BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakekat Pelatihan In-Service Berbasis Kompetensi 1. Konsep dan Karakteristik Pelatihan Berbasis Kompetensi Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competency Based Training) secara umum adalah “suatu cara pendekatan pelatihan yang menekankan pada apa yang dapat dikerjakan seseorang sebagai hasil dari pelatihan. Deskripsi mengenai kompetensi timbul dari pengembangan dan milik dari daftar atribut yang relevan seperti pengetahuan, kemampuan-kemampuan, keterampilan-keterampilan dan sikapsikap” (Haris, 1995:36). Sistem pendidikan dan pelatihan memberikan penekanan lebih khusus pada tercapainya kompetensi individu dan sistem penilaian. Kunci dari sistem pelatihan berbasis kompetensi adalah sertifikasi yang berdasarkan pada pencapaian kompetensi daripada penyelesaian berdasarkan waktu dari sebuah kursus atau program pelatihan. Menurut Hatton (1997:118), pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan harus berkaitan dengan pekerjaan yang akan dihadapi oleh pembelajar. Disebutkan bahwa : “… adults need to be aquipped with skills appropriate for this clients…training programs are tailored to be concurrent with work, there by supporting the work-related needs of learners”. Konsep tersebut diatas menunjukkan bahwa pelatihan perlu dikaitkan dengan pemberian keterampilan yang tepat dan pekerjaan sesuai kebutuhan
21
22
pembelajar, sehingga program pelatihan perlu dibuat bersamaan dan didukung oleh kebutuhan
pekerjaan yang akan dihadapi pembelajar. Sehingga tujuan
pelatihan menurut Hatton (1997:271) adalah untuk meningkatkan cara-cara kerja dengan teknologi dan untuk meningkatkan kecakapan guna memperoleh kesempatan kerja. Karakteristik dari program pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi menurut Elam dalam Burke (1989 : 102 ), meliputi: a. Kompetensi adalah berasal dari peran, menentukan dalam hal perilaku dan dibuat oleh publik; b. Kriteria penilaian berbasiskan pada kompetensi, menentukan tingkat penguasaan dan dibuat oleh publik; c. Penilaiannya membutuhkan kinerja/penampilan sebagai bukti utama tetapi membutuhkan pula pengetahuan dalam perhitungan/penilaiannya; d. Tingkat kemajuan masing-masing individu warga belajar tergantung pada kompetensi yang ditunjukkan; e. Program pembelajaran memfasilitasi pengembangan dan evaluasi dari kompetensi-kompetensi yang lebih khusus/spesifik. Implikasi dari karakteristik diatas, adalah pelatihan berbasis kompetensi kecenderungannya mengacu pada ciri-ciri sebagai berikut yaitu : a. Pembelajarannya individual; b. Diberikan umpan balik untuk peserta didik; c. Penekanannya lebih pada keluar daripada persyaratan masuk dalam program; d. Program yang sistematis/Systematic program;
23
e. Menggunakan modul pembelajaran/Modularisation; f. Mengutamakan peserta didik dan akuntabilitas dari program yang dijalankan. Berbagai implikasi tersebut selanjutnya akan memiliki konsekuensi lain bagi terlaksananya program dengan baik, diantaranya adalah perlu dilakukan upaya-upaya : a. Pengaturan lapangan untuk belajar/field setting for learning b. Berbasis luas untuk pengambilan keputusan c. Penyediaan bahan protokol dan pelatihan d. Partisipasi peserta didik dalam pengambilan keputusan e. Berorientasi penelitian dan regenerasi f. Melanjutkan karir g. Integrasi/penyatuan peran Berdasarkan karakteristik beserta implikasi diatas, maka dalam model pelatihan
in-service berbasis
kompetensi
bagi
baby sitter
yang
akan
dikembangkan, dirancang untuk menggabungkan bentuk belajar mandiri (selfpaced learning), modul-modul kerja, penyusunan profil kompetensi yang diharapkan, dan juga gabungan antara pembelajaran yang berbasiskan pada kerja dan tugas. Model pelatihan berbasis kompetensi memiliki perbedaan yang cukup signifikan
apabila
dibandingkan
dengan
model
pelatihan
tradisional.
Perbandingan antara karakteristik dari pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi dengan model pelatihan yang tradisional ditunjukkan dalam tabel sebagai berikut:
24
Tabel 2.1 Perbandingan Pelatihan Tradisional dan Pelatihan Berbasis Kompetensi Program-program tradisional
Program-program pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi Memfokuskan pada isi/materi Berdasarkan pada kompetensi Berdasarkan waktu Berdasarkan unjuk kerja di tempat kerja Penekanannya pada masukan Penekanannya pada keluaran Kebutuhan kelompok Kebutuhan individu Kegiatan kelompok Kegiatan individu Mata ajar/subjek Modul/unit Sedikit atau tanpa RPL RPL sebagai komponen yang terintegrasi Umpan balik yang tertunda Umpan balik segera Pendekatan pembelajaran dan gaya Pendekatan penyampaian yang lebih belajar yang dipersempit (contoh : fleksibel memfokuskan pada buku teks) Pengalaman lapangan yang terbatas Pengaturan yang kolaboratif antara tempat kerja dan penyedia Guru/pelatih sebagai ahli dan satu Guru/pelatih sebagai nara sumber satunya penyedia kuliah, demonstrasi dan mentor, satu dari banyak sumber belajar. Peserta didik sebagai penerima Peserta didik belajar lebih mandiri pembelajaran dan memiliki tanggung jawab pada belajarnya sendiri. Tujuannya belajarnya bersifat umum Hasil pembelajarannya lebih khusus/spesifik Penilaian berdasarkan referensi norma Penilaian berdasarkan kriteria Kriterianya subjektif, terkadang tidak Kriterianya lebih objektif, ditetapkan ditetapkan di hadapan umum Penekanannya pada penilaian Penekanannya pada penilaian pengetahuan kompetensi Nilai akhir Kompeten atau tidak kompeten (atau nilai kompetensi) Sumber: Burke (1989: 130) Perbedaan antara karakteristik pelatihan berbasis kompetensi dan pelatihan tradisional di atas memberikan tuntunan pada model pelatihan in-service berbasis kompetensi yang akan dikembangkan dalam pelatihan bagi baby sitter, sehingga akan lebih mengarah pada pencapaian kompetensi dari baby sitter. Adapun
25
apabila dibutuhkan, beberapa karakteristik dalam model pelatihan tradisional pun akan tetap digunakan namun disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi sebagaimana menurut Pedoman Penyusunan Program Pelatihan Berbasis Kompetensi, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (2006 : 37) disebutkan bahwa: Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi, yaitu (a) standar kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan; (b) pengidentifikasikan semua pengetahuan dan ketrampilan serta sikap kerja yang dibutuhkan dalam suatu pekerjaan, yang tercermin dalam standar kompetensi; (c) mekanisme untuk mencapai pengetahuan dan keterampilan serta sikap kerja sesuai dengan tuntutan standar kompetensi; (d) metode untuk menguji kompetensi tersebut; (e) sertifikasi dari kompetensi yang telah dicapai.
Selanjutnya ada beberapa unsur yang perlu mendapatkan penekanan dalam pelatihan berbasis kompetensi yaitu: (a) kegiatan yang direncanakan dengan sengaja; (b) ada rumuskan kompetensi yang hendak dicapai; (c) ada sasaran (peserta didik) dan sumber belajar; (d) ada kegiatan belajar dan pelatihan; (e) penekanan pada bidang keahlian dan keterampilan; (f) dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat, dan (g) menggunakan sarana dan prasarana pendukung (Mulyasa, 2002:67).
Sejalan dengan apa yang telah disampaikan dalam (Harris, et.al :2009), maka pada dasarnya pelatihan berbasis kompetensi memiliki karakteristik lain yaitu: (a) berdasarkan pada Standar Kompetensi; (b) isi dari pelatihan mengarah kepada kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan tugas tertentu; (c) pelatihan dapat berupa on-job, off-job, atau kombinasi keduanya; (d) adanya fleksibilitas waktu untuk mencapai suatu kompetensi; (e) adanya pengakuan
26
terhadap kompetensi mutakhir/yang dimiliki saat ini; (f) pengujian berdasarkan kriteria tertentu; (g) pengujian dilakukan jika peserta pelatihan sudah siap, (h) menekankan pada kesanggupan untuk mentransfer pengetahuan dan ketrampilan pada situasi baru, (i) berfokus pada peserta pelatihan (perlu pendekatan individual/mandiri, kelompok dan klasikal), (j) materi pelatihan, penekanannya pada output dan outcome (hasil pelatihan), (k) penekanan pada apa yang harus dikerjakan,(l) penilaian kinerja berdasarkan kriteria unjuk kerja, (m) pencapaian kualifikasi kompetensi dapat melalui beberapa jalur. Berdasarkan rumusan definisi dan pendapat tersebut maka dapat dijelaskan dalam definisi operasional pelatihan in-service berbasis kompetensi akan berorientasi pada ketercapaian kompetensi yang harus dimiliki pada profesi tertentu, yang dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan kompetensi baby sitter sesuai dengan kebutuhannya. Adapun mengenai pelaksanaan pelatihan yang dilakukan ditujukan untuk mencapai standar kompetensi yang ditentukan. Untuk selanjutnya penilaian kepada kompetensi dapat dijadikan indikator utama dalam menentukan efektivitas model pelatihan yang dilaksanakan. 2. Pengertian Pelatihan In-Service Berbasis Kompetensi Sistem pelatihan in-service berbasis kompetensi adalah pelatihan yang dibangun untuk tantangan pelatihan yang memberikan penyediaan pelatihan yang tepat pada saat yang tepat untuk orang yang tepat, dengan memaksimalkan relevansi, ketepatan waktu dan ketersediaan pelatihan. Pelatihan in-service berbasis kompetensi pun memberikan jaminan bahwa sumber-sumber pelatihan yang digunakan dalam pelatihan memiliki prioritas utama untuk memenuhi
27
kebutuhan dalam pelayanan (Rycus, 2000:80). Salah satu kondisi yang menentukan kualitas, efektifitas dan relevansi pelatihan in-service adalah kemampuan mengidentifikasi kebutuhan belajar individu secara akurat. Hal ini akan membawa dampak keberhasilan pelatihan secara positif pada penampilan pekerjaan dan hasil pada organisasi. Konsep dan prinsip pelatihan in-service berbasis kompetensi pada dasarnya mengacu pada konsep dan karakteristik pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, meskipun tekanan utama pada pelatihan in-service berbasis kompetensi sangat mengutamakan pemenuhan kebutuhan pada pelayanan yang telah berjalan. Sehingga penentuan kompetensi yang menjadi tujuan pelatihan ditentukan berdasarkan pada prioritas kebutuhan dan kesenjangan kompetensi yang terjadi di dunia kerja. Pelatihan in-service dilakukan untuk dapat meningkatkan kompetensi yang masih belum terpenuhi. 3. Elemen-Elemen dalam Sistem Pelatihan In-Service Berbasis Kompetensi Sistem
pelatihan
in-service
berbasis
kompetensi
bertujuan
untuk
mendapatkan orang yang tepat untuk pelatihan yang tepat pada saat yang tepat. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dibutuhkan berbagai elemen yang secara sistematis membangun sistem pelatihan ini, diantaranya adalah tersedianya infrastruktur formal dengan komponen pengelolaan
yang terpusat dan
terdesentralisasi, staf manajemen yang tersusun dengan baik, teknologi, data kebutuhan pelatihan yang lengkap dan sesuai prioritas, mekanisme perencanaan, pengelolaan dan evaluasi aktivitas program, sistem yang akan mengembangkan dan memperbaharui kurikulum, pelatih dan sumber pelatihan lainnya, sistem
28
penyampaian pelatihan yang mudah diakses dan efisien, serta strategi pembelajaran yang secara formal dapat memaksimalkan pembelajaran dalam pelatihan. Aktivitas yang penting untuk dibangun dan diimplementasikan pada sebuah sistem pelatihan in-service berbasis kompetensi yang komprehensif menurut Rycus (2000:96) dapat dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu : a. Mendefinisikan target peserta pelatihan b. Melakukan analisis tugas dalam pekerjaan
Pelatihan in-service berbasis kompetensi bertujuan utama untuk mendukung ketercapaian praktek terbaik, sehingga penting sekali untuk mendefinisikan dan menggabungkan standar unjuk kerja yang merefleksikan best practice dan aktivitas-aktivitas pekerjaan yang penting untuk membutuhkan best practice tersebut. Tujuan dari pelatihan ini dapat terwujud dengan baik bila dapat dilakukan dengan sebuah kelompok kepemimpinan yang meliputi manajer agen/penyalur tenaga kerja dan supervisor, manajer pelatihan, tenaga ahli di bidang pekerjaan anak, dan praktisi pelayanan yang berpengalaman. Melalui kolaborasi proses perencanaan, tim ini mendefinisikan dan memformalkan misi organisasi, menetapkan standar dari best practice yang akan diimplementasikan melalui organisasi dan menetapkan hasil performance organisasi yang diharapkan. Keseluruhan aktivitas pekerjaan akan menjadi dasar dari pengembangan deskripsi posisi formal bagi seluruh staf di organisasi. Ketika deskripsi posisi terformulasi secara tepat, maka hal tersebut akan digunakan untuk mengelola penampilan kerja individu dengan secara akurat menetapkan tuntutan pekerjaan
29
dan harapan performance yang selanjutnya secara berurutan dievaluasi tingkat ketercapaiannya. Keseluruhan akrivitas kerja harus secara periodik direview dan diperbaharui untuk merefleksikan perubahan di dalam misi organisasi, keinginan hasil performance atau standar best practice. c. Membangun kompetensi-kompetensi
Kompetensi pengetahuan
dan
adalah
seperangkat
keterampilan
yang
elemen-elemen dibutuhkan
yang
dalam
terdiri
dari
mengefektifkan
penampilan dari sebuah tugas pekerjaan. Seseorang yang kompeten memiliki kemampuan dari pengetahuan dan keterampilan yang menjadi syarat untuk pemenuhan penampilan dalam pekerjaannya. Ketika pekerjaan atau analisis tugas dipenuhi dan deskripsi posisi diselesaikan, kita dapat mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dan menjadi prasyarat bagi penampilan dari semua tanggung jawab pekerjaan yang disetujui di dalam organisasi. Pernyataan hasil dari pengetahuan dan keterampilan selanjutnya dikelompokkan, diorganisasikan secara hirarki, dan diurutkan, membentuk sebuah kompetensi-kompetensi yang diharapkan. Kumpulan kompetensi-kompetensi secara umum dibangun untuk setiap kelompok kerja yang akan menjadi target dalam pelatihan. Kumpulan kompetensi-kompetensi ini termasuk semua pengetahuan dan keterampilan yang secara potensial dibutuhkan oleh pekerja dalam kelompok kerja tertentu untuk menunjukkan tugas pekerjaaan yang diperiksa. Pengetahuan dan keterampilan yang tidak penting dalam memenuhi urutan tugas pekerjaan dikeluarkan dari daftar kumpulan kompetensi-kompetensi yang disusun.
30
Karakteristik dari pelatihan in-service berbasis kompetensi adalah bahwa kumpulan kompetensi-kompetensi menunjukkan semua komponen-komponen dari sistem pelatihan termasuk penilaian kebutuhan pelatihan individual, identifikasi dan seleksi kurikulum pelatihan, penilaian dan seleksi pelatih, pengembangan perencanaan pelatihan, dan aktivitas pembelajaran. Untuk menjadikan akrivitas kerja yang benar, maka kumpulan kompetensi-kompetensi yang akan dijadikan tujuan pelatihan harus secara rutin, periodik direview dan direvisi untuk merefleksikan perubahan dalam standar praktek dan kebutuhan pekerjaan. d. Penilaian kebutuhan pelatihan individu (Individual Training Need Assessment
(ITNA) e. Identifikasi dan Pemilihan kurikulum f. Mengembangkan perencanaan pelatihan g. Menyelenggarakan Pelatihan h. Mengimplementasikan aktivitas pembelajaran/Transfer of Learning i. Melakukan evaluasi dan balikan
Elemen-elemen di dalam sebuah sistem pelatihan in-service berbasis kompetensi yang disampaikan dalam Rycus (2000) sejalan dengan apa yang disampaikan pada kajian disertasi Weatherman (1976:58), dimana pelatihan inservice mengalami beberapa tahapan penting yang meliputi : a. Menilai kebutuhan kompetensi, tahapan ini meliputi deskripsi pekerjaan bersamaan dengan analisis kenyataan secara lokal dan nasional.
31
b. Melakukan
spesifikasi
kompetensi,
tahapan
ini
meliputi
menyusun
pernyataan kompetensi dan memberikan laporan mengenai pentingnya kompetensi ini dalam pekerjaan di lapangan. c. Menjelaskan komponen-komponen kompetensi, tahapan ini ditentukan elemen kompetensi, urutan dan kriteria unjuk kerja sebagai performance yang harus ditunjukkan dalam pekerjaan d. Mengidentifikasi prosedur pencapaian kompetensinya. Pada tahapan ini ditentukan isi, metode, materi dari program pelatihan. e. Membangun penilaian, meliputi proses spesifikasi kriteria dan ukuran dari kompetensi yang akan dinilai. tahapan ini merupakan tahapan yang paling penting dalam mendesain program pelatihan berbasis kompetensi. Kelima elemen tersebut mendasari pula apa yang dijadikan model pelatihan in-service berbasis kompetensi dalam pelatihan baby sitter yang dilaksanakan. 4. Pengelolaan dan Model-Model Pelatihan a. Pengelolaan Pelatihan Pengelolaan pelatihan secara umum menurut Sudjana (2000), “meliputi kegiatan : perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi’. Siagian dalam Sudjana (2000:186) mengatakan langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam pengorganisasian program pelatihan adalah: 1) Penentuan kebutuhan Pedoman tipe analisis kebutuhan penilaian dalam menentukan kebutuhan pelatihan, yaitu: (a) analisis organisasi adalah penilaian kebutuhan pelatihan pada tingkat organisasi. Hal yang disoroti adalah mencari bagian dalam organisasi yang
32
membutuhkan pelatihan. Pada tingkat ini kebutuhan pelatihan seyogyanya dianalisis oleh manajer yang menentukan tujuan organisasi; (b) analisis operasional yaitu penilaian kebutuhan pelatihan pada tingkat jabatan. Maksudnya apakah sebenarnya yang dibutuhkan dalam aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan, untuk dapat melaksanakan pekerjaan atau tugas dari suatu jabatan; (c) analisis personalia, yaitu penilaian kebutuhan pada tingkat individu dengan menentukan siapa yang menentukan siapa yang memerlukan pelatihan dan pelatihan apa yang diperlukan. Hal ini sejalan dengan penentuan kebutuhan pelatihan yang diungkapkan dalam Bramley (1996:47) mengenai three levels of analysis yaitu : (a) analisis pada tingkat organisasi, digunakan untuk menentukan sasaran yang tepat untuk dilakukan pelatihan. Fokusnya adalah pada keseluruhan analisis antara lain, pada tujuan organisasi, rencana bisnis jangka pendek, pandangan jangka panjang tentang bagaimana lingkungan bisa berubah dalam beberapa tahun ke depan, kolam keterampilan yang tersedia saat ini , indeks efektivitas dan benchmark terhadap pesaing; (b) Analisis pada tingkat pekerjaan, yang melibatkan pengumpulan data tentang suatu pekerjaan tertentu atau sekelompok pekerjaan. Analisis ini akan menentukan standar yang diperlukan yaitu melingkupi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan dalam rangka untuk mencapai standar tersebut; (c) analisis individu/perorangan yang berfokus pada seberapa baik seorang karyawan pada bidang tertentu melaksanakan berbagai tugas yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang terbaik.
33
2) Penentuan sasaran Dalam hal penentuan sasaran dan tujuan penelitian harus melalui proses penilaian yang dapat menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan sasaran pelatihan. Hasil dari proses penilaian diperoleh informasi mengenai : (a) bagian dari organisasi tersebut yang mempunyai masalah terkait dengan kemampuan tenaga kerja; (b) pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan yang diharapkan; (c) individu atau kelompok yang memerlukan pelatihan dan materi pelatihan yang diperlukan; (d) sasaran pelatihan yang sesuai dengan harapan. 3) Penetapan isi program Beberapa komponen penting yang perlu disusun dan ditetapkan berdasarkan hasil penilaian kebutuhan pelatihan agar rancangan program pelatihan tepat dan lengkap yaitu: (a) rumusan yang lebih rinci dan dapat diukur pelatihan; (b) penetapan kriteria untuk seleksi peserta pelatihan; (c) pemilihan materi pelatihan yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai; (d) pemilihan metode pelatihan; (e) pemilihan dan penetapan pelatihan; (f) penetapan lamanya pelatihan sesuai dengan tujuan dan materi yang diberikan; (g) rencana evaluasi pelatihan; (h) penetapan waktu pelaksanaan, fasilitas dan dana yang dibutuhkan. 4) Identifikasi prinsip-prinsip belajar Pada tahapan ini dilakukan identifikasi mengenai prinsip-prinsip belajar yang akan dilaksanakan dalam pelatihan yang akan dilaksanakan.
34
5) Pelaksanaan program Pelaksanaan program adalah sebuah tahapan implementasi program yang direncanakan sebelumnya sehingga tujuan program dapat tercapai. 6) Identifikasi manfaat Pada tahapan ini dilakukan refleksi dan muatan manfaat dari program yang dilaksanakan. Identifikasi manfaat dapat meningkatkan nilai tambah dari program sehingga menjadi masukan untuk tindak lanjut maupun evaluasi program yang dilaksanakan. 7) Penilaian pelaksanaan program Pada tahapan penilaian program, dilakukan berbagai alat dan teknik untuk dapat mengungkap data penilaian pada program yang dilaksanakan. Berdasarkan pendapat (Kirkpatriks, 2006:74) dikemukakan ada empat level evaluasi dalam pelatihan, yang ditunjukkan pada ilustrasi tabel struktur di bawah ini:
35
Tabel 2.2 Struktur Level Evaluasi Pelatihan Kirkpatriks
1
Tipe Evaluasi (Apa yang diukur) Reaksi
2
Pembelajaran
3
Tingkah laku
4
Hasil
Level
Deskripsi dan karakteristik evaluasi
Contoh alat dan metode evaluasi
Relevansi dan Praktek
Evaluasi reaksi adalah bagaimana peserta pelatihan merasakan pelatihan atau pengalaman belajar peserta. Evaluasi pembelajaran adalah ukuran dari peningkatan dalam pengetahuan, sebelum dan sesudah pelatihan
Format balikan 'Happy sheets', Reaksi verbal, survey dan kuesioner setelah pelatihan
Cepat dan mudah dilakukan Tidak mahal untuk mendapatkan atau menganalisanya
Tipe penilaian atau tes sebelum dan sesudah pelatihan Wawancara atau observasi dapat juga dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan Observasi dan wawancara dari waktu ke waktu untuk menilai perubahan, relevansi perubahan dan kesinambungan perubahan. Pengukuran ini sudah tersedia dalam sistem manajemen normal dan laporan, tantangannya adalah berhubungan dengan peserta
Relatif sederhana untuk mengatur, yang jelas untuk keterampilan terukur Tidak mudah untuk pembelajaran yang kompleks
Evaluasi tingkah laku adalah sejauh mana peserta pelatihan menggunakan hasil belajar dan perubahan dalam tingkah laku mereka. Evaluasi hasil adalah efek pada bisnis atau lingkungan oleh peserta pelatihan
Pengukuran perubahan tingkah laku biasanya membutuhkan kerjasama dan keterampilan dari manager lini. Individual tidak sulit, tidak seperti organisasi secara keseluruhan. Proses harus jelas atribut akuntabilitasnya
36
b.
Model-Model Pelatihan Ada berbagai model pelatihan yang memiliki langkah-langkah tersendiri
sesuai dengan tujuan dan orientasi pelatihan itu sendiri. Salah satu model diantaranya yaitu model tujuh langkah (The Seven-Step Model) yang dikembangkan oleh Parker, yaitu: 1) melaksanakan identifikasi dan analisis kebutuhan latihan; 2) merumuskan dan mengembangkan tujuan-tujuan pelatihan; 3) merancang kurikulum latihan; 4) memilih dan mengembangkan metode latihan; 5) menentukan pendekatan evaluasi latihan; 6) melaksanakan program latihan; 7) melakukan pengukuran hasil latihan. Sedangkan model lain yang dikembangkan oleh Sudjana (2000:13) yaitu tentang Model Latihan Partisipatif (Partisipatory Training Model) yang memiliki langkah-langkah sebagai berikut: 1) rekrutmen peserta latihan; 2) identifikasi kebutuhan, sumber dan kemungkinan hambatan; 3) merumuskan dan menetapkan tujuan umum dan khusus; 4) menyusun alat evaluasi awal dan akhir pelatihan; 5) menyusun urutan kegiatan latihan, menentukan bahan belajar, dan memilih metode dan teknik pelatihan; 6) latihan untuk pelatih; 7) melaksanakan evaluasi awal bagi peserta latihan; 8) mengimplementasikan program latihan; 9) melakukan evaluasi akhir bagi peserta latihan; 10) evaluasi program pelatihan Sekaitan
dengan
jenis-jenis
model
pelatihan
berdasarkan
pada
pengembangan kurikulumnya, Arif (1994:75) mengemukakan beberapa model pelatihan sebagai berikut: 1) model pelatihan yang berorientasi pada tujuan; 2) model pelatihan yang berorientasi pada kebutuhan peserta; 3) model pelatihan yang berorientasi pada kompetensi; 4) model pelatihan yang bersifat kombinasi.
37
Penelitian ini lebih pada sebuah model pelatihan yang berorientasi pada kompetensi. Model ini secara bagan konseptual menurut Arif (1994:78) ditunjukkan dengan gambar sebagai berikut :
PENGUMPULAN INFORMASI JENIS KOMPETENSI CALON PESERTA
TINGKAT PENGUASAAN KOMPETENSI OLEH CALON PESERTA
PERUMUSAN TUJUAN P
TUJUAN PB E
DAN SB N Y U
SILABI DAN MAKALAH SPB
S PEMILIHAN U
METODE
N
PENYAMPAIAN
PENGETAHUAN KETERAMPILAN DAN
PELAKSANAAN
A SIKAP SESUAI DENGAN N TUJUAN LATIHAN
LATIHAN MEDIA BELAJAR SPB
K EVALUASI U BELAJAR SPB R I
ALOKASI
K WAKTU TIAP U
SPB EVALUASI LATIHAN
Bagan 2.1 Model Pelatihan yang Berorientasi pada Kompetensi
38
5.
Strategi dan Pendekatan Pembelajaran dalam Pelatihan Berbasis Kompetensi
a. Konsep pembelajaran orang dewasa/andragogi 1) Pengertian Andragogi Andragogi didefinisikan sebagai pembelajaran orang dewasa. Knowles dalam publikasinya yang berjudul “The Adult Learner, A Neglected Species” mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa atau yang dikenal dengan istilah andragogi. Kata andragogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu andr yang artinya orang dewasa dan agoga yang berarti membimbing atau mebina. Istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah pedagogi yang diambil dari kata padi artinya anak dan agagos artinya membimbing membina. Dengan demikian, andragogi dirumuskan sebagai suatu ilmu membantu orang dewasa belajar. Dalam berbagai pelatihan sering kali ditemukan praktik pembelajaran bagi orang dewasa yang bersifat andragogi namun dilakukan dengan cara-cara pedagogis. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa aspek pembelajaran yang berlaku bagi anak dianggap dapat diberlakukan pula bagi kegiatan pembelajaran orang dewasa. Namun oleh karena orang dewasa merupakan individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting adalah bagaimana dalam proses interaksi belajar itu sebagai kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada pembelajar dan bukan kegiatan seorang pelatih yang mengajarkan sesuatu.
39
Andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai seni dan pengetahuan mengajar orang dewasa. Dalam memberikan defenisi tentang andragogi lebih cenderung diartikan sebagai seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa. Pendidikan orang dewasa dapat diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan terorganisisir yang diarahkan agar orang dewasa mampu mengembangkan kemampuan, keterampilan, pengetahuan, meningkatkan kulaifikasi teknis atau profesionalitas dalam upaya mewujudkan kemampuan ganda sebagai pribadi yang utuh sehingga dapat beradaptasi dengan pengembangan sosial budaya, ekonomi, dan teknologi secara bebas, seimbang, serta berkesinambungan. Oleh karena itu pendidikan orang dewasa mencakup keseluruhan aspek pengalaman belajar yang dibutuhkan orang dewasa sesuai bidang keahlian dan kemampuan masing-masing. 2) Prinsip Andragogi Pada dasarnya prinsip utama andragogi adalah “apa yang dipelajari pembelajar, bukan apa yang diajarkan pengajar”. Artinya, hasil akhir yang dinilai adalah apa yang diperoleh orang dewasa dari suatu pertemuan pendidikan atau latihan dan bukan apa yang dilakukan pengajar atau pelatih atau penceramah dalam pertemuan itu. Beberapa prinsip andragogi, antara lain: a) Pertumbuhan orang dewasa dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa b) Orang dewasa tidak menginginkan orang lain memandang dirinya atau diperlakukan seperti anak-anak
40
c) Orang dewasa mengharapkan pengakuan dari orang lain secara otonom dan dijamin keamanannya d) Orang dewasa menjaga identitas dirinya dengan cara penolakan dan ketidakseimbangan akan setiap usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan manipulasi tingkah laku yang ditunjukan terhadap dirinya. Andragogi bukan objek yang dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan diri dan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar dalam pendidikan orang dewasa lebih mengarah pada upaya pencapaian identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri. Kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemukan jati dirinya. Belajar atau pendidikan merupakan process of becoming a person dan bukan proses pembentukan atau process of being shaped
yaitu proses
pengendalian dan manipulasi agar sesuai dengan orang lain, atau belajar merupakan proses untuk mencapai aktualisasi diri (self actualization). Dalam diri orang dewasa telah tumbuh kematangan konsep dirinya sehingga timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlukan sebagai peribadi utuh yang mampu mengarahkan dirinya sendiri. Dalam tingkatan pengembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala persoalan logis, berpikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau sudah tercapai kematangan struktur kognitif. Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identity) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar disekitarnya. Berbeda dengan anak-anak, remaja (adolescence) mampu mengerti dan
41
membedakan
nilai-nilai,
keadaan
benda-benda
didekatnya
tetapi
juga
kemungkinan keadaan benda-benda itu. Nilai-nilai yang diharapkan selalu diabandingkan dengan nilai yang aktual. Oleh karena itu, sejak pertengahan masa remaja individu mengembangkan pengertian diri (sense of identity). 3) Asumsi dalam Andragogi Dalam andragogi ada empat asumsi pokok yang digunakan, yaitu: a) Konsep Diri Konsep diri pada anak-anak masih tergantung, sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Oleh sebab itu orang dewasa membutuhkan penghargaan dari orang lain dimana dia telah mampu menentukan dirinya sendiri (self determination) dan mengarahkan dirinya (self direction). Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu ada ketergantungan. Pelatihan harus mempertimbangkan iklim ini, baik suasana pembelajaran maupun dalam proses pelatihannya. b) Peranan Pengalaman Sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang manuju ke arah kematangan. Dengan pengalamannya, menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam andragogi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman atau experiental learning cycle. Pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratorium, melakukan
42
praktek dan sebagainya yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peran serta peserta pelatihan. c) Kesiapan Belajar Bagi orang dewasa, kesiapan belajar bukan ditentukan kebutuhan atau tekanan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya, sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi. d) Orientasi Belajar Pada anak, orientasi belajar pada materi pembelajaran (subject matter centered orientation) sedangkan orang dewasa cenderung memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (problem centered orientation). Bagi orang dewasa dibutuhkan hasil belajar untuk dapat dipergunakan dengan segera. Untuk itu materi pelatihan hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan dalam kenyataan sehari-hari. Dalam penelitian ini, sasaran pelatihan adalah baby sitter dan fasilitator sebagai
orang
keterampilan
dewasa. dalam
Dengan
program
demikian peningkatan
penerapan
kemampuan
kompetensi
atau
memperhatikan
karakteristik baby sitter dan fasilitator sebagai orang dewasa. Makna dewasa dapat dipahami sebagai sebuah tahapan dalam rentangan rangkaian kehidupan manusia, dimulai dari anak-anak, remaja, kemudian dewasa. Konsep orang dewasa (adult) secara umum dapat diberi arti sebagai orang yang telah memiliki kematangan fungsi-fungsi biologis atau fungsi sosial dan psikologis dalam segi-
43
segi pertimbangan, tanggung jawab, kemandirian dan pelaksanaan peran-peran sosial dalam kehidupan, bukan pada kedewasaan dalam arti fisik. Dalam andragogi, perlu mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh peserta didik. Proses ini yang dikenal dengan pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif dalam proses belajar melibatkan elemen-elemen yaitu; (1) menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri, (2) menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif, (3) diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik, (4) merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar, (5) merencanakan pola pengalaman belajar, (6) melakukan dan menggunakan pengalaman belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. Hal ini yang disebut dengan model proses. Implikasi dari model pembelajaran tersebut maka dalam memproses interaksi belajar dalam pelatihan orang dewasa termasuk pelatihan ditempat kerja, kegiatan dan peranan tutor dan fasilitator tidak sekedar memindahkan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta dalam proses interaksi belajar mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan yang dihadapinya secara nyata, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan tujuan belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu. Tugas dan peranan fasilitator tidak bisa memaksakan program atau kurikulum yang direncanakan tanpa adanya analisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi peserta pelatihan.
44
4) Langkah-Langkah dalam Andragogi Dalam pelaksanaan kegiatan andragogi, perlu ditempuh langkah-langkah pokok penciptaan iklim pembelajaran yang kondusif. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif dalam proses yang andragogis, yaitu: a) Pengaturan Lingkungan Fisik Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin dalam hal penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa, alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa, dan penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi sosial b) Pengaturan Lingkungan Sosial Dan Psikologis Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai dan didukung. Oleh karena itu sangat diharapkan peran fasilitator dalam pelatihan antara lain: fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung, mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai melalui kegiatan bina suasana dan berbagai permaianan yang sesuai, menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut, mengembangkan semangat kebersamaan, menghindari banyaknya pengarahan dari pejabat-pejabat pemerintah, dan menyusun kontrak belajar yang disepakati.
45
c) Diagnosis Kebutuhan Belajar Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh peserta pelatihan dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya, antara lain melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu, membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atas prestasi ideal yang diharapkan, menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan, melakukan analisis perbandingan antara yang diterapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan pada pencapaian kompetensi tertentu. d) Proses Perencanaan Dalam perencanaan pelatihan hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu hukum kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa commited terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperan serta dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu kegiatan yang dilakukan adalah melibatkan peserta untuk menyusun rencana pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain, menemui dan mendiskusikan segala hal dengan berbagai pihak terkait pada pelatihan, menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan, menentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas diantara pihak terkait siapa yang melakukan, apa dan kapan dilakukan.
46
e) Memformulasikan Tujuan Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas. f) Mengembangkan Model Umum Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pelatihan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai. g) Menetapkan Materi Dan Teknik Pembelajaran Dalam menetapkan materi dan metode atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan beberapa hal, yaitu materi pelatihan atau pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan, materi pelatihan hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis, metode dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengatahuan dari fasilitator kepada peserta, dan metode dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif.
47
h) Evaluasi Pendekatan evaluasi secara konvensional pedagogi kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni evaluasi hendaknya berorientasi pada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran/pelatihan, evaluasi sebaiknya dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta pelatihan itu sendiri (self evaluation), perubahan positif perilaku merupakan tolak ukur keberhasilan, ruang lingkup materi evaluasi ditetapkan bersama secara partisipatif atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat, evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan program pelatihan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program, dan menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku. Pelatihan yang dapat memberikan motivasi belajar pada orang dewasa menurut Blanchard & Thacker (2007:66 ), ditentukan oleh: a) relevansi pelatihan, nilai-nilai dan kesiapan belajar dari peserta; b) memberikan kesempatan pada peserta pelatihan mengontrol sendiri pembelajaran mereka; c) melibatkan peserta pelatihan ke dalam proses pelatihan itu sendiri Dalam membangun program pelatihan yang profesional bagi pekerjanya Rae (1997 : 36), dikemukakan sembilan prinsip penting yaitu : a) mengetahui kekuatan dan kelemahan peserta pelatihan yang berkaitan dengan motivasi untuk belajar dan mendesain pelatihan untuk tujuan tersebut; b) tujuan pembelajaran
48
berkaitan dengan tujuan organisasi dan menunjukkan bagaimana pembelajaran sangat penting bagi kesuksesan peserta dan organisasi; c) menjelaskan tujuan dan arah program dengan jelas sejak awal pelatihan; d) melibatkan peserta lebih awal dengan memaksimalkan perhatian, harapan dan ingatan; e) menggunakan aktivitas pembelajaran
yang
sistematis,
secara
logis
berkaitan
dengan
tahapan
pembelajarannya sehingga peserta pelatihan menguasai tahapan yang lebih rendah dalam pembelajaran sebelum bergerak menuju level yang lebih tinggi; f) menggunakan variasi metode pelatihan; g) menggunakan pekerjaan yang realistik atau materi pelatihan yang relevan dengan kehidupan; h) mengikuti peserta dan bekerja bersama-sama dan berbagi pengalaman; i) menunjukkan kejelasan dalam umpan balik dan memberikan dukungan penuh untuk menumbuhkan penilaian diri. Prinsip-prinsip ini dapat digunakan dalam program pelatihan oleh pelatih dalam menciptakan lingkungan belajar kelompok yang efektif meskipun pada peserta dengan karakteristik peserta yang bervariasi sekalipun. b.
Model Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning) Definisi model mastery learning (pembelajaran tuntas) adalah pembelajaran
yang bertujuan untuk menyediakan lingkungan belajar yang sesuai dengan mempertimbangkan
perbedaan
individual
siswa
sehingga
mereka
tidak
menghambat kegiatan target pembelajaran. Menurut Bloom (1981), teori pembelajaran tuntas (Mastery learning theory) didasarkan pada gagasan bahwa Cognitive Introduction Behaviors (seperti pra-belajar yang dianggap perlu untuk belajar satu unit) yang karakteristik siswa, tingkat motivasi untuk mempelajari
49
unit (Emotional Introduction fitures) dan kualitas pengajaran kegiatan adalah indikator dasar pembelajaran dalam menghasilkan output. Belajar tuntas dilandasi oleh dua asumsi, yaitu 1) adanya korelasi antara tingkat keberhasilan dengan kemampuan potensi atau bakat. Hal ini dilandasi oleh teori bakat yang dikemukakan oleh Caroll (1963:77) bahwa apabila para peserta didik didistribusikan secara normal dengan memperhatikan kemampuannya secara potensial untuk beberapa bidang pengajaran, kemudian mereka diberi pengajaran yang sama, dan hasil belajarnya diukur, ternyata akan menunjukkan distribusi normal; 2) apabila pelajaran dilaksanakan secara sistematis, maka semua peserta didik akan mampu menguasai bahan yang disajikan kepadanya. Menurut Caroll (1963) pada dasarnya bakat bukanlah merupakan indeks kemampuan seseorang, namun sebagai ukuran kecepatan belajar (measures of learning rate), artinya seseorang dengan bakat tinggi memerlukan waktu relatif sedikit untuk mencapai taraf penguasaan bahan dibandingkan dengan peserta didik yang memiliki bakat rendah. Beberapa variabel yang digunakan oleh pendidik untuk mengaktifkan pembelajaran tuntas (mastery learning) yaitu variabel petunjuk, penguatan, partisipasi
siswa,
umpan
balik
dan
koreksi.
Variabel-variabel
tersebut
digambarkan oleh Bloom (1981) sebagai kegiatan mengajar yang berkualitas. Menurut teori ini, jika fitur pengenalan terhadap siswa (aspek kognitif dan afektif siswa) yang terkait dengan kegiatan mengajar adalah positif dilakukan, maka hasil belajar akan mencapai tingkat yang tinggi. Dengan hasil yang tinggi tersebut
50
maka perbedaan antara para siswa akan berada di tingkat minimum (Sever, 1997:55). Variabel-variabel mastery learning ditunjukkan pada gambar dibawah ini :
Bagan 2.2 The Variables of Mastery Learning (Wong, 2002:96)
Teori-teori pembelajaran tuntas (mastery learning) diakibatkan dari perubahan radikal dalam tanggung jawab untuk guru; tindakan menyalahkan kegagalan siswa yang lebih menyalahkan pada instruksi pembelajaran bukan karena adanya kesenjangan pada kemampuan di pihak mahasiswa. Dalam jenis lingkungan pembelajaran ini, ada tuntutan untuk menyediakan waktu yang cukup dan menggunakan strategi pengajaran yang tepat sehingga semua siswa dapat mencapai tingkat yang sama belajar (Bloom,1981). Pembelajaran tuntas (mastery learning) merupakan strategi pembelajaran berbasis pada prinsip bahwa semua siswa dapat belajar serangkaian tujuan yang wajar dengan instruksi yang tepat dan waktu yang cukup untuk belajar. Mastery learning menempatkan teknik tutoring dan pembelajaran individual dalam situasi kelompok pembelajaran dan membawa strategi pembelajaran untuk kesuksesan
51
siswa untuk hampir semua siswa dari kelompok tertentu. Dalam bentuk yang lengkap, model pembelajaran tuntas (mastery learning model) meliputi filsafat, struktur kurikulum, model pembelajaran, yaitu kesejajaran penilaian siswa, dan pendekatan mengajar. Strategi pembelajaran mastery yang dikembangkan oleh Bloom (1968) meliputi tiga bagian, yaitu mengidentifikasi prakondisi, mengembangkan prosedur operasional dan hasil belajar. Dalam implementasinya dalam pembelajaran dapat dilakukan : 1) Corrective Technique, yaitu semacam pembelajaran remedial yang dilakukan dengan memberikan pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai oleh peserta didik, dengan prosedur dan metoda yang berbeda dari sebelumnya; 2) Memberikan tambahan waktu kepada peserta didik yang membutuhkan (belum menguasai bahan secara tuntas). Sehingga secara teknisnya dalam mastery learning di sebuah pelatihan dapat dilakukan pendekatan : 1) Secara jelas menyebutkan tujuan yang mewakili maksud kursus; 2) Kurikulum dibagi menjadi unit-unit pembelajaran yang relatif kecil, masing-masing unit terdiri dari tujuan dan penilaian sendiri; 3) Bahan pembelajaran bahan dan strategi pengajaran diidentifikasi, meliputi pengajaran, model, praktek, evaluasi formatif, mengajar kembali, penguatan, dan termasuk evaluasi sumatif; 4) Setiap unit diawali dengan tes diagnostik singkat, atau penilaian formatif; 5) Hasil tes formatif digunakan untuk memberikan instruksi tambahan, atau kegiatan korektif untuk membantu pelajar mengatasi masalah (Mulyasa, 2002:97). Dalam pengembangan kurikulum, mastery learning tidak berfokus pada konten, namun pada proses untuk menguasai itu. Bahan kurikulum dapat dirancang oleh desainer instruksional di rumah atau melalui pendekatan tim dengan berbagai profesional dalam pengaturan diberikan baik di sekolah atau industri. Bahan instruksional juga dapat diperoleh sebagai bahan yang diolah dari
52
sumber komersial luar. Kombinasi ini juga sangat dimungkinkan terjadi. Materi pembelajaran yang dikembangkan atau diperoleh, para guru harus mengevaluasi material yang mereka rencanakan untuk digunakan dalam rangka untuk memastikan bahwa mereka cocok dengan tujuan pembelajaran yang telah diatur untuk program pembelajaran tertentu. Keuntungan terbesar dari pendekatan mastery adalah untuk mempercepat dalam bekerja. Hal ini berarti, kita mulai dengan mencari tahu apa yang siswa/warga belajar tahu, dan kemudian membantu mereka belajar untuk mempelajari hal apa yang mereka perlu tahu dalam rangka untuk menunjukkan penguasaan
(mastery).
Menggunakan
pendekatan
mastery
juga
artinya
menyediakan fleksibilitas untuk menampung instruksi gaya pembelajaran individual, kebutuhan dan kepentingan. c.
Pembelajaran Berdasarkan Pengalaman (Experential based Learning) Experential Learning (EBL) adalah sebuah pendekatan dalam pembelajaran
yang berbasiskan pada pengalaman. Menurut Lee Andresen, Boud & Ruth Cohen (Folley, 2000:103), EBL didasarkan pada seperangkat asumsi tentang belajar dari pengalaman. Seperangkat asumsi yang diidentifikasi dalam (Folley, 2000:105) oleh Boud et al (1993:87) yaitu: a) Pengalaman adalah dasar dan stimulus untuk belajar. b) Pembelajar aktif membangun pengalaman mereka sendiri. c) Peserta didik adalah proses holistik. d) Belajar dikonstruksi secara sosial dan kultural.
53
e) Belajar dipengaruhi oleh konteks sosioemosional di mana ia terjadi. EBL menuntut tiga faktor yang masing-masing dapat beroperasi, pada tingkat tertentu, yaitu : a) Keterlibatan seluruh orang, baik dalam kecerdasan, perasaan dan indera. Misalnya, dalam pembelajaran melalui permainan peran (role plays) dan permainan, proses bermain atau bertindak yang biasanya melibatkan pemikiran, beberapa atau lain melibatkan indera dan berbagai perasaan. Belajar terjadi melalui semua kegiatan ini. b) Pengakuan dan menggunakan secara aktif semua pengalaman hidup pembelajar yang relevan dan pengalaman belajar. Dimana belajar baru akan bisa berhubungan dengan pengalaman pribadi, artinya diturunkan dan diintegrasikan ke dalam nilai-nilai pemahaman dari pembelajar. c) Refleksi yang berkelanjutan pada pengalaman sebelumnya dalam rangka untuk menambah dan mengubah menjadi pemahaman yang lebih dalam. Proses ini berlangsung selama pembelajar hidup dan memiliki ingatan. Kualitas pemikiran reflektif yang dibawa oleh pelajar memiliki tingkat signifikansi dalam hasil pembelajaran yang lebih besar dari pada sifat pengalaman itu sendiri. Belajar adalah. proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman Dalam prakteknya, EBL bervariasi pelaksanaannya dengan mengacu pada tiga kemungkinan yang merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam dapat atau tidak dapatnya faktor tersebut diterapkan dalam contoh kasus tertentu. Faktor-faktor tersebut meliputi :
54
a) Intensionalitas desain. Kegiatan belajar dirancang dengan sengaja secara terstruktur. Rancangannya meliputi simulasi, permainan, roleplay, visualisasi, diskusi kelompok, sosiodrama dan hypotheticals. b) Fasilitasi. Hal ini adalah adanya keterlibatan orang lain, yaitu meliputi (guru, pemimpin, pelatih, terapis). Ketika orang-orang tersebut terlibat, maka hasil akan sangat mungkin dipengaruhi oleh tingkat keterampilan mereka dalam melaksanakan proses fasilitasi. EBL sering menganggap bahwa hubungan yang relatif sejajar antara fasilitator dan peserta didik, akan mengakibatkan kemungkinan negosiasi, dan akan memberikan kontrol yang besar serta otonomi dari pelajar. c) Penilaian hasil pembelajaran. Dalam hal pelaksanaan penilaian, lebih banyak tergantung pada dengan cara apa dilakukan, oleh siapa, dan untuk apa tujuan penilaian itu dilakukan. EBL lebih banyak perhatian dengan proses sebagai hasil dari pembelajaran, dan prosedur penilaian harus sesuai dengan hal tersebut. Tugas-tugas penilaian sama dengan dengan EBL termasuk proyekproyek individu atau kelompok, esai-esai kritis yang dialami oleh pembelajar dalam pengalamannya, membaca log, mempelajari jurnal, negosiasi dalam kontrak pembelajaran, penilaian antar sejawat dan penilaian diri sendiri (selfassessment). Sehingga penilaian mungkin akan meliputi berbagai mode presentasi lebih daripada menulis, sehingga akan terjadi penilaian yang holistik, sesuai konteks dan kompleksitas dari belajar dapat dibuktikan secara nyata.
55
d.
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem based Learning) Menurut Boud & Felletti (1991) dalam (Folley, 2000:110), gagasan utama
dari Problem based Learning (PBL) bahwa titik awal untuk belajar harus dari suatu permasalahan, pertanyaan atau teka-teki yang dengan hal tersebut warga belajar berkeinginan untuk memecahkannya. Masalah yang diajukan dalam program PBL menjadi sangat penting untuk dapat dilaksanakan praktiknya dan oleh karena sangat pentingnya penentuan masalah tersebut maka banyak program pendidikan kejuruan tradisional yang menghindar dari pendekatan ini. Kesulitankesulitan tersebut meliputi isu relevansi, pengalaman belajar warga belajar, dan yang berhubungan dengan pendekatan awal-akhir di banyak kursus, dimana semua pengetahuan harus disediakan pada pertama kali. Para pendukung pembelajaran berbasis masalah juga berpendapat bahwa pengetahuan yang tidak pernah statis dan tidak pernah dapat benar-benar diakomodasi dalam program pra-kerja sehingga memandang tujuan program prapekerjaan adalah mengembangkan keterampilan untuk belajar pengetahuan baru dengan cepat, efektif dan mandiri. Untuk menjawab tujuan program tersebut dikatakan
bahwa
pendekatan
berbasis
masalah
sebagai
cara
untuk
mengembangkan keterampilan ini. Chappell, Gonczi & Hager dalam Folley (2000) mengungkapkan bahwa pendekatan berbasis kompetensi untuk orang dewasa belajar sangat berbeda dari yang digunakan oleh gerakan CBT. Proses pembelajaran dan kontennya terintegrasi. Pembelajaran mandiri menjadi fitur kurikulum. Kegiatan bersama dan belajar kelompok termasuk didalamnya yang lebih pada pembelajaran kolaboratif
56
dan kontrak belajar; penilaian diri (self-assessment) menjadi ciri utama dari proses belajar. Salah satu contoh dari pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran ini dan yang telah digunakan secara luas adalah pembelajaran berbasis masalah (PBL). Boud dan Felletti (1991) dalam Folley (2000) juga menyarankan bahwa PBL melayani dua tujuan yang berbeda. Tujuan pertama yaitu menyangkut praktik dan pengembangan dari sejumlah kompetensi umum, termasuk : a) beradaptasi dan berpartisipasi dalam perubahan; b) menangani masalah; c) membuat keputusan beralasan; d) penalaran kritis dan kreatif; e) mengadopsi pendekatan yang lebih holistik untuk bekerja; f) berlatih empati dan berkolaborasi dalam kelompok; g) mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pribadi; h) melakukan self-directed learning. Tujuan kedua, Boud dan Felletti (1991) juga menyarankan bahwa PBL memenuhi
kondisi
untuk
orang
dewasa
yang
efektif
belajar
dengan
memungkinkan peserta didik untuk menentukan dan memecahkan masalah; dengan mengintegrasikan belajar, dan dengan mendorong pembelajaran kumulatif, pembelajaran untuk memahami dan belajar melalui refleksi. Pembelajaran berbasis masalah telah digunakan terutama dalam pendidikan dan pelatihan profesi. Sejumlah sekolah keperawatan, teknik, optometri, arsitektur
57
hukum, dan bisnis telah menggunakan pendekatan kurikulum ini (Boud & Felletti 1991; Boud 1985). Prinsip-prinsip yang mendasari pembelajaran berbasis masalah menurut Barrows dan Tamlyn dalam Boud (1985:14), yaitu : a) Masalah diangkat saat pertama dalam urutan belajar, sebelum ada persiapan atau belajar telah terjadi. b) Situasi permasalahan disajikan kepada siswa dengan cara yang sama seperti yang ada dalam kenyataan. c) Siswa bekerja dengan permasalahan yang diangkat, dengan cara yang memungkinkannya meningkatkan kemampuan dengan berbagai alasan dan menantang dengan menerapkan pengetahuan serta mengevaluasi sesuai dengan tingkatan belajar dari warga belajar tersebut. Bidang kebutuhan pembelajaran diidentifikasi pada proses dalam penyelesaian permasalahan tersebut sebagai untuk menjadi panduan untuk proses belajar mandiri/individual learning. d) Keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dengan masalah tersebut, diterapkan kembali ke masalah, untuk mengevaluasi efektivitas pembelajaran dan untuk memperkuat hasil belajar. e) Pembelajaran yang terjadi dalam penyelesaian masalah dan dalam proses pembelajaran mandiri (individual learning) dirangkum dan diintegrasikan ke dalam pengetahuan dan keterampilan siswa yang telah terbentuk. Pembelajaran
berbasis
masalah
banyak
digunakan
oleh
pendidik
dalam profesi dan dapat digolongkan sebagai bentuk pendidikan berbasis praktek (Boud dan Feletti, 1991: 36). Saat ini banyak profesi mengidentifikasi cara
58
bagaimana inisiatif dalam PBL dapat dimanfaatkan dalam mempersiapkan banyak para profesional dan bahkan digunakan oleh beberapa disiplin ilmu yang lebih tradisional, seperti ekonomi (Courvisanos, 1985:27). Meskipun dapat dilihat bahwa pada setiap bentuk studi yang dimulai dari situasi praktek mungkin akan memulai dengan masalah-masalah praktis bukan dari pertimbangan teoritis. Pendekatan yang banyak digunakan tersebut konsisten dengan teori pembelajaran berbasis pengalaman (Jarvis et al, 1998:46-58.) e.
Pelatihan dalam Pekerjaan (On The Job Training) Pengertian on the job training (OJT) berdasarkan sejarah kemunculannya
dibagi menjadi dua makna yaitu : Informal OJT dan Formal OJT. Makna dari informal OJT adalah konsep yang sejak dahulu dilakukan ketika kita ingin memberikan kesempatan kepada seorang pegawai dengan latihan pada orang lain yang sudah berkecimpung di dunia pekerjaan tersebut. Informal OJT adalah kenyataan yang terjadi dalam setiap organisasi, dimana yang sudah mampu melakukan berbagi pengetahuan dengan yang belum tahu dalam suatu organisasi sesuai dengan kebutuhan tanpa ada materi pelatihan tertentu, instrumen evaluasi maupun catatan.(Piskurich, 2000:88). Karakteristik informal OJT dalam (Blanchard & Thacker, 2007:243), yaitu : a) Tidak disiapkan dengan baik b) Dilakukan dalam basis berjalan apa adanya tanpa ada persiapan isi atau proses c) Tidak ada tujuan yang dibangun atau menjadi acuan selama pelatihan d) Pelatih dipilih berdasarkan keahlian teknik bukan kemampuan dalam melatih e) Pelatih tidak melalui pelatihan formal dalam bagaimana melatih
59
Metode pelatihan ini paling sering digunakan terutama dalam bisnis kecil. Informal OJT adalah metode yang paling disukai dalam melatih pegawai untuk teknologi baru dan meningkatkan keterampilan untuk teknologi terbaru. (Swamidass dalam Blanchard&Thacker,2007:243). Makna formal OJT adalah kebalikan dari informal OJT, artinya dalam formal OJT sesuatu dilakukan melalui perencanaan yang matang dan persiapan baik dalam materi maupun pemateri serta berbagai komponen lain yang diperlukan dalam OJT. Meskipun apabila memperhatikan efisiensi waktu dan biaya, apabila sesuatu yang diajarkan adalah mudah dilakukan, mudah dijelaskan atau sedikit signifikansinya pada pekerjaan, informal OJT mungkin dapat dilakukan. Tetapi apabila keterampilan dan pengetahuannya menjadi kompleks dan kritis pada pekerjaan serta membutuhkan bukti bahwa pegawai dapat melakukan tugas, ini akan menjadi masalah apabila hanya mengandalkan OJT secara informal. Pembelajaran informal sendiri mungkin dapat dilakukan namun pembelajaran dengan tanpa ada evaluasi untuk memverifikasi wilayah yang sudah dikuasai atau perlu diulang, serta tanpa adanya komponen kunci dari desain program pelatihan, tujuan pembelajaran dan penampilan, materi target pelatihan, dan instrumen evaluasi tentunya tidak dapat dilakukan apabila tuntutannya sudah semakin besar pada pekerjaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa OJT informal tidak dapat diakui dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan. Untuk dapat melaksanakan OJT dengan sukses, ada beberapa tantangan yang besar yaitu:
60
a) Waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan program, dimana harus ada ahli yang berpengalaman dalam pekerjaan tersebut dalam mempersiapkan program. Beberapa persiapan yang dilakukan yaitu persiapannya pada materi pembelajaran, membangun keterampilan dalam menjelaskan program, beradaptasi dengan gaya belajar individu, menyiapkan evaluasi dan bekerjasama dengan peserta pelatihan. b) Hilangnya waktu dalam mempersiapkan ini, menjadikan harus melepaskan pekerjaan yang biasa dilakukan (Piskurich, 2000:20). Dalam membangun OJT ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu: a) Analisis kebutuhan, dimana pada tahapan ini, melibatkan perbandingan apa yang ada dan apa yang diharapkan dengan menyusun intervensi dalam pelatihan b) Analisis situasi, yang pada tahapan ini melibatkan penilaian dari peserta pelatihan
dan
analisa
sumber
yang
tersedia
untuk
desain
dan
mengimplementasikan pelatihan c) Penentuan pekerjaan dan analisis tugas. Pada tahapan ini melibatkan mengidentifikasi keterampilan dan pengetahuan yang harus dibangun untuk menunjukan kompetensi dari suatu pekerjaan d) Spesifikasi tujuan dari tingkah laku, dimana menulis standar penampilan yang terukur dan menspesifikasikan kondisi dimana penampilan akan terlihat. e) Menseleksi, mendesain dan memproduksi materi pelatihan. Pada tahapan ini melibatkan menyeleksi, mendesain dan memproduksi metode dan media yang akan digunakan dalam program pelatihan f) Menseleksi, mendesain dan memproduksi materi evaluasi, yaitu
meliputi
menyeleksi, mendesain dan memproduksi instrumen yang digunakan dalam menentukan tujuan tingkah laku yang sudah dicapai
61
Desain dan tahapan dalam OJT dilakukan oleh desainer pelatihan dan expert dalam materi tersebut. Ada dua hal esensial yang harus dibangun oleh pendesain program, yaitu : a) Petunjuk/panduan untuk pelatih/fasilitator/pendamping b) Petunjuk/panduan untuk peserta pelatihan Karakteristik pelatih/fasilitator/pendamping yang harus dilibatkan adalah : a) Paling utama dan pertama adalah pengetahuan yang mendalam pada subjek tersebut artinya materi pelatihan harus sangat jelas dan mudah untuk dipahami dan dilakukan b) Kesungguhan dari pelatih dalam menjalankannya, dimana pelatihan memakan waktu dan tenaga juga emosi. Hal yang juga penting adalah dalam saat pemilihan pelatih juga harus bijaksana dan tepat. Penyiapan pelatih OJT harus melalui pelatihan bagi pelatih OJT. Pelatih OJT harus dilatih, dan jangan hanya pada tataran mengetahui, bahkan harus dites dalam kemampuan dalam prakteknya. Prinsip dari pembelajaran orang dewasa harus dijalankan dalam peserta OJT, yaitu : a) Orang dewasa membawa pengalaman pada situasi pembelajaran b) Orang dewasa memilih variasi c) Orang dewasa ingin belajar d) Orang dewasa belajar terbaik dengan melakukan e) Perlakukan orang dewasa sebagai orang dewasa f) Lakukan kemudahan dalam pelatihan
62
Keterampilan pelatihan secara umum, dimana pelatih OJT harus sadar dengan hal-hal ini yaitu : a) Penampilan fisik (1)Hadapi wajah peserta dan buat kontak mata sebanyak mungkin dengan peserta (2)Hindari tingkah laku yang dapat mengganggu pesan yang ingin disampaikan dalam pelatihan b) Mengobservasi (1)Lihat pada bahasa tubuh peserta (2)Lihat pada muka peserta c) Mendengarkan (1)Dengar apa yang dikatakan oleh peserta (2)Ulangi apa yang dikatakan oleh peserta untuk memahami maksud perkataannya d) Bertanya Dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu : (1)Kelompok : Tepat dengan menggunakan pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup (2)Langsung : Dapat digunakan pertanyaan langsung (3)Tidak langsung : Pertanyaan disampaikan melalui orang lain (4)Mengembalikan : Pertanyaan diberikan dengan mengembalikan jawaban pada peserta lain untuk melihat opini yang ada
63
Keterampilan lain yang harus dimiliki oleh pelatih/fasilitator adalah keterampilan one and one. Keterampilan tersebut berkaitan dengan keterampilan menyelesaikan permasalahan (George M. Piskurich, 2000:121-130). Beberapa tahapan
keterampilan
yang
dilakukan
adalah
keterampilan
dalam
1)
Merencanakan; 2) Mempersiapkan; dan 3) Mempresentasikan. Dalam Blanchard & Thacker (2007:216) dikatakan bahwa OJT formal harus dengan hati-hati membangun mengikuti tingkatan pembelajaran. Pembelajaran biasanya akan melalui tahapan sebagai berikut: a) Peserta
pelatihan
mengobservasi
dari
pegawai/pelatih
yang
lebih
berpengalaman dan terlatih yang berkaitan dengan penampilan dalam tugas yang berkaitan dengan pekerjaan b) Prosedur dan teknik yang digunakan didiskusikan sebelum, selama dan setelah pelatih mendemonstrasikan bagaimana tugas pekerjaan dilakukan c) Peserta pelatihan memulai menunjukkan tugas pekerjaan ketika pelatih menentukan bahwa peserta pelatihan telah siap d) Pelatih memberikan arahan yang berkelanjutan dan balikan/masukan e) Peserta pelatihan secara bertahap diberikan pekerjaan sedikit demi sedikit untuk menunjukkan keahliannya sampai dia dapat menunjukkan hasil pekerjaan atas usahanya sendiri Proses pengajaran secara umum dapat dilihat dengan secara formal dalam detail sebagai teknik pengajaran pekerjaan Job Instruction Technique (JIT). JIT menggunakan
strategi
behavioral
dengan
fokus
pada
pengembangan
keterampilan. Bagaimanapun juga bahwa pada hampir semua pekerjaan, tujuan
64
pengetahuan akan selalu terlibat. JIT dibangun selama Perang dunia II dan berlanjut menjadi standar dalam mengevaluasi program OJT. JIT meliputi empat tahapan, yaitu : a) Prepare-Persiapan b) Present-Menampilkan c) Try Out-Menguji coba d) Follow up-Mengikuti untuk melakukan pengecekan Tabel 2.3 JIT Instruction Learning Sequence Basic of instruction Areas of learning affected Prepare Attention and Motivation 1. Break down the job 2. Prepare an instruction plan 3. Put the learner as ease Present Retention: 1. Tell Symbolic coding 2. Show Cognitive Organization 3. Demonstrate 4. Explain Try Out Retention:/penyimpanan 1. Have the learner talk through Symbolic Rehearsal the job Behavioral reproduction 2. Have the learner instruct the supervisor on how the job is done 3. Let the learner do the job 4. Provide feed back, both positive and negative 5. Let the learner practice Follow up Behavioral reproduction 1. Check progress frequently at first 2. Tell the learner whom to go for help 3. Gradually taper off progress checks Sumber : Gold, L. Job Instruction: Four Steps to Success. Training and Development Journal (September 1981:28-32) dalam Blanchard & Thacker, 2007:244)
65
B. Hakekat Kompetensi Baby Sitter Profesional 1.
Pengertian Kompetensi Definisi kompetensi yang termuat dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 10 menjelaskan bahwa : “Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan”. Sehingga kompetensi kerja merupakan suatu keterampilan yang dimiliki oleh seseorang terhadap segala aspek pekerjaan yang akan dijalankan dan keterampilan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan dalam pekerjaannya. Menurut McAschan (Mulyasa,2002:77) mengenai pengertian kompetensi dikemukakan bahwa kompetensi ‘... is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieved, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactory perform particular cognitive, afective, and psychomotor behaviours.’ Dalam pengetian tersebut kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Bahkan Finch & Crunkilton dalam Mulyasa (2002:59) pun menekankan bahwa “kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan dalam melaksanakan pekerjaan tertentu”.
66
Berdasarkan Gonczi et al., (1993); Hager dan Beckett (1995); Gonczi (2004) dalam Foley (2000) dan Tennant (2006) “kompetensi harus dipandang secara terpadu dan holistik, dengan memfokuskan pada aplikasi dalam konteks tertentu, dari atribut-atribut yang ada pada seorang individu (pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai)”. Sejalan dengan pendapat tersebut sehingga sebagai contoh, seorang baby sitter dikatakan memiliki kompetensi yang profesional apabila seorang baby sitter tersebut memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang sesuai dengan standar kompetensi yang sudah ditetapkan serta dapat melakukan sesuai dengan konteks dan situasi yang sesuai dengan kebutuhan tempat kerja. Untuk melihat kompetensi seseorang tidak dapat hanya melihat pada satu sisi pengetahuan saja, namun harus berlaku secara holistik dan terpadu, sehingga keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki memiliki kesesuaian dengan standar kompetensi yang telah dibutuhkan dan kebutuhan tempat kerja yang sesuai dengan konteks yang tepat. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang ditujukan untuk membangun seluruh dimensi manusia. Dimensi manusia tersebut diantaranya meliputi dimensi fisik, sosial, emosi, kreatifitas, spiritual, serta kognitif/akademik sehingga pendidikan tersebut dapat membentuk insan kamil. Beberapa dimensi tersebut diatas contohnya yaitu : a. Dimensi fisik meliputi motorik halus dan kasar, menjaga stamina dan kesehatan,
67
b. Dimensi emosi meliputi kesehatan jiwa, mengendalikan stress, mengontrol diri dari perbuatan negatif, percaya diri, berani mengambil resiko, mampu berempati c. Dimensi sosial meliputi belajar menyenangi pekerjaannya, bekerja dalam tim, pandai bergaul, peduli pada masalah social, bertanggung jawab, menghormati orang lain, mengerti akan perbedaan budaya dan kebiasaan orang lain, mematuhi segala peraturan yg berlaku d. Dimensi kreatifitas meliputi mampu mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan produktif (seni, musik, pikiran) serta mencari solusi tepat bagi berbagai masalah e. Dimensi spiritual meliputi mampu memaknai arti dan tujuan hidup dan mampu merefleksikan tentang dirinya, mengetahui misinya dalam kehidupan ini sebagai bagian penting dalam sebuah system kehidupan, dan selalu bersikap takzim kepada seluruh ciptaan Allah. f. Dimensi akademik/intelektual meliputi berpikir logis, berbahasa, menulis dengan baik, dapat mengemukakan pertanyaan kritis dan menarik kesimpulan dari berbagai informasi yang diketahuinya. Menurut Bartridge seorang praktisi pengembang pelatihan berbasis kompetensi bahwa: Competence is often defined as a combination of awareness, skills, knowledge and attitude that enables an individual to perform a job to the standards required for successful job performance. In other words, competence deals with "what is expected in the workplace" with the emphasis on performing an actual job and not gaining knowledge or skills for their own sake.
68
Hal ini memiliki makna bahwa program berbasis kompetensi harus memfokuskan pada membangun kesadaran, pengetahuan dan keterampilanketerampilan serta sikap yang dibutuhkan oleh pekerjaan tertentu. Program ini pun digunakan untuk meningkatkan performance tenaga kerja yang sedang bekerja sehingga mengalami peningkatan kemampuan sesuai dengan kebutuhan dalam pekerjaan yang dihadapi. Sumber lain bahwa konsorsium nasional Pendidikan Berbasis Kompetensi menyusun seperangkat kriteria untuk menggambarkan dan menilai programprogram berbasis kompetensi, yang dapat digunakan dalam lingkup lapangan pendidikan dan pelatihan. Kriterianya adalah sebagai berikut : Tabel 2.4. Kriteria Program Berbasis Kompetensi Criteria for Describing and Assessing Competency Based Programmes (Source-Burke et al., 1975) Competency Specifications 1. Competences are based on an analysis of the professional role(s) and/or a theoritical formulation of professional responsibilities. 2. Competency statements describe outcomes expected from the performance of professionally related functions, or those knowledges, skills, and attitudes thought to be essential to the performances of those functions. 3. Competency statements facilitate criterion referenced assessment 4. Competences are treated as tentative predictors of professional effectiveness, and are subjected to continual validation procedures. 5. Competences are specified and made public prior to instruction. 6. Learners completing the CBE programme demonstrate a wide range of competency profiles. Instruction 7. The instructional programme is derived from and linked to specified competences. 8. Instruction which supports competency development is organised into units of manageable size. 9. Instruction is organised and implemented so as to accomodate learner style, sequence preference, pacing and perceived needs. 10. Learner progress is determined by demonstrated competence. 11. The extent of learner’s progress is made known to him/her throughout the
69
programme. 12. Instructional specifications are reviewed and revised based on feedback data Assessment 13. Competency measures are validly related to competency statements 14. Competency measures are spesific, realistic and sensitive to nuance. 15. Competency measures discriminate on the basis of standards set for competency demonstration. 16. Data provided by competency measured are manageable and useful in decision making. 17. Competency measures and standards are specified and made public prior to instruction. Governance and Management 18. Policy Statements are written to govern, in board outline, the intended structure, content, operation and resource base of the programme. 19. Management functions, responsibilities, procedures and mechanisms are clearly defined and made explicit. Total Programme 20. Programme staff attempt to model the attitudes and behaviours desired of students in the programme. 21. Provisions are made for staff orientation, assessment, improvement and reward. 22. Research and dissemination activities are an integral part of the programme. 23. Institutional flexibility is sufficient for all aspects of the programme. 24. The programme is planned and operated as a totally unified, integrated system. Sumber: Burke (1989:207) 2.
Definisi Baby sitter Profesional Definisi baby sitter dalam dictionary mengandung makna “(a) a person
engaged to care for one or more children in the temporary absence of parents or guardians, and (b) a person who cares for or watches over someone or something that needs attention or guidance.” Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa baby sitter adalah seseorang yang merawat anak usia (0-5 tahun) ketika orang tua tidak ada ditempat ataupun bekerja sehingga tidak dapat menjaga anaknya, atau dapat dikatakan baby sitter adalah seseorang yang membantu menjaga anak dan merawat anak yang memerlukan perhatian ataupun arahan ketika orang tuanya membutuhkan bantuan.
70
Pengertian profesional berkaitan erat dengan terminologi profesi, yang secara etimologis berasal dari kata profession (Inggris) yang menurut kamus Webster Electronic Dictionary bermakna “a calling requiring specialized knowledge and often long and intensive academic preparation atau a principal calling, vocation, or employment”, sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1997:789), profesi diartikan sebagai “bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu sehingga mempunyai kompetensi”. Tilaar (2002:8) memberikan pemaknaan bahwa “profesi merupakan pekerjaan yang dapat juga berwujud sebagai jabatan di dalam suatu hierarki birokrasi, yang menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan tersebut serta pelayanan baku terhadap masyarakat”. Shein (1972:8) memaknai profesi : “The profession are a set of occupations that have developed a very special set of norms deriving from their have special role in society”. Disini mengandung makna bahwa profesi adalah sekumpulan pekerjaan-pekerjaan yang dibangun oleh sekumpulan norma yang sangat khusus yang dijabarkan dari peran khusus mereka di masyarakat. Berdasarkan definisi dan pendapat berbagai ahli tersebut, profesionalisme baby sitter dapat diartikan sebagai baby sitter yang menunjukkan kemampuan dan kecakapannya sesuai dengan norma dan kompetensi yang berlaku di bidang kerjanya sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu diantaranya adalah a) Kemampuan untuk melaksanakan satu tugas dan peran sebagai baby sitter; b) Kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-
71
sikap dan nilai-nilai pribadi yang sesuai dengan profesi baby sitter, dan c) Kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan baby sitter yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku. Bila melihat pada peran dan tugas baby sitter pada umumnya yaitu memenuhi kebutuhan perawatan anak ketika orang tua tidak ada di tempat, maka selayaknya apabila baby sitter melakukan pekerjaan yang memenuhi prinsipprinsip perkembangan, pendidikan dan perawatan anak usia dini. Kompetensi ini mengandung makna bahwa dalam melakukan interaksi dengan anak usia dini (0-6 tahun), segala peran dan aktivitas yang dilakukan baby sitter harus didasari oleh dasar pemahaman mengenai aspek-aspek perkembangan, aspek-aspek perawatan dan aspek-aspek pendidikan yang ditujukan bagi anak usia dini. Aspek-aspek tersebut dapat diperhatikan meliputi : a. Aspek perkembangan anak, dimana seorang yang berinteraksi khususnya seorang baby sitter memahami tingkat perkembangan anak yang diasuhnya sehingga seorang baby sitter dapat merawat dan mendidik anak sesuai dengan kebutuhan
tingkat
perkembangannya.
Penyesuaian
tindakan
dengan
pemahaman akan perkembangan anak ini dapat berdampak pula pada perkembangan anak secara optimal. b. Aspek perawatan, mengandung pengertian bahwa perawatan yang dilakukan pada anak memenuhi aturan yang tepat sesuai dengan pola perawatan yang aman, bersih dan sehat pada anak sehingga dengan pola perawatan yang tepat, membuat anak mendapatkan kebutuhannya secara fisik dan mental.
72
c. Aspek pendidikan, mengandung pengertian bahwa seorang baby sitter memahami potensi yang sangat besar pada anak untuk dapat belajar sejak anak masih sangat dini. Pemahaman dan stimulan yang tepat pada anak sejak usia dini, dapat menjadi dasar yang sangat penting bagi kesiapan anak untuk memasuki sekolah lebih lanjut. Dikaitkan dengan prinsip perkembangan anak usia dini, sesuai UU Sisdiknas pasal 1 ayat 14 tahun 2003 tentang Pendidikan Anak Usia Dini yang dikuatkan dengan adanya Permendiknas no.58 Tahun 2009 mengenai Standar Pendidikan Anak Usia Dini, maka aspek perkembangan yang harus diperhatikan meliputi : a. Aspek moral dan nilai-nilai agama Perkembangan moral dan nilai-nilai agama memiliki indikator: Anak mampu memperhatikan perilaku keagamaan yang diterima melalui inderanya. Anak
mulai
meniru
perilaku
keagamaan
secara
sederhana
danmulai
mengekspresikan rasa sayang dan cinta kasih. Anak mampu meniru secara terbatas perilaku keagamaan yang dilihat dan didengarnya. Mulai meniru perilaku baik atau sopan. Anak mampu meniru dan mengucapkan bacaan doa/lagu-lagu keagamaan dan gerakan beribadah secara sederhana, mulai berperilaku baik atau sopan bila diingatkan. Anak mampu mengucapkan bacaan doa/ lagu-lagu keagamaan, meniru gerakan beribadah, mengikuti aturan serta mampu belajar berpetilaku baik dan sopan bila diingatkan. Anak mampu melakukan perilaku keagamaan secara berurutan dan mulai belajar membedakan perilaku baik dan buruk.
73
b. Aspek Kognitif Perkembangan kognitif memiliki indikator: Anak mampu menyadari keberadaan benda yang tidak dilihatnya. Anak bereksplorasi melalui indera dan motoriknya terhadap benda yang ada di sekitarnya Anak mampu mengenal benda dan memanipulasi objek/benda. Anak mampu mengenal konsep sederhana dan dapat mengklasifikasi. Anak mampu mengenal dan memahami berbagai konsep sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Anak mampu memahami konsep sederhana dan dapat memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan seharihari. c. Aspek Bahasa Perkembangan bahasa memiliki indikator: Anak mampu merespon suara,Anak mampu mengerti isyarat dan perkataan orang lain serta mengucapkan keinginannya secara sederhana. Anak dapat mendengangarkan dan berkomunikasi secara lisan dengan kalimat sederhana. Anak dapat mendengarkan, berkomunikasi secara lisan serta memiliki penbendaharaan kosa kata yang semakin banyak. Anak dapat berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata-kata dan mengenal simbol-simbol. Anak dapat berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, serta mengenal simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis dan berhitung d. Aspek Motorik (Motorik Kasar dan Motorik Halus) Perkembangan motorik terdiri dari: a) motorik kasar dengan indikator: anak dapat berlari dengan cepat, berjalan lurus dengan membawa gelas berisi air, dapat bermain dengan bola: menangkap dan melempar, dapat melakukan gerak senam
74
sederhana dengan mengikuti irama lagu dan dapat menirukan gerakan melalui senam fantasi sesuai irama lagu. b) motorik halus dengan indikator: anak dapat meremas kertas untuk membuat suatu karya, dapat mengoles mentega pada roti, dapat menggunakan benda dengan benar sesuai dengan fungsinya dan dapat menjahit alas makan. e. Aspek Sosial-emosi Perkembangan sosial-emosi memiliki indikator: Anak mampu membangun interaksi dengan merespon kehadiran orang lain,Anak mampu berinteraksi dengan lingkungan terdekatnya (keluarga), dan menunjukkan keinginannya dengan kuat,Anak mampu berinteraksi dan mengenal dirinya, dan menunjukkan keinginannya dengan kuat Anak mampu berinteraksi, dapat menunjukkan reaksi emosi yang wajar, serta mulai menunjukkan rasa percaya diri Anak mampu berinteraksi, mulai dapat mengendalikan emosinya, mulai menunjukkan rasa percaya diri, serta mulai dapat menjaga diri sendiri Anak mampu berinteraksi, dan mulai mematuhi aturan, dapat mengendalikan emosinya, menunjukkan rasa percaya diri, dan dapat menjaga diri sendiri. Melihat penjelasan mengenai definisi baby sitter, fungsi dan peran baby sitter serta tuntutan pengasuhan dan pendidikan pada anak usia dini dalam standar pendidikan yang berlaku di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa seorang baby sitter yang profesional, dalam melakukan interaksi pada anak yang menjadi asuhannya, harus memiliki kompetensi yang didasari pada : a. Memahami tahapan perkembangan anak,
75
b. Mengetahui bagaimana memperlakukan dan merawat anak dengan tepat sesuai dengan tingkat usia anak serta standar kebersihan, keamanan dan kesehatan yang sesuai, c. Memberikan rangsangan yang tepat dalam menumbuhkan belajar anak serta merawat anak dengan tepat sehingga secara fisik dan mental anak akan mendapatkan pemenuhan rasa aman dan nyaman Ketiga aspek kompetensi tersebut haruslah tertuang di dalam standar kompetensi yang berlaku untuk memenuhi standar minimal kemampuan baby sitter. Kompetensi tersebut secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan, namun satu sama lain saling mengisi dan holistik dalam mengembangkan pemahaman seorang yang berinteraksi dengan anak usia dini, khususnya seorang baby sitter dalam interaksinya dengan anak asuhnya. Sehingga profesionalisme baby sitter ditentukan berdasarkan capaian kemampuan dan kompetensi baby sitter sesuai dengan standar kompetensi yang berlaku. 3.
Standar Kompetensi Baby Sitter Berdasarkan pada arti bahasa, standar kompetensi terbentuk atas kata
standar dan kompetensi. Standar diartikan sebagai ukuran yang disepakati, sedangkan kompetensi telah didefinisikan sebagai kemampuan seseorang yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan standar performa yang ditetapkan. Dengan demikian dapatlah disepakati bahwa standar kompetensi merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang kompetensi yang diperlukan pada suatu bidang pekerjaan oleh seluruh "stakeholder" di bidangnya. Dengan kata
76
lain, yang dimaksud dengan Standar Kompetensi adalah perumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang didasari atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja sesuai dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan. Dengan dikuasainya standar kompetensi tersebut oleh seseorang, maka yang bersangkutan akan mampu untuk : a) bagaimana mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan; b) bagaimana mengorganisasikannya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan; c) apa yang harus dilakukan bilamana terjadi sesuatu yang berbeda dengan rencana semula; d bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dengan kondisi yang berbeda; e) bagaimana menyesuaikan kemampuan yang dimiliki bila bekerja pada kondisi dan lingkungan yang berbeda. Standar kompetensi baby sitter adalah seperangkat kompetensi yang menjadi standar minimal untuk bidang kerja baby sitter. Standar kompetensi ditetapkan oleh lembaga tertentu ataupun negara untuk dapat menentukan seseorang kompeten ataupun belum kompeten. Standar kompetensi terdiri dari serangkaian unit kompetensi, baik meliputi kompetensi inti maupun kompetensi pilihan yang harus dikuasai. 4.
Unit Kompetensi Unit kompetensi adalah sebagai bagian dari keseluruhan unit kompetensi
yang terdapat pada standar kompetensi kerja. Judul unit kompetensi harus menggunakan kalimat aktif yang diawali dengan kata kerja aktif yang terukur.
77
a. Kata kerja aktif yang digunakan dalam penulisan judul unit kompetensi diberikan contoh antara lain:memperbaiki, mengoperasikan, melakukan, melaksanakan, menjelaskan, mengkomunikasikan, menggunakan, melayani, merawat, merencanakan, membuat dan lain-lain. b. Kata kerja aktif yang digunakan dalam penulisan judul unit kompetensi sedapat mungkin dihindari penggunaan kata kerja antara lain : memahami, mengetahui, menerangkan, mempelajari, menguraikan, mengerti dan atau yang sejenis. Deskripsi unit kompetensi merupakan bentuk kalimat yang menjelaskan secara singkat isi dari judul unit kompetensi yang mendeskripsikan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan satu tugas pekerjaan yang dipersyaratkan dalam judul unit kompetensi. 5. Elemen Kompetensi Elemen kompetensi adalah merupakan bagian kecil dari unit kompetensi yang mengidentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan untuk mencapai unit kompetensi tersebut. Elemen kompetensi ditulis menggunakan kalimat aktif dan jumlah elemen kompetensi untuk setiap unit kompetensi terdiri dari dua sampai lima elemen kompetensi. Kandungan elemen kompetensi pada setiap unit kompetensi mencerminkan unsur: merencanakan, menyiapkan, melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan. Sebuah elemen kompetensi adalah deskripsi dari sesuatu dimana seseorang yang bekerja pada bidang pekerjaan tersebut harus dapat melakukannya. Elemen kompetensi menunjukkan beberapa aksi, tingkah
78
laku ataupun hasil yang betul-betul bermakna di dalam kaitannya dengan sektor pekerjaan yang dilakukan (Wolf, 1995:19). Beberapa contoh judul elemen kompetensi diantaranya adalah : a. Membentuk, memelihara, dan meningkatkan hubungan kerja dengan efektif (kompetensi manajemen) b. Menginformasikan pelanggan mengenai produk-produk dan pelayananpelayanan yang diminta (kompetensi pelayanan keuangan) 6. Kriteria Unjuk Kerja Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada setiap elemen kompetensi. Kriteria unjuk kerja harus mencerminkan aktivitas yang dapat menggambarkan tiga aspek yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Untuk setiap elemen kompetensi dapat terdiri dua sampai lima kriteria unjuk kerja dan dirumuskan dalam kalimat terukur dengan bentuk pasif. Pemilihan
kosakata
dalam
menulis
kalimat
harus
memperhatikan
keterukuran aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja, yang ditulis dengan memperhatikan level taksonomi Bloom dan pengembangannya yang terkait dengan aspek-aspek psikomotorik, kognitif dan afektif sesuai dengan tingkat kesulitan pelaksanaan tugas pada tingkatan/urutan unit kompetensi.
79
C. Hakekat Kurikulum Berbasis Kompetensi 1.
Konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi Pengertian kurikulum berbasis kompetensi adalah suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu” (Mulyasa, 2002:78). Ada tiga landasan teoritis yang mendasari kurikulum berbasis kompetensi,
yaitu : a. Adanya pergeseran dari pembelajaran kelompok ke arah pembelajaran individual, artinya setiap peserta didik dapat belajar sendiri sesuai dengan cara dan kemampuan masing-masing, serta tidak bergantung kepada orang lain. Sebagai implikasinya diperlukan pengaturan kelas yang fleksibel, baik sarana maupun waktu, karena memungkinkan peserta didik belajar dengan kecepatan yang berbeda, penggunaan alat yang berbeda dan bahkan bahan ajar yang berbeda pula. b. Pengembangan konsep belajar tuntas (mastery learning) atau belajar sebagai penguasaan (learning for mastery) adalah falsafah pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan sistem pembelajaran yang tepat, semua peserta didik dapat mempelajari semua bahan yang diberikan dengan hasil yang baik. c. Pendefinisian kembali terhadap bakat, yang didukung oleh pendapat Hall (1986) bahwa setiap peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal jika diberikan waktu yang cukup. Hal ini mengandung makna bahwa peserta didik perlu diberikan keluasan waktu dalam kegiatan pembelajaran bagi peserta yang kurang cepat dalam menguasai bahan pelajaran.
80
Sehingga implikasi dari ketiga teori tersebut terhadap pembelajaran adalah : 1) pembelajaran perlu lebih menekankan pada kegiatan individual meskipun dilaksanakan secara klasikal, dan perlu memperhatikan perbedaan peserta didik; 2) perlu diupayakan lingkungan belajar yang kondusif, dengan metode dan media yang bervariasi, sehingga memungkinkan setiap peserta didik belajar dengan tenang dan menyenangkan; 3) dalam pembelajaran perlu diberikan waktu yang cukup terutama dalam penyelesaian tugas dan praktek, agar setiap peserta didik dapat mengerjakan tugas belajarnya dengan baik. 2. Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi Menurut Depdiknas dalam Mulyasa (2002), bahwa: Kurikulum berbasis kompetensi memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal; b) Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; c) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; d) Sumber belajar bukan hanya guru/tutor, tapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif; e) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Kurikulum berbasis kompetensi memiliki asumsi yang mendasarinya, yaitu : a) penerapan kurikulum berbasis kompetensi menuntut peningkatan kemampuan profesional pendidiknya; b) Umumnya mengajar hanya diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi yang terdapat dalam setiap bahan ajar; c) Peserta didik bukanlah tabung kosong, ataupun kertas putih yang dapat diisi sekehendak pendidiknya saja, namun seorang individu yang memiliki potensi yang dapat berkembang sesuai dengan penciptakan iklim kondusif yang dapat mendorong peserta didik belajar; d) Peserta didik memiliki potensi yang berbeda dan bervariasi; e) Pendidikan berfungsi mengkondisikan lingkungan untuk membantu
81
peserta didik mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya secara optimal; f) Kurikulum sebagai perencanaan pembelajaran harus berisi kompetensikompetensi potensial yang tersusun secara sistematis, sebagai jabaran dari seluruh aspek kepribadian peserta didik, pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki; g) Kurikulum sebagai proses pembelajaran harus menyediakan berbagai kemungkinan kepada seluruh peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensinya secara optimal (Mulyasa, 2002) 3. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Seseorang dianggap kompeten jika mereka bisa menunjukkan secara bersamaan kombinasi yang kompleks dari pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan dalam cara yang sesuai dengan konteks di mana mereka diharuskan untuk bertindak dalam lingkup pekerjaan yang menuntutnya. Sebuah kurikulum berbasis kompetensi tidak menentukan berbagai kompetensi atau tugas untuk dikuasai. Sebaliknya, seperangkat standar kompetensi yang dikembangkan untuk selanjutnya akan membentuk latar belakang untuk sebuah kurikulum. Gagasan kompetensi menyatukan antara teori dan praktek, dan bahwa hal itu mengakui akan peran pentingnya dari pembelajaran dari tempat kerja dan belajar dari pengalaman yang luas (Tennant, 2006:88). Dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, Ashan (1981) mengemukakan tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu : a. Penetapan kompetensi yang akan dicapai, yaitu pernyataan tujuan (goal statement) yang ingin diperoleh peserta didik, yang menggambarkan hasil
82
belajar (learning outcomes) pada aspek pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. b. Pengembangan strategi untuk mencapai kompetensi, yaitu upaya untuk membantu peserta didik dalam menguasai kompetensi yang ditetapkan. c. Evaluasi,
yang
merupakan
kegiatan
penilaian
terhadap
pencapaian
kompetensi bagi setiap peserta didik. 4. Penilaian berbasis kompetensi Penilaian berbasis kompetensi adalah bentuk penilaian yang berdasarkan pada spesifikasi dari serangkaran hasil, yang sudah sangat jelas disebutkan baik hasil yang disebutkan secara umum dan khusus, yang mana asesor, warga belajar dan siapapun yang tertarik dapat membuat penilaian dengan keputusan yang beralasan secara objektif dan penuh respek atas
ketercapaian maupun
ketidaktercapaian warga belajar pada hasil yang diharapkan. Penilaian pada kompetensi ini akan diakui dan menunjukkan kemajuan dari warga belajar atas dasar pencapaian hasil yang didemonstrasikan. Penilaian berbasis kompetensi ini tidak terikat oleh waktu yang disediakan dalam pendidikan formal (Wolf, 1995:1). Tiga komponen dari penilaian berbasis kompetensi yang sangat penting dan memenuhi definisi diatas, adalah : 1. The emphasis on outcomes - specifically, multiple outcomes, each distinctive and separately considered. 2. The belief that these can and should be specified to the point where they are clear and'transparent' - that assessors, assessees and 'third parties' should be able to understand what is being assessed, and what should be achieved. 3. The decoupling of assessment from particular institutions or learning programmes (Wolf, 1995:2).
83
Makna yang dapat diambil dari pernyataan tersebut adalah bahwa: a) dalam penilaian yang berbasis kompetensi sangat mengutamakan hasil yang terlihat nyata dan hasil yang dapat diyakini oleh penilai memang ditunjukkan oleh peserta; b) transparansi dan kejelasan dari aspek yang menjadi ukuran ketercapaian, menjadi sangat utama dalam penilaian berbasis kompetensi; c) untuk menghindari subjektivitas penilaian maka penilaian dapat dilakukan oleh pihak ketiga dengan mengacu pada standar dan ukuran yang sangat jelas.
D. Hakekat Perkembangan, Pengasuhan dan Pendidikan Anak Usia Dini 1. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini a. Teori Perkembangan Kognitif oleh Piaget Ada beberapa tahap perkembangan kognitif yang digagas oleh Piaget yaitu : 1) Tahap Sensorimotoris (usia 0 hingga 18 bulan) 2) Tahap Praoperasional (usia 18 bulan hingga 6 atau 7 tahun) 3) Tahap Konkrit Operasional (usia 8 tahun hingga 12 tahun) 4) Tahap Formal Operasional (usia 12 tahun hingga usia dewasa). Tahap sensorimotor disebut juga sebagai masa descriminating and labeling. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahasa awal, waktu sekarang dan ruang yang dekat saja. Masa pra-operasional atau masa prakonseptual disebut juga sebagai masa intuitif dengan kemampuan menerima perangsang yang terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya, walaupun pemikirannya masih statis dan belum dapat berpikir abstrak, persepsi waktu dan tempat masih terbatas. Masa konkret operasional disebut juga masa
84
performing operation. Pada tahap ini anak sudah mampu menyelesaikan tugastugas menggabungkan, memisahkan, meyusun, menderetkan, melipat dan membagi. Masa formal operasional disebut juga sebagai masa proportional thinking. Pada masa ini, anak sudah mampu berpikir tingkat tinggi. Mereka sudah mampu berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis, menyintesis, mampu berpikir abstrak dan berpikir reflektif serta memecahkan berbagai persoalan. b. Teori Perkembangan Psikososial oleh Erick Erikson Erick Homburger Erikson merupakan salah seorang tokoh psikoanalisis pengikut Sigmund Freud. Erikson (1902-1994) membagi tahapan perkembangan psikososial ini ke dalam delapan rentang perkembangan. Ada delapan tahap perkembangan psikososial, yaitu : 1) Tahap I : Basic Trust vs Mistrust (0 – 1 tahun) Anak mendapat rangsangan dari lingkungan. Bila dalam merespon rangsangan anak mendapat pengalaman yang menyenangkan akan tumbuh rasa percaya diri, sebaliknya menimbulkan rasa curiga. 2) Tahap 2 : Autonomy vs Shame & Doubt (2 – 3 tahun) Anak sudah harus mampu menguasai kegiatan meregang atau melemaskan seluruh otot-otot tubuhnya. Bila sudah merasa mampu menguasai anggota tubuh bias menimbulkan rasa otonomi, sebaliknya bila lingkungan tidak memberi kepercayaan atau terlalu banyak bertindak untuk anak akan menumbuhkan rasa malu dan ragu-ragu.
85
3) Tahap 3 : Initiative vs Guilt (4 – 5 tahun) Pada masa ini anak harus dapat menunjukkan sikap mulai lepas dari ikatan orang tua, anak harus dapat bergerak bebas dan berinteraksi dengan lingkungannya. Kondisi lepas dari orang tua menimbulkan rasa untuk berinisiatif, sebaliknya menimbulkan rasa bersalah. 4) Tahap 4 : Industry vs Inferiority ( 6 tahun – pubertas) Anak harus dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan untuk menyiapkan diri memasuki masa dewasa. Perlu memiliki suatu keterampilan tertentu. Bila anak mampu menguasai suatu keterampilan tertentu dapat menimbulkan rasa berhasil, sebaliknya bila tidak menguasai, menimbulkan rasa rendah diri. 5) Tahap 5 : Identity & Repudiation vs Identity Diffusion (masa remaja) Masa remaja adalah masa mencari identitas diri, masa mencari dan mendapatkan peran dalam masyarakat. Seorang remaja akan berhasil memperoleh identitas diri jika ia dapat memenuhi tuntutan biologis, psikologis dan sosial yang ada dalam kehidupan. Sebaliknya, jika tidak berhasil maka terburai identitasnya. 6) Tahap 6 : Intimacy & Solidarity vs Isolation ( masa dewasa muda) Orang yang berhasil mencapai integritas identitas diri akan mampu menjalin keintiman dengan orang lain maupun diri sendiri. Jika seorang dewasa muda masih takut kehilangan diri sendiri bila menjalin hubungan erat (intim) dengan orang lain, berarti ia belum mampu melebur identitas dirinya bersama orang lain. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan menumbuhkan keintiman dengan orang lain.
86
7) Tahap 7 : Generativity vs Stagnation (masa dewasa) Berperan
sebagai
orang
dewasa
yang
produktif,
yang
mampu
menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi masyarakat. Seseorang yang berhasil melaksanakan perannya seperti yang dituntut oleh masyarakat, dalam dirinya akan tumbuh perasaan ingin berkarya, sebaliknya jika tidak mampu berperan akan berkembang perasaan mandeg/stagnasi. 8) Tahap 8 : Integrity vs Despair (masa tua) Seseorang harus hidup dengan apa yang telah dijalaninya selama ini. Secara ideal seyogyanya ia telah mencapai integritas diri. Integritas diri adalah menerima segala keterbatasan yang ada dalam kehidupan, memiliki rasa bahwa ia adalah bagian dari sejarah kehidupan. Sebaliknya bila ia merasa tidak berbuat apa-apa dalam hidup, menyesali hidup, takut menghadapi kematian, menimbulkan rasa putus asa. Seorang anak dengan perkembangan emosi yang baik pada tahap sebelumnya akan berpotensi berkembang ke arah yang positif. c. Teori Ekologi dan Kontekstual oleh Bronfenbrenner Bronfenbrenner
mengembangkan
teori
perkembangan
anak
yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mencakup kehidupan manusia. Ringkasnya teori ini mengatakan bahwa
perkembangan anak dipengaruhi oleh konteks
mikrosistem yaitu keluarga, sekolah dan teman sebaya, konteks mesosistem yaitu hubungan keluarga dan sekolah, sekolah dengan
sebaya, dan sebaya dengan
individu, konteks ekosistem yaitu latar sosial orang tua dan kebijakan pemerintah, dan konteks makrosistem yaitu pengaruh lingkungan budaya, norma, agama, dan lingkungan sosial di mana anak dibesarkan.
87
Teori Bronfenbrenner ini membantu memberikan penjelasan kepada para pendidik untuk memahami berbagai risiko yang dapat mempengaruhi proses perkembangan anak secara negatif misalnya masalah kemiskinan, kekerasan pada anak, dan konflik dalam keluarga. Seorang guru akan menjalin hubungan dengan anak yang memiliki latar negatif dengan memberikan perhatian khusus yang tidak didapatkan anak dari lingkungannya. d. Teori perkembangan anak berdasarkan studi perkembangan Pemahaman tentang konsep perkembangan anak didik dapat diperoleh melalui studi perkembangan, baik yang bersifat longitudinal, cross sectional (cross lateral), psikoanalitik, sosiologik maupun studi kasus. Studi longitudinal telah memperoleh sejumlah informasi tentang perkembangan individu melalui pengamatan dan pengkajian perkembangan sepanjang masa perkembangan, dari saat lahir sampai dengan dewasa, seperti yang pernah dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross sectional (cross lateral) melakukan pengamatan dan pengkajian terhadap berbagai kelompok selama suatu periode yang singkat. Hal ini pernah dilakukan oleh Arnold Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu anak dari berbagai tingkatan usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkembangan dan kemampuan serta perilaku mereka. Studi psikoanalitik dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya. Studi ini lebih banyak diarahkan mempelajari perkembangan anak pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak (balita). Menurut Freud, pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita dapat mengganggu perkembangan pada masa berikutnya. Metode sosiologik digunakan
88
oleh Robert Havighurst yang mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan tugas-tugas yang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Tuntutan akan tugas-tugas kehidupan masyarakat ini oleh Havighurst disebut sebagai tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Ada seperangkat tugastugas perkembangan yang harus dikuasai individu dalam setiap tahap perkembangan. Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial (differential approach) dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki kesamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut, individu dikatagorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda, seperti kelompok individu berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status sosial-ekonomi dan sebagainya. Selain itu, pendekatan ipsatif adalah suatu pendekatan yang berusaha melihat individu berdasarkan karakteristiknya. Dari ketiga pendekatan itu yang banyak dianut oleh para ahli psikologi perkembangan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan ini lebih disenangi karena lebih jelas menggambarkan proses urutan perkembangan dan kemajuan individu. Dalam pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi, pertama, pendekatan yang bersifat menyeluruh mencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan fisik dan gerakan motorik, sosial, intelektual, moral, emosional,
89
religi dan sebagainya. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus, yang mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja. Dalam
pentahapan
yang
bersifat
menyeluruh
dikenal
tahap-tahap
perkembangan dari Jean Jacques Rousseau, G. Stanley Hall, Havighurst, dan lainlain. Rousseau membagi seluruh masa perkembangan anak atas empat tahap perkembangan, yaitu masa bayi (infancy), usia 0-2 tahun merupakan tahap perkembangan fisik, masa anak (childhood), usia 2-12 tahun, masa perkembangan sebagai manusia primitif. Masa remaja awal (pubercence), usia 12-15 tahun, masa bertualang yang ditandai dengan perkembangan intelektual dan kemampuan nalar yang pesat. Masa remaja (adolescence), usia 15-25 tahun, masa hidup sebagai manusia yang beradab, masa pertumbuhan seksual, sosial, moral dan kata hati. Stanley Hall adalah salah seorang ahli psikologi Perkembangan penganut teori evolusi. Hall menerapkan teori rekapitulasi, salah satu konsep dalam teori evolusi, pada perkembangan anak. Menurut teori rekapitulasi, perkembangan individu merupakan rekapitulasi dari perkembangan spesiesnya (ontogeny recapitulates phylogeny). Hall membagi keseluruhan masa perkembangan anak atas empat tahap. Masa kanak-kanak (infancy), usia 0-4 tahun, yang merupakan masa kehidupan sebagai binatang melata dan berjalan. Masa anak (childhood), usia 4-8 tahun, masa manusia pemburu. Masa puer (youth), usia 8-12 tahun, masa manusia belum beradab. Masa remaja (adolescence), usia 12/13 tahun sampai dewasa, merupakan masa manusia beradab. Robert J. Havighurst menyusun fase-fase perkembangan atas dasar problema-problema yang harus dipecahkannya dalam setiap fase. Tuntutan akan kemampuan memecahkan problema dalam setiap fase
90
perkembangan ini oleh Havighurst disebutnya sebagai tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Havighurst membagi seluruh masa perkembangan anak atas lima fase, yaitu masa bayi (infancy), dari 0-1/2 tahun, masa anak awal (early childhood) 2/3 – 5/7 tahun masa anak (late childhood) dari 5/7 – masa pubersen, masa adolesen awal (early adolescence) dari pubersen ke pubertas, dan masa adolesen (late adolescence) dari masa pubertas sampai dewasa. Untuk setiap fase perkembangan, Havighurst menghimpun sejumlah tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai anak. Dikuasai atau tidaknya tugas-tugas perkembangan pada suatu fase berpengaruh bagi penguasaan tugas pada fase-fase berikutnya. e. Landasan teori ilmu perkembangan otak (Neurosains) Neurosains merupakan salah satu lompatan keilmuan pendukung yang sangat memberikan kontribusi dalam menelaah dan memahami perkembangan psikologis melalui kajian keilmuan tentang sel syaraf. Temuan yang dimaksud diantaranya dikemukakan oleh Wittrock dalam Clack (1983: 79) menemukan bahwa terdapat tiga wilayah perkembangan otak yang semakin meningkat yaitu serabut dendrit, kompleksitas hubungan dendrit dan pembagian sel syaraf. Berbagai penelitian telah dilakukan para ahli dimulai dari Binet-Simon (1908-1911) hingga Gardner (1998) yang berbicara pada fokus yang sama yaitu fungsi otak yang terkait dengan kecerdasan. Otak yang berada di dalam organ kepala memiliki peran yang sangat penting selain sebagai pusat sistem syaraf juga berperan penting dalam menentukan kecerdasan seseorang. Begitu pentingnya fungsi otak sehingga banyak ahli untuk meneliti dan menggali optimalisasi fungsi kerja otak dalam mengembangkan sumber daya manusia. Optimalisasi kecerdasan
91
dimungkinkan apabila sejak usia dini, anak telah mendapatkan stimulasi yang tepat untuk perkembangan otaknya. Pada saat kelahiran, otak bayi mengandung 100 milyar neuron dan satu triliun sel glia yang berfungsi sebagai perekat serta synap (cabang-cabang neuron) yang akan membentuk sambungan antar neuron. Sambungan-sambungan antar neuron inilah yang akan membentuk pengalaman yang akan dibawa anak seumur hidupnya. Sesudah kelahiran, kegiatan otak dipengaruhi dan tergantung pada kegiatan neuron dan cabang-cabangnya dalam membentuk bertriliun-triliun sambungan antar neuron. Melalui persaingan alami, otak akan memusnahkan sambungan (sinapsis) yang jarang digunakan. Pemantapan sambungan terjadi apabila neuron mendapatkan informasi yang mampu menghasilkan letupan-letupan listrik. Letupan tersebut merangsang bertambahnya produksi myelin yang dihasilkan oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan semakin banyak synap yang berarti lebih banyak neuron yang menyatu membentuk unit-unit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Synap ini akan bekerja secara cepat sampai usia anak lima-enam tahun. Banyaknya jumlah sambungan tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidupnya. Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awal-awal tahun kehidupannya, terutama pengalaman yang menyenangkan. Pada fase perkembangan ini anak memiliki potensi yang luar biasa dalam mengembangkan berbagai kemampuannya yang
92
meliputi kemampuan berbahasa, kognitif, motorik, sosialisasi dan sebagainya. Bila anak tidak mendapat lingkungan yang merangsangnya, maka perkembangan otaknya tidak akan berkembang dan anak akan menderita. Penelitian terbaru menemukan bahwa apabila anak-anak jarang diajak bermain atau jarang disentuh, perkembangan otaknya 20% atau 30% lebih kecil daripada ukuran normalnya pada usia itu. f. Landasan Konsep Sosio-Antropologi Perkembangan anak pada berbagai dimensi perkembangan tidak pernah terlepas dari konteks kehidupan sosial dan kultural yang melatar belakanginya. Lingkungan kehidupan sosial dan kultur yang ada di sekitar anak akan memberikan pengaruh pada proses belajar anak dan perubahan potensi sebagai hasil dari proses belajar itu sendiri. Kehidupan sosio-kultural yang paling dekat dengan anak adalah lingkungan keluarga tetangga dan lembaga sosial serta lembaga kependidikan lain yang mengasuhnya. Konteks
sosio-kultural
dapat
menyajikan
sejumlah
pengetahuan,
keterampilan, nilai-nilai dan pengalaman hidup yang beragam sehingga anak akan memiliki sejumlah preferency dalam membangun kebiasaan dan tingkah lakunya sendiri atau secara bersama-sama dengan orang lain. Pengalaman sosial dan kultural akan menjadi pengisi perspektif kehidupan anak dalam berbagai aspek potensi perkembangannya mencakup cara berbahasa, cara berpikir, kehidupan beragama dan bermoral dan kebiasaan mengendalikan emosi serta kemandirian. Pada dimensi yang luas, kehidupan sosial anak dibangun juga oleh kehadiran berbagai media masa, terutama TV, Video Games dan Film sebagai produk
93
kultural manusia akan menjadi faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. 2.
Prinsip Perawatan Anak Usia Dini Prinsip perawatan anak usia dini memiliki keterkaitan yang erat dengan
pendidikan anak usia dini. Kajian mengenai perawatan dan pendidikan anak usia dini dalam tataran internasional sudah tidak terpisahkan lagi dalam kaitan dalam hubungan dengan anak usia dini. Meskipun secara perkembangan awal antara terminologi perawatan dan pendidikan memiliki awal kemunculan yang berbeda. Beberapa prinsip perawatan anak usia dini sangat berkaitan dengan prinsip kesehatan dan gizi bagi anak untuk mendukung perkembangan anak di masa-masa yang akan datang. a. Pengertian Anak Sehat Pada dasarnya anak yang sehat akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang normal dan wajar, yaitu sesuai standar pertumbuhan fisik anak pada umumnya dan memiliki kemampuan sesuai standar kemampuan anak seusianya. Beberapa indikator lainnya adalah anak yang sehat tampak senang, mau bermain, berlari, berteriak, meloncat, memanjat, tidak berdiam diri saja, kelihatan berseri-seri, kreatif dan selalu ingin mencoba sesuatu yang ada di sekelilingnya. Jika ada sesuatu yang tidak diketahuinya ia bertanya, sehingga pengetahuan yang dimiliki selalu bertambah. Anak yang sehat biasanya akan mampu belajar dengan baik. Ia banyak berkomunikasi dengan teman, saudara, orang tua dan orang lain di lingkungannya. Anak yang banyak bergaul, ia banyak pengetahuan dan
94
pengalaman. Anak tidak mudah puas atas sesuatu yang kurang dipahami dan ingin mendapatkan contoh. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa anak sehat adalah anak yang dapat tumbuh kembang dengan baik dan teratur, jiwanya berkembang sesuai dengan tingkat umurnya, aktif, gembira, makannya teratur, bersih dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menurut Departemen Kesehatan R.I (1993) ciri anak sehat adalah 1) Tumbuh dengan baik, yang dapat dilihat dari naiknya berat dan tinggi badan secara teratur dan proporsional; 2) Tingkat perkembangannya sesuai dengan tingkat umurnya; 3) Tampak aktif/gesit dan gembira; 4) Mata b ersih dan b ersin ar; 5) Nafsu makan baik; 6) Bibir dan lidah tampak segar; 7) Pernafasan tidak berbau; 8) Kulit dan rambut tampak bersih dan tidak kering; 9) Mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Jika ciri-ciri tersebut telah dimiliki oleh anak, maka pertumbuhan dan perkembangan anak biasanya dapat dikatakan wajar/normal. Ciri-ciri anak sehat pun dapat dilihat dari berbagai segi antara lain segi fisik, segi psikis, segi sosialisasi. Dilihat dari segi fisik ditandai dengan sehatnya badan dan pertumbuhan jasmani yang normal. Segi psikis, anak yang sehat itu jiwanya berkembang secara wajar; pikiran bertambah cerdas; perasaan bertambah peka, kemauan bersosialisasi baik sedangkan dari segi sosialisasi, anak tampak aktif,
gesit
lingkungannya.
dan
gembira
serta
mudah
menyesuaikan
diri
dengan
95
b. Pemeliharaan Kesehatan Pemeliharaan kesehatan, meliputi berbagai hal diantaranya adalah : 1) Kesehatan Lingkungan Menurut Blume (1981) yang dikutip oleh Departemen Kesehatan R.I (1993), derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu a) faktor lingkungan, b) faktor perilaku masyarakat, c) faktor pelayanan kesehatan dan d) Faktor keturunan. Faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang paling dominan terhadap tingkat kesehatan masyarakat. Ini telah dibuktikan oleh beberapa hasil penelitian dan pengamatan. Faktor lingkungan (fisik, biologis dan sosial) mempunyai kaftan yang erat dalam faktor perilaku. Contoh sederhana seperti kebiasaan atau perilaku buang air besar dan membuang sampah di sembarang tempat. Lingkungan dalam pengertian lugs adalah lingkungan tempat bermain, tidur, bersantai, belajar, jadi semua lingkungan dalam kehidupan. Kebersihan lingkungan tempat tinggal ataupun sekolah, mencakup halaman yang asri dan bersih, ada tempat pembuangan sampah yang tertutup, saluran air limbah yang cukup untuk menyalurkan air kotor dan ventilasi untuk pertukaran udara yang cukup. Sampah hanya ditemukan pada tempat sampah dan tidak di tempat lainnya. Ventilasi bangunan hendaknya memperhitungkan udara yang mengalir, dan cahaya matahari yang cukup. 2) Kesehatan Gigi Sejak kecil anak dilatih mengenai kebersihan giginya. Sebelum tidur, bangun tidur, dan sesudah makan, gigi dibersihkan dengan menggunakan sikat gigi yang baik
96
dan pasta gigi yang sesuai. Pemeliharaan kesehatan gigi juga termasuk memperhatikan makanan yang dikonsumsi, coklat, permen dan makanan lain yang amat manis sebaiknya dihindari. 3) Kesehatan Mata Penglihatan pada anak-anak mulai berkembang pada saat lahir. Mereka menghabiskan berhari-hari bahkan berbulan-bulan awal kehidupannya untuk belajar melihat mengembangkan ketrampilan untuk memfokuskan penglihatan, mengatur pergerakan mata, mengenali kedalaman sesuatu benda, mengembangkan koordinasi tangan dan mata serta membuat penilaian spasial. Semakin besar si anak, ketrampilan yang lebih kompleks seperti persepsi visual serta integrasi visual dan motorik juga berkembang sehingga anak dapat mengerti dan mengartikan dunia di sekitarnya. 4) Kesehatan Kulit Kulit adalah salah satu indera yang dapat merasakan perubahan suhu dan infeksi. Kulit merupakan indera perasa yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu yang ada disekitarnya ataupun apabila anak mengalami luka yang mengakibatkan kulitnya terinfeksi. Oleh karena itu anak mulai diajarkan untuk bisa merasakan perubahan tersebut dari sejak dini agar anak belajar pekak terhadap perubahan suhu dan infeksi yang ada ditubuhnya sendiri dan lingkungan sekitarnya. 5) Kesehatan Telinga Telinga adalah salah satu indera anak yang berperan penting dalam proses belajar anak. Anak belajar melalui mendengarkan suara, kata, bunyi dan
97
kemudian anak meniru sehingga menambah kemampuan anak. Tujuan pemeliharaan kesehatan telinga adalah untuk menjaga kesehatan telinga dan daya dengar, serta menemukan gangguan kesehatan telinga sedini mungkin. 6) Kesegaran Jasmani Kesegaran jasmani dapat dilakukan dengan memberikan rangsangan kegiatan olah raga sehingga anak dapat mengaktifkan otot-otot geraknya dengan optimal.
E. Hakekat Keluarga 1. Pengertian Keluarga Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta "kulawarga". Kata kula berarti "ras" dan warga yang berarti "anggota". (Wikipedia) Keluarga adalah lingkungan di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut. Khairudin (2008:4) menyebutkan bahwa keluarga adalah merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Menurut Departemen Kesehatan RI (1998), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang
98
terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Demikianlah kita melihat bahwa pengertian keluarga ada yang dikaitkan dengan hubungan darah dan ada yang dikaitkan dengan hubungan sosial. Baik keluarga yang didasarkan pada hubungan darah maupun keluarga yang dikaitkan dengan hubungan sosial dapat kita temukan dalam arti luas dan dalam artian sempit. Menurut Soelaeman (1994:6) arti keluarga dalam hubungan sosial tampil dalam berbagai jenis. Ada yang berkaitan dengan wilayah geografis yang menunjukan dimana mereka berada atau dari mana mereka berasal, ada pula keluarga
yang disamping pengaitan dengan wilayah geografis juga diwarnai
pengaitan dengan silsilah atau keturunan, ada pula yang merujuk kepada golongan masyarakat berkaitan dengan lingkungan kerja, dan ada pula yang berkaitan dengan pola kehidupan dan pencaharian. Dalam arti luas, keluarga yang berkaitan dengan hubungan meliputi semua pihak yang ada hubungan darah sehingga sering tampil sebagai arti clan atau marga; dalam kaitan inilah dalam berbagai budaya setiap orang memiliki nama kecil dan nama keluarga atau marga. Dalam kehidupan sehari-hari kita temukan pula istilah keluarga itu diartikan sebagai keluarga besar atau extended family yang disamping ayah-ibu-anak termasuk pula ke dalamnya paman, bibi, kakek, nenek, cucu, dan sebagainya yang kadang-kadang dinamai kerabat. Sedangkan dalam artian sempit, keluarga yang didasarkan pad hubungan darah dan terdiri atas ayah-ibu-anak, dijuluki dengan
99
istilah keluarga inti atau nuclear family. Maksudnya dari persekutuan hidup yang tinggal dan hidup bersama dalam rumah itu, pasangan suami-istri yang berfungsi dan berperan sebagai ayah-ibu dan anak yang lahir dari hubungan mereka sebagai suami-istrilah yang merupakan inti dari kehidupan tersebut. 2.
Karakteristik Keluarga Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari
suatu hubungan seks yang tetap, untuk meyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Walaupun dalam menentukan atau mencari persamaan dan perbedaan pada semua keluarga, terdapat ciri-ciri secara umum dan khusus, yang akan terdapat pada keluarga dalam bentuk dan tipe apapun. (Noble, Karen:2007) Ciri-ciri umum seperti yang dikemukakan oleh Mac Iver dan Page dalam Khairudin (2008:6) yaitu : a. Keluarga merupakan hubungan perkawinan; b. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara; c. Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan; d. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak; e. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tnagga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga.
100
Burgess dan Locke dalam Khairudin (2008:6) mengemukakan empat karakteristik lembaga keluarga, yakni sebagai berikut: a. Keluarga merupakan kesatuan orang yang diikat melalui jenjang perkawinan untuk melanjutkan fungsi reproduksi. b. Keluarga memiliki anggota keluarga, yaitu suami, istri, anak, atau saudara yang berada dalam satu naungan rumah tangga. c. Anggota
keluarga
memiliki
peranan
sosial
masing-masing
sesuai
dengan norma yang berlaku. d. Keluarga
berfungsi
untuk
memelihara
kebudayaan
yang
pada
prinsipnya berakar dari masyarakat 3. Fungsi Keluarga Menurut Soelaeman (1994:84) fungsi-fungsi keluarga ada beberapa jenis. Fungsi-fungsi keluarga tersebut adalah : a. Fungsi Edukasi Fungsi edukasi adalah fungsi keluarga yang berkaitan dengan pendidikan anak khususnya pendidikan serta pembinaan anggota keluarga pada umumnya. Fungsi edukasi ini tidak sekedar menyangkut pelaksanaannya, melainkan menyangkut pula penentuan dan pengukuhan landasan yang mendasari upaya pendidikan itu, pengarahan dan perumusan tujuan pendidikan, perencanaan dan pengelolaannya, penyediaan dana dan sarananya, pengayaan wawasannya dan lain sebagainya yang ada kaitan dengan upaya pendidikan itu. Pelaksanaan fungsi edukasi keluarga merupakan realisasi salah satu tanggung jawab yang dipikul orang tua. Sebagai salah satu moment dari tri pusat
101
pendidikan (Ki Hajar Dewantara) keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak. b. Fungsi Sosialisasi Tugas
keluarga
dalam
mendidik
anaknya
tidak
saja
mencakup
pengembangan individu anak agar menjadi pribadi yang mantap, akan tetapi meliputi pula upaya membantu dan mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik. c. Fungsi Proteksi atau Perlindungan Baik fungsi pendidikan maupun fungsi sosialisasi anak tidak saja melibatkan anak pada saat pelaksanaannya berlangsung, melainkan menjangkau pula masa depannya. Secara implicit kedua fungsi tersebut mengandung pengakuan akan adanya fungsi ketiga, yaitu fungsi proteksi atau perlingdungan. Maksud memberikan perlindungan ialah agar anak merasa terlindungi dengan perkataan lain agar anak merasa aman. Apabila anak merasa aman, barulah ia dapat
dengan
bebas
melakukan
penjelajahan
atau
eksplorasi
terhadap
lingkungannya sebagimana diharapkan fungsi sosialisasi anak. d. Fungsi Afeksi atau Perasaan Dalam keluarga terjadi hubungan sosial antara anak dan orang tuanya yang didasari dengan kemesraan. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan, persahabatan, identifikasi dan persamaan mengenai nilai-nilai.
102
e. Fungsi Religius Keluarga mempunyai fungsi religius. Artinya keluarga dalam fungsi ini adalah berkewajiban memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan keyakinan bahwa ada keyakinan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di duni f. Fungsi Ekonomis Keluarga merupakan suatu kesatuan ekonomis.
Tugas kepala keluarga
dalam hal ini adalah mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsifungsi keluarga yang lain, kepala keluarga bekerja untuk mencari penghasilan, mengatur penghasilan itu, sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhankebutuhan keluarga. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa sang istri tak diperbolehkan turut berupaya mencari sumber penghasilan, namun dalam keadaan demikian tanggung jawab mencari nafkah keluarga tetaplah kepala keluarga. g. Fungsi Rekreasi Keluarga memerlukan suasana akrab, ramah dan hangat diantara anggotaanggotanya, diman hubungan antar anggota keluarga bersifat saling mempercayai, bebas tanpa beban dan diwarnai suasana santai. Untuk mencapai itu semua, merka akan lebih senang mencari hiburan di luar rumah. Tugas keluarga dalam fungsi rekreasi ini tidak harus selalu pergi ke tempat rekreasi, tetapi yang penting bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga sehingga dapat dilakukan di rumah dengan cara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dsb.
103
h. Fungsi Biologis Fungsi biologis adalah fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhankebutuhan biologis anggotanya. Salah satunya dalah kebutuhan akan perlindungan fisik guna kelangsungan hidupnya, perlindungan kesehatan, perlindungan dari rasa lapar, haus dan kedinginan, kepuasan bahkan kenyamanan dan kesegaran jasmani, termasuk juga kebutuhan biologis ialah kebutuhan seksual dengan keinginan untuk mendapatkan keturunan yang dapat dipenuhi dengan wajar dan layak sebagai suami istri dalam keluarga. 4.
Pendidikan Keluarga dalam Lingkup Sistem Pendidikan Luar Sekolah
a.
Pengertian Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan Luar Sekolah merupakan salah satu sub sistem dari sistem
Pendidikan Nasional yang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003, termasuk dalam jalur pendidikan nonformal dan informal. Pengertian Pendidikan Luar Sekolah menurut Sudjana (2004: 15) adalah: Setiap usaha yang dilakukan dengan sadar, sengaja, teratur dan berencana yang bertujuan untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan dirinya sehingga terwujud manusia yang gemar belajar membelajarkan, mampu meningkatkan taraf hidup dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau pembangunan masyarakat. Selanjutnya Coombs (1973) dalam Sudjana (2004:22), mengemukakan pengertian Pendidikan Luar Sekolah : Pendidikan nonformal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, diluar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.
104
Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan PLS dilakukan secara terprogram, terencana, dilakukan secara mandiri ataupun merupakan bagian pendidikan yang lebih luas untuk melayani peserta didik dengan tujuan mengembangkan kemampuan-kemampuan seoptimal mungkin serta untuk mencapai kebutuhan hidupnya. Pendidikan luar sekolah yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, pada proses pelaksanaanya berbeda dengan pendidikan persekolahan yang apabila diidentifikasi dapat terlihat beberapa ciri-ciri pendidikan luar sekolah itu sendiri sebagaimana diungkapkan olah Djuju Sudjana (2004 : 30-33) yaitu : 1) Tujuan pendidikan luar sekolah bersifat jangka pendek dan khusus, serta kurang menekankan pentingnya ijazah; 2) Waktu pelaksanaan pendidikan luar sekolah relatif singkat, menekankan pada masa sekarang, serta menggunakan waktu tidak terus menerus; 3) Kurikulum pendidikan luar sekolah berpusat pada kepentingankepentingan peserta didik, mengutamakan aplikasi serta persyaratan masuk ditetapkan bersama peserta didik; 4) Proses pembelajaran pendidikan luar sekolah di pusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga, berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat, Struktur program yang luwes, berpusat pada peserta didik, serta penghematan sumber-sumber yang tersedia; 5) Pengendalian pendidikan luar sekolah dilakukan oleh pelaksana program dan peserta didik serta pendekatan demokratis hubungan anatara pendidik. Pendidikan luar sekolah, sebagai kegiatan terorganisir dan sistematis di luar sub sistem pendidikan sekolah, bertujuan untuk membantu peserta didik dan masyarakat sehingga mereka selalu belajar tentang nilai-nilai, sikap, pengetahuan
105
dan keterampilan fungsional yang diperlukan untuk mengaktualisasikan diri dan untuk membangun masyarakat dan bangsa dengan selalu berorientasi pada kemajuan kehidupan di masa depan. b. Pengertian Pendidikan Keluarga Pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Oleh karena itu norma-norma hukum yang berlaku bagi pendidikan di Indonesia juga berlaku bagi pendidikan dalam keluarga. Dasar hukum pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga dasar yaitu dasar hukum Ideal, dasar hukum struktural dan dasar hukum operasional. Dasar hukum ideal adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum. Oleh karena itu landasan ideal pendidikan keluarga di Indonesia adalah Pancasila. Tiap-tiap orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila pada anak anaknya. Keluarga merupakan suatu lembaga pendidikan luar sekolah. Pendidikan yang diselenggarakan dalam keluarga dapat digolongkan ke dalam jenis pendidikan yang bersifat informal. Hal ini berarti kedudukan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang penting, karena pendidikan pertama dan utama yang diperoleh manusia adalah pendidikan dalam keluarga. Pada kebanyakan situasi, pendidikan keluarga seringkali dimaknai sebagai pendidikan yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, pendidikan keluarga seringkali lebih digambarkan sebagai iklim atau suasana kehidupan dalam keluarga. Dalam hal iklim keluarga, Soelaeman (1994: 48-50) serta (Ruth Smith, Svetlana Speight and Ivana La Valle:2010) menjelaskan bahwa istilah
106
iklim lebih merupakan kias untuk melukiskan apa yang dirasakan dan hayati atau dipersepsi oleh kelompok orang. Suasana ini berkaitan dengan perilaku orang tua, khususnya ibu dalam melakukan pola asuh, dalam arti menjadi teladan dan perilaku mendidik bagi anak-anaknya. Dalam keluarga pendidikan yang diberikan pada anak-anaknya tidak bersifat terbatas. Pendidikan tidak hanya bertujuan agar anak cakap berbicara, dan berjalan yang berguna bagi diri anak itu sendiri, tetapi orang tua senantiasa memberikan masukan terhadap anak mengenai berbagai hal yang menyangkut kehidupan sosial, seperti tata cara pergaulan, sikap saling mencintai sesama manusia dan hubungannya dengan kholik serta berbagai perbuatan yang menjurus pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Keluarga merupakan bagian dari sub sistem pendidikan luar sekolah. Keluarga juga termasuk kedalam tri pusat pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantoro yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, mengungkapkan sistem “Tri Centra” dengan mengatakan “Didalam hidupnya anak-anak adalah tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat.” Sudjana (1991:43) mengungkapkan trikondisi/pusat pendidikan tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keterkaitan antara kedua sub sistem pendidikan sekolah dan sub sistem pendidikan luar sekolah. Dan bagan berikut ini, akan terlihat ketiga pusat pendidikan tersebut menggambarkan rentetan keterkaitan antara sub sistem pendidikan luar sekolah dan sistem pendidikan sekolah.
107
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL SUB SISTEM PLS
SUB SISTEM PS
PROGRAM
PROGRAM
PROGRAM
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN
DI LINGKUNGAN
DI LINGKUNGAN
KELUARGA
SEKOLAH
DI LINGKUNGAN MASYARAKAT/LEMBAGA
TRI PUSAT / TRI KONDISI
Bagan 2.3 Tri Pusat Pendidikan Sumber : Djudju Sudjana (2004:46) Dari uraian bagan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga memang merupakan
bagian
dari
trisentra/tripusat/trikondisi
pendidikan
yang
keberadaannya sangat utama bagi pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Terlebih lagi dengan adanya lingkungan masyarakat dan sekolah sebagai penopang bagi terlaksananya kegiatan pendidikan. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pun masih menempatkan keluarga menjadi salah satu jalur dalam sistem pendidikan, yaitu jalur pendidikan informal yang memiliki peran sangat besar dalam pendidikan di Indonesia. Untuk selanjutnya, kaitan antara keluarga dengan Pendidikan Luar Sekolah, tentunya dapat dipahami bahwa jalur pendidikan non
108
formal dan informal, dalam hal ini keluarga menjadi bagian dari lingkup kajian dan kebijakan dalam sistem pendidikan di luar sistem sekolah yaitu sub sistem dari pendidikan luar sekolah. 5.
Fungsi Pendidikan Keluarga Fungsi pendidikan keluarga antara lain :
a. Pengalaman Pertama Masa Kanak-kanak Lembaga pendidikan keluarga memberi pengalaman utama yang merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak. Para ahli ilmu jiwa misalnya Freud dan Alder dalam Suwarno (1992:112) sangat menekankan pentingnya penghidupan keluarga, sebab pengalaman masa kanak-kanak yang menyakitkan walaupun sudah jauh terpendam di masa silam tapi dapat mengganggu keseimbangan jiwa di dalam perkembangan individu selanjutnya. b. Menjamin Kehidupan Emosional Anak Melalui pendidikan keluarga ini kehidupan social atau kebutuhan akan kasih sayang dapat dipenuhi atau dapat berkembang dengan baik, hal ini disebabkan karena adanya hubungan darah antara pendidik dan anak didik, karena orang tua hanya menghadapi sedikit anak didik dan arena hubungan tadi didasarkan atas rasa cinta kasih saying murni. Kehidupan emosional ini merupakan salah satu faktor terpenting di dalam membentuk pribadi seseorang. c. Menanamkan Dasar Pendidikan Moral Di dalam keluargalah tatanan dasar pendidikan moril tidak diberikan dengan penerangan atau ceramah atau kuliah tetapi melalui contoh-contoh yang konkrit dalam perbuatan hidup sehari-hari.
109
d. Memberikan Dasar Pendidikan Sosial Kehidupan keluarga penuh rasa tolong menolong dan gotong royong secara kekeluargaan, hal tersebut memupuk berkembangnya benih-benih kesadaran sosial pada anak-anak. e. Memberikan Pendidikan Agama Bagi Anak Selain sebagai lembaga untuk menanamkan pendidikan moral, keluarga juga berperan besar dalam proses internalisasi dan transformasi nilai-nilai keagamaan ke dalam pribadi anak, masa anak-anak adalah waktu yang baik dan tepat untuk meresapkan nilai-nilai agama. Cara yang dapat dilakukan misalnya dengan mengajak anak beribadah bersama atau shalat bersama dan melibatkan anak dalam setiap kegiatan keagamaan. 6.
Peran Keluarga Dalam Perkembangan, Perawatan dan Pendidikan Anak Dinamika kehidupan yang terus berkembang membawa konsekuensi-
konsekuensi tertentu terhadap kehidupan keluarga. Banyaknya tuntutan kehidupan yang menerpa keluarga beserta dampak krisis yang ditandai dengan bergesernya nilai-nilai dan pandangan tentang fungsi dan peran keluarga menyebabkan terjadinya berbagai perubahan mendasar tentang kehidupan keluarga. Struktur, pola hubungan, dan gaya hidup keluarga banyak mengalami perubahan. Jika dulu biasanya ayah berperan sebagai pencari nafkah tunggal dan ibu sebagai pengelola utama kehidupan di rumah, maka sekarang banyak di antara keluarga (khususnya di kota-kota) yang tidak lagi seperti itu.
110
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama dikenal kepada anak, atau dapat dikatakan bahwa seorang anak itu mengenal kehidupan sosial pertamatama di dalam lingkungan keluarga. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya menyebabkan seorang anak menyadari akan dirinya, bahwa ia berfungsi sebagai individu dan juga sebagai makhluk sosial. Hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga sangat penting artinya bagi perkembangan kepribadian anak karena orang tua merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak dan melalui orang tualah anak mendapat kesan-kesan pertama tentang dunia luar. Orang tua merupakan orang pertama yang membimbing tingkah laku anak. Orang tua akan bereaksi terhadap tingkah laku anak baik itu dengan menerima, menyetujui, membenarkan, menolak atau melarang. Melalui pemberian nilai tersebut maka dalam diri anak akan terbentuk norma-norma tentang apa yang baik atau buruk dan apa yang boleh atau tidak boleh. Dengan demikian terbentuklah hati nurani anak yang mengarahkan tingkah laku selanjutnya dan kewajiban orang tua adalah mengembangkan hati nurani yang kuat dalam diri anak. (Smith, Ann. B:2007). Pengaruh orang tua terhadap pembentukan perilaku anaknya bergantung pada bermacam-macam faktor, menurut Munandar (1996:125) antara lain bila ditinjau dari ciri-ciri orang tua, bagaimana sikap orang tua terhadap anaknya tergantung pada beberapa faktor seperti : a. Tingkat pendidikan dan status sosial Pada beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa orang tua dengan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi rendah lebih cenderung
111
ke sikap menuruti dan membiarkan saja. Sedangkan orang tua yang tingkat pendidikan dan status ekonomi lebih tinggi lebih cenderung ke sikap pendidikan yang menekankan pada disiplin dan tuntutan terhadap prestasi. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap cara ia berpikir, bertindak dan bersikap bila dihadapkan pada suatu masalah. b. Hubungan suami istri Jika hubungan suami istri hangat serta serasi, maka sikap mereka terhadap anak lebih menunjukkan sikap yang pengertian dan toleransi. c. Jumlah anak dalam keluarga Pada keluarga dengan satu anak, orang tua lebih cenderung untuk memberi perhatian lebih pada anak dan cenderung menuntut banyak pada anak. d. Kepribadian orang tua Kepribadian orang tua tidak dapat lepas dari bagaimana orang tua itu dulu diasuh oleh orang tuanya. Sering nampak kesinambungan antara sikap orang tua dulu terhadap dia dan bagaimana sikapnya dalam pendidikan anak-anaknya. Banyak orang tua yang berlaku keras dalam pendidikan anaknya karena dulupun mereka mendapat perlakuan yang keras dari orang tuanya. e. Pengalaman orang tua Bagaimana pengaruh orang tua terhadap perkembangan perilaku dan kepribadian anaknya ditentukan oleh sikap, perilaku dan kepribadian orang tua. Perilaku orang tua terhadap anaknya ditentukan oleh sikapnya terhadap pengasuhan anak yang juga merupakan aspek dari struktur kepribadiannya.
112
Kepribadian orang tua mempunyai dampak tehadap situasi psikologis dalam suatu keluarga dan terhadap perkembangan kepribadian anak. Peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga orangtua harus memahami fase-fase perkembangan anak dan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Menurut Jean Piaget, pakar psikologi perkembangan, seorang anak perlu melakukan aksi-aksi terhadap lingkungannya agar dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan cerdas atas setiap pengalamannya. Salah satu tugas orang tua pun adalah memberi pengalaman yang dibutuhkan oleh anak.