kerangka konseptual. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bagaimana bentukbentuk serta pelaksanaan klausula eksonerasi dan kaitannnya dengan perlindungan para pihak khususnya dalam perjanjian jual beli kapal berbendera asing.
BAB II KETENTUAN PELAKSANAAN JUAL BELI ANTAR NEGARA MENURUT KETENTUAN HUKUM PERDATA INDONESIA A. Tinjauan Umum Tentang Pengertian Umum Perjanjian Jual Beli Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan dari Contract of sale, didalam Kitab Undang Hukum Perdata perjanjian jual beli diatur dalam pasal 41
1457 sampai dengan pasal 1540 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan perjanjian jual beli
sebagaimana
persetujuan, dengan mana
yang
diatur dalam pasal 1457 KUHPerdata
pihak satu mengikatkan dirinya
suatu kebendaan , dan pihak yang lain untuk membayar
adalah
untuk menyerahkan harga yang telah
diperjanjikan. Perjanjian jual beli dikatakan pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual beli termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang berupa akta autentik, yakni jual beli barang yang tidak bergerak.37 Menurut Subekti, didalam hukum Inggris perjanjian jual beli (contract of sale) dapat dibedakan menjadi 2 (dua ) macam, yaitu sale ( actual sale ) dan agreement to sell. Hal ini terlihat dalam section 1 ayat (3 ) dan Sale of Goods Act 1893. Sale adalah
suatu perjanjian sekaligus
dengan pemindahan hak milik
(compeyance ), sedangkan agreement to sell adalah
tidak lebih dan suatu koop
overeenkomt ( perjanjian jual beli ) biasa menurut KUHPerdata. Apabila dalam suatu sale sipenjual melakukan wanprestasi maka sipembeli dapat menggunakan upaya
dari seseorang pemilik, sedangkan dalam agreement to sell, si pembeli
hanya mempunyai personal remedy ( kesalahan perorangan) terhadap si penjual yang masih merupakan pemilik dari barangnya (penjual) jatuh pailit, barang itu masuk boedel kepailitan.38
37
Ahmadi Miru , Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011 hal 126-127. 38 Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Jakarta, 1993, hal 33
42
Menurut Salim H.S. perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat
antara pihak penjual dan pembeli. Didalam perjanjian itu pihak penjual
berkewajiban
untuk menyerahkan objek jual beli
kepada pembeli dan berhak
menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut. 39 Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut diatas adalah : a. Adanya subjek hukum yaitu penjual dan pembeli. b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga; c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara penjual dan pembeli. Dalam hal jual beli barang misalnya; oleh karena penjual barang adalah berarti menyerahkan barang kepada orang lain dengan menerima uang dari pihak lain itu, maka dapat dikatakan , bahwa selama barangnya belum diserahkan, belum terjadi suatu penjualan , dan dengan sendirinya
barang itu tetap masuk
pertanggungan jawab orang yang memegangnya. Artinya kalau barang itu musnah diluar kesalahan si penjual , maka sipembeli membayar
terlepas dari
uang harga pembelian. Ini merupakan satu contoh
suatu peraturan
dari KHUPerdata sebaiknya
kewajiban untuk dari
hal yang
tidak diambil alih dalam suatu
kodifikasi dari Hukum Perdata Indonesia. 40 1. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jual Beli 39
Salim, H.S, Hukum Kontrak dan Teknik Penyusunan Kontrak , cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 49. 40 Wirjono Prodjodikoro, Azas Hukum Perjanjian, CV. Mandar Maju , Bandung, hal 45
43
Terkait isi kontrak , kepustakaan hukum kontrak
membaginya
dalam
beberapa unsur, yaitu : a. Unsur Esensialia, merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam suatu kontrak . Dalam hal jual beli kapal maka barang dan harga merupakan unsur esensialia dalam perjanjian tersebut. b. Unsur Naturalia, merupakan unsur yang ditentukan oleh undang-undang sebagai peraturan yang bersifat mengatur , namun demikian dapat disimpangkan oleh para pihak. Misalnya Penanggungan (vrijwaring) c. Unsur Accidentalia, merupakan unsur yang ditambahkan oleh para pihak dalam hal undang-undang tidak mengaturnya. misalnya : jual beli rumah dan perabotnya. 41 Sifat dan bentuk perjanjian jual beli merupakan salah satu bagian dari azas dalam hukum perjanjian yang lebih kita kenal dengan azas konsensualisme, hal ini dapat kita lihat di dalam pasal 1320 jo
pasal 1338
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Di dalam azas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak
terhadap
pemenuhan perjanjian.42 Azas konsensualisme merupakan roh dari apabila kata sepakat
suatu perjanjian dalam arti
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata berada dalam kerangka yang sebenarnya, dalam arti terdapat cacat kehendak, maka hal ini akan mengancam eksistensi kontrak itu sendiri. Pada akhirnya sekedar 41 42
pemahaman terhadap azas konsensualisme tidak terpaku
mendasarkan kepada kata sepakat saja tetapi syarat-syarat lain dalam
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta 1987, hal 57-58 Meriam Darus Badruszaman-II, Op cit ., hal 108-109
44
pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
telah terpenuhi
sehingga
kontrak tersebut menjadi sah.43 Sebagaimana itegaskan dalam pasal 1457 KUH Perdata azas konsensualisme yang menjiwai hukum perdata , perjanjian jual beli
itu dilahirkan
pada detik
tercapainya sepakat mengenai barang dan harga begitu kedua belah pihak setuju dengan harga barang-barang maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. 44 2. Penyerahan Benda Yang Diperjual Belikan Pada dasarnya, di dalam KUHPerdata terjadinya kontrak jual beli antara penjual dan pembeli
adalah pada saat
terjadinya persesuaian kehendak
dan
pernyataan antara mereka tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar lunas.45 Walaupun perjanjian jual beli kesepakatan, namun tidak berarti belikan tersebut
mengikat
para pihak setelah tercapainya
bahwa hak milik atas barang
yang diperjual
akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya kesepakatan
karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang diperjual belikan dibutuhkan penyerahan. 46
43
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsional dalam Kontrak Komersil “ Kencana, Jakarta, 2010, hal 122-123 44 Pasal 1457 KUHPerdata berbunyi : “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika mereka mencapai sepakat tentang harga barang-barang, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar” . 45 Lihat pasal 1458 KUHPerdata 46 Ahmad Miru ,Op cit, 2011, hal 128
45
Cara penyerahan benda kualifikasi
yang diperjual belikan berbeda
barang yang diperjual belikan
tersebut. Adapun
berdasarkan
cara penyerahan
tersebut adalah sebagai berikut : 1. Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari tangan penjual atau atas nama penjual penyerahan secara langsung barang
tersebut
ke tangan pembeli, akan tetapi
dari tangan ke tangan tersebut tidak terjadi
dalam jumlah sangat banyak
jika
sehingga tidak mungkin
diserahkan satu-persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbul
tertentu
( penyerahan simbolis ), misalnya ; penyerahan kunci gudang sebagai simbol dari penyerahan barang yang ada dalam gudang tersebut. Pengecualian lain yang bersifat umum atas penyerahan nyata dari tangan ke tangan tersebut adalah : -
Barang yang dibeli tersebut sudah ada ditangan pembeli sebelum penyerahan benda tersebut dilakukan,
misalnya barang tersebut
sebelumnya
telah
dipinjam oleh pembeli. -
Barang yang dibeli tersebut
masih berada ditangan penjual pada saat
penyerahan karena adanya perjanjian lain, misalnya
barang yang sudah
dijual tersebut langsung dipinjam oleh penjual; -
Barang yang dijual tersebut
berada ditangan pihak ketiga, baik
karena
persetujuan penjual sebelum penyerahan, maupun atas persetujuan pembeli setelah penyerahan barang.
46
2. Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya adalah dengan melalui akta dibawah tangan atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas nama tersebut mengikat bagi siberutang , penyerahan tersebut harus diberi tahukan kepada siberutang atau disetujui atau diakui secara tertulis oleh siberutang. 3.
Barang tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya
adalah melalui
pendaftaran atau balik nama.47 Dalam pasal 1460 KUHPerdata, menyebutkan bahwa : Benda/barang yang sudah ditentukan dijual maka barang itu saat pembelian menjadi tanggungan si pembeli, walaupun barang itu belum diserahkan. dicabut
Namum ketentuan itu telah
dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963, sehingga ketentuan itu tidak
dapat diterapkan secara tegas, namun penerapannya harus memperhatikan : a. Bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu, dan b. Bergantung
pada yang melakukan kesalahan
atas musnahnya
barang
tersebut. Apabila
karena
kelalaian penjual, penyerahan
tersebut
tidak dapat
dilaksanakan, pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian atas alasan bahwa si penjual tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal
47
Ahmad Miru, Op. cit., hal 128-129
47
1266 BW bahwa syarat batal selalu dianggap dicantumkan dalam perjanjianperjanjian timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.48 Dalam pasal 1332 KUHPerdata : “ Hanya
barang-barang
yang bisa diperniagakan
saja
yang boleh
dijadikan objek persetujuan”. Kalau demikian apa saja yang dapat dijadikan objek persetujuan dengan sendirinya dapat dijadikan objek jual beli, asalkan benda yang menjadi objek jual beli tersebut
sudah ada atau tidak gugur
pada saat persetujuan jual beli
diperbuat maka jual beli dianggap sah. 3. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli Jual beli diatur dalam Dalam
pasal
1457
pasal 1457 sampai dengan 1540 KUHPerdata.
KUHPerdata
menyebutkan bahwa
Jual-beli
adalah
persetujuan/perjanjian dengan mana pihak yang satu-penjual-mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda (zaak), sedangkan pihak lainnya pembeli untuk membayar
harga yang telah diperjanjikan. Kewajiban utama
pembeli adalah
membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang telah dijanjikan. Akan tetapi, apabila waktu dan tempat pembayaran tidak ditetapkan dalam perjanjian, pembayaran
harus dilakukan
ditempat
dan pada waktu penyerahan barang
dilakukan.49 Harga yang diperjanjikan tersebut haruslah berupa uang, meski
48 49
Ahmadi Miru , Ibit, hal 129. Ahmadi Miru, Op cit, hal 132
48
mengenai hal ini tidak ditetapkan oleh undang-undang namun dalam istilah jualbeli sudah termaktub pengertian disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang 50 Si pembeli biarpun tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan membayar bunga
dari harga pembelian, jika barang yang dijual
dan diserahkan itu
memberi hasil atau pendapatan lain51. Jika si pembeli dalam penguasaan barang yang dibelinya, diganggu oleh suatu tuntutan hukum berdasarkan hipotik atau suatu tuntutan untuk meminta kembali barangnya, atau jika pembali mempunyai alasan yang patut
untuk khawatir ia akan diganggu, maka dapatlah ia menangguhkan
pembayaran harga pembelian, hingga sipenjual menghentikan gangguan tersebut.52 Ketentuan umum (sifat ) dan hak serta kewajiban para pihak yaitu : a. Perjanjian jual beli ini dianggap sudah terjadi
antara
pihak penjual
dan
pihak pembeli, segera setelah mereka sepakat tentang benda dan harga yang bersangkutan, walaupun baik benda maupun harganya belum diserahkan dan dibayar. ( lihat pasal 1458 KUHPerdata). b. Beralihnya hak milik benda yang dijual hanya terjadi apabila telah dilakukan penyerahan (levering). (Lihat pasal 1459 KUHPerdata) c. Penyerahan dalam jual-beli
itu adalah
suatu pemindahan barang yang telah
dijual kedalam kekuasaan (macht) dan kepunyaan ( bezit) pembeli.
50
Subekti, Op cit , hal 21 Subekti, Op cit hal 86 52 Subekti, Ibit 51
49
d. Jika
benda
yang dijual
itu
barang tertentu,apabila
para pihak
tidak
menentukan lain, maka barang tersebut sejak pembelian itu terjadi menjadi tanggungan pembeli, walaupun penyerahannya
belum dilakukan, dan penjual
dapat atau berhak untuk menuntut harganya diatur dalam pasal 1460 KUHPerdata, yang menurut para ahli hukum merupakan pasal mati atau tidak dipergunakan lagi dalam perjanjian jual beli. Adanya larangan bagi orang-orang
tertentu, karena kedudukannya
atau
karena jabatannya, untuk membeli barang-barang tertentu yaitu : a. Jual- beli antara suami-istri, dengan beberapa pengecualian; b. Hakim, Jaksa, Panitera, Advokat, Juru sita, dan Notaris untuk mernjadi pemilik hak-hak dan tuntutan-tuntutan yang menjadi pokok perkara /hal yang bersangkutan. c. Pejabat umum yang untuk dirinya sendiri atau orang-orang perantara, mengenai barang yang dijual oleh atau dihadapan mereka, dengan mengecualikan yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang; d. Kuasa (perantara) kepada siapa-siapa barang yang bersangkutan dikuasakan untuk menjualnya, pada penjualan dibawah tangan; e. Pengurus benda-benda milik negara dan badan-badan umum, kepada siapa yang dipercayakan untuk memelihara dan mengurusnya, kecuali jika telah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. 53 Kewajiban utama dari sipenjual terhadap pembeli, yaitu : a. Menyerahkan barang /benda yang bersangkutan. b. Menanggung /menjamin (vrijwaren ) c. Pengusahaan benda yang dijual itu secara aman dan tenteram ( rustig en vreedzaam) d. Cacat-cacat yang tersembunyi ( verborgen gebreken) dari benda yang bersangkutan atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan pembatalan perjanjian jual beli itu. 54
53 54
Habib Adjie, Keabsahan Kontrak, Magister Ilmu Hukum Unair Surabaya, hal 21 Habib Adjie, Ibit, hal 21
50
4. Resiko Dari Perjanjian Jual Beli Resiko adalah kerugian yang timbul diluar kesalahan salah satu pihak. Hal ini berarti bahwa dalam perjanjian jual beli kerugian itu timbul diluar kesalahan pihak penjual maupun pihak pembeli, misalnya barang yang dijual itu musnah karena kebakaran atau kebanjiran sebelum menyerahkan. Resiko dalam perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang diperjual belikan yaitu apakah (a) barang itu telah ditentukan (b) barang tumpukan; atau (c) barang yang dijual berdasarkan timbangan, ukuran, atau jumlah. Dalam hal seseorang membeli barang yang telah ditentukan, resiko ditanggung pembeli sejak saat terjadinya kesepakatan, walaupun barang tersebut belum diserahkan kepada pembeli. Ketentuan itu berlaku walaupun barang tersebut belum dibayar oleh pembeli. Hal ini berarti bahwa penjual berhak menagih harga barang kepada pembeli walaupun barang tersebut telah musnah sebelum diserahkan kepada pembeli. Resiko berlaku terhadap barang yang telah ditentukan berlaku pula terhadap barang yang dijual berdasarkan tumpukan. 55
B. Hukum Kontrak Jual Beli Menurut Hukum Perdata Internasional Hukum Kontrak Internasional merupakan bagian dari Hukum Perdata Internasional yang mengatur ketentuan-ketentuan dalam transaksi bisnis antara pelaku bisnis yang berasal dari dua atau lebih negara yang berbeda melalui suatu sarana kontrak yang dibuat atas kesepakatan oleh para pihak yang terikat dalam transaksi bisnis tersebut. Ciri-ciri internasionalnya, harus ada unsur asing dan melampaui batas negara. 55
Ahmadi Miru, Op cit, hal 130
51
Hubungan internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara saja tidaklah terbatas pada negara saja sebagaimana diawal perkembangan hukum internasional. Berbagai
organisasi internasional, individu,
perusahaan transnasional, vatican, belligerency, merupakan contoh-contoh subjek non negara.56 Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Perdata Internasional
adalah
keseluruhan kaidah-kaidah hukum dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara.57 HPI merupakan bagian daripada hukum nasional. Demikian banyak negaranegara
nasional, demikian banyak sistim-sistim HPI. Oleh karena itu
tiap-tiap
negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai sistim HPI nya sendiri. 58 HPI dirumuskan sebagai berikut : Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara yang pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik –titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan –lingkungan kuasa tempat (pribadi ) dan soalsoal. Jadi disini yang ditekankan adalah perbedaan dalam lingkungan kuasa tempat dan soal-soal serta perbedaan dalam sistem suatu negara dengan negara lain, artinya adanya unsur luar negerinya ( foreign element, unsur asing )59
56
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2010), hal 2 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Binacipta, Jakarta, 1982), hal 1 58 S. Gautama, Op cit, 1987 hal 3 59 S. Gautama, Op cit, hal 21 57
52
Kegiatan jual beli juga merupakan orientasi perdagangan internasional atau perdagangan antar negara yang berdampak luas dan kompleks karena para pihak yang terlibat tunduk pada lebih dari satu sistim hukum nasional yang berbeda satu dengan lainnya. Salah satu dampaknya yaitu penyelesaian sengketa yang mungkin timbul sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak bisnis internasional tersebut. Para pihak yang terlibat dalam pembuatan suatu kontrak bisnis internasional pada dasarnya tidak menghendaki adanya sengketa dikemudian hari, namun tidak seorangpun dapat meramalkan akan terjadinya suatu kerugian yang mungkin timbul dalam pelaksanaan kontrak tersebu hukum dari negara mana yang harus diterapkan. misalnya : sengketa yang timbul dari suatu kontrak jual beli internasional, apakah hukum yang berlaku dalam menyelesaikan sengketa tersebut adalah hukum nasional dari pihak penjual, atau hukum nasional dari pihak pembeli, atau hukum dari forum dimana sengketa itu diajukan, atau hukum yang dipilih oleh para pihak (choice of law by the parties) Yang menjadi dasar hukum untuk melakukan kontrak internasional Menurut Munir Fuadi sebagai berikut : 1. Provision contract a. Hal-hal yang diatur di dalam kontrak harus disepakati oleh para pihak, para pihak bebas menentukan isi kontrak yang dibuat di antara mereka ( freedom of contract ). Hal ini sesuai dengan pasal 1338 KUHPerdata. b. Para pihak bebas menentukan kepada siapa dia akan mengadakan perjanjian ( kontrak ) atau para pihak bebas menentukan lawan bisnisnya. 2. General contract Menurut Buku III KUHPerdata Perikatan bersumber dari : a. Perjanjian : bernama dan tidak bernama.
53
b. Undang-undang 3. Specific contract Hukum Kontrak International selain mengatur ketentuan-ketentuan umum, juga mengatur ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan kontrakkontrak tertentu, misalnya ketika kontrak Internasional dibuat dan diatur hukum Indonesia, maka berlakulah pasal-pasal KUHPerdata. Bila masalah yang diperjanjikan menyangkut hal yang baru dan tidak ditemukan dalam pasal-pasal KUHPerdata (termasuk perjanjian tidak bernama), maka berlakulah asas kebebasan berkontrak. 4. Kebiasaan Bisnis Kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum, dan hal ini juga terjadi pada hukum bisnis internasional dan kebiasaan bisnis ini dapat menjadi panduan dalam mengatur prestasi kontrak bisnis internasional dengan syarat : a. Kebiasaan tersebut terjadi perulangan b. Apa yang dilakukan berulang itu diterima sebagai hukum sehingga disebut hukum kebiasaan (accepted as law ) 5. Yurisprudensi Dasar hukum yurisprudensi jarang digunakan para pelaku bisnis internasional, karena mereka lebih menyukai lembaga Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Mereka tidak menyukai penyelesaian sengketa bisnis mereka melalui Pengadilan karena berperkara melalui pengadilan terbuka untuk umum yang dapat merusak reputasi bisnis mereka. 6. Kaidah Hukum Perdata International Kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional lebih banyak digunakan, karena transaksi bisnis internasional melibatkan berbagai pihak dari berbagai negara. Bila terjadi sengketa bisnis yang tidak diatur dalam kontrak, maka digunakanlah kaidah-kaidah hukum perdata internasional yaitu kaidah The Most Characteristic Connection. Kaidah ini digunakan bilamana para pihak tidak mencantumkan klausula hukum yang digunakan dalam kontrak, yaitu kaidah hukum negara bagi pihak yang memberikan prestasi yang paling karakteristik, misalnya eksportir dari Indonesia, importir dari Jepang, maka yang digunakan adalah hukum Indonesia.
54
7. International Convention, misalnya UNCITRAL ( United Nation Convention International Trade Law),ICC (International Chamber of Commercial): melahirkan Arbitrasemisalnya di Indonesia BANI, Kadin.60 C. Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Hukum Perdata Kontrak Perjanjian
Internasional Dalam
1. Asas-Asas Hukum Perdata Internasional Dalam Hukum Perdata Internasional dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga terhindar unsur-unsur yang merugikan para pihak membuat suatu kontrak yang mereka sepakati dan hal itu tetap berlaku dalam hukum perdata internasional. Prinsip dan klausul dalam kontrak dimaksud adalah sebagai berikut : a.
Asas Kebebasan Berkontrak (Partij Autonomie) Asas ini mengandung beberapa unsur, yaitu: 1. Seseorang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, 2. Seseorang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun juga. b. Asas Konsensualisme yaitu bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain, kecuali perjanjian itu bersifat formil. Ini berarti bahwa perjanjian itu telah dianggap ada dan mempunyai akibat hukum yang mengikat sejak tercapainya kata sepakat. Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata ayat (1) kesepakatan dimana menurut asas ini perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat. Asas konsensualisme merupakan “roh” dari perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatann para pihak , namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mecerminkan kesepakatan yang sesungguhnya. c. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda) merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan keterikatan suatu perjanjian oleh para
60
http://tadjuddin.blogspot.com/2011/07/hukum-kontrak-internasional.html pukul 21.00 WIB
55
tanggal 4 maret 2012
pihak. Jadi, setiap perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuatnya , asas kekuatan mengikat atau facta Sunt servanda dapat diketahui dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, guna mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak sejak dipenuhinya syarat. Asas kekuatan mengikat ini perlu telaah secara kritis dan tajam dengan nalar argumentasi, sebagai berikut : - Asas daya mengikat kontrak ( the binding force of contract) difahami sebagai mengikatnya kewajiban kontraktual ( i.c. terkait isi perjanjianprestasi ) yang harus dilaksanakan para pihak. - Pada dasarnya janji itu mengikat ( pacta sunt servanda ) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku dan mengikatnya kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang. -
Asas pacta sunt servanda merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya kekuatan mengikat kontrak.
-
Kekuatan mengikat kontrak pada dasarnya hanya menjangkau sebatas para pihak yang membuatnya. Hal ini dalam beberapa literatur, khusus di common low, disebut “privity of contract”.61
d. Asas Kebiasaan, suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal yang diatur secara tegas saja dalam peraturan perundang-undangan , yurisprudensi dan sebagainya, tetapi juga yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat umum. Jadi , sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan. Dengan kata lain, hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan pasal 1339 KUHPerdata. e. Asas Peralihan Resiko Dalam sistem hukum Indonesia beralihnya suatu resiko atas kerugian yang timbul merupakan suatu prinsip yang berlaku untuk jenis-jenis perjanjian tertentu seperti pada persetujuan jual beli , tukar menukar, pinjam pakai, sewa menyewa , pemborongan perkerjaan, dan lain sebagainya, walaupun tidak perlu dicantumkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Meskipun demikian para pihak boleh mengaturnya sendiri mengenai peralihan resiko itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
61
Agus Yudha Hernoko, Op cit, hal 123-124
56
f. Asas Ganti Kerugian, Penentuan ganti kerugian merupakan tugas pembuat perjanjian untuk memberikan maknanya serta batasan ganti rugi dalam sistem hukum Indonesia mungkin berbeda dengan ganti kerugian menurut sistem hukum asing. Dalam KUHPerdata prinsip ganti kerugian ini diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, yang menentukan bahwa : “ Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian pada seseorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut“. Akan tetapi harus dibuktikan dengan hubungan sebab akibat antara perbuatan hukum dengan kerugian, jika tidak terdapat hubungan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh sipelaku dengan timbulnya kerugian tersebut. g. Asas kepatutan (Equity Prinsiple ). Prinsip kepatutan ini menghendaki bahwa apa saja yang akan dituangkan dalam naskah suatu perjanjian harus memperhatikan prinsip kepatutan (kelayakan/keseimbangan), sebab melalui tolak ukur kelayakan ini hubungan hukum yang ditimbulkan oleh suatu persetujuan itu ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat ( KUHPerdata 1339 ). Dengan begitu setiap persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dimuat dalam naskah perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. h. Asas Ketepatan Waktu, setiap kontrak , apapun bentuknya harus memiliki batas waktu berakhirnya, yang sekaligus merupakan unsur kepastian pelaksanaan suatu prestasi ( objek kontrak ). Prinsip ini sangatlah penting untuk menetapkan batas waktu berakhirnya kontrak. Jika prestasi tidak dilaksanakan dengan batas waktu yang telah disepakati, salah satu pihak telah wanprestasi atau telah melakukan cidera janji yang menjadikan pihak lainnya berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi ataupun ganti rugi. i. Asas Keadaan Darurat ( Force Majeure ). Force Majeure prinsiple ini merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dicantumkan dalam setiap naskah kontak . Jika tidak dimuat dalam suatu naskah kontrak, maka bila terjadi hal-hal diluar kemampuan manusia, misalnya gempa, banjir, angin topan, gunung meletus, dan lain sebagainya, siapa yang bertanggun jawab atas semua kerugian yang timbul oleh bencana alam tersebut.62. Asas kebebasan berkontrak ini dapat dijumpai pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang merumuskan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan perumusan 62
http:// Secangkir kopi panas680.blogspot .com/2011/07/tugas hukum perdata internasionalasas.htlm?m=1, di akses pada tanggal 04 Maret 2012 pukul 22.00 WIB
57
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari kata “semua” pada hakekatnya setiap orang dapat melaksanakan perjanjian tentang apa saja, sepanjang perjanjian yang di buat tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.63 Subekti menyatakan bahwa asas ini berpangkal pada adanya kedudukan kedua belah pihak sama kuatnya dalam membuat perjanjian. Subekti juga mengatakan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam KUHPerdata, yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) itu telah memungkinkan berkembangnya hukum perjanjian, karena masyarakat diberikan kebebasan menciptakan atau membuat sendiri bermacammacam perjanjian khusus disamping perjanjian-perjanjian umum yang telah diatur dalam KUHPerdata.64 Kebebasan yang diberikan kepada para pihak yang menciptakan perjanjianperjanjian khusus itu para pihak tidak terlepas dari aturan-aturan yang ada dalam KUHPerdata, dengan kata lain para pihak juga harus berpedoman pada aturan-aturan yang ada dalam KUHPerdata, maka hal ini merupakan suatu fakta yang menunjukkan bahwa Buku III KUHPerdata yang berjudul tentang Perikatan, menganut sistem terbuka (openbaar system), berarti pasal-pasal hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap. Karena hukum perjanjian itu merupakan hukum pelengkap, maka pasalpasal yang terkandung dalam Buku III KUHPerdata itu dapat dikesampingkan apabila
63
64
Ibid., hal 14. Subekti, Ibid
58
dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, akan tetapi tidak terlepas pada hal-hal telah dibatasi dan ditetapkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata itu. Sistem terbuka yang dimiliki oleh hukum perjanjian tersebut justru memberikan kebebasan sedemikian rupa sehingga setiap orang berhak dan bebas untuk membuat atau mengadakan perjanjian yang segala sesuatunya sesuai dengan kehendak para pihak yang berjanji. Untuk itu terbuka kebebasan yang seluas-luasnya (beginsel der contractsvrijheid) untuk mengatur dan menentukan isi suatu perjanjian asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Bahkan dimungkinkan untuk mengatur sesuatu hal dengan cara yang berbeda atau menyimpang dari ketentuan yang telah diatur yang terdapat di dalam pasal-pasal hukum perjanjian.65 Namun yang penting
untuk diperhatikan
bahwa kebebasan
berkontrak
sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 (1) KUHPerdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Azas tersebut berdiri dalam suatu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktek dewasa ini, seringkali azas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan kesan pola hubungan yang tidak seimbang
dan berat sebelah. Kebebasan berkontrak
didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang , tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang.66
65
I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) dan Praktik, Mega poin, Jakarta, 2003, hal 33. 66 Agus Yudha Hernoko, Op cit, hal 111
59
Asas-asas dalam Hukum Perdata Internasional umumnya telah diterima oleh sebagian besar negara-negara dunia, karena sudah menjadi suatu yang mengikat bagi negara-negara peserta konvensi internasional untuk memenuhi ketentuan-ketentuan umum yang berlaku
secara
internasional sepanjang telah
dilakukan ratifikasi hukum dan tidak bertentangan dengan norma hukum yang dianut oleh suatu negara.
2. Prinsip-Prinsip Hukum Perdata Internasional Prinsip-prinsip dalam kontrak internasional berlaku prinsip yang umum yang selama ini diakui, termasuk juga dalam jual beli kapal berbendera asing yaitu : a. Prinsip Freedom of contract, dimana para pihak berhak menentukan perjanjian, di Indonesia terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata. b. Prinsip good faith, dimana para pihak harus beritikad baik dalam menangani kontrak. Apabila kita melakukan perjanjian dengan negara yang menganut system common law, maka perlu dipahami bahwa itikad baik menurut pengertian mereka ditempatkan setelah perjanjian ditandatangani, sehingga isi kontrak harus dipikirkan dengan baik sebelum ditandatangani. c. Prinsip Pacta sunt servanda , dimana dipatuhi oleh para pihak.
perjanjian harus
ditepati
dan
Ketiga prinsip ini harus diketahui selain prinsip yang lainnya berlaku. Prinsip yang ada dalam kontrak perdata internasional kerap harus diperhatikan teori hukum perdata internasional dalam penyusunan kontrak yang biasa dipakai seperti : 1. Lex Loci Contractus Menurut teori Lex Loci Contractus ini hukum yang berlaku adalah hukum dari mana tempat dimana kontrak itu dibuat. Jadi tempat dibuatnya suatu kontrak adalah faktor yang penting dalam
60
menentukan hukum yang berlaku. Dimana suatu kontrak dibuat, hukum dari negara itulah yang dipakai. 2. Lex Loci Solution Menurut teori ini hukum dari tempat mana perjanjian dilaksanakan, jadi bukan tempat dimana kontraknya ditandatangani akan tetapi dimana kontrak itu dilaksanakan. 3. The Proper Law Of The Contract. Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan “ intention of the parties” hukum yang akan diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Hukum yang diperjanjikan tersebut dicantumkan secara tegas didalam perjanjian , bisa juga dinyatakan tidak tegas. Apabila ditegaskan para pihak maka hukum yang diberlakukan adalah yang ditegaskan. 4. Teori The Most Characteristic Connection Pada setiap kontrak dapat dilihat pihak mana yang melakukan prestasi yang paling berkarakteristik dan hukum pihak yang paling berkarakteristik ini adalah hukum yang dianggap harus dipergunakan karena hukum inilah yang terberat dan yang sewajarnya dipergunakan. 67
Sumber hukum Perdata Internasional Indonesia tersebar dimana-mana tetapi sumber utamanya adalah Argemene Bepalingen van Wetgeving (AB), khususnya pasal 16, 17 dan 18 AB.
Pasal 16, 17 dan 18 AB merupakan kaidah penunjuk
hukum Perdata Internasional karena menunjuk pada satu sistem hukum yang berlaku sebagai wujud dari teori-teori hukum perdata internasional seperti: Lex Loci Contractus, Lex Loci Solution, The Proper Law Of The Contract. Teori The Most Characteristic Connection.
67
http:// Secangkir kopi panas680.blogspot .com/2011/07/tugas hukum perdata internasionalasas.htlm?m=1, di download pada tanggal 04/03/2012 pukul 22.00 WIB
61
D. Sumber Hukum Perdata Internasional 1.
Sumber Hukum Perdata Internasional Indonesia Sumber
Hukum Perdata Internasional Indonesia sama dengan sumber
hukum nasional karena merupakan bagian dan sumber hukum nasional yaitu : a. tertulis yaitu UU, sifatnya samar dan tidak global b. tidak tertulis bersumber dari kebiasaan dan yurisprudensi Sumber hukum Hukum Perdata Internasional Indonesia dapat digolongkan atas 2 masa yaitu : 1. Masa sebelum tahun 1945, Sumber HPI Indonesia /Zaman Hindia Belanda a. Pasal 16 AB, 17 AB dan 18 AB b. Pasal 131 IS dan 163 IS 2. Masa setelah tahun 1945 setelah kemerdekaan. a. Pasal 16 AB, 17 AB dan 18 AB b. UU kewarganegaraan RI yaitu UU nomor 62 /1958 Adapun yang menjadi sumber hukum dalam pelaksanaan kontrak al: a. Algemene Bepalingen van Wetgeving ( AB ) b. KUHPerdata c. KUHDagang. d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
62
f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional. h. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentangPenanaman Modal Asing Sumber hukum kontrak
tidak hanya
sebagaimana yang tertulis diatas ,
apabila diteliti dan pada perkembangan selanjutnya akan muncul sumber hukum kontrak lainnya, yang dikeluarkan dalam bentuk tertentu
peraturan perundang-undangan
yang disesuaikan dengan kebutuhan pada saat itu baik dalam skala
nasional maupun internasional. Wadah utama Hukum Perdata Internasional (HPI )
di cantumkan dalam
AB (Algemene Bepalingen van Wet Geving ) pasal 16 AB, 17 AB, dan 18 AB . Ketiga pasal itu merupakan ketentuan-ketentuan dasar tentang Hukum Perdata Internasional sebab itulah ia dimasukkan ke dalam AB bukan KUHPerdata, karena didalamnya terdapat pedoman-pedoman kepada para hakim dalam menjalankan tugasnya tidak saja meliputi bidang hukum perdata tapi meliputi bidang-bidang hukum lainnya. Isi dari ke tiga pasal tersebut adalah : Pasal 16 AB : Status dan wewenang seseorang harus dinilai menurut hukum nasionalnya
(lex patriae ). Jadi seseorang dimanapun ia berada
tetap terikat
kepada hukumnya yang menyangkut status dan wewenang, demikian pula orang asing. Maksudnya
status dan wewenang orang asing itu harus dinilai menurut
hukum nasional orang asing tersebut.
63
Pasal 17 AB : Mengenai benda-benda yang harus dinilai
menurut hukum dari
negara atau tempat dimana benda itu terletak ( lex resital ). Pasal 18 AB : Status campuran bentuk tindakan hukum dinilai menurut dimana tindakan itu dilakukan ( locus Regit Actum ). Ketiga pasal tersebut
diatas merupakan contoh dari ketentuan penunjuk
karena menunjuk kepada suatu sistem hukum nasional maupun hukum asing dan prinsip ini berlaku juga dalam kontrak jual beli kapal yang ada melibatkan unsure asing di dalamnya.
2. Sumber Hukum Kontrak Internasional Internasional Dalam hal skala internasional masih dijadikan rujukan
yang berasal dari Konvensi
ada aturan hukum yang masih dapat
sebagai sumber hukum kontrak jual beli yang melibatkan batas
negara sepertinya dalam kontrak jual beli kapal berbendera asing yang di lakukan di wilayah hukum Indonesia antara lain : 1. Convention on The Law Applicable to International Sales Of Good ( Konvensi atas Hukum yang Berlaku Dalam Penjualan Barang Internasional ). Konvensi ini telah diterima baru mulai
pada tahun 1951 di Den Haag, namun
ditandatangani pada tahun 1955 dengan Belgia sebagai negara
64
pertama
yang menandatangani konvensi ini pada tanggal 15 Juni 1955.
Konvensi ini seringkali disebut dengan konvensi jual beli ( 1955). Berdasarkan pasal 7 konvensi jual beli 1951 (1955) ini, negara-negara peserta berkewajiban konvensi tersebut
untuk memasukkan
ketentuan-ketentuan pokok
dari
dalam hukum nasional mereka masing-masing. Dengan
demikian tentang masalah HPI (hukum yang harus dipergunakan) dalam hal jual beli internasional terdapat kesatuan hukum.68 Konvensi ini
secara tegas mengatur benda tidak bergerak tidaklah
masuk ke dalam yurisdiksi konvensi ini, oleh karena dalam jual beli benda tidak bergerak
sudah diterima
secara umum suatu
yang berlaku adalah hukum dari negara
adagium bahwa hukum
dimana benda yang tidak bergerak
tersebut terletak ( lex rei sitae ). Selanjutnya konvensi ini juga tidak berlaku bagi jual beli
benda tak bergerak, termasuk didalamnya piutang-piutang , hak-
hak kebendaan dan surat-surat berharga.69 Terkait dengan hukum yang berlaku, dikatakan
bahwa jika
ada pilihan hukum, maka yang diberlakukan
hukum yang telah dipilih oleh para pihak. dibebaskan memilih hukum dari negara mana cocok, tidak perlu semata-mata
Dalam hal ini
adalah
para pihak
saja yang mereka anggap
merupakan pilihan –pilihan dari
dari dua
sistem hukum yang memiliki hubungan dalam jual beli transaksi internasional. 68
Sudargo Gautama (II) , Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1996, hal 138 69 Sudargo Gautama (II), Op cit, hal 146-148
65
Pilihan hukum dari negara penjual didasarkan pada kenyataan bahwa penjual mempunyai karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan pembeli, yang hanya melakukan pembayaran
sejumlah uang saja, manakala penjual
diwajibkan untuk melakukan penyerahan barang dan lain-lain dalam bentuk penjaminan, yang pada pokoknya merupakan esensi dari pelaksanaan jual beli.70 2. Convention on The Law Governing Transfer of Title in International Sales of Good ( Konvensi atas hukum yang mengatur Pengalihan Hak Dalam Penjualan Barang Internasional ). Konvensi ini merupakan tambahan terhadap konvensi jual beli 1951 ( 1955). Peralihan hal dari barang yang diperjual belikan dari penjual kepada pembeli diatur sepenuhnya oleh hukum yang berlaku sebagaimana ditetapkan berdasarkan konvensi jual beli 1951 (1955). Hal ini jugalah pada hakekatnya membuat konvensi ini tidak populer dan hanya dua buah negara yang menandatangani konvensi ini. 71 3. Convention
on The
Jurisdiction of The Selected
Forum in The Cases of
International Sales of Goods. ( Konvensi atas Jurisdiksi Pilihan Forum Dalam Kasus Penjualan Barang Internasional ). Konvensi ini jika ada pilihan forum secara tegas, maka pengadilan dari negara-negara peserta konvensi ini wajib
70 71
Sudarto Gautama (II), Op cit, hal 157-158. Sudarto Gautama (II), Op cit, hal 168.
66
untuk menolak menangani
penyelesaian sengketa jual beli internasional ini. Jika jual beli dilakukan secara lisan maka perlu dibuatkan suatu klausula tersendiri yang mengatur mengenai pilihan forum ini. Pengaturan dapat dilakukan dalam bentuk suatu pernyataan tertulis yang disetujui dan dikonfirmasikan oleh salah satu pihak, dan tidak ditentang oleh pihak lainnya.72 4. Convention Relating to A Uniform Law on The International Sales of Good dan Convention Relating to A Uniform Law on The Formation of Contracts for The International
Sales of Goods
( Konvensi
yang berkaitan dengan
Uniform atas Penjualan Barang Internasional dan Konvensi
Hukum
yang Berkaitan
dengan Hukum Uniform atas Pembentukan Kontrak Bagi Penjualan Barang Internasional ) Pasal 1 Konvensi Jual Beli 1964 mengatur mengenai hukum materil yang dibuat oleh para pihak, dimana wajib dimasukkan sebagai bagian hukum positif masing-masing negara peserta konvensi. Selengkapnya pasal 1 menurut Konvensi 1964 ini, yang dinamakan jual beli internasional adalah jual beli yang : a. Pada saat kontrak dagang internasional ditutup, barang yang diperjual belikan akan diserahkan melintasi negara,
yaitu
wilayah suatu negara
tertentu
peserta konvensi ke wilayah negara lain yang juga peserta konvensi ini.
72
Ibid, hal, 169-170
67
b. Penyerahan dari benda
dilaksanakan
berbeda
dari negara
dimana
penawaran dan penerimaan dilakukan. c. Penawaran dan penerimaan dilakukan di dua negara peserta konvensi yang berbeda; Hal yang menarik dari konvensi 1964 ini adalah dari
pihak-pihak
adanya kebebasan
dalam kontrak dagang internasional, yang meskipun
merupakan warga negara
yang bukan peserta konvensi ini, berhak untuk
memilih dan kerenanya menundukkan diri secara sukarela kepada berlakunya konvensi jual beli 1964 ini untuk mengatur hubungan atau transaksi jual beli internasional yang mereka buat. 5. Vienna Convention on Contracts for The International Sales of Goods / CISG ( Konvensi Vienna Tentang Kontrak Penjualan Barang Internasional ). Vienna konferensi
Convention
adalah konvensi
yang dihasilkan
dari suatu
yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa
(United
Nation ) yang diprakarsai oleh UNCITRAL dan sering disebut dengan CISG atau konvensi jual beli 1980. Convention on Contracts for The International Sales of Goods / CISG adalah konvensi yang mengatur aturan hukum materil yang akan diberlakukan pada
setiap transaksi
konvensi
perdagangan internasional. Dalam perdagangan ini,
yang berkaitan dengan pilihan hukum , bukanlah konvensi
yang
mengatur mengenai aturan hukum dalam transaksi perdagangan internasional,
68
melainkan hanya melakukan ketentuan hukum domestik pada suatu transaksi perdagangan internasional. Pasal 1 paragraf 1 Convention on Contracts for The International Sales of Goods / CISG berlaku untuk kontrak dagang internasional jual beli antara pihak-pihak dengan domisili
usaha yang berada pada negara yang berbeda
yang merupakan anggota konvensi jual beli 1980 ini atau ketentuan hukum perdata internasional yang berlaku untuk menunjuk pada berlakunya hukum dari negara yang merupakan anggota konvensi jual beli 1980 tersebut.73 Selain konvensi internasional yang disebutkan diatas, masih ada lagi aturan hukum yang dapat dijadikan rujukan sebagai sumber hukum kontrak, antara lain : 1. Convention Relating to Civil Prosedures, (March 1, 1954) yang berisikan antara lain : mengatur masalah sistematik pembuktian luar negeri, yaitu dengan cara commission regatoire, juga mengenai syarat-syarat penyetoran uang jaminan, ongkos perkara terhadap orang asing (cautio judicatum sovi ), bantuan hukum secara prodeo, dan paksaan badan terhadap orang asing terhadap perkara keperdataan, dan yang berkaitan dengan proses berperkara yang menempatkan orang asing sebagai pihak dalam perkara. 2. Convention on The Law Applicable to International Sales Of Good, (June 15, 1955), berisikan antara lain : mekanisme hukum yang harus dipakai dalam transaksi jual beli internasional . Prinsip yang dianut dalam konvensi ini dengan memperhatikan beberapa pengecualiaan, adalah sistem hukum dari pihak negara penjual. 3. Convention Concerning the Recognition of Legal Personalities of Foreign Companies, Association and Foundations, (June 1, 1956 ) yang berisikan antara lain : Pengakuan terhadap badan hukum, badan usaha, perkumpulan dan yayasan asing yang beroperasi di wilayah hukum suatu negara. Prinsip yang dianut dalam konvensi ini adalah badan hukum yang berlaku yaitu hukum tempat dimana badan usaha itu didirikan ( place of incorporation), 73
Gunawan Widjaja, Op cit, hal 30
69
dan bukan hukum ditempat mana perusahaan itu berkedudukan ( lex rei sitae = reading place ). 4. Convention on the Jurisdiction of Sellected Forum in the Cases of International Sales of Goods, ( April 15, 1958 ) yang berisikan antara lain : pilihan forum hukum dan hakim yang ditentukan sendiri oleh para pihak sehubungan dengan jual beli internasional yang dilakukan, konvensi ini berkaitan erat dengan Convention on the Law Governing Transfer of Title in International Sales of Goods (1958) yang mengatur tentang penentuan forum hukum untuk kepentingan peralihan hak milik atas barang yang dijual , saat beralihnya hak itu dari penjual kepada pembeli. 5. Convention Abolishing the Requirement of Legalization for Fereign Public Document, (October 5, 1961 ) yang berisikan antara lain: mengatur tentang prosedur syarat legalisasi dokumen yang telah dibuat diluar negeri yang akan dipergunakan dalam suatu perkara yang sedang berlangsung dimuka pengadilan negara lain. Menurut konvensi ini model sertifikat yang sudah pernah dikeluarkan atau yang masih dipegang oleh pemegangnya sudah cukup untuk dijadikan alat bukti , tanpa perlu memohon autentiknya dari pihak lembaga yang mengeluarkannya. 6. Convention on Testamentary Disposition , ( October 5, 1961 ) yang berisikan antara lain : tentang bentuk formal dari sesuatu testament yang dibuat diluar negeri. Konvensi ini mengutamakan prinsip favour testaments. 7. Convention on the Service Abroad of Judicial and Extra- Judicial Documents in Civil or Commercial Matters, ( November 15, 1965) yang berisikan antara lain : mempermudah cara penyampaian pemanggilan dan pemberitahuan resmi dalam perkara-perkara perdata yang diselesaikan diluar negeri, bagi warga negara asing yang bukan warga negara dari tempat penerbit surat pemanggilan. 8. Convention on the Choice of Court, ( November 15, 1965 ) yang berisikan antara lain : pengakuan prinsip kebebasan para pihak memilih forum pengadilan, hukum, hakim, untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari kontrak yang disepakati oleh para pihak. 9. Convention on Recognition and Execution of Foreign Judgement in Civil and Commercial Matters, ( 1966 ) yang berisikan antara lain : mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata dagang yang diucapkan oleh hakim pengadilan luar negeri pada forum hukum luar negeri. 10. Convention on the Taking of Evidence Abroad in Civil or Commercial Matters ( 1968 ) yang berisikan antara lain : untuk memudahkan pemanggilan dan mendengarkan kesaksian para saksi yang berada diluar negeri, memudahkan pengambilan bukti-bukti yang ada diluar negeri, untuk kepentingan proses peradilan perkara perdata dagang yang berlangsung dalam suatu negara. Hal ini dimungkinkan kerena terdapat keharusan kerjasama yang demikian diantara negara-negara anggota konvensi.
70
11. Convention on the Law Applicable to Traffic Accident, (1968), yang berisikan antara lain : mengatur tentang hukum yang berlaku terhadap tanggung jawab sipil yang bersifat nonkontraktual yang diakibatkan oleh kecelakaan perjalanan, dimana pun kejadian itu diadili. Prinsip yang dianut oleh konvensi ini adalah hukum ditempat mana yang diberlakukan yaitu hukum hukum perdata internasional internal di negara mana pun tempat kecelakaan itu terjadi. 74 Harmonisasi
dan unifikasi
dari hukum
perdagangan internasional ,
khususnya sistem hukum kontrak membuat negara-negara peserta dari konvensi internasional mengharmonisasikan hukum nasionalnya dengan konvensi-konvensi tersebut. Dalam
hal
suatu
instrument
perjanjian
ditandatangani dan disepakati oleh negara-negara
internasional
yang
telah
yang terlibat dalam suatu
perundingan umumnya masih membutuhkan adanya penegasan kembali. Penegasan kembali ini dapat dilakukan melalui lembaga ratifikasi. Konsep yang berlaku umum di dalam hukum internasional juga diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Sesudah menanda tangani perjanjian-perjanjian internasional tersebut, pemerintah Indonesia melakukan tindakan ratifikasi baik melalui Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Produk hukum
nasional hasil ratifikasi
yang dikeluarkan oleh
Pemerintah berbentuk Keputusan Presiden (Keppres), sedangkan hasil ratifikasi melalui persetujuan DPR dikeluarkan dalam bentuk undang-undang (UU). Produk
74
http://habibadjie.dosen.narotama.ac.id/files/2011/04/BAB-02.pdf, diakses pada tanggal 20 Februari
2012, pukul 21.00 WIB.
71
ratifikasi yang dikeluarkan oleh pemerintah kebanyakan dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) dan sedikit sekali dalam bentuk undang-undang (UU). Contoh produk hukum ratifikasi yaitu undang-undang nomor 17 tahun 1985, yang mengesahkan konvensi PBB mengenai hukum laut tahun 1982.75 Berdasarkan sistem hukum nasional Indonesia, maka dengan meratifikasi suatu konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah terikat
untuk tunduk pada
konvensi
ketentuan-ketentuan dalam konvensi tersebut. Suatu
atau perjanjian internasional
yang telah diratifikasi, baru dapat
dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam undang-undang yang dikenal sebagai Undang-Undang tentang Pengesahan Ratifikasi Perjanjian Internasional. Meskipun suatu perjanjian internasional dilaksanakan undangan
apabila
nasional
telah diratifikasi , tetapi perjanjian belum dapat
tidak sesuai yang mengatur
dengan isi ketentuan peraturan perundangtentang materi yang sama dengan yang
ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasi tersebut.76
Tidak semua konvensi
jual beli internasional tersebut diatas dilaksanakan di Indonesia, yang mempunyai kekuatan mengikat sepanjang keikut sertaan Indonesia menandatangani konvensi tersebut dan meratifikasinya
kedalam bentuk undang-undang (UU) ataupun
Keputusan Presiden (Keppres). Komitmen Indonesia untuk berperan secara efektif dalam perdagangan bebas membutuhkan harmonisasi hukum dengan memperhatikan aturan-aturan 75
Http :// staff.blog.ui.ac.id/andreas.pramudi…diakses pada tanggal 7 Maret 2012 pukul 20.00 WIB www.omrudi.info/2011/makalah-perdata-internasional, diakses pada tanggal 7 Maret 2012 pukul . 20.00 WIB 76
72
yang memaksa secara internasional untuk mengatasi
disparitas sistem hukum
antara common law dan civil law agar transaksi transaksi bisnis tidak terhalangi oleh kendala perbedaan persepsi. 77
3. Badan Hukum Dalam Sistem Hukum Perdata Internasional Indonesia. Badan Hukum didefinisikan sebagai berikut : “ Suatu Kumpulan /organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai
pengemban
hak dan
kewajiban-kewajiban, dapat
memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat dimuka pengadilan.78 Definisi diatas menunjukkan bahwa badan hukum adalah subyek hukum disamping
manusia. Dalam praktek yang berkaitan dengan
internasional , lazim pengertian persekutuan-persekutuan
hukum perdata
badan hukum ini diartikan dalam lingkup
tidak berbadan hukum yang pada kenyataannya bisa
diperlakukan juga seperti suatu badan hukum. 79 Seperti halnya manusia, badan hukum sebagai subyek hukum (pengemban hak dan kewajiban) mempunyai status personil. Seperti juga untuk personil status individu, status personil bagi suatu badan hukum mempunyai kedudukan yang penting. Mengenai status personil dewasa ini terdapat prinsip yang satu sama lain berbeda sesuai dengan prinsip yang dianut. 77
Mahmud Siregar, Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis vol. 27, 2008, hal 64. 78 Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hal 15 79 Ahmad M Ramli, Status Perusahaan Dalam Hukum Perdata Internasional Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 7
73
Khusus mengenai status personil individu (perseorangan) dalam hukum perdata internasional
dikenal
adanya
dua
aliran yang satu sama lain saling
bertentangan, yaitu aliran personalistis dan aliran teritorialistis.80 Sedangkan untuk status personil badan hukum titik tautnya berbeda dengan status personil individu manusia, hal ini penting untuk mengetahui hukum mana yang seharusnya berlaku untuk status personil itu. Dalam
membahas
mengenai status
masalah pengaturan, dan praktek hukum
Indonesia
personel badan hukum, pembahasannya akan dibatasi
oleh
persoalan yang menyangkut Perseroan Terbatas (PT). Sebagai salah satu
sumber hukum hukum perdata Indonesia, dapat
dikemukakan pertama-tama adalah undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, mengenai bentuk melakukan
kegiatan PMA,
UU Nomor
hukum dari badan usaha 1 tahun
yang
1967 menyatakan bahwa
Perusahaan yang dapat menjalankan kegiatan PMA di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia adalah perusahaan yang dibentuk menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.81 Selengkapnya pasal 3 ayat (1) UU PMA berbunyi sebagai berikut : “ Perusahaan yang dimaksud seluruh atau sebagian
80 81
dalam pasal 1 yang menjalankan untuk
terbesar di Indonesia sebagai
satuan perusahaan
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III, bagian I, 1981, hal 8 Ahmad M Ramli, Op cit, hal 64
74
tersendiri harus dibentuk badan hukum menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia”. Jika penggabungan
kita
analisis
pasal
3 ayat (1), maka
akan terdapat
adanya
dua prinsip yang berkaitan dengan hukum personel PT yang
melakukan kegiatan Penanaman Modal Asing (PMA), prinsip pertama akan tampak pada kalimat “ dibentuk badan hukum menurut hukum Indonesia” Hal ini menunjukkan bahwa kita
menganut
prinsip
inkorporasi, sedangkan
kalimat
”berkedudukan di Indonesia“ menunjukkan bahwa dianutnya prinsip siege reel.82 Badan hukum
sebagai layaknya manusia
mempunyai
kewenangan-
kewenangan dan tanggung jawab dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti mengugat atau digugat, dan melakukan perbuatan hukum lainnya. Namun demikian, badan hukum jika dibandingkan dengan manusia memiliki keterbatasan – keterbatasan tertentu, kewenangan yang akan sangat bergantung kepada peraturanperaturan dalam anggaran dasarnya.83 Dengan demikian terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara manusia sebagai subyek hukum yang dapat melakukan segala tindakan hukum sejauh hukum membolehkannya dan badan hukum yang hanya boleh bertindak sejauh yang diatur oleh anggaran dasarnya saja. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa anggaran dasar suatu perseroan terbatas akan memiliki arti penting dalam kaitannya dengan kewenangan dan tanggung jawab badan hukum itu, sebab di satu pihak akan menjadi sumber kecakapan bertindak dan dilain pihak 82 83
Ahmad M Ramli, Op cit , hal 64 Ahmad M Ramli, Op cit, hal 37,
75
akan menjadi batas bagi ruang lingkup kecakapan bertindak badan hukum itu.84 Jadi badan hukum tidak dapat melakukan tindakan hukum yang secara tegas dilarang dalam anggaran dasarnya. 3.1.
Nasionalitas Badan Hukum. Masalah kewarganegaraan bagi suatu badan hukum adalah suatu hal yang
tidak pernah henti-hentinya
didiskusikan
dalam lapangan Hukum Perdata
Internasional. Bagi individu manusia masalah kewarganegaraan ini menjadi titik taut yang amat penting
sehubungan dengan masalah status personel bagi yang
bersangkutan.85 Bagi suatu badan hukum persoalan ini menjadi pembicaraan yang tak pernah berhenti, karena disebabkan terdapatnya
perbedaan pendapat. Pendapat
pertama adalah adanya anggapan pentingnya suatu kewarganegaraan bagi badan hukum, dan pendapat kedua menyatakan bahwa badan hukum tidak perlu memiliki kewarganegaraan. 86 Menurut HMN Purwosutjipto bahwa kewarganegaraan suatu Perseroan Terbatas ini perlu dalam hal untuk melindungi badan hukum pernigaan nasional
84
Ahmad M Ramli, Op cit, hal 37 Ahmad M Ramli, Op cit, hal 53 86 Ahmad M Ramli, Ibid 85
76
yang masih belum kuat kedudukan ekonominya, sehingga
perlu adanya beda
perlakuan antara badan hukum perniagaan nasional dan badan hukum asing.87 Mengenai pentingnya
pemberian kewarganegaraan bagi badan hukum ini
maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa konsep nasionalitas memang tidak diperlukan dalam memecahkan hukum personel badan hukum, namun apabila hal itu menyangkut badan hukum asing dan apabila mengadakan usahanya tergantung dari syarat resiprositas atau menyangkut otorisasi tertentu, maka akan menjadikan relevan untuk menetapkan kewarganegaraan atas badan hukum itu. 2. Istilah nasionalisasi juga diperlukan untuk badan hukum dalam kaitannya dengan kasus-kasus seperti adanya diskriminasi antara nasional dan asing. 3. Masalah nasionalisasi badan hukum juga perlu juga menjadi penting untuk dibicarakan dalam kaitannya dengan masalah pajak, kaidah-kaidah tentang cara berperkara bagi orang asing, kemungkinan diletakkannya sitaan, caucatum solvi, juga ketentuan tentang pemilikan benda-benda tidak bergerak.88 3.2.
Dokrin yang Berkaitan dengan Status Personel Badan Hukum Hukum Perdata Internasional.
Dalam
3.2.1. Prinsip Inkorporasi (Doctrine of Place of Incorporation ) Menurut doktrin ini , suatu badan hukum tunduk pada hukum dimana badan hukum itu telah didirikan ( diciptakan) atau dibentuk. Doktrin ini dianggap telah memenuhi kebutuhan praktek oleh karenanya Nederland yang sebelumnya
telah diikuti secara luas. Malahan
menganut doktrin siege reel karena kebutuhan
praktis dewasa ini telah beralih menerapkan doktrin inkorporasi. Lebih lanjut dapat dikemukakan alasan-alasan tentang dianutnya doktrin inkorporasi sebagai berikut : 87
HMN Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1991, hal 91 88 Sudargo Gautama, Op cit, hal 211-216
77
1. Bahwa sesuai dengan logika hukum jika suatu badan hukum juga tunduk pada hukum dimana formalitas-formalitas untuk pendiriannya dilangsungkan sehingga suatu badan hukum tertentu hanya akan mendapat status dari suatu sistem hukum tertentu saja. Dengan demikian dikemudian hari inilah yang akan menjadi status personilnya. 2. Bahwa doktrin ini memberi kepastian hukum karena inkorporasi ini mudah ditentukan dengan jalan meneliti anggaran dasar, dokumen-dokumen pembentukan, pendaftaran-pendaftaran dalam register tertentu dan lain-lain. 3. Doktrin inkorporasi inipun akan menimbulkan kesukaran, jika suatu badan hukum berpindah tempat kedudukannya, karena hal-hal yang berkaitan dengan status badan hukum tidak akan berubah atau terganggu dengan pindahnya tempat kedudukan itu. 89 Pada kesempatan Konvensi Den Haag ke tujuh suatu konvensi yang mengatur
tahun 1951 telah diterima
pengakuan dari status badan hukum
untuk
perseroan-perseroan dagang, perkumpulan dan yayasan-yayasan internasional. Konvensi
ini pertama
kali disandarkan pada prinsip inkorporasi
demikian
dinyatakan dalam pasal 1 yang berbunyi : “ La personalite juridique, acquise par une sosiete, une association ou une foundation en vertu de la loi de I’ Etat contractant on les formalites ont ete remplies et ou se trauve le s i e g e s t a t u t a i r e. Reconneu de plain droit dans les autres Etats contractant, pourvu qu,elle comporte, outré la capasite d,ester en justice, au moins la capasite d,ester en justice, au moins la capasite de posseder des biens et de passer des contract et d’autres actes juridiques. La personnalite juridique, acquise sans formalite d’enregistrement ou de publicate sera, sous la meme condition , reconnue de plein droit, si la societe, I’association ou la foundationsa ete constitutiee selon la loi qui la regit” ( Status badan hukum yang telah diperoleh oleh suatu perseroan dagang, perkumpulan atau yayasan menurut hukum dari tempat dimana telah dilangsungkan formalitas-formalitas mengenai pendiriannya, seperti pendaftaran atau pengumuman dan dimana terdapat tempat kedudukan statutairnya diakui penuh oleh negara-negara lain yang menandatangani perjanjian ini. Termasuk didalamnya kemampuan untuk bertindak sebagai pihak dalam hukum, sekurang-kurangnya kemampuan untuk mempunyai harta dan mengadakan kontrak-kontrak serta lain-lain tindakan hukum. Jika 89
Sudargo Gautama, Op cit, hal 216-217
78
dalam Negara pendirian tidak diberlakukan formalitas-formalitas tentang pendaftaran atau pengumuman untuk pembentukan badan hukum, maka pengakuan serupa diberikan pula kepada perseroan-perseroan dagang, perkumpulan dan yayasan yang telah didirikan menurut hukum yang berlaku baginya itu )90 3.2.2. Prinsip Tempat Kedudukan Manajemen yang Efektif Prinsip ini
merupakan lawan dari prinsip inkorporasi, pada prinsipnya
menurut doktrin ini bahwa suatu badan hukum akan tunduk pada hukum dimana ia memiliki tempat kedudukan manajemen yang efektif, sehingga dengan demikian persoalan status personel dari suatu badan hukum akan tergantung dari dimana ia miliki kantor pusatnya secara efektif. Prinsip ini diikuti
secara luas oleh negara-
negara Civil Law, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa doktrin ini memiliki pengikut yang besar.91 3.2.3.
Peraturan-Peraturan Yang Berkaitan Dengan Jual Beli Kapal Dalam pelaksanaan perjanjian jual beli kapal berbendera berbendera asing
tunduk pada ketentuan
dalam
perjanjian jual beli
antar
negara
memperhatikan aturan-aturan hukum yang terkandung dalam : a. Algemene Bepalingen van Wetgeving ( AB ) b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata ). c. Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHDagang ) d. Ketentuan Perundang-Undangan ( hukum tertulis) 90 91
Sudargo Gautama, Op cit, hal 232-233 Ahmad M Ramli,, Op cit, hal 10
79
harus