BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Obesitas 2.1.1 Definisi Obesitas Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan ataupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2001). Obesitas terjadi karena masukan kalori melebihi kebutuhan, sehingga kelebihan ini akan diubah menjadi lemak. Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti. Faktor lingkungan dan genetik berperan penting dalam terjadinya obesitas. Faktor lingkungan yang berpengaruh dalam kejadian obesitas antara lain pengaruh psikologi, budaya, status sosial dan ekonomi. Individu yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas (Zhang & Wang, 2004). Meningkatnya obesitas tidak lepas dari berubahnya gaya hidup seperti menurunnya aktivitas fisik dan kebiasaan menonton televisi berjam-jam. Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan berat badan normal melalui pengaruh hormon dan neural serta menentukan ukuran, banyak, serta distribusi regional sel adiposa tubuh (Zhang dkk., 2011).
2.1.2 Etiologi Obesitas Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti. Faktor lingkungan maupun genetik berperan dalam terjadinya obesitas.
2
2.1.2.1 Faktor Genetik Faktor genetik yang diketahui mempunyai peranan yang kuat adalah parental fatness. Anak obesitas biasanya berasal dari keluarga obesitas. Obesitas dapat terjadi sejak usia bayi. Bayi usia di bawah tiga tahun dengan kedua orangtua tidak obesitas, sekitar 8% akan menetap sampai dewasa (Syarif, 2003). 2.1.2.2 Faktor Lingkungan Faktor lingkungan bersama-sama dengan faktor genetik berperan dalam patogenesis obesitas. Faktor lingkungan yang berperan berupa: a. Kebiasaan makan Peranan perilaku makan terhadap terjadinya obesitas sangat besar. Kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji ( junk foods atau fast foods ) dengan kalori tinggi dan 40–50% berasal dari lemak membentuk perilaku
berperanan dalam
makan pada anak sekolah. Kebiasaan lain adalah
mengkonsumsi makanan dan camilan yang banyak mengandung gula sambil menonton televisi (Zhang dkk., 2011). b. Aktivitas fisik Prevalens obesitas yang meningkat tidak lepas dari gaya hidup yang berubah. Aktivitas fisik anak cenderung turun, anak lebih banyak bermain di dalam rumah dibandingkan di luar rumah, lebih sering melakukan permainan dengan komputer, menonton televisi yang banyak menyuguhkan acara maupun
3
film anak, dan iklan makanan yang memengaruhi peningkatan konsumsi makanan manis, camilan atau makanan cepat saji (Syarif, 2011).
c. Sosial -Ekonomi Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku, dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan memengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Ketersediaan dan harga makanan cepat saji yang mudah
dan
terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas (Syarif, 2011). Status sosial dan ekonomi juga dikaitkan dengan kejadian obesitas. Individu yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status sosial ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Hubungan antara status sosial ekonomi dengan obesitas melemah karena obesitas meningkat secara dramatis pada setiap kelompok status sosial ekonomi selama tiga dekade terakhir (Zhang & Wang, 2004). 2.1.2.3 Gangguan pada kontrol homeostasis keseimbangan energi Individu dengan obesitas memiliki kadar leptin yang meningkat dalam darah jika dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal. Konsentrasi leptin proporsional dengan massa lemak tubuh, baik pada individu dengan obesitas ataupun tidak. Obesitas bukan merupakan akibat dari defisiensi leptin yang bersirkulasi, tetapi karena resistensi terhadap leptin. Resistensi ini terjadi pada tingkat sirkulasi maupun pada transport leptin ke sistem saraf pusat (Miraglia dkk., 2009).
4
2.1.3 Diagnosis Obesitas didiagnosis bila didapatkan indeks massa tubuh (IMT) lebih dari dua standar deviasi berdasarkan umur dan jenis kelamin (WHO, 2001). Obesitas pada anak di atas 5 tahun menggunakan grafik CDC 2000. Obesitas ditegakkan jika IMT terhadap umur > persentil 95. Untuk anak usia 0-5 tahun dipergunakan kurva WHO Child Growth Standards 2006. Obesitas tidak hanya berkaitan dengan berat badan total, namun juga distribusi lemak yang tersimpan di dalam tubuh. Secara klinis obesitas dapat dengan mudah dikenali antara lain: a. Wajah membulat b. Pipi tembem c. Dagu rangkap d. Leher relatif pendek e. Dada membusung dengan payudara yang membesar mengandung jaringan lemak f. Perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat g. Kedua tungkai berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan, sehingga laserasi dan ulserasi dapat terjadi dan menimbulkan bau yang kurang sedap. Penis pada anak lelaki tampak kecil karena tersembunyi jaringan lemak suprapubik (burried penis) (Hidayati dkk., 2014).
5
2.1.3
Dampak obesitas pada anak Masalah metabolik, kardiovaskular, dan psikososial erat hubungannya
dengan obesitas, baik yang terjadi pada masa bayi maupun pada masa dewasa. Tabel 2.1. menunjukkan masalah yang terjadi sehubungan dengan obesitas. Tabel 2. 1 Gangguan yang terjadi akibat obesitas Perkiraan pada anak
Sistem Kardiovaskular Hipertensi Hipertropi ventrikel kiri Aterosklerosis Metabolik Resistensi insulin Dislipidemia Sindrom metabolik Diabetes tipe 2 Pulmo Asma Obtructive sleep apnoe Gastrointestinal Nonalcoholic fatty liver diseases Refluks gastroesofageal Skeletal Tibia vara Slipped capital femoral epiphysis Psikososial Depresi Polikistik ovary sindrom Pseudotumor cerebri Sumber: Daniels, 2006.
2-4 % Tidak diketahui 4% Tidak diketahui 5-10% 4% 1-15% per 100.000 7-9 % 1-5% 3-8 % 2-20% Jarang 1-8 per 100.000 1-2 % Tidak diketahui Jarang
2.1.4.1 Masalah Kardiovaskular Faktor risiko mayor serangan jantung dan stroke pada orang dewasa adalah hipertensi atau peningkatan tekanan darah. Obesitas memiliki kontribusi penting terhadap terjadinya hipertensi pada anak, remaja, dan orang dewasa. (Daniels, 2006).
6
2.1.4.2 Risiko anemia defisiensi besi. Penelitian menunjukkan angka kejadian defisiensi besi pada anak dengan obesitas meningkat sekian kali lipat dibanding anak normal. Hipotesis saat ini adalah proses inflamasi kronis minimal terjadi karena penumpukan sel lemak dan berperan dalam disregulasi besi (Nead dkk., 2004). 2.1.4.3 Obstructive sleep apnea Obstructive sleep apnea sering dijumpai pada anak obesitas dengan kejadian 1/100. Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak di daerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernapasan. Penurunan tonus otot dinding dada pada saat tidur disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan lidah jatuh ke arah dinding belakang faring mengakibatkan obstruksi saluran napas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah. Hal ini mengakibatkan anak cenderung mengantuk dan mengalami hipoventilasi keesokan harinya. Gejala ini berkurang seiring dengan penurunan berat badan (Seng, 2009). 2.1.4.4 Gangguan ortopedi Anak obesitas berisiko mengalami gangguan ortopedi karena kelebihan berat badan. Epifisis kaput femoris yang tergelincir menimbulkan gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan panggul (Seng, 2009; Syarif, 2011).
7
2.1.4.5 Pseudotumor serebri Pseudotumor serebri pada obesitas terjadi karena peningkatan ringan tekanan intrakranial. Hal ini disebabkan oleh gangguan jantung dan paru sehingga terjadi peningkatan kadar CO2 dengan gejala sakit kepala, papil udem, diplopia, kehilangan lapangan pandang perifer, dan iritabilitas (Daniels, 2006). 2.1.5
Tata laksana obesitas pada anak Penyebab obesitas bersifat multifaktor. Penatalaksanaan obesitas juga
seharusnya dilaksanakan secara multidisiplin dengan mengikutsertakan keluarga dalam proses terapi obesitas. Prinsip tata laksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi dengan cara pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisik, dan mengubah / modifikasi pola hidup (Hidayati dkk., 2014). Orangtua diharapkan menyediakan diet yang seimbang, rendah kalori, dan sesuai petunjuk ahli gizi. Anggota keluarga, guru, dan teman ikut berpartisipasi dalam program diet, mengubah perilaku makan, dan aktivitas yang mendukung program diet (Syarif , 2003). 2.2. Defisiensi besi Zat besi merupakan unsur vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan hemoglobin dan enzim. Komposisi dan distribusi besi dalam tubuh meliputi : a. Zat besi dalam hemoglobin b. Zat besi dalam depot (cadangan) sebagai feritin dan hemosiderin c. Zat besi yang ditranspor dalam transferin
8
d. Zat besi parenkim atau zat besi dalam jaringan seperti mioglobin dan beberapa enzim antara lain sitokrom, katalase, dan peroksidase (Baker & Greer, 2010). Menurut Bakta (2006) proses absorpsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu: 1. Fase Luminal Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan dengan tingkat absorpsi dan bioavailabilitas yang tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, dengan tingkat absorpsi dan bioavailabilitas yang rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung, asam lambung akan membuat besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain, kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum. 2. Fase Mukosal Penyerapan zat besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks. 3. Fase Korporeal Fase korporeal meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, penggunaan besi oleh sel-sel yang memerlukan, serta penyimpanan besi oleh tubuh. Zat besi diserap oleh enterosit (epitel usus) kemudian melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, selanjutnya dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin adalah β1 globulin (protein fase akut negatif), merupakan glikoprotein dengan berat molekul 79.570 dalton, terdiri dari polipeptida rantai tunggal dengan 679 asam amino dalam dua domain homolog.
9
N-terminal dan C-terminal masing-masing mempunyai satu tempat ikatan dengan Fe3+. Satu molekul transferin mengikat 2 atom besi (Fe3+). Transferin berikatan dengan reseptor transferin. Jumlah transferin dinyatakan dalam jumlah besi yang terikat disebut sebagai total iron binding capacity (TIBC). Hanya sepertiga bagian dari transferin yang berikatan dengan besi sehingga masih tersedia cadangan yang cukup banyak untuk berikatan dengan besi apabila terjadi kelebihan besi. Hal ini penting dalam diagnosis gangguan metabolisme besi. Feri (Fe3+) di dalam plasma berikatan dengan apotransferin (Tf), ikatan besi dan apotransferin akan berikatan dengan reseptor transferin (TfR) pada permukaan sel. Kompleks TfR dan Fe3+-Tf bersama DMT 1 mengalami invaginasi membentuk endosom. Pompa proton di dalam endosom akan menurunkan pH menjadi asam mengakibatkan ikatan antara Fe3+ dan apotransferin terlepas. Apotransferin tetap berikatan dengan TfR di permukaan sel, sedangkan Fe3+ yang dilepaskan akan keluar melalui DMT 1 mitokondria dan disimpan. Zat besi dengan protoporfirin selanjutnya dipergunakan untuk pembentukan heme. Besi yang berlebih akan disimpan sebagai feritin dan hemosiderin. Nilai pH ekstrasel 7,4 akan mengakibatkan ikatan antara apotransferin TfR di permukaan sel akan terlepas. Apotransferin akan dilepaskan ke luar dari sel menuju sirkulasi dan berfungsi kembali sebagai pengangkut besi, sedangkan TfR akan menjadi truncated
transferin
receptor
atau
soluble
transferin
receptor.
10
2.2.1 Definisi defisiensi besi Berdasarkan data dari “the third National Health and Nutrition Examination Survey” ( NHANES III ), defisiensi besi ditentukan oleh nilai yang abnormal dari kadar feritin serum, saturasi transferin, dan atau erythrocyte protophorphyrin. Defisiensi besi dapat terjadi karena absorpsi besi yang tidak adekuat atau keseimbangan besi yang negatif. Absorpsi zat besi yang buruk akan mengakibatkan simpanan zat besi dalam bentuk feritin dalam serum akan berkurang dan komponen besi di sumsum tulang akan berkurang. Proses yang terus-menerus akan menyebabkan anemia defisiensi besi (Baker & Greer, 2010). Ada 3 tahap defisiensi besi : 1. Stadium prelaten, stadium ini juga sering disebut iron depletion atau storage iron deficiency. Pada stadium ini terjadi penurunan cadangan besi tetapi kadar besi di plasma dan eritrosit masih normal. Keadaan ini dapat diketahui melalui pemeriksaan pewarnaan besi pada aspirat sumsum tulang dan pengukuran kadar feritin serum. 2. Stadium laten atau iron deficient erythropoiesis. Pada stadium ini terjadi penurunan cadangan besi maupun kadar zat besi di plasma tetapi di eritrosit masih normal. Keadaan ini dapat diketahui melalui penurunan kadar besi serum dan saturasi transferin sedangkan TIBC, free erytrhrocyte porphyrin (FEP) dan sTfR meningkat. 3. Stadium anemia defisiensi besi. Pada stadium ini terjadi penurunan zat besi, baik dalam cadangan, di plasma, maupun di eritrosit sehingga menyebabkan
11
penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Gambaran darah tepi didapatkan mikrositik hipokromik. 2.2.2 Fisiologi metabolisme besi Zat besi dalam tubuh manusia terbagi dalam 3 bagian yaitu senyawa besi fungsional, besi cadangan, dan besi transport. Besi fungsional yaitu zat besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh terdiri dari hemoglobin, myoglobin, dan berbagai jenis enzim. Bagian kedua adalah besi transportasi yaitu transferin, besi yang berikatan dengan protein tertentu untuk mengangkut zat besi dari satu bagian ke bagian lainya. Bagian ke tiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin. Senyawa besi ini dipersiapkan bila masukan besi diet berkurang. Untuk dapat berfungsi bagi tubuh manusia, besi membutuhkan protein transferin, reseptor transferin, dan feritin yang berperan sebagai penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan iron regulatory proteins (IRPs) untuk mengatur suplai besi. Transferin merupakan protein pembawa yang mengangkut besi plasma dan cairan ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Bakta, 2006). Reseptor transferin adalah suatu glikoprotein yang terletak pada membran sel, berperan mengikat transferin-besi komplek dan selanjutnya diinternalisasi ke dalam vesikel untuk melepaskan besi ke intraseluler. Kompleks transferin-reseptor transferin selanjutnya kembali ke dinding sel dan apotransferin dibebaskan ke dalam plasma. Feritin sebagai protein penyimpan besi yang bersifat nontoksik akan imobilisasi saat dibutuhkan. Iron regulatory proteins (IRP-1 dan IRP-2 yang dikenal sebagai iron responsive element-binding proteins [IRE-BPs], iron regulatory factors [IRFs], ferritin-repressor proteins [FRPs] dan p90) merupakan
12
messenger ribonucleic acid (mRNA) yang mengkoordinasikan ekspresi intraselular dari reseptor transferin, feritin, dan protein penting lainnya yang berperan dalam metabolisme besi, seperti terlihat pada Gambar 2.1. (Wang & Pantopoulus, 2011).
Gambar 2.1. Regulasi besi (Wang & Pantopoulus, 2011).
Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan hemoglobin. Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari hemoglobin eritrosit tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem retikuloendotelial. Sebanyak 25 ml eritrosit atau setara dengan 25 mg besi difagositosis oleh makrofag setiap hari pada kondisi seimbang. Sebanyak itu pula eritrosit yang akan dibentuk dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari. Zat besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 1–2
13
mg, sebanyak itu pula hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin, dan tinja (Muhammad & Sianipar, 2005). Besi plasma atau besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama terikat oleh transferin sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratoris sering diukur sebagai protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi. Secara normal 25–45% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks saturasi transferin. Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya 0,1% dari total besi tubuh (Muhammad & Sianipar, 2005). Eritrosit yang berumur 120 hari difagositosis oleh makrofag di sistem retikuloendotelial terutama limpa. Sistem tersebut berfungsi terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk penggunaan kembali. Terdapat jenis makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag jaringan lain yang lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Hemoglobin dipecah menjadi hem dan globin di limpa. Molekul besi yang dibebaskan dari hem akan diproses secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui pintasan cepat pelepasan besi (the rapid pathway of iron release) di dalam makrofag pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi yang selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas. Pelepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung tetapi melalui proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan bentuk ferro menjadi ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferin plasma (Muhammad & Sianipar, 2005).
14
Cadangan besi tubuh dapat diperiksa dengan mengukur kadar besi serum, TIBC, dan feritin serum. Pemeriksaan yang dapat memastikan cadangan besi berkurang ialah pemeriksaan hemosiderin sumsum tulang dengan pengecatan Prussian Blue. Pemeriksaan saturasi transferin merupakan hasil perhitungan kadar besi serum dibagi TIBC dikali 100%. Dalam keadaan normal saturasi transferin adalah 20–45%. Pada anemia defisiensi besi didapatkan kadar besi serum menurun dan TIBC
meningkat sehingga saturasi transferin meningkat
(Muhammad & Sianipar, 2005). 2.3 Sel Lemak 2.3.1 Sel lemak sebagai organ endokrin Jaringan lemak dikenal sebagai salah satu organ endokrin yang berkontribusi dalam proses inflamasi dengan mengeluarkan mediator proinflamasi, sitokin, dan adipokin, seperti interleukin-6 (IL-6), interleukin-1β (IL1β), interleukin-8 (IL-8), tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha), leptin, adiponectin,
resistin,
lipocalcin-2,
C-reactive
protein
(CRP),
monocyte
chemoattractant protein 1 (MCP-1), complement components, plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) (Zekanowska dkk., 2011). Jaringan lemak menghasilkan beberapa hormon seperti estrogen dan protein dari sistem reninangiotensin. Semua peptide bioaktif ini dihasilkan oleh jaringan lemak dan dapat berperan secara lokal atau disebut autokrin (parakrin) atau secara sistemik (endokrin) (Arslan dkk., 2010). Sel lemak adalah jaringan endokrin yang aktif mensekresikan beberapa hormon dan sitokin yang berhubungan dengan efek
15
sistemik yang penting pada proses metabolik. Hepsidin merupakan regulator metabolisme besi dan dihasilkan juga oleh sel lemak (Zekanowskwa dkk., 2011). 2.3.2 Obesitas dan metabolisme besi Hubungan antara obesitas dan defisiensi besi telah banyak diteliti. Kadar besi serum anak obesitas lebih rendah dibanding anak remaja dengan berat badan normal. Hasil penelitian terbaru juga menunjukkan hasil yang hampir sama. Penelitian cross sectional yang dilakukan di Israel menunjukkan defisiensi besi pada anak dan remaja yang overweight dan obesitas lebih besar dibanding anak normal. Penelitian lain menemukan bahwa anak overweight memiliki risiko dua kali lipat mengalami defisiensi besi dari pada anak dengan berat badan normal (Nead, dkk., 2004), dan prevalens defisiensi besi meningkat pada anak dengan IMT yang lebih besar di Teheran (Olds dkk., 2009). Indeks massa tubuh yang tinggi memiliki kadar besi serum darah yang lebih rendah secara signifikan dan ditandai juga dengan peningkatan c-reactive protein (CRP) dan soluble transferring receptor levels (sTfR). Penelitian tersebut menunjukkan korelasi yang signifikan antara IMT dan CRP (Zekanowska dkk., 2011). Penelitian di India dan Marocco menilai hubungan antara IMT dan status besi pada anak (Zekanowska dkk., 2011). Penelitian tersebut mendapatkan skor Z IMT yang lebih tinggi bermakna sebagai prediktor status besi yang rendah. Richardson dkk, (2009) melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan apakah status besi yang rendah yang muncul pada anak dengan obesitas berhubungan dengan proses inflamasi. Hasil yang diperoleh adalah inflamasi kronis pada obesitas menghasilkan status besi yang rendah. Hanya sedikit penelitian yang
16
menilai jaringan lemak yang berlebih yang memengaruhi kadar status besi pada orang dewasa. Kadar besi pada 406 subjek dewasa yang obesitas lebih rendah secara bermakna dibanding dewasa normal (Yanoff dkk., 2007). Patomekanisme hipoferremia pada obesitas masih belum jelas. Defisiensi besi pada individu obesitas dapat terjadi dari asupan besi yang kurang. Obesitas berhubungan dengan inflamasi kronis minimal, sehingga pemecahan besi karena proses inflamasi dapat menjadi penyebab dari defisiensi besi pada anak obesitas (Yanoff dkk., 2007; Menzie dkk., 2008). Mekanisme defisiensi besi karena hepsidin digambarkan dalam Gambar 2.2. Obesitas berhubungan dengan terjadinya peningkatan inflamasi sistemik. Penelitian yang
dilakukan oleh Zhang dkk tahun 2011 membuktikan bahwa
jaringan lemak melepaskan berbagai macam sitokin dan adipokin yang menyebabkan inflamasi sistemik yang berhubungan dengan patogenesis penyakit metabolik dan penyakit degeneratif yang terjadi pada obesitas. Salah satu sitokin yang dilepaskan jaringan lemak ke dalam sirkulasi portal yaitu interleukin-6 yang akan menstimulasi hati untuk memproduksi reaktan fase akut dan kadar interleukin-6 dalam sirkulasi portal yang kadarnya lebih tinggi secara bermakna pada orang obesitas dibandingkan dengan status gizi normal. Salah satu reaktan fase akut yang dilepaskan hati karena perangsangan IL-6 yaitu hepsidin (25 amino acid peptide). Hepsidin menghambat
penyerapan besi di enterosit dan juga
berinteraksi dengan transmembrane iron exporter ferropotin untuk menghambat pelepasan feritin dari makrofag sehingga kadar feritin di jaringan tetap tinggi. Sitokin terutama TNF-α yang dilepaskan selama proses inflamasi juga akan
17
berpengaruh pada regulasi feritin, yang akan meningkatkan penghancuran feritin di makrofag (Zhang dkk., 2011). Leptin yang merupakan adipokin yang dihasilkan oleh jaringan lemak juga berperan penting untuk menstimulasi pengeluaran hepsidin pada penderita obesitas. Giudice dkk (2009) mendapatkan hubungan yang kuat antara kadar leptin dan hepsidin dengan status besi pada remaja dengan obesitas.
2.4 Hepsidin Hepsidin dikenal sebagai salah satu hormon peptida. Hepsidin dilepaskan ke dalam serum dalam bentuk peptida yang terdiri dari 20, 22, atau 25 asam amino. Peptida ini terutama dibentuk di hati dan diekskresi di ginjal. Hepsidin juga dihasilkan di pankreas, ginjal, limpa, dan jaringan
lemak (Leong &
Lönnerdal, 2004). Rerata kadar hepsidin serum pada anak normal 16,71±14,74 nmol/L (Choi dkk., 2012). Hepsidin sebagai regulator besi Hepsidin dianggap sebagai regulator mayor absorpsi besi dan pelepasan besi. Hepsidin bekerja berlawanan dengan kerja feroportin. Feroportin merupakan eksporter besi dari sel pada membran makrofag, hepatosit, dan sisi basolateral dari enterosit. Hepsidin menginduksi internalisasi dan pemecahan feroportin sehingga terjadi peningkatan penyimpanan besi di dalam sel dan menurunkan absorpsi besi serta menurunkan kadar besi serum (Kroot dkk., 2011). Total iron binding capacity adalah parameter pemeriksaan status besi. Total iron binding capacity menunjukkan jumlah transferin yang berada dalam
18
sirkulasi darah yang akan berikatan dengan besi serum. Penurunan kadar besi serum akan meningkatkan kapasitas transferin dalam usaha mengikat besi (Bakta, 2006). Saturasi transferin adalah perbandingan antara besi serum dan TIBC dikali 100%. Nilai saturasi transferin menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Saturasi transferin <16% menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat untuk eritropoesis (Raspati dkk., 2010). Hepsidin yang meningkat akan mengakibatkan penurunan besi serum dan secara otomatis akan berperan dalam penurunan saturasi transferin. Konsentrasi hepsidin menurun pada situasi yang memerlukan sirkulasi besi yang tinggi. Peningkatan eritropoesis akibat respon terhadap hipoksia, anemia, defisiensi besi, atau kondisi eritropoesis yang tidak efektif. Penurunan kadar hepsidin akan meningkatkan pelepasan besi dan peningkatan absorpsi besi. Mekanisme ini tidak terjadi pada anak obesitas. Pada anak obesitas penurunan kadar besi dalam serum tidak menurunkan konsentrasi hepsidin serum. Hepsidin serum akan tetap meningkat sehubungan dengan proses inflamasi kronis minimal yang masih tetap berlangsung (Galesloot dkk., 2011; Ganz & Nemeth, 2006). Peningkatan IL-6 merangsang hepatosit untuk melepaskan hepsidin. Hepsidin sebagai kunci regulator homeostasis besi akan mengunci feroportin sehingga besi di enterosit, cadangan di makrofag, dan hepatosit tidak akan keluar ke sirkurasi yang akan bermanifestasi dalam disregulasi besi (Amato dkk., 2010; Andrew dkk., 2012). Besi di enterosit dan cadangan di makrofag dan hepatosit
19
tidak akan keluar ke sirkurasi tetapi akan disimpan sebagai cadangan (dalam bentuk feritin) sehingga kadar feritin akan meningkat. Feritin juga merupakan protein fase akut yang berarti konsentrasinya akan meningkat pada saat inflamasi, sehingga penggunaannya memerlukan pertimbangan (Ridha & Daud, 2014). Mekanisme molekular regulasi hepsidin oleh hipoksia dan anemia belum diketahui dengan jelas. Hypoxia inducable factor (HIF)-1 alpha adalah faktor transkripsi heterodimer yang diduga menekan ekspresi hepsidin secara tidak langsung (Pardede, 2012). Regulator eritroid memberikan efek negatif pada produksi hepsidin. Kondisi kadar besi serum yang rendah memberi umpan balik negatif pada hati untuk memproduksi hepsidin. Produksi hepsidin yan tinggi menurunkan absorpsi besi pada saluran cerna, dan menghalangi pelepasan besi dari makrofag sehingga kadar besi yang beredar di sirkulasi akan meningkat (Ganz & Nemeth, 2006).
Gambar 2.2 Mekanisme kerja hepsidin (Wang & Pantopaulus, 2011).