BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Pembelajaran Konstruktivisme Pembelajaran kontruktivisme berpijak pada pemikiran bahwa semua pengetahuan dikontruksikan, bukan dipersepsikan langsung oleh panca indera. Hal ini senada dengan pendapat Von Glaserfeld yang mengatakan bahwa konstruktivisme berakar kuat pada asumsi bahwa pengetahuan terbentuk dalam otak manusia dan dibangun berdasarkan pengalaman sendiri, sehingga pengetahuan tersebut bersifat subjektif (Muijs & Reynolds, 2008: 95-96). Dengan kata lain, pembelajaran kontrukstivisme berpandangan bahwa peserta didik sebaiknya diberikan kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuannya berdasarkan apa yang telah mereka pelajari, sehingga dalam hal ini pendidik hanyalah sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Pada dasarnya, kontruktivisme dalam pembelajaran adalah sebuah upaya untuk membuat sebuah lingkungan belajar yang dapat membuat peserta didik menjadi aktif. Menurut Geary (Schunk, 2012: 231), a key assumption of constructivism is that people are active learners and develop knowledge for themselves. Dalam pendapat tersebut setidaknya ada dua poin utama yang menjadi ciri dari pembelajaran kontruktivisme, yaitu pembelajar yang aktif dan pembangunan pengetahuan secara mandiri. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pembelajaran kontruktivisme bertujuan membuat peserta didik menjadi aktif selama proses pembelajaran, sehingga dapat membangun sendiri pengetahuan terhadap materi yang telah mereka pelajari. Schunk juga mengutip pendapat Burning et al (Schunk, 2012: 231) yang mengatakan bahwa “…teachers should not teach in the traditional sense of delivering instruction to a group of students. Rather, they should structure situations such that learners become actively involved with content through manipulation of materials and social interaction.” Melihat dari pendapat tersebut setidaknya ada tiga hal yang dapat diamati, yaitu (1) proses pembelajaran yang tidak harus dilakukan dengan cara tradisional terhadap satu kelompok siswa, (2)
14
15
guru dapat mengatur sedemikian rupa situasi pembelajaran agar siswa menjadi aktif, dan (3) guru dapat melakukan manipulasi terhadap materi dan interaksi di dalam
kelas.
Dengan
demikian,
dapat
dikatakan
bahwa
pembelajaran
kontruktivisme pada dasarnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran, meskipun terdapat manipulasi yang dilakukan guru dalam materi dan interaksi di kelas. Manipulasi tersebut bukan berarti mengubah konten materi pelajaran, tetapi hanya sebatas pada pengaturan materi dan tata cara interaksi yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konstruktivisme adalah sebuah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dengan membangun sendiri pengetahuan mereka sesuai dengan materi yang telah dipelajari selama proses pembelajaran berlangsung. Dalam proses pembelajaran, peran pendidik adalah untuk membuat lingkungan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, guru mempunyai kesempatan untuk melakukan manipulasi terhadap proses pembelajaran dan materi pelajaran yang akan disajikan kepada peserta didik. Hal ini bertujuan agar peserta didik mampu membangun pengetahuan mereka sesuai dengan tingkat pemahaman masing-masing, sehingga hasil evaluasi pembelajaran dapat memenuhi tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. 2. Pembelajaran Sejarah Lokal Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Dale H. Schunk (2012: 3) mengemukakan definisi bahwa “learning is an enduring change in behavior, or in the capacity behave in a given fashion, which results from practice or other form experience”. Definisi tersebut senada dengan Hamalik (2010: 45) yang mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan dengan terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku. Selain itu, Hilgard dan Brower dalam Hamalik (2013: 45) mengemukakan hal yang senada bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan dalam perbuatan melalui aktivitas, praktek dan pengalaman. Menurut Majid (2013: 4), istilah pembelajaran bermakna sebagai “upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya
16
(effort) dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah sebuah upaya untuk menciptakan suasana yang dapat membuat individu belajar, dengan catatan bahwa upaya tersebut telah direncanakan dengan adanya tujuan yang ingin dicapai. Secara harfiah, sejarah diartikan dengan kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sejarah dapat diartikan sebagai kejadian di masa lampau yang memiliki keunikan tersendiri yang berhubungan dengan manusia. Istilah sejarah dalam bahasa Inggris adalah history yang berasal dari kata historia dalam bahasa Yunani yang berarti informasi atau penelitian yang ditujukan untuk memperoleh kebenaran. Menurut Kochhar (2008: 3-5), sejarah adalah sebuah ilmu yang membahas tentang manusia dalam lingkup ruang dan waktu yang merupakan dialog antara peristiwa masa lampau dan perkembangan masa depan dengan menjelaskan masa kini. Adapun Helius Sjamsuddin (2012: 6) mengemukakan bahwa bahwa sejarah adalah penelitian tentang masa lalu yang berhubungan dengan manusia atau dengan kata lain masyarakat manusia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah sebuah ilmu yang membahas tentang manusia dalam lingkup ruang dan waktu yang berhubungan dengan masyarakat manusia. Secara harfiah pembelajaran sejarah terdiri dari dua kata, yaitu pembelajaran dan sejarah. Pembelajaran didefinisikan sebagai suatu cara, metode atau strategi untuk membuat seseorang belajar. Sejarah dapat diartikan sebagai peristiwa di masa lalu yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, secara sederhana dapat diartikan bahwa pembelajaran sejarah adalah suatu cara, metode atau strategi yang dapat membuat seseorang untuk belajar tentang peristiwa di masa lalu. Menurut Leo Agung dan Sri Wahyuni (2013: 3), pembelajaran sejarah adalah proses kerjasama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada. Potensi yang ada tersebut dibagi menjadi dua sumber, yaitu potensi yang bersumber dalam diri sendiri (internal) dan potensi yang berada di luar diri sendiri (eksternal). Adapun potensi yang berasal dalam diri sendiri seperti minat, bakat, dan kemampuan dasar yang dimiliki individu,
17
sedangkan potensi yang berada di luar diri sendiri seperti lingkungan, sarana, dan sumber belajar yang diupayakan dalam rangka mencapai tujuan belajar tertentu. Menurut Porda (2009:18), pembelajaran sejarah memiliki berperan mengaktualisasikan dua unsur, yaitu pembelajaran dan pendidikan. Unsur pembelajaran yang diaktualisasikan adalah unsur pembelajaran dan pendidikan intelektual,
sedangkan
unsur
pendidikan
yang
diaktualisasikan
adalah
pembelajaran dan pendidikan moral bangsa yang demokratis dan bertanggung jawab kepada masa depan. Sasaran umum yang ingin dicapai dalam pembelajaran sejarah sebagaimana yang dijabarkan oleh Kochhar (2008: 27-38) sebagai berikut: a) mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri b) memberikan gambaran yang tepat tentang konsep waktu, ruang dan masyarakat c) membuat masyarakat mampu mengevaluasi nilai-nilai dan hasil yang telah dicapai oleh generasinya d) mengajarkan toleransi e) menanamkan sikap intelektual f) memperluas cakrawala intelektualitas g) mengajarkan prinsip-prinsip moral h) menanamkan orientasi ke masa depan i) memberikan pelatihan mental j) melatih siswa menangani isu-isu kontroversial k) membantu mencarikan jalan keluar bagi berbagai masalah sosial dan dan perseorangan l) memperkokoh rasa nasionalisme m) mengembangkan pemahaman internasional, dan n) mengembangkan
keterampilan-keterampilan
yang
berguna
seperti
keterampilan menyiapkan media pembelajaran sejarah, membaca dan mendiskusikan isu-isu kontroversial. Secara harfiah, sejarah lokal terdiri dari dua kata, yaitu sejarah dan lokal. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan lokal dengan sesuatu yang terjadi, berlaku atau muncul dalam satu tempat tertentu. Sugeng Priyadi (2012: 6)
18
mengatakan bahwa pengertian lokal tidak berbelit-belit seperti daerah atau regional. Istilah lokal dapat dihubungkan dengan ruang dan waktu yang menyangkut lokalitas tertentu. Lokalitas tersebut tentunya disepakati oleh penulis sejarah atau sejarawan dengan alasan-alasan ilmiah. Alasan tersebut bisa berupa ruang lingkup wilayah tempat tinggal suku, ruang lingkup administratif atau ruang lingkup geografis. Dalam konteks sejarah, maka sejarah lokal dapat diartikan dengan suatu peristiwa di masa lampau yang terjadi dalam ruang lingkup suatu tertentu. Menurut Priyadi (2012: 2), terdapat tiga unsur pengertian sejarah lokal yang membedakan dengan sejarah nasional pada umumnya, yaitu (1) unit administratif politis, (2) unit kesatuan etnis kultural, dan (3) unit administratif sebagai kesatuan etniskultural. Pertama, ruang sejarah lokal dapat diterima apabila berhubungan dengan sejarah politik yang menyangkut dengan wilayah lokal, seperti provinsi, keresidenan, kabupaten, kawedanan, kecamatan dan kelurahan. Kedua, ruang sejarah lokal dapat diterima apabila berhubungan dengan suatu peristiwa yang berkaitan dengan identitas suatu etniskultural, seperti kerajaan yang dibangun dalam ruang lingkup suatu etnis. Ketiga, ruang lingkup sejarah lokal dapat diterima apabila berhubungan dengan unit administratif sebagai kumpulan etniskultural, seperti suatu wilayah yang dibentuk dengan kesepakatan sejumlah etniskultural yang mendiami daerah tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sejarah lokal adalah suatu peristiwa di masa lalu yang terjadi dalam ruang lingkup tertentu. Ruang lingkup tersebut dapat berupa suatu unit administratif politis, unit kesatuan etniskulturan atau unit administratif sebagai kesatuan etnis-kultural. Sejarah lokal merupakan bagian dari sejarah nasional. Dengan kata lain, sejarah lokal selalu berada dalam unit yang lebih kecil dan spesifik dalam ruang lingkup yang lebih kecil dibandingkan sejarah nasional yang memiliki ruang lingkup lebih luas. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa pembelajaran sejarah lokal pada dasarnya terdiri dari dua frasa, yaitu pembelajaran sejarah dan sejarah lokal. Berpijak pada uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan definisi dari pembelajaran sejarah lokal adalah suatu cara, metode atau strategi yang membuat seseorang dapat belajar dari peristiwa masa lalu yang berada dalam
19
ruang lingkup tertentu. Pada dasarnya pembelajaran sejarah lokal bertujuan untuk menawarkan cara untuk memahami peristiwa masa lalu yang terjadi dalam satu wilayah tertentu guna menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi di daerah tersebut. Dengan demikian, pembelajaran sejarah lokal seyogyanya dapat diajarkan dalam ruang lingkup yang terbatas dalam suatu daerah tertentu. 3. Mobile learning a. Definisi Mobile learning secara harfiah terdiri dari dua kata, yaitu mobile yang berarti bergerak dan learning yang berarti belajar. Dalam konteks pendidikan, mobile learning didefiniskan sebagai pembelajaran mobile, dalam artian pembelajaran tersebut dapat leluasa begerak tanpa terikat dengan tempat dan waktu. Menurut H. Crompton mobile learning adalah “learning across multiple contexts, through social and content interactions, using personal electronic devices” (Wikipedia, 2015). Secara sederhana, dapat didefinisikan bahwa mobile learning adalah pembelajaran yang menggunakan berbagai konteks pembelajaran, baik sosial maupun interaksi materi menggunakan peralatan elektronik pribadi. Dalam hal ini, perangkat elektronik tersebut adalah perangkat selular seperti handphone dan smartphone. Menurut El-Hussein & Cronje (2010: 20), mobile learning adalah “any type of learning that takes place in learning environments and spaces that take account of the mobility of technology, mobility of learners and mobility of learning”. Mobile learning dalam proses pembelajaran secara sederhana dapat diartikan dengan penggunaan perangkat mobile dalam proses pembelajaran. Perangkat ini seringkali dihubungkan dengan penggunaan handphone melalui Short Message Sevice (SMS) dan smartphone yang menggunakan jaringan internet. Mobile learning dapat didefinisikan sebuah tipe e-learning (electronic learning) yang menyampaikan konten pembelajaran dan material pendukung melalui perangkat komunikasi (Brown, 2005). Senada dengan itu, Traxler (dalam Hanafi dan Samsudin, 2012) menggambarkan bahwa mobile learning sebagai pengaturan hubungan dan interaksi menggunakan perangkat komunikasi di kelas, baik pada saat pembelajaran kolaboratif maupun sebagai panduan pembelajaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mobile learning adalah suatu tipe
20
pembelajaran yang menggunakan perangkat komunikasi sebagai wahana pembelajaran, baik digunakan sebagai media maupun sebagai alat untuk memandu proses pembelajaran. b. Perkembangan Mobile learning Mike Sharples dalam makalahnya yang berjudul Future Gazing for Policy Makers yang dipresentasikan dalam Seminar Becta di BT Government Innovation Centre, UK menjelaskan bahwa terdapat
tiga
fase
dalam
perkembangan mobile learning yang memiliki karakteristik berikut: (1) fokus pada perangkat; (2) fokus pada pembelajaran di luar kelas; dan (3) fokus pada pergerakan (mobility) pembelajar. Perkembangan fase mobile learning tersebut dipengaruhi oleh perkembangan perangkat (device) dan perkembangan teknologi seperti internet dan sistem operasi. Perkembangan perangkat ditandai dengan berkembanganya perangkat dari cellphone (ponsel), Personal Digital Assistant (PDA), tablet dan smartphone. Adapun perkembangan teknologi ditandai dengan munculnya sistem operasi yang dimulai dari Java, Symbian, iOS, Android dan Windows, sedangkan perkembangan internet ditandai dengan perkembangan teknologi GSM, CDMA, HSDPA dan terakhir LTE. (Pachler, et al, 2010: 30) Fase pertama dalam perkembangan mobile learning dimulai dengan eksperimen tentang penggunaan mobile device dalam pembelajaran yang terjadi pada pertengahan 90-an. Fase pertama ini fokus pada pengembangan perangkat yang dapat digunakan dalam pembelajaran atau pelatihan, seperti PDA, tablet, dan ponsel. Fase pertama ini dapat dilakukan secara produktif dengan memanfaatkan perangkat dan teknologi seperti e-book, respon kelas (classroom response system), pengunaan laptop di ruang kelas, penggunaan data perangkat (data logging devices) dan penggunaan objek pembelajaran yang dapat digunakan kembali (reusable learning object). Fase kedua ditandai dengan penggunaan perangkat dalam pembelajaran di luar kelas. Dalam fase ini pembelajaran dapat berupa karyawisata, kunjungan museum, peningkatan kemampuan dan organisasi pembelajaran individu. Adapun fase ketiga perkembangan mobile learning ditandai dengan perkembangan dari segi pergerakan (mobility) pembelajar, desain atau pendekatan dalam ruang belajar, baik pembelajaran informal maupun pembelajaran sepanjang hidup. Dalam fase ketiga ini, terdapat tiga jenis model
21
mobile learning, yaitu mixed reality learning, context-sensitive learning dan ambient learning (Pachler, et al, 2010: 30-41) Pada fase ketiga dalam perkembangan mobile learning, pembelajaran lebih menitikberatkan pada pengembangan konten yang disandingkan dengan kemampuan teknologi dalam penggunaan ruang belajar. Pertama, mixed reality learning pada dasarnya adalah merealisasikan tujuan pembelajaran dengan cara membuat pembelajar ikut berpartisipasi dalam lingkungan media pembelajaran daripada hanya sekedar mengkonsumsi konten media tersebut. Dalam hal ini, pembelajar memiliki kesempatan untuk memilih konten yang dipelajari dalam rangka membangun kerangka berpikirnya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kedua, context-sensitive learning adalah pemaparan area belajar yang dapat memberikan potensi besar dalam upaya untuk memperoleh maksud dari pembelajaran melalui latihan interaktif. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan interaktif adalah proses percakapan atau komunikas non verbal seperti gestur, klik, atau lainnya. Ketiga, ambient learning pada dasarnya adalah penggunaan artefak secara digital yang bertujuan untuk merealisasikan lingkungan dan potensi untuk belajar. Dalam hal ini, artefak terlebih dahulu dilakukan digitalisasi, sehingga dapat dijadikan sebagai media untuk memperkenalkan aretefak secara langsung tanpa melihatnya secara nyata (Pachler, et al, 2010: 41-46) c. Manfaat Mobile learning Menurut Woodill (2011:24), keuntungan utama dalam penggunaan mobile device dalam pembelajaran dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Portability Any time, any place connectivity Flexible and timely access to e-learning resources Immediacy of communication Empowerment and engagement of learners, particularly those in dispersed communities 6. Active learning experiences Woodill juga menambahkan keuntungan lain yang didapatkan ketika pembelajaran di kelas menggunakan mobile device seperti peningkatan kemampuan dalam penggunaan komputer (computer literacy), kemampuan komunikasi dan pembangunan komunitas, peningkatan kreasi, pembelajaran kolaboratif, dan mentoring. Potensi lain yang dapat dijadikan sebagai keuntungan
22
dalam penggunaan mobile device dalam pembelajaran dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. improved retention, penggunaan mobile learning dapat meningkatkan kemampuan dalam mengeksplorasi dan menyimpan pengetahuan baru, terutama ketika dihadapkan dengan situasi dimana bekerja. 2. efficiency, penggunaan mobile learning menjadikan sangat efisien dengan sifatnya yang bersifat portabel dimana sumber informasi dapat digunakan kapanpun dan dimanapun ketika terhubung. 3. cost
saving,
penggunaan
mobile
learning
dapat
mengurangi
pengeluaran biaya yang digunakan selama proses pembelajaran berlangsung, seperti biaya yang dikeluarkan dalam pembelajaran di luar kelas, baik upah staff maupun biaya travel. Hal ini dikarenakan penggunaan mobile device dalam pembelajaran mampu mengurangi kebutuhan yang seharusnya dilakukan di luar kelas. 4. time saving, penggunaan mobile device dalam pembelajaran dapat mengurangi
waktu
yang
diperlukan
guna
mencapai
tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan. Penggunaan mobile device untuk belajar pada dasarnya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Dengan kata lain, penggunaan mobile device untuk pembelajaran dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun (Woodill 2011:24-25) d. Pengembangan Mobile learning Dalam pengembangan pembelajaran elektronik (e-learning) termasuk mobile learning, terdapat sebuah standar yang dipublikasikan oleh Australian Flexible Learning Framework pada 2007 disusun oleh O’Connel dan Smith berupa manual dan panduan untuk membangun sebuah mobile learning (O’Connel dan Smith, 2007: 3-4 dalam Pachler, et al, 2010: 69-70). Menurut mereka, terdapat enam kemampuan yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan e-learning, yaitu: 1. interoperability (kemampuan untuk menggunakan dua atau lebih sistem untuk pembagian informasi) 2. reusability (kemampuan untuk digunakan kembali dengan sistem, data atau kode yang sudah ada)
23
3. manageability (kemampuan untuk melakukan pengecekan dan perbaikan sistem, data atau kode) 4. durability (kemampuan sistem untuk bekerja sepanjang waktu) 5. scalability (kemampuan sistem untuk menampung informasi dan kinerja secara terus menerus meningkat), dan 6. affordability (kemampuan sistem dan data untuk dicapain oleh kemampuan finansial pengguna). Naismith
dan
Corlett
mengidentifikasi
prinsip
desain
dalam
pengembangan mobile learning dengan melakukan review terhadap berbagai tulisan yang dipresentasikan dalam MLearn Conference selama 2002 sampai 2005 (Naismith dan Corlett, 2006: 19-20 dalam Pachler, et al, 2010: 70). Menurut mereka, terdapat enam prinsip dasar dalam pengembangan mobile learning, yaitu: 1. pembuatan mudah dan cepat dengan tampilan sederhana; 2. materi yang disiapkan bersifat fleksibel dan dapat digunakan oleh pembelajar dan situasi yang berbeda-beda; 3. akses desain dan interaksi dapat digunakan oleh siapapun dan kapanpun; 4. mempertimbangkan kemampuan dan keterbatasan dari perangkat; 5. fokus tidak hanya pada menyampaikan isi, tetapi juga pada cara memfasiltasi pembelajaran; dan 6. menggunakan desain pembelajaran berpusat pada pembelajar (learnercentre design) guna mengatasi kelemahan dalam model pembelajaran berpusat
pada
pendidik
(teacher-centered
model)
dengan
menggunakan wilayah yang beragam dalam lingkungan pembelajaran. Dalam pengembangan mobile leaning, terdapat analisa kerangka kerja (framework) yang merupakan dasar dalam penentuan pengembangan. Dalam kegiatan ini, analisa kerangka kerja sebaiknya mempertimbangkan: (1) aktivitas pembelajar dalam kegiatan sekolah dan kehidupan sehari-hari, (2) sumber belajar yang digunakan oleh pembelajar, dan (3) hubungan potensial yang terjadi antara ketersediaan sumber dan aktivitas belajar (Pachler, et al, 2010: 96). Analisa kerangka kerja (analysis framework) dapat dilakukan dalam dua bagian, yaitu deksripsi proyek dan analisis proyek. Pada bagian pertama, analisis
24
sebaiknya menghasilkan informasi yang dapat digunakan dalam melakukan tahan selanjutnya. Adapun analisis pada bagian pertama dilakukan terhadap poin berikut: 1. context/rationale: background information (i.e. how many people, type of school, duration, devices used, technical support; learning and teaching aims and envisioned role of mobile devices) 2. approaches to teaching and learning: how are the devices used; key activities, key tasks, key pedagogical/‘didactic’ issues 3. technologies and requirements: interoperability, storage, usability etc. 4. project outcomes 5. lessons learnt/issues emerging: incl. replicability and transferability 6. recommendations and future possibilities 7. general project data: project name, url, country, year, contact, types of mobil devices, further media, number of persons, duration, location, educational establishment, phase of education, subject domain, teaching/learning focus, keywords (Pachler, et al, 2010: 100) Adapun pada bagian kedua, analisis lebih diarahkan pada hubungan antara konsep dan kerangka teori. Dalam bagian ini, analisis akan menghasilkan kerangka produk yang akan dikembangan berdasakan teori yang digunakan. Dengan kata lain, bagian ini merupakan bagian terpenting dalam analisis kerangka kerja, dimana hasil dari analisis ini akan menjadi gambaran utuh desain draft produk. Hasil analisis proyek ini akan menghasilkan kesimpulan berikut: 1. agency, structure, cultural practice (educational ‘script’): new habitus and social segmentation; ‘at-risk learners’; literacy traditional vs. new; understanding media as cultural resources; participation in cultural practices 2. approaches to teaching and learning (Didaktik) (‘didaktik’/ learning/ teaching scripts) informal/ informal/ situated/ collaborative/ problembased learning; bricolage; knowledge building; meaning-making 3. notions of mobility: mobile device used as tool; mobile devices used in relation to meanings; mobility in contexts (place, time, concepts, social constellations, activities, curriculum, cultural resources, meanings) 4. user-generated contents and contexts: transformation of mass communication; mobility; learning as meaning-making in context; ubiquity, choice, appropriation; context crossing 5. replicability and transferability: replicability and transferability of the ‘didaktik’ script, using it in a new context; scalability (Pachler, et al, 2010: 101) Sebelum memulai aktivitas mobile learning, ada baiknya terlebih dahulu melihat efektivitas penggunaan dan interaksi mobile device di lapangan. Hal ini bertujuan untuk menghindari kendala yang dihadapi pada saat implementasi
25
mobile learning. Apabila didapatkan kendala pada saat penelitian di lapangan tentang penggunaan, maka terlebih dahulu harus diatasi melalui strategi dan solusi teknis dalam menanganinya. Beberapa prinsip dasar Universal Design harus dipertimbangkan dalam pengembangan mobile learning sebagaimana yang dikutip dari Peter Rainger dalam tulisannya berjudul Accessibility and Mobile learning sebagai berikut: 1. Equitable Use: The design must be useful and marketable to people with diverse abilities. For example, the learning content must be such that older students, students with disabilities and students with English as a second language could all use it. 2. Flexibility in Use: The design must accommodate a wide range of individual preferences and abilities. An example would be content that allows a student to choose different text sizes. 3. Simple and Intuitive Use: Design must be easy to understand, regardless of the student’s experience, knowledge, language skills or current concentration level. An example of this principle would be clear and intuitive control buttons and on-screen icons. 4. Perceptible Information: The design must communicate necessary information effectively to the student, regardless of ambient conditions or the student’s sensory abilities. An example of this principle would be a text-based description provided for all videos or animations. 5. Tolerance for Error: The design must minimize hazards and the adverse consequences of accidental or unintended actions. An example would be asking the student to confirm all file deletions. 6. Low Physical Effort: The design must be used efficiently and comfortably, and with a minimum of fatigue. An example would be the control of an application using the hardware or software buttons alone. 7. Size and Space for Approach and Use: Appropriate size and space must be provided for approach, reach, manipulation, and use regardless of the student’s body size, posture, or mobility. An example would be a mobile device that can be operated comfortably with one hand. (Peter Rainger dalam Kukulska-Hulme & Traxler, 2005: 58) 4. Berpikir Kritis a. Pengertian Berpikir kritis secara harfiah merupakan sebuah frasa yang terdiri dari dua kata, yaitu berpikir dan kritis. Kata “berpikir” menurut kaidah Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pikir” yang mendapatkan awal “ber”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pikir” adalah akal budi; ingatan; angan-angan, sedangkan “berpikir” adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu; menimbang-nimbang di ingatan. Adapun kritis,
26
didefinisikan sebagai bersifat tidak lekas percaya; bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; tajam di penganalisisan. Dengan demikian, secara etimologis berpikir kritis dapat didefinisikan dengan menggunakan akal budi atau ingatan untuk menemukan kesalahan atau kekeliruan yang didasakan pada sifat tidak lekas percaya dengan menggunakan analisa yang tajam. Istilah berpikir kritis muncul dari Bahasa Yunani yang berarti hakim yang kemudian diserap dalam bahasa Latin. Kamus Oxford menerjemahkan sebagai sensor atau pencarian kesalahan. Kritis seringkali dimaksudkan dengan penilaian. Tujuan utama dari berpikir kritis adalah melakukan penyingkiran atau menyaring hal-hal yang dianggap salah, sehingga memunculkan kebenaran yang diinginkan. Hal ini didapat dari hasil penalaran terhadap berbagai bukti dan logika berpikir yang telah dilakukan terhadap materi (Bono, 2007: 204). Adapun secara terminologis, menurut Elaine B. Johnson berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi. Menurutnya, berpikir kritis merupakan kemampuan berupa kegiatan mental yang bertujuan untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi dan melakukan kegiatan ilmiah. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengemukakan pendapat dengan cara yang terorganisasi untuk mengevaluasi secara sistematis dari pendapat pribadi maupun pendapat orang lain. Berpikir kritis pada dasarnya dapat memberikan ide-ide yang orisinil dengan membentuk pemahaman-pemahaman yang baru (Johnson, 2007: 183). Menurut John Chaffee, Direktur Pusat Bahasa dan Pemikiran Kritis LaGuardi College, City Univerity of New York (CUNY) berpikir adalah sebuah proses aktif, teratur dan penuh makna yang kita gunakan untuk memahami dunia. Dia mendefiniskan bahwa berpikir sebagai berpikir untuk “menyelidiki secara sistematis prsoes berpikir itu sendiri”. Maksud dari pernyataan John Chaffe tersebut dapat dipahami bahwa berpikir kritis tidak hanya memikirkan secara sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana cara agar kita dan orang lain dapat menggunakan bukti dan logika berpikir (Chaffe, 1994: 50 dalam Johnson, 2007: 187).
27
Mengutip pendapat Richard Paul dan Linda Elder dalam 31st Annual International Conference of Critical Thinking di Near University of California at Berkeley pada 25-28 Juli 2011 mengatakan bahwa “Critical thinking is the art of analyzing and evaluating thinking with a view to improving it” (Paul & Elder, 2011: 2). Melihat dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa dalam pandangan mereka berpikir kritis merupakan sebuah seni berpikir. Dalam hal ini, seni berpikir yang dimaksud adalah seni dalam melakukan analisa dan evaluasi terhadap proses berpikir itu sendiri. Kemudian, hasil dari analisa dan evaluasi tersebut dapat digunakan dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan berikir seseorang. Menurut Ennis (1993: 180), “critical thinking is reasonable reflective thinking focused on deciding what to believe or do”. Dengan kata lain, berpikir kritis merupakan proses berpikir reflektif yang berusaha untuk menemukan alasan untuk memutuskan apa yang harus dipercaya atau dilakukan. Senada definisi tersebut, Zane (2013: 2) menyebutkan bahwa “critical thinking is the conscious and deliberate of thinking skills and strategies used for guiding what to think, believe, or do”. Secara sederhana, dapat diartikan bawah berpikir kritis merupakan sebuah kemampuan berpikir dan penggunaan strategi yang memandu terhadap apa yang dipikirkan, dipercaya, atau dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa kriteria dalam berpikir kritis, yaitu 1) menggunakan akal budi atau ingatan, 2) bersifat sistematis, 3) bertujuan untuk menemukan kebenaran atau memutuskan apa yang dilakukan dan 4) berdasarkan pada bukti yang berasal dari hasil analisa dan evaluasi pendapat pribadi atau orang lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah sebuah kemampuan dalam menggunakan akal budi atau ingatan yang bersifat sistematis, dengan tujuan untuk menemukan suatu kebenaran berdasarkan pada bukti yang berasal dari hasil analisa dan evaluasi terhadap pendapat pribadi atau pendapat orang lain. b. Model Pembelajaran Berpikir Kritis Model pembelajaran berpikir kritis pada dasarnya tidak jauh berbeda dari model pembelajaran pada umumnya. Sebagai contoh, model pembelajaran
28
berpikir kritis yang diajukan oleh Duron, et al (2006: 161-163) mempunyai lima tahapan pembelajaran sebagai berikut: 1) Menentukan tujuan pembelajaran siswa 2) Mempelajari sambil memberikan pertanyaan 3) Memberikan latihan sebelum penilaian 4) Melakukan penilaian, perbaikan dan peningkatan pembelajaran 5) Memberikan tanggapan terhadap umpan balik Pada tahapan pertama, tujuan pembelajaran ditentukan dengan kemampuan yang akan dikuasai siswa sesuai dengan Taksonomi Berpikir yang dikembangkan oleh Bloom. Dalam hal ini, Duron, et al (2006: 164) memberikan contoh bahwa setiap tingkatan dalam taksonomi tersebut dapat dijadikan tujuan pembelajaran yang akan dikuasai oleh siswa setelah pembelajaran selesai, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Namun, menurut mereka penekanan pada penentuan tujuan pembelajaran bukan hanya pada peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi, tetapi juga pada pengembangan kemampuan untuk bertanya, pendesainan aktivitas belajar, pengumpulan umpan balik dan penilaian hasil belajar siswa. Pada tahapan kedua, kegiatan inti dari proses pembelajaran dilakukan dengan diselingi pertanyaan yang dapat memberikan rangsangan kepada siswa untuk menjawab. Hal ini bertujuan agar pendidik dapat mengetahui sejauh mana materi yang telah diserap oleh peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. Pada tahapan ini, pertanyaan dibuat berdasarkan taksnomi berpikir sebagaimana yang telah ditentukan dalam tujuan pembelajaran. Adapun tahap ketiga, yaitu latihan sebelum penilaian bertujuan agar peserta didik dapat mempunyai gambaran tentang proses evaluasi yang akan dilaksanakan. Secara tidak langsung, peserta didik diajak untuk melakukan simulasi terhadap hasil dari penyerapan materi yang telah didapat selama proses pembelajaran berlangsung. Pada tahapan keempat, yaitu tahapan penilaian, perbaikan dan peningkatan pembelajaran bertujuan untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang telah berlangsung. Dalam hal ini, tahapan penilaian bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta didik dalam penguasaan materi selama proses pembelajaran. Berdasarkan hasil penilaian tersebut dilakukan penentuan
29
terhadap tingkat kemampuan peserta didik yang akan mendapatkan perbaikan apabila tidak mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Perbaikan inilah yang bertujuan untuk meningkatkan proses yang telah berlangsung agar dapat dijadikan acuan dalam proses pembelajaran di masa yang akan datang. Tahapan terakhir, yaitu memberikan tanggapan terhadap umpan balik bertujuan untuk dijadikan pedoman dalam pengembangan proses pembelajaran di masa yang akan datang. Tanggapan terhadap umpan balik didapat dari tahapan sebelumya, baik dari tahapan penilaian, perbaikan maupun peningkatan pembelajaran. Dengan kata lain, pemberian tanggapan terhadap umpan balik bertujuan agar peserta didik nantinya menjadi lebih baik dalam proses pembelajaran di masa yang akan datang. Di sisi lain, pendidik juga dapat menjadi umpan balik sebagai refleksi dan referensi dalam pengembangan proses pembelajaran di masa depan. Menurut Zane (2013:6) terdapat tiga tahapan sebagai strategi dalam menerapkan pembelajaran yang bertujuan untuk menigkatkan kemampuan berpikir kritis, yaitu (1) tentukan tujuan berpikir kritis yang sesuai dengan disiplin ilmu, (2) identifikasi dan buatlah tugas terstruktur yang bertujuan mengumpulkan bukti kemampuan berpikir kritis, dan (3) buatlah sebuah tes yang memiliki kriteria skor dan rubrik untuk menilainya. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam mengimplementasikan pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan dalam tiga tahapan sederhana, yaitu menentukan tujuan, membuat tugas terstruktur dan evaluasi kemampuan berpikir kritis. c. Tes Berpikir Kritis Penyusunan tes tentunya memiliki tujuan yang telah ditentukan oleh pendidik atau penyusun tes sebelumnya. Tujuan dari assesmen berpikir kritis sebagaimana yang dijelaskan oleh Ennis (1993: 180) dapat dijabarkan dalam 7 tujuan, yaitu: 1) diagnosa level berpikir kritis peserta didik, 2) memberikan umpan balik dan penguatan terhadap berpikir kritis peserta didik,
30
3) memberikan motivasi kepada peserta didik untuk menjadi lebih baik dalam berpikir kritis, 4) memberikan
informasi
kepada
pendidik
tentang
kesuksesan
pendekatan pembelajaran dalam berpikir kritis, 5) melakukan penelitian tentang pertanyaan dan isu pembelajaran berpikir kritis, 6) memberikan bantuan kepada peserta didik untuk memutuskan program pembelajaran yang sebaiknya diambil, dan 7) memberikan informasi kepada institusi dalam pengambila keputusan guna meningkatkan berpikir kritis peserta didik. Menurut Ennis (1993: 184-186), setiap pendidik dapat membuat tes berpikir kritis secara mandiri. Menurutnya, setiap tes yang dibuat dapat disusun dengan berbagai bentuk, seperti soal pilihan ganda, soal essay atau penilaian tugas. Ennis merekomendasikan jenis soal pilihan ganda dalam penyusunan tes berpikir kritis. Hal ini dikarenakan terdapat kemudahan dalam penyusunan tes secara cepat, komprehensif, dan dapat mendukung latar belakang peserta didik yang beragam. Watson & Glaser mengembangkan sebuat tes berpikir kritis yang dipaparkan dalam sebuah artikel berjudul Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal-UK Edition. Dalam tes tersebut terdapat 5 tahapan tes, yaitu inference, recognition of assumptions, deduction, interpretation, dan evaluation of arguments. Jenis soal yang digunakan dalam tes dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu soal pilihan ganda bertingkat pada tahapan pertama dengan 5 alternatif jawaban dan soal benar-salah pada tahapan kedua sampai kelima dengan 2 alternatif jawaban (Watson & Glaser, 2002). Hogan Lovells Critical Thinking Test merupakan salah satu tes berpikir kritis yang disusun dalam bentuk soal yang dapat dibagi dalam 4 tahapan, yaitu inference, recognition of assumption, deduction dan interpretation. Tes ini disusun berdasarkan penilaian kemampuan berpikir kritis yang disusun oleh Watson & Gleser. Pada tahapan pertama, tes ini menggunakan soal pilihan ganda, dimana bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap sebuah fakta. Alternatif jawaban yang disediakan adalah benar, kemungkinan benar, tidak ada dapat
31
pendukung, salah dan kemungkinan salah. Pada tahapan kedua dan ketiga, soal yang digunakan adalah jenis soal benar-salah yang bertujuan untuk memutuskan asusmsi yang dipilih pada tahapan kedua dan untuk menentukan kesimpulan berdasarkan asumsi pada tahapan ketiga. Adapun pada tahapan keempat, jenis soal yang digunakan adalah benar-salah dengan alternative jawaban kuat dan lemah. Pada tahapan ini, penyusunan soal ditujukan untuk membuat keputusan terhadap
argumen
yang
telah
dipilih
pada
tahapan
sebelumnya
(http://graduates.hoganlovells.com/_downloads/hogan_lovells_critical_thinking_t est.pdf) Zane (2013: 11) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan hal yang holistik, kompleks dan kemampuan terintegrasi. Oleh karena itu, menurutnya dalam proses pengembangan tes berpikir kritis sebaiknya didasarkan pada 4 tahapan, yaitu interpretation, analysis, evaluation daan inference. Selanjutnya, terdapat 3 langkah dalam pengembangan tes berpikir kritis, yaitu (1) tentukan cara penilaian, (2) tentukan skor setiap bagian dan skor akhir, dan (3) tentukan kriteria penilaian (rubrik) berdasarkan skor yang diperoleh. 5. Model Pengembangan Menurut Sugiyono (2014: 297), metode penelitian dan pengembangan atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan Research and Development (disingkat R n D) adalah meteode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2013: 164), penelitian dan pengembangan adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, ia menyebutkan bahwasanya produk yang dihasilkan dalam sebuah penelitian dan pengembangan tidak selalu berbentuk benda atau perangkat keras (hardware) seperti modul atau alat bantu pembelajaran di kelas, tetapi bisa juga berupa perangkat lunak (software) seperti program komputer dan model pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan metode penelitian dan pengembangan (research and development) dalam penelitian ini adalah suatu proses atau langkah-langkah penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada,
32
baik dalam bentuk perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2013: 167), dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan terdapat tiga metode yang digunakan, yaitu metode deskriptif, evaluatif dan eksperimental. Pertama, metode deskriptif digunakan dalam penelitian awal guna menghimpun data tentang kondisi yang telah ada. Kondisi yang telah ada tersebut meliputi: 1) perbandingan atau bahan dasar (embrio) untuk produk yang akan dikembangkan, 2) kondisi pihak pengguna, seperti sekolah, guru, kepala sekolah, siswa, serta pengguna lainnya, 3) kondisi faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan dan penggunaan dari produk yang akan dihasilkan, mencakup unsur manusia, saran-prasarana, biaya, pengelolaan, dan lingkungan. Kedua, metode evaluatif digunakan untuk mengevaluasi proses uji coba dari produk yang dikembangkan. Produk dikembangkan melalui serangkaian uji coba, dan setiap kegiatan uji coba diadakan evaluasi, baik evaluasi hasil maupun evaluasi
proses.
Berdasarkan
temuan-temuan
hasil
uji
coba
diadakan
penyempurnaan-penyempurnaan. Ketiga, metode eksperimental digunakan untuk menguji keampuhan atau efektivitas dari produk yang dikembangkan setelah melalui revisi dari tahap uji coba sebelumnya. Pemilihan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara acak. Pembandingan hasil eksperimen pada kedua kelompok tersebut dapat menunjukkan tingkat keampuhan dari produk yang dihasilkan. Secara sederhana, ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada bagan 2.1.
33
STUDI PENDAHULUAN
Studi pustaka
Penyusun -an draf produk
PENGEMBANGAN
Pre test
Uji coba terbatas Uji coba lebih luas
Survai lapangan
PENGUJIAN
Perlakuan
Post test
Bagan 2. 1 Langkah Penelitian Pengembangan Menurut Sukmadinata Menurut Sugiyono (2014: 298), terdapat sepuluh langkah penelitian dan pengembangan yang harus dilakukan untuk mengembangkan suatu produk sebagaimana dapat dilihat pada bagan 2.2. Langkah-langkah tersebut harus dilalukan untuk menghasilkan suatu produk yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Kesepuluh langkah tersebut adalah (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji coba produk, (7) revisi produk, (8) uji coba pemakaian, (9) revisi produk, dan (10) produksi massal.
Potensi dan Masalah
Ujicoba Pemakaian
Revisi Produk
Pengumpulan Data
Revisi Produk
Desain Produk
Validasi Desain
Ujicoba Produk
Revisi Desain
Produksi Massal
Bagan 2. 2 Langkah Penelitian Pengembangan Menurut Sugiyono Menurut Borg and Gall (1989:161), langkah-langkah penelitian pengembangan sebanyak 10 tahapan yang dapat dilihat pada bagan 2.3, yaitu:
34
a. Penelitian dan pengumpulan data (research and information collecting). Pengukuran kebutuhan, studi literatur, penelitian dalam skala kecil, dan pertimbangan-pertimbangan dari segi nilai. b. Perencanaan (planning). Menyusun recana penelitian, meliputi kemampuankemampuan yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian, rumusan tujuan yang hendak dicapai dengan penelitian tersebut, desain atau langkah-langkah penelitian, kemungkinan pengujian dalam lingkup terbatas. c. Pengembangan draf produk (develop preliminary from of product). Pengembangan bahan pembelajaran, proses pembelajaran dan instrumen evaluasi. d. Uji coba lapangan awal (preliminary field testing). Uji coba di lapangan pada 1 sampai 3 sekolah dengan 6 sampai 12 subjek uji coba (guru). Selama uji coba diadakan pengamatan, wawancara dan pengedaran angket. e. Merevisi hasil uji coba (main product revision). Memperbaiki atau menyempurnakan hasil uji coba. f. Uji coba lapangan (main field testing). Melakukan uji coba yang lebih luas pada 5 sampai dengan 15 sekolah dnegan 30 sampai dengan 100 orang subjek uji coba. Data kuantitatif penampilan guru sebelum dan sesudah menggunakan model yang dicobakan dikumpulkan. Hasil-hasil pengumpulan data dievaluasi dan kalau mungkin dibandingkan dengan kelompok pembanding. g. Penyempurnaan produk hasil uji lapangan (operasional product revision). Menyempurnakan produk hasil uji lapangan. h. Uji coba pelaksanaan lapangan (operasional field testing). Dilaksanakan pada 10 sampai dengan 30 sekolah melibatkan 40 sampai dengan 200 subjek. Pengujian dilakukan melalui angket, wawancara, dan observasi dan analisis hasilnya. i. Penyempurnaan produk akhir (final product revision). Penyempurnaan didasarkan masukan dari uji pelaksanaan lapangan. j. Diseminasi
dan
implementasi
(dissemination
and
implementation).
Melaporkan hasilnya dalam pertemuan profesional dan dalam jurnal.
35
Bekerjasama dengan penerbit untuk penerbitan. Memonitor penyebaran untuk pengontrolan kualitas. Research and information collecting
Planning
Main field testing
Operasional product revision
Develop preliminary from of product
Main product revision
Preliminary field testing
Operasional field testing
Final product revision
Dissemination and implementation
Bagan 2. 3 Langkah Penelitian Pengembangan Menurut Borg and Gall Alan Januszewski and Michael Molenda (2008: 108) mengemukakan model penelitian pengembangan ADDIE. Model tersebut terdiri dari lima tahapan utama, yaitu Analisis (Analysis), Desain (Design), Pengembangan (Development), Penerapan (Implementation), dan Evaluasi (Evaluation). Tahapan penelitian tersebut dapat dilihat pada bagan 2.4. Analysis
Design
Development
Implementation
Evaluation
Bagan 2. 4 Langkah Model Pengembangan ADDIE
36
Thiagarajan, dkk dalam buku yang berjudul Intructional Development for Training Teachers of Exceptional Children: a Sourcebook mengemukakan model pengembangan yang diberi nama 4-D Models. Model pengembangan ini terdiri dari empat tahapan (stage), yaitu Define, Design, Develop dan Disseminate (Thiagarajan, et al, 1974: 5). Dalam setiap tahapan terdapat beberapa langkah utama yang dilakukan dalam menjalankan model pengembangan ini. Setiap tahapan memiliki tujuan yang berbeda-beda, sehingga pelaksanaan model secara menyeluruh dapat memperoleh hasil penelitian pengembangan yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Pertama, tahapan define bertujuan untuk menentukan kebutuhan minimal dalam pembelajaran (instructional requirements). Penentuan kebutuhan ini didasarkan pada analisis yang terdiri dari lima langkah, yaitu front-end analysis, learner analysis, task analysis, concept analysis dan specifying instructional objectives (Thiagarajan, et al, 1974: 6). Adapun kelima langkah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a. front-end analysis, yaitu analisis terhadap permasalahan mendasar yang dihadapi dalam upaya peningkatan proses pembelajaran. Dalam langkah ini, analisis terhadap permasalahan yang muncul akan menghasilkan alternatif kemungkinan dalam rangka perbaikan proses pembelajaran. b. learner analysis, yaitu analisis yang dilakukan terhadap peserta didik. Pada dasarnya, langkah ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik peserta didik. Karakteristik peserta didik tersebut nantinya akan dijadikan acuan dalam pembuatan
desain
dan
pengembangan
pembelajaran
yang
relevan.
Karakteristik yang dianalisis tersebut meliputi kompetensi dasar dan latar belakang pengalaman belajara peserta didik, pandangan umum terhadap topik pembelajaran, media, format dan bahasa yang digunakan. c. task analysis, yaitu identifikasi terhadap kemampuan utama (main skill) yang dimiliki oleh peserta didik, yang kemudian dikelompokkan menjadi subskill yang dianggap penting dan cukup penting. Analisis ini pada dasarnya bertujuan untuk memastikan cakupan yang menyeluruh terhadap kemampuan peserta didik dalam pembelajaran.
37
d. concept analysis, yaitu identifikasi terhadap konsep pokok yang diajarkan. Konsep pokok tersebut kemudian disusun dalam beberapa tingkatan, yang kemudian diturunkan dan dikelompokkan dalam beberapa konsep mandiri yang dapat dilakukan kritik terhadap hal-hal yang tidak berhubungan dengan pembelajaran. e. specifying instructional objectives, yaitu melakukan perubahan terhadap hasil analisis dari kemampuan dan konsep menjadi tujuan-tujuan yang akan dicapai dari pembelajaran. Tujuan-tujuan tersebut nantinya akan menjadi dasar dalam pengembangan pada tahapan selanjutnya, yaitu design. Kedua, tahapan design bertujuan untuk membuat desain sementara (prototype) material pembelajaran. Dalam tahapan ini, terdapat empat langkah yaitu constructing criterion-referenced tests, media selection, format selection, dan initial design (Thiagarajan, et al, 1974: 7). Adapun keempat langkah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a. constructing
criterion-referenced
tests,
pada
dasarnya
merupakan
penghubung antara tahapan define dan design. Pada langkah ini, tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya akan disusun dalam skema yang menjadi acuan dalam pengumpulan bahan pembelajaran. Dalam langkah ini pula akan disusun kisi-kisi dari soal yang akan digunakan dalam proses evaluasi. b. media selection, yaitu penentuan media yang cocok digunakan untuk menyajikan materi pembelajaran. Penentuan media ini didasarkan pada hasil dari analisis kemampuan dan konsep, karakteristik peserta didik, dan sumber produksi berupa bahan-bahan pembelajaran. c. format selection, yaitu penentuan format dari media yang akan digunakan dan aturan penyusunan media yang telah ditentukan. Aturan yang dimaksud meliputi aturan penyusunan materi, penentuan alur program dan penentuan sistem penilaian yang akan digunakan. d. initial design, yaitu penyajian hal-hal pokok dalam pembelajaran ke dalam media yang sesuai secara berurutan. Dalam langkah ini akan dijelaskan tentang berbagai variasi aktifitas yang dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Pada langkah ini akan menghasilkan draft awal dari material pembelajaran yang disusun.
38
Ketiga, tahapan develop bertujuan untuk memodifikasi draft awal dari bahan pembelajaran yang telah disusun. Meskipun penyusunan bahan pada dasarnya telah dilakukan dalam dua tahapan sebelumnya, tetapi dalam tahapan ini akan dilakukan penilaian terhadap draft awal yang akan menjadi masukan untuk perbaikan sebelum menjadi draft final yang efektif. Adapun langkah yang dilaksanakan pada tahapan ini terdiri dari dua bagian, yaitu expert appraisal dan developmental testing. Kedua langkah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a. expert appraisal, yaitu teknik yang digunakan untuk mendapatkan masukan guna meningkatkan material pembelajaran yang disusun. Beberapa ahli akan diberikan
kesempatan
untuk
melakukan
evaluasi
terhadap
material
pembelajaran yang disusun. Berdasarkan masukan dari mereka, material pembelajaran akan diperbaiki agar lebih tepat, efektif, berguna guna mendapatkan material pembelajaran yang memiliki kualitas tinggi. b. developmental testing, yaitu ujicoba material pembelajaran yang telah direvisi sesuai masukan ahli kepada peserta didik secara terbatas. Berdasarkan respon dan komentar dari peserta didik tersebut, material pembelajaran akan dilakukan perbaikan kembali. Siklus ujicoba, revisi dan ujicoba kembali akan terus dilakukan sampai material pembelajaran yang disusun dapat konsisten dan efektif. Keempat,
tahapan
disseminate
bertujuan
untuk
menggambarkan
efektivitas material pembelajaran yang disusun dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditentukan. Dalam tahapan ini, terdapat tiga langkah, yaitu validating testing, final packaging dan diffusion. Adapun ketiga langkah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a. validating testing, yaitu pelaksanaan validasi terhadap material pembelajaran yang telah selesai disusun. Pelaksanaan validasi tersebut dilakukan dengan cara mengujicoba kelompok siswa yang sesuai dengan kriteria yang sesuai dengan pengembangan material pembelajaran. Pelaksanaan validasi tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu validasi internal (internal validation), validasi penyampaian (transfer validation) dan validasi hasil (payoff validation). b. final packaging, yaitu melakukan persiapan terhadap perizinan material pembelajaran yang telah dibuat, serta persiapan waktu rilisnya.
39
c. diffusion, yaitu proses penyebaran material pembelajaran yang telah dibuat. Langkah ini bertujuan agar material pembelajaran dibuat dapat diketahuan dan digunakan secara umum. Front-end analysis Learner analysis Task analysis Concept analysis Specifying instructional objectives
define
constructing criterionreferenced tests media selection format selection initial design
design validating testing expert appraisal
final packaging
developmental testing
diffusion
develop
dissemination
Bagan 2. 5 Langkah Model Pengembangan 4-D B. Penelitian yang Relevan Grohmann, Hofer & Martin (2005) menyimpulkan bahwa penggunaan mobile learning dalam pembelajaran memiliki kelebihan dari segi ekonomi daripada skenario pembelajaran tradisional. Keuntungan tersebut dapat dilihat dari kemampuan mobile learning bagi peserta didik dalam menyesuaikan waktu, tempat belajar, waktu pembelajaran, metode belajar dan materi pembelajaran. Menurutnya, penggunaan mobile learning tidak terikat dengan tempat, lebih cepat, murah, dan efisien dalam pengembangannya, serta dapat dengan cepat memperbaharui materi pembelajaran. Hal ini menjadikan mobile learning memiliki nilai lebih dibandingkan skenario pembelajaran tradisional. Al-Fahad (2008) menyimpulkan bahwa penggunaan mobile device di kalangan mahasiswa dapat memberikan dampak positif dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari sikap positif yang ditunjukkan oleh responden pada saat menggunakan mobile device di lingkungan pembelajaran,
40
seperti ponsel, foto atau SMS. Menurutnya, potensi penggunakan teknologi mobile sangat besar dan kompleks, sehingga mamerlukan skenario pembelajaran yang tepat guna dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Kukulska-Hulme,
et
al
(2009)
menerangkan
bahwa
konteks
pembelajaran merupakan hal utama yang sebaiknya dipertimbangkan dalam pengembangan mobile learning. Selain itu, panduan penggunaan mobile learning sebaiknya dipersiapkan agar peserta didik dapat menghubungkan konteks pembelajaran yang sedang dibahas dengan fakta yang ada di lapangan, sehingga dapat menjembatani antara pendidikan formal dan informal. Cavus & Uzonbolyu (2009) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan mobile learning terhadap kemampuan berpikir kritis. Penelitian ini melibatkan 41 mahasiswa di Near East University, North Cyprus. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis yang signifikan di akhir eksperimen dengan pembelajaran melalui mobile learning Chen (2010) dalam penelitiannya tentang sistem asesmen dengan menggunakan perangkat mobile yang dimiliki oleh siswa melalui aplikasi yang diberi nama MAPS (Mobile Assessment Participation System) memperoleh hasil berupa respon siswa yang menunjukkan bahwa aplikasi ini sangat menarik. Mereka setuju bahwa metode asesmen dengan menggunakan aplikasi ini efisien, mudah dan menghemat waktu. Selain itu, mereka juga dapat berinteraksi dan dapat melakukan refleksi selama menggunakan aplikasi tersebut. Hal ini dikarenakan, siswa dapat mengetahui skor yang diperoleh dan melakukan penilaian terhadap skor tersebut secara mandiri. Pocatilu (2010) menyimpulkan bahwa pengembangan mobile application tidaklah mudah karena terdapat berbagai macam platform dan variasi teknologi yang harus dipilih. Menurutnya, dalam pengembangan aplikasi sebaiknya mempertimbangan ukuran data (volume data), keamanan, dan kemudahan dalam pengaturan data dan objek yang digunakan dalam aplikasi. Selain itu, dalam pengembangan aplikasi mobile sebaiknya mempertimbangkan hal-hal berikut, yaitu kebaharuan fungsi, peningkatan interface (antar muka), kemudahan implementasi modul materi dan tes, pengaturan pengguna dan integrasi aplikasi.
41
Hal tersebut diperlukan agar aplikasi yang dikembangkan dapat berjalan sesuai dengan rencana pengembangan yang telah ditentukan. Jones (2011) mengatakan bahwa smartphone sebagai perangkat pribadi ideal dalam pembelajaran informal yang bersifat individual. Menurutnya, pengguna dapat menentukan aplikasi apa yang digunakan dan bagaimana cara menggunakannya. Pendidik sebaiknya mendukung dan membimbing sarana yang digunakan peserta didik agar dapat menggabungkan antara pembelajaran formal dan infrormal. Muyinda, et al (2012) menyimpulkan bahwa klaim tentang mobile learning yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran jarak jauh (distance learning) dapat dibantahkan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, mobile learning dapat pula digunakan dalam pembelajaran bersifat internal. Hanya saja yang patut dipertimbangkan adalah konteks pembelajaran yang berbeda. Oleh karena itu, perancangan mobile learning yang tepat dapat menghasilkan pengalaman belajar bagi peserta didik. Ally & Blazquez (2014) memaparkan bahwa keberadaam teknologi mobile memberikan kesempatan kepada siapapun di seluruh dunia untuk mengakses sumber pembelajaran. Dalam hal ini, teknologi dapat menjembatani siapa saja yang ingin belajar. Dengan demikan, kemampuan multimedia dan komputasi dari teknologi mobile sebaiknya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam memotivasi peseta didik untuk belajar.
42
C. Kerangka Berpikir
Perkembangan Perangkat Teknologi
Pembelajaran Sejarah Lokal di Sekolah
Penggunaan Smartphone di Masyarakat
Keterbatasan Waktu, Sarana dan Prasarana
Meningkatnya Jumlah Netizen di Indonesia
Rendahnya Pemahaman Guru tentang Sejarah Lokal
Banyaknya Netizen Menggunakan Smartphone
Rendahnya Pemahaman Siswa terhadap Sejarah Lokal
Penggunaan smartphone sebagai alat untuk belajar
Rendahnya Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Pembuatan Aplikasi Pembelajaran di Smartphone
Peningkatan Berpikir Kritis terhadap Sejarah Lokal
Aplikasi Pembelajaran Mobile Android dan iOS
Materi Sejarah Lokal Kalimantan Selatan
Pembuatan aplikasi pembelajaran mobile berbasis android dan ios dengan materi sejarah loak Kalimantan Selatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa Pengembangan Aplikasi Pembelajaran Mobile berbasis Android dan iOS MIKS (Masuknya Islam di Kalimantan Selatan) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Bagan 2. 6 Kerangka Berpikir Penelitian
43
D. Model Hipotetik Dalam penelitian ini, model pengembangan yang digunakan adalah model 4-D yang dikembangkan oleh Thianagarajan. Model hipotetik dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan 2.7. DEFINE STUDI PENDAHULUAN
Pembelajaran Sejarah Lokal
Pengunaan Mobile Device
Materi Sejarah Lokal
Berpikir Kritis
PENENTUAN TUJUAN PEMBELAJARAN
DESIGN Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Masuknya Islam di Kalimantan Selatan dan Berdirinya Kesultanan Banjar
Reusable Learning Object
Aplikasi Mobile learning
Teks, Gambar dan Tombol
Materi Sejarah Lokal
Skenario Pembelajaran
Halaman Pembuka
Splashscreen
Mulai Aplikasi
Pre Test
Halaman Utama
Kompetensi
Panduan
Materi
Tentang
FAQ
Post Test
Pustaka
DRAFT AWAL MEDIA
44
DEVELOP DRAFT AWAL MEDIA
Validasi Ahli Media
Validasi Praktisi
DRAF AWAL REVISI I
Ujicoba Kelompok Kecil
Draft Revisi II
Ujicoba Kelompok Besar
DRAFT REVISI III DRAFT FINAL UJI EFEKTIVITAS
Pre Test
Penggunaan Media
HASIL UJI EFEKTIVITAS
APLIKASI MOBILE LEARNING MIKS
DISSEMINATION Bagan 2. 7 Model Hipotetik
Post Test