BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kesehatan Masyarakat Batasan yang paling tua, dikatakan bahwa kesehatan masyarakat adalah upayaupaya untuk mengatasi masalah-masalah sanitasi yang mengganggu kesehatan. Dengan kata lain kesehatan masyarakat adalah sama dengan sanitasi. Upaya memperbaiki dan meningkatkan sanitasi lingkungan adalah merupakan kegiatan kesehatan masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Kesehatan masyarakat adalah kesatuan unit praktek kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk pengembangan dan peningkatan kemampuan hidup sehat bagi pendidikan (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) menggunakan konsep dan keterampilan dan praktek kesehatan masyarakat (Freeman) (Syafrudi, 2009). Dari pengalaman-pengalaman praktik kesehatan masyarakat yang telah berjalan sampai pada awal abad ke-20, Winslow (1920) akhirnya membuat batasan kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni: mencegah penyakit, memperpanjang hidup,
dan
meningkatkan
kesehatan,
melalui
‘Usaha-usaha
Pengorganisasi
Masyarakat’ untuk (Notoatmodjo, 2007): 1. Perbaikan sanitasi lingkungan 2. Pemberantasan penyakit-penyakit menular 3. Pendidikan untuk kebersihan perorangan. 4. Pengorganisasi pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan.
5. Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya. 2.2. Kesehatan Lingkungan Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, untuk hal ini Hendrik L. Blum menggambarkan secara ringkas sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003):
Keturunan
Lingkungan: Pelayanan Kesehatan
Status Kesehatan
-
fisik sosial ekonomi, budaya dsb
Perilaku
Gambar 2.1. Faktor yang Mempengaruhi Status Kesehatan
Keempat faktor tersebut (keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan) di samping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu (tidak optimal), maka status kesehatan akan tergeser ke arah di bawah optimal (Notoatmodjo, 2003). Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan kesehatan lingkungan menurut WHO adalah ilmu dan keterampilan yang memusatkan perhatiannya pada usaha pengendalian semua faktor yang ada pada lingkungan fisik manusia yang diperkirakan menimbulkan/akan menimbulkan hal-hal yang merugikan perkembangan
fisiknya,
kesehatannya
maupun
kelangsungan
hidupnya
(Adnani, 2001). Kesehatan lingkungan mencakup aspek yang sangat luas yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia (Widyati, 2002). Ruang lingkup kesehatan lingkungan meliputi (Adnani, 2001): 1. Masalah perumahan 2. Pembuangan kotoran manusia (tinja) 3. Penyediaan air bersih 4. Pembuangan sampah
5. Pembuangan air kotor (air limbah) 6. Rumah hewan ternak (kandang) dll Sedangkan masalah kesehatan lingkungan di negara berkembang pada umumnya lima hal yaitu (Adnani, 2001): 1. Masalah sanitasi jamban (jamban). 2. Penyediaan air minum. 3. Perumahan (housing). 4. Pembuangan sampah. 5. dan pembuangan air limbah (air kotor). 2.3. Sanitasi Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyati, 2002). Beberapa manfaat dapat kita rasakan apabila kita menjaga sanitasi di lingkungan kita, misalnya (Widyati, 2002): 1. Mencegah penyakit menular. 2. Mencegah kecelakaan. 3. Mencegah timbulnya bau yang tidak sedap. 4. Menghindari pencemaran. 5. Mengurangi jumlah (persentase) sakit. 6. Lingkungan menjadi bersih, sehat, dan nyaman.
2.4. Sanitasi Dasar Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, pembuangan kotoran manusia (jamban), pembuangan sampah (tempat sampah) dan pembuangan air limbah (Achmadi, 2008). 2.5. Pembuangan Kotoran Manusia/Tinja Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine) dan CO2 sebagai hasil dari proses pernafasan (Notoatmodjo, 2003). Tinja merupakan bahan buangan yang sangat dihindari oleh manusia untuk berkontak karena sifatnya yang menimbulkan kesan jijik pada setiap orang dan bau yang sangat menyengat. Tinja juga merupakan bahan yang sangat menarik perhatian serangga, khususnya lalat, dan berbagai hewan lainnya, misalnya anjing, ayam, dan tikus, karena mengandung bahan-bahan yang dapat menjadi makanan hewan itu (Suparmin, 2002). Komposisi tinja manusia terdiri dari (Chandra, 2007): 1. Zat padat 2. Zat organik 3. Zat anorganik
Karakteristik tinja yang mencakup kuantitas dan kualitas dipengaruhi terutama oleh kebiasaan makan, kondisi kesehatan, kondisi psikologik, kehidupan agama, serta tingkat sosial ekonomi dan kebudayaan yang mempengaruhi kebiasaan hidup, termasuk dalam hal kebiasaan menggunakan air pembersih dari manusia penghasil tinja tersebut (Suparmin, 2002). 2.5.1. Pengaruh Tinja Bagi Kesehatan Manusia Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Karena kotoran manusia (feces) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang bersumber
pada
feces
dapat
melalui
berbagai
macam
jalan
atau
cara
(Notoatmodjo, 2007). Berikut ini skema mata rantai penularan penyakit dari tinja (Widyati, 2002):
Air Tinja Sumber Infeksi
Tangan
Makanan Sayur/buah
Penderitaan baru
Lalat Tanah Gambar 2.2. Mata Rantai Penularan Penyakit dari Tinja
Dari gambar tersebut perlu dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin agar transmisi/pemindahan penyakit tidak terjadi dan dapat dihindarkan. Dengan mengisolasi tinja sedini mungkin maka penyebab penyakit tidak dapat mencapai pejamu/penderita baru (Widyati, 2002). Pembuangan tinja secara layak merupakan kebutuhan kesehatan yang paling diutamakan. Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, atau menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong waterborne disease akan mudah berjangkit (Chandra, 2007). Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat pembuangan kotoran secara tidak baik adalah (Chandra, 2007): 1. Pencemaran tanah, pencemaran air, dan kontaminasi makanan Sebagian besar kuman penyakit yang mencemari air dan makanan berasal dari feses hewan dan manusia. Mereka mencakup bakteri, virus, protozoa, dan cacing dan masuk bersama air atau makanan, atau terbawa oleh mulut oleh jari-jari yang tercemar. Sekali ditelan, sebagian besar di antara mereka berkembang di saluran makanan dan diekskresikan bersama feses. Tanpa sanitasi yang memadai, mereka dapat memasuki ke badan air yang lain, yang selanjutnya dapat menginfeksi orang lain. Banyak organismeorganisme kelompok enterik ini dapat bertahan dalam waktu lama di luar badan. Mereka dapat bertahan di limbah manusia dan kadang-kadang di dalam tanah dan ditularkan ke air serta bahan makanan. Organisme yang lebih tahan dapat ditularkan secara mekanis oleh lalat (Widiati, 2001).
2. Perkembangbiakan lalat. Peranan lalat dalam penularan penyakit melalui tinja (faecal-bornediseases) sangat besar. Lalat rumah, selain senang menempatkan telurnya pada kotoran kuda atau kotoran kandang, juga senang menempatkannya pada kotoran manusia yang terbuka dan bahan organik lain yang sedang mengalami penguraian. Lalat itu hinggap dan memakan bahan itu, mengambil kotoran dan organisme hidup pada tubuhnya yang berbulu, termasuk bakteri yang masuk ke saluran pencernaannya, dan sering meletakkannya di makanan manusia. Pada iklim panas, prevalensi penyakit yang dapat ditularkan melalui tinja biasanya lebih tinggi karena, pada saat ini, lalatnya paling banyak dan paling aktif (Suparmin, 2002). Sementara itu beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain (Notoatmodjo, 2007): 1. Tifus Tifus merupakan penyakit yang menyerang usus halus. Penyebabnya adalah Salmonella typhi, dengan reservoir adalah manusia. Gejala utama adalah panas yang terus menerus dengan taraf kesadaran yang menurun, terjadi 1-3 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi. Penularan dapat terjadi dari orang ke orang, atau tidak langsung lewat makanan, minuman yang terkontaminasi bakteri. Sesekali, Salmonella itu keluar bersama tinja ataupun urine, memasuki lingkungan dan berkesempatan menyebar (Slamet, 2007).
2. Disentri Disentri amoeba disebut juga Amoebiasis disebabkan oleh E. histolytica, suatu protozoa. Gejala utama penyakit adalah tinja yang tercampur darah dan lendir. Berbeda dari Disentri basillaris, disentri ini tidak menyebabkan dehidrasi. Penyakit ini sering pula ditemukan tanpa gejala yang nyata, sehingga seringkali menjadi kronis. Tetapi, apabila tidak diobati dapat menimbulkan berbagai komplikasi, seperti asbes hati, radang otak, dan perforasi usus. Amoebiasis ini seringkali menyebar lewat air dan makanan yang terkontaminasi tinja dengan kista amoeba serta dapat pula dibawa oleh lalat. Karena amoeba membentuk kista yang tahan lama di dalam lingkungan di luar tubuh, maka penularan mudah terjadi dengan menyebarnya kista-kista tersebut (Slamet, 2007). 3. Kolera Penyakit Kolera disebabkan oleh Vibrio cholerae. Kolera adalah penyakit usus halus yang akut dan berat, sering mewabah yang mengakibatkan banyak kematian. Gejala utamanya adalah muntaber, dehidrasi dan kolaps dapat terjadi dengan cepat. Sedangkan gejala kolera yang khas adalah tinja yang menyerupai air cucian beras, tetapi sangat jarang ditemui. Orang dewasa dapat meninggal dalam waktu setengah sampai dua jam, disebabkan dehidrasi. Reservoir bakteri kolera adalah manusia yang menderita penyakit, sedangkan penularan dari orang ke orang, ataupun tidak langsung lewat lalat, air, serta makanan dan minuman (Slamet, 2007).
4. Schistosomiasis Shistosomiasis atau Bilharziasis adalah penyakit yang disebabkan cacing daun yang bersarang di dalam pembuluh darah balik sekitar usus dan kandung kemih. Reservoirnya selain penderita, juga anjing, kijang, dan lainlain hewan penderita Schistosomiasis. Telur Schistosoma ini keluar dari tubuh penderita bersama urine ataupun tinja. Untuk dapat hidup terus telur itu harus berada di perairan, menetas menjadi larva miracidium dan untuk dapat berubah menjadi larva yang infektif, maka ia harus masuk ke dalam tubuh siput air. Miracidium di dalam siput berubah menjadi larva cercaria, keluar dari tubuh siput, berenang bebas di perairan. Larva ini dapat memasuki kulit orang sehat, yang kebetulan berada di air tersebut (misalnya di sawah). Larva kemudian ikut dengan peredaran darah, memasuki paruparu, kemudian ke hati di mana ia menjadi dewasa dan kemudian bermigrasi ke dalam pembuluh darah balik sekitar usus ataupun kandung kemih. Jumlah telur cacing yang banyak akan mendesak dinding pembuluh darah sehingga robek dan terjadi perdarahan. Gejala 4-6 minggu setelah infeksi berupa kencing dan berak darah. Penyakit ini jarang menyebabkan kematian yang langsung, tetapi menimbulkan kelemahan karena terjadinya perdarahan. Komplikasi-komplikasi dapat terjadi, yakni rusaknya jaringan hati sehingga terjadi cirrhosis atrofis dan kadang-kadang cacing dapat ikut dengan peredaran darah ke dalam otak dan menimbulkan kerusakan. Cacing ini sudah
banyak
menyebabkan
kerugian
dan
penderitaan,
karena
pengobatannya kurang efesien, pemberantasan terhadap cacing sulit
dilaksanakan, karena spektrum reservoirnya yang luas, dan meninggalkan banyak cacat dan kelemahan (Slamet, 2007). 5. Diare Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan/tanpa darah dan/lendir
dalam
tinja
(Mansjoer,
2002).
Penyebab
diare
dapat
dikelompokkan dalam tujuh besar, yaitu virus, bakteri, parasit, keracunan makanan, malabsorpsi, alergi, dan immunodegesiensi (Widoyono, 2008). Penyakit diare sebagian besar (75%) disebabkan oleh kuman seperti virus dan bakteri. Penularan penyakit diare melalui orofekal terjadi dengan mekanisme berikut (Widiyono, 2008): a. Melalui air yang merupakan media penularan utama diare. Diare dapat terjadi bila seseorang menggunakan air minum yang sudah tercemar, baik yang tercemar dari sumbernya, tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau tercemar pada saat disimpan di rumah. Pencemaran di rumah terjadi bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat
penyimpanan. b.
melalui tinja yang
terkontaminasi. Tinja yang sudah terkontaminasi mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh binatang dan kemudian binatang tersebut hinggap di makanan, maka makanan itu dapat menularkaan penyakit diare kepada orang yang memakannya.
6. Bermacam-macam cacing (gelang, kremi, tambang, pita) Penyakit cacing tambang (hookworm disease) adalah suatu infeksi saluran usus oleh cacing penghisap darah. Penyebabnya adalah Necator americanus dan Ancylostoma duodenale yaitu nematoda yang dikeluarkan lewat tinja dari manusia yang terinfeksi. Cara pemindahannya adalah larva dalam tanah yang
lembab/basah
dan
menembus
kulit,
biasanya
kulit
kaki
(Suparmin, 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi transmisi penyakit dari tinja, antara lain (Chandra, 2007): 1. Agens penyebab penyakit 2. Reservoir 3. Cara menghindar dari reservoir ke pejamu potensial 4. Cara penularan ke pejamu baru 5. Pejamu yang rentan (sensitif). Apabila salah satu faktor di atas tidak ada, penyebaran tidak akan terjadi. Pemutusan rantai penularan juga dapat dilakukan dengan sanitasi barrier. 2.5.2. Jamban Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya (Proverawati, 2012). Jamban keluarga adalah suatu fasilitas pembuangan tinja bagi suatu keluarga (Depkes, 2009).
2.5.3. Tujuan Penggunaan Jamban Keputusan Menteri Kesehatan No. 852 Tahun 2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, menyebutkan bahwa jamban sehat adalah suatu fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Tujuan Penggunaan Jamban adalah sebagai berikut (Firmansyah, 2009): 1. Menjaga lingkungan bersih, sehat dan tidak berbau. 2. Tidak mencemari sumber air yang ada di sekitamya. 3. Tidak mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penular penyakit diare, kolera, disentri, tifus, kecacingan, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit dan keracunan. 2.5.4. Jenis-Jenis Jamban Teknik
Pembuangan
Tinja
dengan
Sistem
Jamban,
ada
3
yaitu
(Suparmin, 2002): (1) Teknik yang menggunakan jamban tipe utama, yaitu: a. Jamban Cubluk Dengan perhatian sedikit pada penempatan dan konstruksi, jenis jamban itu tidak akan mencemari tanah ataupun mengontaminasi air permukaan serta air tanah. Tinja tidak akan dapat dicapai oleh lalat apabila lubang jamban selalu tertutup. Rumah jamban yang baik akan membantu mencegah masuknya sinar matahari ke dalam lubang. Dengan jamban cubluk, tidak akan terjadi penanganan langsung tinja. Bau dapat diabaikan dan tinja biasanya tidak terlihat. Jamban cubluk mudah direncanakan, digunakan,
dan tidak memerlukan pengoperasian. Masa penggunaannya bervariasi, dari 5 sampai 15 tahun, tergantung pada kapasitas lubang dan penggunaan bahan pembersih yang dimasukkan ke dalamnya. Keuntungan yang utama dari jenis jamban itu adalah dapat dibuat dengan biaya rendah, dapat dibuat di setiap tempat di dunia, dapat dibuat oleh keluarga dengan sedikit atau tanpa bantuan dari luar, dan dapat dibuat dengan bahan yang tersedia. Jenis jamban ini mempunyai sedikit kelemahan, tapi dapat berperan utama dalam pencegahan penyakit yang disebarkan melalui tinja. b. Jamban Air Jamban air merupakan modifikasi jamban yang menggunakan tangki pembusukan, yang berasal dari Amerika serikat kira-kira sembilan puluh tahun yang lalu. Apabila tangkinya kedap air, maka tanah, air tanah, serta air permukaan tidak akan terkontaminasi. Lalat tidak akan tertarik pada isi tangki, tidak ada bau, ataupun kondisi yang tidak sedap dipandang. Jenis jamban itu dapat dibangun di dekat rumah. Tinja dan lumpur bersama-sama dengan batu, batang kayu, kain bekas, dan sampah lain yang mungkin terbuang ke dalamnya akan tertumpuk dalam tangki. Jamban air memerlukan penambahan air setiap hari agar dapat beroperasi sebagimana mestinya. Air itu biasanya berasal dari air yang digunakan untuk pembersih anus dan untuk pembersih lantai jamban, serta pipa atau corong pemasukan tinja. Jenis jamban ini memerlukan sedikit pemeliharaan dan merupakan jenis instalasi yang permanen. Jamban ini lebih mahal pembuatannya dibandingkan dengan jamban cubluk.
c. Jamban Leher Angsa Jamban leher angsa atau jamban tuang siram yang menggunakan sekat air bukanlah jenis instalasi pembuangan tinja yang tersendiri, melainkan lebih merupakan modifikasi yang penting dari slab atau lantai jamban biasa. Lantai dengan sekat air dapat dipasang di atas lubang pada jamban cubluk atau di atas tangki air pada jamban air. Apabila digunakan dan dipelihara secara semestinya, sekat air akan mencegah masuknya lalat ke dalam lubang dan keluarnya bau. Perangkap kecil pada sekat air tidak akan menahan tisu pembersih yang dibuang ke dalamnya. Lantai dengan sekat air digunakan secara luas di kawasan Asia Tenggara yang kebanyakan penduduknya menggunakan air sebagai bahan pembersih anus. (2) Teknik yang Menggunakan Jamban Tipe yang Kurang Dianjurkan a. Jamban Bor Jamban bor (bored-hole latrine), jamban keranjang (bucket latrine), jamban parit (trench latrine), dan jamban gantung (overhung privy) kurang dianjurkan penggunaannya karena berbagai risiko pencemaran dan penularan penyakit yang dapat ditimbulkannya. Jamban bor merupakan variasi dari jamban cubluk yang lubangnya dibuat dengan cara dibor. Lubangnya mempunyai penampang melintang yang lebih kecil, dengan diameter sama dengan diameter mata bor yang digunakan (10-30 cm) dan lebih dalam. Dengan demikian, kapasitasnya jauh lebih kecil daripada jamban cubluk biasa dan masa penggunaannya pun lebih pendek. Karena kedalamannya dapat mencapai 6 m, lubang akan menembus air tanah dan
mudah mencemarinya. Jamban itu tidak mencemari tanah dan air permukaan, dan mencegah penanganan tinja segar. Bahaya lalat menigkat karena terjadi pencemaran di permukaan dinding lubang bagian atas yang tepat di bawah lubang. Keruntuhan dinding lubang sering menjadi masalah yang gawat pada jamban bor. Jamban bor murah dan mudah pembuatannya apabila tersedia peralatan yang diperlukan. Jamban itu digunakan secara luas di banyak wilayah di dunia, terutama di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Jamban bor merupakan variasi dari cubluk, perbedaanya hanya penampang melintang lubangnya kecil. b. Jamban Keranjang Jamban keranjang, atau jamban kotak, atau jamban kaleng banyak digunakan pada masa lalu di Eropa, Amerika, Australia, dan masih digunakan di banyak negara di Afrika, Asia Tenggara, dan Fasifik Barat. Namun, penggunaanya semakin berkurang. Meskipun secara teoritis dan dengan pengawasan yang efesien jamban keranjang dapat digunakan secara higienis,
pengalaman
di
mana-mana
menunjukkan
bahwa
pada
kenyataannya tidaklah demikian. Sistem jamban keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah yang sangat besar, tidak di lokasi jambannya, tetapi di sepanjang perjalanan ke tempat pembuangan. Penggunaan jamban keranjang sangat memungkinkan penanganan tinja segar. Akibat penggunaan jenis jamban itu, selalu ada bahaya terjadi pencemaran tanah, air permukaan, dan air tanah. Penggunaan jenis jamban itu biasanya menimbulkan bau serta pemandangan yang tidak sedap. Meskipun biaya
awal penggunaan jamban keranjang tidak mahal, namun biaya operasinya, setelah beberapa tahun, menjadikannya tipe instalasi yang paling mahal. Jamban itu hanya dianjurkan pemakaiannya di daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman. Meskipun demikian, di daerah itu tetap harus dikembangkan peggunaan jamban kompos. c. Jamban Parit Jamban parit biasa digunakan di beberapa daerah Afrika, di daerah perkemahan, dan dalam keadaan darurat. Jenis jamban itu dapat digunakan secara saniter atau sangat tidak saniter, tergantung pada kepatuhan pemakai pada ketentuan yang harus diperhatikan atau dilaksanakannya. Penggunaan jamban parit sering mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama yang berhubungan dengan pencegahan pencapaian tinja oleh hewan. Karena berpotensi menimbulkan berbagai kerugian, jamban parit tidak dianjurkan untuk digunakan. Lubang di atas tanah yang digunakan pada jamban parit biasannya berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 30 x 30 cm dan kedalaman 40 cm. Tanah hasil galian ditumpuk di sekitar lubang. Diharapkan pemakai mau melemparkan tanah itu untuk menutup tinja yang telah dibuangnya. d. Jamban Gantung Jamban gantung sering digunakan di daerah yang sering atau secara berkala tertutup air, terutama air laut, atau di daerah pasang surut. Teknik itu diterapkan di perkampungan nelayan di pinggir pantai, di beberapa tempat lainnya. Kriteria pembuangan tinja saniter seperti disebutkan di atas tidak
diterapkan secara taat asas. Faktor terpenting yang harus diperhatikan adalah kadar garam air penerima, kedalamannya, dan derajat pengenceran yang mungkin dicapai. Jenis jamban itu hanya dapat dipertimbangkan penggunaannya sebagai pilihan terakhir pada keadaan yang tidak biasa. (3) Teknik yang Menggunakan Jamban untuk Situasi Khusus a. Kakus Kompos digunakan di daerah yang penduduknya suka membuat kompos dari campuran tinja dan sampah organik (jerami, limbah dapur, potongan rumput, dan sebagainya) di jamban yang digunakan. Untuk membuatnya, diperlukan dua atau lebih lubang sehingga biayanya lebih besar daripada jamban biasa. Bila dibuat dan dioperasikan tidak secara semestinya, jamban itu dapat menarik lalat yang akan bertelur pada bahan isian. Masalah bau dapat timbul dari penggunaan jamban kompos. Jamban kompos mudah pembuatannya, tetapi memerlukan pengoperasian dan pemeliharaan. Karena lubang digunakan secara bergantian, penanganan bahan isian dapat diusahakan seminimal mungkin dan dilakukan setelah selesai proses dekomposisi dan penyusutan oleh bakteri anaerob. Produk akhir seperti humus stabil, aman, dan merupakan pupuk tanaman yang baik. b. Jamban Kimia merupakan instalasi pembuangan tinja yang efesien dan memenuhi semua kriteria jamban saniter tersebut di atas, kecuali satu yaitu yang berhubungan dengan biaya. Teknik pembuangan tinja dengan jamban kimia dapat dikatakan mahal, baik biaya awal maupun pengoperasiannya. Keuntungan utama dari jamban kimia adalah dapat ditempatkan di dalam
rumah. Jamban itu sering digunakan di rumah dan sekolah di daerah yang tingkat ekonominya memungkinkan, serta pada sarana transportasi jarak jauh, baik darat, laut maupun udara. c. Jamban Kolam banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, terutama di daerah yang penduduknya banyak mengusahakan kolam atau tambak ikan. Orang yang menggunakan jamban itu memanfaatkan tinja yang dibuangnya secara langsung untuk makanan ikan yang dipeliharanya. d. Jamban Gas Bio merupakan instalasi pembuangan tinja yang memberikan keuntungan
ganda.
Apabila
dibuat,
dioperasikan,
dan
dipelihara
sebagaimana mestinya dengan memperhatikan persyaratan sanitasi pembuangan tinja, teknik pembuangan tinja itu akan mencegah penularan penyakit saluran pencernaan. Selain itu, teknik yang sama akan menghasilkan dua bahan yang bermanfaat, yakni gas bio yang dapat digunakan sebagai bahan bakar kompos yang berguna untuk menyuburkan tanaman. Tipe-tipe jamban yang sesuai dengan teknologi pedesaan antara lain sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007): 1) Jamban Cemplung, Kakus (Pit Latrine) Jamban Cemplung ini sering kita jumpai di daerah pedesaan di Jawa. Tetapi sering dijumpai jamban cemplung yang kurang sempurna, misalnya tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga mudah masuk, dan bau tidak bisa dihindari. Di samping itu, karena tidak ada rumah jamban, bila musim hujan tiba maka jamban itu akan penuh oleh air. Hal lain yang perlu
diperhatikan di sini adalah bahwa kakus cemplung itu tidak boleh terlalu dalam. Sebab bila terlalu dalam akan mengotori air tanah dibawahnya. Dalamnya pit latrine berkisar antara 1,5-3 meter saja. Sesuai dengan daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut dapat dibuat dari bambu, dinding bambu dan atap daun kelapa ataupun daun padi. Jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter. 2) Jamban Cemplung Berventilasi (Ventilasi Improved Pit Latrine = VIP Latrine) Jamban ini hampir sama dengan jamban cemplung, bedanya lebih lengkap, yakni menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedesaan pipa ventilasi ini dapat dibuat dengan bambu. 3) Jamban Empang (Fishpond latrine) Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem jamban empang ini terjadi daur-ulang (recyling), yakni tinja dapat langsung dimakan ikan, ikan dimakan orang, dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya. Jamban empang ini mempunyai fungsi yaitu di samping mencegah tercemarnya lingkungan oleh tinja, juga dapat menambah protein bagi masyarakat (menghasilkan ikan). 4) Jamban Pupuk (The Compost Privy) Pada prinsipnya jamban ini seperti kakus cemplung, hanya lebih dangkal galiannya. Di samping itu jamban ini juga untuk membuang kotoran binatang dan sampah, daun-daunan.
Prosedurnya adalah sebagai berikut: a. Mula-mula membuat jamban cemplung biasa. b. Di lapisan bawah sendiri ditaruh sampah daun-daunan. c. Di atasnya ditaruh kotoran dan kotoran binatang (kalau ada) tiap-tiap hari. d. Setelah ± 20 inchi, ditutup lagi dengan daun-daunan sampah, selanjutnya ditaruh kotoran lagi. e. Demikian selanjutnya sampai penuh. f. Setelah penuh ditimbun tanah, dan membuat jamban baru. g. Lebih kurang 6 bulan kemudian dipergunakan pupuk tanaman 5) Septic tank Latrin jenis septic tank ini merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan, oleh sebab itu, cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Septic tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, di mana tinja dan air buangan masuk dan mengalami dekomposisi. Di dalam tanki ini tinja akan berada selama beberapa hari. Selama waktu tersebut tinja akan mengalami 2 proses, yaitu: a. Proses Kimiawi Akibat penghancuran tinja akan direduksi dan sebagian besar (60%-70%) zat-zat padat akan mengendap di dalam tanki sebagai “sludge”. Zat-zat yang tidak dapat hancur bersama-sama dengan lemak dan busa akan mengapung dan membentuk lapisan yang menutup permukaan air dalam tanki tersebut. Lapisan ini disebut “scum” yang berfungsi mempertahankan suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan bakteri-
bakteri anaerob dan fakultatif anaerob dapat tumbuh subur, yang akan berfungsi pada proses berikutnya. b. Proses Biologis Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anaerob dan fakultatif anaerob yang memakan zat-zat organik alam sludge dan scum. Hasilnya, selain terbentuk gas dan zat cair lainnya, adalah juga pengurangan volume sludge, sehingga memungkinkan septic tank tidak cepat penuh. Kemudian cairan “enfluent” sudah tidak mengandung bagianbagian tinja dan mempunyai BOD yang relatif rendah. cairan enfluent ini akhirnya dialirkan keluar melalui pipa dan masuk ke dalam tempat perembesan. 2.5.5. Cara Memilih Jenis Jamban Cara memilih jenis jamban adalah (Proverawati, 2012): 1. Jamban cemplung digunakan untuk daerah yang sulit air 2. Jamban tangki septik/leher angsa digunakan untuk: a. Daerah yang cukup air b. Daerah
yang
padat
penduduk,
karena
dapat
menggunakan
“multiplelatrine” yaitu satu lubang penampungan tinja/tangki septik digunakan oleh beberapa jamban (satu lubang dapat menampung kotoran/tinja dari 3-5 jamban) c. Daerah pasang surut, tempat penampungan kotoran/tinja hendaknya ditinggikan kurang lebih 60 cm dari permukaan air pasang.
2.5.6. Syarat-Syarat Jamban Sehat Menurut Depkes RI (2007) dalam Sitinjak (2011), jamban yang memenuhi syarat adalah: 1. Kotoran tidak mencemari permukaan tanah, air tanah dan air permukaan 2. Cukup terang 3. Tidak menjadi sarang serangga (nyamuk, lalat, lipan, dan kecoa) 4. Selalu dibersihkan agar tidak menimbulkan bau yang tidak sedap 5. Cukup lobang angin 6. Tidak menimbulkan kecelakaan Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan menurut Ehlers dan Steel adalah (Entjang, 2000): a. Tidak boleh mengotori tanah permukaan. b. Tidak boleh mengotori air permukaan. c. Tidak boleh mengotori air dalam tanah. d. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai tempat lalat bertelur atau perkembang biakan vektor penyakit lainnya. e. Kakus harus terlindung dari penglihatan orang lain. f. Pembuatannya mudah dan murah.
Agar persyaratan ini dapat terpenuhi maka perlu diperhatikan antara lain (Entjang, 2000) : a. Sebaiknya jamban tertutup, artinya bangunannya terlidung dari panas hujan, serangga dan binatang lain juga terlindung dari pandangan orang. b. Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat serta tempat berpijak yang kuat. c. Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pemandangan, tidak menimbulkan bau. d. Sedapat mungkin disedikan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih. e. Sebaiknya letak jamban dari sumber air bersih adalah kurang lebih 10 meter. Suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003): 1. Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut. 2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya. 3. Tidak mengotori air tanah di sekitarnya. 4. Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa, dan binatang-binatang lainnya. 5. Tidak menimbulkan bau. 6. Mudah digunakan dan dipelihara (maintanance). 7. Sederhana desainnya. 8. Murah.
9. Dapat diterima oleh pemakainya. Agar persyaratan-persyaratan ini dapat dipenuhi, maka perlu diperhatikan antara lain hal-hal sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003): 1. Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindung dari panas dan hujan, serangga dan binatang-binatang lain, terlindung dari pandangan orang (privacy) dan sebagainya. 2. Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak yang kuat dan sebagainya. 3. Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, dan sebaginya. 4. Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih. Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri atas (Entjang, 2000): 1. Rumah kakus: agar pemakai terlindung. 2. Lantai kakus: sebaiknya ditembok agar mudah dibersihkan. 3. Slab (tempat kaki memijak waktu si pemakai jongkok). 4. Closet (lubang tempat faeces masuk). 5. Pit (sumur penampungan faeces cubluk). 6. Bidang resapan.
2.5.7. Pemeliharaan Jamban Cara Memelihara Jamban Sehat (Firmansyah, 2009): 1. Lantai jamban selalu bersih dan tidak ada genangan air 2. Bersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih 3.
Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat
4.
Tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran
5.
Tersedia alat pembersih (sabun, sikat dan air bersih)
6. Bila ada kerusakan segera diperbaiki. 2.5.8. Penentuan Letak Jamban Dalam penetuan letak jamban ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu jarak terhadap sumber air dan kakus. Penentuan jarak tergantung pada (Nhyar, 2010): 1. Keadaan daerah datar atau lereng; Bila daerahnya berlereng, kakus atau jamban harus dibuat di sebelah bawah dari letak sumber air. Andaikata tidak mungkin dan terpaksa di atasnya, maka jarak tidak boleh kurang dari 15 meter dan letak harus agak ke kanan atau kekiri dari letak sumur. Bila daerahnya datar, kakus sedapat mungkin harus di luar lokasi yang sering digenangi banjir. Andaikata tidak mungkin, maka hendaknya lantai jamban (diatas lobang) dibuat lebih tinggidari permukaan air yang tertinggi pada waktu banjir. 2. Keadaan permukaan air tanah dangkal atau dalam 3. Sifat, macam dan susunan tanah berpori atau padat, pasir, tanah liat atau kapur.
4. Arah aliran air tanah Faktor tersebut di atas merupakan faktor yang mempengaruhi daya peresapan tanah. Di Indonesia pada umumnya jarak yang berlaku antara sumber air dan lokasi jamban berkisar antara 8 s/d 15 meter atau rata-rata 10 meter. Dalam penentuan letak jamban ada tiga hal yang perlu diperhatikan (Nhyar, 2010): 1. Bila daerahnya berlereng, kakus atau jamban harus dibuat di sebelah bawah dari letak sumber air. Andaikata tidak mungkin dan terpaksa di atasnya, maka jarak tidak boleh kurang dari 15 meter dan letak harus agak ke kanan atau kekiri dari letak sumur. 2. Bila daerahnya datar, kakus sedapat mungkin harus di luar lokasi yang sering digenangi banjir. Andaikata tidak mungkin, maka hendaknya lantai jamban (diatas lobang) dibuat lebih tinggidari permukaan air yang tertinggi pada waktu banjir. 3. Mudah dan tidaknya memperoleh air. 2.6. Perilaku Kesehatan Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan.
Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok (Notoatmodjo, 2003): 1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintance) Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek. a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit. b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. 2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). 3. Perilaku kesehatan lingkungan Adalah sebagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah, dan sebagainya.
Becker (1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membedakannya menjadi tiga, yaitu (Notoatmodjo, 2005): 1. Perilaku sehat (healthy behavior) Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, antara lain (Notoatmodjo, 2005): a. Makan dengan menu seimbang (appropriate diet). b. Kegiatan fisik secara teratur dan cukup. c. Tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba. d. Istirahat yang cukup. e. Pengendalian atau manajemen stres. f. Perilaku atau gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan. 2. Perilaku sakit (Illnes behavior) Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit dan/atau terkena masalah kesehatan pada dirinya atau keluarganya, untuk mencari penyembuhan, atau untuk mengatasi masalah kesehatan yang lainnya. 3. Perilaku peran orang sakit (the sick role behavior) Menurut Becker, hak dan kewajiban orang yang sedang sakit adalah merupakan perilaku peran sakit.
Perilaku peran orang sakit ini antara lain: a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan. b. Tindakan untuk mengenal atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk memperoleh kesembuhan. c. Melakukan kewajibannya sebagai pasien antara lain mematuhi nasihatnasihat dokter atau perawat untuk mempercepat kesembuhannya. d. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhannya. e. Melakukan kewajiban agar tidak kambuh penyakitnya, dan sebagainya. 2.6.1. Domain Perilaku Berdasarkan pembagian domain perilaku Bloom dikembangkan 3 tingkatan ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmojdo, 2005): 1.
Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan adalah penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkatan pengetahuan, yaitu (Notoatmodjo, 2005): a. Tahu (know) Tahu diartikan hanya sebagi recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa jamban adalah tempat membuang air besar.
b. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek buka sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar
dapat
menyebutkan,
tetapi
orang
tersebut
harus
dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi lain. d. Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antar komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. 2.
Sikap (atitude) Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Menurut Allport (1954) sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu: a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkattingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut: a. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).
b. Menanggapi (responding) Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. c. Menghargai (valuing) Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons. d. Bertanggung jawab (responsible) Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakini. 3.
Tindakan atau Praktik (Practice) Tingkat-tingkat Praktik (Notoatmodjo, 2007): a. Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama. b. Praktik terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua. c. Praktik secara mekanisme (mechanism) Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
d. Adopsi (adoption) Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut. 2.6.2. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan Menurut Green dalam Notoatmodjo (2005), ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kesehatan baik individu maupun masyarakat, yaitu: a. Faktor-faktor pemudah (predisposing factor), yaitu faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Adapun yang menjadi faktor pemudah dalam penelitian ini adalah: pengetahuan, sikap, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, budaya. b. Faktor-faktor pendukung (enabling factor), adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. Adapun yang menjadi faktor pendukung dalam penelitian ini adalah: jarak rumah dari tempat pembuangan tinja, dan biaya. c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), adalah faktor-faktor yang mendorong atau mempercepat terjadinya perilaku. Adapun yang menjadi pendorong dalam penelitian ini adalah: perilaku petugas kesehatan/peran petugas kesehatan.
2.7.
Upaya Pengadaan Jamban
2.7.1. Upaya Oleh Pemerintah a. STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) STBM adalah pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan (Depkes RI, 2008). Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Tanggal 9 September 2008, Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, sanitasi total adalah kondisi suatu komunitas yang telah mencapai lima pilar (Rye, 2010) : 1. Tidak Buang Air Besar (BAB) sembarangan (Stop BABS) 2. Mencuci tangan pakai sabun (CTPS) 3. Mengelola air minum dan makanan yang aman 4. Mengelola sampah dengan benar 5. Mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman Prinsip pembiayaan dalam kegiatan STBM adalah meniadakan subsidi bagi masyarakat untuk penyediaan fasilitas (sarana) sanitasi dasar, yang meliputi sarana buang air besar (jamban), sarana tempat cuci tangan (TCT), sarana pengelolaan air minum rumah tangga, sarana tempat pembuangan sampah (TPS), dan sarana pembuangan air limbah (SPAL).
Pokok-pokok pembiayaan STBM dilaksanakan melalui (Rye, 2010): 1) Menggali potensi masyarakat untuk membangun sarana sanitasi secara mandiri. 2) Mengembangkan solidaritas sosial (gotong royong). 3) Menyediakan subsidi diperbolehkan, apabila untuk pembangunan fasilitas sanitasi komunal. Untuk daerah pedesaan dilakukan upaya peningkatan perilaku higienis dan peningkatan akses sanitasi dasar (jamban keluarga) melalui kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) (Biro Kepegawaian Setjen Kemenkes RI, 2011). b.
PNPM (Program Nasional Pemberdayan Masyarakat) Mandiri Perdesaan PNPM
Mandiri
Perdesaan
adalah
program
untuk
mempercepat
penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan PNPM
Mandiri
Perdesaan
merupakan
pengembangan
dari
Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat. Visi PNPM Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat.
Kemandirian
berarti
mampu
mengorganisir
diri
untuk
memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut
untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan (Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2008). Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Tujuan khususnya meliputi (Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2008): a. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan. b. Melembagakan
pengelolaan
pembangunan
partisipatif
dengan
mendayagunakan sumber daya lokal. c. Mengembangkan
kapasitas
pemerintah
pengelolaan pembangunan partisipatif.
desa
dalam
memfasilitasi
d. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat. e. Melembagakan pengelolaan dana bergulir. f. Mendorong terbentuk dan berkembangnya Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) g. Mengembangkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan. Melalui program pembangunan yang direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh masyarakat ini, warga dapat melestarikan kegiatan dan bahkan melahirkan inovasi sehingga memunculkan kegiatan pengembangannya yang bermanfaat terutama bagi masyarakat miskin. Selain membantu dalam penyediaan sarana air besih, juga mampu mengatasi persoalan lain dengan mengembangkan kegiatan pendukung untuk meningkatkan kesehatan lingkungan di desa melalui penyediaan jamban keluarga (Anonimous, 2010). c. Program Pekan Sanitasi Pekan Sanitasi adalah pekan di mana masyarakat yang belum memiliki jamban dan sarana air bersih, dapat melaksanakan pembangunan jamban dan sarana sanitasi secara serentak. Pekan Sanitasi merupakan bagian dari kegiatan Gerakan Jum’at Bersih (GJB) yang dicanangkan tahun 1994, Gerakan Jum’at Bersih ini bertujuan untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat melalui kegiatan keagamaan dan sosial. Tujuannya adalah untuk meningkatkan cakupan pemanfaatan jamban dan air bersih untuk melindungi masyarakat dari ancaman penyakit menular terutama diare.
Khususnya untuk meningkatkan jumlah keluarga yang memiliki jamban dan sarana air bersih, meningkatkan jumlah keluarga yang memanfaatkan dan memelihara kebersihan
jamban
dan
memelihara
sarana
air bersih,
meningkatkan jumlah keluarga yang mampu melakukan upaya rehidrasi oral ( URO) dan terapi rumah tangga untuk penderita diare. Pelaksanaan Pekan Sanitasi harus didukung secara gencar dengan kegiatan kampanye dan penyuluhan kegiatan melalui jalur media elektronik dan non elektronik untuk mendapatkan dukungan politis dari semua pihak, untuk terciptanya suasana dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan kampanye dan penyuluhan ini akan dilaksanakan sebelum hari H dan setelah hari H pada setiap tahapan (Maret, Juli dan November). Pada tahap awal Pekan Sanitasi dilaksanakan di daerah kerjasama RI-UNICEF, tahap berikutnya akan dilaksanakan seluruh Indonesia (Syafei, 2009). 2.7.2. Upaya Oleh Masyarakat a. Dana Sehat Untuk mencapai derajat kesehatan optimal diperlukan berbagai upaya sebagai peran dari masyarakat. Salah satu upaya adalah dana sehat. Dana Sehat merupakan kegiatan masyarakat secara gotong royong dalam mengumpulan dana untuk membantu anggotanya dalam upaya pemeliharaan kesehatan. Dana sehat tidak hanya digunakan untuk kesehatan, tapi juga digunakan untuk perbaikan rumah, membangun jamban, sumber air bersih dan sebagainya (Syafrudin, 2011).
Manfaat yang dapat dirasakan dengan adanya dana sehat adalah (Anonimous, 2012): 1. Adanya biaya untuk pelayanan kesehatan 2. Proses pelayanan kesehatan akan lebih baik 3. Adanya dana yang cukup untuk menunjang pembangunan kesehatan di daerahnya 4. Terjalin hubungan yang lebih baik dan rasa kebersamaan. Suatu cara pengumpulan premi dari anggota sangat bervariasi antara dana sehat yang satu dengan yang lain: 1. Berupa Uang. Pola ini mudah diterima bagi kelompok masyarakat yang sudah maju atau sering berhubungan dengan dunia luar, meskipun demikian cara pengumpulannya cukup bervariasi. 2. Berupa Barang. Pembayaran premi dengan dalam bentuk barang, antara lain hasil pertanian, perkebunan yang dikonversi dalam bentuk nilai uang 3. Dari Sisa Hasil Premi. Premi ini hanya dimiliki dengan peserta yang bergabung dengan koperasi. Karena pada akhir tahun koperasi menghitung Sisa Hasil Usaha (SHU) kemudian atas kesepakatan anggota sebagian dana dari SHU digunakan untuk membayar premi. 4. Berupa Tenaga atau Upah Kerja. Premi dibayar dengan memberikan jasa dalam bentuk tenaga seseorang yang diberi upah, upah tersebut dibayarkan ke Kas Dana Sehat.
Adapun prinsip penyelenggaraan dana sehat yaitu (Anonimous, 2012): 1. Ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat 2.
Didasarkan pada peran serta masyarakat
3. Mengupayakan pelayanan kesehatan yang bersifat paripurna 4. Mengusahakan terselenggaranya suatu pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan 5. Mengusahakan terselenggaranya suatu perkumpulan iuran atau premi 6. Mengusahakan keterlibatan masyarakat melalui musyawarah mufakat dan senantiasa mengutamakan kepentingan peserta dan berusaha memberikan rasa aman dan puas. b. Arisan Jamban Masyarakat desa menyelenggarakan arisan jamban untuk mempercepat pembangunan jamban di setiap rumah warga desa. Melalui arisan tersebut maka pembangunan jamban bagi warga yang belum memiliki lebih cepat terealisasi dan dananya tidak terlalu memberatkan warga (Yayasan Insan Sembada, 2010). Masyarakat membentuk kelompok arisan jamban keluarga, dimana setiap kelompok beranggotakan beberapa rumah tangga. Iuran bulanannya ditetapkan berapa per bulan dengan demikian dalam sebulan terkumpul biaya untuk membangun satu jamban. Jika warga mendapat arisan jamban, maka dananya itu dipakai untuk membangun jamban keluarga. Misalnya, diawali dengan membentuk sejumlah kelompok arisan jamban keluarga di mana setiap kelompok beranggotakan sepuluh rumah. Iuran bulanannya adalah empat puluh ribu rupiah per rumah dengan demikian dalam
sebulan terkumpul empat ratus ribu rupiah yang cukup untuk membangun satu jamban sederhana (Syam, 2011).
2.8. Kerangka Konsep
Faktor Pemudah 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendidikan Pekerjaan Penghasilan Pengetahuan Sikap Budaya
Faktor Pendukung 1. Jarak Rumah dari Tempat Pembuangan Tinja 2. Biaya Tidak Tersedianya Jamban Keluarga
Faktor Pendorong 1. Peran Petugas Kesehatan
Upaya Pengadaan Jamban
Gambar 2.3. Kerangka Konsep