35
BAB III KETENTUAN-KETENTUAN PUTUSAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Putusan Menurut Hukum Islam Al-hukmu menurut arti bahasa sebagaimana di dalam qomus AlMuhith: al-qadla‟ dan dijama‟kan kepada al-ahkam : Hukum; Putusan; dan hakim adalah orang yang menjalankan hukum, dan “Putusan yang dikeluarkan oleh hakim yang merupakan penetapan hak bagi mahkum lah (pihak yang dimenangkan) dari mahkum alaih (pihak yang dikalahkan)”. Bahwa putusan hakim itu di samping dalam bentuk ucapan seperti: aku putuskan demikian atau demikian, ada juga yang dalam bentuk perbuatan (fi‟il) seperti: perbuatan hakim yang mengawinkan seorang anak perempuan yang tidak mempunyai wali, di daerah wewenangnya, karena bagi orang yang tidak mempunyai wali, maka walinya adalah hakim. Kemudian ikut sertanya hakim dalam menangani akad pernikahan adalah merupakan putusan dan penetapan, sedang putusan dalam bentuk ucapan inilah yang akan kami bahas di sini lebih lanjut. Adapun landasan yang harus dipergunakan sebagai dasar putusanputusan hakim, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab fikqih islami, yaitu nash-nash yang pasti ketetapan adanya dan pasti petunjuk hukumnya (qath‟I tsubut wad dalalah) dari Al-qur‟an dan Sunnah, dan hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama‟ (mujmal alaih), atau hukum-hukum yang telah dikenal di dalam agama secara dlaruri (pasti).
36
1. Apabila perkara yang diajukan ke hadapan hakim itu terdapat hukumnya di dalam nash yang qath‟I tsubut dan qath‟I dalalahnya, atau terdapat ketentuan hukumnya oleh kalangan kaum muslimin, kemudian diputus oleh hakim dengan putusan yang menyalahi yang tersebut itu, maka putusan tersebut batal dan berhak dibatalkan. Kemudian apabila perkara yang diajukan itu belum ada ketentuan hukumnya sebagaimana disebutkan di atas, tapi adanya itu dalam nash yang ketetapan adanya petunjuk itu dalam persangkaan (dhanni tsubut wa dalalah), atau ketetapan adanya saja yang dalam persangkaan (dhanni tsubut), atau petunjuk hukumnya saja yang dalam persangkaan (dhanni dalalah), atau belum ada ketentuan hukumnya sama sekali. 2. Dalam hal seperti ini, kita harus memperhatikan pribadi hakim yang menjatuhkan putusan itu, karena putusan itu akan berbeda menurut perbedaan apakah hakim yang menjatuhkan putusan itu hakim mujtahid, muqallid, atau hakim yang diharuskan memutus perkara berasarkan undang-undang atau mazhab tertentu, atau dibatasi dengan ketentuan-ketentuan tertentu.1 Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, bahwa Putusan seseorang hakim tidak mengubah hakikat pekerjaan. Hanya berlaku hukumnya dalam lahir saja. Maka apabila seseorang mendakwakan orang lain sesuatu hakamnya dari mendirikan 2 saksi, lalu hakim memutuskan perkara berdasarkan persaksian itu, halallah 1
Muhammad Salam Madkur, alih bahasa; Drs. Imron AM. Peradilan Dalam Islam. PT. Bina Ilmu Surabaya 1993, cet. 4 h. 127-128
37
hak tersebut bagi pendakwa lahir dan batin, jika saksi-saksinya bersifat benar dalam persaksiannya itu. Kalau bersifat curang, maka hak tersebut menjadi hakamnya menurut lahirnya sedang dalam batin tetap hak orang yang dikalahkan (pendapat ini disetujui oleh Imam Malik dan Imam Ahmad)2 B. Sistem Peradilan dalam Islam Terdapat perbedaan pendapat apakah sistem peradilan Islam merupakan lembaga Islam murni atau bukan. Sebagian orang berpendapat, bahwa dasar-dasar sistem peradilan dalam islam tidak dibuat oleh Nabi Muhammad, empat Khulafaur-rasyidin ataupun keluarga Umayyah yang berkuasa. Tapi, sistem peradilan Islam merupakan hasil perkembangan yang panjang dan perlahan. Sedangkan kajian tentang dasar-dasarnya harus mengarah tidak kepada bangsa arab atau Al-Quran sebagaimana disebutkan fikih Islam konvensional, namun kepada masyarakat Arab Islam yang lahir di daerah-daerah yang ditaklukan kaum muslimin dan lembaga-lembaga peradilan asing yang mereka dapatkan ketika terjadi penaklukan.3 Fakta Tentang Sistem Peradilan
Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yang bertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As2
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqqi. Hukum-hukum Fiqih Islam…………. h.
525 3
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Lc. ……………….h. 330
38
Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).
Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri!. Hukuman-hukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatan tersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapat ditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih ada keraguan tentang peristiwaperistiwa tersebut maka seluruh kasus akan dibuang.
Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu: 1. Qodli „Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-kecelakaan, dsb.
2. Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan,mencuri di pasar, dsb.
3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat.4
4
http:// Puspitagiana. Com/2011/04/peradilan_islam.html,selasa, tanggal 2 Agustus 2011 jam. 11.38
39
Manusia terbatas pengetahuannya dan bisa berbuat keliru. Mereka cenderung salah dan penuh prasangka. Islam tidak menyerahkan penentuan undang-undang keadilan kepada kehendak dan selera manusia sebagaimana yang terjadi di Barat. Akan tetapi, yang berwenang membuat hukum hanyalah Allah SWT, Pencipta manusia dan Yang Maha Mengetahui tentang diri manusia. Siapakah yang lebih berhak melakukan hal ini? Allah SWT berfirman: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. 6 : 57).
Sesungguhnya menetapkan hukum adalah hak Allah. Maka anda tinggal meyakini bahwa dalam pengadilan Islam, faktor-faktor seperti hakim berteman dengan terdakwa atau, mengalami hari-hari yang tidak menyenangkan, tidak ada hubungannya dengan kerasnya hukuman yang akan dilaksanakan. Bila anda korban kejahatan dan anda miskin sedangkan lawan anda kaya, tidak akan berpengaruh apapun terhadap keputusan pengadilan. Bila anda diijinkan untuk menunjuk seorang wakil yang akan berbicara atas nama anda, tidak perlu ada sejumlah uang yang dipertaruhkan. Tujuan pengadilan semata-mata untuk menegakkan keadilan, bukan menghasilkan uang. Karena itu tidak perduli siapa yang mengusut kasus anda, atau betapapun pandainya dia bicara, semua diserahkan
kepada
mengevaluasinya.
hakim
untuk
memastikan
fakta-fakta
dan
40
Dalam Islam, bukti kesalahan tertentu sudah cukup untuk menjatuhkan vonis. Karena itu, tidak ada konsep juri, yang anggotaanggotanya mungkin tidak sepakat terhadap suatu keputusan, dengan semata-mata mendasarkan kepada kebijakan mereka pribadi. Bukti-bukti tidak langsung yang tidak meyakinkan dan mengarah kepada penafsiran yang berbeda-beda tidaklah cukup. Seluruh bukti harus diberikan kepada seorang hakim yang ahli di bidang hukum dan dia menjatuhkan hukuman sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sehingga hanya yang terbukti melakukan tindak kriminal saja yang dihukum. Para pelaku kriminal mungkin saja tidak mendapat putusan yang pasti tapi mereka tidak akan bisa menghindar dari hukuman di Hari Pembalasan. Dengan merujuk pada kedua kerangka sistem Peradilan diatas, marilah kita bandingkan cara mengatasi tindak-tindak kriminal pada umumnya yang kita sangat mengkhawatirkannya.
Tujuan dibalik pelaksanaan peradilan dalam Islam adalah bertindak sebagai pencegah, untuk merubah sikap para pelanggar dan untuk menyelamatkan masyarakat. Sebagaimana diketahui, sifat dari hukumanhukuman tersebut dalam sistem Peradilan Islam memastikan bahwa tujuan-tujuan tersebut tercapai. Sejarah telah memberi kesaksian akan hal ini dimana hanya sekitar 200 orang tercatat yang dipotong tangannya dari keseluruhan sejarah Negara Islam.
41
Sementara, keadilan yang dijalankan oleh sistem Peradilan Islam akan menentramkan jiwa anda, aman dan yakin bahwa hak-hak anda tidak akan disalahgunakan. Setelah mempertimbangkan adanya ketakwaan personal dan opini umum, tingkat peraturan terakhir adalah Sistem Peradilan Islam menjamin bahwa dunia akan terbebas dari eksploitasi dan korupsi hukum buatan manusia dan juga tindak kriminal yang menyertainya.5
Meskipun demikian, pendapat yang kuat dalam fikih Islam tradisional dan kontemporer berpendapat, bahwa peradilan dalam islam merupakan lembaga Arab murni yang tidak tercampur sedikit pun dengan apa yang ada pada umat lain, dan syariat Islamlah yang meletakkan dasar lembaga ini dan sistemya dengan bersumber dari Al-quran dan Sunnah. Sehingga, jika kaum muslimin mengambil sebagian sistem atau manajemen dari umat yang lain, menukil darinya atau mengikutinya, seperti pembentukan departemen-departemen, pada dasarnya mereka tidaklah mengambil, mengadopsi atau meniru, melainkan mereka menerapakan sistem peradilan islam secara murni.6 1.Sistem Para hakim dan Para Pembantu hakim dalam Islam Sistem Para Hakim dalam Islam
5
http:// Puspitagiana. Com/2010/12/peradilan_islam.html,senin, tanggal 25 Juli 2011 jam.
11.38 6
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Lc. ……………h. 331
42
Posisi hakim Setelah nabi, sebagian ulama meletakkan posisi hakim setelah nabi. Sebab tidak layak menangani perkara ini (peradilan) melainkan seorang nabi dengan seizin Allah. Jika tidak ada masa kenabian, maka hakim adalah orang yang bertanggung jawab tentang semua itu. Peradilan merupakan jabatan Termulia, sebagian ulama mengatakan, “Segala puji hanya bagi Allah yang membagi rezeki manusia dan ajal mereka, menempatkan bagi masing-masing mereka posisi dan derajat, dan menjadikan jabatan agama tertinggi pada dua jabatan agama tertinggi pada dua jabatan agama tertinggi pada dua jabatan peradilan dan hisbah.” Peradilan lebih tinggi Daripada kementrian, jika sebagian imam Madzhab syafi‟I menilai peradilan setara dengan khilafah, maka sebagian yang lain berpendapat bahwa kedudukan peradilan berada di atas kementrian. Sebab dalam Tarikh Qudhat Al-Andalus karya AnNabbahi Al-Maliki ketika menyebutkan biografi Al-Qadhi Abu AlMutharrif
binfathin
dikatakan,
“Dialah
pemangkas
langkah
kezhaliman.” Hukum yang diputuskan sangat tegas, semangatnya terbuka, benteng yang menakutkan bagi orang-orang yang zhalim, dan selalu menyertakan para menteri dalam mengambil keputusan.” Peradilan Merupakan Tempat penghormatan Para Khalifah, pandangan ini muncul karena dalam sejarah kita dapatkan para khalifah menempatkan penghormatan besar terhadap jabatan peradilan dan para
43
ahlinya, serta mencukupkannya dengan banyak penghormatan dalam masa hidupnya dan setelah meninggalnya. Sebab sebagian ulama menyebutkan sikap khalifah terhadap hakim ketika menyampaikan Khutbahnya, “Imam mengarahkan wajahnya ketika dalam khutbah kearah hakim untuk mengajarkan semua manusia.” Syarat-syarat Hakim dalam Islam Sifat Hakim dalam Pandangan Imam Ali bin Abi Thalib, teks yang paling dahulu dibukukan yang mencakup sifat-sifat yang harus dipenuhi seorang hakim adalah sebagaimana yang ditulis Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H/ 600 M. kepada Asytar Ab-Nakha‟i ketika diangkat sebagai gubenur di Mesir, yang di dalamnya disebutkan karakteristik peradilan. Keinginan umar bin Abdul Aziz Agar Hakim Menguasai Ijtihad dan Fikih, Sebagiaan ulama menisbatkan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau berkata, “Tidak layak sebagai hakim melainkan orang yang memiliki lima sifat: tegar, bersih, iffah (menghindari yang syubhat), santun, dan mengetahui peradilan dan tradisi sebelumnya yang telah berlaku sebelumnya.”7 Syarat-syarat kadi yang ditentukan oleh hokum islam secara lebih rinci, sebagai berikut: Pertama, beragama islam. Orang yang hendak diangkat sebagai kadi hendaklah orang yang beragama islam, sebab semua kasus yang diperiksa adalah melibatkan orang islam. 7
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Lc. ……………………..h. 335-336
44
Kedua, harus lelaki. Menurut jumhur ulama‟ di kalangan mazhab Syafi‟I, malik, dan hambali, laki-laki merupakan syarat untuk diangkat sebagai kadi. Tidak sah wanita diangkat sebagai kadi, apabila ada pihak yang mengangkat wanit sebagai kadi, maka putusan yang dijatuhkan itu tidak sah.8 Ketiga, harus orang dewasa. Karena itu tidak sah pengangkatan anak kecil sebagai hakim.. Keempat,
Seorang
yang
berakal.
Sebab
Hakim
harus
benar
pemilahannya dan bagus kecerdasannya sehinga dapat menjelaskan sesuatu yang rumit.9 Kelima, adil, yaitu benar sikapnya, jelas amanatnya, menjaga diri dari hal-hal yang haram, dan aman dalam ridha dan ketika marah. Keenam, mengetahui hukum-hukum syari‟ah, baik dasar-dasar syariah maupun cabang-cabangnya. Adapun dasar syari‟ah ada empat, Yaitu: Mengetahui Al-Quran tentang hukum-hukum yang tercakup di dalamnya, baik yang menghapuskan (nasikh) maupun yang dihapuskan (mansukh), muhkamat, mutasyabihat, umum dan khusus, global dan terperinci. Pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah yang shahih, baik dalam bentuk perbuatan, ucapan, maupun cara datangnya (asbabul wurud).
8
Abdul manan. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan (suatu kajian dalam system peradilan islam)……………………..h. 22 9 Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, ……………. h. 337-338
45
Mengetahui pendapat ulama salaf tentang apa saja yang mereka sepakati (ijma‟) dan yang mereka perselisihkan untuk mengikuti ijma‟ dan berijtihad dengan pendapatnya dalam maslah yang diperelisihkan. Mengetahui qiyas yang biasa membantu dalam mengambilkan masalah cabang yang didiamkan kepada dasar-dasar yang dijadikan rujukan dan yang disepakati.10 Keenam,sempurna panca indera. Orang yang akan diangkat sebagai kadi hendaklah orang yang sempurna pancaindranya, terutama ia dapat mendengar dan tidak bisu. Hal ini bagi seorang kadi karena akan memberikan arahan dan menanyakan segala ihwal kepada pihakpihak yang berperkara. Jika ia tidak bisa mendengar dan bisu, maka ia tidak akan dapat mencari fakta-fakta hokum dan mengetahui tentang pembuktian, sehingga putusan yang dijatuhkan akan menyimpang dari persoalan yang sebenarnya. Putusan yang disampaikan melalui isyarat tentu tidak akan dipahami oleh orang lain..11 C. Dasar-dasar dan Penetapan Hukum I. Penetapan di depan peradilan dalam islam Ketika proses peradilan dua orang atau lebih yang berselisih,
mendengarkan
penggugat
dan
dalil-dalilnya,
dan
mendengarkan penjelasan tergugat dan pembelaannya, maka hakim 10
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, ……………. h. 341 11 Abdul manan. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan (suatu kajian dalam system peradilan islam)……………………..h. 27-28
46
harus mengetahui hakekat kejadian masalah dengan menggunakan sarana-sarana penetapan yang disebut, yakni bukti-bukti. Karena bukti, sebagaimana dikatakan Ibnu qayyim adalah segala hal yang menjelaskan kebenaran. Memastikan kebenaran suatu perkara dengan cara mengenali bukti-bukti adalah suatu keharusan untuk menetapkan kebenaran, menepis kezhaliman, dan membongkar dalih-dalih kebohongan. Sesungguhnya
Nabi
Shallallahu
Alaihi
wa
Sallam
telah
memperingatkan keharusan persyaratan penetapan bukti-bukti untuk menghindari kezhaliman dan melakukan kesalahan kepada manusia. 2. Beban Penetapan Bukti Di antara kaedah universal dalam peradilan Islam adalah, bahwa “ yang asal itu terbebas tanggungan”. “ bukti dibebankan atas penuduh” untuk menetapkan apa yang dialihkan, adalah kebalikan yang bertolak belakang dengan asal tersebut. Kaidah yang pada saat sekarang dikenal dalam perundangundangan kontemporer ini dinilai sebagai kaidah hukum yang diterima dalam islam pada masa lalu dan masa sekarang, dasar jaminan peradilan, dan kebebasan individu dalam sistem islam. Sebab dengan kaidah ini, maka manusia secara aslinya dinilai bebas dari dosa apa pun atau kewajiban. Dan karena itu manusia tidak bisa di dituntut hukum apapun atau dipaksa melakukan sesuatu atau pekerjaan apapun kecuali karena sebab yang bersandarkan kepada
47
dalil yang pasti yang sampai batas yakin. Nabi Shallallhu Alaihi wa Sallam telah memaparkan kaidah ini dengan sabdanya, “bukti itu wajib bagi orang yang mendalihkan dan sumpah atas orang yang menginkari.” Kaidah tersebut dibangun dan dikokohkan para khalifah dan fuqaha‟ semunya, di antaranya kedua khalifah: Umar dan Ali , dimana keduanya menyebutkan kaidah ini dan menerapkannya dalam kehidupan aktual. 3. Cara-cara Penetapan Terdapat beberapa cara penetapan di depan peradilan, di mana sebagiannya disepakati semua madzhab dan sebagian yang lain diperselisihkan. Ulama
madzhab Hanafi menyebutkan cara-cara
penetapan hukum yang dikatakan oleh Al-hamawi sebagai berikut: “krena memutuskan merupakan hal sulit maka akan kami tunjukkan kepada yang ingin memutuskan hukum beberapa cara yang dapat dijadikan pedoman baginya, yaitu sumpah, pengakuan, bukti, pencabutan, perdamaian, dan tanda-tanda yang mendukungnya jika sampai batas yakin. Sedangkan cara-cara penetapan sebagaimana disebutkan Ibnu qyyim Al-Jauziyah adalah hujjah apa pun yang menguatkan gugatan. Hingga dalam kitabnya, At-Thuruq Al-Hukmiyah, Ibnu Qayyim menyebutkan sebanyak 26 cara penetapan hukum yang dikuatkan dengan dalil dari Al-Quran dan Hadits shahih, atau dari perbuatan
48
Rasulullah dalam perdamaian atau perang, dalam bepergian atau ketika sedang mukim. Tapi
kebanyakan
fuqaha‟
termasuk
Ibnu
Abidin,
mereka
membatasinya dalam dua hal, yaitu: gugatan dan hujjah. Gugatan dalam istilah fikih adalah pernyataan yang diterima bagi hakim yang dimaksudkan untuk penuntutan hak terhadap orang lain atau pembelaannya terhadap hak darinya. Sedangkan menurut terminologinya
pakar
undang-undang,
gugatan
adalah
dimungkinkannya merujuk kepada peradilan. Sedangkan laporan dalam pandangan mereka bukan sebagai bentuk gugatan. Adapun hujjah maka mereka berpendapat terdapat 7 bentuk, yaitu: ikrar, bukti, sumpah, pencabutan, perdamaian, ilmu hakim tentang apa yang ingin ditetapkannya dalam hukum, dan tanda-tanda jelas yang menjadikan dinilainya perkara secara pasti. i. Ikrar Ikrar
artinya,
pengakuan
seseorang terhadap
dirinya.
Sedangkan ikrar ini merupakan cara pembuktian hukum terkuat. Sebab di antara kaidah peradilan adalah, bahwa “seseorang dihukumi dengan ikrarnya.”12 ii. Bukti orang atau Persaksian Para Saksi Hakikat persaksian: ketika tertuduh tidak mengakui apa yang dituduhkan oleh penuduh, maka penuduh harus mendatangkan 12
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Lc. ……………….h. 452-453
49
bukti atas kebenaran tuduhannya. Demikian itu pada umumnya dengan bukti orang, yang dalam terminologi jumhur ulama sama dengan persaksian. Adapun persaksian adalah ungkapan tentang pemberitahuan yang benar di majelis peradilan dengan lafadz yang menunjukkan adanya persaksian itu hukumnya wajib berdasarkan firman Allah,
"Dan janganlah para saksi menolak jika mereka di panggil.”13 iii. Sumpah Di anatara hak penggugat jika tidak mampu mengukuhkan gugatannya dan tergugat menolak gugatannya maka meminta hakim agar mengarahkan sumpah kepada tergugat dalam menafikan gugatan.14 Sumpah sebagai penguat kesaksian diantara dua orang yang berselisih. Dalam syariat akan dijelaskan bahwa sumpah itu disyari‟atkan sebagai penguat (kesaksian) diantara dua orang yang saling menguat. Dua orang yang saling menguat. Dua orang yang bersengketa dan ingin memperkuat kesaksiannya, maka dia harus 13
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, . ………..h. 456 14 Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, …………h. 462
50
bersumpah. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama madinah dan para fuqaha mutaakhirin, seperti: imam Ahmad, Syafii,malik, dan imam-imam yang lainnya.15 iv. Bukti-bukti yang mendukung Perkataan
Umar
“pembuktian
itu
diwajibkan
bagi
penggugat, dan sumpah diwajibkan bagi orang (pihak) yang menolak (pengakuan).”yaitu bahwa yang dimaksud dengan pembuktian di dalam Al-quran, sunnah dan perkataan para sahabat adalah sebutan bagi segala sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran. Pembuktian menurut Al-quran, sunnah, dan perkataan para sahabat ini lebih umum dibandingkan dengan pembuktian yang dikemukakan oleh para fuqaha. Fuqaha mengkhususkan pembuktian ini kepada dua saksi atau satu saksi dan sumpah.16 Sejauh ini, jenis bukti yang paling penting adalah kesaksian (syahadah) dari saksi, begitu banyak sehingga istilah bayyinah kadang dipakai sebagai sinonim untuk para saksi. Dalam teori, bukti lebih lemah daripada kesaksian para saksi dan agar memperoleh pengakuan penuhnya sebagai alat yang paling menyakinkan dan tidak terbantahkan untuk menciptakan kewajiban harus dibuktikan dengan kesaksian para saksi.17
15
Ibnu qoyyim Al jauziyah. I‟ lam Al muwaqqi‟in „An Rabb Al-Alamin, Panduan Hukum Islam. Penerjemah; Asep saefullah FM dkk. Pustaka Azam Jakarta 2007, cet. 2 h.88-89 16 Ibnu qoyyim Al jauziyah. I‟ lam Al muwaqqi‟in „An Rabb Al-Alamin, Panduan Hukum Islam. Penerjemah; Asep saefullah FM dkk. Pustaka Azam Jakarta 2007, cet. 2 h.78 17 Josep Schacht. Pengantar Hukum Islam. Penerjemah; Joko Supomo. Nuansa, Bandung 2010, cet. 1 h. 272
51
v. Pemutusan Hakim dengan Ilmunya Di antara kaidah dasar dalam penetapan hukum bahwa hakim tidak menetapkan hukum melainkan dengan bukti. Maka hakim tidak boleh memutuskan hukum dengan ilmunya secara mutlak, baik yang diketahuinya sebelum maupun setelah menjabat hakim demikian itu baik dalam hukum had maupun yang lainnya. Pendapat yang masyhur dari mulai ketika khalifah Abu Bakar, Umar, dan Ali, bahwa hakim tidak boleh memutuskan hukum dengan pengetahuan pribadinya kecuali jika disertai saksi lain yang menguatkan pengetahuannya ini. vi. Hukum Berdasarkan Hal yang lahir Terakhir, harus kita cermati bahwa peradilan adalah berdasarkan pada bukti-bukti yang lahir. Demikian itu secara umum adalah yang benar, minimal dalam lahiriahnya. Jika tidak demikian, maka orang yang dihukumi benar (dimenangkan dalam hukum) masih bertanggung jawab dalam keagamaan. Itulah makna hadits, “kami menghukumi yang kahir, dan Allah adalah yang menguasai yang tersembunyi.”dan demikian itu juga makna perkataan Umar, “Sesungguhnya kami menghukumi kamu dengan apa yang Nampak bagi kami dari amal-amal kamu.”18 Hadis rasul yang berbunyi: 18
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari,……… h. 469
52
و, ءا ًَا ا َا بسز وءا َكى تختصًوٌ ءاني: عٍ او سهًة اٌ انُبي ص و قا ل ًٍ ف,نعم بعضكى اٌ يكوٌ انحٍ بحجتّ يٍ بعض فاقضي بُحو يًا اسًع ِ فاءًَا ا قطع نّ قطعة يٍ نُار )روا,ِقضيت نّ يٍ حق ا خيّ شياء فال ياء خذ (ّانجًع “Dari Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW bersabda: “aku ini hanyalah manusia biasa, sedang kamu mengadukan perkara kepadaku, barangkali sebagian kamu lebih pintar berhujjah (berbicara) daripada yang lain, lalu aku memutuskan berdasar apa yang kudengar. Oleh karena itu, siapa yang kuputus dengan mendapatkan hak saudaranya, maka janganlah menerimanya, karena apa yang kuputuskan untuknya itu adalah berarti sepotong dari api neraka.”19 4. Pengeluaran Hukum dan Kecacatannya Sesungguhnya yang asal bahwa ketika suatu kasus telah layak ditetapkan hukum, maka hakim wajib menetapkan hukum langsung dengan tanpa menunda. Jika tidak maka berdosa, bahkan berhak dipecat, karena dampak yang muncul akibat penundaan hukum
tentang
madharat
bagi
manusia,
menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan melenyapkan hak mereka. Fuqaha‟ menyebutkan kondisi yang di dalamnya hakim boleh menunda keputusan perkara, seperti ingin merenungkan persaksian para saksi atau meneliti mereka. Sebagaimana hakim juga boleh menunda keputusan perkara berdasarkan permintaan tergugat untuk mencermati bukti yang diajukan penggugat atau untuk menguatkan pembelaan terhadap 19
Mu‟ammar Hamidy dkk, Terjemahan Nailul Athar Himpunan Hadits-hadits Hukum Jilid 6. PT. Bina Ilmu Surabaya 1986, cet. 1 h. 626-627
53
dakwaan,
atau
menunda
keputusan
berdasarkan
permintaan
penggugat sendiri untuk memenuhi bukti-bukti dakwaan. Di antara kewajiban hakim adalah dengan memulai upaya mendamaikan antara orang-orang yang berperkara. Dalam hal ini Umar bin Al-Khathab, “ kembalikanlah peradilan di antara para karib kerabat
hingga mereka berdamai. Sebab keputusan
hukum
mewariskan kebencian.”karena itu hakim boleh menunda perkara jika jelas baginya bahwa perdamaian memungkinkan di antara dua orang yang berselisih. Di antara tradisi dalam peradilan islam adalah di sisi hakim itu terdapat fuqaha‟ untuk dijadikan rujukan musyawarah jika dia tidak sampai kepada hukum dengan mudah.20 Kewajiban hakim ketika tiada nash atau ijma‟ hukum dalam salah satun masalah, maka bermusyawarah kemudian berijtihad dengan pendapatnya sendiri untuk sampai kepada penetapan kebenaran. Tidak diragukan lagi bahwa tujuan tertinggi bagi peradilan yang adil dan misi para hakim adalah upaya untuk menegakkan kebenaran.21 Allah SWT memerintahkan hal tersebut dengan firmanNYA;
20
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari,……………. h. 469-471 21 Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari, ……………..h.472-473
54
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”(An-Nisaa‟:58)22 Sebagaimana juga dikenal dalam peradilan islam bahwa ketika hakim memutuskan hukum, maka di sana terdapat para saksi dari kalangan ulama yang mengawasi proses peradilan, kejadiankejadiannya, dan hukum yang dikeluarkan. Pada masa awal tersebarnya Islam, belum dikenal pembukuan hukum. Sebab hukum ketika itu langsung dilaksanakan setelah dikeluarkan dengan perantara orang-orang yang berperkara sendiri, atau hakim melaksanakannya seketika. Lalu pada masa bani umayyah terdapat seorang hakim yang menyadari kewajiban pembukuan hukum. Hukum yang pertama kali dibukukan adalah yang dikeluarkan oleh Sulaim bin „Itir, hakim mesir pada masa pemerintahan Mu‟awiyyah bin Abu Sufyan, tentang warisan di antara ahli waris yang datang kepadanya untuk meminta keputusan, namun kemudian mereka saling mengingkari dan berselisih. Lalu
22
Al-Qur‟an dan terjemahnya.CV. ASY-SYIFA‟ Semarang 1992, cet. 1 h. 128
55
mereka kembali kepadanya, maka dia putuskan hukum di antara mereka dan dicatatnya. Menurut pendapat Al-Mawardi, bahwa pengadilan yang mengeluarkan hukum adalah satu-satunya yang memiliki hak dalam menafsirknnya jika terjadi kerumitan di dalamnya. Hal ini pada saat sekarang dijadikan pedoman oleh para pakar hukum positif.23
23
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Penerjemah; H. Asmuni Solihan Zamakhsyari,. …………….h. 447