BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Penuaan (Aging)
2.1.1 Definisi Penuaan
adalah
proses
penurunan
kemampuan
jaringan
untuk
memperbaiki diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya. Sehingga tubuh tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan tidak dapat memperbaiki kerusakan tersebut. Proses penuaan ini akan terjadi pada seluruh organ tubuh , meliputi organ dalam tubuh dan organ terluar dan terluas tubuh, yaitu kulit. (Cunningham, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2007) 2.1.2 Patogenesis Penuaan 2.1.2.1 Teori Terjadinya Proses Penuaan (Klatz dan Goldman, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2008) 1. Teori Radikal Bebas Banyak teori yang menjelaskan mengenai penuaan, yang paling banyak dianut adalah teori radikal bebas. Radikal bebas adalah elektron dalam tubuh yang tidak memiliki pasangan sehingga akan berusaha mencari pasangan agar dapat berikatan dan stabil. Sebelum mendapat pasangan radikal bebas akan terus menerus merusak sel tubuh termasuk sel tubuh normal. Hal tersebut mengakibatkan sel akan cepat rusak dan menua, bahkan mungkin dapat menimbulkan terjadi kanker atau keganasan. Radikal superoksid dan hidroksil akan terbentuk saat respirasi
6
7
mitokondria yang timbul akibat autooksidasi berbagai molekul intraseluler serta akibat pengaruh lingkungan seperti sinar ultraviolet. Enzim superoksid dismutase (SOD) yang dirusak oleh radikal bebas akan
menyebabkab
fungsi
sel
menurun
dan
rusak.
Seiring
bertambahnya umur, SOD akan menurun jumlahnya sehingga mengakibatkan antioksidan alami tubuh tidak mampu lagi menetralisir oksidan yang terbentuk. Proses penuaan pada kulit yang dipicu oleh sinar UV (photoaging) merupakan salah satu bentuk implementasi dari teori ini. 2. Teori Replikasi DNA (Deoxyribonucleic Acid Replication Theory) Teori ini mengemukakan bahwa proses menua merupakan akumulasi bertahap kesalahan dalam masa replikasi DNA. Kerusakan DNA akan menyebabkan
pengurangan
kemampuan
replikasi
DNA
yang
mempengaruhi masa hidup sel. Diperkirakan sekitar 50% DNA akan menghilang dari jaringan pada usia kira kira 70 tahun. 3. Teori Kelainan Alat (Orgel Error Theory) Kesalahan transkripsi DNA akan dapat menghasilkan RNA yang tidak sempurna, hal tersebut mengakibatkan kelainan pada berbagai enzim dan protein intraseluler sehingga terjadi gangguan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel bersangkutan. 4. Teori Ikatan Silang (Cross Linkage Theory) Proses menua terjadi akibat terbentuk ikatan silang yang progresif antara protein intraseluler dan interseluler seperti contoh pada serabut
8
kolagen. Ikatan silang ini akan meningkat dengan bertambahnya umur. Ikatan silang ini akan menyebabkan penurunan elastisitas dan kelenturan kolagen pada membran basalis atau pada substansi dasar jaringan penyambung dan hal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi organ. 5. Teori Program Genetik Teori ini mengatakan bahwa, organ tubuh kita sudah memiliki program genetik dalam DNA masing masing yang akan mengatur fungsi fisik dan mental masing - masing individu. Program ini yang akan menentukan berapa usia kita mulai menua, usia berapa kita akan meninggal. Setiap seakan memiliki bom waktu yang berdetik terus sampai masanya habis dan setelah itu meninggal. 6. Teori Endokrin Proses menua dikendalikan oleh alat pacu antara lain timus, hipotalamus, hipofise, kelenjar tiroid yang bekerjasama mengatur keseimbangan hormonal dan regenerasi sel tubuh manusia. Jumlah produksi hormon adalah saling berinteraktif. Bilamana salah satu hormon produksinya berkurang akan menyebabkan produksi hormon yang lain dapat berubah, bisa berkurang dan bahkan malah bertambah. Ketidakseimbangan sistem hormonal menyebabkan proses penuaan. 7. Teori Telomerase Telomer adalah rangkaian asam nukleat yang terdapat di ujung kromosom yang berfungsi
sebagai penjaga keutuhan kromosom.
9
Setiap kali sel tubuh membelah maka telomer akan menjadi lebih pendek. Bila ujung telomer sudah terlalu pendek maka kemampuan sel untuk membelah atau mereparasi akan berkurang, melambat dan sel akhirnya tidak dapat membelah lagi atau mati. 2.1.2.2 Proses Penuaan pada Kulit Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang secara langsung akan memperlihatkan terjadinya proses penuaan. Penuaan kulit berlangsung secara perlahan. Penampilan kulit, kehalusan, elastisitas, warna serta kecerahannya memberikan gambaran usia seseorang. Penampilan kulit wajah tidak hanya sebagai pantulan penuaan kulit, namun juga mencerminkan perubahan akibat pengaruh penuaan ekstrinsik yang dapat membuat seseorang tampak lebih tua dari usianya (Breinneisen et al., 2002; Yaar dan Gilchrest, 2008). Proses menua kulit terdiri atas dua hal yang saling berkesinambungan, yaitu: 1. Penuaan intrinsik (penuaan sejati/intrinsic aging ) Penuaan intrinsik merupakan proses menua fisiologik yang berlangsung secara alami, yang disebabkan oleh berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri misalnya genetik,
ras dan hormonal. Faktor genetik,
mempengaruhi awal terjadi proses menua pada seseorang. Faktor ras, terutama struktur kulit berperan dalam sistem pertahanan tubuh terhadap lingkungan. Faktor hormonal sangat erat kaitannya dengan usia. Proses alamiah ini tidak dapat dihindari (Soepardiman, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2007; Baumann dan Saghari, 2009)
10
2. Penuaan ekstrinsik (photoaging/extrinsic aging ) Penuaan ekstrinsik terjadi akibat berbagai faktor dari luar tubuh. Faktor lingkungan seperti pajanan sinar matahari / ultraviolet yang berlebihan, kelembaban udara, suhu, asap rokok, polusi dan berbagai faktor eksternal lainnya seperti cara perawatan kulit yang salah, penyakit menahun, gizi buruk, bahan tambahan pada makanan (pengawet, pewarna, pelezat makanan), kebiasaan merokok, minum alkohol maupun kopi secara berlebihan, sering mengalami stres, pajanan bahan-bahan kimia, penurunan berat badan yang terlalu cepat dan pemakaian kosmetik yang tak diperlukan, berulang-ulang dan berlangsung lama dapat mempercepat proses menua kulit. Lebih kurang 90% kulit menua dimulai pada usia 20 tahun. Proses ini dapat dicegah dengan menghindari faktor - faktor yang mempercepat proses tersebut. (Wlascheck et al, 2001; Chung et al, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2007; Baumann dan Saghari, 2009 )
2.2
Kulit
2.2.1 Definisi dan Anatomi Kulit Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasi organ lainnya dari lingkungan hidup manusia. Kulit memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinasi dan pelepasan sel-sel yang sudah mati), respirasi
11
dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar (Tranggono dan Latifah, 2007).
Gambar 2.1 Anatomi Kulit Manusia (Mescher, 2009)
Kulit terdiri dari tiga lapisan yang mempunyai fungsi dan karakteristik berbeda. Ketiga lapisan tersebut yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis dan lapisan subkutan/hipodermis . 2.2.1.1 Lapisan epidermis. Lapisan kulit yang paling luar disebut epidermis. Epidermis sangat penting dalam kosmetika karena lapisan ini memberikan tekstur, kelembaban serta warna kulit. Sel penyusun utama lapisan epidermis adalah keratinosit. Keratinosit
12
diproduksi oleh lapisan sel basal. Apabila keratinosit matang akan bergerak ke lapisan di atasnya yang disebut dengan proses keratinisasi (Baumann dan Saghari, 2009). Epidermis merupakan epitel gepeng (skuamosa) berlapis. Pada berbagai bagian tubuh, epidermis memiliki ketebalan yang berbeda, paling tebal berukuran 1 mm, misalnya pada telapak kaki dan telapak tangan, dan lapisan yang tipis berukuran 0,1 mm terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi dan perut (Tranggono dan Latifah, 2007). Lapisan epidermis terbagi dari bagian terluar hingga ke dalam menjadi 5 lapisan, yakni (Chu, 2008; Mescher, 2013): 1. Lapisan Tanduk (Stratum Corneum) Stratum korneum merupakan lapisan kulit yang paling luar, terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati,
tidak berinti dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). 2. Lapisan Jernih (Stratum Lucidum) Stratum lusidum berada langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. 3. Lapisan berbutir-butir (Stratum Granulosum) Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2-3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya, butiran kasar tersebut terdiri atas keratohialin. Granula keratohialin mengandung profilagrin dan akan berubah menjadi filagrin dalam dua sampai tiga hari. Filagrin akan terdegradasi menjadi molekul yang
13
berkontribusi terhadap hidrasi pada stratum korneum dan membantu penyerapan radiasi sinar ultraviolet. 4. Lapisan Malphigi (Stratum Spinosum atau Malphigi Layer) Stratum spinosum (stratum malphigi) lapisan ini disebut juga prickle cell layer, terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti terletak di tengah-tengah. 5. Lapisan Basal (Stratum Germinativum atau Membran Basalis) Merupakan lapisan paling bawah dari epidermis. Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubis (kolumner) yang tersusun vertikal berbaris seperti pagar pada perbatasan dermo-epidermal. Lapisan sel basal berfungsi melindungi epidermis dengan terus menerus memperbarui selnya.
Gambar 2.2 Lapisan epidermis pada kulit tebal (Mescher, 2009)
14
Gambar 2.3 Lapisan epidermis pada kulit tipis (C=Stratum Corneum; S=Stratum Spinosum; G=Stratum Granulosum, B=Stratum Basale; Ep=Epidermal Pegs; DP=Dermal Papillare; D=Dermis) (Mescher, 2009)
2.2.1.2 Lapisan Demis Merupakan lapisan yang terletak di antara lapisan epidermis dan subkutan. Lapisan ini lebih tebal daripada epidermis, terdiri atas sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, terutama terdiri dari bahan dasar serabut kolagen dan elastin yang berada di dalam substansi dasar yang bersifat koloid dan terbuat dari gelatin mukopolisakarida. Dermis dibagi menjadi dua bagian yaitu: a) pars papilare, bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah; b) pars retikulare terdiri atas serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen, elastin dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas asam hialuronat dan kondroitin sulfat, serta fibroblas. Serabut kolagen dihasilkan oleh fibroblas, membentuk ikatan yang mengandung
hidroksiprolin
dan
hidroksilisin.
Serabut
elastin
biasanya
bergelombang berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis.
15
Retikulin mirip dengan kolagen muda (Chu, 2008). Serabut kolagen dapat mencapai 72% dari keseluruhan berat kulit manusia bebas lemak. Di dalam dermis terdapat juga folikel rambut, papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang tedapat pada lapisan lemak bawah kulit (subkutis/hipodermis) (Tranggono dan Latifah, 2007). 2.2.1.3 Lapisan Subkutan Lapisan subkutan atau hipodermis terdapat di antara dermis dan jaringan serta organ di bawahnya. Lapisan ini terdiri dari sebagian besar jaringan adiposa dan merupakan tempat penyimpanan lemak tubuh. Lapisan ini juga memiliki fungsi sebagai pengikat kulit dengan permukaan di bawahnya, menyerap guncangan dari benturan kulit, dan menyediakan penyekatan suhu (Pack, 2007).
2.2.2 Stratum Korneum Di antara berbagai fungsi kulit, fungsi yang paling vital dijalankan oleh stratum korneum (SC). SC merupakan lapisan paling superfisial dari epidermis. Pada lapisan ini, keratinosit yang sudah matang akan mengalami proses keratinisasi. Lapisan ini memberikan perlindungan mekanik pada kulit dan sebagai barier untuk mencegah kehilangan air pada kulit atau untuk mencegah terjadi transepidermal water loss (TEWL) (Baumann dan Saghari, 2009). Sehingga dapat mempertahankan hidrasi kulit yang menyebabkan kulit tetap lembut dan lembab bahkan dalam lingkungan yang sangat kering sekalipun (Elias, 2004; Fore-Pflinger, 2004).
16
SC secara efektif melindungi tubuh kita dari lingkungan yang kering dan dari faktor – faktor eksternal yang merusak, meskipun SC merupakan membran barier biologis yang tipis dengan ketebalan kurang dari 20µm. SC terdiri dari kumpulan sel kulit mati yang bentuknya cenderung pipih dari keratinosit epidermis dan interseluler lipid lamellae. Korneosit dilapisi oleh lapisan keras yang mengalami kornifikasi oleh protein-protein yang berada dalam ikatan silang, terdiri dari kadar ceramide yang hampir sama, asam lemak bebas rantai panjang, dan kolesterol. Bagian dari ceramide dan lapisan korneosit dewasa yang mengalami kornifikasi menjadikan SC sebagai membran barier yang padat. SC tersusun dari 15 lapisan korneosit yang tersusun rapat pada sebagian besar area tubuh kecuali beberapa bagian tertentu seperti wajah dan area kelamin yang SC nya jauh lebih tipis yakni terdiri dari <10 lapisan sel. Atau area palmoplantar yang SC nya sangat tebal, terdiri dari lapisan sel >50 lapis. Pada umumnya, korneosit yang terletak di permukaan kulit mengalami deskuamasi dengan kecepatan satu lapisan sel per hari, sementara korneosit lapisan di bawahnya yang baru terbentuk akan menambah lapisan yang berada di atasnya. Jadi, waktu pergantian (turnover) SC pada hampir sebagian besar tubuh individu usia muda adalah sekitar 2 minggu, yang menyebabkan seluruh SC secara total tergantikan oleh korneosit yang baru terbentuk (Chuong, 2002; Oaklander et al, 2005; Tagami, 2008). SC merupakan sel yang tidak berinti mengandung banyak protein (profilagrin, filagrin dan granula keratohialin) (Byun et al, 2011). Protein filaggrin penting dalam menjaga fungsi barier kulit yang efektif. Profilaggrin, disintesis di
17
lapisan granular epidermis, merupakan komponen utama keratohyalin. Melalui berbagai modifikasi post translational, profilaggrin dikonversikan ke filaggrin, yang menggabungkan antara filamen keratin di lapisan bawah korneum. Filaggrin adalah proteolyzed dan dimetabolisme menghasilkan asam amino bebas yang dapat berperan penting sebagai senyawa yang mengikat air di atas SC. Siklus normal dari kulit, hidrasi dan dehidrasi berperan dalam deskuamasi normal. Pada kulit yang terpapar sinar matahari secara kronis dan terus menerus dapat menyebabkan siklus ini terganggu (Schwartz, 2001). Deskuamasi SC yang lebih lambat dapat menyebabkan penurunan proliferasi epidermis. Hal ini menyebabkan SC menjadi lebih tebal, yakni terdiri dari korneosit yang membesar. Secara klinis kulit akan menjadi kering, kasar dan mudah terjadi kelainan pada kulit (Tagami, 2008).
Gambar 2.4 Gambar Tepi Atas dan Tepi Bawah Stratum Korneum (Pearson, 2012)
18
2.2.3 Papila Dermis Zona membran basalis yang membentuk perbatasan antara epidermis dan dermis disebut dermal-epidermal junction (DEJ). Lapisan ini berfungsi untuk melekatkan lapisan epidermis dan demis, mempertahankan terhadap kerusakan dari luar, serta mempertahankan integritas kulit. Penuaan pada kulit dapat menyebabkan
perbatasan
dermo-epidermal
mendatar
sehingga
dapat
menyebabkan tinggi papila dermis menurun. Papila dermis merupakan tonjolan jaringan dermis ke arah epidermis. Tinggi papila dermis adalah daerah dari tepi atas papila dermis hingga dasar bawah epidermal ridge (Giangreco et al, 2009). Sel penyusun utama lapisan dermis adalah fibroblas yang mensintesis kolagen, elastin dan glikosaminoglikan. Selain itu, terdapat sel dendrosit, sel mast, makrofag dan limfosit. Fibroblas juga mensekresi enzim matriks metaloproteinase (MMP) yang dapat mendegradasi sebagian besar protein pada matriks ekstraseluler dermis (Chu, 2008). Bertambahnya usia dan paparan sinar UV yang terus menerus menyebabkan jumlah fibroblas akan menurun, kemampuan membelahnya juga menurun, terjadi peningkatan produksi MMP yang semuanya menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan jumlah kolagen serta komponen lainnya di dalam matriks ekstraseluler dermis. Dengan demikian, sinar UV yang menginduksi MMP akan mendegradasi kolagen kulit dan merusak integritas struktur dermis dan akan menyebabkan perbatasan dermo-epidermal mendatar (Seo dan Chung, 2006; Helfrich et al., 2008). Perbatasan dermo-epidermal yang relatif datar menyebabkan luas
19
permukaan antara epidermis dan dermis menurun sehingga kulit menjadi rapuh karena berkurangnya nutrisi dan oksigen serta terganggunya pembuangan produk-produk yang tidak diperlukan. Hal ini sesuai dengan pengamatan klinis bahwa kulit pada usia tua menjadi keriput, kendor dan rentan terhadap trauma oleh gesekan dan kemampuan untuk penyembuhan luka menurun (Farage et al, 2013).
Gambar 2.5 Papila Dermis (Pearson, 2012)
20
2.2.4 Perubahan Histologis Epidermis dan Dermis Akibat Photoaging Perubahan yang terjadi pada epidermis dan dermis yang mengalami photoaging dapat dilihat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2 berikut ini : Tabel 2.1 Perubahan Histologis Epidermis Akibat Photoaging Bagian Kulit Lapisan epidermis
Akibat photoaging Tebal
Sel – sel epidemis
-
Sel – sel tidak seragam Sel – sel terdistribusi tidak merata Pembesaran berkala
Stratum korneum
-
Peningkatan lapisan sel Ukuran serta bentuk korneosit bervariasi
Melanosit
-
Peningkatan jumlah sel Sel – sel bervariasi Peningkatan produksi melanosom
Sel – sel langerhans
-
Pengurangan sel dalam jumlah yang besar Sel – sel bervariasi
Tabel 2.2 Perubahan Histologis Dermis Akibat Photoaging Bagian Kulit Jaringan elastin
-
Akibat photoaging Meningkat secara drastis Berubah menjadi massa yang tidak berbentuk
Kolagen
-
Serat kolagen dan jaringan ikat ikut menurun jumlahnya
Retikular dermis: Fibroblast Sel mast Sel inflamasi
-
Semakin tebal Meningkat dan aktif Meningkat Berperan
Pembuluh kapiler
-
Abnormal
21
2.3
Sinar Ultraviolet Sinar matahari terdiri dari spectrum kontinu radiasi elektromagnetik yang
terbagi menjadi tiga bagian yaitu, sinar ultraviolet (45%), sinar tampak (5%), dan sinar inframerah (50%). Panjang gelombang sinar UV berada antara 100nm – 400nm. Radiasi UV dibagi menjadi 3 kategori tergantung pada panjang gelombangnya yaitu gelombang panjang (UVA), gelombang medium (UVB), dan gelombang pendek (UV-B) (Svobodova et al., 2006). Sinar UV-A dengan spektrum 320-400 nm, adalah jenis radiasi yang lemah. 1000 kali lebih lemah daripada UV-B namun 100 kali lebih banyak mencapai permukaan bumi, sekitar 90-95% dari total radiasi sinar matahari yang berhasil sampai ke permukaan bumi. UV-A dapat menembus sampai kedalaman 1000 μm. Radiasi UV-A diserap sebagian besar pada lapisan epidermis, tetapi 20-30% mencapai bagian yang lebih dalam dermis kulit manusia. Dan bertanggung jawab atas timbulnya tumor kulit baik yang jinak maupun kanker (Svobodova et al., 2006). Sinar UV-B dengan spektrum 280-320 nm, paling banyak menembus atmosfer bumi. Walaupun hanya 5% dari total radiasi sinar matahari, tetapi bertanggungjawab atas sebagian besar photodamage pada kulit. Sinar UV-B dapat memicu baik langsung maupun tidak langsung, kerusakan DNA, stres oksidatif, penuaan dini kulit dan berbagai efek terhadap sistem imun, serta memiliki efek penting terhadap timbulnya tumor kulit. Sinar UVB dapat menginduksi perubahan terutama pada lapisan epidermis, yang merupakan tempat dimana sebagian besar sinar UVB diserap. Sinar UVB dapat merusak DNA dalam
22
keratinosit dan melanosit, juga bertanggung jawab dalam munculnya thymidine dimer. Sel-sel yang terkena dampak dari sinar UVB akan muncul sebagai sel kulit yang terbakar (sunburn) yang terlihat 8 sampai 12 jam setelah paparan serta beberapa efek lainnya yang muncul seperti keratosis actinic, lentigo, karsinoma, dan melanoma (Svobodova et al., 2006; Ivic, 2008). Sinar UV-C dengan spektrum 100-280 nm, adalah radiasi yang paling banyak diserap di lapisan ozon atmosfer bumi dan normalnya tidak mencapai permukaan bumi. Sinar UV-C memiliki potensi yang sangat besar dalam menyebabkan terjadinya kerusakan biologis dengan waktu yang sangat singkat. Panjang gelombang ini memiliki energi yang sangat hebat dan bersifat sangat mutagenik (Svobodova et al., 2006). Radiasi UV-B yang mencapai kulit, 70 % diserap pada stratum korneum, 20% mencapai seluruh epidermis, dan hanya 10% mencapai bagian atas dermis. Radiasi UV-A diabsorbsi sebagian besar pada epidermis, dan hanya 10% mencapai bagian atas dermis. Radiasi UV-A diabsorbsi sebagian besar pada epidermis, tetapi 20-30% radiasi ini mencapai bagian yang lebih dalam dermis dibandingkan dengan UV-B. Walaupun UV-B memiliki panjang gelombang yang lebih pendek tetapi lebih efisien mencapai permukaan bumi, lebih kuat terserap pada epidermis dan lebih eritemogenik dibandingkan dengan UV-A (Rigel, 2004).
2.4
Radikal bebas dan Photoaging Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang memiliki satu atau
lebih elektron tidak berpasangan pada lapisan terluarnya. Hal ini mengakibatkan
23
radikal bebas bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan protein, lipida, karbohidrat dan DNA. Radikal bebas akan mengambil elektron dari molekul stabil terdekat sehingga mengakibatkan reaksi berantai pembentukan radikal bebas (Pangkahila, 2011; Hartanto, 2012). Sumber radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh (endogen) dan dari luar tubuh (eksogen). Bahan radikal bebas dalam tubuh paling banyak berasal dari oksigen disebut sebagai ROS, yang dapat timbul dalam pembentukan energi dalam tubuh atau pada waktu netrofil menghancurkan benda asing dalam tubuh. Sebaliknya radikal bebas dari luar sebagian besar berasal dari sinar matahari (Pillai et al., 2005) Adanya molekul oksigen (O2) dalam kulit yang terdapat pada bagian bawah epidermis merupakan target utama gelombang sinar UV yang masuk ke dalam kulit (Jenkins, 2000; Bicker dan Athar, 2006). Molekul oksigen bersifat unik karena elektron yang terdapat pada lapisan luar tidak lengkap berada dalam orbit elektron sehingga mempunyai kecenderungan untuk menarik eletron dalam melengkapi pasangan elektronnya. Sinar UV dapat berperan sebagai donatur elektron untuk molekul oksigen di epidermis (Schwarz, 2001). Ketika kulit terkena sinar matahari, radiasi UV-B yang banyak terserap ke epidermis dan papila dermis dapat menghasilkan suatu senyawa berbahaya yaitu ROS, yang kemudian dapat menyebabkan kerusakan oksidatif untuk komponen seluler seperti dinding sel, membran lipid, mitokondria dan DNA. UV-B dapat mengakibatkan terbentuknya ROS dengan berinteraksi langsung dengan DNA melalui induksi kerusakan DNA, berupa crosslinking basa
24
pirimidin yang berdekatan. Pembentukan ROS terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit setelah paparan UV, level hidrogen peroksida meningkat lebih dari dua kali lipat pada kulit. Hidrogen peroksida kemudian dengan cepat membentuk ROS lain, seperti radikal hidroksil. Keratinosit menunjukan terbentuknya NADPH oksidase, yang mengkatalisasi reduksi molekul oksigen menjadi anion superoksid. Hidrogen peroksida dan anion superoksid kemudian mengakibatkan oksidasi komponen sel yaitu DNA, protein, dan membran sel dan mengaktivasi jalur seluler sehingga menyebabkan stress oksidatif. Cara kedua UV-B menimbulkan kerusakan yaitu dengan cara tidak langsung, melalui fotosensitisasi. Penyerapan energi UV pada fotosensitisasi akan merubah elektron pada kromosfor, menjadi singlet elektron sehingga terjadi produksi radikal bebas. Pada reaksi minoritas, superoksida anion juga diproduksi melalui fotosensitisasi, yang diikuti oleh dismutase ke hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida tidak mampu menyebabkan kerusakan dengan sendirinya, akan tetapi dengan bantuan kation logam (Fe,Cu) hidroksil radikal yang dihasilkan oleh reaksi Fenton. Radikal bebas yang terbentuk akan berinteraksi dengan biomolekul seluler lainnya memprovokasi respon biologis akhir (Svobodova et al., 2006). Aktivasi ROS ini menyebabkan stress oksidatif yang diinduksi UV yang merupakan
penyebab
photoaging
(Fisher
et
al.,
2001).
Photoaging
menggambarkan suatu efek kronis dari paparan sinar UV pada kulit. Tanda-tanda klinis photoaging seperti kulit kering, kulit menebal dan kasar, kerut lebih dalam dan nyata, bercak pigmentasi tidak teratur, pelebaran pembuluh darah
25
(telangiektasi) hingga timbulnya tumor jinak, prakanker maupun kanker kulit (Helfrich et al., 2008; Jusuf, 2005). Secara histologis tampak adanya penebalan stratum
kornuem,
perubahan
pada
tinggi
papila
dermis,
jumlah
glikosaminoglikan dan proteoglikan meningkat, serat kolagen berkurang, terjadi solar elastosis dan tampak adanya infiltrat radang (Gilchrest dan Krutmann, 2006).
2.5
Peranan Antioksidan pada Photoaging
2.5.1 Definisi Antioksidan Antioksidan adalah substansi kecil yang mampu menetralkan radikal bebas dengan cara menstabilkan, menonaktifkan, atau meminimalkan reaksi oksidatif dalam sel akibat reaksi dari radikal bebas. Dalam hal ini senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor). (Priyadarsini, 2005; Halliwell dan Guttridge, 2007). Makhluk hidup mempunyai mekanisme pertahanan yang sangat khusus yaitu berupa antioksidan untuk melindungi sel-sel jaringan dari efek negatif radikal bebas. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat larut dalam air (water soluble) atau larut dalam lemak (lipid soluble), ada yang diproduksi oleh tubuh sendiri dan ada juga yang hanya berasal dari luar tubuh. Semakin bertambah usia seseorang, maka kadar antioksidan di dalam tubuh semakin berkurang juga (Baynes dan Dominiczak, 2005).
26
2.5.2 Jenis Antioksidan Berdasarkan
mekanisme
pencegahan
dampak
negatif
oksidan,
antioksidan dapat dibagi menjadi 2 golongan (Murray, 2009) yaitu : 1.
Antioksidan Pencegah Antioksidan pencegah adalah antioksidan yang berfungsi mencegah
terbentuknya radikal yang paling berbahaya bagi tubuh. Yang termasuk dalam antioksidan pencegah adalah : 1. Super Oxide Dismutase (SOD) yang di tubuh manusia, yaitu yang berada di mitokondria (Mn SOD) dan sitoplasma (Cu Zn SOD) 2. Katalase (catalase) dalam sitoplasma dapat mengkatalisir H2O2 menjadi H2O dan O2. Komponen katalase adalah Fe. 3. Bermacam – macam enzim peroksidase, seperti glutation peroksidase yang dapat meredam H2O2 menjadi H2O melalui sistem siklus redoks glutation. 4. Senyawa yang mengandung gugusan sulfhidril (glutation, sistein, kaptopril) dapat mencegah timbunan radikal hidroksil dengan mengkatalisir menjadi H2O. 2.
Antioksidan pemutus rantai ( Chain Breaking) Antioksidan pemutus rantai adalah zat yang dapat memutuskan rantai
reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lemak. Antioksidan pemutus rantai dapat digolongkan menjadi:
27
1. Golongan antioksidan eksogen, contohnya : vitamin c, vitamin E dan betakaroten. 2. Golongan antioksidan endogen, contohnya : glutation dan sistein.
2.5.3
Klasifikasi Antioksidan Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat digolongkan menjadi dua
kelompok yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. 1.
Antioksidan alami merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil ekstraksi bahan alami (Hartanto, 2012). Senyawa antioksidan alami tumbuhan disebut juga phytoantioxidants (Pouillot et al., 2011). Contoh antioksidan alami adalah vitamin C, vitamin E, dan β-karoten.
2.
Antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia. Contoh antioksidan sintetik adalah BHA, BHT, dan TBHQ (Santoso, 2005). Terdapat dua cara untuk memperoleh antioksidan yakni dari dalam tubuh
(endogen) dan dari luar tubuh (eksogen) (Hartanto, 2012) : 1.
Antioksidan endogen dari bahan tubuh sendiri a. Antioksidan Enzimatis misalnya, SOD, katalase, glutathion reduktase, glutathion peroksidase, glukosa 6 phosfatase dehidrogenase (G6PD), sistem sitokrom oksidase, peroksidase. b. Sistem Antioksidan Non Enzimatis : glutathion, bilirubin, albumin, transferin, plasmin, feritin, sistein, dan lainnya.
2.
Antioksidan sintetik (eksogen) berasal dari luar tubuh dapat diperoleh
28
dengan cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung vitamin C dan E, β-karoten maupun antioksidan sintetik seperti BHA, BHTdan TBHQ.
2.5.4 Mekanisme Kerja Antioksidan 1.
Antioksidan Primer Antioksidan primer bekerja dengan cara menetralisir radikal bebas dengan cara mendonasi satu elektronnya. Contohnya : SOD yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan karena radikal bebas, CAT dan GPx. Sebenarnya enzim-enzim tersebut sudah ada dalam tubuh kita hanya saja untuk mendapatkan kerja yang maksimal harus dapat bantuan dari zat-zat gizi mineral seperti mangan, seng dan tambaga. Jika ingin menghambat gejala dan penyakit degeneratif, maka sebaiknya memiliki ketersediaan mineral-mineral tersebut yang cukup dalam makanan yang dikonsumsi setiap
hari.
Antioksidan ini bekerja untuk mencegah pembentukan senyawa radikal bebas yang baru dengan cara mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang dampak negatifnya kurang,sebelum radikal bebasnya bereaksi. Karena kekurangan satu elektron maka molekul antioksidan itu akan
menjadi radikal bebas yang baru. Radikal bebas yang baru
terbentuk relatif stabil yang selanjutnya akam di netralisir oleh antioksidan lain seperti : vit C, vit E, LA, CoQ10, flavanoid, asam urat dan bilirubin (Moini et al., 2002).
29
2.
Antioksidan Sekunder Antioksidan ini berfungsi menangkap berbagai senyawa dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Mekanisme ini bekerja dengan cara mengkelat ion logam, menghilangkan oksigen radikal, memecah reaksi rantai inisiasi, menyerap energi oksigen singlet, mencegah pembentukan radikal, menghilangkan dan atau mengurangi jumlah oksigen. Antioksidan yang termasuk dalam antioksidan sekunder ini adalah Vitamin E, Vitamin C, betakaroten, asam urat, bilirubin, transferin, laktoferin, seruloplasma, Xanton dan albumin (Hartanto, 2012)..
3.
Antioksidan Tertier Antioksidan tertier ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas, dimana kerja dari antioksidan ini sebagai sistem enzim DNA repair dan metionin sulfoksida reduktase, sehingga protein yang telah teroksidasi di proses oleh sistem enzim proteolitik dan lipid
teroksidasi dan diproses oleh enzim lipase,
peroksidase (Pouillot et al., 2011). Sinar
ultraviolet
menyebabkan
photoaging
melalui
mekanisme
pembentukan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan berbagai molekul jaringan mulai dari lipid, protein, lemak, dan DNA. Paparan sinar UV juga mengurangi kadar antioksidan tubuh seperti pada penuaan alami. Kulit secara alami memiliki sistem antioksidan baik enzimatik maupun nonenzimatik, tetapi peranannya sangat dipengaruhi oleh kondisi nutrisi dan juga antioksidan dari luar
30
(Pandel et al., 2013). Oleh karena itu antioksidan secara teoritis seharusnya mampu mencegah terjadinya penuaan kulit akibat paparan sinar matahari. Diketahui bahwa pemberian antioksidan topikal mampu mengurangi kadar radikal bebas pada kulit. Natural antioksidan dapat menanggulangi photoaging dengan berperan sebagai sunscreen maupun regulator jalur sinyal kerusakan kulit akibat sinar UV. Penggunaan antioksidan baik secara oral maupun topikal juga terbukti dapat secara nyata mencegah bahkan mengembalikan keadaan kulit yang telah mengalami photoaging (Yaar dan Gilchrest, 2007). Antioksidan tersebut antara lain berasal dari golongan favonoid, seperti polifenol, catechin, antosianin, isoflavon, proantosianindin, serta golongan non flavonoid seperti asam monofenolik dan stilbene (Bosch et al., 2015).
2.6
Manggis (Garcinia mangostana L.)
2.6.1 Klasifikasi Tanaman Manggis merupakan salah satu buah yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Tanaman manggis berasal dari hutan tropis yang teduh di kawasan Asia Tenggara, yaitu hutan belantara Indonesia atau Malaysia. Dari Asia Tenggara, tanaman ini menyebar ke daerah Amerika Tengah dan daerah tropis lainnya seperti Filipina, Papua New Guinea, Kamboja, Thailand, Srilanka, Madagaskar, Honduras, Brazil dan Australia Utara (Nugroho, 2012). Daging buah manggis berwarna putih, bertekstur halus dan rasanya manis bercampur asam sehingga menimbulkan rasa khas dan segar. Bentuk fisik dari buah manggis
31
disajikan pada gambar 2.3 (Hadriyono, 2011) Secara taksonomi, manggis diklasifikasikan sebagai berikut (Hadriyono, 2011) Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Klasis
: Dicotyledonaceae
Ordo
: Guttiferae
Famili
: Guttiferae
Genus
: Garcinia
Spesies
: Garcinia mangostana Linn
(A) (A )
(B) (B )
Gambar 2.6 (A) Pohon Manggis; (B) Buah Manggis (Hadriyono, 2011) 2.6.2 Nama Daerah Manggis memiliki nama daerah diantaranya Manggoita (Aceh), Manggista (Batak), Manggih (Minangkabau), Manggus (Lampung), Manggu
32
(Sunda), Kirasa (Makasar), dan Manggis (Bali) (Pitojo dan Hesti, 2007). 2.6.3 Deskripsi Buah Manggis Manggis merupakan salah satu tanaman buah asli Indonesia. Manggis menyimpan banyak manfaat bagi kesehatan atau bisa disebut sebagai pangan fungsional (functional food). Di beberapa negara manggis terutama kulitnya sudah bisa dijadikan sebagai obat dan bahan terapi (Permana et al., 2012). Tanaman manggis merupakan tanaman tahunan yang masa hidupnya dapat mencapai puluhan tahun, berbentuk pohon dengan bagian bawah lebar dan bagian ujung menyempit, tinggi pohon 6 hingga 20 meter. Batang berkayu, bulat, tegak, percabangan simpodial, berwarna hijau. Akarnya tunggang berwarna putih kecoklatan. Bunga tunggal, berkelamin dua, benang sari berwarna kuning. Mahkota bunga terdri dari 4 kelopak daun. Kelopak bunga melengkung kuat, tumpul, berdaging tebal, berwarna hijau kuning dengan tepi merah. Kepala putik berjari-jari 4-8 cm, putik berwarna putih kekuningan. Daun tunggal, lonjong, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi rata, percabangan menyirip, panjang 20-25 cm, lebar 6-9 cm, tangkai silindris, berwarna hijau. Buah manggis, bulat, diameter 6-8 cm, kulit buah berdinding tebal lebih dari 9 mm, pada waktu muda kulit buah berwarna hijau namun setelah tua berubah menjadi merah tua sampai ungu kehitaman. Daging buah berwarna putih dan mengandung banyak air. Biji bulat dengan diameter 2 cm, dalam 1 buah terdapat 5-7 biji berwarna coklat (Pitojo dan Hesti, 2007). Simplisia kulit buah manggis berupa potongan padat, agak keras, bentuk seperempat bola atau setengah bola dengan garis tengah 4-6 cm, tebal 3-6 mm,
33
permukaan luar agak kasar, agak mengkilat, warna kecoklatan sampai coklat kehitaman sedangkan permukaan dalam licin, berwarna coklat, dan terdapat sisa sekat yang membagi buah menjadi 4 bagian atau lebih, bekas patahan tidak rata, tidak berbau dengan rasa pahit. Secara mikroskopik yang menjadi fragmen penanda adalah sel batu, parenkim endokarp, parenkim eksokarp, periderm dan parenkim mesokarp (DepKes RI, 2010).
2.6.4 Kandungan Kimia Kulit Buah Manggis Penelitian melaporkan bahwa ekstrak kulit buah manggis berpotensi sebagai antioksidan (Moongkarndi et al., 2004). Kandungan kimia yang terdapat dalam kulit buah manggis diantaranya senyawa golongan alkaloida, flavonoida, glikosida, saponin, tanin, steroid/ triterpenoid, xanthone, fenol, antosianin, vitamin B1 20,66 mg, vitamin B2 1,79 mg, vitamin B6 0,948 mg, dan vitamin C 17,92 mg (Zhou et al., 2011; Pasaribu et al., 2012). 2.6.4.1 Xanthone Xanthone merupakan salah satu flavonoid minor yang memiliki reaksi warna dan gerakan kromatrografi serupa dengan flavonoid. Antioksidan yang unik dengan kadar tinggi pada kulit buah manggis adalah senyawa xanthone yang termasuk dalam kelas polifenol. Kulit buah manggis mengandung xanton yang sangat tinggi yaitu mencapai 123,97 mg/100 mL (Yatman, 2012). Senyawa xanthone yang telah teridentifikasi diantaranya adalah α-mangostin dan γ-mangostin. (Chaverri et al., 2008). Xanthone bekerja mampu mengikat oksigen bebas yang tidak stabil yaitu
34
radikal bebas perusak sel di dalam tubuh sehingga Xanthone dapat menghambat proses degenerasi atau kerusakan sel. Xanthone juga berfungsi merangsang regenerasi atau pemulihan sel tubuh yang rusak dengan cepat sehingga membuat tetap awet muda. Selain itu Xanthone juga efektif untuk mengatasi sel kanker dengan mekanisme apoptosis (bunuh diri sel) yaitu dengan memaksa sel mengeluarkan cairan dalam mitokondria sehingga sel kanker mati. Senyawa Xanthone juga mengaktifkan sistem kekebalan tubuh dengan merangsang sel pembunuh alami (natural killer/NK cell) dalam tubuh. NK cell inilah yang berfungsi membunuh sel kanker dan virus yang masuk dalam tubuh manusia (Miryati et al., 2011). Xanthone yang diisolasi dari kulit buah manggis menunjukkan aktivitas antioksidan, antitumor, antialergi, antiinflamasi, antibakteri, antifungal, dan antiviral (Lim, 2012). Kemampuan antioksidan xanthone melebihi vitamin C dan E yang selama ini dikenal sebagai antioksidan yang paling efektif (Prihatman, 2000).
Gambar 2.7 Struktur Umum Xanton (Obot et al, 2011) 2.6.4.2 Flavonoid Flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol yang mempunyai kecenderungan untuk mengikat protein, sehingga mempengaruhi proses
35
metabolisme (Poeloengan et al, 2010)
Gambar 2.8 Struktur Umum Flavonoid (Poeloengan et al, 2010) 2.6.4.3 Tannin Tannin terdiri atas berbagai asam fenolat. Tannin mempunyai rasa sepat dan dapat digunakan dalam menyamak kulit. Beberapa senyawa tannin mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor dan menghambat enzim seperti reverse transkriptase dan DNA topoisomerase, antidiare, hemostatik dan antihemoroid (Yunitasari, 2011). Tannin merupakan senyawa yang bersifat lipofilik sehingga mudah terikat pada dinding sel dan mengakibatkan kerusakan dinding sel. Selain itu, tannin dapat menghambat sintesis kitin yang merupakan komponen penting dinding sel jamur (Najib, 2009). Tannin dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan pada konsentrasi tinggi mampu bertindak sebagai antibakteri dengan cara mengkoagulasi atau menggumpalkan protoplasma bakteri sehingga terbentuk ikatan yang stabil dengan protein bakteri. Selain itu, pada saluran pencernaan tannin mampu mengeliminasi toksin (Poeloengan et al, 2010) 2.6.4.4 α-mangostin α-mangostin merupakan senyawa yang sangat berkhasiat dalam menekan
36
pembentukan senyawa karsinogen pada kolon. Selain alfa-mangostin, senyawa xanton juga mengandung γ-mangostin yang juga memiliki banyak manfaat dalam memberikan proteksi atau melakukan upaya pencegahan terhadap serangan penyakit. 2.6.4.5 Antosianin Antosianin memiliki kemampuan sebagai antioksidan yang baik dan memiliki peranan yang cukup penting dalam mencegah beberapa penyakit seperti kanker, diabetes, kardiovaskuler, dan neuronal. Antosianin merupakan kelompok pigmen yang terdapat dalam tanaman dan biasanya ditemukan dalam bunga, sayuran maupun buah-buahan seperti Manggis, Stroberry, Rasberry, Apel, dan lainnya. 2.6.4.6 Saponin Saponin merupakan zat aktif yang dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel. Apabila saponin berinteraksi dengan sel bakteri atau sel jamur, maka bakteri tersebut akan rusak atau lisis (Utami, 2013) Senyawa-senyawa ini diduga berperan dalam menentukan aktivitas antioksidan pada kulit buah manggis. Xanthone bersama - sama dengan antioksidan lain yang berasal dari tumbuhan, seperti tannins, lignans, stilbenes, coumarins,
quinones,
phenolic
acids,
flavones,
flavonols,
cathechins,
anthocyanins and proanthocyanins dapat berfungsi sebagai donor hidrogen dengan mekanisme memutus rantai pembentuk radikal dan mengikat ion logam transisi sehingga menghambat pembentukan radikal bebas (Salihoglu et al., 2010).
37
Hasil analisis fitokimia ekstrak etanol kulit buah manggis secara kualitatif yang dilakukan peneliti di Lab. Fitokimia Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana Jimbarana positif mengandung flavonoid, saponin, alkaloid, triterpenoid dan fenol (Lampiran 4). Analisa kuantitatif senyawa Flavonoid dan Fenol dilakukan di Fakultas Teknologi Pertanian Unit Layanan Laboratorium Universitas Udayana masing-masing sebesar 118,27 mg/100g QE dan 1197,12 mg/100g GAE (Lampiran 6). Analisis kuantitatif senyawa α-mangostin dilakukan di UPT Laboratorium Forensik Sains dan Krimininologi Universitas Udayana Jimbaran dengan hasil ekstrak kulit buah manggis sebanyak 200 mg/2 ml mengandung 0,4524 mg α-mangostin (Lampiran 3).
2.6.5 Manfaat Kulit Buah Manggis Pemanfaatan kulit buah manggis sebenarnya sudah dilakukan sejak dahulu. Kulit buah manggis secara tradisional digunakan pada berbagai pengobatan di negara India, Myanmar, Sri langka dan Thailand. Secara luas, masyarakat Thailand memanfaatkan kulit buah manggis untuk pengobatan penyakit sariawan, disentri, diare, gonorea (Obolskiy et al., 2009). Saat ini pemanfaatan kulit buah manggis secara luas di negara tersebut memicu minat para ilmuwan untuk meneliti dan mengembangkan lebih lanjut aspek ilmiah kekhasiatan kulit buah manggis tersebut (Nugroho, 2012).
2.6.6 Aktivitas Farmakologi Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kulit buah manggis memiliki
38
aktivitas farmakologi sebagai antioksidan, antikanker, antiviral, antiinflamasi, kardioprotektif, antimikroba, antiamoeba, larvasida, dan efek farmakologi lainnya (Lim, 2012). Menurut Mardawati et al., (2009) ekstrak kulit buah manggis yang diperoleh dengan dengan menyari menggunakan pelarut etanol 96% memiliki aktivitas sebagai antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 9,26 mg/L. Ekstrak kulit buah manggis yang dipakai dalam penelitian ini telah di uji aktivitas
antioksidan
dan
kadar
IC
50%
menggunakan
metode
2,2-difenil-l-pikrilhidrazil (DPPH). Uji aktivitas antioksidan dan kadar IC 50% dilakukan di Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Analisa Pangan Universitas Udayana dengan hasil yang diperoleh, di dalam 25 mg ekstrak kulit buah manggis aktivitas antioksidannya sebesar 107982,6840 mg/L GAEAC dan kadar IC 50% sebesar 0,2545 µg/ml (Lampiran 5). Kadar IC 50% < 50 µg/ml berarti aktivitas antioksidannya tinggi (Supiyanti et al., 2010). Pemberian antioksidan topikal pada kulit menurut Yaar dan Gilcherst (2007), mampu mencegah kerusakan kulit yang disebabkan oleh stres oksidatif dengan berkurangnya akumulasi peroksida pada kulit. Senyawa xanton yang memiliki efek antioksidan dibutuhkan dalam suatu formulasi sediaan farmasi, terapi, kosmetik yang ditujukan untuk memberikan perlindungan yang efektif dari efek jangka pendek, jangka panjang dan stress oksidatif yang disebabkan oleh sinar UV (Moffet dan Parag, 2006). Susanti et al., (2012), telah melakukan uji efek perlindungan senyawa xanton dalam ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap sinar UV yang dilakukan secara in vitro dengan teknik spektroskopi UV yang diukur pada rentang panjang
39
gelombang sinar UV (200-400 nm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa xanton yang terdapat dalam kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) dapat menyerap sinar UV, dimana xanton memiliki panjang gelombang maksimum 305-330 nm yang merupakan rentang panjang gelombang sinar UV.
2.7
Masker Wajah Gel Peel off Masker adalah sediaan kosmetik untuk perawatan kulit wajah. Jenis
kosmetika ini berfungsi menjaga kesehatan kulit diantaranya membersihkan, menjaga kelembaban, perlindungan dari bahaya UV, antioksidan, memutihkan, mencegah penuaan kulit, mencegah kerutan, mencegah pengenduran dan jerawat pada kulit. Masker dioleskan pada kulit wajah dalam bentuk lapisan yang relatif tebal dan dihapuskan beberapa waktu kemudian, biasanya 15-30 menit (Shai et al., 2009). Masker wajah berdasarkan cara membersihkan dari permukaan kulit dapat dibedakan menjadi : a. Masker yang dilepaskan dengan dibilas. b. Masker yang dilepaskan dengan dikelupas (Masker Peel Off). Masker yang terkelupas terbuat dari polimer, seperti polivinil alkohol dan bahan seperti lateks dan senyawa karet alam. Saat mengering masker pada kulit wajah akan membentuk lapisan yang fleksibel yang membentuk lembaran transparan pada kulit. Dalam hal ini masker tidak dibersihkan dengan cara dibilas tetapi dikelupas. Fungsi utama dari masker wajah ini adalah untuk mencegah penguapan air dari
40
permukaan kulit. Sehingga sebagai hasilnya akan diperoleh kulit dengan kelembaban yang meningkat. Masker ini baik digunakan untuk wanita dengan kulit wajah yang relatif kering (Shai et al., 2009). Tipe masker wajah yang dilepaskan dengan dikelupas (Masker Peel Off) berdasarkan bentuknya dibedakan menjadi tiga yakni gel, pasta dan powder (serbuk). Masker wajah peel off dengan bentuk gel merupakan masker wajah yang transparan atau semi transparan yang menyebar dengan baik serta membentuk lapisan pada kulit yang mudah diangkat setelah dikeringkan. Setelah lapisan film tersebut dikelupas maka kulit akan terasa lembab, lembut dan terasa bersih (Shai et al., 2009). Masker wajah gel peel off memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan bentuk sediaan masker lain seperti pasta dan serbuk diantaranya dapat menimbulkan efek dingin akibat lambatnya penguapan air pada kulit, tidak menghambat fungsi fisiologis kulit khususnya respiratio sensibilis karena tidak membentuk lapisan lilin yang melapisi permukaan kulit secara kedap serta tidak menyumbat pori-pori kulit, memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut, daya sebar dan daya lekat baik, serta mampu melepaskan zat aktif dengan baik (Shai et al., 2009). Dalam formulasi masker wajah peel off tipe gel, komposisi bahan-bahan yang digunakan diantaranya adalah gelling agent, agen peningkat viskositas, dan humektan yang akan mempengaruhi sifat fisika dan kimia dari basis masker wajah gel peel off. a. Gelling agent
41
Polimer pembentuk lapisan film yang umumnya dipergunakan adalah polivinil alkohol (PVA) dan polivinil pirolidon (PVP). Lapisan film terbentuk melalui proses hidrasi komponen pelarut dan rantai polimer yang kemudian akan bergabung membentuk sebuah lapisan film ketika mengering (Siepmann et al., 2007). b. Agen peningkat viskositas Agen peningkat viskositas yang dapat digunakan adalah HPMC, karbomer, gom guar, dan CMC Na (Vieira, 2009; Septiani et al., 2011; Selviani, 2012). c. Humektan Humektan berfungsi menjaga kestabilan dengan cara mengabsorbsi lembap dari lingkungan dan mengurangi penguapan air dari sediaan. Selain menjaga kestabilan sediaan, secara tidak langsung humektan juga dapat mempertahankan kelembaban kulit sehingga kulit tidak kering. Jenis humektan yang banyak digunakan adalah gliserin, propilen glikol dan sorbitol (Yuliani, 2010).
2.7.1 Polivinil Alkohol (PVA) 2.7.1.1 Deskripsi Polivinil alkohol merupakan serbuk berwarna putih agak krem dan tidak berbau (Rowe et al., 2009). 2.7.1.2 Penggunaan Polivinil alkohol digunakan terutama dalam sediaan farmasi dalam bentuk
42
topikal dan dalam formulasi masker wajah gel peel off
sebagai pembentuk
lapisan film dengan konsentrasi 10-16% (Lestari et al., 2013). Polivinil alkohol (PVA) merupakan polimer yang bersifat biokompatibel, menghasilkan kekuatan tarik film yang baik, dan fleksibel (Ogur, 2005). Polivinil alkohol dikembangkan dalam akuades panas suhu antara 80-90oC dengan pengadukan yang konstan hingga mengembang sempurna (Vieira, 2009). 2.7.1.3 Titik lebur dan pH Polivinil alkohol memiliki titik lebur 180-190oC serta pH 4,5-6,5 (Rowe et al., 2009). 2.7.1.4 Kelarutan Polivinil alkohol larut dalam air, sedikit larut dalam etanol 96%, dan tidak larut dalam pelarut organik (Rowe et al., 2009). 2.7.1.5 Stabilitas Polivinil alkohol stabil terhadap cahaya, namun akan mengalami degradasi pada suhu mulai dari 100oC (Rowe et al., 2009). 2.7.1.6 Penyimpanan Polivinil alkohol disimpan dalam wadah tertutup rapat di tempat sejuk dan kering (Rowe et al., 2009). 2.7.1.7 Inkompatibilitas Polivinil alkohol inkompatibel terhadap garam-garam organik terutama sulfat dan fosfat (Rowe et al., 2009).
43
2.7.2 Hydroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC) 2.7.2.1 Deskripsi HPMC merupakan turunan dari metilselulosa yang memiliki ciri-ciri serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa (Rowe et al., 2009). 2.7.2.2 Penggunaan HPMC digunakan sebagai agen pengental dalam sediaan gel dengan konsentrasi 2-4%. HPMC yang diformulasikan dalam bentuk sediaan gel memiliki viskositas yang besar, stabil, jernih, dan pH netral (Niyogi et al., 2012). HPMC dikembangkan dalam akuades panas suhu antara 80-90oC dengan pengadukan yang konstan hingga mengembang sempurna (Rowe et al., 2009). 2.7.2.3 Titik Lebur dan pH HPMC memiliki titik lebur 190-200oC dan pH 5,5–8,0 pada konsentrasi 2% b/v dalam larutan air (Rowe et al., 2009). 2.7.2.4 Kelarutan HPMC sangat sukar larut dalam eter, etanol, atau aseton. HPMC dapat mudah larut dalam air panas dan akan segera menggumpal dan membentuk koloid (Rowe et al., 2009). 2.7.2.5 Penyimpanan HPMC bersifat higroskopis maka perlu disimpan dalam tempat kering dan jauh dari panas (Rowe et al., 2009). 2.7.2.6 Stabilitas HPMC merupakan bahan yang stabil, meskipun bersifat higroskopis
44
setelah pengeringan. Larutan akan stabil pada pH 3-11 (Rowe et al., 2009). 2.7.2.7 Inkompatibilitas HPMC tidak kompatibel dengan beberapa agen pengoksidasi. HPMC tidak membentuk kompleks dengan garam logam atau ion anorganik untuk membentuk endapan (Rowe et al., 2009).
2.7.3 Gliserin 2.7.3.1 Deskripsi Gliserin merupakan cairan tidak berwarna, tidak berbau, kental, cairan higroskopis, dan rasa manis (Rowe et al., 2009). 2.7.3.2 Penggunaan Pada sediaan topikal dan kosmetik, gliserin digunakan terutama sebagai humektan pada konsentrasi ≤30% (Rowe et al., 2009). Jika dibandingkan dengan propilen glikol maupun sorbitol, gliserin lebih nyaman dalam penggunaan (Yuliani, 2010). Selain itu gliserin mampu menurunkan kehilangan air transepidermal dengan baik setelah diaplikasikan pada kulit. Gliserin digunakan dalam formulasi masker wajah gel peel off sebagai humektan dengan konsentrasi 2-15% (Barel et al., 2009). 2.7.3.3 Titik lebur dan massa jenis Gliserin memiliki titik lebur 17,8oC dan massa jenis 1,2620 g/cm3 pada suhu 20oC (Rowe et al., 2009). 2.7.3.4 Kelarutan Gliserin larut dalam air, etanol dan metanol; sedikit larut dalam aseton;
45
praktis tidak larut dalam benzen, kloroform, dan minyak; kelarutan dalam eter 1:500; kelarutan dalam etil asetat 1:11 (Rowe et al., 2009). 2.7.3.5 Stabilitas Gliserin bersifat higroskopis, tidak mudah dioksidasi oleh atmosfer di bawah kondisi penyimpanan biasa, tapi akan terdekomposisi oleh panas dan akan berubah menjadi zat yang toksik. Campuran gliserin dengan air, etanol 96%, dan propilen glikol stabil secara kimia. Gliserin membentuk kristal jika disimpan pada temperatur rendah, kristal tidak meleleh sampai penghangatan hingga 20oC (Rowe et al., 2009). 2.7.3.6 Penyimpanan Gliserin dapat disimpan pada wadah kedap udara, di tempat sejuk dan kering (Rowe et al., 2009). 2.7.3.7 Inkompatibilitas Gliserin dapat meledak apabila dicampur dengan agen pengoksidasi kuat seperti kromium trioksida, atau potasium permanganat. Adanya besi pada gliserin bertanggung jawab menjadikan warna campuran yang mengandung fenol, salisilat, dan tanin menjadi lebih gelap (Rowe et al., 2009).
2.7.4 Metil Paraben 2.7.4.1 Deskripsi Metil paraben merupakan hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih, tidak berbau atau berbau khas lemah (Rowe et al., 2009). 2.7.4.2 Penggunaan
46
Metil paraben dengan persentase 0,02-0,3% digunakan sebagai bahan pengawet pada sediaan topikal. Metil paraben bersama dengan propil paraben digunakan pada berbagai formulasi sediaan farmasetika (Rowe et al., 2009).
2.7.4.3 Titik lebur dan pKa Metil paraben memiliki titik lebur 125-128°C dan memiliki pKa 8,4 pada suhu 22°C (Rowe et al., 2009).
2.7.4.4 Kelarutan Metil paraben larut dalam 2 bagian etanol 96%, larut dalam 3 bagian etanol 95%, larut dalam 6 bagian etanol 50%, larut dalam 10 bagian eter, larut dalam 60 bagian gliserin, praktis tidak larut dalam minyak mineral, larut dalam 200 bagian minyak kacang, larut dalam 5 bagian propilen glikol dan larut dalam 30 bagian air suhu 80°C (Rowe et al., 2009). 2.7.4.5 Stabilitas Larutan cair metil paraben pada pH 3-6 dapat disterilkan dengan autoklaf pada suhu 120°C selama 20 menit, tanpa terdekomposisi. Larutan pH 3-6 stabil (kurang dari 10% terdekomposisi) sekitar 4 tahun pada temperatur ruangan. Sementara larutan pH 8 atau lebih akan terhidrolisis dengan cepat (10% atau lebih sekitar 60 hari pada temperatur ruangan) (Rowe et al., 2009). 2.7.4.6 Penyimpanan Metil paraben disimpan dalam wadah tertutup baik. 2.7.4.7 Inkompatibilitas
47
Aktivitas antibakteri metil paraben dan paraben lainnya akan menurun jika terdapat surfaktan nonionik, seperti polisorbat 80, yang dapat menghasilkan misel. Inkompatibilitas dilaporkan terjadi dengan substansi lain seperti bentonit, magnesium trisilikat, talk, tragakan, sodium alginat, minyak essensial, sorbitol, dan atropin. Metil paraben juga bereaksi dengan beberapa gula dan gula alkohol. Polietilen dengan berat jenis rendah dan tinggi tidak menyerap metil paraben. Metil paraben kehilangan warnanya dengan keberadaan tembaga dan terhidrolisis dengan basa lemah dan asam kuat (Rowe et al., 2009).
2.7.5 Propil Paraben 2.7.5.1 Deskripsi Propil paraben merupakan serbuk berwarna putih, tidak berbau, dan tidak berasa (Rowe et al., 2009). 2.7.5.2 Penggunaan Propil paraben dengan persentase 0,01–0,6% digunakan sebagai bahan pengawet pada sediaan topikal. Propil paraben bersama dengan metil paraben digunakan pada berbagai formulasi sediaan farmasetika (Rowe et al., 2009). 2.7.5.3 Titik lebur dan pKa Propil paraben memiliki titik lebur 96-98°C dan memiliki pKa 8,4 pada suhu 22oC. 2.7.5.4 Kelarutan Propil paraben sangat mudah larut dalam aseton serta eter, larut dalam 1,1 bagian etanol 96%, larut dalam 5,6 bagian etanol 50%, larut dalam 3,9 bagian
48
propilen glikol, sukar larut dalam air mendidih (Rowe et al., 2009). 2.7.5.5 Stabilitas Larutan propil paraben berair pada pH 3-6 dapat disterilisasi dengan autoklaf tanpa terjadi dekomposisi. Pada pH 3-6, larutan berair stabil (terdekomposisi kurang dari 10%) untuk penyimpanan pada suhu kamar selama 4 tahun, sementara pada pH di atas 8 dapat cepat terhidrolisis (10% atau lebih setelah penyimpanan selama 60 hari pada suhu kamar) (Rowe et al., 2009). 2.7.5.6 Penyimpanan Propil paraben disimpan dalam wadah tertutup baik. 2.7.5.7 Inkompatibilitas Aktivitas antibakteri propil paraben akan menurun jika terdapat surfaktan nonionik yang dapat menghasilkan misel. Inkompatibilitas dilaporkan terjadi dengan substansi lain seperti magnesium aluminium silikat, magnesium trisilikat, tembaga oksida dan ultramarin biru hingga mampu mengurangi daya pengawet propil paraben (Rowe et al., 2009).
2.7.6 Akuades 2.7.6.1 Deskripsi Akuades merupakan cairan jernih tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau (Depkes RI, 2010). 2.7.6 .2Pengunaan Akuades digunakan sebagai pelarut (Depkes RI, 2010). 2.7.6.3 Massa jenis
49
Akuades memiliki massa jenis 1 g/cm3 (Depkes RI, 2010). 2.7.6.4 Kelarutan Akuades larut dalam etanol dan gliserol (Depkes RI, 2010).
2.7.6.5 Penyimpanan Akuades disimpan dalam wadah tertutup baik (Depkes RI, 2010).
2.8
Pembuatan Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Buah manggis yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Desa
Luwus, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali.Sampel diambil di satu wilayah agar meminimalkan kemungkinan variasi kandungan kimia tumbuhan akibat perbedaaan iklim dan lingkungan.Letak geografis yang berbeda dari suatu tanaman yang sama dapat menyebabkan variasi kandungan metabolit yang dimiliki, sehingga dapat terjadi perbedaan aktivitas farmakologi yang dihasilkan (Collegate dan Molyneux, 2008). Sampel buah manggis yang telah dikumpulkan kemudian dideterminasi di Balai Konservasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Kebun Raya Eka Karya Bali.Determinasi tanaman dilakukan untuk mengetahui kebenaran jenis tanaman yang diteliti. Data hasil determinasi menyatakan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah benar jenis Garcinia mangostana L. dan termasuk dalam family Clusiaceae (Lampiran 2). Buah manggis dicuci lalu dipisahkan daging dan buahnya. Kulit buah manggis kemudian diiris tipis dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada
50
suhu 65oC. Kulit buah yang telah kering kemudian diserbuk menggunakan blender dan diayak dengan pengayak mesh 20. Serbuk kering yang diperoleh disimpan di dalam wadah kering dan tertutup rapat (Utami, 2014). Serbuk kering yang diperoleh ditetapkan kadar airnya dengan metode gravimetric dan diperoleh kadar air sebesar 8,867 ± 0,115%. Selanjutnya serbuk kering kulit buah manggis didefating dengan n-heksan selama 1 hari dan dimaserasi dengan etanol 96% dengan perbandingan 1:10 b/v dan disertai pengadukan sesekali selama 3 hari pada suhu ruang. Ampas diremaserasi 1 kali dengan etanol 96% dengan perbandingan ampas : pelarut 1:4 b/v selama 1 hari di suhu ruang. Maserat yang diperoleh diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator pada suhu 50oC hingga dapat dituang kemudian diuapkan menggunakan oven pada suhu 50oC hingga diperoleh ekstrak kental (Utami, 2014). Selanjutnya ekstrak kental yang diperoleh dikeringkan dengan metode freeze drying. Daya aktivitas antioksidan ekstrak etanol kulit buah manggis yang dikeringkan dengan metode freeze drying lebih besar dari pada dikeringkan di bawah matahari langsung (Suryadi,2013). Rendemen ekstrak kering yang diperoleh sebesar 8,08% dengan organo leptis berwarna coklat, berbau khas dan rasa pahit. Selanjutnya dilakukan penetapan kadar air ekstrak kulit buah manggis dengan menggunakan metode gravimetri. Metode gravimetric digunakan untuk penetapan kadar air pada ekstrak yang tidak mengandung senyawa mudah menguap seperti minyak atsiri. Pada kulit buah manggis tidak mengandung minyak atsiri (Praptiwi, 2010). Berdasarkan hasil penetapan kadar air, diperoleh
51
kadar air ekstrak yakni 4,95 ± 0,187%. Hasil tersebut telah sesuai dengan persyaratan kadar air ekstrak kering yang baik yaitu tidak lebih dari 10%. Kadar air yang tinggi dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan jamur serta memicu terjadinya reaksi enzimatik pada ekstrak yang mengakibatkan kandungan kimia dalam ekstrak terdegradasi (Pasaribu et al., 2012)
2.9
Formulasi dan Evaluasi Masker Gel Peel Off Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Formula yang digunakan adalah PVA 10%, HPMC 2,64%, gliserin 7,61%,
ekstrak etanol 96% kulit buah manggis (Garciniamangostana L.) 0,5%, metil paraben 0,075%, propil paraben 0,025%, dan air 76,28% dibuat masker peel off sebanyak 100ml. Pertama-tama PVA didispersikan dalam akuades dengan pengadukan konstan dan didiamkan pada suhu 90ºC (campuran 1). HPMC dikembangkan dalam akuades dengan suhu 90oC, kemudian diaduk konstan dan dibiarkan selama 10 menit (campuran 2). Ekstrak dicampurkan kedalam gliserin (campuran 3). Metil paraben dan propil paraben dilarutkan dalam akuades (campuan 4). Campuran 1, 2, 3 dan 4 dicampurkan dan diaduk hingga homogeny (Utami, 2014). Hasil evaluasi dari penelitian ini sudah memenuhi persyaratan fisika dan kimia. Hasil dapat dilihat pada tabel 2.3.
52
Tabel 2.3 Hasil Evaluasi Masker Gel Peel Off Ekstrak Kulit Buah Manggis Evaluasi
Satuan
Hasil
Viskositas Dayasebar Waktu sediaan mengering pH
cps Cm menit
3626±107,8 6,6 ± 0,53 20
-
6,48 ± 0,09
Pustaka (Adhiningrat, 2015) 2000-4000 5-7 15-30
Kesimpulan
4-8
Memenuhi
Memenuhi Memenuhi Memenuhi