10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan 2.1.1. Pendahuluan Penuaan atau aging process adalah suatu proses bertambah tua atau adanya tanda-tanda penuaan setelah mencapai usia dewasa. Secara alamiah seluruh komponen tubuh pada tahap ini tidak dapat berkembang lagi, dan mulai terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan tersebut. Pada umumnya orang menganggap menjadi tua adalah takdir yang memang harus terjadi dan membiarkan berbagai tanda dan gejala penuaan
yang mulai
muncul tanpa mempertanyakan mengapa menjadi tua, sakit dan akhirnya meninggal. Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menjadi sakit dan akhirnya membawa kepada kematian. Berbagai faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal antara lain gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). Anti Aging Medicine menanggapi dan memperlakukan penuaan sebagai salah satu penyakit yang dapat dihindari, diobati, dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dipertahankan (Pangkahila, 2011).
10
11
Ketika manusia menjadi tua, tubuh hanya mampu memproduksi hormon lebih sedikit sehingga levelnya menurun. Hal ini menyebabkan berbagai fungsi tubuh terganggu sehingga timbullah berbagai keluhan. Keluhan tersebut antara lain menjadi tidak tahan terhadap suhu dingin, gerakan menjadi lambat, massa otot berkurang, lemak tubuh meningkat, ingatan menurun dan fungsi seksual terganggu. Karena berbagai hormon saling berkaitan, maka kurangnya produksi hormon tertentu mempengaruhi produksi hormon yang lain (Pangkahila, 2011) . Beberapa peneliti menduga bahwa penurunan kadar estrogen pada masa menopause juga dihubungkan dengan peningkatan kadar kortisol, suatu hormon
yang berhubungan
dengan keadaan stres yang
memicu akumulasi lemak abdomen (Harvard, 2006). Lingkar pinggang perempuan dewasa bertambah 4cm dalam 9 tahun (Tchkonia, 2010) 2.1.2 Teori Penuaan Ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai proses penuaan, yaitu : •
Teori Wear and Tear Teori ini menjelaskan bahwa tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena penggunaan yang berlebihan dan penggunaan yang salah (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Kerusakan ini terjadi pada organ dan di tingkat sel (Pangkahila, 2011).
12
•
Teori neuro endokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Dengan bertambahnya usia kemampuan tubuh untuk memproduksi hormon berkurang. Produksi hormon yang berkurang pada akhirnya akan mengganggu berbagai sistem tubuh (Pangkahila, 2011).
•
Teori kontrol genetik Teori ini berfokus pada genetik, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu. Penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat seseorang menjadi tua dan berapa lama seseorang dapat hidup (Pangkahila, 2011).
•
Teori radikal bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat menjadi tua karena terjadi kerusakan oleh radikal bebas. Radikal bebas ialah molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut, sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, dan akhirnya kematian sel. Molekul di dalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas ialah DNA, lemak, dan protein. Dengan bertambahnya usia, maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin bertambah, sehingga mengganggu metabolismee sel, meransang mutasi sel, yang pada akhirnya menyebabkan kanker dan kematian. Teori ini meyakinkan bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat mengembalikan proses penuaan. Mekanismenya
13
dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011). 2.1.3. Perubahan pada proses Penuaan Penuaan berhubungan dengan hilangnya lemak subkutan wajah dan peningkatan lemak subkutan abdomen. Perbedaan spesifik lokasi adiposit dan ekspresi gen berperanan penting dalam penimbunan lemak setempat yang berhubungan dengan bertambahnya usia. Chon mengisolasi dan mengkarakterisasi preadiposit wajah manusia dan mempelajari perbedaan pola diferensiasi preadiposit wajah dan abdominal (Chon, 2014) Pada wajah yang mengalami penuaan terdapat perubahan yang spesifik, banyak di antaranya hanya dikaitkan dengan efek gravitasi terhadapt kulit, otot dan lemak. Hal ini menjadi pertimbangan utama untuk dilakukan face lift dan reposisi jaringan ptotic. Pada penuaan, terjadi perubahan yang kompleks dimana hilangnya volume wajah merupakan hal yang paling signifikan. Perubahan ini mencakup atrofi otot, atrofi lemak dan resopsi tulang. Ada penelitian dimana perubahan tulang wajah dan perubahan bantalan lemak tulang pipi seiring dengan berjalannya waktu. Hasil dari studi ini menyatakan tulang satu per tiga bagian bawah dari wajah menjadi lebih masuk ke dalam karena penuaan dibandingkan dengan wajah bagian atas. Peneliti studi tersebut menduga adanya proses remodelling pada dinding anterior maksila membuat jaringan lunak turun ke bawah (Baumann, 2009). Pada suatu studi lain, ditemukan peningkatan insiden a negative vector face. A negative vector face adalah mereka yang memiliki timbunan
14
pada bantalan lemak tulang pipi yang mengarah ke belakang menuju ke suatu daerah yang sejajar di bawah kornea di cincin orbital. Dengan perubahan ini, lemak pada kelopak mata bawah tampak lebih menonjol tapi sebenarnya tidak mengalami hipertrofi (Baumann, 2009). Baumann pada tahun 2009 dengan menggunakan MRI mendapatkan dalamnya lipatan nasolabial merupakan kombinasi ptosis dan hipertrofi wajah atau kulit. Mereka menemukan perbedaan redistribusi lemak di dalam bantalan lemak tulang pipi seiring dengan bertambahnya umur dimana pada wanita yang lebih tua terjadi peningkatan ketebalan bagian tengah dari tulang pipi secara relatif dan kulit yang tumpang tindih dibandingkan dengan wanita yang lebih muda. Terdapat hal yang menarik dimana mereka tidak menemukan pertambahan panjang otot levator labii superior (Baumann, 2009). 2.2 Obesitas 2.2.1
Prevalensi Obesitas adalah salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan obesitas mengakibatkan banyak komplikasi penyakit degeneratif dan menahun bahkan kematian. Penyakit-penyakit tersebut antara lain diabetes mellitus tipe 2, toleransi glukosa terganggu, hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, penyakit kardiovaskular, sleep apnea, batu saluran empedu, osteoartrois, infertil dan penyakit kanker (Grundy, 2004).
15
Obesitas dapat diidentifikasi oleh meningkatnya angka dan ukuran adiposit. Adiposit, yang menyimpan kelebihan energi, mengeluarkan faktor parakrin yang menginduksi pertumbuhan dan perkembangan preadiposit di sekitarnya. Oleh karena itu, baik supresi diferensiasi dan penurunan viabilitas sel pre-adiposit dan adiposit adalah cara yang memungkinkan untuk mengatasi obesitas. Saat ini, banyak studi yang memfokuskan inhibisi adipogenesis. Bagaimanapun juga, kemampuan adiposit yang nyata untuk menahan apoptosis belum sepenuhnya dimengerti (Hailan dkk., 2011). Pada tahun 2008, lebih dari 1,4 milyar orang dewasa berumur 20 tahun ke atas mengalami obesitas di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut,lebih dari 200 juta laki-laki dan 300 juta perempuan obesitas memiliki resiko tinggi komplikasi metabolik dan kematian dini. Secara global, kegemukan dan obesitas adalah penyebab kematian kelima tertinggi di dunia pada tahun 2012 dan saat ini sedikitnya 3,4 juta orang dewasa meninggal setiap tahun sebagai akibat kegemukan atau obesitas. Disamping itu, 44% dari beban diabetes, 23% dari beban penyakit jantung iskemik dan antara 8-40% dari beban penyakit kanker tertentu melekat pada kegemukan dan obesitas (WHO, 2014). Untuk di Indonesia, berdasarkan data SUSENAS tahun 2004, prevalensi obesitas pada anak telah mencapai 11%. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia ≥ 15 tahun adalah 10,3% terdiri dari lakilaki 13,9%, dan perempuan 23,8% , sedangkan prevalensi overweight pada
16
anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%. Angka ini hampir sama dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak umur 5-17 tahun. Prevelensi gemuk dan obesitas pada penduduk di atas usia 18 tahun, pada tahun
2010 menunjukkan angka yang tinggi.
Sebanyak 21,7% penduduk di atas umur 18 tahun yang masuk golongan gemuk dan obesitas (Republika, 2011). Prevalensi obesitas meningkat dua kali lipat dalam dekade terakhir dan sekarang mencapai 15% dari populasi dewasa di Inggris dan sampai 50% pada kelompok ras tertentu (Davey, 2002). 2.2.2
Definisi Obesitas dan kegemukan didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang menimbulkan risiko bagi kesehatan. Kegemukan dan obesitas merupakan faktor risiko utama untuk sejumlah penyakit kronis, termasuk diabetes, penyakit jantung dan kanker. Ukuran populasi obesitas adalah indeks massa tubuh (BMI), berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Orang dengan BMI lebih dari 30 kg/m2 atau lebih umumnya dianggap obesitas. (WHO, 2014) Overweight didefinisikan memiliki berat badan berlebih jika dibandingkan dengan orang sehat yang seumur. Istilah obesitas digunakan pada orang yang sangat overweight dengan presentasi lemak tubuh yang tinggi (Stern, 2009).
17
2.2.3
Etiopatogenesis
2.2.3.1 Genetik Faktor genentik dan lingkungan merupakan faktor utama dalam perkembangan obesitas. Efek genetik bersifat kompleks dan poligenik dengan kemungkinan diturunkan 40%-70% (Davey, 2002). Suatu studi dimana beberapa orang kembar monozigot yang diberi makanan berlebih sebanyak 100 kkal/hari, 6 hari perminggu selama lebih dari 100 hari ditemukan bahwa jumlah pertambahan berat badan yang secara signifikan bervariasi di antara pasangan kembar tersebut (Davey, 2002). 2.2.3.2 Neuroendokrin Neuropeptida Y (hormon Hipotalamus yang merangsang nafsu makan) dan leptin (hormon peptida yang disintesa di jaringan lemak yang bekerja di hipotalamus untuk menekan asupan makanan dan pengeluaran energi),
bekerja
sama
dengan
neurotransmiter
lain,
mengatur
keseimbangan energi. Mutasi dari reseptor dan transmiter berhubungan dengan obesitas pada tikus percobaan dan beberapa kasus obesitas berat yang jarang pada manusia (Davey, 2002). 2.2.3.3 Obat-obatan yang terbukti meningkatkan terjadinya obesitas Menurut Davey (2012), beberapa obat yang dapat meningkatkan terjadinya obesitas antara lain:
18
Tabel 2.1 Obat-obatan yang meningkatkan obesitas KATEGORI
OBAT YANG MENYEBABKAN OBESITAS
Neuroleptics
Thioridazine, olanzepine quetiapine, resperidone, clozapine, ziprasodone
Antidepresan trisiklik Inhibitor
Amitriptyline, nortriptyline
Monoamine Impramine, mitrazapine
oxidase Selective serotonin reuptake Paroxetine inhibitors Anti konvulsan
Asam Valproat, carbamazepine, gabapentin
Anti diabetes
Insulin, sulfonilurea, thiazolidinediones
Anti serotonin
Pizotifen
Anti histamin
Siproheptadin
β-adrenergic bloker
Propanolol, terazosin
Hormon Steroid
kontrasepsi,glukokortikoid,progestational steroids
2.3 Penilaian Obesitas 2.3.1 Estimasi Berat Badan Ideal Karena definisi overweight yang bervariasi, para ahli berusaha mengembangkan definisi yang bermanfaat untuk berat badan yang sehat. Rekomendasi mereka telah berkembang dari standar berat badan untuk tinggi badan menjadi berat badan berdasarkan jenis kelamin (Stern,2009)
19
Pengukuran berat badan ideal terbaru yang diusulkan adalah Body Mass Index (BMI) atau Indeks massa tubuh (IMT) yang diaplikasikan untuk semua orang dewasa. Indeks Massa Tubuh dihitung dengan cara : IMT = berat badan (kg)/ tinggi badan (m2) Angka ini digunakan untuk menganalisa efek kesehatan berat badan. Karena dalam penghitungan Indeks massa tubuh, umur dan populasinya tidak berdasarkan ukuran tertentu/independen, Indeks massa tubuh dapat digunakan untuk perbandingan studi silang di seluruh dunia. Penghitungan Indeks massa tubuh dimaksudkan untuk diaplikasikan hanya pada orang dewasa yang berumur 20 tahun ke atas (Stern, 2009). Menurut International Obesity Task Force (IOTF) WHO pada tahun 2004, klasifikasi berat badan berdasarkan IMT pada Penduduk Asia sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini
Tabel 2.2 Klasifikasi Berat Badan yang diusulkan berdasarkan IMT pada Penduduk Asia Dewasa (IOTF, WHO 2004) Kategori
IMT (kg/m2)
Underweight < 18.5 kg/m2
Risiko Comorbiditas Rendah (tetapi risiko terhadap masalahmasalah klinis lain meningkat)
Normal
18.5 - 22.9 kg/m2
Overweight:
> 25
At Risk
27.5- 29.9 kg/m2
Meningkat
Obesitas I
30.0 -32.49kg/m2
Sedang
Obesitas II
35.0–37.49 kg/m2 Berbahaya
Obesitas III
>40kg/ m2
Rata rata
Berbahaya
20
2.3.2 Pengukuran Lingkar Pinggang Pengukuranan lingkar pinggang paling tepat untuk menentukan obesitas sentral. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita plastik atau logam yang tidak elastis, di daerah setinggi umbilicus atau pada titik tengah antara tulang iga paling bawah dengan puncak tulang iliaka. Walaupun pengukuran lemak viseral/sentral yang paling akurat adalah dengan CT scan atau MRI, tetapi mahal dan tidak praktis. Penelitianpenelitian membuktikan lingkar perut adalah pemeriksaan yang baik dan praktis serta tidak sulit (Despres, 2001). Jaringan subkutan atau hipodermis adalah salah satu jaringan yang terbesar yang Ada pada tubuh manusia. Komponen Utama lapisan ini adalah adiposit, jaringan fibrosa, dan pembuluh darah. Diperkirakan lapisan ini mewakili 9%-18% dari berat badan pada pria dengan berat badan normal dan 14-20 dari berat badan pada wanita dengan berat badan normal. Massa lemak dapat meningkat empat kali lipat pada obesitas berat, yang mewakili 60-70% dari berat badan. Meskipun Pertambahan lemak ini tidak diinginkan oleh banyak orang, kehilangan lemak di wajah juga memiliki implikasi tersendiri secara kosmetik. Pertambahan dan hilangnya jaringan adiposa dan perubahan volumenya berkontribusi pada penampilan wajah dan tubuh yg menua (Baumann, 2009). Jaringan subkutan biasanya tidak terlalu diperhatikan dibandingkan dengan dermis atau epidermis Karena kelainan pada lapisan ini dapat di deteksi dengan kerokan atau small punch biopsy. Jaringan subkutan Akan
21
diperhatikan bila telah mengalami defek yang luas dan akhirnya diperlukan large punch biopsy (Baumann, 2009). Mengetahui jumlah total lemak di dalam tubuh adalah hal utama untuk
mengetahui
tingkat
obesitas
dan
bahaya kesehatan
yang
ditimbulkannya, hal lain yang juga tak kalah penting adalah mengetahui distribusi atau lokasi lemak tersebut berada (Baumann, 2009). Lemak yang berada di sekitar perut (abdominal fat) memberikan risiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan lemak di daerah paha atau bagian tubuh.yang lain (gluteofemoral fat). Suatu metode yang sederhana namun cukup akurat untuk mengetahui hal tersebut adalah mengukur lingkar pinggang (Baumann, 2009). Pengukuran lingkar pinggang adalah sebuah tolak ukur dari massa lemak intra abdominal dan total body fat. Perubahan dalam lingkar pinggang
menggambarkan
perubahan
faktor
risiko
penyakit
kardiovaskular dan penyakit-penyakit kronik lainnya (WHO, 2014). 2.4 Hubungan Obesitas dengan Penuaan Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu tanda fisik dan tanda psikis. Tanda fisik seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun dan sakit tulang. Tanda psikis antara lain menurunnya gairah hidup sulit tidur, mudah cemas, mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi (Pangkahila, 2011).
22
Obesitas adalah sebuah kondisi dimana terjadi akumulasi lemak yang abnormal yang menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan dan penurunan harapan hidup. Bertambahnya berat badan dan akumulasi jaringan lemak meningkatkan risiko penyakit-penyakit seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus tipe dua, penyakit muskuloskletal, penyakit paru-paru dan beberapa jenis kanker. Ketidakseimbangan komposisi
tubuh
dan
berat
badan
merupakan
sebuah
keadaan
meningkatnya stres oksidatif dan inflamasi dalam tubuh. Meningkatnya stres oksidatif dan inflamasi mempengaruhi telomer. Telomer merupakan sebuah protein DNA yang ditemukan pada ujung kromosom eukariot dan berfungsi sebagai penanda penuaan biologis. Telomer juga berfungsi mempertahankan integritas genom dan berperan dalam disfungsi metabolik akibat penuaan. Erosi telomer berbahaya bagi sel yang sehat, dan dikenal sebagai mekanisme senesens atau penuaan sel dini dan berkurangnya harapan hidup. Hubungan antara telomere dan stres oksidatif terbukti secara in vitro, dimana stres oksidatif meningkatkan proses erosi pada setiap siklus replikasi. Telomer yang memendek dikaitkan dengan meningkatnya indeks massa tubuh, meningkatnya adipositas, dan meningkatnya waist to hip ratio serta akumulasi lemak viseral yang berlebih.
Gangguan
metabolik
yang
diakibatkan
oleh
obesitas
mengakibatkan disfungsi organ yang menyerupai proses penuaan (Tzanetakou, 2012).
23
2.5 Penimbunan lemak setempat Manusia merupakan mahluk yang unik diantara mamalia dalam hal perbedaan total lemak tubuh dan distribusinya pada laki-laki dan perempuan. Sekitar 15% dari massa tubuh pria dewasa sehat adalah lemak sedangkan pada wanita sekitar 27%. Perbedaan ini timbul sejak lahir, tetapi
selama masa pubertas peningkatan kadar estrogen menurunkan
kemapuan wanita untuk mengoksidasi lemak dan meningkatkan kapasitas wanita untuk menyimpan lemak. Jaringan adiposa wanita terdeposit terutama di daerah subkutan abdomen, payudara, pinggul, dan paha sedangkan pada pria lebih cenderung terakmuluasi pada jaringan adiposa viseral (Bellisari, 2013). Berat badan cenderung bertambah seriring dengan bertambahnya usia karena menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan pengeluaran energi dibanding jumlah makanan yang dikonsumsi (Chapman, 2010). Timbunan lemak lokal terjadi ketika jaringan lemak terakumulasi pada bagian-bagian tertentu dari tubuh pada wanita dan laki-laki (Anonim, 2014). Pada proses penuaan terjadi peningkatan deposit lemak dan penurunan massa lemak bebas karena berkurangnya otot skeletal sehingga orang tua memiliki lemak tubuh lebih banyak dibanding orang muda. Pada suatu studi, rata-rata presentasi lemak tubuh pada orang yang berusia 75 tahun dengan berat 80kg adalah 29%, sedangkan orang muda yang berusia 20 tahun dengan berat badan sama hanya memiliki 15% lemak
24
tubuh. Peningkatan lemak tubuh ini memiliki banyak sebab yaitu penurunan aktivitas fisik, penurunan sekresi growth hormon, penurunan hormon seks, dan penurunan resting metabolic rate (Chapman, 2010). Penimbunan lemak setempat adalah masalah yang umum terjadi dan menyebabkan penampilan yang kurang baik secara estetik dari tubuh (timbunan lemak) dan kulit (selulit) (Anonim, 2104). Pada manusia, sebagian besar lemak terdeposit pada subkutan, sampai dengan 20% dari total lemak tubuh terdeposit pada jaringan adiposa di dalam rongga abdomen. Pola distribusi lemak adalah penentu utama dari variasi bentuk tubuh (Bray, 2005). 2.4.1 Variasi bentuk tubuh Terdapat 3 macam variasi bentuk tubuh berdasarkan karakteristik distribusi lemak (Boyko, 2000), antara lain: 1. Gynoid (Bentuk Peer) Lemak disimpan di sekitar pinggul dan bokong Tipe ini cenderung dimiliki wanita. Risiko terhadap penyakit pada tipe gynoid umumnya kecil, kecuali risiko terhadap penyakit arthritis dan varises vena (varicose veins)
Gambar 2.1 Bentuk tubuh Gynoid
25
2. Apple Shape (Android) Biasanya terdapat pada pria. dimana lemak tertumpuk di sekitar perut. Risiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi dibandingkan dengan tipe Gynoid, karena sel-sel lemak di sekitar perut lebih siap melepaskan lemaknya ke dalam pembuluh darah dibandingkan dengan sel-sel lemak di tempat lain. Lemak yang masuk ke dalam pembuluh darah dapat menyebabkan penyempitan arteri (hipertensi), diabetes, penyakit kandung empedu, stroke, dan jenis kanker tertentu (payudara dan endometrium
Gambar 2.2 Bentuk tubuh Apple Shape 3. Ovioid (bentuk kotak buah) Ciri dari tipe ini adalah "besar di seluruh bagian badan". Tipe Ovid umumnya terdapat pada orang-orang yang gemuk secara genetik
Gambar 2.3 Bentuk Tubuh Ovioid
26
Beberapa contoh penimbunan lemak setempat yang berkaitan dengan penuaan antara lain : 1. Selulit Selulit terjadi terutama pada wanita tua pada bokong, perut dan paha. Faktor risiko seperti kurang berolahraga, obesitas, usia tua, memiliki hormon berlebih dan drainase limfatik yang kurang baik mencetuskan timbulnya selulut. Hal ini ditandai dengan lekukan dan nodul pada kulit, dimana kulit tampak dan terasa tidak rata, seperti kulit jeruk (Baumann, 2009). Selulit lebih banyak dihasilkan dari perubahan di dermis daripada di jaringan subkutan. Meskipun selulit sering ditemukan pada wanita yang sehat, tidak obesitas tetapi selulit akan diperburuk dengan adanya obesitas. Selulit diperkirakan terbentuk dari penghancuran kolagen di dalam dermis, yang memicu adanya area yang lemah di dermis dan penonjolan lemak subkutan ke dermis seperti penekanan mikrosirkulasi di dermis. Pengurangan massa lemak dapat juga dilakukan dengan lipolisis, seperti liposuction dan mesoterapi (Baumann, 2009). 2. Lipodistrofi Lipodistrofi adalah istilah yang menjelaskan suatu abnormalitas dimana terjadi peningkatan lemak subkutan (lipohipertrofi) atau penurunan lemak subkutan (lipoatrofi). Lipodistrofi dapat terjadi secara kongenital atau didapat, terjadi meluas, sebagian atau setempat. Dua bentuk kelainan yang umum terjadi yaitu lipodistrofi karena proses penuaan dan karena HIV (Baumann, 2009).
27
Selain berbagai masalah bagi kesehatan yang dapat terjadi, obesitas juga dapat mengurangi penampilan fisik seseorang. Penimbunan lemak setempat yang seringkali disertai dengan selulit, khususnya pada wanita, membuat wanita menjadi tidak nyaman dan kurang percaya diri dengan penampilannya. Hal ini yang mendorong para wanita untuk mengatasi hal tersebut dengan berbagai cara (Dunn, 2003). Penanganan obesitas selalu diawali dengan perubahan pola makan dengan mengkonsumsi diet rendah kalori, dan berolahraga teratur. Bila tidak berhasil atau disertai dengan komorbiditas, maka perlu diberikan terapi medis dalam penanganannya. Pemilihan terapi medis dalam penanganan obesitas disesuaikan dengan berat badan seseorang. Terapi medis yang diberikan mulai dari perubahan gaya hidup, pola makan yang sehat, farmakoterapi hingga tindakan bedah seperti Liposuction, yang diikuti risiko infeksi dan ketakutan, seperti komplikasi pada anestesi umum (Dunn, 2003). 2.4.2 Penanganan Timbunan Lemak Setempat Meskipun obesitas dianggap sebagai penyakit, tetapi sumber daya untuk mengatur dan menanganinya sangat terbatas (Wimalawansa, 2014). Sangat penting untuk mendapat pendekatan baru untuk mengidentifikasi mereka yang mempunyai faktor resiko tinggi untuk komplikasi lebih lanjut dan untuk mengembangkan rencana intervensi yang memiliki target dengan biaya yang terjangkau. Seperti penyakit lain, obesitas mempunyai penyebab (kalori yang tidak berimbang, makanan yang berkalori tinggi, makanan yang bergizi rendah), patofisiologi (distribusi lemak abnormal
28
dan mekanisme kontrol berat badan tidak jelas) dan ketersediaan terapi yang efektif (Wimalawansa, 2014). Rasa takut terhadap operasi dan komplikasinya telah melahirkan metode alternatif yang lebih aman dan efektif untuk mendapat reduksi deposit lemak setempat pada wajah atau tubuh (Hexsel dkk., 2003). Teknik yang paling banyak digunakan untuk membentuk tubuh selama ini adalah liposuction. Sekarang ini, banyak metode untuk penanganan obesitas yang
telah diperkenalkan di seluruh dunia dan
banyak laporan kasus yang telah dipublikasi. Senyawa fosfatidilkolin dan asam deoksikolat adalah satu diantaranya, dan telah diperkenalkan untuk mereduksi lemak jaringan secara efisien tanpa komplikasi serius (Noh, 2012). Injeksi Subkutan Fosdatidilkolin dan Asam Deoksikolat
telah
digunakan secara luas di banyak negara untuk jangka waktu yang lama untuk mengeliminasi timbunan lemak sebagai alternatif Liposuction (Won dkk., 2013). Koreksi pembentukan tubuh dapat menurunkan faktor resiko obesitas tetapi lebih penting hal ini meningkatkan kepercayaan diri pasien. Contoh yang khas untuk pembentukan tubuh yaitu liposuction. Prosedur ini dilakukan dengan anestesi umum dan lebih mahal. Lebih jauh lagi komplikasi fatal dapat terjadi, seperti emboli lemak dan sepsis, walaupun hal ini jarang terjadi. Oleh karena itu, banyak metode lain yang dikembangkan untuk membentuk tubuh melalui reduksi lemak setempat. Meskipun banyak dari prosedur ini telah tersedia, masih sedikit yang telah
29
diuji efikasi dan keamanannya untuk mereduksi sel dan jaringan adiposa (Noh, 2012). Mesoterapi merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk mereduksi penimbunan lemak setempat. Mesoterapi adalah penggunaan injeksi intrakutan atau subkutan yang mengandung bahan atau kombinasi bahan untuk mengobati penyakit medis lokal dan beberapa kondisi kosmetik. Mesoterapi juga dikenal sebagai intradermotherapy, yang tidak menunjukkan
pengobatan
setiap
kondisi
tertentu,
melainkan
menggambarkan suatu metode pengiriman obat (Rotunda, 2006). Zat–zat yang dimasukkan antara lain aminophylline, pentoxifylline, L-carnitin, procaine, lidocaine, phosphatidylcholine, organic silicium (Rittes dkk., 2006). 2.6.
Ekstrak Kedelai
2.6.1
Taksonomi Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan seperti kecap dan tempe. Nama ilmiah
: Glycine Soja Sieb. et Zucc
Nama lokal
: Kedelai (Indonesia) Kedhele (Madura) Kedelai, Kacang jepun, Kacang bulu (Sunda) Lawui (Bima) D e l e , D a n g s u l , D e k e m a n (Jawa) Retak Menjong (Lampung)
30
KacangR i m a n g ( M i n a n g k a b a u ) Sarupapa (Titak) Kadale (Ujung Pandang) Gadelei (Halmahera) Nama asing
: Soybean (Inggris), Soyaboon (Belanda).
Berikut adalah klasifikasi ilmiah dari kedelai : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonnae
Ordo
: Leguminales
Famili
: Leguminoceae
Marga
: Glycine
Spesies
: Glycine max (L.) Merill (Adisarwanto,2005)
Kedelai mengandung karbohidrat kompleks, protein nabati, serat, oligosakarida, isoflavon dan mineral. Karbohidrat kompleks dan kandungan serat berkontribusi terhadap indeks glikemik yang rendah, yang menguntungkan bagi penderita diabetes, mengurangi risiko diabetes. Mengganti protein hewani dengan sayuran dapat mengurangi ekskresi kalsium urin dan mengurangi risiko osteoporosis. Komponen serat makanan mencakup serat larut dan tak larut, yang bermanfaat bagi kesehatan. Mineral dalam kedelai, dapat
mengurangi risiko osteoporosis dan hipertensi.
Protein kedelai memiliki daya cerna protein yang sama baiknya dengan protein telur. Kedelai juga dapat menurunkan kolesterol karena
31
kandungan protein dan isoflavonnya. Isoflavon kedelai dapat berfungsi juga sebagai antioksidan (Anderson dkk., 1999). Kedelai mengandung asam linoleat yang merupakan asam lemak yang dominan dan 7% asam linolenat (Anderson dkk., 1999). Kedelai juga mengandung lesitin sekitar 2%. Lesitin ini merupakan sumber senyawa kolin yang penting untuk pembentukan fosfolipid di dalam membran sel (Maria, 2008). Lesitin ini terdiri dari 98% fosfolipid, yaitu fosfatidilkolin (25,0%), fosfatidiletanolamin (22,0%), fosfatidilinositol (18,0%), lysofosfatidilkolin (1,0%), fosfolipid lainnya dan glikolipid (34,0% ) (Drake, 1998). Kedelai Indonesia dengan kandungan lemak tertinggi yaitu 19,3-20,8% adalah kedelai Argomulyo. Kandungan lemak ini hampir setara dengan kedelai impor yang mengandung lemak sekitar 21,4-21,7%, Keunggulan lain dari kedelai Argomulyo adalah sifatnya yang resisten terhadap hama daun sehingga mudah dibudidaya (Ginting dkk., 2009). 2.7. Fosfatidilkolin Fosfatidilkolin
banyak
terdapat
pada
kedelai
(Noh,
2012).
Fosfatidilkolin merupakan komponen fosfolipid utama pada membran sel dan menjadi precursor dari asetilkolin. Molekul phosphatydilcholine terdiri dari kelompok phosphorylcholine, gliserol phosphat, dan dua rantai asam lemak yang bervariasi. Zat ini mencegah akumulasi lemak dan digunakan untuk mengobati gagal hati yang diinduksi fatty liver, iskemi miokardium,, strok dan demensia. Fosfatidilkolin juga telah diperkenalkan untuk lipolisis untuk penanganan obesitas di Amerika, Eropa dan Amerika Selatan. Asam
32
deoksikolat digunakan untuk memproduksi deterjen sehingga fosfatidilkolin dapat terlarut dengan baik (Noh, 2012).
Gambar 2.4 Molekul fosfatidilkolin (Dikutip dari Kurniawan, 2010)
Gambar 2.5 Biosintesis fosfatidilkolin ( Dikutip dari Kurniawan, 2010)
33
Fosfatidilkolin adalah fosfolipid yang diekstraksi dari lesitin kedelai yang terdapat dalam jumlah banyak di dalam membran sel, secara aktif terlibat dalam struktur dan transportasi antarsel. Zat ini dapat mengubah kolestrol dan metabolisme trigliserid lain. Zat ini dapat meningkatkan kelarutan kolestrol, mengubah komposisi deposit lemak, dan menghambat agregasi plak. Karena alasan-alasan tersebut, fosfatidilkolin digunakan secara intravena pada pengobatan ateroma lemak, hiperkolestrolemi, emboli lemak, deposit lemak atau adhesi plak di dinding arteri, gangguan mental, gangguan jantung dan hati yang diinduksi pengobatan, alkohol, polusi, virus dan toksin (Hexsel dkk., 2003). Peningkatan fosfatidilkolin pada membran sel dapat mempercepat lipolisis dengan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin. Disamping itu, fosfatidilkolin adalah fosfolipid utama pada surfaktan di paru. Di sisi lain, fosfatidilkolin menginduksi apoptosis sel kanker hati. Selain itu, ukuran lipoma berkurang setelah suntikan fosfatidilkolin intralesi (Hailan dkk., 2011). Rotunda mengemukakan bahwa efek lipolitik yang dimiliki fosfatidilkolin dalam darah dan hati memberikan hasil yang memuaskan untuk efek lipolitiknya setelah injeksi subkuta (Rotunda, 2006). Fosfatidilkolin pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960an. Fosfatidilkolin digunakan pertama kali sebagai pilihan pengobatan untuk kasus kardiovaskular, penyakit cerebrovaskular, dan pencegahan demensia. Pada tahun 1980an, fosfatidilkolin dilaporkan untuk terapi estetik pada International Convention of Mesotherapy di Paris. Pada konvensi ini, dr.
34
Sergio Magguion dari Italia mengumumkan pertama kali efek lipolitik fosfatidilkolin untuk mengatasi xantelasma pada kelopak mata. Pada pertengahan 1990an, seorang dermatolog dari Brazil, dr.Patricia Rittes mempublikasi petunjuk penggunaan fosfatidilkolin untuk menghilangkan lemak intraorbital. Hal ini menginisiasi penemuan-penemuan banyak teknik lipolisis parsial di seluruh dunia dan banyak penelitian di Amerika Serikat di bawah pengawasan FDA. Pada tahun 2006, dr. Franz Hasengschwandtner dari Austria mempublikasi penemuan dimana 441 pasien yang mendapat suntikan fosfatidilkolin mengalami efek lipolisis. Dia menjelaskan bahwa fosfatidilkolin sangat aman, dan 6 pasien yang terlibat dalam studi tersebut sangat puas dengan hasilnya (Noh, 2012). Dari beberapa laporan yang dihasilkan membuat banyak praktisi medis di Perancis, Italia dan Brasil mulai menggunakan Lipostabil® (yang diperuntukkan untuk injeksi intravena) sebagai injeksi subkutan untuk menghancurkan deposit lemak lokal. Di Brazil, penggunaan fosfatidilkolin untuk kosmetik dimulai pada akhir tahun 1990an. Fosfatidilkolin telah digunakan secara luas di Brazil untuk berbagai kondisi klinis dimana terdapat penumpukan lemak di jaringan subkutan. Kondisi ini diobati secara konvensional dengan liposuction atau dermolipectomy. Fosfatidilkolin lebih efektif dan memiliki efikasi lebih tinggi pada beberapa kasus, baru, kurang invasif, pengobatan potensial yang menjanjikan untuk kondisi yang meliputi ”buffalo-hump” (kondisi yang tidak estetik yang berhubungan dengan HIV dengan Fat Redistribution Syndrome/FRS), lipoma, eye bulging, dan
35
Xantelasma. Kemungkinan penggunaan lain meliputi lemak setempat di paha, pinggul, perut leher, bagian bawah wajah (Hexsel dkk., 2003). 2.7.1
Mekanisme kerja fosfatidilkolin Mekanisme kerja fosfatidilkolin yang disuntikkan ke dalam jaringan subkutan belum jelas, namun diduga obat ini menembus sel lemak melalui double lipid layer dan berperan sebagai bahan yang melarutkan lemak (emulfying agent). Namun, belum ada studi histologis dan atau farmakodinamis yang menguatkan dugaan tersebut (Hexsel dkk., 2003). Formulasi fosfatidilkolin yang umumnya digunakan di klinik berisi fosfatidilkolin dan asam deoksikolat. Hal ini menandakan bahwa asam deoksikolat (deterjen dalam formulasi fosfatidilkolin) adalah zat aktif untuk menghancurkan lemak dan bukan fosfatidilkolin. Efek samping utama dari penyuntikkan formulasi fosfatidilkolin hanya ringan seperti kemerahan, bengkak dan kulit menjadi sensitif bila disentuh di bawah area suntikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa efek samping yang tersebut di atas terjadi karena asam deoksikolat, bukan karena fosfatidilkolin itu sendiri. Asam deoksikolat menginduksi lisis membran sel yang kemudian menghasilkan nekrosis. Hal ini menjadi menarik karena hasil pemeriksaan MTT dengan jelas mengindikasikan bahwa fosfatidilkolin sendiri tanpa asam deoksikolat menginduksi apoptosis sel 3T3-L1 pre-adipocytes. Hasil ini juga menunjukkan bahwa efek kematian sel 3T3-L1 oleh formulasi fosfatidilkolin tidak hanya tergantung pada asam deoksikolat. Disamping itu, percobaan flow cytometric menunjukkan bahwa terapi dengan Lipobean® menyebabkan lisis membran sel karena asam deoksikolat.
36
Perbedaan besar pada luasnya viabilitas sel saat ini dengan eviden di antara
0,5mg/ml-1mg/ml
Lipobean®.
Konsentrasi
Lipobean®
ini
merupakan ambang batas untuk stabilitas membran (Hailan dkk., 2011). Pada studi Hailan dkk, formulasi fosfatidilkolin dengan asam deoksikolat menginduksi lisis berbagai sel termasuk pre-adipocytes, fibroblas normal, sel endotel, dan sel otot rangka dalam cara yang tidak spesifik. Injeksi formulasi fosfatidilkolin dengan asam deoksikolat dapat menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan fosfatidilkolin sendiri tanpa asam deoksikolat tidak menginduksi kematian sel fibroblas normal. Hal ini menjadi penting bahwa fosfatidilkolin hanya mereduksi viabilitas adiposit secara spesifik, tetapi tidak menurunkan viabilitas sel lain seperti fibroblas. Di sisi lain, formulasi fosfatidilkolin dan asam deoksikolat menginduksi kematian dua tipe sel. Hasil ini mengindikasikan bahwa kandungan asam deoksikolat di dalam fosfatidilkolin menginisiasi lisis sel yang memicu terjadinya nekrosis sel. Studi lebih jauh dibutuhkan untuk mengkonfirmasi hal tersebut (Hailan dkk., 2011). Fosfatidilkolin menginduksi apoptosis di sel seperti sel kanker kolon, sel endotel vaskular dan makrofag. Fosforilasi dari jalur stress-activated protein kinase dan pembelahan dari caspases merupakan jalur utama apoptosis. Khususnya, aktivasi induksi the death-receptor dari caspase-8 dan jalur mitokondria
adalah hal yang utama dalam jalur apoptosis.
Fosfatidilkolin yang menginduksi apoptosis dikarenakan meningkatnya aktvasi reseptor kematian sel. Kemungkinan ini dapat diperiksa lebih jauh
37
untuk menjelaskan jalur apoptosis yang diinduksi oleh fosfatidilkolin (Hailan dkk., 2011). Kematian sel, termasuk apoptosis dan nekrosis, diikuti pembelahan protein dan DNA. Dua jalur kematian sel ini dihubungkan dengan perbedaan pola dari pembelahan protein. Sebagai contoh, pembelahan poly(ADP-ribose) polymerase (PARP) memicu fragmen 85kD selama apoptosis tetapi memicu fragmen 50kD pada nekrosis sel mati. Caspase-3 adalah sinyal transduser pada pre-adiposit 3T3-L1 (Hailan dkk., 2011). Walaupun jaringan adiposa secara umum dipertimbangkan sebagai tempat penyimpanan energi sementara pada tubuh manusia, jaringan adiposa juga berfungsi sebagai organ endokrin yang mengontrol sistem vaskular, respons imun, dan metabolisme melalui sekresi growth factor, hormon, sitokin dan enzim. Hormon yang diproduksi jaringan adiposa disebut juga Adipokines, seperti adiponektin, leptin dan resistin secara dominan disekresi oleh jaringan adiposa dan merupakan protein bioaktif yang penting yang mengatur perkembangan obesitas dan komplikasinya termasuk Diabetes Mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Sebagai tambahan, adiposit sangat esensial untuk memproduksi pro-inflamatory cytokines seperti TNF-α, Interleukin-6 (IL-6), dan chemokin monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1) (Won dkk., 2013). Pada studi in vivo lainnya dengan bahan percobaan menggunakan kelinci menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara lemak yang disuntikkan dengan preparat fosfatidilkolin dan kontrol 21 hari setelah penyuntikkan. Bagaimanapun juga, studi tersebut melaporkan inflamasi
38
berat dan fibrosis selama durasi ekperimen seluruhnya. Beberapa laporan mendukung hipotesis bahwa preparat fosdatidilkolin/asam deoksikolat menginduksi sel inflamasi yang menginfiltrasi ke tempat suntikkan dan terjadi kerusakan jaringan secara progresif setelah suntikkan (Won dkk., 2013). Studi lain melaporkan bahwa hanya dengan suntikan asam deoksikolat ke kulit daging babi yang baru dibuang menyebabkan rusaknya jaringan sel lemak, serupa dengan suntikkan kombinasi preparat fosdatidilkolin/asam deoksikolat (Won dkk., 2013). Oleh karena itu, penemuan Won dkk dapat mencerminkan kematian adiposit atau kerusakan sitotoksik oleh karena asam deoksikolat sendiri. Fosfatidilkolin sendiri tidak mempengaruhi viabilitas adiposit dan berperan protektif melawan efek kerusakan yang ditimbulkan oleh asam deoksikolat (Won dkk., 2013). Meskipun Palumbo dkk melakukan percobaan secara in vitro ke dalam jaringan adiposa yang telah dibelah dan adiposit, saran mereka mungkin merupakan penjelasan yang krusial mengapa injeksi hanya dengan fosfatidilkolin tidak mereduksi massa DNA adiposa pada studi tersebut (Palumbo, 2010). Karena alasan ini, fosfatidilkolin dapat meregulasi penurunan ekspresi gen hormon jaringan adiposa seperti adiponektin, leptin dan resistin sedangkan suntikan asam deoksikolat sendiri dapat merusak jaringan adiposa inguinal, yang menghasilkan penurunan ekspresi gen hormon (Won dkk., 2013).
39
Pemberian
fosfatidilkolin
meningkatkan
transkripsi
Hormon-
sensitive Lipase, enzim kunci dari lipolisis, dan menurunkan peripilin (anti-lipolytic factor) (Won dkk., 2013). Pada penelitian yang lebih dahulu yang mencakup 3T3-L1 cell lines, pengobatan
dengan
fosfatidilkolin
sendiri
meningkatkan
lipolisis
(moderately) sama seperti dengan pengobatan dengan isoproterenol, dan studi ini tidak menunjukkan toksisitas ke dalam sel. Sebaliknya, kombinasi fosfatidilkolin/asam deoksikolat tidak mempengaruhi lipolisis dan menunjukkan sitotoksisitas ke dalam sel, meskipun aktivitas dari fosfatidilkolin sendiri tidak diobservasi dengan dosis tertentu (Klein dkk., 2009). Meskipun memiliki aktivitas lipolitik yang lemah, fosfatidilkolin dapat menginduksi lipolisis dengan mekanisme yang berbeda dari respon katekolamin adiposit. Hal ini didukung oleh observasi Won dkk dimana terdapat penurunan ekspresi gen ATGL (adipose triglyceride lipase) dan TGH (triacylglycerol hydrolase) pada bantalan lemak yang telah diobati dengan fosfatidilkolin, yang mencakup respon lipolitik dan PPARγ (peroxisome proliferator-activated receptor-γ), suatu petanda lipogenesis. Lebih jauh lagi, pengobatan dengan asam deoksikolat sendiri mereduksi ekspresi gen dari semua faktor-faktor yang berhubungan dengan lipolisis dan petanda lipogenesis. Kerusakan adiposit dari asam deoksikolat sendiri dapat menurunkan gen ini (Won dkk., 2013). Pada studi Won, ekspresi gen IL-1β, IL-6, MCP-1, dan IL-10 menurun pada bantalan lemak yang disuntik dengan fosfatidilkolin dan asam deoksikolat. Transkripsi TNF-α terjadi hanya pada jaringan yang
40
telah disuntikkan fosfatidilkolin (Won dkk., 2013). Bechara dkk, melaporkan bahwa preparat fosfatidilkolin/asam deoksikolat secara drastis menaikkan level mRNA dari TNF-α, IL-6, IL-8 dan IL-10 pada human lipoma 48 jam setelah injeksi intralesi, sedangkan IFN-γ, IL-2, dan IL-5 yang tidak dapat terdeteksi di jaringan. Pada studi sebelumnya ditunjukkan bahwa netrofil menjadi populasi terbesar dari sel yang menginfiltrasi ke jaringan lipoma yang disuntikkan dengan preparat fosfatidilkolin/asam deoksikolat sampai dengan 48 jam setelah pengobatan, setelah itu, jumlah netrofil secara bertahap melebihi sel T dan makrofag (Bechara dkk., 2007). Sehingga, di dalam studi ini, penyuntikkan jaringan adiposa dengan asam deoksikolat sendiri merangsang invasi oleh sel inflamasi khususnya makrofag (yang merupakan produsen utama IL-1β, IL-6 dan TNF-α). Secara umum, dapat dipercaya bahwa TNF-α dan IL-6 menghambat produksi adiponektin di jaringan adiposa dan juga sebaliknya, seperti adiponektin menekan sekresi TNF-α dan IL-6 (Won dkk., 2013). Fantuzzi memperkenalkan a self-sustaining inflamatory loop , yang digambarkan bahwa inflamasi yang diinduksi obesitas memperlambat produksi adiponektin, nilai rendah dari adiponektin menyebabkan inflamasi yang lebih hebat, membantu menjelaskan kelainan metabolime yang berkaitan dengan adiponektin (Fantuzzi, 2008). Paradigma ini sangat penting untuk dimengerti bahwa aksi fosfatidilkolin di jaringan adiposa. Hasil penelitian Won dkk menunjukkan pengobatan fosfatidilkolin meningkatkan secara siginifikan ekpresi gen sitokin dan secara simultan penurunan transkripsi mRNA adiponektin. Selain itu, pada pengamatan bahwa TNF-α
41
merangsang lipolisis di Murine dan kultur adiposit manusia mendukung hipotesis bahwa fosfatidilkolin sendiri memiliki aktivitas lipolitik (Won dkk., 2013). Berlawanan
dengan
peran
anti-inflamatory
yang
dimiliki
adiponektin, leptin dan resistin biasanya dikategorikan sebagai proinflamatory adipokines. Namun telah dilaporkan bahwa leptin merangsang produksi baik sitokin pro-inflamatory dan anti-inflamatory secara timbal balik, sehubungan dengan kondisi eksperimen, dan bahwa ekspresi leptin diregulasi baik secara negatif dan positif oleh stimulasi inflamasi berbeda. Kondisi penelitian dengan injeksi fosfatidilkolin akan merangsang leptin yang berperan sebagai anti-inflammatory, seperti adiponektin (Won dkk., 2013). Efek dari fosfatidilkolin dan asam deoksikolat pada jaringan adiposa mencetus perubahan sitokin pro-inflammatory, lipase dan hormon jaringan adiposa. Bagaimanapun juga, terdapat perbedaan bermakna antara fosfatidilkolin dan asam deoksikolat. Pada ekspresi sitokin, TNF-α diinduksi oleh fosfatidilkolin tetapi tidak oleh asam deoksikolat. Pada ekspresi lipase, Hormon-sensitive Lipase ditingkatkan oleh fosfatidilkolin tetapi diturunkan oleh asam deoksikolat. Efek yang berbeda dari fosfatidilkolin dan asam deoksikolat pada jaringan adiposa dapat menyebabkan hasil yang berbeda. Tujuh hari setelah injeksi fosfatidilkolin atau asam deoksikolat, fosfatidilkolin menginduksi turunnya berat jaringan adiposa tetapi asam deoksikolat menginduksi reduksi massa DNA tanpa penurunan berat badan. Hasil morfologi pada penelitian Won dkk
42
menunjukkan perbedaan efek dari fosfatidilkolin dan asam deoksikolat pada jaringan adiposa. Dengan kata lain, fosfatidilkolin sendiri bertindak sebagai agen lipolitik tetapi asam deoksikolat sendiri dapat menginduksi kerusakan jaringan, walaupun studi lebih jauh diperlukan untuk pemahaman yang lebih baik pengaruh secara sistemik toksisitas yang diinduksi asam deoksikolat dan efek lanjutan dari fosfatidilkolin sendiri pada jaringan adiposa (Won dkk., 2013). 2.7.2
Toksisitas dan Efek Samping Fosfatifilkolin Semua test yang dilakukan sebelum dan sesudah pengobatan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan baik pada fungsi hati maupun profil lipid. Studi yang lebih luas untuk meyakinkan keamanan obat ketika diinjeksi subkutan. Pada penelitian Hexel dkk fosfatidilkolin tidak menunjukkan
hepatotoksik
dan
menyebabkan
perubahan
pada
metabolisme lemak ketika digunakan untuk mengurangi ketebalan subkutan dengan dosis yang tepat. Beberapa pasien akan mengalami perubahan pada hasil laboratorium, seperti pada penderita diabetes, dyslipidosis, obesitas, dan penyakit endokrin serta pasien dengan gangguan hati. Pada pasien-pasien ini, peringatan dan pengontrolan hasil lab diperlukan untuk pengobatan dengan injekasi fosfatidilkolin (Hexsel dkk., 2003). Meskipun ketertarikan pada fosfatidilkolin meningkat saat ini, studi tentang efek lipolisis yang dimiliki fosfatidilkolin masih sedikit. Beberapa studi tentang lipolisis yang dilaporkan menggunakan kelinci tetapi hasilnya tidak dapat disimpulkan (Noh, 2012).
43
Ekstrak fosfatidilkolin yang telah dimurnikan yang berasal dari lesitin yang terdapat di dalam kuning telur dan kedelai yang digunakan untuk menyiapkan nutrisi parentral dalam bentuk emulsi. Hal ini telah dijelaskan bahwa di dalam infus berisi 1,2% fosfatidilkolin yang berasal dari ekstrak kuning telur dan 55% glukosa (1ml/kg/jam) yang diberikan kepada kucing, didapatkan insiden yang rendah akibat efek samping. Oleh karena itu, fosfatidilkolin dipertimbangkan sebagai obat yang non-toksis untuk penggunaan parentral (Hexsel dkk., 2003). Efek samping yang diobservasi setelah penyuntikkan fosfatidilkolin pada jaringan adiposa hanya sementara, tidak serius, dan tidak ada luka permanen. Efek samping biasanya muncul setelah 2-5 hari setelah penyuntikkan, tetapi bervariasi antara satu pasien dan yang lain tergantung metabolisme masing-masing individu. Beberapa faktor yang menentukan kurang berhasilnya atau makin besarnya faktor resiko seperti, injeksi yang terlalu berlebihan pada satu titik, antisepsis yang salah, dosis yang berlebihan, jarak antar suntikan yang terlalu dekat, injeksi superfisial kurang dari 1 cm di bawah permukaan epidermal dan orang yang tidak kompeten melakukan penyuntikkan. komplikasi yang terjadi antara lain infeksi, alergi, nekrosis jaringan dan iregularitas permukaan tubuh (Hexsel dkk., 2003). Beberapa laporan mengenai efek samping injeksi subkutan fosfatidilkolin juga dilaporkan berdasarkan dari beberapa praktisi baik diluar maupun di dalam negeri. Beberapa efek samping yang pernah dilaporkan antara lain :
44
1. Rasa terbakar yang dapat berlangsung 15-20 menit 2. Nyeri sedikit selama beberapa hari 3. Sedikit pembengkakan yang dapat berlangsung 1-5 hari 4. Sedikit perubahan warna kulit yang dapat hilang sendiri atau dapat 5. Risiko kecil terkena infeksi (risiko pada semua injeksi obat) (Bauman, 2003). 2.8. Liposom Liposom adalah vesikel yang sangat kecil yang terbuat dari bahan yang sama dengan membrane sel. Liposom dapat diisi dengan obat digunakan untuk mengantar obat untuk pengobatan kanker dan penyakit lainnya (Dua dkk., 2012).
Gambar 2.6 Struktur Liposom (Dua dkk.,2012) Liposom berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu, Lipos yang berarti lemak dan Soma yang berarti tubuh/badan. Secara struktur, Liposom adalah gelembung konsentris yang dalam volume yang encer seluruhnya diselubungi oleh 2 lapis membran lemak (bilayer lipid). Membran tersebut biasanya terbuat dari fosfolipid yang memiliki bagian
45
kepala dengan sifat hidrofilik dan bagian ekor dengan sifat hidrofobik (Dua dkk., 2012). Ketika membran fosfolipid rusak, fosfolipid dapat merakit kembali dirinya sendiri menjadi lapisan yang sangat tipis, lebih kecil dari sel normal baik sebagai lapisan satu lapis maupun lapisan dua lapis. Struktur lapisan dua lapis ini disebut Liposom. Struktur lapisan satu lapis disebut Micelles. Lemak di dalam membran plasma terutama terdiri dari fosfolipid seperti fosfatidiletanolamin dan fosfatidilkolin (Dua dkk., 2012). Liposom umumnya diaplikasikan melalui intravena, tetapi aplikasi secara topikal, subkutan, intramuskular dan intraperiotenal juga masih memungkinkan untuk memasukkan liposom ke dalam tubuh. Liposom yang diberikan secara oral memiliki kemungkinan lebih besar untuk terdegradasi sebelum sampai pada target organ sehingga pemberian liposom secara oral jarang digunakan sebagai sistem penghantar obat (Moghimi dan Patel, 1998) Pemberian Liposom melalui intravena akan membawa liposom masuk ke dalam sirkulasi darah. Di dalam sirkulasi darah, Liposom akan berinteraksi dengan
lipoprotein atau protein pengenal zat asing yaitu
opsonin. Interaksi liposom dengan lipoprotein menyebabkan membran bilayer liposom kehilangan fosfolipidnya sehingga membran rusak dan obat keluar dari liposom. Selain berinteraksi dengan lipoprotein, liposom yang merupakan benda asing akan mengalami pembersihan (clearance) dari sirkulasi darah. Proses clearance ini didahului oleh penempelan opsonin pada liposom dan membentuk jembatan yang menghubungkan antara
46
makrofag dan liposom sebagai substrat yang akan difagosit.Dengan adanya opsonin, liposom akan diambil makrofag dalam darah dan terdistribusi pada organ-organ yang banyak mempunyai makrofag seperti hepar,limfa, paruparu dan kulit.Oleh karena itu, liposom berpotensi baik sebagai media penghantar obat untuk penyakit yang menyerang organ-organ tersebut (Moghimi dan Patel, 1998). Liposom yang diberikan secara subkutan mulanya akan tertahan pada lokasi injeksi kemudian akan memasuki aliran darah melalui sistem limfatik. Hal ini menyebabkan pemberian liposom secara subkutan lebih efektif dibandingkan secara intravena. Hal ini dikarenakan pada pemberian secara intravena kadar optimal obat akan tercapai dalam 7,5 jam setelah pemberian liposom kemudian kadarnya menurun. Sedangkan pada pemberian secara subkutan kadar obat akan terus meningkat walaupun lebih dari 24 jam setelah injeksi (Wilson dkk., 2007). 2.8.1
Manfaat Liposom 1.
Menyediakan target selektif menuju jaringan tumor (liposomal doxorubicin)
2.
Meningkatkan efikasi indeks terapi
3.
Meningkatkan stabilitas melalui encapsulasi.
4.
Mengurangi toksisitas pada agen yang sudah dienkapsulasi.
5.
Memperbaiki
efek
farmakokinetik
(mengurangi
eliminasi,
meningkatkan waktu sirkulasi) 6.
Fleksibilitas untuk berpasangan dengan senyawa spesifik untuk mencapai target (Dua dkk., 2012).
47
2.8.2
Metode Preparasi Liposom Secara umum, metode preparasi liposom meliputi tiga tahap dasar: a. Mengeringkan campuran lipid dari pelarut organik b. Mendispersi lipid pada media larutan c. Pemisahan dan pemurnian liposom (Sonia, 2012)
Gambar 2.7 Metode Preparasi Liposom (Dua dkk.,2012) Parameter Preparasi Liposom yang tepat antara lain: 1.
Karakteristik fisik dan kimia bahan diikat dan menjadi komposisi dari liposom
2.
Natur dari medium dari gelembung lemak disebarkan.
3.
Komsentrasi efektif dari zat yang terikat dan potensi toksisitasnya.
4.
Proses tambahan yang terlibat selama pemakaian / pengiriman gelembung tersebut.
5.
Ukuran optimal.
6.
Keseragaman produksi dan kemungkinan untuk produksi skala besar produk Liposom yang aman dan efisien (Dua dkk., 2012).
48
2.8.3
Penggunaan Liposom Liposom digunakan untuk mengantarkan obat karena keunikannya. Liposom mengkapsulasi suatu regio pada larutan encer (aquous solution) di dalam membran hidrofobik. Pelarut hidrofilik yang terlarut tidak dapat dengan segera melalui lemak. Bagian hidrofobik dapat terlarut melalui membran dan dengan cara ini liposom dapat membawa baik molekul hidrofobik dan hidrofilik. Untuk mengantarkan molekul ke target, bilayer lipid dapat bergabung dengan bilayer yang lain seperti membran sel kemudian mengantarkan isi liposom tersebut (Dua dkk., 2012). Liposom digunakan sebagai model untuk sel-sel khusus. Liposom juga dapat didesain untuk mengirim obat dengan cara yang lain. Liposom dengan pH rendah atau tinggi dapat diformulasikan seperti larutan obat yang larut dapat di dalam suatu larutan. Sebagimana pH akan dinetralkan di dalam liposom (proton dapat melalui membran), obat juga akan dinetralkan, membuat obat tersebut dengan bebas dapat melalui membran. Liposom bekerja mengirim obat dengan berdifusi ke dalam sel secara langsung. Strategi lain untuk pengantaran obat oleh liposom adalah target endositosis (Dua dkk., 2012). Liposom dapat dibuat dalam rentang ukuran khusus yang membuat liposom tersebut menjadi target yang viable untuk fagositosis oleh makrofag alami. Liposom ini sudah dapat dicerna ketika sedang difagositosis oleh makrofag. Pada saat itulah, obat yang dibawa keluar dari liposom. Liposom dapat juga ditambah dengan opsonin dan senyawa untuk mengaktivasi endositosis pada tipe sel lain (Dua dkk., 2012).
49
Penggunaan liposom untuk transformasi atau transfeksi DNA ke dalam sel penjamu disebut Lipofeksi (lipofection) (Dua dkk., 2012). Penggunaan liposom pada kosmetologi nano juga memiliki banyak manfaat, termasuk memperbaiki penetrasi dan difusi dari komposisi zat aktif, transport selektif zat aktif, waktu release yang lebih panjang, zat aktif yang lebih stabil, reduksi efek samping yang tidak diinginkan dan biokompatibilitas yang tinggi (Dua dkk., 2012). 2.8.4 Proteksi terhadap enzim yang mendegradasi obat Lemak yang digunakan pada formulasi liposom tidak rentan terhadap proses degradasi oleh enzym sehingga obat yang terdapat di dalam liposom terproteksi selama gelembung lemak tersebut berada di dalam sirkulasi di dalam cairan ekstraseluler (Dua dkk., 2012). 2.8.5
Topical Drug Delivery Penggunaan Liposom pada permukaan kulit telah terbukti efektif mengantarkan obat ke dalam kulit. Liposom meningkatkan permeabilitas kulit terhadap berbagai obat yang terdapat di dalam liposom dan pada saat bersamaan mengurangi efek samping dari obat tersebut karena hanya dibutuhkan dosis yang lebih rendah (Dua dkk., 2012).
2.8.6
Meningkatkan efikasi dan keamanan antimikrobial Terdapat 2 alasan mengapa antimikrobial dikapsulkan dalam liposom. Pertama, liposom mampu melindungi obat tersebut dari proses degradasi. Kedua, lemak dari liposom tersebut meningkatkan ambilan antibiotik ke dalam mikroorganisme sehingga dapat mengurangi dosis
50
efektif dan toksisitas sebagaimana yang telah diujikan pada formulasi liposom pada Amfoterisin B (Dua dkk., 2012). 2.9. Lipolisis Pada beberapa tahun yang lalu, tindakan lipolisis nonbedah sudah meningkat dan tindakan injeksi subkutan paling ekonomis untuk mereduksi lemak via lipolisis kimiawi. Injeksi fosfatidilkolin menggunakan varian formulasi fosfatidilkolin sangat dikenal sebagai terapi untuk local adiposities. Bagaimanapun juga, tidak ada produk penghancur lemak yang disetujui oleh FDA dan MHRA (Medicines and Health-care Products Regulatory Agency), karena kurangnya data yang berkaitan dengan efikasi dan keamanan (Hailan dkk., 2011). Banyak studi klinis yang telah melaporkan bahwa injeksi subkutan formulasi fosfatidilkolin dapat mereduksi lemak. Meskipun mekanisme biokimianya masih belum banyak dipelajari, dapat dikatakan bahwa fosfatidilkolin tidak memiliki jalur lipolitik. Sehingga, dipikirkan bahwa formulasi fosfatidilkolin yang menghancurkan deposit lemak setempat dengan cara yang tidak spesifik. Formulasi fosfatidilkolin belum disetujui oleh FDA untuk menghancurkan lemak (Hailan dkk., 2011). Pengalaman sekarang mengenai efek lipolitik fosfatidilkolin/asam deoksikolat pada tikus percobaan telah menyediakan informasi yang bermanfaat tentang efikasi fosfatidilkolin/asam deoksikolat dan menjadi dasar untuk
uji klinis di masa depan. Bantalan lemak inguinal tikus
percobaan merupakan bagian yang mudah untuk dimaniuplasi sehingga dapat bermanfaat untuk penelitian (Noh, 2012).
51
Studi sebelumnya melaporkan bahwa injeksi subkutan dari fosdatidilkolin yang mengandung asam deoksikolat dan bahan lain yang dapat mereduksi lemak pada tempat suntikan. Bagaimanapun juga, hal ini masih belum jelas dimana komposisi fosfatidilkolin/asamdeoksikolat adalah komponen aktif yang mempunyai efek reduksi lemak. Pada studi ini ditemukan bahwa tujuh hari setelah suntikan, massa lemak menurun oleh suntikan fosfatidilkolin, sedangkan massa DNA menurun hanya pada jaringan yang mendapata suntikan asam deoksikolat (Won dkk., 2013). Senyawa fosfatidilkolin dan asam deoksikolat telah digunakan untuk lipolisis parsial dan memiliki efikasi serta tidak terlalu invasif jika dibandingkan dengan liposuction dan dermolipectomy yang telah digunakan sebelumnya (Noh, 2012). Lipolisis parsial yang terjadi setelah injeksi fosfatidilkolin/asam deoksikolat lebih efisien, efektif dan noninvasif daripada liposuction dan dermolipectomy yang telah sering dilakukan sebelumnya. Beberapa Dokter menggunakan teknik tersebut sekarang ini untuk mengatasi buffalo hump ,lipoma dan xantelasma yang berkaitan dengan HIV. Beberapa klinik Swasta menggunakannya untuk membuang lemak setempat pada paha, leher dan wajah (Noh, 2012). Secara umum, Lipolisis didefinisikan sebagai perubahan asam lemak dari Triasilgliserol (TAG) yang tersimpan di Adiposit untuk menyediakan energi. Selama lipolisis, TAG dihidrolisa menjadi Diasilgliserol (DAG), Monoasilgliserol (MAG), dan gliserol melalui kerja dari beberapa enzim
52
lipase, dimana asam lemak menjadi produk akhir yang dikeluarkan dari setiap langkah hidrolisa tersebut (Won dkk., 2013). Lipolisis diinisiasi oleh berbagai rangsangan dan rangsangan ini memicu aktivasi dari jalur utama yang berhubungan dengan HSL (Hormonsensitive Lipase) dan periplin. Hormon-sensitive Lipase adalah enzim kunci untuk mengkatalisa pemecahan Triasilgiserol menjadi Diasilgliserol dan pemecahan Diasilgliserol menjadi Monoasilgliserol (Won dkk., 2013). Periplin melapisi tetesan lemak di adiposit dan melindungi mereka dari lipase-mediated lipolyis (Won dkk., 2013). Tiga grup penelitian yang lain secara terpisah menemukan hal yang berbeda dimana ATGL (adipose triglyceride lipase), yang merupakan komponen baru yang mengkatalisis hidrolisa Triasilgliserol menjadi Diasilgliserol (Won dkk., 2013). Enzim baru lainnya Triacylglycerol Hidrolase (TGH), juga terlibat dalam pemecahan Triasilgliserol. Berlawanan dengan lipolisis, glukosa berlebihan dapat dikonversi menjadi Triasilgliserol dan disimpan di jaringan adiposa melalui lipogenesis yang dikendalikan oleh peroxisome proliferatoractivated receptor-γ (PPAR γ) (Won dkk., 2013). Untuk menginvestigasi efek fosdatidilkolin yang mengandung asam deoksikolat pada jaringan adiposa, Won dkk pada tahun 2013 menyuntikkan fosdatidilkolin yang mengandung asam deoksikolat, masing-masing, ke dalam lemak tikus dan menentukan ekspresi mRNA dari hormon, lipolysisassociated molecules, dan sitokon di dalam jaringan. Pada penemuan ini didapatkan kematian adiposit atau kerusakan sitotoksik oleh karena asam
53
deoksikolat sendiri (Won dkk., 2013) Palumbo dkk menemukan bahwa fosfatilkolin tidak mempengaruhi viabilitas adiposit dan berperan protektif melawan efek kerusakan yang ditimbulkan oleh asam deoksikolat (Palumbo dkk, 2010). Meskipun Palumbo dkk melakukan percobaan secara in vitro ke dalam jaringan adiposa yang telah dibelah dan adiposit, penemuan mereka mungkin merupakan penjelasan yang krusial mengapa injeksi hanya dengan fosfatidilkolin tidak mereduksi massa DNA adiposa pada studi Won dkk. Fosfatidilkolin dapat langsung meregulasi penurunan ekspresi gen hormon jaringan adiposa seperti adiponektin, leptin dan resistin sedangkan suntikan asam deoksikolat sendiri dapat merusak jaringan adiposa inguinal, yang pada akhirnya menurunkan ekspresi gen hormon. Pemberian fosfatidilkolin meningkatkan transkripsi HSL,
dan menurunkan peripilin (Won dkk.,
2013). Pada penelitian Noh dkk tahun 2012 mengenai efikasi fosfatidilkolin yang larut dalam asam deoksikolat melalui studi eksperimental dengan model tikus dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada sampel
dan
didapatkan data eksperimental dari 4 kategori menunjukkan perbadaan histologi yang bermakna jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Seluruh data juga menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik dengan tes Wilcoxon signed-rank (p<0,01). Terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan eksperimen dalam hal jaringan lemak normal, inflamasi, nekrosis, dan fibrosis (Noh, 2012). Selain itu terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok ekperimen dengan fosfatidilkolin/asam deoksikolat dan kelompok kontrol dalam hal jaringan
54
lemak normal, aktivitas inflamasi, nekrosis dan stadium fibrosis pada lemak inguinal
tikus
percobaan.
Hal
ini
menandakan
suntikkan
fosfatidilkolin/asam deoksikolat mempengaruhi komponen jaringan lemak tikus secara histologi dan menjadi dasar untuk uji klinis dan penelitan yang terkait di masa yang akan datang (Noh, 2012). 2.10. Penggunaan tikus (Rattus Norvegicus) di laboratorium Perkembangan dunia kedokteran dan pengobatan tidak jarang melibatkan penggunaan hewan coba dalam penelitiannya. Salah satu hewan coba yang menjadi pilihan adalah tikus. Tikus laboratorium adalah spesies tikus Rattus norvegicus ( Gambar 2.8 ) yang dibesarkan dan disimpan untuk penelitian ilmiah.
Gambar 2.8 Tikus Coba Galur Wistar (Kusumawati, 2004) Jenis galur ini dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk digunakan dalam biologi dan penelitian medis. Saat ini tikus wistar ini menjadi salah satu strain tikus paling populer digunakan untuk penelitian laboratorium. Ciri tikus ini adalah mempunyai kepala lebar, telinga panjang, dan memiliki ekor panjang yang tidak melebihi panjang tubuhnya (Kusumawati, 2004). Pada penelitian ini, digunakan tikus putih jantan obesitas. Penentuan tikus obestitas berdasarkan Indeks Lee yaitu: (Campos,2008) 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 (𝑔𝑔𝑔𝑔)
Indeks Lee : 𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 ℎ𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖−𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 (𝑐𝑐𝑐𝑐) >0,3=obese