BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan tetapi saat ini kelebihan berat badan dan obesitas sudah dianggap sebagai suatu masalah global. Di seluruh dunia terjadi peningkatan prevalensi obesitas. Obesitas atau kegemukan berkontribusi menempati urutan kelima penyebab kematian di seluruh dunia. Sedikitnya 2,8 juta orang dewasa meninggal setiap tahun akibat kondisi tersebut (WHO, 2014). Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibedakan menjadi dua kategori; obesitas umum dan obesitas abdominal. Obesitas abdominal adalah kondisi kelebihan lemak perut atau lemak pusat. Kondisi overweight dan obesitas merupakan risiko utama bagi sejumlah komorbiditas. Diketahui bahwa 44% kejadian diabetes, dua puluh tiga persen kejadian penyakit jantung iskemik dan sekitar 7-41% kejadian kanker meningkat risikonya pada obesitas abdominal (WHO, 2014). Prevalensi obesitas di beberapa negara cenderung meningkat, termasuk Indonesia. Riset Kesehatan Indonesia 2010 menyatakan prevalensi obesitas pada penduduk usia diatas 15 tahun adalah 21,7%, dengan prevalensi obesitas
1
2
abdominal didalamnya sebesar 18,8% (Riskesdas, 2010). Prevalensi obesitas di Bali adalah sebesar 26,2% (Dwipayana et al., 2011). Penyebab fundamental overweight dan obesitas adalah ketidakseimbangan energi antara kalori yang dikonsumsi dengan kalori yang digunakan. Asupan kalori berlebih dan aktivitas fisik yang kurang memicu terjadinya penumpukan jaringan adiposa di subkutan, periviseral dan intraviseral (Petrucelli, 2008). Selain berperan sebagai tempat penyimpanan energi, jaringan adiposa diketahui merupakan organ endokrin utama yang mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan
massa
sel
lemak
terutama
di
perut
memicu
terjadinya
ketidakseimbangan pelepasan hormon dan akhirnya menyebabkan berbagai efek metabolik. Sel adiposa mensekresikan berbagai molekul yang aktif secara biologis yang dinamakan adipositokin atau adipokin yang meliputi sejumlah sitokin (misal Tumor Necrosis Factor (TNF)-α dan Interleukin (IL)-6), Kemokin (misal IL-8 dan Monocyte Chemoattractant Protein (MCP)-1). Selain itu, jaringan adiposa mensekresikan berbagai hormon yang salah satunya berperan dalam regulasi berat badan seperti visfatin, apelin, resistin, adiponektin dan leptin (Zhang, 2010). Leptin diproduksi oleh gen obesitas (ob), 167-asam amino peptide, yang diekspresikan oleh jaringan adiposa. Defisiensi hormon leptin dalam serum mengakibatkan rasa lapar berlebih (hiperfagia), menurunnya penggunaan energi, obesitas abdominal dan resistensi insulin yang akan berkembang menjadi diabetes. Akan tetapi penelitian terakhir menyebutkan bahwa terjadi disregulasi leptin pada patogenesis obesitas akibat terjadinya mutasi pada gen ob maupun reseptor leptin (LR) (misalnya db). Mutasi ini mengakibatkan justru
3
ditemukannya peningkatan kadar leptin yang tinggi pada pasien dengan obesitas. Mekanisme yang dapat menjelaskan mengapa terjadi peningkatan leptin serum pada obesitas adalah keterlibatan mutasi yang terjadi pada gen ob. Pada penelitian yang dilakukan oleh Considine et al., menemukan bahwa terjadi peningkatan jumlah ob mRNA pada adiposit dari subjek dengan obesitas dibandingkan dengan subjek dengan berat badan normal. Akibatnya adalah terjadi peningkatan kadar serum leptin sampai empat kali nilai normal yang kemungkinan diakibatkan oleh hipertropi sel adiposit (Considine et al., 1996) . Kadar rerata leptin pada obesitas adalah sebesar 31,3±24,1 ng/ml, sedangkan rerata subjek berat badan normal adalah 7,5±9,3 ng/ml. Hasil ini mengindikasikan bahwa pada kebanyakan orang dengan obesitas adalah tidak sensitif terhadap produksi leptin endogen. Hal ini berhubungan dengan gangguan toleransi glukosa serta resistensi insulin yang selanjutnya disebut dengan resistensi leptin (Considine et al., 1996; Halim, 2003). Konsep resistensi leptin pada obesitas dicurigai pertama kalinya akibat efek terbatas pemberian terapi leptin eksogen pada pasien dengan obesitas. Hal ini diduga disebabkan oleh kemampuan kelarutan leptin untuk melewati sawar darah otak atau gangguan pada tingkatan reseptor aktivasi atau transduksi signal (Meier and Gressner, 2004). Mutasi dari gen Bdnf (brain-derived neurotrohic factor) pada neuron subjek dengan obesitas, adalah salah satu sebab yang dipercaya berperan pada pathogenesis ini (Liao et al., 2012) Penemuan
inkretin
merupakan
suatu
langkah
penting
dalam
perkembangan terapi diabetes melitus. Konsep gut factor stimulate pancreatic
4
endocrine secretion pertama kali dihipotesiskan tahun 1902 (Marzieh, 2006). Inkretin merupakan suatu substrat yang dihasilkan oleh saluran pencernaan (sel L) yang memiliki efek menstimulasi hormon endokrin (pankreas-insulin) (Perfetti and Merkel, 2000). Saat ini dikenal dua inkretin yaitu Gastric Inhibitory Polypeptide (GIP) dan Glucagon like Peptide-1 (GLP-1) (Raganath et al., 1996). Gastric Inhibitory Polypeptide inkretin
yang
memberikan
dan GLP-1 merupakan suatu senyawa
serangkaian
efek
metabolik
yaitu
mampu
meningkatkan sekresi insulin. Selain efeknya terhadap metabolisme glukosa, kedua peptida ini juga berefek pada berbagai organ antara lain pancreas, lemak, tulang dan otak. Pada pankreas, GIP dan GLP-1 bersama-sama meningkatkan proliferasi sel B pankreas dan menghambat apoptosis. Gastric Inhibitory Polypeptide meningkatkan glukagon postprandial
dan meningkatkan deposisi
lemak tubuh, sedangkan GLP-1 justru menurunkan kadar glukagon dan mengendalikan pusat lapar sehingga GLP-1 lebih bermanfaat pada penderita dengan overweight, obesitas, dyslipidemia dan diabetes (Szayna, 2000; Bello and Moran, 2008; Hagememann et al., 2007). Pada penelitian in vivo yang dilakukan, GLP-1 secara cepat disekresikan oleh sel L setelah mendapatkan asupan makanan baik gula maupun lemak. Pada mekanisme ini diketahui terdapat dua macam efek langsung maupun tidak langsung yang bekerja untuk merangsang sekresi GLP-1. Efek langsung berasal dari jumlah makanan, dan efek tidak langsung berasal dari pengaruh endokrin dan mediator neural termasuk GRP (Rocca et al, 1999; Persson et al, 2000). Sebagai akibatnya, GLP-1 selanjutnya akan disekresikan secara bipasik. Melalui efek tidak langsung GLP-1 akan disekresikan pada 15-30
5
menit, dan melalui efek langsung akan disekresikan lebih lambat yaitu pada menit 60-120 postprandial (Anini et al, 1999). Kadar GLP-1 telah diketahui menurun kadarnya pada pasien dengan obesitas. Penurunan kadar GLP-1 pada obesitas sampai saat ini masih belum diketahui penyebabnya. (Raganath et al., 1996). Leptin secara in vitro terbukti menstimulasi sekresi GLP-1 pada sel L intestinal tikus (GLUTag) dan sel L manusia (NCI-H716), namun penelitian in vitro pada sel L intestinal tikus obesitas dengan resistensi leptin justru didapatkan terjadi penurunan dua kali kadar basal GLP-1 dan kegagalan respon GLP-1 setelah stimulas glukosa oral (Anini and Brubaker, 2003). Sampai saat ini korelasi antara kadar leptin dan GLP-1
secara in vivo pada manusia belum diteliti,
sehingga menarik penulis melakukan penelitian ini. Mengingat semakin meningkatnya masalah obesitas serta adanya dualisme dari sifat kadar GLP-1 terhadap kadar leptin pada penelitian in vitro sebelumnya, penulis ingin membuktikan adanya korelasi kadar GLP-1 dengan kadar leptin pada orang dewasa dengan obesitas abdominal.
1.2.Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat hubungan antara kadar leptin dengan kadar GLP-1 pada obesitas abdominal?
6
1.3.Tujuan Penelitian Sehubungan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.3.1
Tujuan Umum - Mengetahui peran leptin dan GLP-1 pada patogenesis obesitas abdominal.
1.3.2
Tujuan Khusus -
Membuktikan hubungan kadar leptin dengan GLP-1 pada obesitas abdominal.
1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1.Manfaat Akademik Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang hasilnya dapat menambah pengetahuan kita tentang korelasi kadar GLP-1 dengan leptin pada obesitas abdominal. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan data dasar dan bermanfaat memberi penegasan terhadap patogenesis obesitas abdominal dan hubungannya dengan diabetes mellitus tipe 2, terkait dengan peran leptin dengan kadar GLP-1 pada manusia dewasa. 1.4.2.Manfaat Praktis Selama ini diketahui bahwa memberikan terapi leptin eksogen pada obesitas dewasa dinilai tidak memberikan hasil yang memuaskan terkait kondisi resistensi leptin. Bila penelitian ini membuktikan hubungan antara kadar GLP-1 dengan leptin pada obesitas abdominal, penelitian lebih lanjut tentang terapi berbasis inkretin pada populasi obesitas di Indonesia dapat diusulkan.