7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lupus eritematosus sistemik 2.1.1 Definisi Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit SLE ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan (Isbagio et al., 2009).
2.1.2 Epidemiologi Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperi bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9):1. Pada SLE yang disebabkan obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2 (Isbagio et al., 2009).
7
8
Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi selama tahun 2010 (Kasjmir et al., 2011).
2.1.3 Patogenesis Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperanan penting dalam predisposisi penyakit ini (Isbagio et al., 2009). Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal mempengaruhi kerentanan dan ekspresi klinis dari penyakit SLE. Adanya mekanisme pengaturan imun yang tidak sempurna, seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor yang penting pada perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, peningkatan antigenic load, kelebihan bantuan sel T, terganggunya supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke T helper 2 (Th2) menyebabkan hiperaktivitas dari sel B dan produksi dari autoantibodi patogenik. Beberapa faktor lingkungan juga menyebabkan pemicu timbulnya SLE (Mok dan Lau, 2003).
9
Gambar 2.1 Patogenesis dari SLE (Mok dan Lau, 2003).
Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Anti nuclear antibody (ANA) adalah antibodi yang paling banyak ditemukan pada penderita SLE (lebih dari 95%). Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE (Isbagio et al., 2009).
10
Tabel 2.1 Autoantibodi patogenik pada SLE (Isbagio et al., 2009). Antigen spesifik
Prevalensi
Efek klinik utama
Anti-ds DNA
70-80%
Gangguan ginjal, kulit
Nukleosom
60-90%
Gangguan ginjal, kulit
Ro
30%-40%
Gangguan ginjal, kulit, jantung fetus
La
15%-20%
Gangguan jantung fetus
Sm
10-30%
Gangguan ginjal
Reseptor NMDA
33-50%
Gangguan otak
Fosfolipid
20-30%
Trombosis, abortus
α-Actinin
20%
Gangguan ginjal
C1q
40-50%
Gangguan ginjal
2.1.4 Diagnosis Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. Kriteria diagnostik SLE berkembang dimulai sejak kriteria Dubois, kemudian kriteria pendahuluan American Rheumatology Association (ARA) hingga kriteria ARA yg telah direvisi terakhir tahun 1997 (Isbagio et al., 2009). Berdasarkan kriteria ARA tahun 1997, SLE ditegakan bila memenuhi 4 kriteria dari 11 kriteria yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu (Hochberg, 1997).
11
Tabel. 2.2 Kriteria Diagnostik SLE berdasarkan American Rheumatology Association revisi tahun 1997 (Hochberg, 1997). No 1
Kriteria Ruam malar
2
Ruam diskoid
3
Fotosensitivitas
4
Ulkus mulut
5
Artritis
6
Serositis
7
Gangguan renal
8
Gangguan neurologi
9
Gangguan hematologik
10
Gangguan imunologik
11
Antibodi antinuklear positif (ANA)
Definisi Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial. Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan follicular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat dokter pemeriksa Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia a. Pleuritis : riwayat nyeri pleuritik atau adanya pleural friction rub yang dengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura atau b. Perikarditis : terbukti dengan rekaman EKG, atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi pericardium. a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran. a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit). a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau b. Leukopenia < 4000/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau c. Limfopenia < 1500/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau d. Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat obatan a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dalam titer yang abnormal, atau b. Anti-SM : terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas : (1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM (2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau (3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema. Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
12
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score,dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium canggih (Kasjmir et al., 2011).
2.1.5 Tatalaksana Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan pasien SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada pasien atau dengan membentuk kelompok pasien yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Sebelum pasien SLE diberi pengobatan , harus diputuskan dulu apakah pasien tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, pasien SLE yang tidak mengancam
13
nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif (Isbagio et al., 2009).
Tabel 2.3 Tatalaksana konservatif pada SLE (Gordon, 2010). Nasihat Faktor Risiko
Tatalaksana
Hindari sinar matahari dan sinar ultraviolet
Pakai sun block
Hindari Infeksi
Terapi infeksi secepatnya dengan antibiotika
Hindari kehamilan yang tidak direncanakan
Penggunaan kontrasepsi
Gunakan NSAID dengan hati-hati
Gunakan analgetik seperlunya
Gunakan Steroid oral dengan
Pertimbangkan steroid lokal dan intra muskular
hati-hati
atau intravena dan agen sitotoksik
Monitor aktivitas sakit
Cek urinalisis, darah lengkap, kreatinin, antidsDNA antibody, C3, C4
Obati hipertensi
Dengan penghambat channel Calsium dan penghambat ACE
Obati DM dan lemak
Anjurkan diet dan berikan obat bila diperlukan
Obati risiko osteoporosis
Berikan wanita post menopause dengan bifosfonat
Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya (Isbagio et al., 2009).
14
Gambar 2.2 Algoritme Penatalaksanaan SLE (Kasjmir et al., 2011).
Algoritma
ini
merekomendasikan
penggunaan
steroid
serta
agen
imunosupresan sebagai modalitas dasar terapi dan disesuaikan dengan derajat beratnya penyakit. Pada SLE derajat berat yang tidak menunjukkan respon yang baik dengan steroid dan imunosupresan konvensional dapat ditambahkan targetted therapy seperti rituximab (Kasjmir et al., 2011).
2.2 Aterosklerosis 2.2.1 Definisi Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah ditandai dengan lesi intima yang disebut atheromatous atau atherosclerotic plaques yang menonjol ke dalam dan menyumbat lumen pembuluh, memperlemah lapisan media di bawahnya (Robbins, 2010). Ada perubahan konsep dalam melihat proses
15
aterosklerosis. Bukan hanya sekedar penyakit degeneratif kronik yang berkaitan dengan usia lanjut tetapi adalah penyakit inflamasi kronik yang sudah ada atau muncul sejak usia dini. Jadi dalam usaha pencegahan dan penanganannyapun sudah harus dimulai pada usia dini bahkan sudah harus diantisipasi pada saat masih dalam kandungan ibu (Adi, 2014).
2.2.2 Patogenesis Arteriosklerosis merupakan istilah umum untuk pengerasan pembuluh darah arteri. Berasal dari kata Yunani, arteria dan skleros yang berarti arteri yang keras. Arteri yang sehat bersifat fleksibel, elastik dan kuat. Dengan beban tekanan yang terus menerus maka pada waktu tertentu bisa menjadi tebal dan kaku, proses inilah yang disebut sebagai arteriosklerosis. Dinding arteri terdiri dari tiga lapis mulai dari yang paling dalam ke luar berturut-turut tunika intima berisi sebaris sel-sel endotel, tunika media berisi sel-sel otot polos juga elastin, dan tunika eksterna/adventitia yang merupakan lapisan terkuat. Aterosklerosis merupakan salah satu bentuk arteriosklerosis, terjadi karena suatu proses pengerasan dan penyumbatan arteri akibat penumpukan plak yang biasanya lambat tapi progresif. Adanya deposisi plak di arteri, terbentuk dari kolesterol, lemak, kalsium dan substansi lain. Jika tidak ditangani maka lapisan plak akan semakin tebal di antara tunika intima dan tunika media dinding arteri. Penumpukan plak ini akan menyebabkan lumen arteri itu menjadi semakin sempit. Lumen yang sempit akan mengganggu aliran darah. Lapisan yang ada plak tebal membuat dinding arteri mengeras. Penyakit ini yang dikenal sebagai aterosklerosis. Penumpukan plak
16
bisa keras dan ada juga yang lunak, pada plak yang lunak ada bagian tertentu bisa lepas dan kepingan dari pecahan plak di dinding arteri bisa menyumbat aliran darah ke organ-organ. Arteri yang keras ini menjadi kaku dan tidak fleksibel akibatnya dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler termasuk hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke iskemik dan penyakit pembuluh darah perifer. Jadi Aterosklerosis dapat terkena pada semua ukuran pembuluh darah tetapi paling banyak pada yang berukuran sedang seperti arteri koroner. Penyakit kardiovaskuler ini fatal dan menjadi penyebab kematian terbanyak di banyak negara termasuk Indonesia. Berita baiknya adalah, bahwa aterosklerosis bisa dicegah/diperlambat progresinya, distabilkan dan dapat diobati (Priatna, 2011).
Gambar 2.3 Plak Aterosklerosis (Skaggs, 2012)
17
Proses aterosklerosis dimulai pada satu lesi endotel yang mulai kehilangan fungsinya dan mengalami kebocoran. Lama kelamaan, sel-sel endotel tersebut mengalami kematian dan terjadilah proses de-endotelialisasi (denuded), baik dengan maupun tanpa sel-sel trombosit menempel pada jaringan subendotelial yang terpapar. Tergantung dari ukuran dan konsentrasi, molekul-molekul plasma dan partikel lipoprotein akan menyusup lewat endotel yang bocor dan rusak tersebut menuju ke ruang sub-endotelial, dimana lipoprotein yang potensi bersifat aterogenik, yaitu low density lipoprotein (LDL) akan berkumpul dan dimodifikasi (oksidasi) menjadi sitotoksik dan bersifat pro-inflamasi. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk proses modifikasi aterogenik LDL belum diketahui secara jelas, namun meliputi proses oksidasi yang melibatkan mieloperoksidase, 15, lipoksigenase, dan nitric oxide synthase. Endotel sendiri menjadi teraktivasi oleh proses perangsangan yang bersifat aterogenik dan pro-inflamasi, sehingga mengeluarkan molekul-molekul adhesi, seperti VCAM-1, yang akan berperan dalam menarik monosit dan sel-sel limfosit T. Selain VCAM-1, molekul adhesi lainnya, seperti interseluler molekul adhesi-1, E dan P selectin, juga berperan dalam proses penarikan sel-sel darah ke lesi aterosklerotik. Salah satu respon seluler yang paling awal dalam proses aterosklerosis adalah berkumpulnya monosit dan sel limfosit T. Dalam intima, monosit akan berdiferensiasi menjadi makrofag dan memakan lipoprotein aterogenik melalui reseptor scavenger (SR-A atau CD 36). Bersamaan dengan terusnya bertambah suplai lipoprotein aterogenik (LDL), makrofag terus makan sampai mereka mengalami kematian. Kematian makrofag melalui proses apoptosis dan nekrosis memegang peranan juga dalam
18
pembentukan inti dalam plak yang kaya lemak. Proses aktivasi imun juga berlangsung bersamaan dengan proses aterosklerosis. Ada beberapa antigen pada lesi yang bertanggung jawab dalam aktivasi sistem imun tubuh, meliputi LDL teroksidasi, beta-2-glikoprotein 1, dan antigen mikrobial. Hanya sel-sel endotel, makrofag dan sel-sel limfosit T yang berpartisipasi dalam proses awal aterosklerosis dan pembentukan foam cells yang asimtomatik (Priatna, 2011).
Gambar 2.4 Peran mononuklear dalam aterogenesis (Libby, 2002).
2.3 Leptin 2.3.1 Definisi Leptin berasal dari bahasa Yunani leptos yang berarti kurus (Faggioni et al., 2001). Penemuan leptin pada tahun 1994 telah merubah secara total pandangan tradisional tentang jaringan lemak putih. Dalam beberapa dekade sebelumnya, jaringan lemak putih ini hanya dianggap sebagai tempat penyimpanan trigliserida yang pasif atau tanpa peran endokrin. Penemuan leptin yang kemudian diikuti dengan penemuan beberapa molekul yang berasal dari adiposit yang disebut
19
adipokin, mengidentifikasi jaringan lemak merupakan salah satu organ endokrin utama yang berperanan aktif dalam pengaturan homeostasis energi, metabolisme dan proses imun-inflamasi (Otero et al., 2006). Jaringan adiposa membuat mediator-mediator yang dinamakan adipokin. Adipokin memiliki aksi hormonal, mengatur nafsu makan dan metabolisme glukosa, dan juga bertindak sebagai sitokin yang berefek pada sistem imun termasuk efek pada autoimun. Beberapa studi memperlihatkan level tinggi leptin dan adiponektin pada SLE namun korelasi dengan aktivitas penyakit masih dipertanyakan. Leptin meningkat selama infeksi akut dan ini berhubungan dengan respon imun bawaan. Kehadiran reseptor OB-R pada limfosit T dan B diindikasi bahwa leptin berperan pada aktivasi sistem imun didapat, dengan aksi mayor mengatur diferensiasi limfosit T helper 1 (Th1). Leptin meningkatkan produksi sitokin Th1, seperti interleukin 2 (IL-2) dan interferon gamma (IFN-γ) dan menekan produksi sitokin Th2, seperti interleukin 4 (IL-4). Leptin melindungi limfosit T dari kortikosteroid yang menginduksi apoptosis dan meningkatkan ekspresi dari molekul adhesi seperti intercellular adhesion molecule 1 (ICAM) dan very late antigen 2 (VLA2) yang mungkin berkontribusi pada aktivasi dan migrasi sel-sel imun dari tempat inflamasi. Pada manusia, peningkatan leptin berhubungan dengan kondisi inflamasi kronis berat seperti pada SLE. Tikus dengan kekurangan leptin mengalami atrofi timus yang berat (Barbosa et al., 2012). Leptin merupakan suatu hormon polipeptida non-glikosilasi dengan berat molekul 16 kDa yang dikode oleh gen obese (ob) dan diproduksi terutama oleh
20
adiposit (Otero et al., 2006). Struktur dan fungsi leptin menyerupai keluarga dari sitokin IL-6. Reseptor leptin (Ob-R) merupakan anggota keluarga dari reseptor sitokin kelas 1. Gen reseptor leptin memproduksi paling sedikit enam transkrip yaitu Ob-Ra sampai Ob-Rf. Dua isoform yaitu Ob-Rd dan Ob-Rf hanya ditemukan pada tikus. Pada manusia hanya ekspresi Ob-Ra, Ob-Rb dan Ob-Rc mRNA yang dilaporkan (Bernotiene et al., 2006). Struktur Ob-R sangat mirip dengan tipe reseptor sitokin IL-6. Keenam isoform dari Ob-R mempunyai domain ikatan ekstraselular yang identik, tetapi panjang domain sitoplasmiknya berbeda, yaitu satu berbentuk soluble (Ob-Re), empat berbentuk pendek (Ob-Ra, Ob-Rc, Ob-Rd dan Ob-Rf) dan satu mempunyai bentuk panjang (Ob-Rb). Bentuk yang berbeda ini mempunyai aktivitas biologik yang berbeda pula, misalnya Ob-Ra bertanggung jawab terhadap transport leptin melewati sawar darah otak sedangkan Ob-Re bertugas mengatur kadar leptin dalam sirkulasi. Diantara keenam isoform tersebut hanya Ob-Rb yang paling berperanan dalam pengaturan fungsi transduksi signal dan leptin-mediated signaling (Bartek et al., 2000; Lam et al., 2007). Leptin mengandung suatu protein dengan 167 asam amino yang dikode oleh gen obese (ob) yang berlokasi di kromosom 7q31.3 dengan struktur 3 dimensi yang merupakan keluarga sitokin IL-6. Leptin bertindak pada receptor OB-R yang merupakan reseptor sitokin kelas 1 yang dikode oleh gen diabetes yang berekspresi di pusat saraf pusat, sistem kardiovaskular dan di sel-sel sistem imun seperti monosit, sel natural killer (NK) dan limfosit T CD4 dan CD8. Serum leptin diukur dalam satuan ng/ml dan level ini berkorelasi dengan massa tubuh.
21
Leptin bertindak mengontrol nafsu makan dalam aksis usus-otak yang berada di hipotalamus. Tikus dengan mutasi pada gen ob (tikus ob/ob) atau kekurangan reseptor leptin (tikus db/db) berkembang menjadi sangat gemuk karena kelemahan dari signaling. Leptin sebagai molekul pleiomorphic dengan beberapa aksi biologikal (Barbosa et al., 2012).
Gambar 2.5 Struktur dan isoform dari leptin tikus (Bernotiene et al., 2006).
Pada keadaan intraselular, keenam isoform dari Ob-R mengandung prolinerich box 1 yang tinggi (6-17 asam amino intraselular), tetapi hanya Ob-Rb yang mempunyai domain intraselular yang panjang yaitu sekitar 300 residu. Fungsi utama dari semua isoform yang pendek (kecuali Ob-Re) adalah terbatas pada transport leptin, internalisasi dan degradasi, walaupun beberapa bukti memberi kesan bahwa mereka juga bisa sebagai pencetus terjadinya signal. Reseptor yang panjang Ob-Rb adalah suatu reseptor fungsional yang berfungsi penuh, tidak mempunyai suatu domain tyrosine kinase intrinsik tetapi bagian box 1 menerima
22
dan mengikat janus kinases (JAKs). Box 1 bersama-sama dengan immediate surrounding amino acids sangat esensial untuk aktivitas JAK. Bagian distal dari Ob-Rb dibutuhkan untuk induksi tranduksi signal dan aktivator dari transkripsi signal (STAT) (Lam et al., 2007). Pada waktu mengikat leptin, Ob-Rb yang berhubungan dengan JAK2 pada box 1 diaktivasi kemudian dilakukan autofosforilasi dengan residu tirosin dan fosforilasi residu tirosin pada domain intraselular dari reseptor (Tyr 974, Tyr 985, Tyr 1077 dan Tyr 1138) untuk mempersiapkan tempat bagi signal protein yang mengandung domain Src homology 2 (SH2). Fosforilasi residu tirosin Tyr 1077 dan Tyr 1138 akan berikatan dengan protein STAT sehingga teraktivasi, dan translokasi ke dalam nukleus untuk menstimulasi transkripsi gen. Dua residu fosforilasi yaitu Tyr 974 dan Tyr 985 juga berikatan dengan SH2 domaincontaining phosphatase 2 (SHP2) yang selanjutnya mengaktivasi jalur mitogenactivated protein kinase (MAPK), termasuk jalur signal pengatur kinase ekstraselular (ERK1/2), p38 MAPK dan p42/44 MAPK melalui interaksi dengan protein adaptor growth factor receptor-bound protein 2 (GRB2). Autofosforilasi JAK2 pada box 1 dapat memfosforilasi insulin receptor substrat ½ (IRS1/2) yang mengakibatkan aktivasi dari jalur phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K)/Akt dan MAPK (Lam et al., 2007).
23
Gambar 2.6 Mekanisme signaling dari leptin (Bernotiene et al., 2006).
Peran leptin dalam imunitas bawaan diperlihatkan melalui berbagai aksi leptin pada antigen-presenting cells (APCs), sel-sel NK dan neutrofil. Ekspresi leptin dapat diinduksi secara cepat melalui stimulasi inflamasi dengan LPS dan IL-1. Hal ini mengindikasikan bahwa leptin berperan sebagai mediator dalam pengaturan
peningkatan
aktivitas
inflamasi.
Dari
beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa signal leptin berperan dalam imunitas bawaan melalui peningkatan maturasi dan survival dari sel dendritik (Mattioli et al., 2005). Ketidakadaan signal leptin memperlihatkan sel dendritik memiliki profil sitokin Th2, sementara terapi leptin eksogen akan merubah ketidakseimbangan profil sitokin sel dendritik ke arah profil sitokin Th1 (Mattioli et al., 2005). Pada sel darah mononuklear perifer, leptin dapat menginduksi produksi hormon pertumbuhan melalui jalur protein kinase C (PKC) dan nitric oxide-dependent (Dixit et al., 2003). Fungsi leptin dalam menstimulasi produksi sitokin proinflamasi yang terlibat dalam respon imun bawaan dapat secara tidak langsung memodulasi imunitas didapat. Penelitian awal pada mencit db/db memperlihatkan bahwa perkembangan
24
dan maturasi sel T dan B sangat berpengaruh terhadap penurunan jumlah limfosit pada organ limfoid perifer. Abnormalitas respon imun ditemukan pada mencit ob/ob dan db/db serta sel T mencit ob/ob, mengindikasikan bahwa peranan protektif leptin dalam meningkatkan survival sel T. Pada penelitian terbaru menunjukkan bahwa terapi leptin dengan dosis farmakologik pada mencit ob/ob ternyata menstimulasi timopoiesis walaupun dilakukan pada atrofi timus yang diinduksi oleh LPS. Leptin memperlihatkan survival sel limfosit T dan B melalui penekanan terhadap apoptosis yang dimediasi oleh Fas, yang kemudian merupakan hasil dari induksi protein anti-apoptosis seperti Bcl-2 dan Bcl-Xl (Lam et al., 2007). Leptin juga meningkatkan produksi beberapa sitokin proinflamasi seperti IFN-γ dan IL-2 pada sel limfosit T dan memodulasi respon imun kearah fenotipe Th1 melalui stimulasi CD4 pada mencit dengan starvation-induced leptin deficiency (Fantuzzi et al., 2000). Pada sel Th1, leptin meningkatkan produksi TNF-α dan IFN-γ serta peralihan IgG2a oleh sel B. Sebaliknya leptin mempunyai efek penghambatan terhadap sel Th2 melalui pengurangan peralihan IgG1. Secara konsisten sel T CD4 pada mencit db/db memperlihatkan adanya gangguan kapasitas proliferatif. Walaupun peran imunomodulator dari leptin pada imunitas didapatkan adanya peningkatan bukti, namun fungsi utama lainnya dari leptin sebagai hormon endokrin dalam regulasi penyimpanan energi dan metabolisme telah menambah kompleksitas pengetahuan efek leptin baik dalam memodulasi imun maupun fungsi metabolik (Lam et al., 2007).
25
Gambar 2.7 Peran leptin dalam sistem imun (Lam et al., 2007).
2.3.2 Peran Leptin pada Penyakit Autoimun Meskipun faktor-faktor proinflamasi merupakan mediator yang sangat penting
dalam
mekanisme
pertahanan
tubuh,
sitokin-sitokin
ini
dapat
berhubungan negatif dengan perkembangan penyakit-penyakit autoimun. Leptin juga dapat meningkatkan reaksi imun pada penyakit autoimun, yang umumnya berhubungan dengan respon inflamasi. Prevalensi penyakit-penyakit autoimun seperti arthritis rheumatoid (AR) didapatkan peningkatan kadar serum leptin. Bukti terbaru menunjukkan bahwa leptin bertanggung jawab terhadap ketidakseimbangan antara sitokin Th1 dan Th2 yang berkontribusi pada patogenesis AR. Sebaliknya defisiensi leptin mempunyai efek protektif pada
26
penyakit autoimun dengan merubah keseimbangan produksi sitokin Th1:Th2 dan meningkatkan respon Th2, yang ditampakkan pada pasien AR yang dipuasakan sehingga terjadi perbaikan yang bermakna pada aktivitas penyakit secara klinis dan terjadi peralihan produksi sitokin kearah Th2 (Lam et al., 2007). Berhubungan dengan peranan penting leptin pada penyakit autoimun, didapatkan bahwa perempuan mempunyai kadar leptin serum 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang sudah disesuaikan dengan umur dan IMT, hal ini merupakan predisposisi terjadinya penyakit autoimun seperti multiple sclerosis, AR dan SLE. Sehingga diperkirakan leptin memegang peranan penting dalam prevalensi penyakit autoimun pada perempuan (Lam et al., 2007). Kadar leptin yang lebih tinggi pada perempuan dipertahankan oleh pengaruh resiprokal dari estrogen terhadap sekresi leptin dan potensiasi produksi leptin oleh estrogen. Selain itu antigen presenting cells pada perempuan memproduksi IL-12 lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Semua faktor ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan kapasitas perempuan untuk memproduksi sitokin proinflamasi Th1 dan juga meningkatkan kepekaan terhadap cell-mediated autoimmune disease. Sebaliknya laki-laki mempunyai kadar leptin relatif lebih rendah oleh karena kurangnya kadar estrogen dan kadar testosteron yang tinggi dapat menurunkan kadar leptin serum. Selain itu testosteron juga dapat meningkatkan aktivitas Th2 sehingga melindungi laki-laki dari kepekaan terhadap cell-mediated autoimmune disease. Kadar leptin serum yang tinggi mungkin memainkan peran sebagai penyebab dari progresi penyakit atau berfungsi sebagai petanda diagnostik dalam aplikasi klinik (Cutolo et al., 1998).
27
Walaupun didapatkan adanya bukti-bukti bahwa leptin merupakan mediator yang sangat penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi, respon imun dan juga induksi penyakit autoimun, masih perlu dibuktikan apakah leptin bisa dijadikan target terapi yang potensial dalam penatalaksanaan penyakit autoimun pada manusia, Pemberian leptin yang tidak efisien dalam merubah kadar sitokin proinflamasi dan fungsi imun pada individu normal atau obesitas, tetapi gangguan imun dapat diperbaiki dengan penggantian leptin pada defisiensi leptin kongenital (Farooqi et al., 2002). Juga perlu penelitian lebih lanjut apakah terapi leptin dapat mempengaruhi patogenesis penyakit autoimun pada manusia. Oleh karena leptin memperlihatkan fungsi proinflamasi yang memediasi respon imun selular, maka hal ini dapat dipakai sebagai dasar dalam pengembangan vaksin sel dendritik. Demikian juga penatalaksanaan kadar leptin pada kondisi autoimun akan membuka wawasan baru. Pengembangan berbagai antibodi untuk melawan leptin atau reseptor leptin mutan yang berfungsi antagonistik, merupakan hal yang menjanjikan sebagai pilihan terapi untuk penyakit autoimun atau penyakit lainnya (Lam et al., 2007). Leptin yang disekresikan ke dalam sirkulasi perifer mempunyai dua efek yaitu sentral dan perifer. Pada hipotalamus, leptin meregulasi nafsu makan, aliran sistem saraf autonom, masa tulang dan sekresi hormon HPA (HypothalamoPituitary-Adrenal).
Di
perifer,
leptin
meningkatkan
metabolisme
basal,
mempengaruhi fungsi reproduksi (meningkatkan fertilitas), mengatur fungsi sel beta pankreas dan sekresi insulin, merupakan pro-angiogenik untuk sel-sel endotel, mengatur hematopoiesis sumsum tulang, mempengaruhi generasi sel T
28
pada timus dan diferensiasi sel Th1 di limfonodi (Cava et al., 2004). Insulin meningkatkan sekresi leptin, demikian juga sebaliknya. TNF-α dan IL-1 juga meningkatkan sekresi leptin (Grunfeld et al., 1996). Penurunan sekresi leptin terjadi setelah puasa atau oleh pengaruh hormon testosteron (Cava et al., 2004) Glukokortikoid meningkatkan ekspresi gen dan kadar leptin serum (Mantzoros et al., 1999). Faktor-faktor lain yang meningkatkan kadar leptin antara lain: obesitas, makan berlebihan, gagal ginjal tahap akhir, estrogen dan alkohol, sedangkan yang menurunkan kadar leptin selain yang sudah disebutkan diatas adalah : merokok, asam lemak bebas dan puasa (Merabet et al., 1996; Margetic et al., 2002). Hiperleptinemia pada populasi umum berhubungan dengan hipertensi, stress oksidatif, dan disfungsi endotel (McMahon et al., 2014). Leptin meningkatkan kemampuan fagositosis dari sel monosit/makrofag dan memperbesar sekresi mediator proinflamasi dari respon fase akut serta meningkatkan ekspresi molekul adhesi (Loffreda et al., 1998). Pemberian leptin eksogen pada mencit dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dan kemampuan fagositosis dari makrofag. Pada inflamasi akut,sitokin proinflamasi meningkatkan kadar leptin dalam sirkulasi dan sebaliknya leptin mempotensiasi pelepasan sitokin dari monosit atau makrofag. Selain itu leptin menstimulasi T cell mediated immunity dan menginduksi proliferasi dan diferensiasi dari sel-sel hematopoietik. Defisiensi leptin pada sejumlah kondisi patologis berhubungan dengan penurunan produksi beberapa mediator proinflamasi seperti TNF-α, IFN-γ, IL-18 (Loffreda et al., 1998).
29
Pada sel Th1, leptin meningkatkan produksi TNF-α, dan IFN-γ. Leptin dapat mengaktivasi sel netrofil darah tepi manusia oleh karena mempunyai kemampuan menginduksi sekresi TNF-α dari sel monosit (Esfahani et al., 2004). Sedangkan pelepasan leptin dari jaringan lemak distimulasi oleh sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-1B (Otero et al., 2006). TNF-α meningkatkan ekspresi gen dan kadar leptin dalam sirkulasi, serta menginduksi sekresi leptin dari jaringan lemak. TNF-α bertindak sebagai regulator parakrin dalam meningkatkan kadar leptin. Leptin diduga dapat mengatur ekspresinya sendiri melalui mekanisme autoregulasi (Finck et al., 2000).
2.4 Aterosklerosis pada SLE Pasien-pasien SLE menampilkan aterosklerosis prematur. Suatu metabolisme lemak yang rusak dan penggunaan pengobatan imunosupresif mempengaruhi percepatan proses aterosklerosis. Peran autoimun pada aterosklerosis baru-baru ini dengan gagasan determinan autoantigen memainkan peran pada perkembangan aterosklerosis termasuk modifikasi lipoprotein, protein heat shock dan beta 2glycoprotein 1 (suatu target autoimun antibodi anticardiolipin). Pasien-pasien SLE menampilkan suatu respon autoimun humoral ke arah kandidat antigen yang melibatkan progresi aterosklerosis. Gagasan autoantigen untuk menimbulkan suatu inflamasi lokal dan proses autoimun yang mempengaruhi aterosklerosis. Suatu target serangan autoimun secara lokal berasal dari modifikasi LDL. Dislipoproteinemia umumnya berhubungan dengan SLE dan sebagai faktor
30
penting pada progresi aterosklerosis. Penggunaan steroid berefek ke profil lemak dan mempunyai efek sama pada aterosklerosis (George et al., 1999). Ini juga menjadi bukti bahwa inflamasi dan mekanisme imun memainkan peranan penting pada patogenesis aterosklerosis dalam SLE dan suatu metode baru dibutuhkan untuk memprediksi pasien-pasien SLE dengan risiko kardiovaskular. Level leptin yang tinggi terlihat pada individu yang gemuk yang diduga pada pasien gemuk terjadi resistensi dari leptin yang mirip resistensi insulin, pada diabetes tipe II (McMahon et al., 2011). Peningkatan frekuensi aterosklerosis pada SLE telah dilaporkan namun tidak bisa dijelaskan melalui penampilan faktor-faktor risiko tradisional jantung. Beberapa biomarker-biomarker tradisional, termasuk pro inflammatory highdensity lipoprotein (pi HDL) dan leptin, secara perorangan berhubungan dengan aterosklerosis subklinis pada SLE. Peningkatan level leptin menginduksi oksidatif stress pada sel-sel endotelial dan kardiomyosit ketika leptin dari luar diberikan pada tikus dengan SLE, formasi plak aterosklerosis dipercepat (McMahon et al., 2014).
2.4.1 Patogenesis Aterosklerosis pada SLE Aterosklerosis baru-baru ini berhubungan dengan proses sistem imun, aspek multiple dari autoimun kemungkinan berkontribusi percepatan timbulnya penyakit kardiovaskular. LDL adalah partikel kompleks yang membawa apolipoprotein B100, kolesterol dan beberapa lipid dan beberapa molekul anti oksidan. Ketika terperangkap dalam ruang subendotelial, LDL dimodifikasi dari reactive oxygen
31
species (ROS), sehingga timbul produksi dari oxidized LDL (oxLDL) dan rangkaian aktivasi sel-sel endotel arterial. Kejadian ini merupakan inisiasi pada aterogenesis. Monosit interaksi dan mengaktifkan sel endotel melalui molekul adhesi dan melalui mekanisme ini meningkatkan pembebasan sitokin (monocyte chemoattractant protein 1, IL-6 dan TNF). Monosit menempel ke sel-sel endotel dan migrasi ke intima dan dibedakan dalam makrofag. Aktifasi monosit meningkat pada SLE dibandingkan dengan kontrol. Sel-sel T juga diambil untuk permulaan timbulnya plak aterosklerosis melalui mekanisme yang sama, sel-sel T diliputi secara predominan sel-sel CD4 T-helper (TH1) yang mensekresi proinflamasi dan proaterogenik IFN-gamma. Makrofag dalam intima arteri memakan oxLDL dan menjadi sel-sel foam yang membentuk dasar dari lesi plak. Sel-sel otot polos migrasi dan berproliferasi karena respon dari sitokin, bertumbuh di sekeliling dari lesi dan memenuhi lumen pembuluh darah, yang akan membentuk plak fibrosis (Skaggs et al., 2012).
Gambar 2.8 Peran Limfosit T pada aterogenesis (Libby et al., 2002)
32
Miokard infark terjadi ketika fibrous cap dibentuk melebihi ruptur plak atau setelah aggregasi trombosit menutupi arteri (Skaggs et al., 2012).
Gambar 2.9 Skematik dari suatu ateroma (Libby et al., 2002) .
2.4.2
Diagnosis
American Heart Association (AHA) menyarankan pemeriksaan carotid Doppler ultrasonography B mode pada arteri karotis, sebagai pemeriksaan noninvasif untuk mendiagnosis aterosklerosis subklinis (McMahon et al., 2011; Belibou, 2012). Diagnosis didasarkan pada dua parameter yaitu ketebalan intima media dan ada tidaknya plak. Pengukuran ketebalan tunika intima dapat dilakukan pada beberapa titik anatomis di arteri karotis. Salah satu metode yang digunakan dalam banyak studi tentang aterosklerosis adalah pengukuran pada tiga titik di kedua sisi arteri karotis. Tiga titik dimaksud adalah pada arteri karotis
33
komunis (1 cm sebelum bulbus), arteri karotis eksterna (1 cm kranial bulbus), dan arteri karotis interna (1 cm setelah percabangan aliran). CIMT disebut normal bila nilainya <0.9 mm, dan disebut menebal bila > 0.9 mm, dan disebut plak aterosklerotik bila >1.3 mm (Doria, 2003).
2.5 Leptin dengan SLE dan Aterosklerosis pada SLE Penelitian yang dilakukan oleh Sada et al. menunjukkan suatu konsentrasi lebih tinggi dari leptin dan adiponektin pada pasien dengan SLE. Penelitian yang dilakukan oleh Al et al. menilai pada anak-anak dengan SLE dan dilaporkan suatu konsentrasi lebih tinggi pada leptin (34%) yang dibandingkan dengan kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Chung et al. mendapat konsentrasi resistin, visfatin, leptin dan adiponektin pada 109 pasien dengan SLE dan berhubungan dengan aterosklerosis koroner, resistensi insulin dan inflamasi (Barbosa et al., 2012). Penelitian Garcia-Gonzales et al. (2002) mendapatkan konsentrasi leptin serum pada penderita SLE lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sehat (SLE median 31 vs kontrol median 15, p=0,023). Pada studi ini, level leptin tidak berkorelasi dengan umur, skor Mex-SLEDAI, dosis prednison dan lamanya menderita sakit dan juga tidak berkorelasi dengan titer anti-dsDNA. Studi ini juga tidak menemukan korelasi leptin dengan obat-obatan seperti prednison, klorokuin, atau obat-obat imunosupresif dan dosis prednison (Gonzales et al., 2002). Pada penelitian McMahon et al. (2011), dengan studi kohort diantara 250 pasien SLE dan 122 kontrol, setelah analisis bivariat ditunjukkan bahwa 41,9% pasien SLE dengan plak memiliki level leptin yang tinggi dibandingkan dengan
34
20,8% pasien SLE tanpa plak (p=0,003). Pada analisis multivariat didapatkan faktor satu-satunya yang signifikan yang berasosiasi dengan penderita SLE dengan plak ialah leptin dengan kuartil tertinggi (≥29,5 ng/ml)(OR=2,8 p=0,03) dibandingkan dengan proinflamasi HDL (OR=12,8 p<0,001), umur (OR=1,1 p<0,001), merokok (OR=7,7 p=0,03) dan hipertensi (OR=3,0 p=0,01). Pada studi ini level leptin berkorelasi lemah dengan CIMT (r=0,14 p=0,03) (McMahon et al., 2011). Pada penelitian McMahon et al. (2014), dengan studi kohort diantara 210 pasien SLE dan 100 pasien kontrol sehat, plak karotid ditemukan sebesar 29%. Faktor-faktor yang secara signifikan berhubungan dengan plak pada penelitian ini ialah umur ≥48 tahun (OR=4,1 p=0,002), fungsi proinflamasi HDL (OR=9,1 p<0,001), level leptin ≥34 ng/dl (OR=7,3 p=0,001), level plasma TWEAK ≥373 pg/ml (OR=28,8 p=0,004), dan riwayat diabetes (OR=61,8 p<0,001). Pada studi ini, terjadi peningkatan 28 kali resiko plak karotid baik pasien SLE maupun kontrol (McMahon et al., 2014).