleh beberapa hal, yaitu ketakutan saat menunjukkan performa di hadapan penonton, termasuk keluarga dan teman dekatnya dan ingin tampil sempurna. Selain itu, Ryan & Andrews (dalam Huston, 2011) juga menyatakan bahwa tingkat kesulitan musik, banyaknya hal-hal yang diingat saat performansi, serta pentingnya performa bagi musisi sangat mempengaruhi kecemasan pada musisi. Kecemasan dan ketakutan ini merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi kesehatan mental dan mood dari musisi.
3. Dampak jenis lagu dalam kegiatan menyanyi Beberapa penelitian menyatakan bahwa apa yang dilihat dan yang didengar akan mempengaruhi pikiran orang yang melihat atau mendengar. Misalnya orang yang sering mendengar lagu yang lambat, cenderung menjadi orang yang romantis, dan orang yang mendengar lagu-lagu motivasi cenderung menjadi orang yang memiliki motivasi (Radwan, 2009). Madaule (2001) menyatakan bahwa orang yang menyanyi bukan hanya bertindak menyanyikan lagu, namun sekaligus mendengarkan apa yang mereka nyanyikan. Mereka menjadi penyanyi sekaligus juga pendengar. Anderson dkk (2003)
Universitas Sumatera Utara
36
mengadakan lima penelitian dan hasil kelima penelitian ini cukup konsisten menunjukkan bukti yang kuat bahwa lagu dengan lirik yang keras meningkatkan agresi yang berhubungan dengan kognisi dan afeksi.
C. Paduan Suara Gerejawi 1. Definisi Paduan Suara Gerejawi Menurut Harahap (dalam Situmorang, 2010), paduan suara berasal dari kata-kata ‘suara yang terpadu’. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan paduan suara adalah bernyanyi secara serentak, terpadu dengan keselarasan volume yang baik dan terkontrol. Sementara menurut Simanungkalit (2009), paduan suara merupakan bentuk penyajian musik vokal yang dihadirkan oleh suatu grup, baik secara unisono maupun dalam beberapa suara. Paduan suara adalah perpaduan antar suara menjadi satu warna suara dengan memperhatikan keseimbangan antar kelompok suara, satu ekspresi, dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Alexander (2006), mengatakan bahwa paduan suara / choir merupakan kumpulan penyanyi yang menyanyi bersama-sama. Ia juga memperkenalkan istilah chorale yaitu paduan suara yang mengacu pada musik gereja tertentu. Berdasarkan Oxford Dictionary of Music (2012) defenisi choir / paduan suara gerejawi merupakan organisasi kumpulan penyanyi yang mengambil bagian dalam pelayanan gereja atau tampil di publik. Choir atau paduan suara gerejawi merupakan paduan suara yang bernyanyi dalam setting gereja dan bernyanyi dengan tema-tema religius.
Universitas Sumatera Utara
37
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa paduan suara gerejawi adalah kumpulan penyanyi yang melakukan kegiatan menyanyi secara bersama sehingga merupakan satu kesatuan suara yang utuh, mengikuti keselarasan harmoni di mana lagu-lagu yang dinyanyikan merupakan lagu yang bertema religius.
2. Dampak Kegiatan Menyanyi di Paduan Suara Kegiatan menyanyi bisa dilakukan dalam berbagai format, misalnya saja menyanyi sendiri (solo), berdua (duet), bertiga (trio), berempat (kuartet) atau dalam kelompok PS . Hancox dan rekanannya (Hancox et al. 2010) menyatakan bahwa bernyanyi dalam PS menghasilkan kebahagiaan dan memberikan semangat yang dapat mengatasi rasa sedih dan depresi. Bernyanyi melibatkan konsentrasi yang terfokus sehingga menyebabkan perhatian seseorang dapat teralihkan dari sumber stres Bernyanyi dalam PS juga memberikan dukungan sosial dan persahabatan yang dapat mengatasi perasaan kesepian dan terisolasi. Bernyanyi dalam PS juga membuat anggotanya berkomitmen menghadiri latihan secara aktif.
D. Mahasiswa 1. Definisi Mahasiswa Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa (Takwin, 2008). Sedangkan menurut Basir
Universitas Sumatera Utara
38
(1992) mahasiswa merupakan peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Dari uraian tentang mahasiswa di atas, maka dapat dikatakan bahwa mahasiswa merupakan individu yang terdaftar sebagai murid dan belajar di perguruan tinggi baik di universitas, institut atau akademi tertentu.
2. Karakteristik mahasiswa Winkel (1997) menyatakan bahwa masa mahasiswa berada dalam rentang umur 18/19 tahun sampai 20/21 tahun. rentang ini juga masih dapat dibagi pada periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa semester I sampai semester IV, dan periode 21/22 tahun sampai dengan 24/25 tahun yaitu mahasiswa semester V sampai dengan semester VIII. Pada rentang umur yang pertama pada umumnya tampak ciri-ciri sebagai berikut : stabilitas dalam kepribadian mulai meningkat; pandangan yang lebih realistis tentang diri sendiri dan lingkungan hidupnya; kemampuan untuk menghadapi segala permasalahan secara lebih matang; gejolak-gejolak dalam alam perasaan mulai berkurang. Meskipun demikian ciri khas dari masa remaja masih sering muncul, tergantung dari laju perkembangan masing-masing mahasiswa. Pada rentang umur yang kedua, pada umumnya tampak adanya usaha untuk memantapkan diri terhadap keahlian yang telah dipilih dan dalam membina hubungan percintaan; memutarbalikkan pikiran untuk mengatasi beraneka ragam masalah. Pada masa ini terdapat kebutuhan-kebutuhan yang harus diperhatikan terutama yang bersifat psikologis, seperti mendapat penghargaan dari teman,
Universitas Sumatera Utara
39
dosen dan sesama anggota keluarga lainnya; mempunyai pandangan spiritual tentang makna kehidupan manusia; memiliki rasa harga diri dengan mendapatkan tanggapan dari lawan jenis dan menikmati rasa puas karena sukses dalam studi akademik (Winkel, 1997). Hurlock (1980) menambahkan bahwa masa ini termasuk ke dalam masa dewasa dini. Masa dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun.
E. Subjective Well-Being Mahasiswa Anggota Paduan Suara Gerejawi Kegiatan ekstrakurikuler yang cukup diminati mahasiswa adalah PS. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa kegiatan menyanyi dalam PS memberikan banyak manfaat. Antara lain, bahwa kegiatan menyanyi di PS memberikan kebahagiaan bagi para anggotanya (Clift, 2010). Bailey (dalam Crossley, 2010) mengadakan survey kepada anggota PS, dari Australia, Brazil, Canada, Hong Kong dan Iceland (n = 224) dan hasilnya menunjukkan menyanyi memberikan efek yang lebih dirasakan dibandingkan dengan mengikuti kegiatan lain seperti mendengarkan musik, menonton televisi, dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh partisipan. Secara umum berdasarkan jenis keberadaan PS mahasiswa, terdapat dua jenis PS yaitu PS umum dan PS gerejawi. Di mana PSMG memiliki perbedaan, diantaranya lirik lagu yang dinyanyikan dan kegiatan dalam PS, PSMG menyanyikan lagu-lagu rohani, dan kegiatan yang dilakukan PSMG melibatkan para anggotanya dalam aktivitas-aktivitas keagamaan, seperti doa pembuka dan penutup, pembacaan Kitab Suci, dan puasa. Sementara menurut penelitian yang
Universitas Sumatera Utara
40
dilakukan oleh Eddington & Shuman (2008) membuktikan bahwa mengikuti kegiatan kerohanian memberikan pengaruh positif pada subjective well-being seseorang seperti memberikan makna pada kehidupan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan sosial seseorang dalam komunitas yang memiliki nilai dan sikap yang sama. Berdasarkan hal yang telah disebutkan sebelumnya terlihat bahwa bernyanyi dalam PS gerejawi memiliki dampak yang positif terhadap subjective well-being seseorang melalui kegiatan menyanyi, aktivitas rohani yang dilakukan, juga lirik lagu rohani yang dinyanyikan. Namun mahasiswa yang mengikuti kegiatan paduan suara mahasiswa gerejawi / PSMG mengalami tekanan seperti latihan reguler setiap minggu, latihan fisik, dan penggalangan dana untuk setiap kegiatan. Selain itu, banyak para penyanyi dalam PS juga mengalami kecemasan. Liston, Frost & Mohr (dalam Huston, 2011) menyatakan kecemasan yang dialami disebabkan oleh beberapa hal, yaitu ketakutan saat menunjukkan performa di hadapan penonton, termasuk keluarga dan teman dekatnya dan ingin tampil sempurna. Ryan & Andrews (dalam Huston, 2011) juga menambahkan bahwa tingkat kesulitan musik, banyaknya hal-hal yang diingat saat performansi, serta pentingnya performa bagi musisi sangat mempengaruhi kecemasan tersebut. Sementara, sebagai mahasiswa anggota PS tersebut juga memiliki tugas-tugas akademis yang relatif padat dan memberikan tekanan tersendiri bagi mereka. Dari wawancara didapati bahwa banyaknya tuntutan baik sebagai mahasiswa maupun sebagai anggota PS, membuat sebagian besar anggota PS memutuskan untuk mengundurkan diri dari keanggotaan PS.
Universitas Sumatera Utara
41
Meski demikian, terlihat juga sebagian anggota lainnya memilih untuk tetap bertahan meski banyaknya tekanan yang dihadapi.
Universitas Sumatera Utara
42 Berdasarkan uraian maka kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut: Paduan suara Mahasiswa
PSMG
Hal religius/ spiritual Lirik lagu yang dinyanyikan dan kegiatan spiritualitas yang dilakukan dalam PSMG memberikan perasaan tenang dan menyatu dengan Tuhan.
PSM umum
Kompetensi Kompetensi dalam bidang tarik suara memberikan kepuasan tersendiri bagi para anggotanya
Komitmen reguler Kewajiban mengikuti latihan yang diadakan juga memberikan komitmen reguler yang memotivasi orang untuk tetap aktif.
Dukungan sosial
Memberi rasa rileks
perasaan terisolasi dan kesepian yang dialami anggota lainnya berkurang dan memberikan komunitas yang lebih luas
fokus dan konsentrasi yang besar sehingga menghambat perhatian terhadap masalahmasalah personal yang berkaitan dengan sumber kekhawatiran, sehingga menawarkan relaksasi dan kelegaan.
Coping stress membantu anggotanya dalam coping stress yang disebabkan oleh masalah hubungan personal ataupun masalah keluarga yang dihadapi
Subjective well being
Bagaimanakah gambaran subjective well-being mahasiswa anggota paduan suara mahasiswa gerejawi ? Universitas Sumatera Utara