BAB II KEWENANGAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM PELANGGARAN LARANGAN KAMPANYE A. Pengertian Tindak Pidana Pemilihan Umum. Didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 terdapat ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana yang berhubungan dengan Pemilu. Selain itu didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga terdapat ketentuanketentuan yang berhubungan dengan tindak pidana Pemilu. Walaupun ada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang tindak pidana pemilu, akan tetapi tidak ada satupun peraturan perundang-undangan dimaksud yang memberikan defenisi pengertian tindak pidana pemilu. Adanya defenisi tentang tindak pidana pemilu merupakan suatu yang penting untuk membantu membedakan antara tindak pidana pemilu dengan tindak pidana lainnya, defenisi diperlukan supaya ada pemahaman yang sama antara penegak hukum, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, peserta pemilu dan semua lapisan masyarakat tentang tindak pidana pemilu. Sebelum meguraikan defenisi tentang tindak pidana pemilu, penulis akan menguraikan terlebih dahulu defenisi tentang tindak pidana secara umum. Adapun defenisi tindak pidana menurut pendapat bebrapa ahli hukum adalah sebagai berikut: Djoko Prakoso mengatakan didalam perundang-undangan sering dipakai berbagai istilah seperti: perbuatan pidana (UU Drt. 1951 No. 1), peristiwa pidana (Konstitusi RIS maupun UUDS 1950), tindak pidana (sering
Universitas Sumatera Utara
dipergunakan dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Subversi). Sedangkan didalam beberapa keputusan sering dipakai istilah pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perkara hukuman perdata, dan lain sebagainya. Didalam ilmu pengetahuan hukum, secara universal dikenal dengan istilah “delik” 28. Delik bukan saja berarti tindakan aktif dari pelaku tindak pidana akan tetapi dapat juga diartinkan dalam bentuk pengabaian ataupun kelalaian seseorang dalam suatu peristiwa pidana yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian. Andi Hamzah mengemukakan, delik, delict, strafbaar feit, pffence, criminal act. Istilah yang umum dipakai dalam perundang-undangan Indonesia ialah “tindak pidana”, suatu istilah yang sebenarnya tidak tepat, karena delik itu dapat dilakukan tanpa berbuat atau bertindak, yang disebut pengabaikan (Belanda: nalaten; Inggris, negligence) perbuatan yang diharuskan. Oleh karena itu, orang Belanda memakai istilah strafbaar feit, yang jika diterjemahkan harfiah berarti peristiwa yang dapat dipidana. Dipakai istilah feit maksudnya meliputi perbuatan dan pengabaian. 29 H.R.Abdussalam mengatakan Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Untuk dapat dipidananya perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, perbuatan tersebut harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat 30. Tindak pidana dalam bahasa asing disebut dengan “Strafbare Feit” sering diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan berbagai macam terjemahan diantaranya diterjemahkan menjadi “Perbuatan yang dapat dihukum”, “Peristiwa pidana”, “Perbuatan pidana dan Tindak Pidana”, Para pakar hukum pun berbeda dalam menerjemahkan istilah tersebut, misalnya Moeljanto dan Ruslan Saleh menerjemahkan sebagai perbuatan pidana, sementara Ultrecht menganjurkan untuk memakai istilah peristiwa pidana, dan Satochid Kartanegara menganjurkan pemakaian istilah tindak pidana. 31 28
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: CV. Rajawali 1987), hlm. 120. Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana , Op Cit, hlm. 47 dan 48. 30 H.R. Abdussalam, Hukum Pidana Prospek Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat (1) Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm. 13. 31 Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm 207-208. 29
Universitas Sumatera Utara
Bahwa membahas tentang tindak pidana secara umum tentunya tidak bisa lepas dari ketentuan yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Buku Kesatu diatur tentang Ketentuan Umum, Buku Kedua tentang Kejahatan dan pada Buku Ketiga tentang Pelanggaran. Sedangkan pengertian tentang tindak pidana pemilu beberapa ahli hukum telah memberikan defenisi sebagai berikut: Djoko Prakoso mengemukakan tindak pidana pemilu adalah “Setiap orang, badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan,
menghalang-halangi
atau
menggangu
jalannya
pemilu
yang
diselenggarakan menurut undang-undang” 32. H. Muhsin mengemukakan tindak pidana pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 adalah “tindak pidana yang diatur secara limitative pada UU No. 10 tahun 2008, yang bila dirinci terdapat sebanyak 59 pasal. Berdasarkan pengertian tersebut, maka bila terjadi tindak pidana dalam proses pelaksanaan Pemilu yang bentuknya diluar sebagaimana diatur didalam UU tersebut, yaitu sebanyak 59 pasal, maka tindakan tersebut tidak dapat disebut sebagai tindak pidana pemilu, tetapi merupakan tindak pidana biasa. 33 Topo Santoso mengemukakan ada tiga kemungkinan pengertian dan cakupan dari tindak pidana pemilu: pertama, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam undang-undang pemilu; kedua, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur baik didalam maupun diluar undang-undang pemilu (misalnya dalam UU Partai Politik ataupun didalam KUHP); dan ketiga, semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas, penganiayaan (kekerasan), perusakan dan sebagainya). Namun dia lebih memilih bahwa pengertian tindak pidana pemilu adalah semua tindak pidana
32 33
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, Op. Cit, hlm. 148. H. Muchsin, Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2008), hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur didalam UU Pemilu maupun didalam UU Tindak Pidana Pemilu. 34 Eko Wiyono didalam tulisannya tentang Optimalisasi Eksekusi Putusan Tindak Pidana Pemilu Legislatif 2009 mengemukakan pelanggaran pidana pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam UndangUndang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008. 35 Pelaksanaan Pemilu Legislatif tahun 2009 dalam rangka memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan dengan beberapa tahapan, adapun tahapantahapannya adalah sebagai berikut 36: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; Pendaftaran peserta Pemilu; Penetapan peserta pemilu; Penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan; Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota; Masa Kampanye; Masa Tenang; Pemungutan suara dan penghitungan suara terdiri dari: a. Pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan TPSLN; b. Rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, PPLN, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi; 9. Penetapan hasil pemilu, terdiri dari: a. Penetapan hasil pemilu; b. Penetapan perolahan kursi dan calon terpilih; 10. Pengucapan sumpah/janji anggota: a. DPRD Kabupaten/Kota; b. DPRD Provinsi; 34
Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Op. Cit, hlm. 4 dan 5. Eko Wilyono, Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2009), hlm. 23. 36 Diktum ke- 5 (lima) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Perubahan Terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09 Tahun 2008 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Rakyat Daerah tahun 2009. 35
Universitas Sumatera Utara
c. DPR dan DPD; Menurut Eko Wilyono pada setiap tahapan dalam penyelenggaraan pemilu tersebut ternyata tidak terlepas dari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu yang dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan pemilu khususnya pada tahapan kampanye yang sangat riskan dan berpotensi menimbulkan pelanggaran terutama adanya money politics sebagai salah satu cara efektif yang dapat digunakan oleh para peserta pemilu guna meraup suara sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak sah yang lazim terjadi dinegara sedang berkembang yang pada akhirnya akan dapat tidak hanya menghambat tapi juga dapat menggagalkan pesta demokrasi yang sangat diharapkan oleh semua pihak elemen bangsa dapat berlangsung dengan baik dan lancar 37. Dalam tahapan pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2009 sering terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pemilu. Pelanggaran tersebut ada yang berupa pelanggaran administrasi pemilu dan ada berupa pelanggaran pidana pemilu. Pelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu dan terhadap ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU, sedangkan pelanggaran pidana pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008. 38 B.Tugas Dan Wewenang Pengawas Pemilihan Umum. Penyelenggara pemilu pada pemilu legislatif tahun 2009 terdiri dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, Panitia Pemilihan Luar Negeri, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri. Dalam rangka penyelenggaraan pemilu legislatif
37
Eko Wilyono, Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2009), Op cit.
38
Ibid, hlm. 23.
hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
tahun 2009 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Penyelenggara Pemilu haruslah berpedoman kepada asas : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
Mandiri; Jujur; Adil; Kepastian hukum; Tertib penyelenggara Pemilu; Kepentingan umum; Keterbukaan; Proporsionalitas; Profesionalitas; Akuntabilitas; Efisiensi; dan Efektivitas. Supaya penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya mentaati asas
penyelenggara pemilu maka diperlukan adanya pengawasan. Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
22
Tahun
2007
menyatakan
“Pengawasan penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri”. Pengangkatan pengawas pemilu dilakukan melalui beberapa tahapan seleksi. Untuk pengangkatan Anggota Bawaslu setelah dinyatakan layak dan patut oleh Tim Seleksi maka pengesahannya ditetapkan dengan keputusan Presiden, untuk Anggota Panwaslu Provinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu, untuk anggota Panwaslu Kabupaten Kota ditetapkan dengan keputusan Bawaslu, anggota Panwaslu Kecamatan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota
Universitas Sumatera Utara
Pengawas Pemilu Lapangan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kecamatan, pengawas Pemilu Luar Negeri dapat dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu atas usulan kepala Perwakilan Republik Indonesia. Netralitas
dan
independensi
pengawas
pemilu
dalam
mengawasi
penyelenggaraan pemilu legislatif tahun 2009 pada setiap tahapannya sangat diharapkan, karena pada pemilu sebelumnya ketidakberdayaan panwaslu didaerah dalam melaksanakan tugasnya sangat jelas terlihat, persoalan ini sangat terkait dengan netralitas dari lembaga tersebut dalam melakukan pengawasan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu memberikan perubahan dalam hal independensi. Meskipun tidak signifikan. Meskipun panwaslu di daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD, namun Bawaslu sendiri masih dipilih oleh DPR. Kita sudah mafhum, bahwa fit and proper test yang dilakukan DPR sesungguhnya hanyalah formalitas semata. Sebab pilihan mereka sesungguhnya sudah jadi setelah lolos 15 nama dari hasil seleksi. Lima nama calon Bawaslu yang akan dipilih sebenarnya sudah jadi dan terkompromikan atas nama kepentingan politik yang tidak lepas dari unsur pragmatisme. 39 Pengawasan didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam kata lainnya disebut juga berupa kontrol, pemeriksaan, pengendalian. 40 Dengan adanya pengawasan diharapkan orang ataupun suatu lembaga dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya.
39
http://www.Jppr.or.id/index2.phpx2Irvan Mawardi (Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat), Panwaslu dan Bawaslu, Serupa Tapi (Tetap) sama, tanggal 1/6/2011, hlm. 2. 40 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2009). hlm. 592.
Universitas Sumatera Utara
Adapun kedudukan dan tugas pengawas pemilu masing-masing berbeda sesuai dengan tingkatannya. Pasal 1 angka (15), (16), (17), (18), (19) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan : Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu adalah Panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan kabupaten/kota, Panwaslu Kecamatan adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah kecamatan atau nama lain, Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di desa atau nama lain/kelurahan, Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri. Dalam membahas tentang tugas dan wewenang pengawas pemilu, untuk memudahkan kita memahaminya perlu diuraikan terlebih dahulu pengertian tugas dan wewenag tersebut. Tugas dalam kata lainnya dapat disebut sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan, pekerjaan yang menjadi tanggungjawab seseorang pekerjaan yang dibebankan, pegawai hendaklah menjalankan masingmasing dengan baik. 41 Sedangkan wewenang dapat diartikan sebagai hak dan
41
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op cit, hlm. 1215.
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan untuk bertindak, dan kewenangan adalah kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain. 42 Tulisan ini membahas tentang analisis penegakan hukum tindak pidana pemilu legislatif tentang pelanggaran larangan kampanye dengan mengemukakan contoh kasus tindak pidana pemilu pelanggaran larangan kampanye tentang menggunakan atribut dan/atau tanda gambar selain atribut dan/atau tanda gambar peserta pemilu yang bersangkutan pada pemilu legislatif tahun 2009 yang terjadi di Kabupaten Padang Lawas dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Padangsidimpuan Jo. Pengadilan Tinggi Medan . Untuk itu akan diuraikan tentang tugas dan wewenang serta kewajiban Panwaslu Kabupaten/Kota. Pasal 78 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 menyatakan: (1). Tugas dan wewenag Panwaslu Kabupaten/Kota adalah: a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kabupaten/kota yang meliputi: 1 pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap; 2. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota; 3. proses penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota;
42
Ibid, hlm. 1272.
Universitas Sumatera Utara
4. penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota; 5. pelaksanaan kampanye; 6. perlengkapan pemilu dan pendistribusiannya; 7. pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil pemilu; 8. mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara; 9. pergerakan surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK; 10. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU kabupaten/kota dari seluruh kecamatan; 11. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu Lanjutan, dan Pemilu susulan; dan 12. proses penetapan hasil Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota; b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu; c. menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan pemilu yang tidak mengandung unsur tindak pidana; d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti; e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang; f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu oleh penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota; g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu yang sedang berlangsung; h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilu; dan i. melaksanakan tugas dan wewenag lain yang diberikan oleh undang-undang. (2). Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Panwaslu Kabupaten/Kota berwenang; a. memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g;
Universitas Sumatera Utara
b. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu. Dari ketntuan Pasal 78 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 dapat dikelompokan beberapa bentuk tugas dan wewenang dari Panwaslu Kabupaten/Kota diantaranya yaitu: 1. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan kelengkapan administrasi; 2. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan pelaksanaan kampanye; 3. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan perlengkapan pemilu, pendistribusian dan pelaksanaan pemungutan suara; 4. Kewenangan pengawasan berhubungan dengan prnghitungan suara hingga penetapan hasil pemilu; 5. Kewenangan berhubungan dengan menerima laporan, memproses laporan, meneruskan laporan, dan memberikan rekomendasi kepada yang berwenang. Adapun tentang kewajiban Panwaslu Kabupaten/kota diatur pada Pasal 79 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 yang menyatakan Panwaslu Kabupaten/Kota berkewajiban: a. Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Panwaslu pada tingkatan dibawahnya; c. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu; d. Menyampaikan laporan kepada Panwaslu Provinsi sesuai dengan tahapan pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan; e. Menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslu Provinsi berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten/Kota yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan pemilu ditingkat kabupaten/kota; dan f. Melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundangundangan. Dari uraian tentang tugas dan wewenang Panwaslu kabupaten/kota, jika terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu maka Panwaslu kabupaten/kota berwenang untuk menerima laporan dan kemudian menyelesaikan permasalahan tersebut atau meneruskan kepada instansi yang berwenang. Dalam hal adanya temuan atau laporan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu maka Panwaslu kabupaten/kota berwenang untuk menerima laporan kemudian memberikan rekomendasi kepada yang berwenang, Dalam hal ini batasan tugas dan kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota jelas hanya sampai ketingkat pemberian rekomendasi, sedangkan kewenangan untuk melakukan penyidikan tetap ada pada Kepolisian.
Universitas Sumatera Utara