BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Tinjauan Tentang Konsep Hukuman
2.1.1
Pengertian Hukuman Beberapa perilaku yang tidak sesuai memerlukan penanganan segera,
misalnya perilaku yang dapat mengganggu pembelajaran di kelas atau mencerminkan rasa tidak hormat terhadap hak-hak dan keselamatan individu lain. Dalam kasus seperti itu, kita tidak hanya menunggu perbaikan yang perlahan-lahan seiring waktu tetapi dengan memberikan hukuman kepada individu atas pelanggarannya. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang definisi hukuman. Diantaranya Ormrod (2008) mengemukakan hukuman (punishment) adalah suatu konsekuensi yang menurunkan frekuensi respons yang mengikutinya. Semua konsekuensi yang berupa hukuman terdiri dari dua kategori, hukuman
penghadiran
(presentation
punishment),
yaitu
hukuman
yang
menghadirkan suatu stimulus baru, mungkin sesuatu yang tidak diingini atau disenangi individu. Teguran dan dahi yang mengernyit, bila berhasil mengurangi perilaku yang dituju, merupakan contoh hukuman penghadiran. Hukuman penghilangan (removal punishment) adalah hukuman berupa penghilangan suatu stimulus atau keadaan yang ada, mungkin stimulus yang disenangi individu kehilangan kesenangan atau hak istimewa, denda, atau penalti (misalnya kehilangan uang atau poin yang telah diperoleh), dan dibiarkan sendiri (misalnya dibatasi
untuk
berpartisipasi
dalam
kegiatan-kegiatan
tertentu
yang
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menyenangkan
diluar
ruangan)
merupakan
contoh-contoh
hukuman
penghilangan (Ormrod, 2008). Hukuman merupakan penyajian stimulus yang tidak menyenangkan untuk menghilangkan dengan segera perilaku individu yang tidak diharapkan, sehingga hukuman dapat pula diartikan suatu bentuk sanksi yang diberikan kepada individu baik sanksi fisik maupun psikis apabila individu melakukan kesalahankesalahan atau pelanggaran yang sengaja dilakukan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan (Dharmawan, 2010). Purwanto
(2004)
mengemukakan
juga
bahwa
“hukuman
adalah
perbuatan yang diberikan dan ditimbulkan dengan sengaja oleh individu (orangtua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan”. Berdasarkan pengertian hukuman diatas dapat disimpulkan bahwa hukuman adalah suatu bentuk sanksi yang diberikan pada anak baik sanksi fisik maupun psikis apabila anak melakukan kesalahan-kesalahan atau pelanggaran yang sengaja dilakukan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan.
2.1.2 Macam-macam Hukuman Pada prinsipnya hukuman diberikan karena ada pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh individu. Jadi hukuman itu merupakan suatu akibat dari pelanggaran dan sebagai titik tolak untuk mengadakan perbaikan. Oleh karena itu para ahli hukum mengemukakan pandangannya tentang macammacam hukuman atau teori-teori hukuman. Salah satunya adalah teori hukuman yang dikemukakan oleh Purwanto (2004), yaitu sebagai berikut :
10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
a.
Teori Pembalasan Hukuman
diadakan
sebagai
pembalasan
terhadap
kelalaian
dan
pelanggaran yang telah dilakukan oleh individu. b.
Teori Perbaikan Hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan, untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan itu lagi.
c.
Teori Perlindungan Hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Dengan adanya hukuman ini masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh pelanggar.
d.
Teori Ganti Rugi Hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan-kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran itu.
e.
Teori Menakut-nakuti Hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga selalu takut melakukan perbuatan itu dan ingin meninggalkannya. Lebih lanjut Purwanto (2004) membagi hukuman untuk pembinaan perilaku seseorang dapat diterapkan ke dalam empat bentuk, yaitu: 1. Hukuman fisik, misalnya: mencubit, menampar, memukul dengan kayu. 2. Hukuman dengan kata-kata atau kalimat yang tidak menyenangkan, misalnya teguran, ancaman, sindiran, cemooh. 3. Hukuman dengan stimulus fisik yang tidak menyenangkan, misalnya mencemberuti. 11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4. Hukuman dalam bentuk kegiatan yang tidak menyenangkan, misalnya berdiri di depan kelas, dikeluarkan dari kelas, didudukkan di samping guru. Piaget (dalam Ormrod, 2008) juga mengemukakan bahwa hukuman diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu : a.
Hukuman yang bersifat ekspiatorik (expiatory punishment) Hukuman ini tidak hanya dikaitkan dengan bobot tindakan yang salah, tetapi
harus
melibatkan
pertimbangan
yang
wajar
antara
bobot
pelanggaran penderitaan si pelanggar. Misalnya menampar, memukul. b.
Hukuman yang bersifat resprositas Hukuman senantiasa dikaitkan dengan tindak kesalahannya. Dengan hukuman ini pelanggar aturan dapat mengetahui akibat-akibat dari tindakan yang salah. Hukuman ini disertai ganti rugi dan mengenal pengucilan.
2.1.3
Syarat-syarat Pemberian Hukuman Pemberian hukuman (punishment) tidak dapat dan tidak boleh dilakukan
sewenang-wenang sesuai kehendak individu. Menghukum itu adalah suatu perbuatan yang tidak bebas, selalu mendapat pengawasan dari negara dan masyarakat. Hukuman yang bersifat pendidikan (pedagogis) harus memenuhi syarat-syarat tertentu (Purwanto, 2004). Hukuman sebagai salah satu metode pendidikan yang mendapat perhatian besar dari para pendidik muslim, seperti: Ibnu Sina, al-Ghozali, Ibnu Khaldun, dan al-Abadari. Mereka berpendapat bahwa menjaga (tindakan preventif) lebih baik dari pada mengobati (tindakan kuratif) (Nata, 2007).
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Skinner (1977) pada teori behavioristik menjelaskan teori operant conditioning (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. Teori ini diteliti Pavlov dan dikembangkan Skinner. Skinner (1977) berpendapat setiap suatu tindakan yang telah dibuat ada konsekuensinya, penghargaan untuk tindakan yang benar, hukuman untuk yang salah (dalam Alwisol, 2009). Hukuman merupakan tindakan yang paling akhir diambil apabila teguran dan peringatan belum mampu mencegah individu melakukan pelanggaranpelanggaran. Gordon (1996) mengatakan bahwa “hukuman harus dikelola dengan keahlian yang
tinggi agar
efektif dalam
mengontrol individu”.
Berdasarkan pendapat tersebut, dalam memberikan hukuman tidak bisa dilakukan secara sewenang-wenang melainkan harus mengikuti prosedur tertentu untuk keberhasilan hukuman tersebut. Ormrod (2008) mengemukakan bahwa kritik yang sering dilontarkan terhadap penggunaan hukuman adalah hukuman itu tidak manusiawi atau bagaimanapun juga kasar dan kejam. Memang beberapa bentuk hukuman seperti hukuman fisik dan penghinaan di depan banyak individu itu tidak manusiawi, sehingga harus hati-hati dalam menggunakan hukuman di kelas. Meski demikian, bila dijalankan dengan bijaksana, beberapa bentuk hukuman yang ringan dapat membuat perilaku yang tidak sesuai berkurang cepat tanpa menyebabkan gangguan fisik ataupun psikologis. Lerman & Vorndran, (2002) mengatakan bahwa ketika individu dapat mengurangi dengan cepat dan efektif perilaku yang kontraproduktif di kelas khususnya ketika perilaku itu merugikan diri sendiri dan individu lain. Hukuman dalam kenyataannya dapat menjadi salah satu pendekatan yang paling manusiawi yang dapat kita gunakan (dalam Ormrod, 2008). 13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.1.4
Fungsi hukuman Hukuman yang diberikan guru terhadap individu yang melakukan
pelanggaran ditujukan untuk membangkitkan rasa rendah hati dan individu mau mengakui kesalahannya serta bersedia memperbaikinya. Dengan demikian hukuman berfungsi untuk memperkenalkan kepada individu mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tidak baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Kartono (dalam Dharmawan, 2010) yang mengungkapkan hukuman mempunyai fungsi sebagai berikut : a.
Untuk
memperbaiki
individu
yang
bersangkutan
agar
menyadari
kekeliruannya dan tidak mengulanginya lagi. b.
Melindungi pelakunya agar tidak melanjutkan pola tingkah laku yang menyimpang, buruk, dan tercela.
c.
Sekaligus juga melindungi masyarakat luar dari perbuatan-perbuatan salah (nakal, jahat, asusila, kriminal, abnormal, dll) yang dilakukan oleh individu atau individu dewasa. Berdasarkan pendapat para ahli tentang fungsi hukuman di atas, dapat
disimpulkan bahwa hukuman berfungsi untuk memberikan petunjuk kepada individu tentang mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Hukuman hanya juga diberikan karena adanya pelanggaran dan mencegah agar pelanggaran tersebut tidak terjadi lagi dengan kata lain hukuman ini berfungsi untuk memperbaiki. Dalam dunia pendidikan, hukuman dapat menjadi alat motivasi atau alat pendorong agar individu dapat menampilkan perilaku yang baik dikelas, untuk itu hukuman yang diberikan harus bersifat dan bernilai mendidik.
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.2
Tinjauan Tentang Agresivitas
2.2.1 Pengertian Agresivitas Secara sepintas setiap perilaku yang merugikan atau menimbulkan korban pada pihak lain dapat disebut sebagai perilaku agresif. Myers (dalam Sarwono, 1997) mengatakan tingkah laku agresif adalah tingkah laku fisik atau lisan yang bermaksud untuk melukai atau merugikan individu lain. Agresi berbeda dengan marah, dimana agresi memiliki tujuan yang diarahkan sedangkan marah merupakan sensasi perasaan yang dirasakan. Menurut Dollar dan Miler (dalam Sarwono, 2002) Agresi merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi. “Agression is any form of behavior that is intended to injure someone physically of psychology” (Berkowitz, 1993). Agresi merupakan suatu bentuk perilaku yang mempunyai niat tertentu untuk melukai secara fisik atau psikologis pada diri individu lain. Murray (dalam Hall dan Lindzey,1995) mengatakan bahwa agresi adalah suatu cara untuk mengatasi perlawanan dengan kuat atau menghukum individu lain. Menabrak individu hingga tewas, atau individu yang tidak sengaja menginjak kaki individu lain di bus yang sesak, tidak tergolong berperilaku agresif. Sementara guru yang memarahi siswa/siswinya, ibu yang memaki-maki atau fitnah tetangganya, atau individu yang sengaja menyepak muka temannya adalah agresif. Teori belajar sosial yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Bandura (1986) yaitu
pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar
perilaku yang tradisional. Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada 15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kesan dan isyarat-isyarat perubahan perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement
eksternal dan
penjelasan-penjelasan
kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus-stimulus lingkungan. Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan, lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan, yaitu: 1. Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain. 2. Pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan model itu, mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Jadi, menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial (dalam Alwisol, 2009). 16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tingkah laku agresi merupakan tingkah laku pelampiasan dari perasaan individu yang dapat dilakukan secara fisik maupun verbal dengan maksud untuk menentang, melukai, atau mencelakai individu lain secara fisik maupun psikologis pada individu lain.
2.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Agresivitas Menurut Davidoff (dalam Nurhayati, 2012) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku agresif pada remaja (siswa-siswi), yaitu : a.
Faktor Biologis. Faktor ini merupakan dorongan-dorongan yang berasal dari dalam diri individu. Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi, yaitu faktor gen, faktor sistem otak dan faktor kimia berdarah. Berikut ini uraian singkat dari faktor-faktor tersebut : 1)
Gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan mudah marah dibandingkan dengan betinanya.
2)
Sistem otak yang terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau mengendalikan agresi.
3)
Kimia darah. Kimia darah khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan mempengaruhi perilaku agresi.
b.
Faktor Belajar Sosial. Berbeda dengan faktor biologis, faktor belajar sosial ini lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar diri individu. White & Humphrey (1994) mendapatkan bahwa wanita-wanita yang agresif telah 17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mengalami sendiri perlakuan agresif terhadap dirinya, baik yang diperoleh dari orangtua, guru, teman pria, maupun pacarnya. Contoh : siswa-siswi dengan menyaksikan perkelahian (tawuran) dan pembunuhan di sekolah meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut untuk siswa-siswi yang melihatnya karena mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung.
c.
Kesenjangan Generasi, Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi
yang
semakin
minimal
dan
seringkali
tidak
nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. d.
Faktor lingkungan, Perilaku agresi disebabkan oleh beberapa faktor. Berikut uraian singkat mengenai faktor-faktor tersebut : 1)
Kemiskinan.
Bila
individu
yang
dibesarkan
dalam
lingkungan
kemiskinan, maka perilaku agresi pada dirinya secara alami mengalami peningkatan. 2)
Anonimitas. Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya, dan bermacam informasi yang sangat luar biasa besarnya. Individu secara otomatis cenderung
berusaha
untuk
beradaptasi
dengan
melakukan
penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indera kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu individu dengan individu lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap 18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila individu merasa anonim, ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada individu lain. 3)
Suhu udara yang panas dan kesesakan. Suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas.
e.
Faktor Amarah, merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyatanyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, 1991). Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi.
f.
Faktor frustrasi, terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
g.
Proses Pemberian Hukuman yang berlebihan, pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman yang berlebihan, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja di sekolah (siswa-siswi) (Sukadji, 1988). 19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pemberian hukuman seperti itu akan membuat siswa-siswi menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain,
dan membeci orang yang
memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Sedangkan menurut Sarwono & Meinarno (2009) menjelaskan penyebab timbulnya agresi pada individu, antara lain : a.
Faktor Sosial Frustasi, terhambatnya atau tercegahnya upaya mencapai tujuan kerap menjadi penyebab agresi. Ketika individu gagal dalam menyelesaikan ujian dengan baik, ia akan merasa sedih, marah, bahkan depresi. Dalam keadaan seperti itu, besar kemungkinan ia akan menjadi frustasi dan mengambil tindakan-tindakan yang bernuansa agresi, seperti penyerangan terhadap individu lain. Kondisi ini menjadi mungkin dengan pemikiran bahwa agresi yang dilakukan individu tadi dapat mengurangi marah yang ia alami (Bushman, Baumeister dan Philips, 2001 dalam Taylor, Peplau, dan Sears, 2009). Agresi tidak selalu muncul karena frustasi. Hukuman verbal atau fisik juga menjadi salah satu penyebab agresi. Contohnya kasus pemukulan tujuh siswa terhadap kepala sekolah yang terjadi SMK Muhammadiyah 1 Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pemukulan ini terjadi karena kekecewaan salah seorang siswa yang tidak naik kelas sehingga siswa tersebut menjadi frustasi (Kompas, 2008). Individu cenderung untuk membalas dengan derajat agresi yang sama atau sedikit lebih tinggi daripada yang diterimanya/balas dendam karena perlakuan yang dilakukan oleh gurunya tersebut tidak seimbang dengan hasil belajar siswa/siswi. Menyepelekan 20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dan merendahkan sebagai ekspresi sikap arogan atau sombong adalah prediktor yang kuat bagi munculnya agresi. Faktor sosial lainnya adalah alkohol (Baron dan Byrne, 1994; Taylor; Peplau, Sears, 2009; Gross, 1992). Kebanyakan hasil penelitian yang terkait dengan konsumsi alkohol menunjukkan kenaikan agresivitas (Hull dan Bond, dalam Taylor, Peplau, Sears, 2009; Gross, 1992; Madianung, 2003 dalam Sarwono, 2002). Contohnya : individu yang mengkonsumsi alkohol di sekolah membuatnya marah (agresif) saat ditegur oleh gurunya. Ini terlihat bahwa alkohol meningkatkan perilaku agresif hingga kriminalitas.(Murdoch, Pihl dan Ross, 1990 dalam Garret 2003). b.
Faktor Personal Faktor personal ini meliputi : 1. Pola tingkah laku berdasarkan kepribadian. Individu dengan pola tingkah laku A cenderung lebih agresif daripada individu dengan pola tingkah laku B. Tipe A identik dengan karakter terburu-buru dan kompetitif (Gifford R, 1997; Barron dan Byrne, 1994; Taylor, 1999). Tingkah laku yang ditunjukkan oleh individu dengan tipe B adalah bersikap sabar, kooperatif, nonkompetisi, dan nonagresif (Fieldman, 2008). Individu dengan tipe A cenderung lebih melakukan hostile aggression (agresi yang bertujuan melukai atau menyakiti individu lain). Di sisi lain, individu dengan tipe B cenderung lebih melakukan instrumental aggression (tingkah laku agresif yang dilakukan karena ada tujuan utama dan tidak ditujukan untuk melukai atau menyakiti individu lain). 2. Narsisme juga menjadi salah satu penyebab timbulnya agresi, dimana ini sudah diteliti oleh Bushman dan Baumeter (1988). Hasilnya individu 21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang narsis memiliki tingkat agresivitas lebih tinggi. Hal ini dikarenakan dirinya merasa terancam jika ada individu lain yang mempertanyakan dirinya, maka kemudian yang terwujud adalah tingkah laku agresif. 3. Perbedaan jenis kelamin. Sering diungkapkan bahwa laki-laki lebih agresif daripada perempuan (Haddad dan Glassman, 2004; Feldma, 2008). Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Bandura (Jarvis, 2000) menguatkan premis tersebut. c.
Kebudayaan Penyebab timbulnya agresi adalah faktor kebudayaan. Ini diperkuat oleh pendapat beberapa ahli dari berbagai bidang ilmu seperti antropologi dan psikologi, seperti Segall, Dasen, Berry dan Portinga, (1999); Kottak (2006); Gross (1992); Price dan Crapo (2002 dalam Haddad dan Glassman, 2004) mengenai faktor kebudayaan terhadap agresi. Lingkungan geografis, seperti pantai/pesisir, menunjukkan karakter lebih keras daripada masyarakat yang hidup di pedalaman. Nilai dan norma yang mendasari sikap dan tingkah laku di dalam masyarakat juga berpengaruh terhadap agresivitas satu kelompok.
d.
Situasional Individu yang berkata cuaca yang cerah juga membuat hati yang cerah, tampaknya ide itu tidak berlebihan dan dipercayai oleh para pramusaji di Amerika Serikat. Penelitian terkait dengan cuaca dan tingkah laku menyebutkan
bahwa
ketidaknyamanan
akibat
panas
menyebabkan
kerusuhan dan bentuk-bentuk agresi lainnya (Harries K, Stadler, 1983 dalam Gifford, 1997). Sudah sejak lama kita mendengar individu berkata “kondisi cuaca yang panas lebih sering memunculkan aksi agresif”. Hal yang paling sering muncul ketika udara panas adalah timbulnya rasa tidak 22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
nyaman yang berujung pada meningkatnya agresi sosial (Harries K dan Stadler, 1984 dalam Gifford, 1997). e.
Sumber Daya Individu senantiasa ingin memenuhi kebutuhannya. Salah satu pendukung utama kehidupannya adalah daya dukung alam. Daya dukung alam terhadap kebutuhan individu tak selamanya mencukupi. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya lebih untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Diawali dengan tawar-menawar, jika tidak tercapai kata sepakat, maka akan terbuka dua kemungkinan besar, pertama, mencari sumber pemenuhan kebutuhan lain, kedua, mengambil paksa dari pihak yang memilikinya.
f.
Media Massa Kasus yang muncul dari video 'Ariel’ yang tersebar ditiru oleh dua individu di Surabaya yang bernama Robi (14 tahun) dan Roni 10 tahun dengan melakukan hal yang serupa dengan kasus ‘Ariel’ terhadap individu yang berusia 9 tahun secara paksa. Ini terjadi setelah individu tersebut menonton video adegan porno tersebut. Oleh karena itu, ketika melakukan perilaku agresif (penganiayaan), dua individu tersebut mengakui setelah menonton video tersebut. Pengakuan Robi dan Roni ini merupakan hasil dari pemeriksaan Tim Kepolisian Surabaya. Menurut Ade E. Mardiana, tayangan dari televisi berpotensi besar diimitasi oleh pemirsanya (Kompas, 2008), khusus untuk televisi yang merupakan media tontonan dan secara alami mempunyai kesempatan lebih bagi pemirsanya untuk mengamati apa yang disampaikan secara jelas. Oleh karena itu, kemudian dilakukan penelitian tentang hubungan kekerasan dan televisi
dengan
mengajukan
hipotesis
“mengamati kekerasan akan 23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
meningkatkan agresivitas” (Hadad dan Glassman, 2004). Beberapa penelitian tentang televisi dan kekerasan telah banyak dilakukan, baik di luar maupun di dalam negeri. Secara teoritis, penjelasan dari kajian ini adalah teori belajar sosial.
2.2.3 Jenis-jenis Agresivitas Agresi banyak macamnya, sementara dampaknya dapat sangat serius pada korban. Kita perlu membedakan berbagai jenis agresi sehingga kita dapat membedakan perilaku agresif mana yang merugikan, mana yang kurang merugikan, dan bahkan yang justru diperlukan oleh masyarakat. Jadi, agresi tidak selalu berdampak negatif. Secara umum Myers (1996) membagi agresi dalam dua jenis, yaitu : agresi rasa benci atau agresi emosi (hostile aggression) dan agresi sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental aggression). Jenis agresi yang pertama adalah ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif dalam jenis pertama ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri. Jadi, agresi sebagai agresi itu sendiri. Oleh karena itu, agresi jenis ini disebut juga agresi jenis panas. Akibat dari jenis ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan pelaku memang tidak peduli jika akibat perbuatannya lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat. Contohnya adalah pelajar yang berkelahi massal karena ada temannya yang disakiti (dipukuli) (dalam Sarwono, 2002). Jenis agresi instrumental pada umumnya tidak disertai emosi. Bahkan, antara pelaku dan korban kadang-kadang tidak ada hubungan pribadi. Agresi di sini hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain. Contohnya yaitu, polisi
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menembak kaki tahanan yang mencoba kabur dan sebagainya (dalam Sarwono, 2002). Dengan demikian, kedua jenis agresi itu berbeda karena tujuan yang mendasarinya.
Jenis
pertama
semata-mata
untuk
pelampiasan
emosi,
sedangkan agresi jenis kedua dilakukan untuk mencapai tujuan lain. Walaupun demikian, memang kedua jenis agresi itu tidak selalu dapat dibedakan dengan tegas. Orang yang memperkosa wanita, bisa karena didasari oleh perasaan benci dan dendam terhadap korban (seperti seorang laki-laki memperkosa bekas pacarnya karena cintanya ditolak), tetapi juga dapat untuk menyalurkan nafsu seksual
semata-mata
(seperti
serdadu
yang
memperkosa
tawanan
perempuannya). Oleh karena itu, pembagian yang masih umum tersebut perlu diperinci lebih lanjut. Pembagian yang lebih rinci itu, antara lain dikemukakan oleh Morgan, King, Weisz, & Schopler, 1986 (dalam Rosmasuri, 2004). Sehubungan dengan tipe hostile aggression, manusia memiliki suatu perangkat khusus yang dikategorikan dalam suatu kerangka, antara lain : 1. Bentuk fisik – verbal : fisik jika perilaku ditampilkan dalam bentuk melukai tubuh orang lain. Verbal jika individu menyerang dengan menggunakan kata-kata. 2. Bentuk aktif – pasif : aktif bila perilaku agresif ditampilkan dalam bentuk tindakan yang tampak. Pasif jika individu tidak mau untuk menampilkan reaksi yang dibutuhkan. 3. Bentuk langsung – tidak langsung : langsung jika individu memperlihatkan perilaku agresif secara fisik antara individu dengan target agresi. Tidak
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
langsung jika kontak antara individu dengan target agresi tidak terjadi melalui tatap muka.
Penggolongan bentuk-bentuk agresi menurut Morgan, King, Weisz, & Schopler, 1986 (dalam Nurhayati, 2012) tersebut digolongkan menjadi delapan indikator yaitu: a.
Fisik, aktif, langsung : Perilaku agresif fisik yang atau
dilakukan
individu
kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan
individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung. Contoh : Mendorong, memukul, atau menembak orang lain. b.
Fisik, aktif, tidak langsung : Perilaku agresif fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok lain dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya. Contoh : merusak barang orang lain.
c.
Fisik, pasif, langsung : Perilaku agresif fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak
terjadi kontak fisik secara
langsung. Contoh : demonstrasi, aksi diam. d.
Fisik, pasif, tidak langsung : Perilaku agresif fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok lain dengan cara tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung. Contoh : tidak peduli, apatis.
e.
Verbal, aktif, langsung : Perilaku agresif verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung 26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dengan individu atau kelompok lain. Contoh : Menghina, mengejek, dan merendahkan orang lain di hadapan orang banyak. f.
Verbal, aktif, tidak langsung : Perilaku agresif verbal yang dilakukan individu
atau
kelompok lain yang menjadi targetnya. Contoh :
Menyebarkan fitnah.. g.
Verbal, pasif, langsung : Perilaku agresif verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan dengan individu atau kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung. Contoh : menolak berbicara ke orang lain, menolak menjawab pertanyaan, dll.
h.
Verbal, pasif, tidak langsung : Perilaku agresif verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung. Contoh : tidak memberi dukungan.
27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut Morgan, King, Weisz, & Schopler, 1986 (dalam Rosyidi, 2008) jenis agresi sebagai berikut : Tabel 2.1 Dimensi agresi Dimensi
Aspek
Indikator
1. Agresi 1.1 Verbal
Perilaku di saat kita diganggu oleh individu (orang) lain
- Agresi verbal (mengumpat, mencerca) saat kita diganggu oleh orang lain.
1.2
Sikap kita terhadap orang yang menjadi saingan
- Menghasut orang lain untuk memusuhi orang yang menjadi saingan.
1.3
Sikap kita di saat menerima saran & kritik dari orang yang lebih kita hormati
- Perilaku agresi (mengomel, membantah) saat menerima saran & kritik dari orang yang kita hormati.
1.4
Sikap kita saat emosi kepada orang
- Perilaku agresi (marah, menghina) dalam situasi emosi kepada orang.
2.1
Sikap kita terhadap orang yang menjadi sumber masalah
2.2
Sikap di saat orang lain mengganggu kita Perilaku jahil kepada orang lain
- Perilaku agresi fisik (memukul, menampar) saat kita menghadapi orang yang menjadi sumber masalah. - Perilaku agresi fisik (memukul, berkelahi) kepada orang yang mengganggu kita. - Perilaku kita untuk usil/menggoda orang lain. - Perilaku agresi fisik kepada orang yang kita benci & penampilan yang ditunjukkan dari ekspresi.
2 Agresi Fisik
2.4
3. 3.1 Pengalihan terhadap obyek bukan 3.2 manusia
2.3
Sikap kita terhadap orang yang dibenci
Perilaku agresi terhadap lingkungan sekitar Perilaku terhadap lingkungan saat mengalami suatu kegagalan/kesalahan
- Perilaku agresi yang dilakukan terhadap barang-barang yang ada di lingkungan. - Perilaku agresi terhadap makhluk hidup lain. - Pengalihan perilaku agresi terhadap halhal yang ada di lingkungan saat mengalami kegagalan/ kesalahan.
Sekilas Madrasah Tsanawiyah (MTs) Madrasah Tsanawiyah (disingkat MTs) adalah jenjang dasar pada
pendidikan formal di Indonesia, setara dengan sekolah menengah pertama, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) ditempuh dalam waktu tiga tahun, mulai dari kelas tujuh sampai kelas sembilan.
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Siswa-siswi kelas sembilan diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Madrasah Tsanawiyah (MTs)
dapat
melanjutkan
pendidikan
ke Madrasah
Aliyah atau sekolah
menengah atas/sekolah menengah kejuruan. Kurikulum Madrasah Tsanawiyah (MTs) sama dengan kurikulum sekolah menengah pertama, hanya saja pada MTs terdapat porsi lebih banyak mengenai pendidikan agama Islam, misalnya mata pelajaran Bahasa Arab, Al Qur'anHadits, Fiqih, Aqidah Akhlaq, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Pelajar Madrasah Tsanawiyah (MTs) umumnya berusia 13-15 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) tiga tahun.
2.4
Kerangka Berpikir Salah satu aspek dalam pendidikan adalah adanya aturan-aturan. Aturan-
aturan itu memuat adanya suatu keharusan untuk melakukan sesuatu dan larangan untuk melakukan sesuatu. Pendidikan dengan aturan ketat ini pada dasarnya memiliki tujuan yang baik selama hal tersebut tidak dilaksanakan dalam cara maupun porsi yang berlebihan. Pendidikan ini bertujuan agar kelak individu memiliki tanggung jawab, tidak mudah melakukan kesalahan, dan dapat membedakan yang benar dan yang salah. Jadi, dengan adanya pendidikan yang ketat ini membudayakan individu menjadi tertib, teratur, dan rutin baik dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah dan dengan adanya aturan ini diharapkan individu bertingkah laku sesuai dengan aturan bukan lagi
29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
karena paksaan dari pihak guru melainkan dari dalam dirinya sendiri (Lindgren, 1960). Pada pelaksanaannya dalam dunia pendidikan, tidak jarang kehidupan individu yang berada dalam lingkungan pendidikan yang mempunyai aturan ketat membawa konflik peran sebagai individu. Hal tersebut disebabkan konsep pendidikan dengan aturan yang sangat ketat / disiplin tinggi pada dasarnya memiliki dua konsep, baik positif maupun negatif. Konsep positif lebih mengarah pada konseling dan pendidikan yang menekankan perkembangan di dalam (inner) yaitu disiplin diri dan kontrol diri yang lebih mengacu pada kematangan individu. Sedangkan konsep negatif mengacu pada bentuk pengekangan melalui sesuatu yang tidak disukai yang identik dengan hukuman atau sanksi yang biasanya mengacu pada ketidakmatangan individu. Konsep negatif inilah yang pada akhirnya menimbulkan perilaku agresif (Sarwono, 2002). Guru dalam mendidik individu memiliki andil dalam membentuk perilaku termasuk juga perilaku agresi. Hukuman dapat mengembangkan emosi dan sikap negatif pada lingkungannya. Individu akan menjadi takut dan tidak bebas, emosinya
gampang
“meledak”
dan
akan
mengalami
gangguan
dalam
penyesuaian sosialnya. Akibatnya, individu akan mencari kompensasi untuk memecahkan semua kesulitan batinnya, sehingga timbul perilaku agresi. Berdasarkan hasil penelitian Rosmasuri (2004) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara penerapan disiplin tinggi dengan kecenderungan timbulnya perilaku agresif. Penelitian tersebut dilakukan pada siswa SMU Taruna Nusantara Magelang dimana penerapan disiplin sekolah tersebut sangat tinggi termasuk dalam pemberian hukuman dari pelanggaran peraturan yang dilakukan siswa, pada penelitian tersebut terdapat kecenderungan perilaku agresif. 30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pada bab ini juga akan dibahas tentang beberapa konsep yang mendasari penelitian yang dibuat dalam kerangka agar mudah dipahami dan acuan penelitian dan kerangka konsep akan didapatkan gambaran tentang variabel yang akan ditanyakan kepada responden.
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Perilaku Agresif Verbal
Kesalahan siswa-siswi Pelanggaran peraturan siswa-siswi Perilaku yang kurang tepat siswa-siswi
2.5.
Pendidik
Hukuman (Sanksi)
Perilaku Agresif Fisik Perilaku Agresif Pengalihan terhadap objek bukan manusia
\
Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga atau dalil
sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Nasution & Hardius, 2007). Dalam penelitian ini akan diajukan hipotesis : H1 : Ada hubungan antara pemberian hukuman terhadap perilaku agresif siswasiswi MTs X. H0 : Tidak ada hubungan antara pemberian hukuman terhadap perilaku agresif siswa-siswi MTs X.
31
http://digilib.mercubuana.ac.id/