BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia merupakan bagian dari ilmu manajemen, yang
berarti merupakan suatu usaha untuk mengarahkan dan mengelola sumber daya manusia di dalam suatu organisasi agar mampu berfikir dan bertindak sebagaimana yang diharapkan organisasi. Organisasi yang maju tentu dihasilkan oleh personil atau pegawai yang dapat mengelola organisasi tersebut ke arah kemajuan yang diinginkan organisasi, sebaliknya tidak sedikit organisasi yang hancur dan gagal karena ketidakmampuannya dalam mengelola sumber daya manusia. Menurut Mathis dan Jackson (2006 : 3), Manajemen sumber daya manusia adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan organisasional. Menurut Hasibuan (2001 : 10), Manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Menurut Samsudin (2006 : 22), Manajemen sumber daya manusia adalah pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok karyawan, juga menyangkut desain dan implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan, pengelolaan karir, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan hubungan ketenagakerjaan yang baik. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu cara untuk mengatur hubungan antar karyawan, penggunaan bakat serta pengelolaan karir secara efektif dan efisien agar tujuan perusahaan dapat tercapai dengan baik.
8
9
2.1.1
Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut pendapat Cushway (2002 : 6), tujuan manajemen sumber daya manusia
bervariasi antara satu organisasi dengan organisasi lain, tergantung pada tingkat perkembangan organisasi yang mencakup hal-hal berikut: 1. Memberikan sasaran kepada manajemen tentang kebijakan sumber daya manusia guna memastikan organisasi memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana untuk menghadapi perubahan dan dapat memenuhi kebutuhan pekerjaannya. 2. Melaksanakan dan memelihara semua kebijakan dan prosedur SDM yang diperlukan untuk memastikan pencapaian tujuan organisasi. 3. Membantu perkembangan arah dan strategi organisasi secara keseluruhan, terutama dengan memperhatikan segi-segi SDM. 4. Menyediakan bantuan menciptakan kondisi yang dapat membantu manajer lini dalam mencapai tujuan mereka. 5. Mengatasi krisis dan situasi sulit dalam hubungan pegawai untuk memastikan tidak ada gangguan dalam pencapaian tujuan organisasi. 6. Menyediakan sarana komunikasi antara karyawan dengan manajemen organisasi. 7. Bertindak sebagai penjamin standar dan nilai organisasi dalam pengelolaan SDM.
2.1.2
Proses Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Robbins dan Coulter (2004 : 305), ada beberapa komponen penting dari
proses manajemen sumber daya manusia, yang terdiri atas delapan kegiatan untuk mengisi staf organisasi dan mempertahankan kinerja karyawan yang tinggi, yaitu: 1. Tiga kegiatan pertama menjamin bahwa karyawan yang berkompeten dapat diidentifikasikan dan dipilih. 2. Dua kegiatan berikutnya mencakup memberikan kepada karyawan pengetahuan dan keahlian yang up-to-date.
10
3. Tiga kegiatan terakhir mencakup memastikan bahwa organisasi mempertahankan karyawan yang kompeten dan berkinerja baik yang mampu terus-menerus menghasilkan kinerja yang tinggi. 2.1.3
Peranan Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Hasibuan (2001 : 14), sumber daya manusia berperan penting dan
dominan dalam manajemen. Ada beberapa masalah yang dihadapi manajemen sumber daya manusia dalam mengatur dan menetapkan program kepegawaian, yaitu: 1.
Menetapkan jumlah, kualitas, dan penempatan tenaga kerja yang efektif sesuai dengan kebutuhan perusahaan berdasarkan job description, job specification, job
requirement, dan job evaluation. 2.
Menetapkan penarikan, seleksi, dan penempatan karyawan berdasarkan asas “the
right man in the right place and the right man in the right job.” 3.
Menetapkan program kesejahteraan, pengembangan, promosi dan pemberhentian.
4.
Meramalkan penawaran dan permintaan sumber daya manusia pada masa yang akan datang.
5.
Memperkirakan
keadaan
perekonomian
pada
umumnya
dan
perkembangan
perburuhan
dan
kebijkasanaan
perusahaan pada khususnya. 6.
Memonitor
dengan
cermat
undang-undang
pemberian balas jasa perusahaan-perusahaan sejenis. 7.
Memonitor kemajuan teknik dan perkembangan serikat buruh.
8.
Melaksanakan pendidikan, latihan, dan penilaian prestasi karyawan.
9.
Mengatur mutasi karyawan baik vertikal maupun horizontal.
10. Mengatur pensiun, pemberhentian, dan pesangonnya. 2.1.4
Fungsi Operasional Manajemen Sumber Daya Manusia Fungsi operasional dalam manajemen sumber daya manusia merupakan dasar
pelaksanaan proses MSDM yang efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi atau perusahaan. Fungsi operasional tersebut terbagi atas: (Mangkunegara, 2004 : 25)
11
1. Fungsi Perencanaan Adalah merencanakan tenaga kerja secara efektif serta efisien agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam membantu terwujudnya tujuan. 2. Fungsi Pengorganisasian Adalah kegiatan untuk mengorganisasi semua karyawan dengan menetapkan pembagian kerja, hubungan kerja, delegasi wewenang, integrasi, dan koordinasi dalam bagan organisasi. Dalam organisasi yang baik akan membantu terwujudnya tujuan secara efektif 3. Fungsi Pengarahan Adalah kegiatan mengarahkan semua karyawan, agar mau bekerja sama dan bekerja efektif serta efisien dalam membantu tercapainya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Pengarahan dilakukan pimpinan dengan menugaskan bawahan agar mengerjakan semua tugasnya dengan baik. 4. Fungsi Pengendalian Adalah mengendalikan semua karyawan, agar mentaati peraturan-peraturan perusahaan dan bekerja sesuai dengan rencana. Jika terdapat penyimpangan atau kesalahan, diadakan tindakan perbaikan dan penyempurnaan rencana. 5. Fungsi Pengadaan Adalah proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi, dan induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai kebutuhan pasar (the right man in the right place). 6. Fungsi Pengembangan Adalah proses peningkatan ketrampilan teknis, teoritis, konseptuan, dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan latihan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan pekerjaan masa kini maupun masa depan. 7. Fungsi Kompensasi Adalah pemberian balas jasa langsung dan tidak langsung berbentuk uang atau barang kepada karyawan sebagai imbal jasa (output) yang diberikannya kepada
12
perusahaan. Prinsip kompensasi adalah adil dan layak sesuai prestasi dan tanggung jawab karyawan tersebut. 8. Fungsi Pengintegrasian Adalah kegiatan untuk mempersatukan kepentingan perusahaan dan kebutuhan karyawan, sehingga tercipta kerjasama yang serasi dan saling menguntungkan. Dimana pengintegrasian adalah hal yang penting dan sulit dalam Manajemen Sumber Daya Manusia, karena mempersatukan dua aspirasi/kepentingan yang bertolak belakang antara karyawan dan perusahaan. 9. Fungsi Pemeliharaan Adalah kegiatan untuk memelihara atau meningkatkan kondisi fisik, mental, dan loyalitas karyawan agar tercipta hubungan jangka panjang. Pemeliharaan yang baik dilakukan dengan program K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). 10. Fungsi Kedisiplinan Kedisiplinan merupakan fungsi manajemen sumber daya manusia yang terpenting dan kunci terwujudnya tujuan. Kedisiplinan adalah keinginan dan kesadaran untuk mentaati peraturan perusahaan dan norma sosial. 11. Fungsi Pemberhentian Adalah putusnya hubungan kerja seseorang dari suatu perusahaan yang disebabkan oleh keinginan karyawan, keinginan perusahaan, berakhirnya kontrak kerja, pensiun, dan sebab-sebab lainnya. 2.2
Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses pengaruh sosial di mana
pemimpin mengusahakan partisipasi sukarela dari para bawahan dalam suatu usaha untuk mencapai tujuan organisasi (Kreitner dan Kinicki, 2005 : 299). Tom Peters dan Nanci Austin dalam Kreitner dan Kinicki (2005 : 299), dalam bukunya A Passion for
Excellence, menggambarkan kepemimpinan dalam pengertian yang lebih luas: Kepemimpinan berarti visi, pemberian semangat, antusiasme, kasih, kepercayaan, kegairahan, nafsu, obsesi, konsistensi, penggunaan simbol, perhatian sebagaimana diillustrasikan oleh isi kalender seseorang, penciptaan
13
para pahlawan pada semua tingkatan, bimbingan, berjalan keliling secara efektif, dan sejumlah hal lainnya. Kepemimpinan harus ada di semua tingkatan organisasi. Kepemimpinan bergantung pada sejuta hal-hal kecil yang dilakukan dengan obsesi, konsistensi, dan kepedulian, tetapi sejuta hal-hal kecil tersebut tidak berarti apa-apa jika tidak ada kepercayaan, visi, dan keyakinan dasar. Kepemimpinan secara jelas melibatkan lebih dari sekedar menggunakan kekuasaan dan menjalankan wewenang, serta ditampilkan pada tingkatan yang berbeda. Pada
tingkat
individu,
misalnya,
kepemimpinan
melibatkan
pemberian
nasihat,
bimbingan, inspirasi, dan motivasi. Para pemimpin membangun tim, menciptakan kesatuan, dan menyelesaikan perselisihan di tingkat kelompok. Akhirnya, pada peminpin membantu budaya dan menciptakan perubahan di tingkat organisasi. Pada definisi lain, Heifetz dan Laurie (1997) dalam Griffin (2004 : 68) menyebutkan bahwa Kepemimpinan adalah proses dan atribut. Sebagai suatu proses, yang berfokus pada apa yang sebetulnya dilakukan pemimpin, kepemimpinan adalah penggunaan pengaruh tanpa paksaan (noncoercive) untuk membentuk tujuan-tujuan kelompok atau organisasi, memotivasi perilaku ke arah pencapaian tujuan-tujuan tersebut, dan membantu mendefinisikan kultur kelompok atau organisasi (Yukl, 1994). Sebagai atribut, kepemimpinan adalah sekelompok karakteristik yang dimiliki individu yang dipandang sebagai pemimpin. Sehingga pemimpin adalah individu yang mampu mempengaruhi
perilaku orang lain tanpa harus mengandalkan kekerasan; pemimpin
adalah individu yang diterima oleh orang lain sebagai pemimpin. Berdasarkan definisi-definisi di atas, sudah jelas bahwa pemimpin dan manajer berhubungan, tetapi tidak sama. Bernard Bass (dalam Kreitner dan Kinicki, 2005 : 299) menyebutkan bahwa para pemimpin mengelola dan para manajer memimpin, tetapi kedua
aktivitas
tersebut
tidak
sama.
Bass
mengemukakan
bahwa
walaupun
kepemimpinan dan manajemen saling tumpang tindih, masing-masing melibatkan sekelompok aktivitas ataupun fungsi yang unik. Secara luas, manajer biasanya melaksanakan
fungsi-fungsi
yang
berkaitan
dengan
perencanaan,
penyelidikan,
pengorganisasian, dan pengendalian, sementara pemimpin berurusan dengan aspekaspek antar pribadi dari pekerjaan seorang manajer. Pemimpin memberikan inspirasi
14
kepada orang lain, memberikan dukungan emosional, dan mencoba untuk membuat para karyawan bergerak ke arah tujuan umum. Para pemimpin juga memainkan suatu peranan kunci dalam menciptakan visi dan rencana strategis untuk suatu organisasi. Perbedaan antara pemimpin dan manajer dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2.1 Perbedaan antara Pemimpin dan Manajer Pemimpin Melakukan inovasi Mengembangkan Memberikan inspirasi Memiliki pandangan jangka panjang Menanyakan apa dan mengapa Memunculkan Menantang status quo Melakukan sesuatu yang benar Sumber: W. G. Bennis, On Becoming a Leader 301). Organisasi
membutuhkan
manajer
Manajer Mengurus Mempertahankan Mengendalikan Memiliki pandangan jangka pendek Menanyakan bagaimana dan kapan Mengawali Menerima status quo Melakukan sesuatu dengan benar (1989) dalam Kreitner dan Kinicki (2005 : sekaligus
pemimpin
agar
efektif.
Kepemimpinan diperlukan untuk menciptakan perubahan, dan manajer diperlukan untuk menciptakan keteraturan. Manajer bersama pemimpin dapat menciptakan perubahan yang tertib, dan pemimpin bersama manajer menjaga organisasi agar tetap selaras dengan lingkungannya. 2.3
Teori Kepemimpinan dan Karakteristik Perilaku
2.3.1
Teori Perilaku Kepemimpinan Didorong oleh kegagalan dalam mengidentifikasi karakteristik-karakteristik
kepemimpinan yang bisa dijadikan peramal calon pemimpin, para peneliti kemudian mulai meneliti variabel-variabel lain, khususnya perilaku atau tindakan-tindakan dari pemimpin. Hipotesis baru yang muncul di sini adalah bahwa pemimpin-pemimpin yang efektif bertindak berbeda dibanding dengan pemimpin-pemimpin yang kurang efektif. Jadi, tujuannya adalah membangun pemahaman yang lebih lengkap mengenai perilakuperilaku kepemimpinan (Griffin, 2004 : 73).
15
2.3.1.1 Studi Michigan Para peneliti pada University of Michigan, yang dipimpin oleh Rensis Likert, mulai mempelajari kepemimpinan pada akhir dekade 1940-an (Likert, 1967 dalam Griffin, 2004 : 73). Berbasis wawancara-wawancara ekstensif dengan para pemimpin dan pengikut, penelitian ini menemukan dua bentuk dasar dari perilaku pemimpin: perilaku yang berpusat pada pekerjaan dan perilaku yang berpusat pada karyawan. Pemimpinpemimpin yang menggunakan perilaku yang berpusat pada pekerjaan (job-centered
leader behavior) memberi perhatian besar pada pekerjaan bawahan, menjelaskan prosedur-prosedur kerja, dan sangat tertarik pada kinerja. Pemimpin-pemimpin yang menggunakan perilaku yang berpusat pada karyawan (employee-centered leader behavior) lebih tertarik pada membangun kelompok kerja yang pada dan memastikan bahwa karyawan puas pada pekerjaan merek. Kepedulian utama mereka adalah kesejahteraan bawahan. Dua gaya perilaku kepemimpinan ini dipadang berada pada ujung-ujung ekstrem dari suatu rangkaian kontinu. Meskipun asumsi ini menyiratkan bahwa pemimpin mungkin sangat berorientasi pada pekerjaan, sangat berorientasi pada karyawan, atau diantara keduanya, Likert hanya mempelajari dua gaya ekstrem ini untuk menemukan perbedaan-perbedaannya. Dia berpendapat bahwa perilaku yang berpusat pada karyawan secara umum cenderung lebih efektif. 2.3.1.2 Studi Ohio State Pada waktu yang hampir sama dengan saat Likert mulai melakukan riset kepemimpinannya di University of Michigan, sekelompok peneliti pada Ohio State juga mulai meneliti kepemimpinan (Stogdill dan Coons, 1957 dalam Griffin,
2004 : 74).
Survei-survei menggunakan kuesioner ekstensif yang dilakukan selama riset ini juga menyiratkan bahwa terdapat dua perilaku atau gaya kepemimpinan dasar. Perilaku penciptaan struktur dan perilaku penciptaan perhatian. Saat menggunakan perilaku penciptaan struktur (initiating-structure behavior), pemimpin mendefinisikan secara jelas peran pemimpin-bawahan sehingga semua orang tahu apa yang diharapkan dari mereka,
16
membentuk lini-lini komunikasi formal, dan menentukan bagaimana tugas-tugas akan dikerjakan. Pemimpin yang menggunakan perilaku perhatian (consideration behavior) memperlihatkan kepedulian pada bawahan dan berupaya membentuk iklim yang ramah dan mendukung. Perilaku-perilaku yang diidentifikasi oleh studi Ohio State serupa dengan perilaku-perilaku yang telah diidentifikasi oleh studi Michigan, tetapi terdapat sejumlah perbedaan penting. Salah satu perbedaan penting adalah bahwa para peneliti di Ohio State tidak menginterpretasikan perilaku pemimpin sebagai perilaku satu dimensi, yaitu tiap perilaku, diasumsikan independen dari perilaku lain. Jadi seorang pemimpin bisa menampakkan beragam level perilaku penciptaan struktur dan pada saat yang sama juga memperlihatkan beragam level perilaku perhatian.
2.3.1.3 Matriks Kepemimpinan/Manajerial (Managerial Grid) Pendekatan
perilaku
lain
menyangkut
kepemimpinan
adalah
Matriks
Kepemimpinan (Blake dan Mouton, 1964 dalam Griffin, 2004 : 75). Matriks kepemimpinan menyediakan cara untuk mengevaluasi gaya-gaya kepemimpinan dan kemudian
melatih
pemimpin
untuk
bergerak
ke
kepemimpinan ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut ini.
arah
perilaku
ideal.
Matriks
Tinggi 9 8
Perhatian pada orang
7
1.9 Manajemen Klub Rekreasi Sosial Perhatian penuh pada memuaskan kebutuhan-kebutuhan orang untuk memunculkan atmosfer organisasi serta tempo kerja yang nyaman dan ramah.
6 5 4 3
Manajemen Jalan Tengah Kinerja organisasi yang memadai dimungkinkan melalui penyeimbangan kebutuhan antara penyelesaian pekerjaan dengan pemeliharaan moril karyawan pada level yang memuaskan.
2 1
Rendah
1.1
1
5.5
Manajemen Melarat Pengeluaran upaya minimal untuk menyelesaikan pekerjaan yang dianggap tepat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.
2
3
Rendah
4
5
Manajemen Tim Pencapaian kerja didapatkan dari karyawan-karyawan yang memiliki komitmen; saling ketergantungan melalui “common stake” dalam tujuan organisasi memunculkan hubungan yang saling percaya dan saling menghormati.
9.9
Wewenang-Kepatuhan Efisiensi operasi muncul dari pengaturan kondisi-kondisi kerja sedemikian rupa sehingga gangguan dari elemen-elemen manusia diminimalkan
9.1
6
Perhatian pada produksi
7
8
9 Tinggi
Sumber: Black dan McCanse (1997) dalam Griffin (2004 : 76).
17
Gambar 2.1 Matriks Kepemimpinan
18
Sumbu horizontal memperlihatkan kepedulian pada produksi (concern for
production), serupa dengan perilaku yang berpusat pada pekerjaan dan perilaku penciptaan struktur. Sumbu vertikal mewakili kepedulian pada orang (concern for
people), serupa dengan perilaku yang berpusat pada karyawan dan perilaku perhatian. Menurut pendekatan ini, gaya perilaku yang ideal adalah 9.9 yang menunjukkan kepedulian maksimum baik pada orang maupun produksi. Teori-teori perilaku pemimpin memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran kontemporer mengenai kepemimpinan. Secara khusus, teori-teori tersebut mendesak kita untuk tidak berfokus pada karakteristik-karakteristik dari pemimpin (pendekatan karakteristik) tetapi berkonsentrasi pada apa yang dilakukan pemimpinan (perilaku mereka). Sayangnya, teori-teori ini tidak membuat “resep” universal tentang bagaimana ciri kepemiminan yang efektif. Saat kita berurusan dengan sistem sosial yang kompleks yang berisikan individu-individu yang kompleks, hampir tidak ada hubungan yang dapat diramalkan secara konsisten dari waktu ke waktu, dan boleh dikatakan tidak ada formula kesuksesan yang sempurna. Tetapi peneliti teori perilaku mencoba mengidentifikasi hubungan yang konsisten antara perilaku pemimpin dengan respon bawahan, dengan harapan menemukan formula yang andal untuk kepemimpinan yang efektif, dan seperti yang bisa diduga, mereka gagal. Dengan demikian diperlukan pendekatan-pendekatan lain yang dapat digunakan untuk memahami kepemimpinan. Katalis bagi pendekatan-pendekatan baru ini adalah kesadaran bahwa, meskipun dimensi interpersonal
dan
dimensi
yang
berorientasi
pada
pekerjaan
berguna
untuk
menggambarkan perilaku dari pemimpin, dimensi-dimensi ini tidak berguna untuk meramalkan atau memastikan perilaku pemimpin. Tahap berikutnya dalam evolusi teori kepemimpinan adalah kemunculan model-model situasional.
2.3.2
Teori Kepemimpinan Situasional Model-model situasional mengasumsikan bahwa perilaku pemimpin yang tepat
bervariasi dari satu situasi ke situasi yang lain. Dengan demikian, tujuan dari teori
19
situasional adalah mengidentifikasi faktor-faktor situasional yang penting dan memahami bagaimana faktor-faktor ini saling berinteraksi untuk menentukan perilaku yang tepat dari pemimpin (Griffin, 2004 : 77). Model kepemimpinan situasional tumbuh dari suatu usaha untuk menjelaskan temuan-temuan yang tidak konsisten mengenai karakteristik dan gaya. Teori situasional (situasional theory) mengusulkan bahwa efektivitas dari suatu gaya perilaku pemimpin tergantung pada situasinya. Dengan berubahnya situasi, gaya yang berbeda menjadi sesuai. Teori ini secara langsung menantang gagasan mengenai suatu gaya kepemimpinan yang terbaik (Kreitner dan Kinicki, 2005 : 313).
2.3.2.1 Model Kontinjensi Fiedler Fred Fiedler mengembangkan suatu model kepemimpinan situasional, yang merupakan model kepemimpinan yang paling tua dan salah satu dari model yang paling dikenal secara luas (Fiedler, 1967 dalam Griffin, 2004 : 78). Model Fiedler didasarkan pada asumsi berikut ini (Kreitner dan Kinicki, 2005 : 313). Kinerja dari seorang pemimpin tergantung pada dua faktor yang saling terkait: (1) sampai sejauh mana suatu situasi memberikan pengendalian dan pengaruh kepada pemimpin, yaitu kecenderungan bahwa pemimpin dapat secara berhasil menyelesaikan pekerjaan tersebut; dan (2) motivasi dasar dari pemimpin, yaitu kebanggaan diri pemimpin terutama bergantung pada penyelesaian tugas atau pada perolehan hubungan yang mendukung dan dekat dengan orang lain. Dengan memperhatikan motivasi dasar seorang pemimpin, Fiedler percaya bahwa pemimpin termotivasi oleh tugas atau termotivasi oleh hubungan. Motivasi dasar ini serupa dengan struktur yang mengawali/kepedulian terhadap produksi dan pertimbangan/kepedulian terhadap orang. Teori Fiedler juga didasarkan pada penyataan bahwa para pemimpin memiliki satu gaya kepemimpinan dominan yang resisten terhadap perubahan. Fiedler menyarankan agar para pemimpin belajar untuk memanipulasi atau mempengaruhi situasi kepemimpinan mereka dengan jumlah pengendalian dalam situasi yang ada (Kreitner dan Kinicki, 2005 : 315). Gambaran model kontinjensi Fiedler dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.
20
Tabel 2.2 Model Kontinjensi Fiedler Pengendalian Situasional Hubungan pemimpinanggota Struktur tugas
Situasi Pengendalian Tinggi
Situasi Pengendalian Menengah
Situasi Pengendalian Rendah
Baik
Baik
Baik
Baik
Buruk
Buruk
Buruk
Buruk
Tingg i
Tinggi
Renda h
Renda h
Tingg i
Tinggi
Renda h
Renda h
Kuat
Lemah
Kekuatan Lema Lema Kuat Kuat Lemah Kuat posisi h h Situasi I II III IV V VI Kepemimpinan Gaya Kepemimpinan Termotivasi oleh kepemimpina Termotivasi oleh Tugas Hubungan n optimal Sumber: Fiedler (1978) dalam Kreitner dan Kinicki (2005 : 317).
VII VIII Kepemimpinan Termotivasi oleh Tugas
2.3.2.2 Teori Jalur Tujuan (path-goal theory) Teori jalur tujuan didasarkan pada teori motivasi harapan yang mengusulkan bahwa motivasi untuk melakukan usaha meningkat dengan membaiknya usaha, kinerja, dan harapan hasil seseorang. Teori jalur tujuan berfokus pada bagaimana pemimpin mempengaruhi harapan dari para pengikut. Robert House yang pertama kali mengemukakan teori kepemimpinan jalur tujuan (House dan Mitchell, 1974 dalam Kreitner dan Kinicki, 2005 : 317). Ia mengusulkan suatu model yang menggambarkan bagaimana persepsi harapan dipengaruhi oleh hubungan kontijensi di antara empat gaya kepemimpinan dan berbagai sikap serta perilaku karyawan. Menurut model jalur tujuan, perilaku pemimpin dapat diterima ketika para karyawan memandangnya sebagai suatu sumber kepuasan atau memuluskan jalan menuju kepuasan masa depan. Selain itu, perilaku pemimpin adalah memberikan motivasi sampai tingkat (1) mengurangi halangan jalan yang menganggu pencapaian tujuan, (2) memberikan panduan dan dukungan yang dibutuhkan oleh para karyawan, dan (3) mengaitkan penghargaan yang berarti terhadap pencapaian tujuan. Karena model tersebut berkaitan dengan jalur menuju tujuan dan penghargaan, maka model tersebut disebut sebagai model kepemimpinan jalur tujuan. House melihat bahwa pekerjaan utama pemimpin adalah membantu para karyawan untuk tetap tinggal pada
21
jalur yang benar menuju tujuan yang menantang dan penghargaan yang bernilai (Kreitner dan Kinicki, 2005 : 317). a. Gaya Kepemimpinan House percaya bahwa pemimpin dapat menunjukkan lebih dari satu gaya kepemimpinan. Hal ini merupakan kebalikan dari Fiedler yang mengusulkan agar pemimpin memiliki satu gaya yang dominan. Keempat gaya kepemimpinan yang diidentifikasikan oleh House adalah sebagai berikut (dalam Kreitner dan Kinicki, 2005 : 318): 1.
Kepemimpinan yang direktif (mengarahkan). Memberikan panduan kepada para karyawan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana cara
melakukannya,
menjadwalkan
pekerjaan,
dan
mendukung.
Menunjukkan
mempertahankan
standar kinerja. 2.
Kepemimpinan
yang
kepedulian
terhadap
kesejahteraan dan kebutuhan para karyawan, bersikap ramah dan dapat didekati, serta memperlakukan para pekerja sebagai orang yang setara dengan dirinya. 3.
Kepemimpinan partisipatif. Berkonsultasi dengan para karyawan dan secara serius
mempertimbangkan
gagasan
mereka
pada
saat
mengambil
keputusan. 4.
Kepemimpinan yang berorientasi pada pencapaian. Mendorong para karyawan
untuk berprestasi pada
tingkat tertinggi mereka dengan
menetapkan tujuan yang menantang, menekankan pada kesempurnaan, dan memperlihatkan kepercayaan diri atas kemampuan karyawan. b. Faktor Kontinjensi (contingency factors) Faktor kontinjensi adalah variabel-variabel situasional yang menyebabkan suatu gaya kepemimpinan menjadi lebih efektif daripada gaya yang lain. Dalam konteks ini, varaibel-variabel ini mempengaruhi persepsi harapan atau persepsi jalur tujuan. Model ini memiliki dua kelompok variabel kontinjensi, yaitu
22
karakteristik karyawan dan faktor lingkungan. Lima karakteristik karyawan yang penting adalah ruang pengendalian, kemampuan tugas, kebutuhan akan pencapaian, pengalaman, dan kebutuhan akan kejelasan. Tiga faktor lingkungan yang relevan adalah tugas karyawan, sistem wewenang, dan kelompok kerja. Semua faktor
tersebut memiliki potensi untuk menghambat atau memotivasi
para karyawan. Sementara itu, Robbins dan Judge (2007:387) mendefinisikan pemimpin transaksional, pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikut dengan menetapkan tujuan yang jelas. Selanjutnya, Robbins dan Judge (2007:387) juga mendefinisikan kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang menginspirasi pengikut untuk mengatasi kepentingan diri mereka sendiri, yang memiliki efek mendalam dan luar biasa terhadap pengikut, tabel 2.2 di bawah ini menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pemimpin transformational dan transaksional. Tabel 2.3 Karakteristik dan Pendekatan Pemimpin Transaksional vs. Transformasional Pemimpin Transaksional
Pemimpin Transformasional
1. Penghargaan kontingen 2. Manajemen berdasarkan kekecualian (aktif) 3. Manajemen berdasarkan kekecualaian (pasif)
1. Karisma 2. Inspirasi 3. Stimulasi intelektual 4. Memerhatikan individu
4. Sesuka hati (Laissez Faire) Source: B. M. Bass, “From Transactional to Transformational Leadership: Learning to Share the Vision,” Organizational Dynamics, Winter 1990, p. 22. Reprinted by permission of the publisher. American Management Association, New York, All right reserved. Berdasarkan pada tabel 2.3 di atas dapat dijelaskan bahwa kepemimpinan transaksional dicirikan dengan tingkat penghargaan dari atasan ke bawahan, hal ini menuntut pemimpin untuk membuat kontrak pertukaran penghargaan dengan usaha
23
yang telah dikeluarkan oleh bawahan. Selain itu, pemimpin juga harus menjanjikan penghargaan untuk kinerja karyawan yang memiliki kinerja baik, dan mengakui pencapaian/prestasi yang telah dilakukan oleh karyawan. Kepemimpinan transakisonal juga dicirikan dengan manajemen yang aktif maupun pasif, hal ini ditunjukkan dengan adanya keterlibatan atau intervensi oleh pemimpin terhadap bawahannya pada saat standar tidak dapat dipenuhi, dan kepemimpinan transaksional juga sangat identik dengan pola pemimpin yang kurang peduli terhadap bawahan, seperti menghindari tanggung jawab dalam pengambilan keputusan. Berbeda
dengan
kepemimpinan
transaksional,
pada
kepemimpinan
transformasional, sikap pemimpin lebih ditonjolkan pada hal-hal seperti karisma pemimpin, memberikan visi dan misi memunculkan rasa bangga, mendapatkan respek dan kepercayaan. Mampu menjadi inspirasi bagi bawahan juga menjadi ciri pemimpin transformasional, karena pemimpin jenis ini dapat mengkomunikasikan harapan tinggi kepada
karyawan,
menggunakan
symbol-simbol
untuk
memfokuskan
usaha,
menunjukkan inteligensi, rasional, pemecahan masalah secara hati-hati, dan terakhir ciri pemimpinan transformasional sangat peduli terhadap individu, dalam hal ini pemimpin memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati.
2.3.2.3 Teori Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard Teori
kepemimpinan
situasional
(situasional
leadership
theory
–
SLT)
dikembangkan oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard (Kreitner dan Kinicki, 2005 : 320). Menurut teori ini, perilaku pemimpin yang efektif tergantung pada tingkat kesiapan para pengikut dari seorang pemimpin. Kesiapan (readiness) didefinisikan sejauh mana seorang pengikut memiliki kemampuan dan kesediaan untuk menyelesaikan suatu tugas. Kesediaan (willingness) adalah suatu kombinasi dari kepercayaan diri, komitmen, dan motivasi. Model SLT ditunjukkan pada gambar 2.3 berikut ini.
24
Perilaku Pemimpin
Perilaku Hubungan (perilaku yang mendukung)
Tinggi
Partisipatif (S3) Berbagai gagasan dan memfasilitasi dalam pengambilan keputusan. Delegasi (S4) Menyerahkan tanggung jawab untuk pengambilan keputusan dan implementasi.
Rendah
Menjual (S2) Menjelaskan keputusan dan memberikan kesempatan untuk klarisifikasi. Memberitahu (S1) Memberikan instruksi yang spesifik serta melakukan supervisi atas kinerja secara ketat.
Perilaku Tugas (pedoman)
Tinggi
Gambar 2.2 Model Kepemimpinan Situasional Tabel 2.4 Tingkat Kemampuan
Tinggi R4 Mampu dan mau atau percaya diri
Kesiapan Pengikut Sedang
Rendah R3 R2 R1 Tidak mampu tetapi Tidak mampu dan Mampu tetapi tidak mau atau percaya tidak mau atau mau atau merasa tidak aman diri merasa tidak aman Diarahkan oleh Pengikut Diarahkan oleh Pemimpin Sumber: Hersey (1984) dalam Kreitner dan Kinicki (2005 : 321). Gaya kepemimpinan yang sesuai ditemukan dengan melakukan referensi silang antar kesiapan para pengikut, yang bervariasi dari rendah hingga tinggi, dengan salah satu dari empat gaya kepemimpinan. Keempat gaya kepemimpinan mewakili kombinasi perilaku pemimpin yang berorientasi pada tugas dan hubungan (S1 hingga S4). Para pemimpin didorong untuk menggunakan suatu gaya “memberitahu” untuk para pengikut dengan kesiapan yang rendah. Gaya ini menggabungkan perilaku pemimpin berorientasi tugas yang tinggi, seperti pengawasan yang ketat. Dengan meningkatnya kesiapan pengikut,
para pemimpin
disarankan
untuk
lambat
laun bergerak
dari
“gaya
25
memberitahu” menjadi “gaya menjual”, lalu “gaya partisipatif”, dan akhirnya menjadi “gaya mendelegasikan”.
2.3.3 Variabel-variabel Kunci Dalam Teori Kepemimpinan Menurut Yukl (2005:13) ada 3 variabel dalam teori kepemimpinan adalah sebagai berikut : 1.
Karakteristik pemimpin - Ciri (motivasi, kepribadian, nilai) - Keyakinan dan optimisme - Ketrampilan dan keahlian - Perilaku - Integritas dan etika - Taktik pengaruh - Sifat pengaruh
2.
Karakteristik pengikut - Ciri (kebutuhan, nilai, konsep pribadi) - Keyakinan dan optimisme - Ketrampilan dan keahlian - Sifat dari pemimpinnya - Kepercayaan kepada pemimpin - Komitmen dan upaya tugas - Kepuasan terhadap pemimpin dan pekerjaan
3.
Karakteristik situasi - Jenis unit organisasi - Besarnya unit organisasi - Posisi kekuasaan dan wewenang
26
- Struktur dan kerumitan tugas - Kesaling tergantungan tugas - Keadaan lingkungan yang tidak menentu - Ketergantungan eksternal 2.3.4 Kategori Perilaku Pemimpin Menurut Yukl (2005:62) Analisis faktor terhadap respons-respons kuesioner menunjukkan bahwa para bawahan memandang perilaku penyelia mereka terutama berdasarkan dua kategori yang terdefinisi secara luas, yang satu berhubungan dengan tujuan tugas dan yang lainnya berhubungan dengan hubungan antarpribadi. 1. Pertimbangan. Pemimpin bertindak dalam cara yang bersahabat dan mendukung, memperlihatkan perhatian terhadap bawahan, dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Contohnya meliputi
melakukan
kebaikan
kepada
bawahan,
meluangkan
waktu
untuk
mendengarkan permasalahan bawahan, mendukung atau berjuang bagi bawahan, berkonsultasi dengan bawahan mengenai hal penting sebelum dilaksanakan, bersedia menerima saran dari bawahan, dan memperlakukan bawahan sebagai sesamanya. 2. Struktur memprakarsai (initiatingstructure). Pemimpin menentukan dan membuat struktur perannya sendiri dan peran para bawahan ke arah pencapaian tujuan formal. Contohnya meliputi mengkritik pekerjaan yang buruk, menekankan pentingnya memenuhi tenggat waktu, menugaskan bawahan, mempertahankan standar kinerja tertentu, meminta bawahan untuk mengikuti prosedur standar, dan menawarkan pendekatan baru terhadap masalah, dan mengkoordinasikan aktivitas para bawahan yang berbeda-beda. Pertimbangan
dan
struktur
memprakarsai
menjadi
penting
untuk
menghubungkan kategori-kategori perilaku yang independen. Ini berarti bahwa beberapa pemimpin mempunyai pertimbangan yang tinggi dan struktur memprakarsai yang rendah; beberapa pemimpin mempunyai pertimbangan yang rendah dan struktur memprakarsai yang tinggi; beberapa pemimpin tinggi di kedua bidang itu; dan beberapa
27
pemimpin rendah di keduanya. Sebagian besar pemimpin barangkali berada dalam jajaran antara nilai yang amat tinggi dan sangat rendah. Pada jurnal leadership’s impact on employee engagement menyatakan bahwa
the relationship of some leadership style dimensions affect in a different way the commitment, effectiveness, motivation and satisfaction atau hubungan dari beberapa dimensi gaya kepemimpinan mempengaruhi dengan cara berbeda terhadap komitmen, efektivitas, motivasi, dan kepuasan (Papalexandris dan Galanaki, 2008 : 379)
2.4
Pengertian Motivasi Kinerja individu secara umum ditentukan oleh tiga hal: motivasi (keinginan untuk
melakukan pekerjaan), kemampuan (kapabilitas untuk melakukan pekerjaan), dan lingkungan kerja (sumber-sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan). Jika seorang karyawan tidak memiliki kemampuan, pemimpin bisa menyediakan pelatihan atau mengganti karyawan tersebut. Jika terdapat masalah sumber daya, manajer bisa mengoreksinya. Tetapi jika yang menjadi masalah adalah motivasi, tugas pemimpin menjadi lebih berat (Griffin, 2004 : 38). Perilaku individu adalah fenomena kompleks, dan manajer tidak mudah mengenali inti masalah yang sebenarnya dan bagaimana memecahkannya. Jadi motivasi adalah penting karena sangat menentukan kinerja dan karena sifatnya yang tidak berwujud (Pleffer, 1998 dalam Griffin, 2004 : 38). Menurut Steers dkk (1996) dalam Griffin (2004 : 38) motivasi adalah sekelompok faktor yang meneyebabkan individu berperilaku dalam cara-cara tertentu. Sedangkan Wexley dan Yukl (2005 : 98) mendefinisikan motivasi sebagai proses dimana perilaku diberikan energi dan diarahkan. Proses motivasi ini dimulai dengan belum terpenuhinya kebutuhan. Kebutuhan (needs) merujuk pada kekurangan yang dialami seorang individu pada suatu saat tertentu. Kekurangan tersebut mungkin bersifiat fisiologis (misalnya kebutuhan akan makanan), psikologis (misalnya kebutuhan akan rasa bangga terhadap diri sendiri), dan sosiologis (misalnya kebutuhan akan interaksi sosial). Kebutuhan dipandang sebagai sumber
tenaga atau pemicu respon perilaku. Implikasinya adalah
28
bahwa ketika kekurangan kebutuhan muncul, individu lebih mungkin dipengaruhi oleh usaha pemimpin dalam memotivasi (Ivancevich dkk, 2007 : 146). Ivancevich dkk (2007 : 144) menyebutkan bahwa motivasi dibentuk setidaknya dari tiga komponen yang berbeda: arah, intensitas, dan ketekunan. Arah berhubungan dengan apa yang akan dipilih orang seorang individu ketika ia dihadapkan dengan sejumlah alternatif yang mungkin dilakukan. Misalnya, ketika dihadapkan pada tugas menyelesaikan sebuah laporan, seorang karyawan mungkin memilih langsung berusaha menyelesaikan laporan tersebut atau terlebih dahulu berusaha menyelesaikan aktivitas lain. Terlepas dari pilihan mana yang diambil, karyawan tersebut memiliki motivasi. Jika karyawan tersebut memilih alternatif yang pertama, arah dari motivasinya konsisten dengan yang diinginkan oleh pemimpin. Jika karyawan tersebut memilih alternatif yang kedua, arah motivasinya berlawanan dengan yang diinginkan oleh manajemen, meskipun demikian, karyawan tersebut juga memiliki motivasi. Komponen intensitas dari motivasi merujuk pada kekuatan dari respon ketika arah dari motivasi telah dipilih. Menggunakan contoh sebelumnya, karyawan mungkin telah memilih arah yang benar (mengerjakan laporan) tapi merespon dengan intensitas (usaha) yang sangat rendah. Dua orang mungkin menunjukkan perilaku mereka pada arah yang sama, tapi orang yang satu mungkin memiliki kinerja lebih baik karena dia melakukan lebih banyak usaha daripada yang lainnya. Komponen ketiga, ketekunan, merupakan komponen yang penting dari motivasi. Ketekunan merujuk pada berapa lama seseorang akan terus memberikan usaha mereka. Beberapa orang menunjukkan perilaku mereka ke arah yang tepat dan melakukan hal tersebut dengan tingkat intensitas yang tinggi, tetapi hanya untuk periode waktu yang singkat. Individu yang menghadapi sebuah tugas dengan antusias tetapi cepat merasa bosan dengan tugas tersebut, atau berhenti dan jarang menyelesaikan tugas, kurang memiliki atribut ketekunan dalam motivasi mereka. Oleh karena itu, tantangan manajemen yang sebenarnya bukan hanya meningkatkan motivasi, tapi menciptakan
29
lingkungan dimana motivasi karyawan disalurkan ke arah yang benar pada tingkat intensitas yang sesuai dan berkesinambungan selama beberapa waktu. Peterson dan Plowman dalam Hasibuan (2006: 142) mengatakan bahwa orang yang mau bekerja karena faktor-faktor berikut . 1. The Desire to Live (Keinginan untuk hidup) Keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama dari setiap orang, manusia bekerja untuk dapat makan dan makan untuk dapat melanjutkan hidupnya. 2. The Desire for Position (Keinginan untuk suatu posisi) Keinginan suatu posisi dengan memiliki sesuatu merupakan keinginan manusia yang kedua dan ini salah satu sebab mengapa manusia mau bekerja. 3. The Desire for Power (Keinginan akan kekuasaan) keinginan akan kekuasaan merupakan keinginan selangkah di atas keinginan untuk memiliki yang mendorong orang mau bekerja. 4. The Desire for Recognition (Keinginan akan pengakuan) Keinginan akan pengakuan, penghormatan, dan status sosial, merupakan jenis terakhir dari kebutuhan yang mendorong orang untuk bekerja. Dengan demikian setiap pekerja mempunyai motif keinginan (want) dan kebutuhan (needs) tertentu dan mengharapkan kepuasan dari hasil kerjanya (Hasibuan, 2006: 142).
2.5 Jenis Motif Terdapat tiga jenis motif, yaitu motif primer, motif umum, dan motif sekunder : 1) Motif primer Yang dimaksud motif primer disini adalah motif yang tidak dapat dipelajari dan didasarkan secara fisiologis. Motif-motif tersebut disebut fisiologis, biologis, tidak dipelajari, atau
primer. Akan tetapi, penggunaan kata istilah
primer
tidak
mengimplikasikan bahwa motif tersebut lebih diutamakan daripada motif umum dan sekunder (Luthans, 2006, p270). Ada dua kriteria yang harus dipenuhi agar motif dapat dimasukkan dalam klasifikasi
30
primer. Motif harus tidak dipelajari, dan motif harus didasarkan secara fisiologis. Dengan definisi tersebut, motif primer yang paling dikenal secara umum adalah lapar, haus, tidur, menghindari sakit, seks, dna perhatian maternal/ibu (Luthans, 2006, p270). 2) Motif umum Klasifikasi motif umum muncul dikarenakan adanya sejumlah motif dalam area antara klasifikasi primer dan sekunder. Agar termasuk dalam kategori umum, sebuah motif haruslah tidak dipelajari, tetapi tidak didasarkan pada fisiologis. Sementara kebutuhan primer mengurangi ketegangan atau stimulasi, kebutuhan umum justru diperlukan untuk mempengaruhi seseorang untuk meningkatkan jumlah stimulasi. Dengan demikian, kebutuhan tersebut kadang-kadang disebut “motif stimulus” (Rathus, 1990, p312). Meskipun tidak semua psikolog sependapat, namum motif keingintahuan, manipulasi, aktivitas, dan afeksi sepertinya paling memenuhi kriteria untuk klasifikasi tersebut (Luthans, 2006, p271). 3) Motif sekunder Pada studi manusia dalam organisasi, sekalipun dorongan umum tampaknya relatif lebih penting daripada dorongan primer, namun dorongan sekunder adalah yang paling penting. Saat masyarakat berkembang secara ekonomi menjadi lebih kompleks, dorongan primer, dan dorongan umum kurang penting, membuka jalan bagi dorongan sekunder yang dipelajari untuk memotivasi perilaku (Luthans, 2006, p272). Sebuah motif harus dapat dipelajari agar dapat dimasukkan dalam klasifikasi sekunder. Berbagai motif manusia yang paling memenuhi kriteria tersebut. Beberapa motif yang lebih penting adalah kekuasaan, pencapaian/prestasi, dan afiliasi, atau seperti yang umum digunakan saat ini, n Pow, n Ach, dan n Aff. Selain itu terutama dalam perilaku organisasi, keamanan dan status merupakan motif sekunder yang penting (Luthans, 2006, p272).
31
Tabel 2.5 Contoh Kebutuhan Sekunder yang Utama Kebutuhan untuk berprestasi
Kebutuhan keamanan
• Melakkan sesuatu lebih baik dari pada
•
pesaing
Mempunyai pekerjaan yang membawa rasa aman
• Memperoleh atau melewati sasaran
•
yang sulit
Dilindungi dari kehilangan penghasilan atau amsalah ekonomi
• Memecahkan masalah kompleks
•
cacat
• Menyelsaikan tugas yang menantang •
dengan berhasil
Dilindungi dari gangguan fisik dan kondisi berbahaya
• Mengembangkan cara terbaik untuk •
melakkan sesuatu
Mempunyai perlindungan sakit dan
Menghindari tugas atau keputusan dengan
resiko
kegagalan
atau
kesalahan Kebutuhan akan status
Kebutuhan akan kekuasaan • Mempengaruhi
orang
untuk
•
mengenakan pakaian yang tepat
mengubah sikap atau perilaku •
• Mengontrol orang dan aktivitas
•
orang lain control
informasi
• •
Kebutuhan akan afiliasi • Disukai banyak orang • Diterima sebagai bagian kelompok atau tiru • Bekerja dengan orang yang ramah dan koperatif hubungan
yang
harmonis dan mengurangi konflik • Berpartisipasi dalam aktivitas social yang menyenangkan Sumber : luthans, 2006 : 273
gelar
dan
universitas
Tinggal dalam lingkungan yang tepat dan termasuk dalam club elit
• Mengalahkan lawan atau musuh
• Mempertahankan
Mempunyai ternama
dan
sumber daya
Bekerja pada perusahaan yang tepat dengan pekerjaan yang tepat
• Berada pada posisi berkuasa melebihi • Memperoleh
Mempunyai mobil yang tepat dan
Mempunyai hak istimewa eksekutif
32
2.6
Teori-Teori Proses Motivasi Setiap orang tertarik pada serangkaian tujuan tertentu. Jika seorang pemimpin
ingin meramalkan perilaku dengan tepat, dia harus mengetahui tujuan karyawan dan tindakan yang akan diambil karyawan untuk mencapai tujuan tersebut. Terdapat banyak teori motivasi dan temuan penelitian yang berusaha memberikan penjelasan mengenai hubungan perilaku dan hasil. Setiap teori dapat diklasifikasikan ke dalam pendekatan isi dan pendekatan proses dari motivasi. Pendekatan isi berfolus pada pengidentifikasian faktor-faktor motivasi yang spesifik. Pendekatan proses berfokus pada penggambaran bagaimana perilaku dimotivasi (Ivancevich, 2007 : 147).
2.6.1
Pendekatan Isi Teori isi mengenai motivasi berfokus pada faktor-faktor dalam diri seseorang
yang mendorong, mengarahkan, dan
menghentikan perilaku. Mereka berusaha
menentukan kebutuhan spesifik yang memotivasi orang. Empat pendekatan isi yang penting terhadap motivasi adalah (1) hierarki kebutuhan Maslow, (2) teori ERG Alderfer, (3) teori dua faktor Herzberg, dan (4) teori kebutuhan McClelland. 2.6.1.1 Hierarki Kebutuhan Maslow Pada tahun 1943, Abraham Maslow, mengembangkan teori hierarki kebutuhan (hierarchy of needs). Teori ini mengatakan bahwa manusia memeringkat kebutuhan mereka dalam lima kategori umum. Ketika mereka telah mencapai kategori kebutuhan tertentu, mereka menjadi termotivasi untuk mencapai kategori berikutnya (Madura, 2007 : 9). Kebutuhan-kebutuhan tersebut didefinisikan sebagai berikut (Ivancevich, 2007 : 148): 1. Fisiologis (physiological), kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, dan bebas dari rasa sakit. 2. Keamanan dan keselamatan (safery and security), kebutuhan untuk bebas dari ancaman, diartikan sebagai aman dari peristiwa atau lingkungan yang mengancam.
33
3. Kebersamaan, sosial, dan cinta (belongingness, social, and love), kebutuhan akan pertemanan, afiliasi, interaksi, dan cinta. 4. Harga diri (esteem), kebutuhan akan harga diri dan rasa hormat dari orang lain. 5. Aktualisasi diri (self-actualization), kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dengan secara maksimum menggunakan kemampuan, keterampilan, dan potensi. Maslow berpendapat bahwa kelima kategori kebutuhan membentuk suatu hierarki. Seorang individu pertama-tama akan termotivias untuk memenuhi kebutuhankebutuhan fisiologis. Setelah kebutuhan-kebutuhan fisiologis terpenuhi, kebutuhankebutuhan ini berhenti berfungsi sebagai faktor penggerak motivasi yang utama dan inidividu bergerak “menaiki” tangga hierarki dan mulai mencoba memenuhi kebutuhankebutuhan akan keamanan. Proses ini berlanjut terus sampai individu tersebut mencapai level aktualisasi diri (Griffin, 2004 : 41). Konsep Maslow mengenai hierarki kebutuhan memiliki logika intuitif yang pasti dan telah diterima oleh banyak pemimpin. Tetapi riset menemukan sejumlah kelemahan dan kecacatan dari konsep ini. Sejumlah riset menemukan bahwa lima level kebutuhan Maslow tidak selalu ada dan urutan level tidak selalu sama dengan apa yang dipostulatkan oleh Maslow. Selain itu, individu-individu dari kultur berbeda cenderung memiliki kategori dan hierarki kebutuhan yang berbeda (Pinder dalam Griffin, 2004 : 41). 2.6.1.2 Teori ERG Alderfer Alderfer sepakat dengan Maslow bahwa kebutuhan individu diatur dalam suatu hierarki. Akan tetapi, hierarki kebutuhan yang dia ajukan hanya melibatkan tiga rangkaian kebutuhan (Alderfer, 1972 dalam Ivancevich dkk, 2007 : 150): 1. Eksistensi (existence/E), kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-faktor seperti makanan, udara, imbalan, dan kondisi kerja. Dalam hierarki Maslow, kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan fisiologis dan kemanan. 2. Hubungan (relatedness/R), kebutuhan yang dipuaskan oleh hubungan sosial dan interpersonal yang berarti. Dalam hierarki Maslow, kebutuhan ini berkaitan
34
dengan kebutuhan untuk diterima oleh orang lain dan kebutuhan akan pengakuan dari orang lain. 3. Pertumbuhan (growth/G), kebutuhan yang terpuaskan jika individu membuat kontribusi yang produktif atau kreatif. Dalam hierarki Maslow, kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan akan penghargaan diri dan aktualisasi diri. Meskipun teori ERG mengasumsikan bahwa perilaku yang termotivasi mengikuti suatu hierarki yang agak serupa dengan hierarki yang dikemukakan oleh Maslow, terdapat dua perbedaan penting. Pertama, teori ERG menyatakan bahwa lebih dari satu level kebutuhan bisa menggerakkan motivasi pada saat yang bersamaan. sebagai contoh, teori ERG menyatakan bahwa individu-individu bisa termotivasi oleh keinginan akan uang (eksistensi), persahabatan (hubungan), dan peluang untuk mempelajari keahliankeahlian baru (pertumbuhan) pada saat bersamaan. Kedua, teori ERG memiliki apa yang dinamakan elemen frustasi-regresi. Jadi, jika kebutuhan-kebutuhan tertentu tidak terpenuhi, individu akan menjadi frustasi, mundur ke level yang lebih rendah, dan mulai mengejar kebutuhan-kebutuhan tersebut sekali lagi. Asumsi bahwa kemudian dia berupaya membina lebih banyak persahabatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hubungan. Jika, karena sejumlah alasan, dia merasa tidak mungkin membangun persahabatan yang lebih baik dengan orang lain di tempat kerja, dia akan frustasi dan mundur ke belakang serta berusaha menghasilkan lebih banyak uang (Griffin, 2004 : 42).
2.6.1.3 Teori Dua Faktor Herzberg Frederick Herzberg mengembangkan teori isi yang dikenal sebagai teori motivasi dua faktor (Herzberg dkk, 1959; Herzberg, 1987 dalam Griffin, 2004 : 43). Herzberg mengembangkan teori ini dengan melakukan wawancara terhadap 200 orang akuntan dan insinyur. Dia meminta mereka untuk mengingat momen-momen saat mereka merasa puas dan termotivasi dan momen-momen saat mereka merasa tidak puas dan tidak termotivasi. Hasil studinya menemukan bahwa sekelompok faktor yang berbeda terkati dengan kepuasan dan ketidakpuasan, yaitu seseorang mungkin mengidentifikasi “gaji
35
rendah” sebagai penyebab ketidakpuasan tetapi belum tentu menyebut “gaji tinggi” sebagai penyebab kepuasan. Sebaliknya, faktor lain, seperti pengakuan atau pencapaian disebutkan sebagai penyebab kepuasan dan motivasi. Berbasis penemuan ini, Herzberg berpendapat bahwa proses memotivasi karyawan memiliki dua tahap. Pertama, pemimpin harus memastikan bahwa faktor-faktor higienis telah memadai, seperti gaji, keamanan pekerjaan, kondisi kerja, status, prosedur perusahaan, kualitas pengawasan teknis, dan kualitas hubungan interpersonal antar rekan kerja, dengan atasan, dan dengan bawahan (Ivancevich dkk, 2007 : 151). Dengan menyediakan faktor-faktor higienis secara memadai, pemimpin tidak merangsang motivasi, tetapi hanya memastikan bahwa karyawan “tidak merasa tidak puas”. Karyawan-karyawan yang dicoba “dipuaskan” oleh pemimpin melalui faktor higienis biasanya akan bekerja untuk level secukupnya (Griffin, 2004 : 43). Sehingga pemimpin harus pindah ke tahap kedua, yaitu menyediakan faktor-faktor penggerak motivasi kepada karyawan seperti pencapaian, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, dan kemungkinan untuk tumbuh (Ivancevich dkk, 2007 : 151). Hasil yang diprediksi adalah kepuasan dan motivasi yang tinggi. 2.6.1.4 Teori Kebutuhan McClelland David C. McClelland mengajukan teori motivasi yang secara dekat berhubungan dengan konsep pembelajaran, dia menyakini bahwa sebagian besar kebutuhan bersumber dari budaya (McClelland, 1961; 1975 dalam Ivancevich dkk, 2007 : 154). Tiga kebutuhan individual yang paling penting adalah kebutuhan akan pencapaian (need for
achivement), kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation), dan kebutuhan akan kekuasaan (need for power). McClelland menyatakan bahwa ketika muncul suatu kebutuhan yang kuat di dalam diri seseorang, kebutuhan tersebut memotivasi dirinya untuk menggunakan perilaku yang dapat mendatangkan kepuasannya. Kebutuhaan akan pencapaian adalah keinginan untuk menyelesaikan suatu tujuan atau tugas dengan lebih efektif dibandingkan sebelumnya. Individu-individu dengan tingkat kebutuhan akan pencapaian yang tinggi berkeinginan untuk memiliki
36
tanggung jawab pribadi, cenderung menetapkan tujuan-tujuan yang cukup sulit, berkeinginan untuk mendapatkan umpan balik spesifik dengan segera, dan sangat berfokus pada pekerjaan mereka (Griffin, 2004 : 44). Kebutuhan akan afiliasi kurang begitu dipahami. Sama seperti kebutuhan untuk diterima orang lain dari Maslow, kebutuhan akan afiliasi adalah keinginan untuk ditemani dan diterima oleh orang lain. Individu-individu yang memiliki kebutuhan afiliasi tinggi cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang meminta banyak interaksi sosial dan menawarkan peluang untuk berteman (Griffin, 2004 : 44). Kebutuhan akan kekuasaan adalah keinginan untuk menjadi individu yang berpengaruh di dalam sebuah kelompok dan untuk mengendalikan lingkungannya. Riset telah membuktikan bahwa individu-individu yang memiliki kebutuhan kekuasaan tinggi cenderung akan menjadi pekerja yang superior, memiliki catatan kehadiran yang baik, dan menduduki posisi supervisor. Sebuah studi menemukan bahwa pemimpin-pemimpin cenderung memiliki motif kekuasaan yang lebih kuat dibandingkan populasi umum dan bahwa pemimpin-pemimpin yang sukses cenderung memiliki motif kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan pemimpin yang kurang sukses (McClelland, 1976 dalam Griffin, 2004 :45). 2.6.2
Pendekatan Proses Teori proses dari motivasi berkenaan dengan menjawab pertanyaan bagaimana
perilaku individu didorong, diarahkan, dipelihara, dan dihentikan. Terdapat tiga teori proses, yaitu teori ekspektansi (harapan), teori keadilan, dan teori penetapan tujuan (Ivancevich, 2007 : 156). 2.6.2.1 Teori Harapan (expectancy theory) Teori pengharapan menyatakan bahwa motivasi tergantung pada dua hal, yaitu seberapa kuat kita menginginkan sesuatu dan seberapa besar kemungkinan kita mendapatkannya (Vroom, 1964 dalam Griffin, 2004 : 46). Vroom mendefinisikan motivasi sebagai proses pemilihan diantara bentuk alternatif dari aktivitas sukarela dari orang tersebut dan akibatnya akan termotivasi. Untuk memahami teori ekspektansi, kita perlu
37
mendefinisikan istilah-istilah dari teori ini dan menjelaskan caranya beroperasi, empat istilah yang paling penting adalah hasil tingkat pertama dan tingkat kedua, instrumentalitas, valensi, dan ekspektansi (Ivancevich, 2007 : 156). Hasil tingkat pertama yang dihasilkan dari perilaku adalah hasil yang dihubungkan dengan dilakukannya pekerjaan itu sendiri dan mencakup produktivitas, absen, perputaran karyawan, dan kualitas produktivitas. Hasil tingkat kedua adalah peristiwa (penghargaan atau hukuman) yang mungkin diakibatkan oleh hasil tingkat pertama, seperti kenaikan gaji, penerimaan atau penolakan kelompok, promosi, dan pemecatan. Instrumentalitas adalah persepsi seorang individu bahwa hasil tingkat pertama (kinerja) berhubungan dengan hasil tingkat kedua (penghargaan). Hal tersebut merujuk pada kekuatan keyakinan seseorang bahwa pencapaian dari suatu hasil tertentu akan menyebabkan (menjadi instrumental dalam) dicapainya satu atau lebih hasil tingkat kedua seseorang. Instrumentalitas dapat menjadi negatif, menyatakan bahwa perolehan hasil tingkat kedua lebih tidak mungkin jika hasil tingkat pertama muncul, atau positif, menyatakan bahwa hasil tingkat kedua lebih mungkin jika hasil tingkat pertama telah diraih. Valensi merujuk pada preferensi hasil dari sisi individu. Sebuah hasil akan berinteraksi secara positif jika disukai dan berinteraksi secara negatif ketika tidak disukai. Suatu hasil memiliki valensi 0 jika individu tidak peduli apakah dia memperoleh atau tidak memperoleh suatu hasil. Konsep valensi dapat diterapkan baik pada hasil tingkat pertama maupun hasil tingkat kedua. Oleh karena itu, seseorang mungkin lebih suka menjadi karyawan yang berkinerja tinggi (hasil tingkat pertama) karena dia merasa yakin bahwa hal tersebut akan memberikannya kenaikan gaji yang diinginkan (hasil tingkat kedua). Ekspektansi merujuk pada keyakinan individu berkenaan dengan kemungkinan, atau probabilitas subjektif, bahwa suatu perilaku akan diikuti dengan hasil tertentu, dan paling mudah dipahami sebagai pernyataan probabilitas tunggal. Hal ini berarti hal tersebut merujuk pada suatu kesempatan yang dipersepsikan dari sesuatu akan muncul
38
karena perilaku. Ekspektansi dapat memiliki nilai yang berkisar dari 0, mengindikasikan tidak adanya peluang bahwa hasil akan muncul setelah perilaku atau tindakan, hingga +1, yang menunjukkan kepastian yang dipersepsikan bahwa suatu hasil tertentu akan muncul sebagai konsekuensi dari suatu perilaku atau tindakan. Dalam
lingkungan
kerja,
individu
memegang
ekspektansi
usaha-kinerja.
Ekspektansi ini memberikan individu persepsi mengenai seberapa keras usaha yang diperlukan untuk mencapai suatu perilaku tertentu dan probabilitas dari mencapai perilaku tersebut. Selain itu, juga terdapat ekspektansi hasil-kinerja. Dalam pikiran individu, setiap perilaku dihubungkan dengan hasil (penghargaan atau hukuman). 2.6.2.2 Teori Keadilan (equity theory) Teori keadilan menyatakan bahwa individu-individu termotivasi untuk mencari keadilan sosial antara balas jasa yang mereka terima dengan kinerja (Adams, 1963 dalam Griffin, 2004 : 48). Teori keadilan menjelaskan bagaimana persepsi seseorang mengenai seberapa adil mereka diperlakukan dalam transaksi sosial di tempat kerja (misalnya jumlah kenaikan gaji, seberapa baik supervisor memperlakukan mereka, dan lainnya) dalam mempengaruhi motivasi mereka (Ivancevich, 2007 : 159). Inti keadilan adalah bahwa karyawan membandingkan usaha dan penghargaan yang mereka terima dengan orang lain dalam situasi kerja yang serupa. Teori motivasi ini didasarkan pada asumsi bahwa individu termotivasi oleh keinginan untuk diperlakukan secara sama di tempat kerja. Individu bekerja untuk memperoleh penghargaan dari organisasi. Empat istilah penting dalam teori ini adalah (Ivancevich, 2007 : 159): 1. Orang (person), individu kepada siapa keadilan dan ketidakadilan dipersepsikan. 2. Perbandingan dengan orang lain (comparison other), setiap kelompok atau orang yang digunakan oleh seseorang sebagai referensi berkenaan dengan rasio input dan hasil. 3. Input, karakteristik individu yang dibawa oleh seseorang ke tempat kerja. Hal ini mungkin dicapai (misalnya keterampilan, pengalaman, pembelajaran) atau diturunkan (misalnya jenis kelamin, ras).
39
4. Hasil, apa yang diterima seseorang dari pekerjaan (misalnya pengakuan, tunjangan, gaji). Keadilan muncul ketika karyawan mempersepsikan bahwa rasio dari input mereka (usaha) terhadap hasil mereka (penghargaan) sama dengan rasio pada karyawan yang lain. Ketidakadilan muncul ketika rasio tersebut tidak sama; rasio input dan hasil seorang individu dapat lebih besar, atau kurang dari milik orang lain. 2.6.2.3 Teori Penetapan Tujuan (goal-setting theory of motivation) Teori penetapan tujuan atas motivasi mengasumsikan bahwa perilaku adalah dampak dari tujuan-tujuan dan maksud-maksud yang dibangun secara sadar (Locke, 1968 dalam Griffin, 2004 : 50). Premis dasar Locke adalah bahwa perilaku seseorang diatur menurut tujuan-tujuan serta maksud-maksud tujuan individunya (Wexley dan Yukl, 2005 : 113). Locke menyatakan bahwa penetapan tujuan merupakan proses kognitif dari beberapa utilitas praktis, pandangannya adalah bahwa keinginan dan tujuan individu merupakan determinan perilaku yang utama (Ivancevich, 2007 : 162). Sehingga dengan menetapkan tujuan bagi orang-orang dalam organisasi, seorang pemimpin seharusnya mampu mempengaruhi
perilaku mereka. Berbasis asumsi ini, tantangannya adalah
membangun pemahaman yang menyeluruh tentang proses-proses yang digunakan individu untuk menetapkan tujuan dan kemudian berusaha meraihnya. Dalam versi awal teori penetapan tujuan, terdapat dua karakteristik tujuan spesifik, yaitu kesulitan tujuan dan kejelasan tujuan (Griffin, 2004 : 50). Kesulitan tujuan adalah sejauh mana suatu tujuan menantang dan meminta kerja keras. Jika individu bekerja untuk meraih tujuan, maka kita harus mengasumsikan bahwa mereka akan bekerja lebih keras guna meraih tujuan-tujuan yang lebih sulit. Tetapi sebuah tujuan tidak boleh terlalu sulit sehingga mustahil diraih. Kejelasan tujuan adalah kejernihan dan ketepatan dari tujuan. Tujuan “meningkatkan produktivitas” adalah tujuan yang tidak terlalu jelas; sedangkan tujuan “meningkatkan produktivitas sebesar 3 persen selama 6 bulan ke depan” adalah tujuan yang jelas. Sejumlah tujuan, seperti tujuan-tujuan yang melibatkan biaya, output,
40
produktivitas, dan pertumbuhan, bisa dipandang spesifik. Namun tujuan-tujuan lain, seperti peningkatan kepuasan kerja karyawan, moral, citra dan reputasi perusahaan, etika, dan perilaku yang bertanggung jawab secara sosial, mungkin lebih sulit dinyatakan dengan istilah spesifik.
2.7
Pengertian Kinerja Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan
selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Jika dilihat dari asal katanya, kata kinerja adalah terjemahan dari kata performance, yang menurut the ScribnerBantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan Canada (1979), berasal dari akar kata “to perform” dengan beberapa ”entries” yaitu: 1. Melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out, execute). 2. Memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar (to discharge of
fullfil; as vow). 3. Melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab (to execute or complete
an understaking). 4. Melakukan sesuatu yang diharapakn oleh seseorang atau mesin (to do what is
expected of a person machine). Beberapa pengertian berikut ini akan memperkaya wawasan kita tentang kinerja (Veithzal dkk, 2008). 1. Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai untuk merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta (Stolovitch dan Keeps, 1992). 2. Kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja (Griffin, 1987). 3. Kinerja dipengaruhi oleh tujuan (Mondy dan Premeaux, 1993).
41
4. Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya (Hersey dan Blancard, 1993). 5. Kinerja merujuk kepada pencapaian tujuan karyawan atau tugas yang diberikan (Casio, 1992). 6. Kinerja merujuk pada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik (Donnelly, Gibson dan Ivancevich, 1994). 7. Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolak ukur kinerja individu. Ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja individu, yakni: (a) tugas individu; (b) perilaku individu; dan (c) ciri individu (Robbin, 1996). 8. Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok atau perusahaan (Schermerhorn, Hunt dan Osborn, 1991). 9. Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau
motivation (M) dan kesempatan atau oppportunity (O), yaitu kinerja = f (A x M x O).
Artinya,
kinerja merupakan
fungsi
dari
kemampuan, motivasi
dan
kesempatan (Robbins, 1996). Dengan demikian kinerja ditentukan oleh faktorfaktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan itu. Meskipun seorang individu mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menjadi penghambat.
42
Dengan demikian, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun) di mana salah satu entrinya adalah hasil dari sesuatu pekerjaan (thing done), pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam updaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika.
2.8
Penilaian Kinerja Penialaian kinerja berarti mengevaluasi kinerja karyawan saat ini dan/atau di
masa lalu relatif terhadap standar kinerjanya (Dessler, 2010 : 322). Penilaian kinerja mengasumsikan bahwa karyawan memahami apa standar kinerja mereka, dan penyelia juga memberikan karyawan umpan balik, pengembangan, dan insentif yang diperlukan untuk membantu orang yang bersangkutan menghilangkan kinerja yang kurang baik atau melanjutkan kinerja yang baik. Terdapat beberapa alasan untuk menilai kinerja bawahan. Pertama, penilaian harus memainkan peran yang terintegrasi dalam proses manajemen kinerja perusahaan. Kedua, penilaian memungkinkan atasan dan bawahan menyusun rencana untuk mengoreksi semua kekurangan yang ditemukan dalam penilaian dan untuk menegaskan hal-hal yang telah dilakukan dengan benar oleh bawahan. Ketiga, penilaian harus melayani tujuan perencanaan karir dengan memberikan kesempatan meninjau rencana karir karyawan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahannya secara spesifik. Akhirnya, penilaian hampir selalu berdampak pada keputusan peningkatan gaji dan promosi (Dessler, 2010 : 325). Proses penilaian kinerja terdiri dari tiga tahap (Dessler, 2010 : 327):
43
1. Mendefinisikan pekerjaan. Pendefinisian pekerjaan berarti memastikan bahwa pemimpin dan bawahan setuju dengan kewajiban dan standar pekerjaannya. 2. Menilai kinerja. Penilaian kinerja berarti membandingkan kinerja sesungguhnya dari bawahan anda dengan standar yang telah ditetapkan, hal ini biasanya melibatkan beberapa jenis formulir peringkat. 3. Memberikan umpan balik. Penilaian kinerja biasanya membutuhkan sesi umpan balik. Dalam hal ini, atasan dan bawahan mendiskusikan kinerja dan kemajuan bawahan, dan membuat rencana untuk pengembangan apa pun yang dibutuhkan. Beberapa cara/metode penalaian kinerja dijelaskan sebagai berikut (Dessler : 2010, 328): 1. Metode Skala Peringkat Grafis Skala peringkat grafis adalah teknik penilaian yang paling sederhana dan paling populer. Skala peringkat grafis mencatat ciri-ciri (seperti kualitas dan kepercayaan) dan jangkauan nilai kinerja (dari tidak memuaskan sampai luar biasa) untuk setiap cirinya. Pemimpin menyusun penilaian untuk setiap bawahan
dengan
melingkari
atau
menandai
nilai
yang
paling
baik
mendeskripsikan kinerja karyawan untuk setiap ciri. Nilai yang ditandai kemudian dijumlahkan. 2. Metode Peringkat Alternasi Membuat peringkat karyawan dari yang terbaik sampai terburuk berdasarkan ciri tertentu adalah pilihan lain, karena biasanya lebih mudah untuk membedakan antara karyawan terburuk dan terbaik. Langkah dalam metode peringkat alternasi dimulai dengan menuliskan semua bawahan yang akan diberi peringkat. Kemudian dalam formulir pilih karyawan terbaik untuk karakteristik yang diukur dan juga karyawan yang terburuk. Pilih terbaik dan terburuk berikutnya, teruskan membuat alternasi antara terbaik dan terburuk sampai semua karyawan telah diberi peringkat.
44
3. Metode Perbandingan Berpasangan Metode perbandingan berpasangan membantu membuat metode penilaian menjadi lebih tepat. Untuk setiap ciri (kuantitas kerja, kualitas kerja, dan lainnya), pemimpin memasangkan dan membandingkan setiap bawahan dengan bawahan lainnya. 4. Metode Kejadian Kritis Dengan metode kejadian kritis, pemimpin menyimpan catatan tentang contoh positif dan negatif (kejadian kritis) dari perilaku karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan. Setiap beberapa bulan tertentu, pemimpin dan bawahan bertemu untuk mendiskusikan kinerja bawahan dengan menggunakan kejadian tersebut sebagai contoh. Metode ini memberikan beberapa keuntungan. Pertama, memberikan contoh aktual kinerja baik dan buruk yang dapat digunakan oelh pemimpin untuk menjelaskan penilaian seseorang. Hal ini memastikan bahwa pemimpin memikirkan tentang penilaian bawahannya sepanjang tahun. Kedua, metode ini berguna untuk mengumpulkan kejadiankejadian yang erat kaitannya dengan tujuan-tujuan karyawan. Mondy dkk (1988) mengemukakan sejumlah standar kinerja untuk melihat kinerja pegawai, yaitu: a. Time standards. Time standards state the length of time it should take to make a
certain product or perform a certain service (standar waktu menyatakan lamanya waktu yang seharusnya diselesaikan untuk membuat produk atau melakukan jasa tertentu). b. Cost standards. These standards are based on the cost associated with producing the
goods or service (standar biaya merupakan standar yang didasarkan pada biaya yang dikeluarkan dan dihubungkan dengan barang atau jasa yang diproduksi).
45
c.
Quality standards. These are based on the level of perfection desired (Standar kualitas adalah standar yang didasarkan pada tingkat kesempurnaan sebagaimana yang dikehendaki).
d. Behavioral standards. These are based on type of behavior desired of workers in the
organization (Standar perilaku adalah standar yang didasarkan pada bentuk perilaku yang diinginkan dari pekerja dalam suatu organisasi). e. Productivity standards. These standards are based on the amount of product or
service produced during a set time period (standar produktivitas adalah standar yang didasarkan pada jumlah produk atau jasa yang harus dihasilkan dalam jangka waktu tertentu). Menurut Mathis (2006, p378), kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut : •
Kuantitas dari hasil Pencapaian sasaran atau target dalam kuantitas dapat diukur secara absolut, dalam persentase atau indeks.
•
Kualitas dari hasil Kualitas bersifat relatif, sehingga tidak mudah diukur, dan sangat tergantung pada selera individu. Kualitas dapat dirasakan, dilihat, atau diraba.
•
Waktu dan kecepatan dari hasil Setiap pelaksanaan tugas selalu membutuhkan waktu sebagai masukkan. Waktu merupakan sumber daya yang mahal, karena dia terbatas, tidak dapat disimpan atau ditunda. Oleh karena itu setiap waktu harus digunakan secepat mungkin dan secara optimal. Penundaan penggunaan waktu dapat menimbulkan berbagai konsekuensi biaya besar dan kerugian.
•
Kehadiran atau absensi
•
Kemampuan bekerja sama
•
Rasa dapat dipercaya
46
Hal tersebut hampir sama dengan yang diungkapkan Agus Dharma dalam bukunya Manajemen Supervisi (2003, p355) yang mengatakan bahwa hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1) Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan. 2) Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran ”tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran. 3) Ketepatan waktu,
yaitu sesuai
tidaknya dengan
waktu yang direncanakan.
Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan. Sedangkan menurut Ruky (2002, p210) pendekatan penilaian kinerja berdasarkan kajian input-proses-output sebagai berikut : 1) Kinerja berorientasi input. Sistem ini merupakan cara tradisional yang menekankan pada pengukuran atau penilaian ciri-ciri kepribadian karyawan. Karakteristik yang banyak dijadikan objek pengukuran adalah misalnya kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, kreativitas, adaptasi, komitmen sopan santun dan lain-lain. 2) Kinerja berorientasi proses. Melalui sistem ini, kinerja atas prestasi karyawan diukur dengan cara menilai sikap dan perilaku seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. 3) Kinerja berorientasi output. Sistem ini biasa juga disebut sistem manajemen kinerja yang berbasiskan pencapaian sasaran kerja individu. Sistem ini memfokuskan pada hasil yang diperoleh atau dicapai oleh karyawan. Sistem ini berbasis pada metode manajemen kinerja berbasiskan pada konsep manajemen berdasarkan sistem.
47
Sedangkan menurut Russell (2003, p135) ukuran-ukuran kinerja yaitu sebagai berikut : 1) Quantity of Work : jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang ditentukan. 2) Quality of Work : kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya. 3) Job Knowledge : luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya. 4) Creativeness : keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul. 5) Cooperation : kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain atau sesame anggota organisasi. 6) Dependability : kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja. 7) Initiative : semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggung jawabnya. 8) Personal Qualities : menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah tamahan dan integritas pribadi. 2.9
Tinjauan Penelitian Terdahulu Banyak studi yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan
dan motivasi terhadap kinerja. Studi yang dilakukan oleh Mehta dkk (2003) menguji pengaruh dari gaya kepemimpinan partisipatif, kepemimpinan yang mendukung (supportive), dan kepemimpinan yang mengarahkan (directive) terhadap motivasi (yang dimediasi oleh variabel budaya nasional) dalam meningkatkan kinerja organisasi. Penelitian dilakukan pada industri otomotif dan pengumpulan data dilakukan di Amerika Serikat, Finlandia, dan Polandia. Sampel dipilih dengan menggunakan metode simple
random sampling, dengan jumlah kuesioner yang berhasil dikumpulkan dari ketiga negara tersebut adalah sebanyak 338 responden (Mehta dkk, 2003 : 65). Analisis data
48
dilakukan dengan menggunakan dua prosedur statistik yang berbeda, yaitu analysis of
variance (ANOVA) dan analisis regresi (Mehta dkk, 2003 : 71). Hasil penelitian Mehta dkk (2003) menjelaskan bahwa berdasarkan hasil analisis regresi responden Amerika Serikat dapat dijelaskan bahwa ketiga gaya kepemimpinan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi. Nilai koefisien determinasi yang dihasilkan adalah sebesar 68,7% dan angka signifikansi < 0,000. Nilai beta menunjukkan bahwa kepemimpinan partisipatif memiliki pengaruh yang paling kuat terhadap motivasi, diikuti oleh kepemimpinan yang mendukung (supportive), dan selanjutnya kepemimpinan yang mengarahkan (directive). Hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh analisis regresi responden Finlandia dan Polandia. Hasil analisis regresi Finlandia menjelaskan bahwa hanya kepemimpinan partisipatif yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi, sedangkan gaya kepemimpinan yang lain menunjukan hasil yang berbeda. Nilai koefisien determinasi yang dihasilkan hanya sebesar 9,2%. Selanjutnya hasil analisis regresi Polandia menjelaskan bahwa ketiga gaya kepemimpinan (partisipatif, mendukung, dan mengarahkan) tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi (Mehta dkk, 2003 : 71). Hasil pengujian analisis regresi motivasi terhadap kinerja menjelaskan bahwa untuk responden Amerika Serikat dan Finlandia menunjukkan bahwa motivasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja, sedangkan untuk responden di Polandia menunjukkan bahwa motivasi tidak memiliki pengaruh singifikan terhadap kinerja (Mehta dkk, 2003 : 72). Studi yang dilakukan oleh Ogbonna dan Harris (2000) menguji hubungan tipetipe budaya kerja, gaya kepemimpinan, dan kinerja organisasi. Hasil dari pengolahan analisis faktor menghasilkan beberapa faktor dari budaya kerja diantaranya adalah budaya innovative culture, competitive culture, bureaucratic culture, dan community
culture. Selanjutnya hasil dari analisis faktor variabel kepemimpinan menghasilkan faktor
49
participative leaderhsip, supportive leadership, dan instumental leadership (Ogbonna dan Harris, 2000 : 774). Hasil dari path analysis menjelaskan bahwa hubungan gaya kepemimpinan dan kinerja organisasi dimediasi oleh competitive dan innovative culture, yang mana kedua faktor budaya organisasi tersebut memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja organisasi. Participative leaderhsip berpengaruh positif tidak langsung terhadap kinerja organisasi dengan nilai beta sebesar 0,11; supportive leadership berpengaruh positif tidak langsung terhadap kinerja organisasi dengan nilai beta sebesar 0,09; dan
instrumental leadership berpengaruh negatif tidak langsung terhadap kinerja organisasi dengan nilai beta sebesar -0,08 (Ogbonna dan Harris, 2000 : 780) Penelitian lain mengenai motivasi dan kinerja dilakukan oleh Frederick dan Hall (2003) yang menguji hubungan motivasi pilot dan kinerja mahasiswa penerbangan. Pengumpulan data dilakukan di departemen penerbangan di suatu universitas penerbangan internasional melalui prosedur yang sistematis dan kolektif. Survey dilakukan pada mahasiswa yang telah menyelesaikan pelatihan penerbangan dalam 6 bulan terakhir, dengan jumlah mahasiswa sebanyak 193 orang (Frederick dan Hall, 2003 : 405). Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa motivasi, yang diukur melalui seberapa sering mahasiwa membatalkan pelajaran penerbangannya, memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja, hal ini berarti semakin meningkatnya level motivasi akan berpengaruh terhadap semakin meningkatnya kinerja (Frederick dan Hall, 2003 : 410).
50
2.10
Kerangka Pemikiran
STUDI PENDAHULUAN Kaji Pustaka
IDENTIFIKASI MASALAH 1. Latar belakang masalah 2. Perumusan masalah • Seberapa besar pengaruh gaya kepemimpinan terhadap motivasi kerja divisi SDM? • Seberapa besar pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja karyawan divisi SDM? • Seberapa besar pengaruh gaya kepemimpinan terhadap motivasi kerja dan dampaknya terhadap kinerja divisi SDM?
TUJUAN PENELITIAN Menjawab ketiga rumusan permasalahan diatas
LANDASAN TEORI 1. Kepemimpinan 1. Motivasi 2. Kinerja
DATA GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI KERJA DAN KINERJA KARYAWAN
PENGUMPULAN DATA 1. Library Research 2. Kuesioner
51
PENGOLAHAN DATA 1. 2. 3. 4.
Uji validitas Uji reliabilitas Uji normalitas Transformasi data ordinal ke data interval 5. Uji korealasi
ANALISIS JALUR 1. Merumuskan hipotesis dan structural 2. Menghitung koefisien jalur
persamaan
Gaya kepemimpinan (X) • Karakteristik pemimpin • Karakteristik pengikut • karakteristik situasi Yukl (2005 :13)
Motivasi Kerja (Y)
KInerja Karyawan (Z)
• • • •
• • • •
Kebutuhan untuk berprestasi Kebutuhan keamanan Kebutuhan akan kekuasaan Kebutuhan akan status • Kebutuhan akan afiliasi luthans (2006 :273)
Kuantitas dari hasil Kualitas dari hasil Jangka waktu dari hasil Kehadiran • Kemampuan bekerja sama • Rasa dapat dipercaya Mathis (2006 : 378 )
OUTPUT
SIMPULAN DAN SARAN
Sumber : penulis, 2011 Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
52
2.11
Hipotesis Menurut Sekaran (2006 : 135), Hipotesis bisa didefinisikan sebagai hubungan
yang diperkirakan secara logis di antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hubungan tersebut dapat diperkirakan berdasarkan jaringan asosiasi yang ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian. Dengan menguji hipotesis dan menegaskan perkiraan hubungan, diharapkan bahwa solusi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Gaya Kepemimpinan berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan terhadap motivasi kerja. Ha = ada pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan terhadap motivasi kerja. 2. Motivasi kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja terhadap kinerja karyawan. Ha = ada pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja terhadap kinerja karyawan. 3. Gaya kepemimpinan dan motivasi kerja berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap kinerja karyawan Ho = Gaya kepemimpinan dan motivasi kerja tidak berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Ha = Gaya kepemimpinan dan motivasi kerja berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap retensi karyawan.