Tinjauan Pustaka
Terapi Lupus Eritematosus Sistemik dengan Penghambatan Kostimulasi Sel T
Masdianto Musai Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang
Abstrak: Limfosit T berperanan sangat penting dalam patogenesis lupus. Sel ini memiliki reseptor untuk berinteraksi dengan antigen yang disajikan dalam bentuk kompleks oleh molekul major histocompatibility complex (MHC) pada permukaan antigen presenting cell (APC). Adanya kompleks MHC-antigen tidak cukup untuk menstimulasi sel T, sehingga APC harus membuat interaksi molekuler kedua dengan sel T melalui kostimulasi, antara lain oleh molekul CD28-B7 yang menimbulkan aktivasi. Cytotoxic T lymphocyte-associated antigen 4 immunoglobuline (CTLA4-Ig), yaitu molekul yang menghambat interaksi CD28-B7, merupakan terapi potensial untuk lupus. Pengalaman penggunaan terapi ini pada penyakit autoimun dan transplantasi memberikan hasil yang baik. Sebagai contoh, abatacept® telah terbukti efektif pada penderita artritis reumatoid dan dapat ditoleransi dengan baik. Belatacept® sama efektifnya dengan siklosporin dalam mencegah penolakan akut pada kasus transplantasi ginjal. Hasil penelitian yang dilakukan pada hewan mendukung manfaat pemberian CTLA4-Ig pada lupus. Namun, pendekatan ini belum pernah diterapkan pada manusia dan masihmemerlukan penelitian lebih lanjut. Kata kunci: limfosit T, kostimulasi, CTLA4-Ig
474
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 10, Oktober 2010
Terapi Lupus Eritematosus Sistemik dengan Penghambatan Kostimulasi Sel T
Systemic Lupus Erythematosus Therapy by Inhibitory of T Cell Costimulation Masdianto Musai Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, Sriwijaya University, Palembang
Abstract: T-lymphocyte plays a critical role in the pathogenesis of lupus. This cell carries a surface-receptor molecule that will interact with particular antigen when it is presented to the Tcell receptor in a complex with an MHC molecule on the surface of an antigen presenting cell (APC). Presentation of the antigen–MHC complex alone is not enough to stimulate the T cell, thus APC must make a second molecular interaction with the T lymphocyte through costimulation, for example by the CD28–B7, which can generate the second signal required for T-cell activation. Cytotoxic T lymphocyte–associated antigen-4 IgG (CTLA4–IgG), a molecule that blocks the CD28–B7 interaction, is a potential treatment for lupus. Initial experience in the autoimmune and transplant arenas has been encouraging. For example, abatacept® has been shown to be efficacious and well tolerated in patients with active rheumatoid arthritis. Belatacept® is as effective as cyclosporine in preventing acute rejection of renal allografts. There is animal data to support the efficacy of CTLA4-Ig in lupus. However, this approach has not yet been applied in human lupus, and still need future researchs. Keywords: T lymphocytes, costimulation, CTLA4-Ig
Pendahuluan Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan prototipe penyakit autoimun non-organ spesifik. Semua komponen utama sistem imun terlibat dalam mekanisme yang mendasari terjadinya penyakit ini. Lupus eritematosus sistemik bersifat multisistem. Kerusakan sel dan organ terjadi akibat adanya autoantibodi dan endapan kompleks imun. Etiologi dan patogenesis LES sangat kompleks, dengan gambaran patologik utama berupa inflamasi, vaskulitis, deposit kompleks imun, dan vaskulopati.1-3 Prognosis dan harapan hidup penderita LES terus membaik dalam dua dekade terakhir. Diagnosis dini, kewaspadaan yang lebih baik, spesifisitas autoantibodi baru, dan perbaikan teknik serologik telah memperbaiki prognosis LES. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah peningkatan pengetahuan tentang LES, perbaikan pelayanan kesehatan secara umum, serta pemakaian obat-obatan anti-inflamasi, imunosupresor, dan imunomodulator (steroid, sitostatika, gammaglobulin).4,5 Hingga saat ini masih dibutuhkan terapi yang lebih efektif dengan efek samping lebih ringan dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh sitotoksik dan glukokortikoid. Beberapa penelitian terus dilakukan untuk mencari strategi terapi baru dengan efektivitas lebih tinggi dan komorbiditas lebih rendah.5,6 Strategi ini didasarkan atas teori mengenai kehadiran dua jenis sinyal yang diperlukan untuk aktivasi sel T, dan pemutusan salah satu sinyal ini akan menyebabkan
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 10, Oktober 2010
sel T tidak berespons. Sinyal pertama timbul saat reseptor sel T (T cell receptor/TCR) berikatan dengan fragmen antigen pada permukaan sel penyaji antigen (antigen presenting cell, APC). Sinyal ini tidak cukup kuat untuk mengaktifkan sel T. Untuk memicu terjadinya respons imun, sel T harus menerima sinyal kedua dari pasangan reseptor-ligan lain, yang disebut kostimulasi. Sinyal kedua tersebut menentukan apakah sel T akan diaktifkan untuk menimbulkan respons imun, atau sebaliknya, menjadi tidak mampu berespons (anergi).7 Prinsip ini merupakan inti dari strategi terapi baru, untuk yaitu hambatan kostimulasi sel T. Banyak uji klinis yang terus berlangsung untuk mencari berbagai peptida dan bahan biologis potensial seperti cytotoxic T lymphocyte-associated antigen-4 immunoglobuline (CTLA4-Ig). Meski dari hasil uji klinis obat ini terbukti memberikan harapan untuk digunakan secara spesifik pada penderita lupus, penggunaannya belum mendapat persetujuan yang resmi. 8 Dalam tinjuan pustaka ini akan dibahas mekanisme imunologi yang mendasari lupus, dan terapi yang ditujukan kepada patogenesis penyakit ini, khususnya terhadap molekul kostimulator. Gangguan Respons Imun pada Lupus Lupus eritematosus sistemik (LES) ditandai oleh gangguan sistem imun yang melibatkan sel B, sel T, dan sel
475
Terapi Lupus Eritematosus Sistemik dengan Penghambatan Kostimulasi Sel T kelompok monosit, yang menyebabkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergammaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Sel T yang berlebihan dan tidak terkontrol akan mengakibatkan diferensiasi sel B dan aktivasinya untuk menghasilkan autoantibodi.3 Aktivasi sel B dan sel T membutuhkan stimulasi oleh antigen spesifik. Bahan kimia iritan, seperti pristin, DNA dan fosfolipid dinding sel bakteri, dan antigen virus dapat menginduksi antibodi anti-DNA pada tikus. Self-antigen (antigen diri), seperti protein DNA dan kompleks proteinRNA dapat menginduksi produksi autoantibodi. Antigen lingkungan dan antigen diri akan ditangkap oleh APC atau diikat oleh antibodi pada permukaan sel B. Antigen presenting cell (APC) dan sel B memroses antigen menjadi peptida kemudian menyajikannya kepada sel T melalui molekul human leucocyte antigen (HLA) permukaan sel. Sel T aktif ini akan merangsang sel B untuk memroduksi autoantibodi yang patogenik. Selain stimulasi kontak, interaksi APC, sel T, dan sel B difasilitasi oleh berbagai sitokin, dan membutuhkan molekul tambahan seperti sistem CD40/CD40L dan B7/CD28/ CTLA4 untuk menginisiasi sinyal kedua.3 Pada penderita LES aktif terjadi peningkatan jumlah sel B pada semua tingkat aktivasi dalam darah perifer. Sel B penderita lupus mempunyai respons kalsium intrasitoplasmik yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu normal. Akibatnya, didapatkan bukti bahwa sel B penderita LES lebih sensitif terhadap pengaruh stimulasi sitokin, seperti IL-6, dibandingkan dengan sel B pada individu normal. Sel B penderita LES lebih mudah mengalami aktivasi poliklonal oleh antigen, sitokin, dan perangsang lain.3 Penderita LES juga mengalami kelainan pada fungsi sel T berupa pergeseran respons imun Th1 ke Th2 yang menyebabkan hiperaktivitas sel B dan produksi autoantibodi yang patogenik. Mekanisme yang mendasari gangguan respons Th1 pada LES diduga adalah akibat sitokin yang diproduksi oleh Th2 secara berlebihan, gangguan interaksi antara APC dan sel T, efek supresi oleh sel T CD8+ dan NK, inhibitor IL-2, dan penurunan jumlah reseptor IL-2.3 Bersihan kompleks imun oleh sel fagosit juga mengalami gangguan pada penderita LES. Hal ini terjadi akibat berkurangnya jumlah reseptor CR1 untuk komplemen dan gangguan fungsi reseptor pada permukaan sel. Gangguan bersihan ini juga timbul sebagai akibat dari tidak adekuatnya fagositosis IgG2 dan IgG3 yang mengandung kompleks imun. Gangguan bersihan kompleks imun oleh fagositosis merupakan suatu mekanisme patogenesis penting pada LES.3 Peranan Sel T pada LES Limfosit T berperanan yang sangat penting dalam patogenesis lupus. Setiap sel T membawa molekul reseptor permukaan yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan antigen tertentu jika disajikan ke reseptor sel T dalam bentuk kompleks dengan molekul MHC pada permukaan APC seperti 476
telah dikemukakan di atas, dibutuhkan interaksi molekuler kedua dengan limfosit T melalui kostimulasi, antara lain dengan pasangan molekul CD40-CD40 ligan dan CD28-B7, sehingga aktivasi sel T dapat terjadi. Jika kostimulasi dapat dihambat, begitu pula respons imun yang diperantai oleh sel T.9,10 Sel B dan sel T berinteraksi dan saling memberikan stimulasi. Sitokin yang dilepaskan sel T mempengaruhi sel B untuk berproliferasi, untuk mengalihkan produksi antibodi dari IgM menjadi IgG, dan untuk meningkatkan perubahan molekuler antibodi yang disekresikan sehingga berikatan lebih kuat dengan antigen. Akibatnya Sel T membantu produksi autoantibodi IgG yang punya afinitas tinggi dan sangat berkaitan dengan kerusakan jaringan pada lupus. 9,10 Sel T regulator menekan aktivasi sel T helper dan sel B. Beberapa peneliti melaporkan bahwa terjadi pengurangan jumlah dan/atau fungsi sel T regulator pada penderita lupus. Pada penderita lupus aktif, kemampuan sel T regulator untuk menekan proliferasi sel T helper lebih rendah jika dibandingkan dengan sel T regulator dari penderita lupus inaktif atau kontrol sehat.12,13 Kang et al14 menemukan bahwa beberapa peptida histon imunogenik (pembentuk inti protein nukleosom), terutama peptida H471-94, meningkatkan perkembangan sel T regulator dan menghambat terjadinya nefritis. Lu et al11 menunjukkan bahwa peptida yang berasal dari histon H2B10-33, H416-39, H471-94, H391-105, H2A34-48, dan H449-63 merangsang sel T penderita lupus untuk menghasilkan sitokin. Diduga bahwa sel T helper yang terstimulasi akan membantu sel B yang juga berespons dengan epitop antigen yang berasal dari nukleosom. Jadi, interaksi limfosit B dan limfosit T akan menyebabkan produksi autoantibodi patogenik berafinitas tinggi. Nukleosom membawa kedua epitop sel T dan sel B, dan nyatanya didapatkan antibodi antinukleosom yang patogenik pada penderita lupus. Reseptor yang Mengatur Aktivasi Sel T CD28 dan CTLA4 (disebut juga CD152) termasuk kelompok koreseptor CD28 yang memiliki domain IgV ekstraseluler tunggal, domain transmembran, dan domain sitoplasma. CD28 adalah reseptor kostimulator yang diekspresikan pada (terdapat pada) permukaan sel T. CD28 melakukan transduksi sinyal, bersamaan dengan sinyal yang dihantarkan oleh kompleks reseptor sel T, untuk mengaktifkan sel T naive. Sifat umum limfosit B dan sel T naive adalah keduanya membutuhkan dua sinyal ekstraseluler yang berbeda untuk memulai proliferasi dan diferensiasi menjadi sel efektor. Sinyal pertama berasal dari pengikatan antigen dengan reseptor dan berperanan menentukan spesifisitas dan respons imun selanjutnya. 15,16 Sinyal kedua untuk aktivasi sel T berasal dari molekul yang disebut kostimulator. Kostimulator yang paling dikenal untuk limfosit T adalah sepasang protein, yaitu B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86), yang diekspresikan APC. Kostimulator B7 Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 10, Oktober 2010
Terapi Lupus Eritematosus Sistemik dengan Penghambatan Kostimulasi Sel T pada APC akan dikenali oleh reseptor spesifik pada sel T, yaitu CD28 yang diekspresikan pada lebih dari 90% sel T CD4+ dan pada 50% sel T CD8+ manusia. Sinyal kostimulasi melalui CD28, bersama sinyal TCR, dibutuhkan untuk aktivasi sel T naive.15,16 Pengikatan molekul B7 pada APC dengan CD28 akan menghantarkan sinyal untuk mengatur produksi IL-2, menginduksi ekspresi protein antiapoptosis, merangsang produksi faktor pertumbuhan (growth factor) dan sitokin lain, serta meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel T. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa CD28 merupakan reseptor utama yang menghantarkan sinyal kedua untuk aktivasi sel T.16,17 Reseptor kedua untuk molekul B7 dikenal sebagai CTLA4 (CD152). Secara struktur, reseptor ini homolog dengan CD28, tetapi CTLA4 diekspresikan pada sel T CD4+ dan CD8+ yang baru diaktifkan, dan fungsinya adalah menghambat aktivasi sel T dengan menghalangi sinyal yang dihantarkan oleh CD28. CTLA4 hanya sedikit diekspresikan pada sel T naive, dan meningkat segera setelah aktivasi sel T, sehingga CTLA4 berperanan mengakhiri respons sel T. Tikus yang tidak memiliki CTLA4 akan menunjukkan aktivasi dan proliferasi sel T yang berlebihan, dan autoimunitas. Karena sinyal CTLA4 menghambat aktivasi sel T, diduga bahwa mutasi genetik yang menyebabkan berkurang atau hilangnya fungsi atau ekspresi CTLA4 sehingga tidak mampu menimbulkan mekanisme supresi, akan menyebabkan terjadinya autoimunitas. Bagaimana kedua reseptor tersebut mengatur respons dengan cara yang berlawanan meski keduanya mengenali molekul B7 yang sama pada APC belum diketahui dengan pasti. CD28 dan CTLA4 menimbulkan pengaruhnya melalui pengikatan ligan dari kelompok B7, yaitu B7-1 dan B7-2. Kedua reseptor ini dapat berinteraksi dengan B7-1 dan B72, akan tetapi reseptor CTLA4 dapat mengikat ligan B7 dengan afinitas 20 kali lipat lebih besar dibandingkan reseptor CD28.15 Beberapa protein lain yang secara struktur berhubungan dengan B7-1 dan B7-2 atau dengan CD28 dan CTLA4 telah diidentifikasi dengan cara kloning dan diteliti fungsinya. Protein ini dianggap sebagai bagian dari kelompok B7 dan CD28. Di antara kelompok CD28 adalah ICOS (inducible costimulator), PD-1 (programmed death1), dan BTLA (sama seperti CTLA4). CD28 penting untuk mengaktifkan sel T naive, sedangkan ICOS lebih berperan pada respons efektor, terutama produksi IL-10 dan IL-4. Sementara itu, CTLA4, PD-1, dan BTLA merupakan reseptor inhibitori. Di antara protein yang termasuk dalam kelompok B7 adalah B7-1, B7-2, ICOS-ligan, B7-H1 (PD-L1), B7-DC (PDL2), B7-H3, dan B7-H4. Seluruh protein tersebut merupakan protein transmembran atau protein yang berikatan dengan glikosilfosfatidilinositol. Fungsi utama molekul ini adalah mengikat reseptor kelompok CD28 pada sel T, sehingga merangsang jalur transduksi sinyal pada sel T. B7-1 dan B7-2 Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 10, Oktober 2010
terutama diekspresikan pada APC, termasuk di antaranya adalah sel dendritik, makrofag, dan sel B.18 B7-1 dan B7-2 mempunyai peranan yang tidak sama dalam modulasi sistem imun, karena perbedaan interaksi dengan CD28 dan CTLA4. Interaksi B7-1-CTLA4 lebih kuat dibandingkan dengan interaksi B7-2-CTLA4, sedangkan afinitas B7-2 terhadap CD28 diduga lebih tinggi efektif dibandingkan dengan afinitas B7-1. Ligan B7, B7-1 dan B7-2 dan reseptornya, CD28 dan CTLA4, merupakan regulator sistem kostimulasi-koinhibisi yang berperanan dalam mengatur respons imun. Interaksi B71 dan B7-2 dengan reseptor CD28 akan menimbulkan sinyal kostimulasi yang menyebabkan aktivasi produksi, ekspansi, diferensiasi dan survival sel T, sehingga terjadi respons imun seluler dan respons imun melalui antibodi. Respons imun produktif ini akan dijaga keseimbangannya oleh sinyal yang dihantarkan melalui interaksi ligan B7 dengan reseptor CTLA4. Interaksi B7-CTLA4 akan berlawanan dengan interaksi B7CD28, yang menghasilkan pengaturan sinyal reseptor sel T dan CD28, produksi interleukin-2, dan berlangsungnya siklus sel. Terapi LES dengan Penghambatan Kostimulasi Terapi CTLA4-Ig pada Lupus Dengan diketahuinya peranan CD28/CTLA4/B7 dalam regulasi sistem imun dan proses penyakit, jalur ini mulai diteliti sebagai target terapi. CD28 merupakan molekul paling penting dalam sinyal kedua kostimulator sel T; ligannya CD80 dan CD86 pada permukaan APC. Aktivasi kostimulasi akan menginduksi produksi sitokin IL-2, merangsang proliferasi sel, mengaktifkan fungsi efektor sel T, dan mencetuskan ekspresi molekul antiapoptosis, seperti Bcl-xL yang meningkatkan masa hidup sel. Selain itu, kostimulasi (sinyal kedua) ini akan menyebabkan ekspansi klonal sel T dan memulai diferensiasi sel T menjadi sel T memori. Kostimulasi sangat penting untuk memulai respons sel T, sehingga terapi yang ditujukan pada sinyal kostimulasi ini akan mempengaruhi respons sel T.19,20 CD28 terdapat pada kebanyakan sel T, serta mengikat CD80 (B7-1) dan CD86 (B7-2) yang terdapat pada APC (sel dendritik, sel B, makrofag). Pengikatan ligan ini menimbulkan sinyal kedua yang dibutuhkan untuk aktivasi sel T secara maksimal, maka bila sinyal kostimulasi ini dihilangkan akan terjadi anergi dan apoptosis (kematian sel). Cytotoxic T lymphocyte-associated antigen-4 (CTLA4) yang juga berinteraksi dengan CD80 dan CD86, merupakan mekanisme penting untuk mengatur fungsi sel T. CTLA4 tidak hanya memotong jalur aktivasi CD28, tetapi juga memberikan sinyal negatif yang memungkinkan terjadinya toleransi. Interaksi CD28/B7 penting untuk timbulnya sel T regulator CD4+, CD25+, CTLA4+, sedangkan sinyal melalui CTLA4 dapat meningkatkan pelepasan sitokin imunoregulator, seperti TGF-β.19-20 Sekitar 36-72 jam setelah aktivasinya, sel T mulai mengekspresikan CTLA4-Ig di bagian permukaan, yang akan
477
Terapi Lupus Eritematosus Sistemik dengan Penghambatan Kostimulasi Sel T mengakibatkan penurunan aktivasi sel T. CTLA4-Ig dibentuk dari fusi genetik domain eksternal CTLA4 manusia dan fragmen domain Fc imunoglobulin G1 (IgG1). Dengan menghambat pengikatan CD28, CTLA4-Ig mencegah penghantaran sinyal kostimulasi kedua yang dibutuhkan untuk aktivasi sel T secara optimal.19-20 Mekanisme yang mendasari kerja CTLA4-Ig adalah pengikatan CTLA4-Ig dengan B7 yang berada pada sel dendritik (APC) yang akan merangsang produksi IFN-γ, yang kemudian akan meningkatkan indeolamin 2,3-dioksigenase (IDO), yaitu suatu enzim intraseluler yang memecah triptofan menjadi kinurein dan metabolit lain. Penurunan kadar triptofan, bersamaan dengan terbentuknya metabolit triptofan akan menghambat proliferasi sel T, dan kemungkinan juga, menginduksi kematian sel, sementara penghambatan terhadap ekspansi klonal akan menimbulkan keadaan toleransi. Selain itu, CTLA4-Ig yang terlarut menghambat respons imun melalui pengikatan dengan B7-1 dan B7-2 sehingga menghambat interaksi dengan CD28 dan mencegah aktivasi sel T, seperti yang ditunjukkan pada beberapa model penyakit autoimun dan inflamasi.21,22 Uji klinis CTLA4-Ig pada penderita psoriasis vulgaris menunjukkan hasil yang baik.23 Sementara itu, uji klinis CTLA4 pada penderita artritis reumatoid (RA) yang juga mendapat metotreksat (MTX) menunjukkan bahwa setelah enam bulan, penderita yang mendapat kombinasi CTLA4Ig/MTX menunjukkan gambaran klinik yang jauh lebih baik dibandingkan dengan yang hanya mendapat MTX.24 Salah satu protein fusi, yang dikenal sebagai abatacept®, lebih kuat mengikat CD80 dibandingkan CD86. Generasi kedua molekul ini (LEA29Y), dengan mutasi dua asam amino, telah dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan pengikatan terhadap CD86. Perubahan ini dapat bermakna penting karena CD86 diduga merupakan ligan kostimulasi yang dominan pada sejumlah hewan percobaan. Bahkan dalam pengobatan model tikus dengan penyakit autoimun, penghambatan CD86 lebih efektif dibandingkan penghambatan CD80.17,19 Pada manusia, dua sediaan CTLA4-Ig, abatacept® dan belatacept® telah digunakan di klinik.25 Pengalaman terdahulu penggunaan dua obat ini pada penyakit autoimun dan transplantasi memberikan hasil yang baik, misalnya abatacept efektif dan dapat ditoleransi pada penderita artritis reumatoid.24 Pada uji klinis fase II belatacept® terbukti sama efektif dengan siklosporin dalam mencegah penolakan akut pada kasus transplantasi ginjal.26 Hasil penelitian yang dilakukan pada hewan mendukung manfaat CTLA4-Ig pada lupus.27 Namun, pendekatan ini belum pernah diaplikasikan pada manusia sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.17 B7-1 dan B7-2 diekspresikan pada permukaan sel yang mampu mempresentasikan antigen ke sel T, tetapi ekspresinya baru terjadi setelah sel penyaji antigen ini berinteraksi dengan antigen. Sehingga, terapi yang ditujukan kepada molekul B7 akan secara selektif menghambat proses presentasi antigen, 478
tanpa mempengaruhi sel yang berada dalam keadaan istirahat. Dengan demikian, pada penderita dengan penyakit autoimun, penghambatan interaksi B7-CD28 hanya akan menghambat sel yang berada dalam proses melakukan respons terhadap antigen sendiri (autoantigen), tanpa mempengaruhi sel lain yang diprogram untuk mengenali antigen asing (nonself).16 Bukti dari prinsip terapi penyakit autoimun pertama kali didapatkan dari penelitian pada tikus percobaan NZB/NZW F1. Tikus ini secara spontan menderita penyakit yang menyerupai LES pada manusia, dan pemberian CTLA4-Ig dapat mencegah produksi autoantibodi, mengurangi beratnya nefritis lupus, dan memperpanjang harapan hidup. Bahkan, meski pengobatan baru diberikan pada stadium lanjut penyakit, CTLA4-Ig tetap memberikan manfaat, terutama bila CTLA4-Ig dikombinasikan dengan siklofosfamid, yang telah dipakai pada manusia untuk pengobatan kasus berat LES.27 Berdasarkan hasil tersebut, telah dilakukan uji klinis CTLA4-Ig pada dua penyakit autoimun yang berbeda. Pada penelitian fase I terhadap penderita psoriasis, CTLA4-Ig tidak hanya dapat ditoleransi dengan baik, tetapi juga bermanfaat secara klinis. CTLA4-Ig kemudian diteliti pada fase II terhadap penderita RA menggunakan metode double blind, placebo, controlled trial. Penelitian ini menunjukkan manfaat bagi RA, yang hasilnya sebanding dengan manfaat yang dilaporkan pada penelitian menggunakan penghambat TNF. Kini, uji klinik fase III terhadap RA telah selesai.27 Penelitian terhadap penggunaan CTLA4-Ig pada penderita LES juga telah dimulai, dengan harapan bahwa pendekatan ini akan dapat dipakai secara luas pada berbagai penyakit autoimun. Namun, masih diperlukan waktu untuk lebih mengetahui keamanan sediaan ini. Meski CTLA4-Ig hanya bekerja terutama pada respons imun patologis pada penderita penyakit autoimun aktif, respons imun protektif mungkin tidak sepenuhnya aman, sehingga masih perlu ditetapkan potensi risiko dan manfaat penggunaannya pada manusia. Sejak Februari 2006, abatacept® telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan RA. Uji klinis abatacept® pada LES baru dimulai pada tahun 2005, dan produk CTLA4-Ig mulai memasuki uji klinis fase I pada penderita LES. Penelitian klinis fase I dan fase II pada manusia telah selesai pada tahun 2008.28 Namun, didapatkan keterbatasan dalam penggunaan klinis CTLA4-Ig, yaitu kemungkinan eksaserbasi penyakit autoimun yang terjadi karena berbagai sebab. Melalui pengikatan oleh ligan B7, CTLA4-Ig dapat menyebabkan gangguan yang tidak dikehendaki pada interaksi CTLA4-B7, sehingga mengurangi efek inhibisi. Kemungkinan lainnya adalah peningkatan autoimunitas pada pemberian CTLA4Ig yang dapat terjadi akibat penghambatan sinyal CD28 pada sel T regulator yang fungsinya bergantung pada kostimulasi ini, sehingga mengganggu aktivitas imunosupresif sel ini. Hasil pasti imunoterapi CTLA4-Ig tampaknya dipengaruhi oleh berbagai faktor penjamu dan penyakit sehingga efek terapeutiknya masih sulit diduga.15 Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 10, Oktober 2010
Terapi Lupus Eritematosus Sistemik dengan Penghambatan Kostimulasi Sel T Ringkasan CTLA4-Ig adalah suatu protein fusi CTLA4 dengan rantai cγ 1 imunoglobulin G, yang memiliki afinitas tinggi terhadap B7, dan menghambat interaksi B7/CD28, sehingga menghambat aktivasi sel T. Berbagai penelitian yang telah dilakukan mengenai penggunaan CTLA4-Ig sebagai salah satu modalitas terapi lupus eritematosus sistemik memberikan hasil yang cukup menjanjikan. Dengan pendekatan langsung pada patogenesis lupus eritematosus sistemik, terapi ini memiliki efektivitas lebih tinggi dengan efek samping minimal dibandingkan dengan terapi konvensional yang telah ada. Berbagai penelitian masih terus dilakukan untuk mengetahui manfaat dan keamanan sediaan ini. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
10. 11.
12. 13.
Rahman A, Isenberg DA. Mechanisms of disease systemic lupus erythematosus. N Engl J Med. 2008;358:929-39. Agrawal S. Lupus nephritis: an update on pathogenesis. J Indian Rheumatol Assoc. 2004;12:11-5. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin Pathol. 2003;56:481-90. Cervera R, Font J. Therapeutic perspectives in systemic lupus erythematosus. Curr Rheuma Rev. 2005;1:45-7. Smolen JS, Therapy of systemic lupus erythematosus: a look into the future. Arthritis Res. 2002;4(suppl 3):S25-30. Stepkowski SM. Molecular targets for existing and novel immunosuppressive drugs. Exp Rev Mol Med. June 2000;vol(no):123. Wofsy D, Daikh DI. Treatment of autoimmune diseases by inhibition of T cell costimulation. Mod Rheumatol. 2002;12:1-4. D’Cruz DP. Systemic lupus erythematosus. Br Med J. 2006;332:890-4. Sidiropoulus PI, Boumpas DT. Lessons learned from anti-CD40L treatment in systemic lupus erythematosus patients. Lupus. 2004;13:391-7. Davidson A, Diamond B, Wofsy D, Daikh D. Block and tackle: CTLA4Ig takes on lupus. Lupus. 2005;14:197-203. Lu L, Kaliyaperumal A, Boumpas DT, Datta SK. Major peptide autoepitopes for nucleosomes-specific T cells of human lupus. J Clin Invest. 1999;104:345-55. Mudd PA, Teague BN, Farris AD. Regulatory T cells and systemic lupus erythematosus. Scand J Immunol. 2006:64:211-8. Valencia X, Yarboro C, Illei G, Lipsky PE. Deficient CD4+CD25 (high) T regulatory cell function in patients with active systemic lupus erythematosus. J Immunol. 2007;178:2579-88.
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 10, Oktober 2010
14. Kang H-K, Michaels MA, Berner BR, Datta SK. Very low dose tolerance with nucleosomal peptides controls lupus and induces potent regulatory T-cell subsets. J Immunol. 2005;174:3247-55. 15. Wong KKM. The CD28/CTLA4/B7 pathway in immunological regulation: the basis of disease and the promise of therapy. Univ Toronto Med J. 2007;84;3:131-5. 16. Daikh DI, Gillis J, Wosfy D. Inhibition of T cell costimulation: an emerging therapeutic strategy for autoimmune rheumatic diseases. Arthritis and Rheumatism. 2006;55;2:332-4. 17. Waldman M, Appel GB. Update on the treatment of lupus nephritis. Kidney International. May 2006:1-10. 18. Collin M. Ling V, Carreno BM. The B7 family of immune regulatory ligands. Genome Biology. 2005;6:223.1-7. 19. Ruderman EM, Pope RM. The evolving clinical profile of abatacept (CTLA4-Ig): a novel co-stimualtory modulator for the treatment of rheumatoid arthritis. Arthritis Res Ther. 2005; 7(Suppl 2):S21-5. 20. Parchamazad P, Ghazvini P, Honeywell M, Treadwell P. Abatacept (CTLA4-Ig, Orencia): An investigational biological compound for the treatment of rheumatoid arthritis. P & T. 2005;30;11:633-40. 21. Grohmann U, Bianchi R, Orabona C, Fallarino F, Vacca C, Micheletti A, et al. Functional plasticity of dendritic cell subsets as mediated by CD40 versus B7 activation. J Immunol. 2003;171:2580-7. 22. Houssiau FA. Management of refractory systemic rheumatic disease. Acta Clinica Belgia. 2003;58-5:214-7. 23. Abrams JR, Lebwohl MG, Guzzo CA, Jegasothy BV, Goldfarb MT, Goffe BS, et al. CTLA4Ig-mediated blockade of T-cell costimulation in patients with psoriasis vulgaris. J Clin Invest. 1999;103 (9):1243-52. 24. Kremer JM, Westhovens R, Leon M, Giorgio ED, Alten R, Steinfeld S, et al. Treatment of rheumatoid arthritis by selective inhibition of T cell activation with fusion protein CTLA4Ig. N Engl J Med. 2003;349(20):1907-15. 25. Larsen CP, Pearson TC, Adams AB, Tso P, Shirasugi N, Elizabeth StrobertM E, et al. Rational development of LEA29Y (belatacept), a high affinity variant of CTLA-4Ig with potent immunosuppressive properties. Am J Transplant. 2005;5:443-53. 26. Vincenti F, Larsen C, Durrbach A, Wekerle T, Nashan B, Blancho G, et al. Costimulation blockade with belatacept in renal transplantation. N Engl J Med. 2005;353:770-81. 27. Daikh DI, Wosfy D. Cutting edge: Reversal of murine lupus nephritis with CTLA4Ig and cyclophosphamide. J Immunol. 2001; 166:2913-6. 28. Treating systemic lupus erythematosus (SLE) patients with CTLA4-IgG4m (RG2077). National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) 2008:1-3. ZD/SO
479