BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1. Landasan Teori II.1.1. Definisi CSR A+ CSR Indonesia mendefinisikan CSR sebagai berikut: upaya perusahaan untuk meminimumkan dampak negatif, mengkompensasi dampak negatif residual, dan memaksimumkan dampak positif operasinya dalam ranah ekonomi, sosial, dan lingkungan, terhadap seluruh pemangku kepentingan, untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. (www.csrindonesia.com) Definisi CSR menurut Johnson and Johnson (2006) dalam Hadi (2011: 46) adalah sebagai berikut: “Corporate social responsibility (CSR) is about how companies manage the business processes to produce an overall positive impact on society”. Definisi tersebut menekankan pada bagaimana cara perusahaan mengelola operasinya secara keseluruhan yang memiliki dampak positif bagi dirinya dan lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan harus mengelola operasi bisnisnya dengan menghasilkan produk yang berpengaruh secara positif terhadap masyarakat dan lingkungan. The World Business Council for Sustainable Development yang diterjemahkan oleh Solihin (2009) memberikan definisi CSR sebagai berikut: “Komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk berperilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, sementara pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup dari para pekerja dan keluarganya demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat secara luas”. (h.28) Sementara itu, Committee Draft ISO 26000 Guidance on Social Responsibility (2008, draft 3) memberikan definisi CSR sebagai berikut: 8
Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent, and ethical behaviour that contributes to sustainable development, including health and the welfare of society, takes into account the expectations of stakeholders, is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behavior, and is integrated throughout the organization and practised in its relationships. Banyaknya keragaman dari definisi CSR dapat dikatakan bahwa belum terdapat keseragaman mengenai pengertian CSR, namun dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan komitmen perusahaan yang secara berkelanjutan untuk mensejahterakan lingkungannya dengan tidak mengabaikan kepentingan para stakeholders serta dapat memberikan kontribusi yang baik bagi dunia usaha maupun pembangunan.
II.1.2. Triple Bottom Line John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business” mengembangkan konsep triple bottom line yang merupakan perluasan dari konsep akuntansi tradisional yang hanya memuat single bottom line yakni hasil-hasil keuangan dari aktivitas ekonomi perusahaan. Secara lebih rinci, Elkington (Solihin, 2009) menjelaskan triple bottom line sebagai berikut: “The three lines of the triple bottom line represent society, the economy and the environment. Society depend on the global ecosystem, whose health represents the ultimate bottom line. The three lines are not stable they are in constant flux, due to social, political, economic and environmental pressures, cycle and conflicts.” (h.30) Elkington membagi CSR ke dalam tiga fokus yaitu profit, planet, dan people (3P). Perusahaan yang baik tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi 9
(profit) tapi juga memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) serta memberikan kontribusi positif dalam mensejahterakan masyarakat (people). Mengacu pada Wibisono (2007), aspek yang terdapat dalam Triple Bottom Line, yaitu: 1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk beroperasi dan terus berkembang. Ini merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama kegiatan usaha setiap perusahaan. 2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak hanya berfokus pada kepentingannya saja untuk memperoleh keuntungan, tapi juga peduli terhadap masyarakat sekitar dimana perusahaan menjalankan kegiatan usahanya. 3. Planet. Perusahaan peduli tidak hanya lingkungan sosial tapi juga lingkungan hayati. Jika keberadaan perusahaan ingin tetap bertahan maka harus disertakan pula tanggung jawab kepada lingkungan. Perusahaan tidak hanya mementingkan untuk mendapatkan keuntungan sebanyakbanyaknya tanpa melakukan upaya pelestarian lingkungan.
II.1.3. Manfaat Corporate Social Responsibility Menurut Wikipedia (2008) dalam Suharto (2008), terdapat empat manfaat CSR terhadap perusahaan, yaitu: 1. Brand differentiation. Dalam persaingan pasar yang semakin kompetitif, CSR dapat memberikan citra perusahaan yang baik di mata publik dan akan 10
menciptakan customer loyalty. The Body Shop dan BP (dengan bendera “Beyond Petroleum”), seringkali dianggap memiliki image unik terkait isu lingkungan. 2. Human resources. Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat wawancara, calon karyawan yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang CSR dan etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam bekerja. 3. License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong pemerintah dan publik memberi ”izin” bisnis. Karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat. 4. Risk management. Manajemen risiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. 5. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun dapat runtuh dalam sekejap oleh skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun budaya ”doing the right thing” penting bagi perusahaan dalam mengelola risiko-risiko bisnis yang terjadi.
II.1.4. Prinsip Corporate Social Responsibility Warhust (1998) seperti yang ditulis oleh Wibisono (2007) mengajukan prinsip-prinsip CSR, sebagai berikut:
11
1. Prioritas korporat Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi perusahaan dan penentu utama pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, perusahaan dapat membuat kebijaksanaan, program, dan praktik dalam menjalankan segala aktivitas perusahaan yang tidak dapat lepas dari tanggung jawab sosial. 2. Manajemen terpadu Mengintegrasikan kebijakan, program, dan praktik ke dalam setiap kegiatan bisnis sebagai unsur manajemen dalam fungsi manajemen. 3. Proses perbaikan Secara berkesinambungan memperbaiki kebijakan, program, dan kinerja sosial korporat berdasarkan temuan riset mutakhir dan memahami kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut. 4. Pendidikan karyawan Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta memotivasi karyawan. 5. Pengkajian Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup fasilitas atau meninggalkan lokasi pabrik. 6. Produk atau jasa Mengembangkan produk dan jasa yang tidak berdampak negatif secara sosial. 7. Informasi publik Memberi informasi dan (bila diperlukan) mendidik pelanggan, distributor, dan publik tentang penggunaan yang aman, pembuangan produk, dan begitu pula dengan jasa. 8. Fasilitas dan operasi Mengembangkan, merancang, dan mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial dan lingkungan. 9. Penelitian Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku, produk, proses, emisi, dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. 10. Prinsip pencegahan Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan produk atau jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir, untuk mencegah dampak sosial yang bersifat negatif. 12
11. Kontraktor dan pemasok Mendorong penggunaan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial korporat yang dijalankan kontraktor dan pemasok, disamping itu bila diperlukan mensyaratkan perbaikan dalam praktik bisnis yang dilakukan kontraktor dan pemasok. 12. Siaga menghadapi darurat Menyusun dan merumuskan rencana menghadapi keadaan darurat dan bila terjadi keadaan bahaya bekerja sama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang, dan komunitas lokal. Sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul. 13. Transfer best practice Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri dan sektor publik. 14. Memberi sumbangan Sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah, dan lintas departemen pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial. 15. Keterbukaan Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja dan publik, mengantisipasi dan memberi respons terhadap potential hazard, dan dampak operasi, produk, limbah, atau jasa. 16. Pencapaian dan pelaporan Mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakana audit sosial secara berkala, dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat, dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi tersebut pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja, dan publik. (h.39-h.41)
II.1.5. Standard G3 GRI Standar merupakan seperangkat aturan yang memberikan panduan atau pedoman bagi pihak yang berkepentingan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan aturan yang terdapat pada pedoman tersebut. Dengan dasar ini, dibuatlah suatu standar yang diperlukan untuk mengatur kegiatan CSR perusahaan. Standar ini dikenal dengan Global Reporting Initiative atau G3 GRI. 13
Standar tersebut dimaksudkan untuk memberikan kerangka kerja yang berlaku umum untuk melaporkan kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial organisasi. Kerangka kerja ini didesain dan digunakan oleh seluruh organisasi dengan ukuran, sektor, dan lokasi yang berbeda. Selain itu, G3 GRI merupakan panduan perusahaan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Gambar II.1 The GRI Reporting Framework Berdasarkan gambar tersebut, terdapat acuan atau panduan bagaimana pelaporan CSR dan apa yang harus dilaporkan dalam pelaksanaan CSR. Pada pelaporan CSR terdapat prinsip dan panduan yang berkaitan dengan kualitas informasi dan konten yang diungkapkan dalam pelaporan CSR perusahaan. Di dalam pengungkapan CSR juga terdapat standar pengungkapan yang digunakan untuk mengidentifikasi informasi yang relevan dan material yang akan diungkapkan.
14
Indikator yang digunakan pada standar G3 GRI, yaitu: 1.
Ekonomi. Indikator ini meliputi nilai ekonomi yang memberikan manfaat langsung bagi perusahaan dan dampak dari kondisi ekonomi yang akan berpengaruh pada keberlanjutan usaha secara keseluruhan.
2.
Sosial. Indikator ini berfokus pada kepedulian perusahaan terhadap kesejahteraan karyawan dan masyarakat.
3.
Lingkungan. Indikator ini berfokus pada kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hayati seperti ekosistem. (www.globalreporting.com)
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat pelaporan CSR
berkaitan
dengan kualitas infomasi yang terdapat dalam pelaporan CSR menurut G3 GRI (2006, G3 Guidelines) adalah sebagai berikut: 1.
Materialitas. Informasi dalam laporan harus mencakup indikator yang mencerminkan dampak signifikan ekonomi, lingkungan, dan sosial organisasi, atau secara substansial akan mempengaruhi penilaian dan keputusan dari stakeholders.
2.
Stakeholder Inclusiveness. Pelaporan harus mengidentifikasi stakeholder dan menjelaskan bagaimana laporan tersebut direspon dengan harapan dan kepentingan yang wajar.
3.
Sustainability Context. Laporan ini harus menyajikan kinerja organisasi dalam konteks keberlanjutan yang lebih luas.
4.
Kelengkapan. Mencakup topik yang material, indikator, dan definisi batas laporan harus cukup mencerminkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial yang signifikan dan memungkinkan para stakeholder untuk menilaikinerja organisasi dalam periode pelaporan. 15
II.1.6. Standar Akuntansi CSR Ikatan Akuntan Indonesia mengeluarkan suatu Standar Akuntansi Keuangan yang telah mengakomodasi tentang akuntansi pertanggungjawaban sosial atau CSR, yaitu dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 paragraf 9 : ”Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri di mana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”.
Selain standar tersebut, PSAK-IAI juga mengeluarkan ISAK 3 tentang interpretasi tentang perlakuan akuntansi atas sumbangan dan bantuan. Interpretasi tersebut dikeluarkan atas PSAK 21 tentang akuntansi ekuitas paragraf 33 yang menyatakan bahwa saldo laba tidak boleh dibebankan atau dikredit dengan pospos yang seharusnya diperhitungkan pada laporan laba rugi tahun berjalan. Pada ISAK 3, apabila biaya tanggung jawab sosial tidak dapat dikaitkan dengan perolehan suatu aktiva, maka biaya tersebut harus dibebankan pada saat terjadinya dengan menggunakan dasar akrual. Jika biaya tanggung jawab sosial tersebut terkait dengan perolehan aktiva tetap baik berwujud maupun tidak berwujud, perusahaan harus melakukan kapitalisasi dan mencatatnya sebagai bagian harga perolehan aktiva tetap.
II.1.7. Pelaporan CSR Perkembangan CSR yang semakin signifikan membuat perusahaan berusaha untuk sebaik mungkin melakukan pelaporan CSR. Di Indonesia sendiri, pelaporan CSR diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74 ayat 1. Undang-undang ini menyatakan 16
setiap perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam konteks global, selain G3 GRI terdapat beberapa standar yang mengatur tentang pelaporan CSR di antaranya yaitu: 1. ISO 26000 Guidance on Social Responsibility. Standar ini berisi pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial suatu organisasi yang mencakup semua sektor badan publik atau badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju. 2.
Accountability’s Aa1000 Standard,
yang berdasar pada prinsip triple
bottom line yang digagas oleh John Elkington. 3. Social Accountability International’s SA800 Standards. Standar ini didasarkan pada norma-norma hak asasi manusia internasional dan hukum tenaga kerja nasional yang melindungi dan memberdayakan semua personil dalam ruang lingkup kendali dan pengaruh perusahaan, yang memproduksi produk atau menyediakan jasa bagi perusahaan, termasuk personil yang dipekerjakan oleh perusahaan itu sendiri, supplier, sub kontraktor, dan subsupplier. 4. UN Global Compact. Standar ini memiliki indikator yang meliputi hak asasi manusia, lingkungan, labor standards, dan anti korupsi.
5. Standar Kinerja IFC. Dibuat terutama untuk mengelola projek kategori A “berpotensi signifikan mempunyai dampak negatif yang beragam dan tak
terbalikkan.” Standar ini juga digunakan investor untuk mengetahui risiko sosial dan lingkungan. 17
II.1.8. Earnings Response Coefficient (ERC) Informasi laba seringkali direspon investor sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan investasi dan mengetahui kinerja perusahaan. Namun demikian, informasi laba saja tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan karena terdapat kemungkinan bahwa informasi laba tersebut menimbulkan bias. Scott (2003) mendefinisikan earnings response coefficient (ERC) sebagai berikut: “An earnings response coefficient measures the extent of a security’s abnormal market return in response to the unexpected component of reported earnings of the firm issuing that security.”(p.148) Mengacu pada Scott (2003) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ERC atau respon pasar, yaitu: 1. Beta atau risiko Beta sangat mempengaruhi investor karena semakin besar risiko yang ada maka semakin tidak pasti return yang akan didapat investor. Ini juga menyebabkan reaksi investor terhadap unexpected earnings perusahaan akan semakin rendah. 2. Struktur modal Perusahaan yang memiliki tingkat hutang yang tinggi (high levered) akan semakin baik karena laba akan mengalir kepada kreditor (pemberi pinjaman) dibandingkan kepada pemegang saham. Dengan demikian, ERC akan lebih rendah pada perusahaan yang tingkat hutangnya tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tingkat hutangnya rendah (low levered). 18
3. Persistensi laba Jika persistensi laba tinggi maka ekspektasi terhadap laba di masa yang akan datang juga tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang persistensi labanya rendah. Jadi, semakin tinggi persistensi laba maka semakin tinggi ERC. Ini menunjukkan perusahaan dapat mempertahankan laba dari waktu ke waktu. 4. Peluang pertumbuhan Peluang
pertumbuhan
dapat
mempengaruhi
perusahaan
dalam
menghasilkan laba. Jika terjadi peluang pertumbuhan maka laba atau profitabilitas di masa datang akan lebih besar sehingga ERC akan lebih tinggi atau berhubungan positif dengan pertumbuhan. 5. Informativeness of price Informativeness of price dapat mempengaruhi nilai perusahaan di masa datang. Informativeness of price diproksi berdasarkan ukuran perusahaan, semakin besar ukuran perusahaan semakin banyak informasi publik yang tersedia mengenai perusahaan tersebut. Dengan demikian, semakin tinggi informativeness of price maka ERC akan semakin rendah. (p.148-p.154)
II.1.9. Persistensi Laba Laba merupakan ukuran penting dalam bisnis perusahaan. Tanpa adanya laba bisnis perusahaan tidak akan berjalan dengan baik. Dalam Murwaningsari (2006), persistensi laba adalah revisi laba yang diharapkan di masa datang (expected future earnings) yang diimplikasikan oleh inovasi laba tahun berjalan
19
sehingga persistensi laba dilihat dari inovasi laba tahun berjalan yang dihubungkan dengan perubahan harga saham. Semakin tinggi ERC maka laba perusahaan akan lebih persisten di masa datang. Persistensi dapat diukur berdasarkan laporan keuangan secara keseluruhan atau berdasar komponen laporan keuangan. Terdapat tiga komponen yang berbeda, yaitu: 1. Permanen, diharapkan terjadi dengan pasti 2. Transitory, mempengaruhi pendapatan atau laba pada tahun yang bersangkutan tapi tidak di masa yang akan datang 3. Price-irrelevant, tidak memiliki persistensi (persistence to zero)
II.1.10. Struktur Modal (Leverage) Leverage merupakan komponen penting dalam perkembangan bisnis perusahaan. Leverage dapat didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan semua kewajibannya kepada pihak lain. Perusahaan yang mempunyai hutang yang lebih banyak pada struktur modalnya akan mempunyai agency cost yang lebih besar. Tingkat leverage yang tinggi akan menguntungkan kreditor dibandingkan pemegang saham, sehingga semakin baik kondisi laba maka semakin negatif respon pemegang saham. Pemegang saham menganggap bahwa laba tersebut hanya akan menguntungkan kreditor.
20
II.1.11. Perusahaan High Profile dan Low Profile Dalam Zuhroh dan Sukmawati (2003), tipe industri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Tipe Industri High Profile Pada umumnya perusahaan high profile merupakan perusahaan yang memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi. Hal ini disebabkan karena perusahaan tersebut memperoleh sorotan dari masyarakat ketika aktivitas operasi yang dilakukan mengalami kesalahan atau adanya kelalaian yang berdampak negatif pada lingkungan sekitarnya. Adapun perusahaan yang termasuk dalam industri atau perusahaan high profile antara lain perusahaan perminyakan
dan
pertambangan,
kimia,
hutan,
kertas,
otomotif,
penerbangan, agribisnis, tembakau dan rokok, produk makanan dan minuman,
media
dan
komunikasi,
energi,
engineering,
kesehatan,
transportasi, serta pariwisata. 2. Tipe Industri Low Profile Perusahaan low profile adalah perusahaan yang tidak terlalu mendapatkan perhatian dari masyarakat ketika aktivitas operasi perusahaan mengalami kesalahan. Perusahaan low profile seringkali ditoleransi oleh masyarakat ketika aktivitasnya mengalami kegagalan atau kesalahan. Perusahaan atau industri yang termasuk tipe low profile yaitu perusahaan bangunan, perbankan dan keuangan, real estate dan property, retailer, tekstil, dan produk tekstil, supplier peralatan medis, produk personal, serta produk rumah tangga.
21
II.2. Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan CSR telah banyak dilakukan. Berikut ini adalah penelitian terdahulu: Tabel II.1 Penelitian Terdahulu 1.
Nama
Widiastuti (2002)
Judul
Pengaruh luas ungkapan sukarela dalam laporan tahunan terhadap earnings response coefficient (ERC) variabel dependen (CAR), variabel independen (UE), dan variabel kontrol (persistensi laba, risiko sistematis (BETA), growth, leverage, dan size) Luas ungkapan sukarela berpengaruh negatif terhadap ERC Pada perusahaan yang terdaftar di BEJ tahun 1995 Zuhroh dan Sukmawati (2003) Analisis pengaruh luas pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan terhadap reaksi investor Pengungkapan sosial dan reaksi investor Pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan yang go public terbukti berpengaruh terhadap volume perdagangan saham bagi perusahaan yang masuk kategori high profile Studi kasus pada perusahaan-perusahaan high profile di BEJ Sayekti dan Wondabio (2007) Pengaruh CSR disclosure terhadap earning response coefficient Variabel independen (CSRI dan UE), variabel dependen (CAR), dan variabel kontrol (BETA dan PBV) BETA berpengaruh negatif terhadap ERC sedangkan PBV berpengaruh positif. Studi empiris pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta Hidayati dan Murni (2009) Pengaruh pengungkapan corporate social responsibility (CSR) terhadap earnings response coefficient (ERC) Variabel independen (CSRI dan UE), variabel dependen (CAR), dan variabel kontrol (BETA, growth, dan leverage) Pengungkapan informasi CSR berpengaruh negatif terhadap ERC Pada perusahaan high profile yang terdaftar di BEI tahun 2006
Variabel
2.
Hasil Keterangan Nama Judul Variabel Hasil
3.
Keterangan Nama Judul Variabel Hasil Keterangan
4.
Nama Judul Variabel Hasil Keterangan
22
Penelitian
terdahulu
mengenai
pengaruh
pengungkapan
CSR
atau
pengungkapan sukarela terhadap ERC menunjukkan hasil yang negatif. Pada penelitian Widiastuti (2002) memprediksikan luas ungkapan sukarela berpengaruh negatif terhadap ERC namun pada pengujian studi empiris menunjukkan hasil positif dari luas pengungkapan sukarela terhadap ERC. Ini menunjukkan bahwa investor tidak yakin dengan informasi yang diungkapkan manajemen dan informasi yang diungkapkan tersebut tidak cukup memberikan informasi tentang expected future earnings sehingga investor hanya akan menggunakan informasi laba (Widiastuti, 2002)
II.3. Pengembangan Hipotesis Hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Corporate Social Responsibility
ERC
(CSR)
Gambar II.2. Model Penelitian CSR merupakan bentuk pertanggungjawaban perusahaan yang diukur dengan indikator kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pengungkapan CSR sangat penting bagi perusahaan dan akan berpengaruh bagi perusahaan di kemudian hari. Pengungkapan CSR timbul karena adanya dampak negatif dari 23
industri. Dampak negatif ini memiliki tingkat risiko yang tinggi terutama pada industri yang aktivitas operasinya bersinggungan dengam sumber daya alam, dalam hal ini industri tersebut termasuk kategori high profile. Laba merupakan informasi penting dalam laporan keuangan yang banyak mendapatkan perhatian. Namun, laba sendiri memiliki keterbatasan yang mungkin dapat dipengaruhi oleh manipulasi atau penghitungan yang salah sehingga diperlukan informasi lain selain laba. Informasi laba pada penelitian ini menggunakan earnings response coefficient (ERC). Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Ho: Pengungkapan aktivitas CSR (CSR disclosure) pada laporan tahunan tidak berpengaruh terhadap ERC pada perusahaan high profile yang terdaftar di BEI periode 2006-2009. Ha: Pengungkapan aktivitas CSR (CSR disclosure) pada laporan tahunan berpengaruh terhadap ERC pada perusahaan high profile yang terdaftar di BEI periode 2006-2009.
24