17
BAB II LANDASAN TEORI A. Nilai-nilai Keagamaan 1. Pengertian Nilai Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dan budi, selalu dituntut untuk berjuang dan berfikir kreatif dalam memilih antara baik dan buruk berdasarkan
nilai-nilai
yang
berlaku
di
lingkungannya.
Menurut
Purwahadiwardoyo (1965: 97) sumber nilai yang menjadi landasan kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: a. Nilai illahiah, merupakan nilai yang diperintahkan oleh Tuhan melalui para Nabi dan Rasulnya. Nilai ini mengandung kemutlakan dan kebenaran bagi kehidupan manusia b. Nilai insaniah, merupakan nilai yang tumbuh dan berkembang sesuai kesepakatan manusia, serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai-nilai insani akan melembaga menjadi tradisi-tradisi dan norma-norma sosial yang diwariskan secara turun temurun, serta mengikat anggota masyarakat tertentu. Encyclopedi Britanica (1998: 936), menyebutkan bahwa “value is a determination or quality of an object which involves any short or apprication or interest”, dengan perkataan lain nilai adalah kandungan atau kualitas dari suatu objek yang di dalamnya terlibat banyak kepentingan dan diapresiasikan sesuai dengan kebutuhan. Nilai secara umum akan berkaitan erat dengan kebaikan, kendati keduanya memang tidak sama. Nilai lebih merujuk kepada sikap,
18
pendapat atau rasa seseorang terhadap sesuatu objek, sedangkan kebaikan itu melekat pada objeknya. Hartmann (1997: 45) yang menyebutkan nilai sebagai suatu “rasa kualitas” yang melekat pada objek yang mengembannya. Rasa kualitas ini seperti keindahan sebuah lukisan atau kegunaan sebuah peralatan. Dalam bukunya yang berjudul filsafat nilai, Frondizi (2001: 8) mengatakan bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak nyata, dimana nilai suatu objek merupakan sifat, kualitas atau sui generis yang dimiliki objek tersebut. Moslow dalam Gobel (1994: 154) menyebutkan nilai-nilai utama adalah nilai-nilai luhur yang didambakan oleh orang-orang yang mengaktualisasikan diri sebagai being values berupa hasil pengalaman puncak mereka tentang kebenaran, keindahan, keseluruhan dan dikotomi transendensi sebagai transformasi atas halhal yang bertentangan menjadi satu kesatuan. Selanjutnya Rokeach (1973: 5) dalam bukunya the nature of human values, mengatakan beberapa hal yang berkaitan dengan nilai yaitu: “A value is an enduring belief that a particular and spesific mode of conduct (being courogous, honest, loving, obedient, etc), or a state of existence (peace, equality, freedom, pleasure, happiness) is personally or socially desirable and preferable to an opposite or converse”. Suatu nilai adalah sebuah keyakinan, suatu cara bertindak yang spesifik, atau suatu keadaan akhir dari eksistensi secara pribadi atau sosial yang lebih diingini. Sedangkan Djahiri (1966: 23) yang mengatakan bahwa nilai merupakan seperangkat ide, gagasan, serta sesuatu yang berharga menurut standar logika, estetika, etika, agama dan hukum yang menjadi orientasi motivasi dalam
19
berprilaku dan bersikap, maka nilai yang dianut dapat dijadikan standar dalam mengukur suatu motivasi. Menurut Bartens dalam Paul Suparno (2002: 76) nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, yang kita cari, menyenangkan sebagai sesuatu yang disukai dan diinginkan. Selanjutnya Kohlberg (1976) dalam Frondizi (2001: 43) menyatakan bahwa nilai terbagi dalam dua kelompok yaitu instrumental dan nilai intrinsik. Nilai instrumental merupakan nilai yang dianggap baik, karena bernilai untuk sesuatu yang lain. Nilai ini terletak pada konsekuensi-konsekuensi pelaksanaanya, dalam upaya untuk mencapai nilai yang lain. Jadi, nilai instrumental dapat dikategorikan sebagai nilai yang bersifat relatif dan subjektif. Sedangkan nilai intrinsik ialah nilai yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain, melainkan untuk nilai di dalam dan dari dirinya sendiri. Nilai intrinsik bersifat objektif dan menjadi pusat dalam hirarki nilai yang terkandung di dalam kodrat manusia. Nilai-nilai tersebut di tempa secara utuh dalam suatu kerangka pengalaman dan ditetapkan dalam pilihan tindakan seseorang. Pengelompokan bentuk nilai akan dipengaruhi juga oleh orientasi seseorang terhadap konsep suatu nilai. Djahiri (1966: 54) mengatakan bahwa bentuk nilai dapat muncul dari beberapa landasan orientasi yaitu logik, etik dan estetik, misalkan nilai rasional (landasan logik), nilai sentimentil (landasan estetik) dan nilai moral (landasan etik). Sedangkan menurut Hasan (1986: 57) nilai dapat dikelompokan dalam empat bentuk, yaitu: 1. Nilai etis yaitu nilai yang mendasari orientasinya pada ukuran baik dan buruk. 2. Nilai pragmatis yaitu nilai yang mendasari orientasinya pada keberhasilan dan kegagalannya.
20
3. Nilai effek-sensorik yaitu nilai yang mendasari orientasinya pada situasi menyenangkan atau menyedihkan. 4. Nilai religius yaitu nilai yang mendasari orientasinya pada pahala dan dosa atau halal dan haram. Setiap individu tidak akan menganut bentuk nilai dan standar moral yang sama terhadap suatu objek atau realita. Walaupun demikian, apapun yang terjadi individu tersebut akan berusaha menjadi yang terbaik dalam pilihan dan ketetapan sikapnya. Winecoff (1988) dalam Manan (1995: 3) menggambarkan kaitan nilai dengan elemen-elemen lain yang terlibat dalam perubahan tingkah laku individu sebagai berikut:
Keyakinan atau kepercayaan
Informasi baru (stimulus)
sikap
nilai
Perilaku baru
Standar moral
Nilai dan maksud
Dalam bukunya Revolusi Harapan ia mengatakan bahwa konfigurasi nilai dapat berwujud kebenaran apabila nilai logika, moral dan agama yang dikandungnya memberi kepuasan rasa intelek dan mengandung manfaat yang hakiki. Nilai beararti perwujudan keadaan manusia sebagai makhluk berakal budi yang menunjukkan harkat martabatnya. Dengan tingkat kesadaran nilai inilah harkat martabat manusia tetap luhur atau sebaliknya. Adapun tujuan dan fungsi nilai adalah sebagai berikut:
21
a. Manusia sebagai makhluk pribadi, sebagai subyek diri-sendiri dengan identitasnya yang unik dan mandiri, yang mempunyai kehendak, perasaan dan pikiran (pilihan nilai) sendiri, yang dapat berbeda dengan pribadi lain. b. Manusia sebagai makhluk sosial, sebagai bagian dari keluarga dan masyarakatnya, bangsa dan negaranya. Dalam kebersamaan ini manusia mewarisi nilai kebersamaan, solidaritas kelompok dan kebangsaan. c. Manusia sebagai makhluk susila (makhluk sosial) yang secara kodrat memiliki kesadaran akal-budi, berupa malu dan kehormatan diri, kesadaran moral (tanggung jawab kepada Tuhan dan kebenaran, kemanusiaan).
2. Moral a.
Pengertian Moral Moral berasal dari bahasa latin mors/moralis artinya adat istiadat,
kebiasaan, cara dan tingkah laku yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Istilah moral dalam kamus filsafat (1995: 145) ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas manusia yang dipengaruhi oleh kesadaran dan dipandang sebagai baik atau buruk dan benar atau salah sesuai dengan kaidah. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1988: 123) ialah moral memiliki dua pengertian yaitu: a. Serangkaian ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti dan susila.
22
b. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah dan berdisiplin sebagaimana terungkap dalam perbuatan. Lakoff (1996: 32) mengatakan bahwa moral merupakan suatu pandangan baik dan buruk yang telah diterima umum. Moral juga menyangkut kondisi mental psikologis seseorang yang melatarbelakangi perilaku, sikap, kewajiban, penilaian, akhlak, budi pekerti, sopan santun dan susila. Poespoprodjo (1999: 67) mengatakan bahwa moral tidak lain adalah tanggapan terhadap suatu peraturan yang dalam aplikasinya akan menjadi ketetapan perbuatan (prescibed action), tugas dan kewajiban (duty and obligation), dan tanggung jawab dirinya (moral obligation-responsibility). Keyakinan tentang moral menurut Poespoprodjo (1999: 65) merupakan suatu bentuk pandangan normatif, ajaran-ajaran, ceramah, khotbah, patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan lisan maupun tulisan tentang bagaimana harus berprilaku dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Moral adalah tuntunan keharusan bagi perorangan, kelompok, bangsa serta moral tidak pernah independen ia ditentukan oleh nilai dan norma lain. Selain itu istilah moral mengandung makna integritas pribadi manusia, yakni harkat dan martabat seorang pribadi. Derajat kepribadian seorang manusia amat ditentukan oleh moralnya. Moral pribadi seperti predikat dan “atribut” kemanusiaan seseorang. Moral adalah inti dan nilai kepribadian. Bahkan moral bermakna integritas dan identitas manusia. Secara praktis sehari-hari, istilah moral ialah kepribadian seseorang, citra pribadi manusia.
23
Sedangkan menurut Marzuki Umar Sa’abah (2001:230) mengatakan bahwa moral diartikan sebagai adat istiadat, kebiasaan, tata cara kehidupan yang dapat diterima oleh masyarakat dimana ia hidup. Di dalam islam perilaku seseorang dinilai bermoral apabila terdapat dua aspek, dimana dua aspek itu adalah aspek normatif yaitu pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak dan bathil, diridhoi dan dikutuk Allah Swt. Sedangkan dilihat dari aspek operatif yaitu sesuatu yang menjadi standarisasi perilaku manusia. Pengertian lain juga dikemukakan oleh Franz Magnis suseno dalam bukunya etika dasar masalah-masalah pokok filsafat moral, dikatakan bahwa moral adalah kata moral selalu mengacu pda baik-buruknya manusia sebagai manusia, yang merupakan tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Adapun Batasan dan Makna Moral itu sendiri adalah sebagai berikut: a. Menurut New Webster’s Dictionary, dijelaskan : Kata moral, berasal dari istilah Latin Mos, moris, mores = tingkah laku. Moral sebagai kata benda, mengandung makna : (1) Prinsip-prinsip benar dan salah mengenai tingkah laku dan karakter. (2) Pendidikan tentang ukuran tingkah laku yang baik. Morale, berarti sikap mental, seperti terdapat dalam kesatuan militer, misalnya : keberanian mengemukakan pendapat, kepatuhan pada atasan, disiplin tinggi. Moralis, berarti : (1) seseorang yang mengajar moral;
24
(2) seorang penulis atau pengajar etika; (3) seorang pribadi yang mencerminkan tingkah laku dan kepribadian yang selalu baik (ideal). b.
Menurut The New Oxford Illustrated Dictonary, di jelaskan : Moral, sebagai kata sifat berarti : (1) Berhubungan dengan karakter, tentang benar dan salah; (2) Tingkah laku yang baik, mulia dan benar. Moral, sebagai kata benda berarti pengajaran tentang baik dan buruk yang diambil dari cerita-cerita binatang, cerita rakyat dan kebiasaan dalam masyarakat. Morale, sebagai kata benda, berarti sikap mental, seperti disiplin dan kepatuhan yang lazim berlaku dalam kesatuan militer. Moralisme, sebagai kata benda, berarti sistem morallitas, yakni prinsip-prinsip tingkah-laku yang benar dibedakan dengan yang salah. Moralis, kata benda, berart : (1) seorang yang melakukan perbuatan yang baik; (2) seorang pengajar moral.
c.
Menurut Ensiklopedi Indonesia No. 4, dijelaskan : pengertian istilah moral, moralis, moril, sebagai berikut : (1) semangat atau suasana hati yang menjunjung tinggi tugas; (2) yakin akan kebenaran mengenai apa yang dilakukan; oleh karena itu berani menghadapi akibat yang terburuk sekalipun.
25
Moril, berarti batin, bukan benda : misalnya bantuan moril adalah bantuan yang berupa sokongan batin, bukanberupa benda atau uang. Dengan demikian dapat disimpulkan makna moral adalah sebagai berikut: (1) makna moral ialah berkenaan dengan sikap dan kepribadian manusia, tingkah laku yang baik dan benar, sikap, semangat, mental atau batin yang memancar dalam kepribadian; (2) ajaran tentang norma tingkah laku (etika) yang berlaku dalam suatu kehidupan manusia. d. Tujuan dan Fungsi Moral Moral adalah ukuran nilai dan norma dalam kehidupan pribadi dan sosial manusia; moral ialah perwujudan kesetiaan dan keptuhan manusia dalam mengemban nilai dan norma. Jadi, tujuan dan fungsi moral merupakan pengalaman nilai dan norma, sekaligus sebagai perwujudan harkat-martabat kepribadian manusia. Tegasnya, tujuan da fungsi moral terutama meliputi : 1. Menjamin tegaknya harkat dan martabat pribadi seseorang dan kemanusiaan. 2. Menjamin kebahagiaan rohani dan jasmani manusia karena penunaian fungsi moral tidak menimbulkan konflik-konflik batin, rasa menyesal, perasaan berdosa atau kekecewaan. 3. Menjamin keharmonisan antar hubungan sosial pribadi, karena moral memberikan landasan kepercayaan kepada sesama; percaya atas itikad baik dan kebaikan setiap orang karena moralitasnya yang luhur.
26
4. Fungsi moral lebih-lebih memberikan motivasi kebaikan dan kebajikan dalam tiap sikap dan tindakan manusia; manusia berbuat kebaikan dan kebajikan didasarkan atas kesadaran kewajiban yang dilandasi moral (Ketuhanan keagaamaan dan atau moral nasional/filsafat negara). 5. Moral memberikan wawasan masa depan baik konsekuensi dan sanksi sosial dalam kehidupan di dunia yang selalu dipertimbangkan sebelum bertindak; juga lebih-lebih konsekuensi tanggung jawab terhadap Tuhan dalam kehidupan di akhirat. 6. Moral memberikan landasan kesabaran, untuk bertahan terhadap segala dorongan naluri dan keinginan (nafsu); memberi daya tahan dalam menunda atau menolak dorongan-dorongan yang rendah yang mengancam harkat-martabat pribadi manusia. e. Masalah Dekadensi Moral di Indonesia Masalah moral, adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang. Karena kerusakan moral seseorang mengganggu ketentraman yang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak orang yang rusak moralnya, maka akan goncanglah keadaan masyarakat itu. Apa yang dimaksud dengan moral itu? Elizabeth Hurlock berkata dalam bukunya Child Delepment: “True morality is behaviour which Conforms to Social standars and whics is also carried out poluntarily by the individual. It comes with the transition from external to internal authority and Consiste of Conduct regulated from within. It is accompanied by a feeling of personal responsibility for the act. Added to this it involves giving primary
27
Considerations to the welfare of the group, while personal desires or gains are relegated to aposition of secondary importance.” Yang terpokok dari kutipan itu ialah, moralitas yang sungguh-sungguh itu sebagai berikut : 1. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat, yang timbul dari hati sendiri (bukan paksaan dari luar). 2. Rasa tanggung jawab atas tindakan itu. 3. Mendahulukan
kepentingan
umum
dari
pada
keinginan
atau
kepentingan pribadi. Jika kita ambil ajaran agama, misalnya agama Islam, maka yang terpenting adalah akhlak (moral), sehingga ajarannya yang terpokok adalah untuk memberikan bimbingan moral di mana Nabi Muhammad saw bersabda : Sesungguhnya saya diutus oleh Tuhan adalah untuk menyempurnakan akhlak. Dan beliau sendiri memberikan contoh dari akhlak yang mulia itu di antara sifat beliau yang terpenting adalah : benar, jujur, adil, dan dipercaya. Dari manapun kita ambilkan definisi tentang moral, maka definisi itu akan menunjukkan bahwa moral itu sangat penting bagi tiap-tiap orang, tiap bangsa, bahkan ada seorang penyair Arab yang mengatakan bahwa ukuran suatu bangsa, adalah akhlaknya. Jika mereka tidak berakhlak, maka bangsa itu tidak berarti (berharga). Memang moral adalah sangat penting bagi suatu masyarakat, bangsa dan ummat, kalau moral rusak, ketentraman dan kehormatan bangsa itu akan hilang. Maka untuk memelihara kelangsungan hidup secara bangsa yang terhormat, Indonesia perlu sekali memperhatikan pendidikan moral bagi generasi yang akan datang.
28
Jika kita tinjau keadaan masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar sekarang ini dengan dasar-dasar moral yang disebutkan di atas, maka akan kita dapatilah bahwa moral sebagian anggota masyarakat telah rusak, atau mulai merosot. Di mana kita lihat, kepentingan umum tidak lagi yang menjadi nomor satu, akan tetapi kepentingan dan keuntungan pribadilah yang menonjol pada banyak orang. Kejujuran, kebenaran, keadilan dan keberanian telah tertutup oleh penyelewengan-penyelewengan baik yang terlihat ringan maupun berat; banyak terjadi adu domba, hasad dan fitnah, menjilat, menipu, berdusta, mengambil hak orang sesuka hati, di samping perbuatan-perbuatan maksiat lainnya. Yang dihinggapi oleh kemerosotan moral itu, tidak saja orang yang telah dewasa, akan tetapi telah menjalar sampai kepada tunas-tunas muda yang kita harapkan untuk melanjutkan perjuangan membela nama baik bangsa dan negara kita. Belakangan ini kita banyak mendengar keluhan-keluhan orang tua, ahli pendidik dan orang-orang yang berkecimpung dalam bidang agama, sosial, anak-anak terutama yangs sedang berumur belasan tahun dan mulai remaja, banyak yang sukar dikendalikan, nakal, keras kepala, berbuat keonaran, maksiat dan hal-hal yang mengganggu ketentraman umum. Dalam hal ini marilah kita bagi gejala-gejala yang menunjukkan kemerosotan moral pada anak-anak muda kepada beberapa segi : 1. Kenakalan ringan :
29
Misalnya keras kepala, tidak mau patuh kepada orang tua dan guru, lari (bolos) dari sekolah, tidak mau belajar, sering berkelahi, suka mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan, cara berpakaian dan lagaklagu yang tidak peduli dan sebagainya. 2. Kenakalan yang menggannggu ketentraman dan keamanan orang lain : Misalnya mencuri, memfitnah, merampok, menodong, menganiaya, merusak milik orang lain, membunuh, ngebut dan lain sebagainya. 3. Kenakalan seksuil : a. Terhadap jenis lain (Hetero-seksuil) b. Terhadap orang sejenis (Homo-seksuil) Kenakalan-kenakalan atau kerusakan-kerusakan moral yang disebutkan di atas
adalah
di
antara
macam-macam
kelakuan
anak-anak
yang
menggelisahkan orang tuanya sendiri dan juga ada yang menggelisahkan dirinya sendiri. Tidak sedikit orang tua yang mengeluh kebingungan menghadapi anak-anak yang tidak bisa lagi dikendalikan baik oleh orang tua itu sendiri, maupun oleh guru-gurunya. Bukanlah menjadi rahasia lagi bahwa nilai moral dalam masyarakat telah goncang. Dalam cara berpakaian misalnya, kita mendengar di sana sini banyaknya anak-anak muda yang berpesta ria di tempat-tempat khusus dengan pakaian yang sangat minim, bahkan hampir populer istilah a.c.d (anti celana dalam). Adanya istilah tersebut, menggambarkan dengan jelas bahwa apa yang disuruhkan Tuhan untuk memelihara alat vitalnya tidak dipatuhi dengan sengaja, bahkan ada club dan tempat di mana berkumpulnya laki-laki dan
30
perempuan sama-sama tidak berpakaian sama sekali, selama acara dan pesta mereka berlangsung. Bahkan belum lama ini muncul diberita bahwa sepasang perempuan dan laki-laki sedang melakukan hubungan intim (hubungan suami istri) di sebuah kamar hotel, dan yang lebih sangat memprihatinkannya lagi bahwa yang melakukan hubungan perzinaan tersebut adalah anak yang masih duduk dibangku sekolah. Dimana liburan sekolah dijadikan ajang untuk bersenangsenang dalam hal yang negatif. Lebih jauh lagi, di sana sini telah dibuat tempat manusia durhaka melampiaskan hawa nafsunya, yang diberi nama yang indah misalnya Taman Hiburan, Night Club dan sebagainya, yang dilayani dengan resmi oleh wanita cantik, yang akan merayu melayani segala permintaan laki-laki, yang sekarang dengan berani diperkenalkan istilah hostess. Dengan melihat banyak kasus seperti yang dicontohkan diatas, dengan prihatin kita terpaksa mengakui bahwa moral sebagian orang sekarang ini mengalami kemerosotan, bahkan dapat dikatakan telah meninggalkan nilai moral. Dimana nilai-nilai agama disana sudah tidak diperhatikan lagi bahkan sudah dianggap mati (tidak ada). f. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Merosotnya Moral Faktor-faktor penyebab dari kemerosotan moral dewasa ini sesungguhnya banyak sekali antara lain yang terpenting adalah : 1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat.
31
Keyakinan beragama yang didasarkan atas pengertian yang sungguhsungguh dan sehat tentang ajaran agama yang dianutnya, kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut merupakan benteng moral yang paling kokoh. Marilah kita ambil sebagai contoh ajaran Islam, di mana yang menjadi ukuran bagi mulia atau hinanya seseorang adalah hati dan perbuatannya, hati yang taqwa dan perbuatan yang baik. Apa yang dimaksud dengan taqwa dalam ajaran Islam, dapat dibaca dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang artinya sebagai berikut : “Berbuat baik itu bukanlah menghadapkan mukamu ke arah Timur atau Barat, akan tetapi yang berbuat baik ialah orang yang : a. Percaya kepada Allah, Hari Akhirat, Malaikat, Kitab suci dan Nabi-nabi (keimanan). b. Memberikan harta yang dicintai kepada kaum kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir yang kekurangan, orang minta-minta dan memerdekakan budak (moral+sosial). c. Mendirikan salat/sembahyang (Pengabdian). d. Mengeluarkan zakat (sosial). e. Menepati janji yang telah dibuatnya (moral). f. Bersabar dalam kesusahan, penderitaan, dan kegentingan (moral). Orang –orang itulah yang dikatakan benar dan merekalah yang dinamakan bertqwa.” Inilah yang dimaksud dengan taqwa di dalam Islam. Selanjutnya apabila jiwa taqwa telah tertanam dan bertumbuh dengan baik dalam pribadi seseorang, maka dengan sendirinya ia akan berusaha pula mencari pengertian tentang ajaran-ajaran Islam yang akan membimbingnya dalam hidup. Ada larangan yang wajib diindahkannnya dan ada pula tugas yang wajib
dilaksanakan,
di
samping
adanya
anjuran-anjuran
untuk
melaksanakan atau meningggalkan hal-hal tertentu. Semuanya itu
32
tersimpul dalam hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang mempunyai sanksi. Apabila keyakinan beragama itu, betul-betul telah menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang, maka keyakinannya itulah yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Jika terjadi tarikan orang kepada sesuatu yang tampaknya menyenangkan dan menggembirakan, maka keimanannya cepat bertindak meneliti apakah hal tersebut boleh atau terlarang oleh agamanya andaikata termasuk hal yang terlarang, betapapun tarikan luar itu tidak akan diindahkannya karena ia takut melaksanakan yang terlarang dalam agama. Akan tetapi, sudah menjadi suatu tragedi dari dunia yang maju di mana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan Ilmu Pengetahuan, maka keyakinan beragama mulai terdesak. Kepercayaan kepada Tuhan tinggal sebagai simbol, laranganlarangan dan suruhan-suruhannya tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya perpegangan kepada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di dalam diri. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang sisa adalah masyarakat dengan hukum dan peraturannya. Biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya maka dengan senang hati orang berani melannggar aturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila masyarakat itu banyak orang yang melakukan pelanggaran moral itu, dengan
33
sendirinya orang yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru dan melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama. Dan yang lebih berbahaya dalam hal ini adalah orang pandai yang tidak beragama, akan dengan mudah menyesatkan, mengelabui dan membujuk orang kepada perbuatan-perbuatan amoral. Maka untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat perlu diadakan pengawasan yang ketat dan hukum yang mempunyai sanksi-sanksi berat, serta petugaspetugas keamanan yang millitant. Tapi, jika setiap orang kuat keyakinannya kepada Tuhan mau menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, maka tidak perlu polisi, tidak perlu pengawasan yang ketat, karena setiap orang dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan Tuhannya. Semakin jauh masyarakat dari agama, semakin susah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyaknya pelanggaran-pelanggaran atas hak dan hukum. 2. Keadaan masyarakat yang kurang sehat. Faktor kedua yang ikut mempengaruhi moral masyarakat ialah kurang stabilnya keadaan, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Kegoncangan atau ketidakstabilan suasana yang melingkungi seseorang menyebabkan gelisah dan cemas, akibat tidak dapatnya mencapai rasa aman dan ketentraman dalam hidup.
34
Misalnya apabila keadaan ekonomi goncang, harga barang-barang naik turun dalam batas yang tidak dapat diperkirakan lebih dahulu oleh orangorang dalam masyarakat, maka untuk mencari keseimbangan jiwa kembali, orang terpaksa berusaha keras. Jika ia gagal dalam usahanya yang sehat, maka ia akan menempuh jalan yang tidak sehat, disinilah terjadinya
penyelewengan-penyelewengan,
pada
mulanya
karena
kebutuhan, tapi bisa bertumbuh menjadi keserakahan atau tamak. Demikian juga dengan keadaan sosial dan politik, jika tidak stabil, akan menyebabkan orang merasa takut, cemas dan gelisah, hal mana akan mendorong pula kepada kelakuan-kelakuan yang mencari rasa aman kadang-kadang menimbulkan kecurigaan, tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan, kebencian kepada orang lain, adu domba, fitnah dan sebagainya. Hal ini semua mudah terjadi pada orang yang kurang keyakinannya kepada agama, dan mudah menjadi gelisah. 3. Tidak terlaksananya pendidikan moral dengan baik. Faktor ketiga yang juga penting, adalah tidak terlaksananya pendidikan moral dengan baik, dalam rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Pembinaan moral, seharusnya dilaksanakan sejak si anak kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batasbatas dan ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan
menanamkan
sikap-sikap
yang
dianggap
baik
buat
penumbuhan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu.
35
Juga perlu diingat bahwa pengertian tentang moral, belum dapat menjamin tindakan moral. Maka moral bukanlah suatu pelajaran atau ilmu pengetahuan yang dapat dicapai dengan mempelajari, tanpa membiasakan hidup bermoral dari kecil dan moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian, tidak sebaliknya. Di sinilah peranan ibu/bapak, guru dan lingkungan yang sangat penting. Jika si anak dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang tidak bermoral atau tidak mengerti cara mendidik, ditambah pula dengan lingkungan masyarakat yang goncang dan kurang mengindahkan moral, maka sudah barang tentu, hasil yang akan terjadi, tidak menggembirakan dari segi moral. 4. Suasana rumah tangga yang kurang baik. Faktor yang terlihat pula dalam masyarakat sekarang, ialah kerukunan hidup dalam rumah tangga kurang terjamin. Tidak tampak adanya saling pengertian, saling menerima, saling mrnghargai, saling mencintai diantara suami istri. Tidak rukunnya ibu dan bapak menyebabkan gelisahnya anak-anak, mereka menjadi takut, cemas dan tidak tahan berada di tengah-tengah orang tua yang tidak rukun. Maka anak-anak yang gelisah dan cemas itu mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yang merupakan ungkapan dari rasa hatinya, biasanya mengganggu ketentraman orang lain. Demikian juga halnya dengan anak-anak yang merasa kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan pemeliharaan orang tua akan mencari
36
kepuasan di luar rumah, seperti anak-anak yang kita sebutkan dalam contoh-contoh di atas. Umumnya mereka datang dari rumah tangga yang berantakan. 5. Diperkenalkannya obat-obat dan alat-alat anti hamil. Suatu hal yang oleh sementara pejabat tidak disadari bahayanya terhadap moral anak-anak muda adalah diperkenalkannya secara populer obat-obatan dan alat-alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan. Seperti kita ketahui bahwa usia muda adalah usia yang baru mengalami dorongan seksuil akibat pertumbuhan biologis yang dilaluinya, mereka belum mempunyai pengalaman, dan jika mereka juga belum mendapat didikan agama yang mendalam dengan mudah mereka dapat dibujuk oleh orang-orang yang tidak baik (laki-laki atau perempuan jahat) yang hanya melampiaskan hawa nafsunya. Maka terjadilah umpamanya obat atau alat-alat itu digunakan oleh anak-anak muda yang tidak terkecuali anak-anak sekolah atau mahasiswa yang dapat dibujuk oleh orang yang tidak baik itu oleh kemauan mereka sendiri yang mengikuti arus darah mudanya, tanpa kendali. Orang tidak ada yang akan tahu, karena bekasnya tidak terlihat dari luar. 6. Banyaknya
tulisan-tulisan
dan
gambar-gambar
yang
tidak
mengindahkan dasar-dasar moral. Suatu hal yang belakangan ini yang kurang menjadi perhatian kita ialah, tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, keseniankesenian, dan permainan-permainan yang seolah-olah mendorong anak-
37
anak muda untuk mengikuti arus mudanya. Segi-segi moral dan mental kurang mendapat perhatian, hasil-hasil seni itu sekedar ungkapan dari keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya tidak dapat dipenuhi begitu saja. Lalu digambarkan dengan sangat realistis, sehingga semua yang tersimpan di dalam hati anak-anak muda diungkap dan realisasinya terlihat dalam cerita, lukisan atau permainan tersebut. Ini pun mendorong anakanak muda kejurang kemerosotan moral. 7. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu terluang. Suatu faktor yang juga telah ikut memudahkan rusaknya moral anakanak muda, ialah kurangnya bimbingan dalam mengisi waktu terluang dengan cara yang baik dan sehat. Umur muda adalah umur suka berkhayal, melamunkan hal yang jauh. Kalau mereka dibiarkan tanpa bimbingan dalam mengisi waktunya timbul dari mereka. 8. Kurangnya markas bimbingan. Terakhir perlu dicatat bahwa kurangnya markas bimbingan dan penyuluhan yang akan menampung dan menyalurkan anak-anak ke arah mental yang sehat. Dengan kurangnya atau tidak adanya tempat kembali bagi anak-anak yang gelisah dan butuh bimbingan itu, maka pergilah mereka berkelompok dan menggabung kepada anak-anak yang juga gelisah. Dari sini akan keluarlah model kelakuan yang kurang menyenangkan.
38
3. Nilai-nilai Agama Islam Arti kata islam itu sendiri adalah Islam secara etimologis berasal dari tiga akar kata yaitu Salam artinya damai atau kedamaian, Salamah artinya keselamatan, Aslama artinya berserah diri atau tunduk patuh. Pengertian lain AlIslam memiliki beberapa arti diantaranya yaitu yang pertama, dari kata AslamaYuslimu-Islaman, berarti memelihara dalam keadaan selamat, damai dan sejahtera (QS. Al-Maidah :16). Yang kedua, dari kata Salima-Yaslamu, berarti menyerah diri, taat, patuh dan tunduk. Dari pengertian yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa islam mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh dan taat sepenuhnya kepada kehendak Allah itu melahirkan keselamatan, dan islam itu mengajarkan perdamaian bagi umatnya dan dengan kedamaian tersebut, islam akan menjadi petunjuk bagi manusia untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Pengertian islam secara terminologis diungkapkan oleh ti Dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) UPI (2004: 32) bahwa “Islam adalah satu sistem ajaran ketuhanan (agama) yang berasal dari Allah Swt disampaikan kepada umat manusia melalui risalah yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw”. Pendapat lain mengenai pengertian agama islam dikemukakan oleh M. Nur.A Hamid et.al yang dikutip oleh A Zainuddin (1999: 14) bahwa: Dinul Islam adalah peraturan atau ajaran yang berasal dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk disebarluaskan kepada umat manusia yang berada di bumi, agar nereka mendapatkan petunjuk yang lurus dan benar guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
39
Islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia digelarkan ke muka bumi, dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Al-Quran yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni Muhammad ibn Abdullah, satu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam semesta guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Semua Rasul mengajarkan ke-Esaan Allah (Tauhid) sebagaimana dasar keyakinan bagi umatnya. Sedangkan aturan-aturan pengamalannya desesuaikan dengan tingkat perkembangan budaya manusia pada zamannya. Karena itu diantara para rasul itu terdapat perbedaan dalam syari’at. Setelah Rasul-rasul yang membawanya wafat, agama islam yang dianut para pengikutnya itu mengalami perkembangan dan perubahan baik nama maupun isi ajarannya. Akhirnya islam menjadi nama bagi satu-satunya agama, yaitu agama yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw. Agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah islam yang terakhir diturunkan Allah kepada manusia. Karena itu tidak akan ada lagi Rasul yang diutus ke muka bumi. Kesempurnaan ajaran islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sesuai dengan tingkat budaya manusia yang telah mencapai
40
puncaknya, sehingga islam akan sesuai dengan budaya manusia sampai sejarah manusia berakhir pada hari kiamat nanti. Agama islam berisi ajaran yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai hamba Allah, individu, anggota masyarakat, maupun sebagai makhluk dunia. Secara garis besar nilai-nilai yang terkandung dalam agama islam menyangkut tiga hal pokok yaitu: a. Aspek keyakinan yang disebut Aqidah, yaitu aspek kredial atau keimanan terhadap Allah Swt. Dan semua yang difirmankannya. b. Aspek norma atau hukum yang disebut Syari’ah, yaitu aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan dengan alam semesta. c. Aspek perilaku yang disebut Akhlak, yaitu sikap-sikap atau perilaku yang nampak dari pelaksanaan aqidah dan syari’ah. Ketiga aspek tersebut berdiri sendiri, tetapi menyatu membentuk kepribadian yang utuh pada diri seorang muslim. Sesuai dengan yang diungkapkan secara tegas dalam firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata”. (QS. Al-Baqarah: 208) Antara aqidah, syari’ah dan akhlak masing-masing saling berkaitan. Aqidah atau iman merupakan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk melaksanakan syari’ah apabila syari’ah telah dilaksanakan berdasarkan aqidah
41
akan melahirkan akhlak. Oleh karena itu, iman tidak hanya ada di dalam hati, tetapi ditampilkan dalam bentuk perbuatan. Dengan demikian aqidah merupakan landasan bagi tegaknya berdirinya syari’ah dan akhlak perilaku nyata pelaksanaan syari’ah. 1. Aqidah a. Pengertian Aqidah Menurut bahasa, akidah berasal dari bahasa arab; ‘aqada-ya’qiduuqdatan-wa’aqidatan, artinya ikatan atau perjanjian, maksudnya sesuatu yang menjadi tempat bagi hati dan hati nurani terikat kepadanya. Aqidah adalah konsep-konsep yang diimani manusia sehingga seluruh perbuatan dan perilakunya bersumber pada konsepsi tersebut, aqidah islam tersebut dijabarkan melalui rukun-rukun iman dan berbagai cabangnya seperti tauhid uluhiyah atau penjauhan diri dari perbuatan syirik. Sedang menurut istilah akidah adalah suatu pokok atau dasar keyakinan yang harus dipegang oleh orang yang mempercayainya. Makna akidah secara etismologis ini akan lebih jelas
apabila
dikaitkan
dengan
pengertian
terminologisnya.
Seperti
diungkapkan oleh Hasan Al-Bana dalam Majmu’ar-Rasaail yang dikutip oleh Azyumardi Azra et al (2002: 117) yakni: Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan. Pendapat lain mengenai pengertian aqidah dikemukakan oleh A Zainuddin (1999: 49) yang mengemukakan bahwa: Aqidah Islam adalah pokok-pokok
42
kepercayaan yang harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim berdasarkan dalil naqli dan aqli (nash dan akal). Dari pengertian tersebut ada beberapa hal yang penting yang harus diperhatikan dalam memahami aqidah secara lebih tepat dan jelas, yang meliputi Pertama, setiap manusia memiliki fitrah untuk mengaku kebenaran dengan potensi yang dimilikinya. Indra dan akal digunakan untuk mencari dan menguji kebenaran, sedangkan wahyu menjadi pedoman untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi masing-masing alat tersebut pada posisi yang sebenarnya. Sejalan dengan hal ini Allah berfirman: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl: 78) ...Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjukan orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinnya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah: 15-16) Kedua, keyakinan itu harus penuh tidak ada kesamaran dan keraguan. Oleh karena itu, untuk sampai kepada keyakinan, manusia harus memiliki ilmu sehingga ia dapat menerima kebenaran dengan sepenuh hati setelah mengetahui dalil-dalilnya. Ketiga, aqidah harus mampu mendatangkan ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya. Untuk itu diperlukan adanya keselarasan antara keyakinan lahiriah dan batiniah. Pertentangan antara kedua hal tersebut akan melahirkan kemunafikan, sifat munafik ini akan mendatangkan kegelisahan.
43
Keempat,
apabila
seseorang
telah
meyakini
kebenaran,
maka
konsekuensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu. b. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah Menurut Hasan Al-Banna yang dikutip Azyumardi Azra et.al (2002: 122) ruang lingkup pembahasan aqidah meliputi: a) Ilahiah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan ilah (Tuhan), seperti wujud Allah, nama-nama, sifat-sifat Allah dan lain-lain. b) Nubuwwah,
yaitu
pembahasan
tentang
segala
sesuatu
yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah, mukjizat dan sebagainya. c) Ruhaniah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, setan dan ruh. d) Sam’iah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui melalui sami, yakni dalil naqli berupa Al-Quran dan AsSunnah, seperti alam barzah, akhirat, azab kubur dan sebagainya. Disamping ruang lingkup di atas, A Zainuddin (1999: 52) menyatakan bahwa pokok-pokok aqidah itu adalah keimanan, maka aqidah di sini identik dengan keimanan (kepercayaan), sedangkan unsur-unsur iman itu mencakup rukun-rukun iman (arkanul iman). Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, yakinlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan kepada kitab-kitab
44
yang diturunkan terdahulu. Barang siapa yang ingkar (kafir) kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa: 136) c. Arkanul Iman Seperti apa yang telah dijelaskan di atas bahwa pokok aqidah islam itu adalah keimanan (kepercayaan), dan unsur-unsur iman itu mencakup rukunrukun iman. Rukun-rukun iman tersebut adalah sebagai berikut: a.
Iman kepada Allah Iman kepada Allah artinya meyakini adanya Allah dengan sepenuh
hati tanpa adanya keraguan sedikitpun, karena Dialah yang kita sembah, Yang Esa lagi Pencipta, yang pertama lagi permulaan, yang akhir tanpa penghabisan, pemilik keagungan dan kesempurnaan. Keyakinan kepada Allah Yang Maha Esa (tauhid) merupakan titik pusat keimanan, karena itu setiap aktivitas seorang muslim senantiasa dipertautkan secara vertikal kepada Allah Swt. Pekerjaan seorang muslim yang dilandasi keimanan dan dimulai dengan niat karena Allah, akan mempunyai nilai ibadah di sisi Allah. Sebaliknya pekerjaan yang tidak diniatkan karena Allah tidak mempunyai nilai apa-apa. Islam mengajarkan bahwa iman kepada Allah harus bersih dan murni, menutupi
setiap
celah
yang
memungkinkan
masuknya
syirik
(mempersekutukan Allah). Masuknya paham-paham yang merusak tauhid menyebabkan orang terjatuh syirik, dan syirik merupakan dosa yang besar yang tidak akan diampuni Allah.
45
Tauhid adalah mengi’tikadkan bahwa Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. I’tikad ini harus dihayati, baik dalam niat, maupun dalam maksud dan tujuan. Tauhid mencakup tujuh macam yaitu: (1) Tauhid Zat Tauhid Zat artinya mengi’tikadkan Zat Allah itu Esa, tidak berbilang Zat Allah itu hanya dimiliki oleh Allah saja, yang selainNya tidak ada yang memilikinya. Manusia yang terdiri dari atom dan molekul tidak diberi pengetahuan tentang Zat Allah sehingga Rasulullah menasihatkan : “pikirkanlah ciptaan Allah dan jangan pikirkan Zat Allah karena engkau akan hancur”. (H.R Abu Nuaim dari Ibnu Umar) (2) Tauhid Sifat Tauhid Sifat adalah mengi’tikadkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang menyamai sifat Allah, dan hanya Allah saja yang memiliki sifat kesempurnaan. (3) Tauhid Wujud Tauhid Wujud adalah mengi’tikadkan bahwa hanya Allah yang wajib ada. Adanya Allah tidak membutuhkan kepada yang mengadakan, berarti hanya Dia-lah yang abadi. (4) Tauhid Af’al Tauhid Af’al adalah mengi’tikadkan bahwa Allah sendiri yang menciptakan dan memelihara alam semseta. Atas kehendak-Nya pula sesuatu itu hidup dan mati, kemuliaan dan kehinaan, serta
46
kelapangan dan kesempitan rezeki (Al-Imran: 26-27); Allah sendiri yang menetapkan apa yang akan terjadi dan apa yang tidak akan terjadi (At-Taubah: 51); Dia pula yang memegang rahasia kapan saat kehancuran alam semesta akan tiba (Lukman: 34); Maka Allah-lah tempat bergantung (Al-Ikhlas: 2); dan kepada-Nya tempat menyerahkan segala urusan (Al-Anfal: 44). (5) Tauhid Ibadah Tauhid Ibadah adalah mengi’tikadkan bahwa hanya Allah saja yang berhak dipuja dan dipuji (Al-Fatihah: 2). Memuja dan memuji selain Allah baik yang terang-terangan maupun yang sembunyisembunyi adalah bentuk perbuatan syirik. (6) Tauhid Qasdi Tauhid Qasdi adalah mengi’tikadkan bahwa hanya kepada Allahlah segala amal ditujukan. Setiap amal dilakukan secara langsung tanpa perantara ditujukan untuk memperoleh keridhaan-Nya semata. (7) Tauhid Tasyri Tauhid Tasyri adalah mengi’tikadkan bahwa hanya Allah-lah pembuat peraturan (hukum) yang paling sempurna bagi makhlukNya. Iman kepada Allah mencakup iman kepada seluruh firmanNya. Apabila seseorang telah beriman kepada Allah, maka ia beriman kepada kitab-Nya, Malaikat-Nya, Rasul-Nya, hari kiamat serta qada dan qadar. Dengan demikian, iman kepada Allah
47
menjadi awal dan pintu masuk iman kepada yang lainnya. Seorang yang beriman senantiasa akan menjaga keakrabannya dengan Allah. Mulutnya akan senantiasa dihiasi dengan ucapan yang memelihara ikatannya dengan Allah, misalnya mengatakan “insya Allah” untuk ucapan janji, “masya Allah” jika mendapatkan kegagalan dalam berusaha, dan “innalillahi wa inna ilaihi raji’un” jika terkena musibah atau mendengar ada orang yang meninggal dunia atau dengan perkataan lain mulutnya akan senantiasa berdzikir kepada Allah Swt. Adapun Fungsi iman kepada Allah antara lain: 1. Menyadarkan manusia agar selalu ingat kepada Allah. 2. Menambah ketaqwaan kepada Allah, serta tawakal kepada-Nya, ikhlas untuk melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. 3. Percaya kepada yang gaib dan adanya wahyu dari-Nya, sehingga terdorong untuk mempelajari dan mengamalkannya. 4. Dengan tulus ikhlas berusaha menafkahkan rezeki yang telah diberikan-Nya sebagai bukti anugerah dari-Nya. b. Iman kepada Malaikat Iman kepada Malaikat Allah artinya mempercayai dengan sepenuh hati bahwa Allah menciptakan makhluk gaib berasal dari Nur yang selalu taat menjalankan perintah-perintah-Nya dan tidak pernah durhaka kepadaNya. Allah berfirman: “Mereka (para malaikat) takut kepada Tuhan yang
48
berkuasa atas mereka dan melaksanakan yang diperintahkan”. (QS. AnNahl: 50) Ciri-ciri malaikat Allah adalah: 1. Mereka adalah makhluk yang selalu takut dan patuh kepada Allah. 2. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah bernoda atau bermaksiat. 3. Mereka adalah makhluk yang tidak pernah sombong dan selalu bertasbih kepada Allah. Adapun Fungsi iman kepada Malaikat antara lain: 1. Mempertebal iman kepada Allah bahwa Allah itu berkuasa mencipta makhluk sesuai dengan kehendak-Nya. 2. Menyadarkan manusia agar selalu berhati-hati dalam segala tingkah laku kehidupannya, sebab semua yang diucapkan dan diperbuatnya senantiasa diawasi dan dicatat oleh para MalaikatNya. Allah berfirman: “Tiada sutu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. 3. Mendorong manusia untuk selalu meningkatkan amal yang baik dan meninggalkan kejelekan sekecil apapun, karena amal tersebut akan dipertanyakan dan dimintai pertanggungjawabannya. c. Iman kepada Kitab-kitab-Nya Iman kepada Kitab Allah artinya mempercayai dan meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para Rasul yang berisi wahyu Allah agar isi dan kandungannya disampaikan kepada umat
49
manusia. Kumpulan wahyu itu ada yang berupa kitab dan ada yang disebut shuhuf. Dasarnya adalah firman Allah Swt: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya”. (QS. An-Nisa: 136) Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul itu adalah Taurat kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud, Injil kepada Nabi Isa, dan Al-Quran kepada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan shuhuf itu diturunkan kepada Nabi Adam, Nabi Syits, Nabi Idris, Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Adapun fungsi iman kepa Kitab-kitab Allah antara lain: 1. Sebagai ilmu pengetahuan, kita harus membaca dan mengetahui isi kitab-kitab itu dan mengamalkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari. 2. Kita akan mengetahui hukum-hukum syara’ yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, kita harus melaksanakannya dengan sebaik-baiknya sebagai perwujudan taat kepada Allah. 3. Menambah rasa aman diri manakala kita mengetahui isi dan kandungan kitab Allah. 4. Menambah rasa percaya diri, takwa, dan sabar serta sebagai pembersih jiwa dan rohani bagi pembaca dan pengamal ajaran kitab Allah. d. Iman kepada Rasul-rasul Allah
50
Beriman kepada Rasul-rasul Allah artinya mempercayai dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah telah mengangkat dan memilih serta mengutus beberapa utusan pilihan sebagai Rasul. Mereka diberikan wahyu agar disampaikan kepada umatnya. Adapun jumlah utusan Allah (Nabi dan Rasul) hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Yang wajib diketahui oleh kita sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran adalah sebanyak 25 orang. Para Rasul ini selain diutus menyampaikan risalah-Nya, juga diberi mukjizat dan ada yang bergelar Ulul Azmi. Fungsi iman kepada Rasul-rasul Allah adalah: 1. Dengan diutusnya para Rasul Allah, berarti apa yang disampaikan olehnya mengandung kebenaran mutlak dari Allah. 2. Menambah ketaatan kepada Allah, mendorong kita untuk selalu menjalankan perintah dan menjauhi lerangan-Nya. 3. Mendorong kita untuk meneladani segala perilaku baik (teladan) para Rasul Allah. e. Iman kepada hari akhir Iman kepada hari akhir adalah mempercayai dengan sepenuh hati terhadap perubahan dahsyat yang terjadi pada alam semesta ini. Perubahan itu merupakan tanda berakhirnya kehidupan dunia yang fana ini dimulainya kehidupan diakhirat yang kekal. Kehancuran total yang meliputi seluruh alam ini bukanlah suatu hal yang
mustahil.
Kedahsyatan
datangnya
hari
kiamat
mampu
menghancurkan dan memporak-porandakan segala yang ada di permukaan
51
bumi ini. Pada hari itu adalah hari penghabisan dunia dan sebagai awal kehidupan diakhirat. Fungsi iman kepada hari akhir adalah: 1. Menyadarkan manusia betapa pentingnya hidup singkat di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan tanaman amal yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. 2. Dengan beriman kepada hari akhir, hidup kita semakin optimis. Jika kita bahagia di dunia, maka hidup kita akan tenang, jika hidup kita tenang, maka kesempatan beribadah kita semakin bertambah. 3. Menumbuhkan sifat ikhlas beramal, sebab pengadilan Allah di akhirat kelak adalah pengadilan yang adil, segala sesuatu akan ditimbang dengan keadilan-Nya. Orang yang ikhlas adalah mengharap ridha Allah semata. 4. Berlaku seimbang antara urusan dunia dan akhirat, sebab manusia itu menginginkan kebahagiaan ganda di dunia dan di akhirat. 5. Menjauhkan diri dari perbuatan maksiat karena perbuatan maksiat sekecil apapun akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. f. Iman kepada Qadha dan Qadar Allah Beriman kepada qadha dan qadar Allah artinya mempercayai dan meyakini sepenuh hati bahwa semua yang terjadi pada diri manusia dan segala yang ada di dunia ini sudah ditentukan oleh Allah dan Allah-lah yang menetapkan dan memutuskan baik-buruknya, menyenangkan dan tidak menyenangkan atas kehendak-Nya.
52
Akan tetapi, manusia tidak boleh menyerah begitu saja menunggu nasib tanpa berusaha, sebab Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha manusia dan Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Fungsi iman kepada qadha dan qadar Allah adalah: 1. Melatih diri untuk bersyukur dan bersabar. Artinya bersyukur ketika mendapatkan anugerah dan bersabar ketika mengalami musibah. 2. Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa. Artinya segala keberhasilan dan kegagalan itu pada dasarnya dari Allah, maka tatkala berhasil janganlah sombong dan ketika mengalami kegagalan jangan berputus asa. 3. Mendorong sifat optimis dan giat bekerja sebab manusia itu tidak tau takdir apa yang akan dialaminya. 4. Menciptakan jiwa yang tenang, artinya ia akan selalu merasa puas dengan ketentuan Allah manakala ia telah berusaha dan bertawakal. d. Tujuan Aqidah Islam Adapun yang menjadi tujuan dari Aqidah Islam antara lain: 1. Memupuk dan mengembangkan dasar keTuhanan yang ada sejak lahir. Hal ini karena manusia adalah makhluk yang berkeTuhanan sejak ia dilahirkan. 2. Memelihara manusia dari kemusyrikan
53
Untuk mencegah manusia dari kemusyrikan perlu adanya tuntutan yang jelas tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kemungkinan manusia terperosok ke dalam kemusyrikan selalu terbuka baik secara terang-terangan (syirik jaly), yakni berupa perbuatan atau ucapan maupun yang bersifat tersembunyi (syirik khafy) yang berada di dalam hati. Dengan mempelajari aqidah islam, manusia akan terpelihara dari perbuatan syirik. 3. Menghindarkan diri dari pengaruh akal yang menyesatkan Manusia diberi kelebihan Allah berupa akal pikiran. Pendapatpendapat atau faham-faham semata-mata didasarkan atas akal manusia, kadang-kadang menyesatkan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, pikiran manusia perlu dibimbing oleh aqidah islam, agar terhindar dari kehidupan yang sesat. 2. Syari’ah a. Pengertian Syari’ah Syari’ah atau syari’at menurut asal katanya berarti jalan menuju mata air. Dari asal katanya itu syari’at Islam berarti jalan yang lurus ditempuh seorang muslim. Sedangkan secara terminologis Azyumardi Azra et.al (2002: 167) mengemukakan bahwa: Syari’ah berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia dan mengatur hubungan antara manusia dengan alam semesta. Pendapat senada dikemukakan oleh Toto Suryana et.al (1997: 107) bahwa:
54
Syari’ah ialah sistem norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Syari’ah merupakan aspek norma atau hukum dalam ajaran islam yang keberadaannya tidak terlepas dari aqidah islam. Oleh karena itu, isi syari’ah meliputi aturan-aturan sebagai implementasi dari kandungan AlQuran dan As-Sunnah. Sedangkan pendapat lain dikemukakan oleh Muslim Nurdin et.al (1993: 37) bahwa: Syari’ah merupakan aturan atau undang-undang Allah tentang pelaksanaan dari penyerahan diri secara total melalui proses ibadah secara langsung kepada Allah maupun secara tidak langsung dalam hubungannya dengan sesama makhluk lainnya (muamalah) baik dengan manusia maupun dengan alam sekitarnya. Sesuai dengan pengertian di atas, syari’ah mencakup seluruh aturan bagi semua aspek kehidupan manusia sebagai individu, warga masyarakat dan sebagai subjek alam semesta. Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syari’ah islam. Esensi ibadah adalah penghambaan diri secara total kepada Allah sebagai pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan manusia dihadapan kemahaKuasaan Allah. Syari’ah islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang shaleh. Keshalehan individu ini mencerminkan sosok pribadi muslim yang tangguh. Islam mengakui manusia sebagai makhluk sosial, karena itu syari’ah mengatur tata hubungan antara manusia dengan manusia dalam bentuk
55
muamalah sehingga terwujud keshalehan sosial. Dalam hal ini Azyumardi Azra et.al (2002: 168) mengemukakan bahwa: Keshalehan sosial merupakan bentuk hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungan sosialnya sehingga dapat dilahirkan bentuk masyarakat yang marhamah atau masyarakat yang saling memberikan perhatian dan kepedulian diantara anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya yang dilandasi oleh rasa kasih sayang. Pendapat lain dikemukakan oleh Toto Suryana (1997: 205) bahwa: Keshalehan sosial merupakan suatu hubungan yang baik atas dasar kasih sayang terhadap sesama manusia yang menjadi ciri dari umat islam, karena salah satu misi yang dibawa oleh Nabi dan harus menjadi misi setiap muslim adalah memberi rahmat bagi sesama dan seluruh alam (rahmatan lil alamin). Dalam hubungannya dengan alam, syari’ah islam meliputi aturan yang mewujudkan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan mendorong untuk saling memberi manfaat sehingga terwujud lingkungan alam yang makmur dan lestari Syari’ah islam merupakan jalan yang benar dan dijadikan dasar bagi kehidupan manusia. Demikianlah Allah menurunkan syari’at Islam kepada manusia dengan lengkap sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna. Syari’at ini diturunkan kepada manusia untuk dilaksanakan dalam kehidupan di dunia demi mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. b. Ibadah sebagai Dimensi Syari’ah Salah satu bagian dari syari’ah adalah ibadah. Ibadah artinya menghambakan diri kepada Allah. Ibadah merupakan tugas hidup manusia di dunia, karena itu manusia yang beribadah kepada Allah disebut “abdullah”
56
atau hamba Allah. Hidup seorang hamba tidak memiliki alternatif lain selain patuh, taat dan berserah diri kepada Allah. Karena itu yang menjadi inti dari ibadah adalah ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri secara total kepada Allah Swt. Ibadah merupakan konsekuensi dari keyakinan kepada Allah yang tercantum dalam kalimat syahadat, yaitu “laailaaha illa Allah” (tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah. Ini berarti seorang muslim hanya beribadah kepada Allah tidak kepada yang lain. Tujuan ibadah membersihkan dan menyucikan jiwa dengan mengenal dan mendekatkan diri serta beribadah kepada-Nya. Kedudukan ibadah di dalam islam menempati posisi yang paling utama dan menjadi titik sentral dari seluruh aktivitas muslim. Seluruh kegiatan muslim pada dasarnya merupakan bentuk ibadah kepada Allah, sehingga apa saja yang dilakukannya memiliki nilai ganda, yaitu nilai material dan spiritual. Nilai material adalah imbalan nyata yang diterima di dunia, sedangkan nilai spiritual ialah ibadah yang hasilnya akan diterima di akhirat. Aktivitas yang bermakna ganda inilah yang disebut amal shaleh. Ibadah terbagi ke dalam dua bagian yaitu terdiri dari ibadah khusus atau ibadah mahdhah dan ibadah umum atau ibadah ghair mahdhah. 1. Ibadah khusus atau ibadah mahdhah, adalah bentuk ibadah langsung kepada Allah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dan ditetapkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah, karena itu pelaksanaan ibadah ini sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh Rasulullah.
57
Penambahan dan pengurangan dari contoh yang telah ditetapkan disebut bid’ah yang menjadikan ibadah itu batal atau tidak sah. Karena itulah para ahli menetapkan satu kaidah dalam ibadah khusus yaitu “semua dilarang”, kecuali yang diperintahkan Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah”. Macam-macam ibadah khusus adalah shalat termasuk di dalamnya thaharah sebagai syaratnya, puasa, zakat dan haji. 2. Ibadah umum atau ibadah ghair mahdhah, adalah bentuk hubungan manusia dengan manusia atau manusia dengan alam yang memiliki makna ibadah. Syari’at islam tidak menentukan bentuk dan macam ibadah ini, karena itu apa saja bentuk kegiatan seorang muslim dapat bernilai ibadah asalkan kegiatan tersebut bukan perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya serta diniatkan hanya karena Allah. Untuk memudahkan pemahaman, para ulama menetapkan kaidah ibadah umum yaitu “semua boleh dikerjakan, kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya”. Ibadah baik umum maupun khusus merupakan konsekuensi dan implementasi dari keimanan terhadap Allah Swt yang tercantum dalam dua kalimat syahadat, yaitu “asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah”. Syahadat pertama mengandung arti “tiada Tuhan yang patut diibadahi selain Allah”, artinya segala bentuk ibadah ditujukan kepada Allah saja. Oleh karena tugas manusia di dunia adalah beribadah, maka segala sesuatu yang
58
dilakukan manusia adalah ibadah. Syahadat kedua mengandung arti pengakuan terhadap kerasulan Muhammad yang bertugas memberikan contoh nyata kepada manusia dalam melaksanakan kehendak Allah. Dalam kaitan ibadah (khusus) berarti bentuk-bentuk dan tata cara pelaksanaan ibadah yang dikehendaki adalah telah dicontohkan Rasulullah. 3. Akhlak a. Pengertian Akhlak Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluq, artinya tingkah laku, perangai, tabiat. Sedangkan menurut istilah, akhlak adalah kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnungkan lagi. Sementara itu Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlak yang dikutip Hamzah Ya’kub (1988:12) merumuskan pengertian akhlak sebagai berikut: Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam pebuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat. Sedangkan Toto Suryana et. Al (1997:188) menyatakan bahwa “akhlak ialah pengetahuan yang menjelaskan tentang baik dan buruk, mengatur perbuatan manusia, dan menentukan tujuan akhir dari usaha dan pekerjaannya.” Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan
59
tersebut disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah. Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak buruk atau akhlakul mazmumah. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Disamping akhlak dikenal pula istilah moral dan etika. Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan, moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Pengertian etika menurut filsafat yang dikemukakan oleh Ya’kub (1988:13) merumuskan sebagai berikut: Etika ialah ilmu yang menyelidiki iman yang baik dan mana yang buruk dengan memperahatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Hal senada juga dikemukakan oleh Webster’s Dict (1988:12) yang menyatakan bahwa “etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsipprinsip yang disusun tentang tindakan moral yang betul. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa etika merupakan tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena yang menjadi standar baik dan buruk itu adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Moral bersifat lokal atau khusus dan etika bersifat umum. Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik buruk yang digunakannya. Standar baik
60
dan buruk akhlak berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan yang dibuat oleh masyarakat jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakan-Nya “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia” (H. R. Ahmad). Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari akidah dan syarat yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan syariat maka akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang tampak apabila syariat Islam telah dilaksanakan berdasarkan aqidah. b. Ciri-ciri Perbuatan Akhlak Definisi manakah yang lebih tepat masih merupakan debaatble. Namun dengan menelaah sejumlah karakteristik tentang akhlak sangat sulit untuk menerima definisi yang luas. Di Indonesia dikenal luas bahwa ajaran Islam terdiri atas tiga komponen, yaitu aqidah, syari’ah, dan akhlak. Jadi, akhlak
61
adalah salah satu komponen ajaran Islam. Ciri-ciri perbuatan akhlaki sebagai berikut : Pertama, akhlak merupakan suatu tindakan yang “baik”. Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah : apa dasar dan ukurannya suatu tindakan disebut “baik”. Kaum Muslimin, khususnya para Ulama, akan sepakat bahwa segala tinadakan yang didasarkan atas perintah dan larangan syara’ adalah baik. (Perhatikan kembali definisi di atas). Malah lebih jauhnya, sebagaian besar(kalau tidak mau disebut) hampir seluruh-perintah dan larangan syara’ Islam akan dipandang “baik” juga oleh agama-agama besar dunia. Tindakantindakan seperti barikut ini : bertindak adil, berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada karib-kerabat, bersahabat dengan tetangga, menolong orang yang kesusahan, rendah hati, sabar, pemaaf, menghindari “ma-lima” (madat/minum khamar, main/berjudi, madon/berzina, maling/mencuri, dan mateni/membunuh), melestarikan alam, tidak merusak lingkungan, dan banyak lagi yang lainnya, yang merupakan ajaran syar’i, juga dipandang tindakan-tindakan yang “baik” oleh agama-agama besar dunia. Ajaran-ajaran syar’ demikian berarti merupakan moral atau etika universal. Kedua, akhlak merupakan suatu tindakan “ikhtiari” yang patut dipuji. Tindakan “Ikhtiari”, suatu tindakan yang digerakkan oleh “usaha” (keras) harus dibedakan dari tindakan “alami” atau tindakan “biasa-biasa”, yakni suatu tindakan yang digerakkan oleh impuls dan refleks. Tindakan-tindakan seperti : memperlakkukan anak yatim dengan penuh kasih-sayang, mengeluarkan infak di kala sempit (kekurangan) – dan terlebi-lebih di kala
62
lapang (berkecukupan), menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain yang kesempatan, dan tindakan lainnya yang serupa merupakan tindakantindakan ‘ikhtiari” dan patut dipuji. Tetapi tindakan berikut ini : seorang ibu menyusukan bayinya, seorang suami/ayah menafkahi istri dan anak-anaknya, seorang muzakki membayarkan zakat, seorang dosen memberikan kuliah kepada mahasiswanya, dan tindakan lainnya yang serupa-walaupun merupakan perbuatan yang baik dan tentunya layak memperoleh pahala dari Allah SWT-sangat sulit untuk disebut perbuatan akhlaki, karena lebih merupakan tindakan alami. Tindakan menyusukan bayi tidak hanya terjadi pada manusia, tapi juga binatang pun melakukannya. Kita pun tidak pernah mendengar pujian berikut : Ibu A hebat, dia menyusui bayinya! Bapak B hebat, dia memberi nafkah kepada istri dan anaknya! Bapak C yang kaya itu hebat, dia membayar zakat. Mengapa tidak dipuji? Jawabnya, karena tindakan-tindakan alami demikian lebih merupakan suatu kewajiban. Adalah kewajiban bagi seorang ibu untuk menyusukan bayinya; adalah kewajiban bagi seorang suami/ayah untuk menafkahi istri dan anaknya; dan adalah kewajiban bagi seorang muzakki untuk membayarkan zakatnya! Berbeda dengan seseorang yang dalam keadaan sempit tapi membantu meringankan kesempitan orang lain, dia layak mendapat pujian. Kita sering dengar : “Saya salut pada si D. Dia tidak hanya berinfak di saat lapang. Tapi di saat sempit pun dia berinfak!” Demikian juga seorang kaya yang mengeluarkan infak dan shadaqah di luar zakat dan kewajibannya lebih
63
merupakan tindakan ikhtiari yang patut dipuji, dan karenanya merupakan tindakan akhlaki. Ketiga, akhlak merupakan buah dari keimanan. Perumpamaan iman dengan akhlak dapat diibaratkan pohon dengan buahnya. Jadi, tidak mungkin ada buah kalau tidak ada pohonnya. Tidak mungkin muncul tindakan akhlaki kalau tidak ada keimanan. Hadits-hadits yang dimulai dengan ungkapan “La yu’ minu ahadukum … “ di atas tadi menunjukkan bahwa buah iman adalah akhlak. Persoalannya, mengapa ada orang yang berakhlak padahal mereka “tidak” beriman?! Kata “tidak” sengaja diberi tanda kutip untuk menunjukkan masih kontroversial. Di kalangan “awam” keimanan seseorang sering diukur dengan peribadatan ritual, terutama shalat. Orang yang tidak shalat dinilai tidak beriman atau kurang iman. Ketika berhadapan dengan orang yang berakhlak tapi tidak shalat, orang “awam” menjadi bingung. Apakah akhlak terpisah dari keimanan atau orang yang berakhlak itu sebenarnya tidak berakhlak-misalnya pura-pura berakhlak-karena “ketiadaan” iman (tidak shalat)?! Persoalan menjadi lebih pelik ketika menyaksikan orang-orang “kafir” (untuk menyebut mereka yang tidak beragama Islam) tapi berakhlak. Bagaimana mungkin orang “kafir” berakhlak?! Persoalan akan terjawab dengan membahas tema fitrah, khususnya Muslim-Fithri. Keempat, akhlak bersifat fithri. Akhlak-sebagai salah satu komponen ajaran Islam-sebagaimana keimanan terpatri dalam hati setiap manusia. Ayat Fa aqim wajhaka li-dini hanifa. Fithrat Allahi al-lati fathara al-nasa ‘alaiha.
64
(Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus. Fithrah Allah yang mencintakan manusia atas dasar fithrah itu).16Juga hadits Kullu mauludin yuladu ‘ala all-yumajjisanihi (Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang meyahudikannya, menasranikannya, atau memajusikannya), menunjukkan bahwa dasar-dasar agama Islam dasar-dasar keimanan, dasar-dasar peribadatan, dan dasar-dasar akhlak telah terpatri pada hati manusia. Untuk apa orang berakhlak kalau tidak ada iman! Sebagai tindakan purapura? Mungkin, kalau tindakan akhlakinya itu hanya sekali-sekali saja, sementara kebiasaannya justru tidak berakhlak. Persoalan akan semakin jelas dengan membahas Muslim-Fitri. Dalam Teologi Islam istilah tersebut cukup dikenal. Siapa yang dapat gelaran Muslim-Fitri, untuk pertama kalinya ialah untuk menyebut orang-orang yang berakhlak padahal agama Islam (Nabi Muhammad Saw) belum datang. Kemudian gelaran ini pun diberikan kepada orang-orang yang berakhlak tapi da’wah Islam belum sampai pada mereka. Mengapa mereka berakhlak, karena dasar-dasar ajaran Islam (fithrah) telah terpatri pada hati mereka. Bila diperluas, bisa saja orang yang berakhlak tapi tidak shalat atau tidak beragama Islam di masa sekarang ini adalah mereka yang layak mendapat gelaran Muslim-Fitri karena da’wah Islam (yang benar) belum sampai pada mereka! Wallahu a’lamu. Kelima, akhlak bersifat “ta’abbudi”. Misi utama kenabian adalah untuk menyempurnakan akhlak. Sabda Nabi Saw : Innama bu’itsu li utammina
65
makarima al-akhlaqi. Jadi, apa karena didorong oleh kesadaran akan keimanannya yang tinggi atau oleh fitrahnya yang kuat, seseorang melakukan tindakan akhlaki-padahal sangat berat-kalau bukan untuk menyembah Allah Yang Maha Esa?! Bisa saja karena riya. Tapi tindakan berpura-pura biasanya temporer dan kasuistik. Keenam, akhlak merupakan moral dan etika universal. Ajaran Islamtermasuk tentunya akhlak-merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia karena memang sesuai dengan fitrah insani (Hudan li al-nas). Seluruh ajaran akhlak Islam-khususnya yang menyangkut prinsip-prinsipnya, bukannya yang bersifat teknis-terbukti diterima di mana pun dan kapan pun. Kalau pun ada yang berbeda biasanya bersifat teknis. Misalnya, berbakti kepada ibu-bapak. Di kebanyakan peradaban, menampar ayah merupakan tindakan tercela. Tapi pada Suku Amish, seorang anak laki-laki berumur 10 tahun yang berani menampar pipi ayahnya mendapat pujian. Kenapa? Karena Suku Amish adalah suku perang. Kalau seorang anak sudah berani menampar ayahnya, terlebi-lebih ia akan berani memukul telk musuhnya. Tapi-karena tidak sesuai dengan fitrah-dewasa ini tidak ada anak Suku Amish yang melakukan tindakan demikian. Ketujuh, pelanggaran terhadap akhlak akan dikutuk masyarakat. Tindakan-tindakan
anti-akhlaki,
terutama
yang
berhubungan
dengan
kemasyarakatan atau bersentuhan dengan orang lain, akan dikutuk oleh masyarakat. Misalnya : ucapan kasar terhadap orang tua, perkataan buruk terhadap tetangga, tidak memberikan pertolongan terhadap orang yang terkena
66
musibah, membuat kegaduhan di saat orang sedang tidur nyenyak di malam hari, kikir, sombong, dan banyak lagi tindakan anti-akhlaki lainnya akan dikutuk oleh masyarakat. Kedelapan, pelanggaran terhadap akhlak akan dikutuk hati-nurani. Seorang hakim yang menerima suap atau seorang pejabat yang korupsi di satu sisi dapat membahagiakan istri dan anak-anaknya. Dengan uang (haram) yang diraihnya, istri dan anak-anak mereka dapat memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya. Dari luar, keluarga hakim dan pejabat tersebut mungkin tampak bahagia. Tapi, hati-nurani sang hakim dan sang pejabat (jika istri dan anakanaknya tidak mengetahuinya) akan mengutuk habis-habisan tindakan suap dan korupnya itu. Pertanyaan mungkin muncul : mengapa para hakim penerima suap dan para pejabat yang korup tidak segera bertaubat, tapi malah lebih gila lagi menerima suap dan berkorup-ria? Jawabnya, nafsu-serakah itulah yang mendominasi kepribadiaannya. Seorang Fir’aun dan Qarun saja pada akhir hayatnya menyesali segala perbuatan anti-akhlakinya. Hanya, sayang sekali terlambat. Contoh cukup populer di Barat adalah Thomas Grissom. Ia seorang Fisikiawan berkebangsaan Amerika Serikat. Selama hampir 15 tahun ia bekerja
dengan
penuh
semangat
dalam
usaha
pengembangan
dan
pembangunan generator neutron. Sedemikian besar semangatnya sehingga ia nyaris lupa akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan senjata-senjata nuklir. Lama kelamaan hati nuraninya gelisah terutama setelah membaca karya sejarawan tersohor, Arnold Toynbee,
67
A Study of History, khususnya kalimat berikut : “Bila orang mempersiapkan perang, sudah ada perang.” Pada saat itulah Grissom sadar bahwa ia sedang memberikan bantuan kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan sebagian besar permukaan bumi. Ia lalu membicarakan kegelisahan batinnya dengan istrinya. Ia pun membicarakan konsekuensi-konsekuensi finansial bila berhenti bekerja di Laboratorium Nasional Amerika. Dia akhirnya memutuskan berhenti, kemudian bekerja sebagai dosen dengan penghasilan jauh lebih kecil. c. Faktor yang Memperkuat dan Memperlemah Akhlak Akhlak seseorang bisa kuat ataupun lemah tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang memperkuat akhlak dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. mantapnya keimanan. Tidak diragukan lagi bahwa mantapnya keimanan seseorang akan memperkuat akhlaknya. Para Nabi dan orang-orang saleh sudah terbukti merupakan teladan-teladan akhlak. Hanya saja sepanjang sejarah sangat sedikit kaum Mu’minin yang memiliki kualifikasi demikian. Kebanyakan keimanan manusia adalah ‘yazidu wa yanqushu” (naik-turun); artinya, perlu pembinaan terus menerus. 2. terbimbing oleh seorang guru yang saleh. Seorang guru yang saleh terbukti mampu mengalahkan sagala faktor yang melemahkan tindakan akhlaki atas bimbingan gurunya yang saleh, Umar bin Abdul Aziz mencapai ketinggian akhlak dan menjadi pemimpin yang sejajar
68
dengan “Khulaf al-Rasyidin; padahal baik ayahnya, keluarga besarnya, ataupun lingkungan pergaulannya adalah istana yang jauh dari akhlak Islam. 3. memiliki pengetahuan agama yang cukup dan benar. Pengetahuan agama terbukti memperkokoh keimanan, sekaligus peribadatan dan akhlak. Dalam titik ekstrim kita bisa membandingkan akhlak kaum Santri (berbekal pengetahuan agama yang cukup dan “benar”) dengan Preman (berbekal pengetahuan agama yang minim). Tesis S2 Adelina Hasyim di UPI (1988 masih bernama IKIP Bandung) tentang tindakan pelanggaran etis menyebutkan, bahwa siswa SMU lebih banyak melakukan pelanggaran etis ketimbang siswa Madrasah Aliyah. Mengapa demikian? Jawabannya, karena di Madrasah Aliyah lebih banyak dibekalkan pengetahuan agama ketimbang di SMU. 1.
memiliki falsafah hidup yang baik, yang sesuai dengan substansi, ajaran Islam. Jasa Descartes-filsuf Perancis abad pertengahan-di bidang pencerahan pemikiran merupakan realitas sejarah. Tema sentral filsafatnya “cogito ergo sum” (saya berpikir, karena itu saya ada) bukan saja menjadi bahan falsafah hidup yang ia jalankan. Ia tidak melakukan suatu tindakan sebelum memikirkannya secara baik. Malah dalam beragama pun ia jalani setelah terlebih dahulu mengadakan studi kritis dan komparatif. Walau tidak sempat mengkaji ajaran Islam-mungkin karena faktor lingkungan saat itu, tapi ia sempat mencetuskan pemikiran, bahwa mungkin ada satu agama dan madzhab pemikiran
69
keagamaan yang lebih baik ketimbang agama Katolik yang ia anut. Secara kebetulan ia menunjuk agama dan madzhab pemikiran keagamaan yang dianut oleh suatu bangsa Muslim di Timur Tengah. Di sekitar kita mungkin pembaca pun menemukan orang semacam Descartes kecil. Ia mungkin disebut-sebut tidak beragama hanya karena tidak mengamalkan ritus-ritus formal Islam, terutama shalat. Tapi ia berakhlak (Islami), paling tidak diukur dari karakter pribadi dan hubungannya dengan sesama. 2.
memiliki lingkungan pergaulan yang baik. Betapa banyak pemuda pedesaan yang religius menjadi buruk akhlaknya karena berpindah ke kota dan bergaul dengan para pemuda yang berakhlak buruk. Zakiah Daradjat dalam bukunya Psikologi Agama mengungkap seorang Kalimantan yang religius menjadi peminum khamar setelah tinggal di Jakarta, karena kawan-kawan sepekerjaannya banyak yang minum khamar.
3.
visioner. Seseorang yang memiliki wawasan ke depan akan mempertimbangkan segala sikap dan tindakannya. Ia tidak akan terjebak dengan perilaku anti-akhlaki karena akan merusak citra dirinya, sekaligus merusak masa depannya.
4.
memiliki pekerjaan dan aktivitas “kredensial”. Pekerjaan menjadi guru,
misalnya
saja,
cukup
dihormati
oleh
masyarakat
dan
mendatangkan penghasilan yang lumayan. Pekerjaan sejenis ini cukup memperkuat tindakan-tindakan akhlaki. Berbeda dengan pekerjaan
70
kotor, menjadi “germo” misalnya. Pekerjaannya sendiri sudah merupakan anti akhlaki, dan di luar itu tindakan-tindakannya pun cenderung anti akhlaki. 5.
terpenuhinya kebutuhan pokok. Terpenuhinya kebutuhan pokok cukup membuat tentram diri dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Dengan tentramnya jiwa, maka tindakan-tindakan akhlaki pun-atau sekurang-kurangnya tindakan biasa tidak sulit untuk dilakukan.
Sedangkan faktor yang memperlemah akhlak sebagai berikut : 4. Hidup mewah. Kehidupan mewah cenderung membuat lupa diri. Dalam Al-Qur’an dan Sejarah Islam terungkap bahwa para penantang kenabian adalah mereka yang hidup mewah. 5. Miskin. Hadits Nabi Saw yang menyatakan “Kadza al-faqru ayyakuna kufran” (seakan-akan kefakiran itu mendekati kekufuran) memang terbukti. Betapa banyak orang yang berperilaku anti akhlaki adalah mereka yang memang hidupnya miskin. Mereka cenderung berkata kasar, bertindak beringas, emosional, mudah kawin-cerai, gampang bertengkar dan berkelahi, dan tindakan-tindakan anti akhlaki lainnya. 6. Lingkungan pergaulan yang buruk. (Baca kembali Faktor yang Memperkuat Akhlak, bagian “Lingkungan Pergaulan yang Baik” di atas). 7. Menganggur. Sekalipun keluarganya kaya (baca : berkecukupan), para pengangguran cenderung berperilaku anti akhlaki. Zat-zat adiktif yang sangat berbahaya dan cenderung menimbulkan perilaku anti-akhlaki-
71
banyak dikonsumsi oleh para pengangguran yang kaya. Terlebih pengangguran yang miskin, karena tindakan-tindakan anti akhlakinya justru digerakkan oleh kemiskinannya. 8. Minim pengetahuan agama. (Baca kemballi Faktor yang Memperkuat Akhlak, bagian “Memiliki Pengetahuan Agama yang Cukup dan Benar” di atas). 9. Negatif thinking. Dalam buku Beyond Psycology disebutkan betapa besarnya peran “berpikir positif” dalam sukses hidup seseorang. Sementara mereka yang “berpikir negatif” cenderung merusak diri dan anti akhlaki. Mereka yang berpikir “negatif” bukan hanya akan berprasangka buruk terhadap orang lain, malah mereka akan berprasangka buruk pula terhadap dirinya sendiri. Bagaimanakah fitrah seseorang yang lurus dapat menumbuhkan perilaku akhlaki, dan bagaimana pula tumbuhnya perlaku anti akhlaki atau tidak berakhlak, dapat digambarkan sebagai berikut : (1) BERAKHLAK
Sadar Teistik Shalat, dll
FITRAH
(2) BERAKHLAK
Tidak sadar
(3) TIDAK BERAKHLAK
Hidup mewah,
Teistik
Hidup miskin
FITRAH
FITRAH
72
(diadaptasi dari buku Islam Doktrin dan Dinamika Umat karangan Tim Dosen PAI UPI, 2004: 145)
Gambar (1) menunjukkan bahwa fitrah yang secara potensial akan menumbuhkan perilaku akhlaki menjadi kenyataan, karena faktor-faktor penguatnya sangat dominan, yang dalam hal ini kesadaran Teistik (kesadaran beragama). Orang seperti dalam Gambar (1) ini memiliki keimanan yang mantap, memiliki bekal pengetahuan agama yang cukup dan benar, di bawah bimbinngan seorang guru (atau beberapa guru) yang saleh, dan hidup di lingkungan orang-orang berakhlak. Gambar (2) menunjukkan bahwa
fitrah
yang lurus memang
menumbuhkan perilaku akhlaki, walau (tampak) tidak memiliki kesadaran Teistik. Kita menyaksikan betapa banyak orang yang berperilaku akhlaki, padahal kesan yang tampak pada orang itu tidak menunjukkan adanya kesadaran beragama. Kita akan menemukan tipe (2) ini pada orang-orang yang memiliki falsafah hidup yang baik, yang sesuai dengan substansi ajaran Islam, mereka yang memiliki lingkungan pergaulan yang baik, orang-orang yang visioner, mereka yang memiliki aktivitas dan pekerjaan kredensial, dan mereka yang terpenuhi kebutuhan pokoknya. Gambar (3) menunjukkan bahwa pertumbuhan
fitrah terhalang oleh
faktor-faktor yang memperlemah tindakan akhlaki, sehingga mereka menampilkan perilaku anti-akhlaki. Misalnya orang-orang yang hidup mewah atau sangat miskin. d. Jenis-jenis Akhlak
73
Menurut objek atau sasarannya terdapat akhlak terhadap Allah, akhlak kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan. 1. Akhlak Kepada Allah a. Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukan dan kepatuhan terhadap perintah Allah. Berakhlak kepada Allah dilakukan melalui media komunikasi yang telah disediakan antara lain ibadah shalat. b. Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati.
Berzikir
kepada
Allah
melahirkan
ketenangan
dan
ketentraman hati sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah “ingatlah dengan zikir kepada Allah akan menentramkan hati” (Q.S Ar-Ra’d: 38). c. Berdoa kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti dari ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan keMahakuasaan Allah atas segala sesuatu. Kekuatan do’a dalam ajaran islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktivitas hidup setiap muslim. Orang yang tidak berdo’a adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai
74
manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong suatu perilaku yang tidak disukai Allah. d. Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan. Tawakal bukanlah menyerah kepada keadaan, sebaliknya tawakal mendorong orang untuk bekerja keras karena Allah tidak menyia-nyiakan kerja manusia. Setelah bekerja keras apapun hasilnya akan diterimanya sebagai sesuatu yang terbaik bagi dirinya, tidak kecewa atau putus asa. e. Tawdhu kepada Allah dengan rendah hati dihadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau mamaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah swt. Nabi bersabda: Sedekah tidak mengurangi harta dan Allah tidak menambah salam kehormatan pada seseorang yang memberi maaf dan tidak seorangpun yang tawadhu secara ikhlas kepada Allah, melainkan dia dimuliakan Allah. (H.R Muslim) 2. Akhlak Kepada Manusia Akhlak kepada manusia dibagi menjadi tiga yaitu akhlak kepada dirisendiri, akhlak kepada ibu bapak dan akhlak kepada keluarganya. a. Akhlak kepada diri-sendiri 1. Sabar Sabar adalah perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang
75
menimpanya. Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan ketika ditimpa musibah dari Allah. Sabar melaksanakan perintah adalah sikap menerima dan melaksanakan segala perintah tanpa pilih-pilih dengan ikhlas. Sedangkan sabar dalam menjauhi larangan adalah berjuang mengendalikan diri untuk meninggalkannya. Sabar terhadap musibah adalah menerima musibah apa saja yang menimpa dengan tetap berbaik sangka kepada Allah serta yakin bahwa ada hikmah dalam setiap musibah itu. 2. Syukur Syukur adalah sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah dengan bacaan hamdalah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan keharusannya, seperti bersyukur diberi penglihatan dengan menggunakannya membaca ayat-ayat Allah. 3. Tawadhu Tawadhu yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua muda, kaya atau miskin. Sikap tawadhu muncul dari kesadaran akan hakikat dirinya sebagai manusia yang lemah dan serba terbatas yang tidak layak untuk bersikap sombong dan angkuh di muka bumi b. Akhlak Kepada Ibu Bapak
76
Akhlak kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya (birrul walidain) dengan ucapan dan perbuatan. Allah mewasiatkan agar berbuat baik kepada kedua ibu bapak sebagaimana firman-Nya: Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan payah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Nya dan kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. (Q.S Lukman: 14) Dalam ayat di atas Allah menyuruh manusia untuk berbakti kepada ibu bapak dengan cara mengajak manusia untuk menghayati pengorbanan yang dilakukan kedua ibu dan bapak. Berbuat baik kepada ibu bapak dapat dibuktikan dalam bentuk perbuatan antara lain: menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai bentuk terima kasih, bertutur kata sopan, lemah lembut, menaati perintahnya dan lain-lain. c. Akhlak Kepada Keluarga Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan rasa kasih sayang diantara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komunikasi-komunikasi yang didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. 3. Akhlak kepada Lingkungan Hidup Misi agama islam adalah mengembangkan rahmat bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup. Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan, mengelola dan
77
melestarikan alam. Berakhlak kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya. 4. Misi Agama Islam Sebagai Petunjuk dalam Kehidupan Selaras dengan arti dan makna etimologisnya agama islam melalui semua ajaran-ajaran yang disampaikannya mengandung tiga misi, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tim Dosen PAI (2004: 32) yaitu: a. Mengajar manusia untuk tunduk patuh (aslama) pada aturan-aturan Allah (submission to the will of God) dalam menjalani kehidupannya di dunia. b. Membimbing manusia untuk menemukan kedamaian dan dalam menciptakan kedamaian. c. Memberikan jaminan kepada manusia untuk mendapatkan keselamatan dan terbebas dari bencana hidup baik di dunia maupun di akhirat. Pendapat lain mengenai misi agama islam dikemukakan oleh A. Zainuddin (1999: 17) yakni sebagai berikut: a. Agar manusia senantiasa beriman Iman menempati posisi tertinggi karena menuntun manusia untuk merealisasikan segenap ajaran Allah. Iman mencakup tiga hal pokok, yaitu keyakinan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan (amal). b. Agar manusia tetap Islam Agama islam mengajarkan manusia agar senantiasa dalam kondisi Islam, yakni taat, patuh dan tunduk serta berserah diri kepada-Nya dengan landasan Iman yang kokoh. c. Agar mampu berbuat ihsan (baik) Iman sebagai landasan utama, Islam sebagai bentuk ketaatan atau sikap untuk berbuat dan beramal dan ihsan merupakan pernyataan dalam bentuk tindakan. Misi agama Islam tersebut pada dasarnya mengarah kepada satu tujuan pokok, yakni kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
78
Sekalipun sebutan Islam sebagai nama agama hanya berlaku secara eksklusif bagi sistem ajaran ketuhanan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, namun misi ajaran agama Islam seperti disebutkan di atas adalah juga misi ajaran keTuhanan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, semua ajaran Allah bagi umat manusia yang disampaikan oleh semua Nabi dan Rasul, pada hakikatnya adalah tauhidullah (sekalipun tidak disebut dengan nama Islam). Dengan demikian para Nabi dan Rasul dalam AlQuran menyebut dirinya muslim dan menyuruh umatnya agar menjadi muslim sampai mati. Allah berfirman dalam Al-Quran yang terjemahnya: Ibrahim berwasiat dengannya (yaitu dengan islam), Ya’kub: “Wahai anak-anaku sesungguhnya Allah telah memilihkan untukmu suatu agama (yang benar), maka janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan muslim (dalam tunduk, patuh pada ajaran Allah)”. (Q.S AlBaqarah: 132) Untuk membimbing manusia dalam meniti dan menata kehidupan agar senantiasa berada dalam ketaatan, Allah menurunkan agama islam sebagai pedoman yang harus dijadikan referensi dalam menetapkan setiap keputusan dengan jaminan ia akan terbebas dari segala kebingungan dan kesesatan. Firman Allah yang terjemahannya: Nanti akan Aku berikan kepadamu petunjuk (dalam menempuh kehidupan). Siapa yang mengikuti petunjuk-Ku tersebut, niscaya mereka tidak akan rasa khawatir dan takut (dalam kehidupan) dan tidak akan bersedih hati (Q.S Al-Baqarah: 38) Hidayah berarti petunjuk yang diberikan Allah kepada makhluk hidup agar mereka sanggup menghadapi tantangan kehidupan dan menemukan solusi (pemecahan) bagi persoalan hidup yang dihadapinya. Hidayah
79
merupakan alat bantu yang diberikan oleh Allah kepada makhluk hidup untuk mempermudah menjalani kehidupannya. Sesuai yang dikemukakan oleh Tim Dosen PAI (2004: 33) ada empat tingkat hidayah yang diberikan oleh Allah kepada manusia yaitu: a. Hidayah Ghariziyah (bersifat instinktif), disebut juga hidayah firiyyah, yaitu petunjuk yang diberikan oleh Allah swt bersamaan dengan kelahiran berupa kemampuan jadi dalam menghadapi kehidupan sehingga sanggup untuk survive (bertahan hidup). b. Hidayah Hissiyah (bersifat indrawi), yaitu petunjuk berupa kemampuan indra dalam menangkap citra lingkungan hidup sehingga ia dapat menentukan lingkungan mana yang sesuai dengannya
(
kemampuan
adaptif)
sehingga
menemukan
kenyamanan dalam menghadapi kehidupan (secara fisikal). c. Hidayah Aqliyah (bersifat intelektual), yaitu petunjuk yang diberikan Allah berupa kemampuan berpikir sehingga mampu mengolah segala informasi yang ditangkap melalui indra. Dengan kemampuan ini manusia memiliki kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan, memanipulasi dan merekayasa lingkungan untuk menciptakan kemudahan, kesejahteraan dan kenyamanan hidupnya. d. Hidayah Diniyah (berupa ajaran agama), yaitu petunjuk yang diberikan Allah berupa ajaran-ajaran praktis untuk diterapkan dalam meniti kehidupan secara komunal sehingga manusia
80
mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan hakiki dan ketenangan batin dalam menjalani kehidupannya. Hidayah yang pertama dan kedua di atas (ghariziyah dan hasiyah) diberikan juga kepada binatang dengan fungsi yang sama. Dalam tahap tertentu dan pada jenis tertentu, bahkan binatang mendapatkan hidayah yang lebih tinggi, dalam arti kemampuan indrawi binatang tersebut lebih peka daripada kemampuan indrawi manusia. Sementara hidayah yang ketiga dan keempat (aqliyah dan diniyah) hanya diberikan kepada manusia. Dengan kedua jenis hidayah inilah manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya hidayah aqliyah (kemampuan intelektual) manusia berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan binatang (demikian pula dengan jin dan malaikat). Hidayah diniyah (petunjuk agama), manusia dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dari malaikat sekalipun. Hidayah-hidayah ini merupakan alat bantu bagi manusia untuk mempermudah menjalani kehidupan sehingga diperoleh kemampuan melanjutkan kehidupan (survival), keluasan, kepuasan (comfort) dan kenikmatan lahir batin dalam kehidupan. Bagi manusia, hidayah ghariziyah (instinktif) merupakan alat bantu sementara, hidayah hissiyah (indrawi) alat bantu mediatif (antara), hidayah aqliyah (intelektual) alat bantu pengembangan dan hidayah diniyah (agama) alat bantu penyempurnaan, yaitu mencapai kebahagiaan hakiki.
81
Agama islam dalam kedudukannya sebagai hidayah bagi kehidupan manusia di dunia, Tim Dosen PAI UPI (2004: 35) merumuskan peran dan fungsi agama islam adalah sebagai berikut: a.
Pemberi makna bagi perbuatan manusia
b.
Alat kontrol bagi rasa dan emosi
c.
Pengendali bagi nafsu yang berkembang
d.
Pemberi reinforcement (dorongan) terhadap kecenderungan berbuat baik pada manusia
e.
Penyeimbang bagi kondisi psikis yang berkembang
4. Moralitas Agama Islam Berbicara
mengenai
moralitas
Islam,
Maududi
lebih
banyak
mengemukakannya. Karena menurut dia Islam dipandang sebagai sistem, yaitu sistem sosial, sistem politik, sistem ekonomi dan sistem moral. Maududi (1965: 26) mengemukaka mengenai moralitas Islam: “Baik dan buruk (jahat) bukanlah bikinan yang harus dicari-cari. Semua itu adalah realitas-realitas yang cukup dikenal dan bersamaan itu cukup dipahami oleh semua orang. Perasaan tentang baik dan jahat itu adalah intern dalam watak manusia sendiri. Sebab itulah maka dalam terminologi Al-Quran yang baik dinamakan Al Ma’ruf (sesuatu yang sudah diketahui) dan yang buruk atau yang jahat itu diberi nama al Munkar (sesuatu yang diingkari, yang ditolak). Dengan kata lain, al ma’ruf itu dikenal sebagai disukai oleh setiap manusia dan al munkar sebagai tidak digemari oleh setiap manusia. Maududi lebih memandang Islam secara sistem. Mulai dari sistem sosial, sistem politik, sistem ekonomi dan sistem moral dalam arti baik dan buruk merupakan realitas dari kehidupan manusia. Baik dan buruk itu adalah sifat dan watak manusia.
82
Kenyataan ini telah disebutkan oleh Al-Quran ketika Ia mengatakan; “...lalu Tuhan menunjukan kepadanya (kesadaran) kejahatan dan (kesadaran) kebaikannya”. (Asy syams 91:8) Masih menurut Maududi (1965: 90) sasaran tindakan moral adalah: “konsepsi Islam tentang alam dan kedudukan manusia seperti tersebut di atas menentukan sasaran sebenarnya dan mutlak yang harus menjadi tujuan dari segala usaha manusia, yaitu mencari keridhaan Allah”. Dari sasaran itu mempunyai sanksi di balik moralitas Islam. Konsepsi Islam tentang alam dan kedudukan manusia di dalamnya juga menyediakan sanksi yang harus terletak di balik setiap hukum moral, yaitu cinta dan takut kepada Allah, rasa tanggung jawab di hari pengadilan (akhirat) dan janji kebahagiaan dan balasan dalam kehidupan akhirat nanti. Lebih lanjut Maududi menyebutkan bahwa Islam menetapkan bagi manusia suatu sistem hidup yang didasarkan atas segala sesuatu yang baik dan bebas dari segala yang buruk (jahat). Ia menyeru manusia bukan saja untuk mengerjakan dan menyuruh marufat (kebaikan), melainkan juga untuk mencegah dan menghapuskan munkarat (kejahatan), dan supaya memerintahkan berbuat yang baik-baik dan melarang berbuat jahat-jahat, amar ma’ruf nahi munkar. Sesungguhnya nilai-nilai moral telah berakar dalam sifat manusia itu sendiri. Meskipun ada kecenderungan hewaninya, manusia karena sifatnya ingin memiliki kualitas-kualitas tertentu untuk memelihara martabat kemanusiannya. Seluruh eksponen prinsip-prinsip moral seperti yang sudah dirancang oleh para Rasul dan ahli-ahli filsafat, semuanya hanya untuk menyelamatkan seluruh
83
manusia dan bukan untuk keuntungan kelompok tertentu dan rusaknya kelompok lainnya. Sementara menurut Muslim Nurdin et. Al (1993: 212) mengemukakan “pandangan Islam tentang kriteria moral adalah harus dalam aspek: (1) memandang martabat manusia, (2) mendekatkan manusia dengan Allah”. Pertama, martabat manusia kita mengetahui bahwa rasa harga diri adalah perasaan sejati manusia. Kita merasa senang jika kita memberikan amal, bertindak toleran, sederhana dan tekun bekerja. Sedangkan, sifat munafik, menjilat, cemburu dan sombong akan menghina diri sendiri bila kita melakukannya. Semuanya merupakan perasaan batin kita sendiri, tanpa terikat pada ajaran atau kebiasaan dan tradisi yang ada pada masyarakat tertentu. Islam mengutuk keras sifat-sifat itu dan melarang keras mengembangkannya. Merendahkan hati dalam arti menghormati orang lain, mengakui prestasi mereka dan bukan dalam pengertian memalukan diri sendiri untuk tunduk pada kekuatan juga merupakan sifat yang mulia dan sesuai dengan martabat manusia. Kualitas seperti ini dipunyai oleh mereka yang selalu bisa mengendalikan diri dan tidak egois (self centered), serta dengan realistis mengakui hal-hal baik dalam diri orang lain dan menghormatinya. Kedua, mendekatkan manusia dengan Allah swt. Manusia muslim terlepas dari keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari tindakan dan kebiasaannya, selalu mampu untuk mengetahui apakah tindakan atau sifatnya akan menjaga martabat manusia, dan apakah akan membentukannya dalam perjalanan
84
mendekatkan diri kepada Allah swt. Sebaliknya, tindakan manusia itu selama ini merendahkan martabat manusia, dan menjauhkan diri dari Allah swt.
B. Pemahaman Nilai Moral Keagamaan Pada Remaja 1.
Pengertian Remaja Sebenarnya sampai sekarang belum ada kata sepakat antara para ahli ilmu
pengetahuan tentang batas umur bagi remaja. Karena hal itu bergantung kepada keadaan masyarakat dimana remaja itu hidup, dan bergantung pula kepada dari mana remaja itu ditinjau. Dari segi pandangan masyarakat misalnya, akan terlihatlah bahwa semakin maju suatu masyarakat, semakin panjang masa remaja itu, karena untuk diterima menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab diperlukan kepandaian tertentu dan kematangan sosial, yang meyakinkan. Lain halnya dengan masyarakat desa yang masih sederhana, yang hidup dari hasil tani, menangkap ikan atau berburu, masa remaja itu sangat pendek, bahkan mungkin tidak ada, atau tidak jelas, karena anak dapat langsung berpindah menjadi dewasa apabila pertumbuhan jasmaninya sudah matang, dia pun langsung dapat dihargai dan sanggup memikul tanggung jawab sosial. Pada masyarakat terbelakang seperti itu, dapat dikatakan bahwa masalah remaja tidak ada. Berbicara tentang pandangan berbagai ahli tentang masa remaja pun tidak ada persatuan hukum, maka usia remaja adalah di atas 12 tahun dan dibawah 18 tahun serta belum pernah menikah. Artinya apabila terjadi suatu
85
pelanggaran hukum dari seorang dalam usia tersebut maka hukuman baginya tidak sama dengan orang dewasa. Jika kita berbicara dari segi Psikologi, maka batas usia remaja lebih banyak bergantung kepada keadaan masyarakat di mana remaja itu hidup. Yang dapat ditentukan dengan pasti adalah permulaannya, yaitu puber pertama atau mulainya perubahan jasmani dari anak menjadi dewasa kira-kira umur akhir 12 atau permulaan 13 tahun. Akan tetapi akhir masa remaja itu tidak sama, pada masyarakat desa, di mana setiap anak telah ikut bekerja dengan orang tuanya ke sawah, ke ladang, menangkap ikan dan sebagainya, si anak cepat dapat ikut aktif dalam mencari rezeki, keterampilan dan ilmu pengetahuan
untuk
tidak
sukar
mencapainya,
maka
segera
setelah
pertumbuhan jasmaninya tampak sempurna, maka ia diberi kepercayaan dan tanggung jawab sebagai seorang dewasa, dia telah dapat menikah, dengan demikian masa remajanya berakhir, mungkin sekali umurnya baru 15 atau 16 tahun. Pada masyarakat yang lebih maju sedikit, di mana perlu sedikit ilmu pengetahuan formil yang didapat di sekolah dan keterampilan sosial tertentu, maka umur tersebut diperpanjang sampai 18 tahun. Dalam masyarakat yang maju, biasanya banyak persyaratan yang diperlukan agar seseorang dapat diterima sebagai seorang dewasa yang mampu diberi tanggung jawab. Untuk itu perlu perpanjangan masa remaja sampai umur kira-kira 21 tahun, pada umur tersebut diperkirakan telah terjadi kematangan dari segala segi. Menurut Dr. Kartini Kartono mengatakan bahwa masa remaja disebut pula sebagai masa-penghubung atau masa-peralihan antara masa kanak-kanak
86
dengan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rokhaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual. Yang sangat menonjol pada periode ini adalah kesadaran yang mendalam mengenai DIRI SENDIRI, dengan mana anak muda mulai meyakini kemauan, potensi dan cita-cita sendiri. Dengan kesadaran tersebut ia berusaha menemukan jalan hidupnya dan mulai mencari nilai-nilai tertentu seperti, kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan, keindahan dan sebagainya. Pada saat pertumbuhan ini anak muda atau pubescens (12-17) pada umumnya mengalami satu bentuk krisis, berupa kehilangan keseimbangan jasmani dan rohani. Kadang kala harmoni fungsi-fungsi motoriknya juga terganggu. Sehingga dengan kejadian tadi pubescens sering tampak kaku, canggung tidak sopan dan kasar tingkah lakunya. Dalam bidang agama, para Ahli Jiwa Agama menganggap bahwa kemantapan beragama biasanya tidak terjadi sebelum umur 24 tahun, maka dari segi itu remaja mungkin diperpanjang sampai umur 24 tahun. Bagaimanapun caranya kita memandang remaja dan dari segi apapun kita nilai, namun satu hal dapat kita simpulkan bahwa “remaja” adalah masa peralihan dari anak menjelang dewasa. Semakin maju suatu masyarakat, semakin banyak syarat yang diperlukan untuk menjadi dewasa, semakin panjang masa yang diperlukan untuk mempersiapkan diri dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan dan semakin banyak pula masalah yang
87
dihadapi oleh remaja itu, karena sukarnya memenuhi syarat-syarat dan sebagainya. 2.
Ciri-ciri masa remaja (anak puer) Anak puer disebut pula sebagai Anak Besar, yang tidak mau dianggap
“kanak-kanak dan anak kecil”, namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Ciri paling menonjol pada usia ini adalah: rasa hargadiri yang makin menguat. Tidak ada periode kehidupan manusia yang secara psikis begitu positif kuat daripada periode pueral ini. Energi yang keluar berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian, keriangan, kericuhan, perkelahian, dan olok-olok atau saling mengganggu. Pada anak laki-laki. Biasanya ditampilkan dengan sikap yang ketus, cerewet dan tertawa “ngikik-ngikik” tanpa sebab-sebab penting. Aktivitas anak hampir seluruhnya diarahkan keluar, dan ditampilkan dalam macam-macam prestasi. Anak puer ini mempunyai keinginan yang menggebu-gebu untuk menarik perhatian orang lain pada dirinya, juga timbul dorongan kuat untuk menguasai anak lain. Ada hasrat untuk berprestasi tinggi, melebihi anak lain. Dia merasa mampu melakukan apapun juga, sehingga condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri. Ciri
khas
anak-anak
puer
ialah
paling
suka
bermulut
besar,
menyombongkan diri, beraksi/berlaga dan sesumbar, memamerkan kekuatan sendiri. Anak-anak gadis juga ingin menonjolkan dirinya dengan jalan menjadi centil, cerewet, ketus, sombong, banyak lagak, suka memakai baju-
88
baju yang bagus atau eksklusif dan sebagainya. Hal itu ditunjukan untuk menarik perhatian orang lain pada dirinya. Pada masa ini kecenderungan ambivalensi keinginan menyendiri dan keinginan bergaul dengan banyak teman tetapi bersifat temporer. Adanya ambivalensi antara keinginan bebas dari dominasi pengaruh orang tua dengan kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tuanya. Penghayatan kehidupan keagamaan sehari-hari dilakukan mungkin didasarkan atas pertimbangan adanya semacam tuntutan yang memaksa dari luar dirinya. Secara singkat dapat kita bagi masalah yang biasa dihadapi oleh para remaja antara lain : d. Pertumbuhan jasmani cepat Biasanya pertumbuhan jasmani cepat terjadi antara umur 13-16 tahun yang dikenal dengan remaja pertama (early adoles-cence). Dalam usia ini remaja mengalami berbagai kesukaran, karena perubahan jasmani yang sangat menyolok dan tidak berjalan seimbang. Remaja waktu itu mengalami ketidakserasian diri dan berkurang keharmonisan gerak, sehingga kadang-kadang mereka sedih, kesal dan lesu. Pertumbuhan jasmani mencakup pula pertumbuhan organ dan kelenjar seks, sehingga mereka merasakan pula dorongan-dorongan seksuil yang belum pernah mereka kenal sebelum itu, yang membawa akibat kepada pergaulan. e. Pertumbuhan emosi
89
Sebenarnya yang terjadi adalah kegoncangan emosi. Pada masa adolesen pertama, kegoncangan itu disebabkan oleh tidak mampu dan mengertinya akan perubahan cepat yang sedang dilaluinya, di samping kekurangan pengertian orang tua dan masyarakat sekitar akan kesukaran yang dialami oleh remaja, waktu itu. Bahkan kadang-kadang perlakuan yang mereka terima dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat menambah goncangnya emosi yang sedang tidak stabil itu. f. Pertumbuhan mental Menurut Alfred Binet seorang Psycoloog Perancis yang terkenal dengan mental test-nya, bahwa kemampuan untuk mengerti hal-hal yang abstrak baru sempurna pada umur ± 12 tahun. Sedangkan kesanggupan untuk mengambil kesimpulan yang abstrak dari fakta yang ada kira-kira mulai dari umur 14 tahun. Karena itu, tampak pada usia 14 tahun ke atas, remaja seringkali menolak hal yang kurang masuk akalnya, dan kadangkala menyebabkan mereka menolak apa yang dulu diterimanya. Dari sini timbullah pula persoalan dengan orang tua atau orang dewasa lainnya yang merasa seolah-olah remaja menjadi suka membantah atau mengeritik mereka. g. Pertumbuhan pribadi dan sosial Masalah pribadi dan sosial itulah yang paling akhir pertumbuhannya dan dapat dianggap sebagai persoalan terakhir yang dihadapi remaja menjelang masuk kepada usia dewasa. Setelah pertumbuhan jasmani cepat
90
berakhir, tampaklah bahwa remaja telah seperti orang dewasa jasmaninya, baik yang laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi dari segi sosial dan penghargaan serta kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat biasanya belum sempurna, terutama dalam masyarakat yang maju. Dalam banyak bidang, mereka belum diajak, sehingga mereka masih memerlukan perjuangan untuk itu. Dalam perjuanngannya itu, kadang-kadang remaja tidak sabar, sehingga bertindak keras dan kasar dan kadang-kadang melanggar nilai yang dianut oleh masyarakatnya, di sinilah timbulnya kelainan-kelainan kelakuan yang biasa disebut nakal. Sesungguhnya masih ada persoalan lainnya yang dihadapi oleh remaja dalam pertumbuhannya itu, ada yang bersifat negatif dan ada pula yang positif. Secara umum dapat kita mengatakan bahwa usia remaja adalah usia peralihan dan persiapan, yang penuh dengan aneka kesukaran yang menggoncangkan jiwa. 3. Remaja dan Agama Suatu keadaan jiwa yang dapat kita perhatikan tentang remaja adalah penuh kegoncangan. Keadaan seperti itu sangat memerlukan agama dan membutuhkan suatu pegangan atau kekuatan luar yang dapat membantu mereka dalam mengatasi dorongan dan keinginan baru yang belum pernah mereka kenal sebelum itu. Keinginan dan dorongan tersebut seringkali bertentangan dengan nilai yang dianut oleh orang tua atau lingkungan di mana ia hidup.
91
Bagi remaja yang tidak beruntung untuk mempunyai orang tua yang bijaksana dan mampu memberikan bimbingan beragama kepadanya waktu kecil, maka usia remaja akan dilaluinya dengan lebih berat lagi, seperti banyak ternyata dalam kasus kenakalan dan gangguan kejiwaan lainnya, yang pernah kami temui dalam perawatan jiwa. Lain halnya dengan remaja yang hidup dan dibesarkan dalam keluarga yang aman tentram dan tekun beribadah serta lingkungan sosial dimana ia hidup cukup menampakkan keyakinan kepada Tuhan, maka remaja akan agak tenang dan dapat pula menerima keyakinan beragama dengan tenang. Hanya saja hal itu perlu kita ingat bahwa pengertian remaja akan pokok ajaran agama dipengaruhi oleh perkembangan pikiran yang sedang mereka lalui. Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat-sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya, serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat remaja itu sendiri. Keyakinan beragama pada remaja merupakan interaksi antara dia dan lingkungannya. Misalnya, kepercayaan remaja akan kekuasaan Tuhan, akan menyebabkan melimpahnya tanggung jawab atas segala persoalan kepada Tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak menyenangkan, misalnya kekacauan, ketidakadilan, penderitaan, kezaliman, persengketaan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat, akan kecewa kepada Tuhan Yang maha Kuasa, yang membiarkan semuanya itu terjadi. Jika kekecewaan remaja itu bertumpuktumpuk, maka akan sangat kecewalah dia terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa itu,
bahkan
kadang-kadang
kekecewaan
itu
dapat
menyebabkannya
92
memungkiri Tuhan sama sekali, agar ia dapat mengambil kesimpulan baru, yaitu bahwa segala sesuatu terjadi dengan sendirinya dan berjalan tanpa ada pengendalinya, maka mungkin saja ia kacau balau. Jika remaja melihat keindahan alam dengan keharmonisan segala sesuatu, di samping kehidupan keluarga dan lingkungan yang serasi dan aman tentram, akan bertumbuhlah kekagumannya kepada Tuhan sebagai Pencipta Alam dengan
segala
keindahan
dan
keserasiannya
itu,
dengan
demikian
kepercayaannya kepada Tuhan akan bertambah. Seorang remaja yang sangat kecewa dalam hidupnya, dapat saja menentang Tuhan, karena merasa bahwa dia ditinggalkan Tuhan dalam menghadapi kesukarannya. Kekecewaan remaja tidak hanya terjadi karena masalah pribadinya, tapi banyak pula berhubungan dengan lingkungan di mana ia hidup, terutama apabila tampak adanya perbedaan/pertentangan antara nilai agama yang mereka pelajari dengan kelakuan orang dalam masyarakat, terutama orang yang diannggapnya harus menjalankan agama itu, misalnya orang tuanya sendiri, guru, para pemimpin ummat, mubaligh dan sebagainya. Perbedaan
tersebut
menyebabkannya
gelisah
dan
kadang-kadang
menyebabkannya benci kepada mereka, bahkan membuat mereka acuh tak acuh kepada agama. Maka dapat diperkirakan, bahwa semakin merosotnya moral orang dalam masyarakat, akan semakin gelisah para remaja, dan semakin benci mereka kepada pemimpin agama, karena disangkanya bahwa mereka itulah yang harus bertanggung jawab atas pembinaan moral
93
masyarakat, dan merekalah yang harus memberi contoh dan membimbing masyarakat untuk hidup sesuai dengan ajaran agama. Di antara problema remaja yang agak menonjol, adalah dorongan seks yang mulai terasa pada usia remaja itu. Mereka kadang-kadang ingin mengikuti dorongan tersebut, ingin mencari sasaran dengan jenis lain, tapi mereka takut melakukannya karena agama melaranganya. Apabila terlakukan oleh mereka pelanggaran susila, karena tidak mampu mengendalikan diri, maka akan timbullah sesudah itu penyesalan, atau rasa dosa, hal ini sangat menggoncangkan jiwa remaja, yang kadang-kadang membawanya jauh dari agama, apabila pelanggaran tersebut sering dilakukannya. Sebenarnya perasaan remaja terhadap Tuhan tidak tetap, kadang-kadang sangat cinta dan percaya kepada-Nya, tapi kadang-kadang berubah menjadi acuh tak acuh atau menentang, apabila mereka merasa kecewa, menyesal dan putus asa, memang perasaan yang ambivalen terhadap agama adalah ciri khas dari remaja. Dalam pembinaan moral, terutama bagi remaja, agama sangat penting, pembinaan itu terjadi melalui kebiasaan dan pengalaman hidup yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua dengan jalan memberi contoh. Dan pembinaan moral itu tidak mungkin dilakukan dengan jalan pengertian saja, karena kebiasaan jauh lebih berpengaruh dari pengertian dan pengetahuan tentang moral, apalagi pada orang yang sedang mengalami kegoncangan jiwa. Berapa banyaknya remaja yang tahu dan sadar bahwa kelakuan mereka yang
94
nakal itu tidak baik, menghisap narkotik itu berbahaya, tapi mereka tetap tidak sanggup menghindari kenakalan atau narkotik tersebut. Memang benar, bahwa remaja akan berusaha keras untuk mempertahankan harga dirinya dalam pandangan masyarakat, dia akan mencoba melawan segala dorongan yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh masyarakat. Akan tetapi ada kemungkinan kadang-kadang mereka lemah dan dapat dikalahkan oleh dorongan dan bujukan luar. Karena itu benteng keimanan yang ditanamkan sejak kecil dengan cara yang serasi akan dapat membantu dalam menghadapi dorongan dan bujukan luar itu, apabila suatu ketika dia dapat dikalahkan oleh dorongan dan keinginan yang salah, akan timbullah sesudah itu rasa dosa dan penyesalan pada dirinya. Sehingga ia akan berusaha memohon ampun kepada Tuhan dan mencoba lebih tekun beragama, agar tidak terkalahkan sekali lagi. Disinilah letak peranan orang tua, guru dan para pemimpin agama, yang dapat membantu remaja untuk mengatasi kesukarannya tersebut dan dapat menerima mereka dengan segala kesalahan dan keterlanjurannya itu. Seandainya kesalahan moral itu terjadi berulangulang, karena pengaruh dari luar dan dorongan dari dalam, maka kepuasan yang didapatnya dari perbuatan yang salah itu menjadi kenyataan, maka akan berubahlah pandangannya terhadap kesalahan itu, dari takut dan cemas menjadi puas dan gembira, dari sana akan mulailah keruntuhan moral remaja. Lambat laun remaja yang seperti itu akan mengalami perkembangan baru dalam agama, ia akan menjadi acuh tak acuh dan berani terang terangan melanggar agama, dan selanjutnya akan menjauh dari agama. Maka waktu itu
95
akan dicarilah pegangan baru, filsafat atau kepercayaan baru yang dapat membela kelakuannya yang salah itu, dan akan semakin jauh dari agama, bahkan ia akan menentang para ulama dan pemimpin agama. Suatu usaha penyelamat bagi remaja, adalah ketekunan menjalankan agama, dan jauh sama sekali dari perbuatan salah terutama dalam pelanggaran susila. Ketekunan menjalankan agama itu dapat dicapai dengan jalan latihan yang terus menerus dan menghindarkannya dari godaan yang merusak.
C. Hubungan Pemahaman Nilai Agama dan Perilaku Moral Hubungan pemahaman nilai agama dengan perilaku moral remaja sangat signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai agama sangat menentukan perilaku seseorang manusia termasuk di dalamnya remaja. Remaja merupakan usia yang transisi antara usia dewasa. Oleh sebab itu, usia ini sangat rentan dengan pengaruh dari luar (masyarakat, sekolah). Dalam hal ini, pendidikan keluarga sangat berpengaruh terhadap perilaku remaja. Pendidikan keluarga disini adalah pendidikan agama karena pendidikan agama yang ditanamkan di masa kecil akan membekas dalam hati anak-anak. Dalam hubungan ini, pendidikan agama Islam dalam keluarga yang diajarkan oleh syariat Islam adalah mulai dari kandungan sampai dewasa. Salah satu didikan orang tua terhadap anaknya dalam buaian adalah tidak memakan makanan yang haram dan tidak mempunyai sifat iri dengki kepada sesama manusia.
96
Selain itu, yang tidak kalah berpengaruhnya kepada anak-anak adalah masyarakat sekitar. Karena itu, setiap orang yang bergaul dengan masyarakat yang kurang baik akan cenderung mengikuti atau terpengaruh oleh masyarakat tersebut. Sehingga dapat dikatakan disini pergaulan dengan masyarakat sangat dominan mempengaruhi perilaku moral remaja. Hal ini terbukti karena pergaulan di masyarakat sangat lama dibanding dengan pendidikan di sekolah. Pengaruh lain adalah pendidikan di sekolah-sekolah, sekolah merupakan tempat berinteraksinya antara murid dengan guru. Akan tetapi, sekarang kecenderungan orang islam banyak menyekolahkan ke sekolah-sekolah umum di banding dengan sekolah agama, apalagi ada orang islam yang menyekolahkan anaknya di sekolah kristen. Dengan demikian, sekolah sangatlah berpengaruh terhadap perilaku moral seseorang terutama generasi muda disini dimaksudkan remaja. 1. Hubungan dengan Diri Sendiri Hubungan manusia dengan dirinya sendiri disebutkan cara-caranya di dalam ayat-ayat tentang takwa dan dicontohkan dengan keteladanan Nabi Muhammad saw. Menurut Daud Ali (1998: 106) menyatakan: Diantaranya dengan senantiasa berlaku: (1) sabar, (2) pemaaf, (3) adil, (4) ikhlas, (5) berani, (6) memegang amanah, (7) mawas diri dan (8) mengembangkan semua sikap yang terkandung dalam akhlak atau budi pekerti yang baik. Karakter tersebut menunjukan pada pribadi masing-masing. Akan tetapi, realitasnya akan berhubungan dengan orang lain, artinya ketika sikap adil itu melekat pada diri sendiri tetapi berpengaruh pada orang lain.
97
Selain itu, menurut Muslim Nurdin, et. Al (1993: 230) “hubungan dengan diri sendiri terbagi ke dalam: menjaga kesucian diri, menjaga makanan, menjaga ksucian faraj (seksual), mengembangkan keberanian (syaja’ah), mengembangkan kebijaksanaan, menjaga amarah sabar dan syukur. a. Menjaga kesucian diri Allah menganugerahkan nafsu kepada manusia tercipta dari ruh kemuliaan dan lumpur, maka tarik menarik di antara yang saling berlawanan itu begitu kuat, sehingga diperlukan suatu upaya mengaktualisasikan kesucian diri. b. Menjaga makanan (minuman). Makanan dan minuman harus dijaga kesuciannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya dan untuk pertumbuhan badannya. Kriteria umum makanan dan minuman yang dihalalkan adalah
nilai
“kebaikannya,
seperti
faedahnya,
kelejatannya,
kebersihannya, dan kesuciannya. c. Menjaga kesucian faraj (seksual). Ajaran Islam tidak melarang umat manusia menikmati kesenangan seksual, malahan Islam sangat mencela orang-orang yang tetap mempertahankan hidup membujang. Akan tetapi, islam memberikan jalan mulia untuk menuju ke arah kesenangan ini, yaitu dengan jalan menikah. d. Mengembangkan keberanian (syaja’ah). Manusia memiliki potensi amanah, sifat ini perlu dikembangkan agar menjadi sifat yang mulia yaitu berani. Berbeda dengan tindakan keberanian yang tanpa perhitungan atau keberanian untuk berbuat kesalahan. Syaja’ah adalah
98
keberanian untuk menyampaikan yang hak, membela kebenaran, dan memberantas kepalsuan. Tindakan gegabah, atau berani tanpa perhitungan untuk kesalahan, merupakan perbuatan negatif. Demikian pula sifat pengecut, yaitu takut untuk menyampaikan yang hak, takut membela kebenaran dan memberantas kebatilan merupakan perbuatan tercela. e. Mengembangkan kebijaksanaan. Islam menganjurkan umat manusia agar mencari ilmu setinggi-tingginya. Berbagai ayat dan hadits Nabi yang mengungkapkan keutamaan ilmu dan orang yang berilmu sudah begitu detil. Diantara ayat tersebut adalah “Allah meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat”. Sebaliknya, Islam sangat mengecam tindakan bodoh dan jumud. Dengan demikian, orang yang berilmu akan bertindak lebih bijaksana dibandingkan dengan orang yang bodoh. f.
Marah merupakan gejala emosional yang muncul dari dalam diri seseorang yang nampak ke permukaan dalam berbagai perwujudannya. Menurut Imam Al-Ghazali: “marah itu adalah nyala api yang bersumber dari api Allah, menyala berkobar-kobar menjulang tinggi sampai naik ke hulu hati, dan akhirnya muncul dalam bentuk gejala-gejala fisik perubahan raut muka, mata, telinga, sangat gugup, anggota badan gemetar, giginya gemerentak, jalan mondar mandir, lubang hidung mengecil dan membesar, mulut mengeluarkan kata-kata yang tidak terkendali”. Gejala seperti itu bila menimpa kita sebagai muslim, haruslah dengan cepat mengucapkan Astagfirullah, minta ampunan kepada Allah dan membaca lafaz A’udzubillahi minasyaithanir rajim, saya berlindung
99
kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Apabila ia sedang berdiri hendaklah ia duduk, jika sedang duduk hendaklah ia berbaring dan jika betul-betul sadar, hendaklah ia mengambil air wudhu ini mengikuti apa yang diajarkan Rasulullah. Kemarahan itu berasal dari api, oleh karena itu ia harus segera didinginkan. g. Sabar adalah sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan terhadap sesuatu, baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk suruhan dan larangan maupun bentuk penerimaan terhadap perlakuan orang lain, serta sikap menghadapi suatu musibah. Sabar dikategorikan ke dalam empat hal yaitu: sabar terhadap Perintah Allah, sabar terhadap larangan Allah, sabar terhadap perbuatan orang lain, sabar menerima musibah. (Muslim Nurdin, et.al (1993: 230). Manusia ditugaskan untuk beribadah kepada Allah, tunduk, patuh dan taat kepada-Nya sebagai hamba berarti manusia harus menyerahkan segenap jiwa raganya kepada kehendak Allah, tiada pilihan lain baginya selain ketaatan dan kepatuhan. Sabar terhadap larangan Allah adalah mengendalikan hawa nafsu yang mendorong untuk melanggar larangan-Nya. Nafsu sesuai dengan sifatnya adalah kekuatan sabar yang mendorong manusia bergerak untuk mencari kenikmatan dan kepuasan. Sabar disini berarti mengendalikan dan menekan perasaan dan keinginan, sehingga dapat menyikapi setiap larangan Allah sebagai sesuatu yang wajar yang harus dihindarkannya.
100
Manusia sebagai makhluk sosial yang berada di tengah-tengah pergaulan dengan manusia lainnya setiap saat dihadapkan kepada sikap dan perbuatan orang lain terhadap dirinya. Dalam kehidupan sehari-hari adanya musibah yang menimpa seseorang merupakan Sunatullah, karena ia merupakan konsekuensi dari kehidupan dunia, baik musibah yang disebabkan oleh alam maupun musibah karena kelalaian manusia sendiri. h. Syukur adalah sikap dan perilaku yang menunjukan penerimaan terhadap sesuatu pemberian atau anugerah dalam bentuk pemanfaatan dan penggunaan yang sesuai dengan kehendak pemberinya. Syukur kepada nikmat yang diberikan Allah adalah berterima kasih dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang diinginkan Allah Sang Maha Pemberi. 2. Hubungan dengan Keluarga Lembaga yang paling utama dan fundamental dari masyarakat adalah kesatuan keluarga itu terjadi dari pertemuan (perkawinan) lelaki dengan perempuan dan dari perhubungan mereka itu lahirlah satu angkatan baru, satu generasi baru. Keluarga adalah satu lembaga dimana satu generasi mempersiapkan generasi berikutnya untuk berbakti kepada peradaban manusia dan untuk melaksanakan kewajiban sosialnya dengan khidmat, jujur dan penuh semangat.
101
Dalam hal ini, keluarga benar-benar dapat dikatakan sebagai sumber dari kemajuan, perkembangan, kemakmuran dan peradaban manusia. Menurut Islam bentuk yang benar dari hubungan diantara lelaki dan perempuan adalah perkawinan (nikah), yaitu hubungan dimana tanggung jawab sosial dipegang sepenuhnya oleh yang bersangkutan dan yang mengakibatkan lahirnya suatu keluarga. Oleh sebab itu, agama yang sarat dengan nilai-nilai moral yang luhur harus dijadikan sebagai tolok ukur dalam membina dan mengatasi berbagai masalah yang terjadi dalam keluarga. Pola asuh dan pandangan yang sebagian besar diserahkan kepada pribadi yang didatangkan ke rumah-rumah untuk membina mental, rohani dan watak anak-anak sudah selayaknya di ubah dan dikembalikan sepenuhnya kepada pemimpin utama keluarga itu sendiri, yaitu ayah dan ibu. Ayah dan ibu tidak boleh kalah perannya dengan guru atau media lainnya yang ikut mendidik anak. Ibu dan ayah adalah perantara seorang anak lahir ke dunia. Merawat dan mendidiknya sampai dewasa dan mandiri. Karena itu islam menekankan kewajiban anak untuk berbakti kepada ibu bapaknya seperti firman Allah: “Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu”. (QS. 31: 14) Dari ayat tersebut, Allah menggambarkan penderitaan seorang ibu pada saat mengandung, merawat dan mendidik anaknya sebagai isyarat agar anak
102
tidak melupakan jasa yang telah diberikan orang tuanya dan sebagai dorongan untuk menghormati dan memuliakannya. Kepentingan menghormati ibu dan bapak dikaitkan pula dengan nasibnya dikemudian
hari,
yaitu
kehidupannya
diakhirat,
sebagaimana
Nabi
mengingatkan bahwa keridhaan Allah tergantung pada keridhaan ibu bapak. Dengan demikian, kebencian Allah tergantung pada kebencian ibu bapak. Bahkan lebih dekat lagi Nabi mengatakan bahwa ada dua jenis dosa yang dilakukan seseorang yang siksanya akan di rasakan sejak masih berada di dunia, yaitu dosa zina dan durhaka kepada kedua orang tua. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah swt: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya samapi berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan perkataan “ah” dan janganlah sekali-kali kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. 17: 23) Mengucapkan “ah” saja sudah tidak boleh, apalagi memperlakukan orang tua lebih kasar lagi dari itu. Sering kali kita lupa kepada orang tua, lalu mengurus, membantu orang tua, karena kesibukan atau tersita waktu karena mengurus kecintaan kepada yang lainnya. Dalam membangun keluarga yang sakinah, yang tidak kalah penting adalah mendidik anak. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua yang paling utama yang akan berpengaruh kuat dalam perkembangan anak pada masamasa selanjutnya. Orang tua mendidik anak dengan memperhatikan potensi yang dimiliki anak. Oleh karena itu, peran orang tua dalam mendidik anak dilakukan dengan cara membimbing, membantu atau mengarahkannya agar ia
103
mengenal norma dan tujuan hidup yang hendak dicapainya. Dalam hal ini, orang tua yang paling berpengaruh kepada karakter anak yang ada dalam keluarga tersebut. Karena pendidikan di sekolah-sekolah hanya beberapa jam saja, sedangkan anak lebih banyak waktu di dalam keluarganya. 3. Hubungan dengan Masyarakat Manusia adalah makhluk sosial dimana kualitas kemanusiaannya ditentukan oleh perannya dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya di tengah masyarakat. Untuk itu, Al-Quran menekankan hubungan antara manusia dengan memuat lebih banyak ayat-ayat yang berbicara tentang ibadah sosial, daripada yang bersifat ritual. Islam menghendaki terciptanya masyarakat yang damai dimana interaksi didalamnya diwarnai oleh kasih sayang (marhaamah). Oleh karena itu, penekanan tingkah laku individu selalu dikaitkan dengan peranan sosialnya, kualitas keimanan seseorang ditentukan oleh aktualisasinya dalam pergaulan masyarakat (amal saleh). Oleh sebab itu, keluhuran budi pekerti adalah salah satu konsekuensi nyata adanya taqwa. Sedangkan taqwa itu mendorong seseorang ke arah tindakantindakan yang diperkenankan atau diridhai Allah. Syariat islam memberikan motivasi yang kuat kepada umat untuk senantiasa menegakan keadilan di tengah masyarakat yang direalisasikan dalam suatu timbangan manusiawi yang mampu menempatkan sesuatu sesuai dengan keharusannya.
104
Mengaktualisasikan islam dalam hubungan sosial adalah menaburkan rahmat dan kebaikan di tengah-tengah pergaulan hidup yang diawasi dengan mewujudkan sikap mencintai sesama manusia yang merupakan bentuk nyata kecintaan kepada Allah. Mencintai
dan
merealisasikan
dalam
bentuk
pengorbanan
yakni
memberikan apa yang terbaik yang dimiliki secara tulus, agar dapat memberi manfaat bagi lingkungan masyarakat sekelilingnya. Ketulusan ini hanya mungkin ada dalam penyerahan dan penerimaan secara total terhadap kebesaran Allah. Nabi bersabda: “hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya, kalaupun engkau tidak melihatnya Allah melihat engkau”. Dengan demikian, hubungan manusia dengan masyarakat adalah atas dasar cinta sebagai manifestasi cinta kita kepada Allah. Al-Quran memperingatkan orang-orang yang beriman dari mengutamakan kepentingan dan hubungan sosial atas kepentingan agama, Allah berfirman: “Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, peniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS. At-Taubah: 24) Dari ayat tersebut islam membangun masyarakat atas dasar cinta dan saling menolong. Dalam sebuah hadits: “Perumpamaan orang-orang mukmin, dalam cinta, kasih sayang, kedekatan hubungan mereka, seperti satu badan. Jika ada anggota badan yang sakit, maka seluruh badan akan merespon dengan kesiagaan dan demam”. (HR Muslim)
105
Cinta, perasaan kasih sayang dan menyambung hubungan silaturahmi membentuk dasar hubungan masyarakat muslim, tua atau muda, kaya atau miskin dan pemimpin atau rakyat jelata. Ajaran islam mendukung konsep sosialisme cinta dalam suatu komunitas masyarakat sehingga disebutkan dalam sebuah hadits: “Tidaklah kalian benar-benar beriman sehingga ia mencintai bagi saudaranya, seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR Bukhari Muslim. “Allah akan menolong hamba-Nya sepanjang hamba-Nya itu menolong saudaranya”. (HR Muslim) Dengan demikian, hubungan masyarakat yang didasari atas cinta dan kasih sayang karena Allah semata sangat penting untuk terus dipupuk dalam setiap pribadi manusia.
D. Perilaku Moral Menurut Ajaran Islam Jika kita mengambil ajaran agama islam, maka hal itu adalah akhlak (moral), sehingga ajarannya yang terpokok adalah untuk memberikan bimbingan moral. Nabi Muhammad Saw bersabda “sesungguhnya saya diutus oleh Tuhan adalah untuk menyempurnakan akhlak”. (HR. Ahmad). Beliau sendiri memberikan contoh dari akhlak yang mulia diantara sifat-sifat beliau yang terpenting adalah : benar, jujur, adil dan dipercaya. Mengingat bahwa agama secara konseptual dapat memberikan makna bagi kehidupan siapa saja khususnya bagi remaja selama diyakini bahwa agama memiliki fungsi sosial dalam kehidupan yang dinamis.
106
Dengan demikian perilaku yang harus dicerminkan oleh umat manusia khususnya remaja yaitu perilaku yang sesuai dengan syariat islam dan prinsipprinsip ajaran islam yang telah dianjurkan dalam Al-Quran maupun Hadits. Perilaku moral tersebut diantaranya sebagai berikut: 1. Bertutur kata yang baik, sopan dan benar, karena kebenaran itu memimpin kepada kebaktian, sedangkan kebaktian membawa ke surga. 2. Tidak merasa ujub (bangga) terhadap dirinya sendiri dan tidak bersandarkan kepada kekuatannya sendiri. 3. Selalu rendah hati (tawadhu), lapang dada, berjiwa mulia, sabar, tabah dan teguh tidak menghabiskan waktu dengan sia-sia dan tidak mendahulukan emosinya daripada akal. 4. Bergaul dengan teman yang baik dan berkarakter mulia, supaya bisa berimbas (menyimpati) kebaikan dan karakter yang mulia tersebut. 5. Selalu menutup aurat seperti firman Allah: “Tuhan mengadakan pakaian untuk manusia gunanya penutup aurat dan menjadi perhiasan”. Dengan pakaian ini membedakan antara manusia dengan hewan. Disamping perhiasan yang lahir untuk menutup aurat dan untuk perhiasan pakaian batin, perhiasan untuk batin atau jiwa yaitu dengan bertaqwa kepada Allah. Pakaian taqwa itu lebih berharga, kedua pakaian itu hendaklah sama-sama dipakai. Tidak ada harganya pakaian lahir, kalau pakaian batin dan jiwa tidak ada 6. Memperbanyak dzikir (mengingat) kepada Allah sebab dzikir kepada Allah adalah benteng yang kokoh, melapangkan dada, menentramkan hati,
107
menghubungkan kita dengan Allah dan mengusir syaitan. “ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”. (Ar-Ra’da: 28) 7. Selalu membaca Al-Quran karena itu tali Allah yang kokoh jalan yang lurus, cahaya yang memberi petunjuk dan kehidupan yang bergelora. AlQuran itu meluruskan hati dan memperbaiki jiwa. 8. Memelihara amalan-amalan fardhu dan memperbanyak amalan-amalan sunnat. Dalam hadits qudtsi tersebut: “tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu lebih Aku sukai daripada (dengan) apa yang Aku wajibkan atasnya dan senantiasa hambaku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnat sehingga Aku mencintainya”. Ibadah-ibadah mempunyai pengaruh yang besar dalam membersihkan kotoran-kotoran hati, memperbaiki jiwa dan meneguhkan pendirian atas kebenaran. 9. Selalu menjauhi hal-hal yang merusak selama ada jalan ke arah itu serta tidak bersikap lunak dan baik terhadap pelaku-pelaku kebatilan dalam soal-soal akidah dan syari’ah dan tidak merestui perbuatan sesat dan merusak. 10. Selalu berbuat baik kepada orang tua, menghormati dan menghargainya serta menghormati dan menghargai orang lain. Dari contoh-contoh perbuatan yang sesuai dengan ajaran islam tersebut diatas dapat diperkuat dengan sebuah keterangan yang terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Lukman yang artinya “wahai anaku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang
108
demikian itu termasuk perkara yang penting (31: 17)” selain itu “dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri (31: 18), serta “dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (31: 19). Itulah ayat-ayat Al-Quran yang menyuruh kita agar tetap rendah hati dan jangan sombong serta untuk selalu menjalankan amar makruf nahi munkar. Islam menggolongkan akhlak kedalam dua golongan yaitu, yang pertama, akhlak Rabbani, berupa penyatuan hubungan dengan Allah dan kedalaman taqwa kepada-Nya, seperti ikhlas bagi-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharap rahmatNya, takut adzab-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, sabar dalam menerima cobaanNya, ridho kepada qada-Nya, mencintai-Nya. Yang kedua, akhlak insan berupa hubungan horizontal atas sesama manusia yaitu diantaranya saling menolong sesuai dengan hadits “Allah akan menolong hamba-Nya sepanjang hamba-Nya itu menolong saudaranya”. (HR Muslim) Selain tolong menolong manusia juga diperintahkan untuk memberikan makan kepada anak yatim sehingga bias merasakan keadaan anak yatim tersebut, dengan adanya sikap empati maka manusia akan selalu bersyukur kepada Allah atas semua nikmat yang telah diberikan kepadanya berupa kenikmatan yang tak terhingga. Islam juga mengajarkan kepada kita untuk selalu memupuk silaturahmi antara sesama. Baik itu dalam hal pertemanan maupun pergaulan, kesemuanya itu
109
telah diatur tatacaranya dalam islam. Teman adalah tali yang mempunyai dua ujung tak mungkin kita dapat menghubungkan dua orang yang tidak ada hubungannya dengan kita. Terhadap kawan, kita harus memberi sebanyak kita menerima toleransi, kasih saying, humor, kepedulian dan lain-lain. Manusia berada di jalan seorang teman karib, karenanya setiap orang harus memperhatikan dengan siapa ia berteman dan bergaul. Orang-orang islam diharapkan tidak bergaul bebas dengan orang-orang yang menganggap agama sebagai permainan. Jika muslim melihat kejahatan dalam suatu kelompok, dan ia mampu melakukan sesuatu untuk memperbaikinya, maka ia wajib melakukan sedapat mungkin. Kalau ia tidak dapat mengatasinya, lebih baik menghindar dan menjauh. Ini sering diterapkan di sekolah atau dijalanjalan. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi “Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah mereka dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri…” (QS 6: 70) Itulah ayat yang menyuruh kita untuk mencari teman dan bergaul dengan orang-orang yang tidak menjerumuskan kita ke dalam kenistaan atau dosa yang akan mengantarkan kita ke dalam api nerakanya Allah. Kita harus bisa memilih teman bergaul yang bias membuat kita selalu ingat kepada Allah (orang yang baik-baik). Dengan memperhatikan ajaran Al-Quran, nyatalah bahwa yang menjadi pokok dalam kehidupan agama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
110
Esa. Dengan keimanan kita yang kuat kepada Allah, dan menjalankan syari’at islam tentunya akan membentuk budi yang luhur, jujur dan benar dalam perkataan dan tindakan, bisa mengontrol perilaku individu dan berpikir positif. Dengan demikian akan terbentuklah manusia yang bermoral. Karena setiap orang yang bermoral belum tentu berakhlak, akan tetapi setiap orang yang berakhlak pasti bermoral.