9
BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1
Pengertian Akuntansi Setiap badan usaha, lembaga, maupun perusahaan, dalam setiap
kegiatannya tidak lepas dari proses pencatatan akuntansi yang pada akhir aktivitasnya akan menghasilkan informasi keuangan untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Suwardjono (2011) mengutip dari American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) menyatakan bahwa: “Akuntansi adalah seni mencatat, mengklasifikasikan dan meringkas dalam bentuk yang berarti dan dalam unit uang, transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian, yang paling tidak, memilki sifat keuangan dan menginterpretasikan hasilhasilnya”
Selain itu, APB (Accounting Principal Board) Statement No.4 mendefinisikan akuntansi sebagai suatu kegiatan jasa. Fungsinya adalah memberikan
informasi
kuantitatif,
umumnya
dalam
ukuran
uang,
mengenai suatu badan ekonomi yang dimaksudkan untuk digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi, yang digunakan dalam memilih di antara beberapa alternatif (Suwardjono, 2011). Sementara akuntansi dalam pandangan Islam atau lebih dikenal dengan Akuntansi Syari'ah sering diartikan sebagai akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya, akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menerjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam aktivitas
10
masyarakat. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 bahwa Allah memerintahkan manusia untuk melakukan pencatatan secara benar atas segala transaksi yang pernah terjadi selama melakukan muamalah sesuai dengan prinsip akuntansi syari’ah yang tertuang dalam PSAK 101 dalam SAK (2009) meliputi persaudaraan (ukhuwah), keadilan („adalah), kemaslahatan (mashlahah), keseimbangan (tawazun), dan universalisme (syumuliyah). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, dalam menjalankan setiap aktivitas bisnis, maka para pelaku usaha/ bisnis tersebut bertindak dengan memperhatikan segala aturan yang ditetapkan sehingga akan melahirkan laporan keuangan yang accountable, adil peruntukannya agar tidak menimbulkan asimetri informasi, dan disajikan dengan benar tanpa menyalahi standar dan prinsip akuntansi yang berlaku.
2.2
Tinjauan Umum tentang Gadai
2.2.1
Pengertian Gadai Gadai merupakan kegiatan menjaminkan barang-barang berharga
kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga pegadaian (Kasmir, 2002: 26). Definisi lain tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 yang menegaskan bahwa gadai merupakan suatu hak yang diperoleh seorang
11
yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang memberi utang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. 2.2.2
Hak dan Kewajiban Para Pihak Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing
mempunyai hak dan kewajibannya adalah sebagai berikut (Dahlan, 2000: 383 dalam Herfika, 2013): 1)
Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai Hak pemegang gadai:
a.
Pemegang gadai berhak untuk menjual barang saat jatuh tempo atau pada waktu yang ditentukan tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berutang. Sedang hasil penjualan barang jaminan tersebut diambil sebagian untuk melunasi utang pemberi gadai dan sisanya dikembalikan kepadanya
b.
Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan
c.
Selama utangnya belum dilunasi, maka pemegang gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai
12
Kewajiban pemegang gadai: a.
Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika semua atas kelalaiannya.
b.
Pemegang gadai tidak dibolehkan menggunakan barang-barang yang digadaikan untuk kepentingan sendiri.
c.
Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.
2)
Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai Hak pemberi gadai:
a.
Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi utangnya
b.
Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dan kerusakan dan hilangnya barang gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaian pemegang gadai.
c.
Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang, bunga dan biaya lainnya
d.
Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya bila pemegang gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya
13
Kewajiban pemberi gadai : a.
Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang yang telah diterimanya dari pemegang gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan termasuk bunga dan biaya lain yang telah ditentukan pemegang gadai.
b.
Pemegang gadai berkewajiban merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang gadai.
2.2.3
Prosedur Penaksiran Barang Gadai Adapun menurut Susilo (1999) dalam Herfika (2013) pedoman
penaksiran yang dikelompokkan atas dasar jenis barangnya adalah sebagai berikut: 1)
Barang Kantong Emas
a.
Petugas penaksir melihat Harga Pasar Pusat (HPP) dan standar taksiran logam yang telah ditetapkan oleh kantor pusat. Harga pedoman untuk keperluan penaksiran ini selalu disesuaikan dengan perkembangan harga yang terjadi.
b.
Petugas penaksir melakukan pengujian karatase dan berat
c.
Petugas penaksir menentukan nilai taksiran
14
Permata a.
Petugas penaksir melihat standar taksiran permata yang telah ditetapkan oleh kantor pusat. Standar ini selalu disesuaikan dengan perkembangan pasar permata yang ada.
b.
Petugas penaksir melakukan pengujian kualitas dan berat permata
c.
Petugas penaksir menentukan nilai taksiran
2)
Barang Gudang Barang-barang gudang yang dimaksud di sini yaitu meliputi: mobil, motor, mesin, barang elektronik, tekstil, dan lain-lain.
a.
Petugas penaksir melihat Harga Pasar Setempat (HPS) dari barang. Harga pedoman untuk keperluan penaksiran ini selalu disesuaikan dengan perkembangan harga yang terjadi.
b.
Petugas penaksir menentukan nilai taksir.
2.2.4
Pemberian Kredit Gadai Prosedur
mendapatkan
Konvensional menurut
dana
pinjaman
dari
Pegadaian
Susilo (1999) dalam Herfika (2013) sebagai
berikut. 1)
Calon nasabah datang langsung ke loket penaksir dan menyerahkan barang yang akan dijadikan jaminan dengan menunjukkan surat bukti diri seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat kuasa apabila pemilik barang tidak bisa datang sendiri.
2)
Barang jaminan tersebut diteliti kualitasnya untuk menaksir dan menetapkan harganya. Berdasarkan taksiran yang dibuat penaksir,
15
ditetapkan besarnya uang pinjaman yang dapat diterima oleh nasabah. Besarnya nilai uang pinjaman yang diberikan lebih kecil daripada nilai pasar dari barang yang digadaikan. Perum Pegadaian secara sengaja mengambil kebijakan ini guna mencegah munculnya kerugian. 3)
Selanjutnya, pembayaran uang pinjaman dilakukan oleh kasir tanpa ada potongan biaya apapun kecuali potongan premi asuransi.
2.2.5
Pelunasan dan Perpanjangan Gadai Menurut Muhammad dan Hadi (2003: 36-37) dalam Herfika
(2013), prosedur pelunasan Kredit Gadai sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan pada waktu pemberian pinjaman, nasabah mempunyai kewajiban untuk melakukan pelunasan uang pinjaman yang telah diterima. Pada dasarnya, nasabah dapat melunasi kewajibannya setiap saat tanpa harus menunggu jatuh tempo pelunasan. Pelunasan uang pinjaman oleh nasabah prosedurnya adalah sebagai berikut: 1)
Nasabah membayarkan uang pinjaman dan ditambah sewa modal (bunga) langsung kepada kasir disertai dengan bukti surat gadai.
2)
Barang dikeluarkan oleh petugas penyimpanan barang
3)
Barang yang digadaikan dikembalikan kepada nasabah. Sedangkan apabila kredit belum dapat dikembalikan pada
waktunya, dapat diperpanjang dengan cara mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pinjaman selama 120 hari atau 4 bulan kembali. Dengan pelunasan sesuai ketentuan yang berlaku seperti di atas.
16
2.2.6
Pelelangan Barang Gadai Pelelangan adalah penjualan barang agunan milik nasabah oleh
Perum Pegadaian. Menurut Triandaru dan Budisantoso (2007: 222) dalam Herfika (2013), penjualan barang yang digadaikan melalui suatu pelelangan akan dilakukan oleh Perum Pegadaian pada saat yang telah ditentukan dimuka apabila hal-hal berikut ini terjadi: 1)
Pada saat masa pinjaman habis atau jatuh tempo, nasabah tidak bisa menebus barang yang digadaikan dan membayar kewajiban lainnya karena berbagai alasan, dan
2)
Pada saat masa pinjaman habis atau jatuh tempo, nasabah tidak memperpanjang batas waktu peminjamannya karena berbagai alasan. Hasil pelelangan barang yang digadaikan akan digunakan untuk
melunasi seluruh kewajiban nasabah kepada Perum Pegadaian yang terdiri dari: (1) pokok pinjaman; (2) sewa modal, dan (3) biaya lelang. Apabila barang yang digadaikan tidak laku dilelang atau terjual dengan harga yang lebih rendah daripada nilai taksiran yang dilakukan pada awal pemberian pinjaman kepada nasabah yang bersangkutan, maka barang yang tidak laku dilelang tersebut dibeli oleh negara dan kerugian yang timbul ditanggung oleh Perum Pegadaian. Sedangkan menurut Muhammad dan Hadi (2003: 37) dalam Herfika (2013), pelaksanaan lelang harus dipilih waktu yang baik agar tidak mengurangi hak nasabah, karena setelah nasabah tidak melunasi
17
hutangnya pada saat jatuh tempo dan tidak melakukan perpanjangan, maka barang jaminannya akan dilelang dan hasil pelelangan barang yang digadaikan akan digunakan untuk melunasi seluruh kewajiban nasabah yang terdiri dari: pokok pinjaman, bunga, serta biaya lelang. Sedangkan untuk prosedur pelelangannya adalah sebagai berikut: 1)
Waktunya diumumkan tiga hari sebelum pelaksanaan lelang.
2)
Lelang dipimpin oleh kantor cabang (Kepala Cabang)
3)
Dibacakan tata tertib melalui berita acara sebelum pelaksanaan lelang.
4)
Pengambilan keputusan lelang adalah bagi mereka yang menawar paling tinggi.
2.3
Tinjauan Umum tentang Gadai Syariah
2.3.1
Pengertian Gadai Syariah Dalam aturan syariat Islam, gadai dikenal dengan istilah Ar-Rahn
yang mengandung pengertian menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utang/ pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya (Antonio, 2001: 128). Dalam ilmu fiqh, rahn bermakna menjadikan barang sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ artinya menyandera
18
sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Legalitas mengenai hal ini terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 283 yang artinya: “Jika kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis (hutang itu) maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang, tetapi bila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah SWT.”
Hal ini juga dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, “Rasulullah pernah memberi makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau.” Perjanjian gadai yang yang menjadi landasan hukum pelaksanaan gadai syariah itu dalam pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para ulama ahli fiqih dengan jalan ijtihad. Hal ini telah ditetapkan dalam Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai syariah (Ar-Rahn) yang menyatakan bahwa hukum bahwa Gadai Syariah dibolehkan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa tersebut. Berdasarkan
definisi-definisi
tersebut,
maka
peneliti
menyimpulkan bahwa dalam gadai syariah merupakan suatu transaksi atas dasar kepercayaan antara kedua belah pihak baik oleh yang berpiutang maupun pihak yang menggadaikan barangnya sehingga antara keduanya terjalin suatu hubungan yang diikat kesepakatan tertentu menggunakan sistem operasional yang didasarkan pada ketentuan syariat Islam atas dasar kerelaan dan tolong-menolong antar sesama.
19
2.3.2
Rukun dan Syarat Gadai Dalam menjalankan transaksi gadai syariah, Antonio (1999: 215)
menjelaskan bahwa pegadaian harus memenuhi rukun gadai syariah, antara lain: 1)
Ar-Rahn (yang menggadaikan) Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan.
2)
Al-Murtahin (yang menerima gadai) Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai)
3)
Al-Marhun/ rahn (barang yang digadaikan) Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
4)
Al-Marhun bih (utang) Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
5)
Sighat, Ijab dan Qabul Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai. Selain rukun gadai syariah, terdapat juga beberapa persyaratan
terkait gadai syariah yang ditulis oleh Supriyadi (2012: 8), tertuang dalam Jurnal Penelitian ISLAM EMPIRIK yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STAIN KUDUS, terdiri dari:
20
1)
Ada syarat subyek, yaitu: orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin) keduanya ada syarat-syarat tertentu: (1) telah dewasa menurut hukum; (2) berakal; (3) mampu atau cakap berbuat hukum
2)
Ada syarat obyek, yaitu: barang yang dapat di gadaikan (marhun) dengan
syarat-syarat
tertentu
antara
lain:
(1)
benda
yang
mengandung nilai ekonomis; (2) dapat diperjualbelikan dan tidak melanggar Undang-Undang; (3) barang milik rahin; (4) benda bergerak 3)
Adanya kata sepakat (sighot) yaitu: kata sepakat setelah negosiasi antara rahin dan murtahin yang kemudian di implementasikan dalam perjanjian.
2.3.3
Akad Perjanjian Gadai Dalam mekanisme perjanjian gadai, terdapat tiga alternatif akad
perjanjian, antara lain (Sudarsno, 2012: 179): 1)
Akad al-Qardul Hasan Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian (marhum).
21
2)
Akad al-Mudharabah Akad
yang
dilakukan
untuk
nasabah
yang
menggadaikan
jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi. 3)
Akad Bai‟al-Muqayadah Untuk sementara akad ini dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan, rahin tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan barang jaminan yang dapat dijaminkan untuk akad ini adalah barang-barang yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin atau murtahin. Dengan demikian, murtahin akan membelikan barang yang sesuai dengan keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark-up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai batas waktu yang telah ditentukan.
2.3.4
Jenis Barang yang Digadaikan Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah
barang yang dihasilkan dari sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut di tangan nasabah bukan karena hasil praktek riba, gharar, dan maisir. Barang-barang tersebut antara lain:
22
1)
Barang perhiasan, seperti; perhiasan yang terbuat dari intan, mutiara, emas, perak, platina, dan sebagainya.
2)
Barang rumah tangga, seperti perlengkapan dapur, perlengkapan makan
atau
minum,
perlengkapan
kesehatan,
perlengkapan
bertaman, dan sebagainya. 3)
Barang elektronik, seperti; radio, tape recorder, video player, televisi, komputer, dan sebagainya.
4)
Kenderaan; seperti motor, mobil, dan sebagainya. Lebih
lanjut,
Sudarsono
(2012:
187)
menjelaskan
bahwa
keberadaan barang gadai selain karena alasan syariah, juga dikarenakan alasan keterbatasan tempat penyimpanan barang jaminan, seperti: 1)
Barang-barang yang berukuran besar, seperti; pesawat terbang, kereta api, tank, dan sebagainya.
2)
Barang-barang berbahaya, seperti; bahan peledak, bom, granat, dan sebagainya.
3)
Barang-barang yang sulit dalam penyimpanan dan pemeliharaannya seperti; tanaman, hewan, dan sebagainya.
2.3.5
Penaksiran Barang Gadai Besarnya nilai barang yang akan digadaikan akan menjadi
penentu besarnya pinjaman dari pegadaian syariah yang diberikan kepada nasabah. Barang yang diterima dari calon nasabah harus ditaksir terlebih dahulu oleh petugas penaksir untuk mengetahui nilai dari barang tersebut.
23
Barang gadai ditaksirkan atas beberapa pertimbangan, seperti jenis barang, nilai barang, usia barang, dan lain sebagainya. Dalam hal penaksiran
barang
operasi
pegadaian
syariah
didasarkan
pada
pembagian level tanggung jawab penentuan taksiran; 1)
Golongan A dilaksanakan oleh penafsir yunior
2)
Golongan B dan C dilaksanakan oleh penafsir Madya
3)
Golongan D dan E dilaksanakan oleh penafsir Senior/ Manajer Cabang. Besarnya nilai taksiran dan besarnya biaya administrasi yang
dibebankan kepada setiap golongan adalah sebagai berikut:
Tabel 1: Biaya Administrasi berdasarkan Golongan Golongan A B C D E
Besarnya Taksiran (Rp) 100.000,- s.d 500.000 510.000,- s.d 1.000.000,1.050.000,- s.d 5.000.000,5.050.000,- s.d 10.000.00 0,10.050.000
Biaya Administrasi (Rp) 5.000,6.000,7.500,10.000,15.000,-
Sumber: Sudarsono, Heri. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi). Jogjakarta: Ekonisia
Di samping biaya administrasi, terdapat juga perhitungan tarif jasa simpan pegadaian syariah atas dasar: 1)
Nilai taksiran barang yang digadaikan
2)
Jangka waktu gadai ditetapkan 90 hari. Perhitungan tarif jasa simpan dengan kelipatan 5 hari, dimana satu minggu dihitung 5 hari.
3)
Tarif jasa simpan per 5 hari.
24
Tabel 2: Tarif Jasa Simpan berdasarkan Nilai Taksiran Nilai Taksiran (Rp)
s.d 500.000 500.000,- s.d 1.000.000,1.000.000,- s.d 5.000.000,5.000.000,- s.d 10.000.000,10.000.000
Tarif Jasa Simpan (Rp) 45 225 450 2.250 4.500
Biaya Administrasi (Rp) 5.000,6.000,7.500,10.000,15.000,-
Sumber: Sudarsono, Heri. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi). Jogjakarta: Ekonisia
Penentuan jasa simpanan dalam pegadaian syariah menurut Sudarsono (2012: 189) didasarkan pada: 1)
Unit layanan gadai syariah memperoleh pendapatan dari jasa atas penyimpanan barang gadai
2)
Tarif dihitung berdasarkan volume dan nilai barang gadai
3)
Dipungut di belakang pada saat nasabah melunasi utangnya.
4)
Tarif ditetapkan sebesar Rp 45,- untuk setiap kelipatan nilai taksiran barang gadai emas Rp 10.000,Rumus perhitungan jasa simpanan barang jaminan Emas/ berlian
sebagai berikut. NT x T x W Kx5 Di mana: NT
= Nilai taksiran
K
= Tarif Jasa Simpan
W
= Jangka waktu kredit
K
= Konstanta; 10 ribu, 50 ribu, 100 ribu, 500 ribu dan 1 juta
25
Jasa simpanan dalam waktu 15 hari dapat dihitung sebagai berikut:
Tabel 3: Jasa Simpanan Nasabah Kurun Waktu 15 Hari Taksiran
Dibulatkan
Konstanta
205.400 724.800 2.465.000 6.502.900 15.525.000
210.000 700.000 2.500.000 6.500.000 16.000.000
10.000 50.000 100.000 500.000 1.000.000
Tarif Jasa Simpan 45 225 450 2.250 4.500
Jangka Waktu 15:5 15:5 15:5 15:5 15:5
Jasa Simpan 2.835 9.450 33.750 87.750 316.000
Sumber: Sudarsono, Heri. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi). Jogjakarta: Ekonisia
Rumus untuk menghitung jasa simpanan selain emas dan berlian dihitung dengan cara mengkalikan rumus di atas dengan 1,1 untuk barang elektronik; 1,25 untuk sepeda motor; 1,5 untuk mobil. Perbandingan perhitungan gadai syariah dan gadai konvensional dapat ditunjukkan sebagai berikut:
Tabel 4: Perbandingan Perhitungan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional Gadai Syariah Taksiran barang = Rp 5.500.000 Uang pinjaman yang diterima = 90% x Rp 5.500.000 = Rp 5.000.000,(pembulatan) Biaya administrasi gol. C = Rp 7.500 Jasa titipan 5 hari = Rp 5.550.000 x Rp 45 = Rp 25.000 Rp 10.000 Masa periode 3 bulan = Rp 5.550.000 x Rp 810 = Rp 449.600 Rp 10.000
Gadai Konvensional Taksiran barang = Rp 5.500.000 Uang pinjaman yang diterima = 88% x Rp 5.500.000 = Rp 4.880.000,(pembulatan) Biaya administrasi gol. C = 0,5% x Rp 4.880.000 = Rp 25.000 Sewa modal 5 hari = 1,625% x Rp 4.880.000,- = Rp 79.300,(pembulatan) Masa periode 3 bulan = 9,75 % x Rp 4.880.000 = Rp 475.800
Sumber: Sudarsono, Heri. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Deskripsi dan Ilustrasi). Jogjakarta: Ekonisia
26
2.3.6
Tahap Akhir Gadai Jenis pelunasan pada pegadaian syariah terdiri dari pelunasan
penuh, ulang gadai, angsuran, tebus sebagian. Pada dasarnya nasabah dapat melunasi kewajiban setiap waktu tanpa menunggu jatuh tempo. Setelah adanya pelunasan, nasabah dapat mengambil barang yang telah digadaikan. Prosedur pelunasan dilaksanakan dengan cara nasabah membayar pokok pinjaman dan jasa simpanan sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan. Namun apabila nasabah tidak mampu membayar sebesar uang pinjamannya ditambah jasa simpanan tersebut, maka barang dilelang atau dijual oleh Pegadaian Syariah (Supriyadi, 2012: 14). Penjualan barang jaminan adalah upaya pengembalian uang pinjaman beserta jasa simpan yang tidak dilunasi sampai batas waktu yang telah ditentukan. Penjualan barang gadai ini dilakukan setelah pemberitahuan dilakukan paling lambat 5 hari sebelum tanggal penjualan, melalui; 1) surat pemberitahuan ke masing-masing alamat; 2) dihubungi melalui telepon; 3) papan pengumuman yang ada di kantor cabang, informasi di kantor kelurahan/ kecamatan untuk cabang di daerah. Apabila setelah dilakukan penjualan oleh pegadaian syariah ada kelebihan hasil penjualan barang gadai maka: 1)
Uang kelebihan hasil penjualan barang gadai milik nasabah
2)
Nasabah dapat meminta uang kelebihan ini ke Kantor Cabang Unit Layanan Gadai Syariah setempat
27
3)
Bila dalam 1 tahun tidak diambil, uang tersebut akan disalurkan ke lembaga ZIS. Uang kelebihan penjualan barang gadai adalah selisih antara
harga lakunya penjualan barang gadai dikurangi dengan (uang pinjaman + jasa simpanan + biaya penjualan barang gadai).
2.4
Tinjauan Penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dalam Kaitannya dengan Pegadaian Adapun tinjauan penerapan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) yang digunakan oleh PT Pegadaian (Persero) dalam Pernyataan KAP (Kantor Akuntan Publik) pada laporan Keuangan 2012 tentang Penerapan Standar Akuntansi Keuangan adalah sebagai berikut. 1)
PSAK No. 16 tentang Aset Tetap Tujuan pernyataan ini mengatur perlakuan akuntansi
aset tetap
sehingga informasi mengenai investasi entitas dalam aset tetap dan perubahan dalam investasi mudah dipahami. 2)
PSAK No. 26 tentang Biaya Pinjaman Pernyataan ini mengatur tentang biaya pinjaman yang dapat diatribusikan secara langsung dengan perolehan, konstruksi, atau produksi aset kualifikasian dikapitalisasi sebagai bagian biaya perolehan aset tersebut.
28
3)
PSAK No. 46 (Revisi 2010) tentang Pajak Penghasilan Tujuan pernyataan ini adalah mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak penghasilan yaitu bagaimana menghitung konsekuensi pajak kini dan mendatang.
4)
PSAK No. 50 (Revisi 2010) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian Tujuan pernyataan ini
adalah menetapkan prinsip penyajian
instrument keuangan sebagai liabilitas atau ekuitas dan saling hapus aset keuangan dan liabilitas keuangan. Prinsip dalam pernyataan ini melengkapi
prinsip
pengakuan
aset
keuangan
dan
liabilitas
keuangan dalam PSAK 55 (revisi 2006) dan pengungkapan informasi dalam PSAK 60. 5)
PSAK No. 60 “Instrumen Keuangan: Pengungkapan”. Tujuan
pernyataan
menyediakan
ini
adalah
pengungkapan
mensyaratkan
dalam
laporan
entitas keuangan
untuk yang
memungkinkan para pengguna mengevaluasi posisi dan kinerja keuangan entitas serta sifat dan luas risiko yang timbul. Ilustrasi Jurnal menurut Fitriani (2009) sebagai berikut. a)
Bagi pihak yang menerima gadai Pada saat menerima barang gadai tidak dijurnal tetapi membuat tanda terima atas barang
1)
Pada saat menyerahkan uang pinjaman Jurnal:
29
Piutang
Rp xxx Kas
2)
Rp xxx
Pada saat menerima uang untuk biaya sewa modal (bunga) Jurnal: Kas
Rp xxx Pendapatan
3)
Pada
saat
pelunasan
Rp xxx
uang
pinjaman,
barang
gadai
dikembalikan dengan membuat tanda serah terima barang. Jurnal: Kas
Rp xxx Piutang
4)
Rp xxx
Pada saat jatuh tempo, uang tidak dapat dilunasi dan kemudian barang gadai dijual oleh pihak yang menggadaikan. Penjualan barang gadai, jika nilainya sama dengan piutang Jurnal: Kas
Rp xxx Piutang
Rp xxx
Jika kurang, maka piutangnya masih tersisa sejumlah selisih antara nilai penjualan dengan saldo piutang. b)
Bagi pihak yang menggadaikan Pada saat menyerahkan aset tidak dijurnal, tetapi menerima tanda terima atas penyerahan aset serta membuat penjelasan atas catatan akuntansi atas barang yang digadaikan.
30
1)
Pada saat menerima uang pinjaman Jurnal: Kas
Rp xxx Utang
2)
Rp xxx
Bayar uang untuk sewa modal (bunga) Jurnal: Biaya bunga
Rp xxx Kas
3)
Rp xxx
Ketika dilakukan pelunasan atas utang Jurnal: Utang
Rp xxx Kas
4)
Rp xxx
Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi sehingga barang gadai dijual. Pada saat penjualan barang gadai Jurnal: Kas
Rp xxx
Akumulasi Penyusutan
Rp xxx
Kerugian (apabila rugi)
Rp xxx
Keuntungan (apabila untung)
Rp xxx
Aset
Rp xxx
31
Pelunasan
utang
atas
barang
yang
dijual
pihak
yang
menggadai. Jurnal: Utang
Rp xxx Kas
Rp xxx
Jika masih ada kekurangan pembayaran utang setelah penjualan barang gadai tersebut, maka berarti pihak yang menggadaikan masih memiliki saldo utang kepada pihak yang menerima gadai.
2.5
Tinjauan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 107 tentang Ijarah Dalam gadai syariah, penentuan biaya dan pendapatan sewa
(ijarah) atau penyimpanan dilakukan berdasarkan akad pendamping dari gadai syariah yaitu akad ijarah (PSAK 107) yang terkait pencatatan akuntansinya didasarkan pada hal-hal sebagai berikut. 2.5.1
Ruang Lingkup Pernyataan ini diterapkan untuk entitas yang melakukan transaksi
ijarah dan mencakup pengaturan untuk pembiayaan multijasa yang menggunakan akad ijarah, namun tidak mencakup pengaturan perlakuan akuntansi untuk obligasi syariah (sukuk) yang menggunakan akad ijarah.
32
2.5.2
Definisi Berikut ini adalah pengertian istilah yang digunakan dalam
Pernyataan ini: 1)
Aset ijarah adalah aset baik berwujud maupun tidak berwujud, yang atas manfaatnya disewakan.
2)
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu aset dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa
3)
(ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sewa yang dimaksud adalah sewa operasi (operating lease).
4)
Ijarah muntahiyah bittamlik adalah ijarah dengan wa‟d perpindahan kepemilikan aset yang di-ijarah-kan pada saat tertentu.
5)
Nilai wajar adalah jumlah yang dipakai untuk mempertukarkan suatu aset
antara
pihak-pihak
yang
berkeinginan
dan
memiliki
pengetahuan memadai dalam suatu transaksi dengan wajar (arms length transaction). 6)
Obyek ijarah adalah manfaat penggunaan aset berwujud atau tidak berwujud.
7)
Sewa operasi adalah sewa yang tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset.
8)
Umur manfaat adalah suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan atau jumlah produksi/ unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset.
33
9)
Wa‟d adalah janji dari satu pihak kepada pihak lain untuk melaksanakan sesuatu.
2.5.3
Pengakuan dan Pengukuran Terdapat beberapa ketentuan untuk pengakuan dan pengukuran
yang dijelaskan dalam PSAK 107, yakni: 1)
Pinjaman/ kas dinilai sebesar jumlah yang dipinjamkan pada saat terjadinya.
2)
Pendapatan sewa selama masa akad diakui pada saat manfaat atas aset (sewa tempat) telah diserahkan kepada penyewa (rahin).
3) 2.5.4
Pengakuan biaya penyimpanan diakui pada saat terjadinya. Penyajian dan Pengungkapan Berdasarkan penjelasan yang terdapat dalam PSAK 107,
penyajian dan pengungkapan meliputi: 1)
Penyajian,
pendapatan
ijarah
disajikan
secara
neto
setelah
dikurangim beban-beban yang terkait. Misalnya beban pemeliharaan dan perbaikan, dan sebagainya. 2)
Pengungkapan, murtahin mengungkapkan pada laporan terkait transaksi ijarah dan ijarah muntahiyah bit tamlik.
(1)
Penjelasan umum isi akad yang signifikan yang meliputi tetapi tidak terbatas pada: keberadaan wa’ad pengalihan kepemilikan dan mekanisme
yang
digunakan
(jika
ada
wa‟ad
pengalihan
kepemilikan); pembatasan-pembatasan; agunan yang digunakan. (2)
keberadaan transaksi jual dan ijarah (jika ada).
34
Ilustrasi Jurnal menurut Fitriani (2009) sebagai berikut. a)
Bagi pihak yang menerima gadai (Murtahin) Pada saat menerima barang gadai tidak dijurnal tetapi membuat tanda terima atas barang
1)
Pada saat menyerahkan uang pinjaman Jurnal: Piutang
Rp xxx Kas
2)
Rp xxx
Pada saat menerima uang untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan Jurnal: Kas
Rp xxx Pendapatan
3)
Rp xxx
Pada saat mengeluarkan biaya untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan Jurnal: Biaya ijaroh
Rp xxx Kas
4)
Pada
saat
pelunasan
Rp xxx uang
pinjaman,
barang
gadai
dikembalikan dengan membuat tanda serah terima barang. Jurnal: Kas
Rp xxx Piutang
Rp xxx
35
5)
Pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi dan kemudian barang gadai dijual oleh pihak yang menggadaikan. Penjualan barang gadai, jika nilainya sama dengan piutang. Jurnal: Kas
Rp xxx Piutang
Rp xxx
Jika kurang, maka piutangnya masih tersisa sejumlah selisih antara nilai penjualan dengan saldo piutang. b)
Bagi pihak yang menggadaikan (Rahin) Pada saat menyerahkan aset tidak dijurnal, tetapi menerima tanda terima atas penyerahan aset serta membuat penjelasan atas catatan akuntansi atas barang yang digadaikan.
1)
Pada saat menerima uang pinjaman Jurnal: Kas
Rp xxx Utang
2)
Rp xxx
Bayar uang untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan Jurnal: Biaya ijaroh
Rp xxx Kas
3)
Rp xxx
Ketika dilakukan pelunasan atas utang Jurnal:
36
Utang
Rp xxx Kas
4)
Rp xxx
Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi sehingga barang gadai dijual Pada saat penjualan barang gadai Jurnal: Kas
Rp xxx
Akumulasi Penyusutan
Rp xxx
Kerugian (apabila rugi)
Rp xxx
Pelunasan
Keuntungan (apabila untung)
Rp xxx
Aset
Rp xxx
utang
atas
barang
yang
dijual
pihak
yang
menggadai Jurnal: Utang
Rp xxx Kas
Rp xxx
Jika masih ada kekurangan pembayaran utang setelah penjualan barang gadai tersebut, maka berarti pihak yang menggadaikan masih memiliki saldo utang kepada pihak yang menerima gadai.
37
2.6
Kajian Penelitian yang Relevan Penelitian tentang analisis perbandingan gadai syariah dan gadai
konvensional kaitannya dengan sistem pencatatan ini sebelumnya telah diteliti oleh beberapa peneliti di masing-masing lokasi yang berbeda. Ramadhani (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Perlakuan Akuntansi Pembiayaan Gadai Syariah PT. Bank BNI Syariah, Tbk. Cabang Makassar” mengungkap bahwa dalam aktivitasnya, PT. Bank BNI Syariah telah menjalankan pedoman akuntansi PSAK 107, dan telah sesuai dengan penerapan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No.26/DSN-MUI/III/2002.
Serta
Tingkat
pengembalian
keuntungan dari pendapatan pembiayaan gadai syariah (rahn) untuk tahun 2010 ke tahun 2011 mengalami peningkatan. Lebih
lanjut,
Susilowati
(2008)
dalam
tesisnya
tentang
“Pelaksanaan Gadai dengan Sistem Syariah di Perum Pegadaian Semarang” mengungkap hasil penelitiannya bahwa Pegadaian Syariah memiliki perbedaan mendasar dengan pegadaian konvensional dalam pengenaan biaya. Pegadaian konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda, lain halnya dengan biaya di Pegadaian Syariah yang tidak berbentuk bunga, tetapi berupa biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, dan penaksiran. Biaya gadai syariah lebih kecil dan hanya sekali saja. Fitriani
(2009)
dalam
jurnalnya
yang
berjudul
“Analisis
Implementasi dan Penerapan Akuntansi dalam Sistem Pembiayaan Ar-
38
Rahn (Gadai Syariah) pada Pegadaian Syariah Cabang Dewi Sartika dan Pegadaian
Konvensional
Cabang
Cibitung
Periode
2008”,
lebih
menitikberatkan pada perbedaan yang paling menonjol antara pegadaian syariah dan konvensional adalah dari segi perhitungannya. Dalam perlakuan akuntansinya pun tidak
terlalu sulit untuk dipelajari dan
memahaminya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada cabang pegadaian baik syariah maupun konvensional hanya membuat laporan bulanan berupa arus kas saja yang setelah itu akan dikirim ke kanwil, dan di kanwil inilah akan dibuat laporan konsolidasi, lalu akan dikirim ke pegadaian pusat dan di pusat inilah akan dibuat laporan keuangan pegadaian pusat. Selanjutnya, Suryati, dkk. (2013) melakukan Kajian Implementasi Ar-rahn
(Gadai)
di
Unit
Pegadaian
Syariah
Bangkalan.
Dalam
penelitiannya, mereka menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pengumpulan data dalam penelitian ini melalui dari hasil wawancara, dokumentasi dan observasi langsung kelapangan. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa minat masyarakat Bangkalan terhadap produk rahn dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup pesat, di mana terlihat dari jumlah nasabah dan omsetnya dari tahun 2010 sampai 2012 yang cukup posotif, serta telah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn. Adapun penelitian oleh Supriyadi (2012) tentang “Struktur Hukum Akad
Rahn
di
Pegadaian
Syariah
Kudus”,
hasil
penelitiannya
39
menunjukkan bahwa struktur hukum akad rahn di Pegadaian Syariah Kudus memuat suatu perbuatan hukum oleh seseorang atau rahin mengikatkan diri pada orang lain atau murtahin untuk memperoleh pinjaman uang dengan jaminan berupa benda bergerak. Aziza (2009) dalam skripsinya meneliti tentang “Perspektif Hukum Islam terhadap Penerapan Prinsip Ijaroh pada Praktik Tarif Jasa Simpan di Pegadaian Syariah
Cabang
Kusumanegara
Jogyakarta”.
Hasil
penelitiannya
menunjukkan bahwa pelaksanaan prinsip ijarah tarif jasa simpan sudah sesuai dengan fatwa DSN, yaitu tidak berdasarkan pada jumlah pinjaman melainkan berdasarkan pada jumlah taksiran barang yang digadaikan. Kemudian Pegadaian Syariah mempunyai kebijakan diskon yang diterapkan pada tarif jasa simpan, sebagai bentuk penghargaan atas kepercayaan yang diberikan nasabah terhadap Pegadaian Syariah. Sementara dalam pelaksanaan prinsip ijarah sudah sesuai dengan hukum Islam, yakni didasarkan para prinsip muamalah yaitu mubah, sukarela, tolong-menolong, dan membawa kemaslahatan. Ismail (2008) dalam penelitiannya tentang “Kecenderungan Masyarakat Kota Gorontalo dalam Memilih Lembaga Pegadaian (Studi atas Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah)” mengungkapkan bahwa perbedaan mendasar antara Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah adalah dalam pengenaan biayanya. Selain itu, sistem sistem operasional, prinsip, dan manajemennya pun berbeda. Dan dari perbedaan-perbedaan itu pada gilirannya menjadi alasan dan faktor yang
40
menjadi dasar masyarakat untuk menentukan pilihannya, apakah cenderung memilih Pegadaian Syariah atau Konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan gadai syariah telah banyak mendapat respon positif dan mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perbandingannya dengan gadai konvensional juga makin jelas menunjukkan bahwa sistem gadai syariah lebih banyak memiki manfaat. Akan tetapi, masing-masing
penelitian sebelumnya belum menjawab
keseluruhan rumusan masalah yang akan diteliti peneliti. Di mana dalam penelitian yang dilakukan peneliti bertujuan untuk mencari perbedaan antara pembiayaan gadai syariah dengan konvensional pada Pegadaian Syariah dan Konvensional Cabang Gorontalo. Berikut ini akan disajikan sejumlah penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.
41
Tabel 5: Kajian Penelitian Yang Relevan No
Nama/Tahun
Judul
Hasil
1
Ismail (2008) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo
Kecenderungan Masyarakat Kota Gorontalo dalam Memilih Lembaga Pegadaian (Studi atas Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah)
Perbedaan mendasar antara Pegadaian Konvensional dan Syariah adalah dalam pengenaan biayanya. Selain itu, sistem sistem operasional, prinsip, dan manajemennya pun berbeda sehingga melatar belakangi masyarakat untuk menentukan pilihannya, apakah cenderung memilih Pegadaian Syariah atau Konvensional.
2
Susilowati (2008) Universitas Diponegoro Semarang
Pelaksanaan Gadai Sistem Syariah di Pegadaian Semarang
dengan Perum
Pegadaian Syariah memiliki perbedaan mendasar dengan pegadaian konvensional dalam pengenaan biaya. Pegadaian konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda, lain halnya dengan biaya di Pegadaian Syariah yang tidak berbentuk bunga, tetapi berupa biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, dan penaksiran. Biaya gadai syariah lebih kecil dan hanya sekali saja.
3
Aziza (2009) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Perspektif Hukum Islam terhadap Penerapan Prinsip Ijarah pada Praktik Tarif Jasa Simpan di Pegadaian Syariah Cabang Kusumanegara Yogyakarta
Pelaksanaan prinsip ijarah tarif jasa simpan sudah sesuai dengan fatwa DSN, yaitu tidak berdasarkan pada jumlah pinjaman melainkan berdasarkan pada jumlah taksiran barang yang digadaikan.
4
Fitriani (2009) Universitas Gunadarma Depok
Analisis Implementasi dan Penerapan Akuntansi dalam Sistem Pembiayaan Ar Rahn (Gadai Syariah) pada Pegadaian Syariah Cabang Dewi Sartika dan Pegadaian Konvensional Cabang Cibitung periode 2008
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada cabang pegadaian baik syariah maupun konvensional hanya membuat laporan bulanan berupa arus kas saja yang setelah itu akan dikirim ke kanwil, dan di kanwil inilah akan dibuat laporan konsolidasi, lalu akan dikirim ke pegadaian pusat dan di pusat inilah akan dibuat laporan keuangan pegadaian pusat.
5
Ramadhani (2012) Universitas Hasanuddin Makasar
Analisis Perlakuan Akuntansi Pembiayaan Gadai Syariah PT. Bank BNI Syariah, Tbk.Cabang Makasar
PT. Bank BNI Syariah telah menjalankan pedoman akuntansi PSAK 107, dan telah sesuai dengan penerapan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.26/DSN-MUI/III/2002. Serta Tingkat pengembalian keuntungan dari pendapatan pembiayaan gadai syariah (rahn) untuk tahun 2010 ke tahun 2011 mengalami peningkatan.
6
Supriyadi (2012) STAIN Kudus Jawa Tengah
Struktur Hukum Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus
Struktur hukum akad rahn di Pegadaian Syariah Kudus memuat suatu perbuatan hukum oleh seseorang atau rahin mengikatkan diri pada orang lain atau murtahin untuk memperoleh pinjaman uang dengan jaminan berupa benda bergerak.
7
Suryati dkk (2013) Universitas Trunojoyo Madura
Kajian Implementasi ar-rahn (Gadai) di Unit Pegadaian Syariah Bangkalan
Minat masyarakat Bangkalan terhadap produk rahn dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup pesat, di mana terlihat dari jumlah nasabah dan omsetnya dari tahun 2010 sampai 2012 yang cukup posotif, serta telah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSNMUI/III/2002, tentang Rahn.
Sumber: Data Olahan 2013