BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Job Insecurity 2.1.1.1 Definisi Job Insecurity Menurut Sengenberger (1995) dalam Kurniasari (2004), ada 3 aspek rasa tidak aman dalam bekerja yang saling berkaitan (three inter-relate aspects of work based insecurity) yakni: job insecurity, employer insecurity, dan employment insecurity. Job insecurity merupakan rasa tidak aman dalam bekerja yaitu ancaman untuk tidak lagi menjadi pegawai tetap pada perusahaan yang sama. Employer insecurity merupakan rasa tidak aman untuk tetap dapat menjadi karyawan dengan jenis pekerjaan atau pada lokasi yang berbeda namun masih dalam perusahaan yang sama. Employment security merupakan rasa tidak aman yang mencakup di dalamnya tidak adanya kesempatan untuk berganti perusahaan. Secara umum, job insecurity adalah ketidakamanan dalam bekerja secara psikologis. Berikut ini merupakan definisi job insecurity dari beberapa ahli: 1. Greenhalgh dan Rosenblatt (2002) mendefinisikan Job insecurity sebagai ketidakberdayaan
untuk
mempertahankan
kesinambungan
yang
diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam (dalam Suwandi dan Indriartoro,2003, p 3-4 ). 2. Definisi yang lebih lengkap tentang job insecurity berasal dari tema-tema yang mendasari antisipasi, resiko, dan ketidakberdayaan. Job Insecurity difokuskan pada mengantisipasi kemungkinan peristiwa masa depan, yaitu kehilangan pekerjaan. Fokus masa depan dari job insecurity
10
11
menunjukan
bahwa
job
insecurity
dihadapkan
dengan
mempertimbangkan konsekuensi yang akan membawa kehilangan pekerjaan, seperti beban keuangan. Job Insecurity yang juga melibatkan resiko kehilangan pekerjaan atau kehilangan komponen-komponen pekerjaan yang bernilai. Kerugian mungkin hanya keuangan, atau bisa juga non fisik, seperti kehilangan status yang disediakan pekerjaan. Definisi
Job
Insecurity
juga
sering
menggabungkan
konsep
ketidakberdayaan untuk mengurangi rasa aman. (Rongelberg, 2007, p416) 3. Menurut Burchell, Day, dan Hudson (2000) yang dikutip Kurniasari (2004, p46), hasil studi menunjukan bahwa dalam job insecurity terdapat elemen-elemen multidimensi. Sebagai contoh, banyak karyawan tidak mencemaskan tentang hilangnya kekuatan yang dimiliki atas pekerjaan yang dilakukan ataupun kesempatan-kesempatan yang ditawarkan oleh pekerjaan tersebut seperti status dan promosi.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan kondisi ketidakamanan kerja yang dialami oleh seseorang yang disebabkan oleh perubahan-perubahan lingkungan (faktor eksternal) dan watak atau kepribadian dan mental seseorang yang mengalami kondisi tersebut (faktor internal). Seseorang yang mempunyai kepribadian yang positif atau kepribadian yang negatif, keduanya akan memberikan pengaruh pada kesehatan mental yang baik atau tidak baik (Partina, 2002) dalam Hadianto, B. dan Setiawan, R. (2010).
12
2.1.1.2 Dimensi dan indikator dari Job Insecurity Paserawak dan Strawser (2001) menerangkan mengenai empat variable pendahulu dalam Suwandi dan Indriartoro disebut prediktor dari job insecurity berdasarkan hasil studi sebelumnya: 1) Konflik peran (role conflict) Ketika seorang individu dihadapkan dengan ekspetasi peran yang berlainan, hasilnya adalah konflik peran (role conflict). Konflik ini muncul ketika seorang individu menemukan bahwa untuk memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk memenuhi peran lain. Pada tingkat ekstren, hal ini dapat meliputi situasi–situasi di mana dua atau lebih ekspetasi peran saling bertentangan (Robbins & Timothy A. Judge, 2008 p 364). 2) Ketidakjelasan peran (role ambiguity) Ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab terhadap pekerjaan. (Greenberg & Robert A. Baron, 2007, p 124). 3) Perubahan Organisasi (organizational change) Merupakan berbagai kejadian yang yang secara potensial dapat mempengaruhi sikap dan persepsi karyawan sehingga dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam organisasi. Kejadiankejadian tersebut antara lain meliputi merger, perampingan (downsizing), reorganisasi, teknologi baru, dan pergantian manajemen (Greenhalg dan Rosenblatt 2002). 4) Lokus kendali merupakan tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Internal (internal) adalah individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa pun
13
yang terjadi pada diri mereka. Eksternal (exsternal) adalah individu yang yakin bahwa apa pun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan atau kesempatan. Lokus kendali merupakan suatu indikator evaluasi inti diri karena individu yang berfikir bahwa mereka kurang memiliki kendali atas hidup mereka cenderung kurang memilki kepercayaan diri (Stephen P. Robbins, Timothy A. Judge, 2008 p 138). Tabel 2.1 Dimensi dan Indikator dari Job Insecurity Dimensi Kondisi Pekerjaan
Pengembangan Karir
Konflik Peran
Indikator •
Lingkungan kerja
•
Beban kerja
•
Kesulitan karir
•
Pengembangan karir
•
Pertentangan antara tugas-
tugas dan tanggung jawab •
Tuntutan-tuntutan yang
bertentangan • Ketidakjelasan Peran
Ketidakjelasan
tentang
prosedur kerja •
Kesadaran tentang tanggung
jawab •
Teknologi baru
•
Pergantian manajemen
Pusat Pengendalian (Locus of
•
Internal
Control)
•
Eksternal
Perubahan Organisasi
Sumber: Suwandi dan Indriartoro,2003
14
2.1.2
Organizational Climate
2.1.2.1 Definisi Organizational Climate Iklim atau Climate berasal dari bahasa Yunani yaitu incline, kata ini tidak hanya memberikan arti yang terbatas pada hal-hal fisik saja seperti temperatur atau tekanan, tetapi juga memiliki arti psikologis bahwa orang-orang yang berada di dalam organisasi menggambarkan tentang lingkungan internal organisasi tersebut. Istilah iklim organisasi (organizational climate) pertama kali dipakai oleh : 1. Kurt Lewin pada tahun 1930-an, yang menggunakan istilah iklim psikologi (psychological climate). 2. Kemudian istilah iklim organisasi dipakai oleh R. Tagiuri dan G. Litwin. R. Tagiuri dan G. Litwin dalam Wirawan (2007:121) mengemukakan sejumlah istilah untuk melukiskan perilaku dalam hubungan dengan latar atau tempat (setting) dimana perilaku muncul: lingkungan (environment), lingkungan pergaulan
(milieu),
budaya
(culture),
suasana
(atmosphere),
situasi
(situation), pola lapangan (field setting), pola perilaku (behaviour setting) dan kondisi (conditions). Definisi mengenai iklim organisasi dikemukakan oleh beberapa ahli. Para ahli Barat mengartikan iklim sebagai unsur fisik, dimana iklim sebagai suatu atribusi dari organisasi atau sebagai suatu atribusi daripada persepsi individu sendiri. 3. Menurut Lussier (2005:486) mengatakan bahwa iklim organisasi adalah persepsi pegawai mengenai kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif dirasakan oleh anggota organisasi yang kemudian akan mempengaruhi perilaku mereka berikutnya 4. Menurut Stinger (2002:122) iklim organisasi adalah sebagai suatu koleksi dan pola lingkungan yang menentukan motivasi.
15
5. Wirawan (2008:122) mendefenisikan iklim secara luas. Ia menjelaskan bahwa iklim organisasi adalah persepsi anggota organisasi (secara individual dan kelompok) dan mereka yang secara tetap berhubungan dengan organisasi mengenai apa yang ada atau terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin, yang mempengaruhi sikap dan perilaku organisasi dan kinerja anggota organisasi yang kemudian menentukan kinerja organisasi.
2.1.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Organizational Climate Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim organisasi adalah: A. Karakteristik internal Terdiri dari kondisi dalam organisasi yang diatur dan telah ditetapkan dalam mencapai tujuan organisasi. Karakteristik internal dikenal melalui beberapa dimensi: 1.
Formalisasi, yaitu tingkat penggunaan dokumentasi tertulis
2.
Spesialisasi, yaitu derajat pembagian tugas
3.
Sentralisasi,
yaitu
berupa
pembagian
kekuasaan
dan
proses
pengambilan keputusan 4.
Otoritas, yaitu berupa pembagian tugas dan pengambilan keputusan
5.
Profesionalisme, yaitu menggambarkan tingkat pendidikan anggota
6.
Konfigurasi, yaitu menunjukkan pembagian anggota ke dalam bagianbagian.
B. Karakteristik organisasi secara keseluruhan Organisasi sebagai suatu sistem terbuka, dalam upaya pencapaian tujuan memiliki karakteristik tertentu sebagai totalitas dapat dilakukan melalui
16
penelaahan terhadap ukuran organisasi, teknologi yang digunakan dan lingkungan yang dihadapi organisasi, faktor umum organisasi, ukuran organisasi, teknologi dan lingkungan akan mempengaruhi iklim yang dirasakan anggota, karena secara langsung ataupun tidak, anggota pun berinteraksi dengan faktor-faktor tersebut. C. Karakteristik individu Seperti yang diungkapkan di atas, bahwa iklim organisasi tercipta dari hasil interaksi individu dalam organisasi. iklim merupakan suasana yang dirasakan orang-orang yang terlibat dalam organsiasi. Dengan demikian karakteristik
individu
seperti
persepsi,
sifat,
kemampuan,
akan
mempengaruhi iklim organisasi. demikian juga dengan pengalaman masa lalu, harapan serta nilai-nilai yang dianut setiap individu akan berpengaruh terhadap proses interkasi. Karakteristik individu yang satu dengan yang lain berbeda, akan memberi warna pada iklim yang terbentuk. Besar kecilnya organisasi ditentukan oleh jumlah anggota yang terlibat dalam proses kegiatan organisasi. Dalam organisasi yang kecil memungkinkan frekuensi tatap muka antara individu menjadi lebih tinggi, sehingga tingkat keakraban menjadi lebih tinggi. Komunikasi lebih intensif sehingga memungkinakn terbentuknya suasana yang berbeda dengan organisasi yang berukuran besar. Sedangkan menurut Stringer (2002:135) mengemukakan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi terjadinya iklim suatu organisasi, masing-masing faktor yang mempegaruhi iklim tersebut yaitu: 1. Lingkungan Eksternal.
17
Industri atau bisnis yang sama mempunyai iklim organisasi umum yang sama. a. Strategi Organisasi. Kinerja suatu perusahaan bergantung pada strategi (apa yang diupayakan untuk dilakukan), energi yang dimiliki oleh karyawan untuk melaksanakan pekerjaan yang diperlukan oleh strategi, dan faktor-faktor lingkungan penentu dari level energi tersebut. Strategi yang berbeda menimbulkan pola iklim organisasi yang berbeda. Strategi mempengaruhi iklim organisasi secara tidak langsung. b. Pengaturan Organisasi. Pengaturan organisasi mempunyai pengaruh paling kuat terhadap iklim organisasi. c. Kekuatan Sejarah. Semakin tua umur suatu organisasi semakin kuat pengaruh kekuatan sejarahnya. Pengaruh tersebut dalam bentuk tradisi dan ingatan yang membentuk harapan anggota organisasi dan mempunyai pengaruh terhadap iklim organisasinya. d. Kepemimpinan. Perilaku pemimpin mempengaruhi iklim organisasi yang kemudian mendorong motivasi karyawan. Motivasi karyawan merupakan pendorong utama terjadinya kinerja.
18
2.1.2.3 Dimensi dan indikator dari Organizational Climate Iklim organisasi yang dirasakan individu secara positif (menyenangkan) akan memberikan tampilan kerja yang baik dan efektif yang akan mempengaruhi pada keberhasilan organisasi. Iklim organisasi terjadi disetiap organisasi dan akan mempengaruhi perilaku organisasi dan diukur melalui persepsi setiap anggota organisasi.
Litwin dan Stringer (Wirawan, 2007:131-133) menyebutkan bahwa ada enam dimensi Iklim organisasi, yaitu :
1. Struktur. Merefleksikan perasaan bahwa karyawan diorganisasi
dengan baik dan mempunyai definisi yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab mereka. Meliputi posisi karyawan dalam perusahaan. 2. Standar-standar. Mengukur perasaan tekanan untuk memperbaiki
kinerja dan derajat kebanggaan yang dimiliki anggota organisasi dalam melakukan pekerjaannya dengan baik. Standar-standar yang tinggi artinya anggota organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerja. Sebaliknya standar rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja. Meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan. 3. Tanggung jawab. Dimensi ini menggambarkan rasa tanggung jawab
yang tumbuh dalam organisasi, sehingga setiap anggota benar-benar memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pelaksanaan tugas, hasil dari pekerjaan dan mutu output. Sebuah organisasi yang baik harus dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri anggota organisasi dengan memberikan kepercayaan dan memberikan
19
kesempatan ataupun diajak secara bersama-sama untuk memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti misalnya bersama-sama bertanggung jawab terhadap mutu produk atau output. 4. Penghargaan
atau
imbalan.
Mengindikasikan
bahwa
anggota
organisasi merasa dihargai jika mereka dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Meliputi imbalan atau upah yang terima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaan. 5. Dukungan. Dimensi ini akan mengungkap mengenai bagaimana
suasana interaksi antar anggota organisasi. Dalam sebuah organisasi harus tercipta interaksi yang baik dan harmonis dari seluruh anggota organisasi. Mereka harus dapat menjalin komunikasi yang baik, memberikan dukungan dan bantuan dan menciptakan persahabatan, sehingga semua anggota merasa senang dan nyaman dengan iklim yang diciptakan di dalam organisasi. 6. Komitmen. Merefleksikan perasaan kebanggaan dan komitmen
sebagai anggota organisasi. Meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.
Tabel 2.2 Dimensi dan indikator dari Organizational Climate Dimensi
Indikator •
Karyawan
diorganisir
dengan baik Struktur
•
Terdapat definisi yang jelas
mengenai peran karyawan •
Terdapat definisi yang jelas
mengenai
tanggung
jawab
20
karyawan Standar-standar
•
Keinginan karyawan untuk
meningkatkan kinerja. • Tanggung Jawab
Memiliki tanggung jawab
yang besar terhadap pelaksanaan tugas
Penghargaan
•
Imbalan
yang
diterima
karyawan •
Komunikasi yang baik
•
Dukungan antar karyawan
•
Saling
membantu
antar
karyawan Dukungan
•
Terciptanya
persahabatan
antar karyawan •
Rasa senang bekerja dalam
perusahaan •
Rasa nyaman bekerja dalam
perusahaan •
Rasa
bangga
akan
keberadaan dalam organisasi Komitmen •
Kesetiaan yang ditunjukan
selama bekerja Sumber: Wirawan (2007)
2.1.3 Employee Engagement 2.1.3.1 Definisi Employee Engagement Employee engagement adalah salah satu isu terkini yang berkembang dalam pengelolaan SDM. Engagement sendiri merupakan kekuatan yang mengikat antara perusahaan dan karyawan baik secara emosional, rasional maupun motivasional yang
21
mampu mendorong kinerja optimal individu sehingga, membuat perusahaan mampu mencapai tujuannya memiliki keunggulan bersaing. Employee engagement pertama kali dibangun oleh kelompok peneliti Gallup pada tahun 2005. Gallup (2005) mendefinisikan Employee engagement sebagai keterlibatan dan antusiasme dalam menyelesaikan pekerjaannya. Employee engagement dapat memprediksi peningkatan produktivitas pada karyawan, profitabilitas, mempertahankan karyawan, kepuasan konsumen serta keberhasilan untuk organisasi (Bates, 2004; Baumruk, 2004; Richman, 2006). Definisi lain dari William H. Macey, Ph.D. (2010) mengatakan bahwa engagement adalah kesadaran dan kesediaan individu untuk memfokuskan seluruh energi, menunjukkan personal inisiatif, kemauan adaptasi, berusaha keras dan gigih untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Employee engagement adalah sebuah konsep yang dipercaya dapat membawa karyawan untuk memiliki kinerja yang positif, dikarenakan adanya keterlibatan penuh individu dan antusiasme dalam menyelesaikan pekerjaan, bekerja dalam tim, dan organisasi. Sehingga ketika karyawan memiliki pilihan-pilihan, mereka akan bertindak lebih jauh untuk kepentingan organisasi mereka.
2.1.3.2 Faktor-faktor penggerak terciptanya Employee Engagement Banyak peneliti telah berusaha untuk mengidentifikasi faktor - faktor yang mengarah pada Employee Engagement dan mengembangkan model
untuk
menggambarkan implikasinya bagi para manajer. Diagnosa mereka bertujuan untuk
22
menentukan penggerak-penggerak yang akan dapat meningkatkan Employee Engagement itu. Menurut laporan penelitian Penna (2007) dalam Markos, Salomon; Sridevi, M Sandhya, (2010, p89-96) makna di dalam pekerjaan memiliki potensi untuk menjadi cara yang berharga bagi para pengusaha dan karyawan untuk lebih dekat bersama-sama untuk keuntungan kedua belah pihak dalam mengalami perasaan berkomunitas, perasaan mendapatkan ruang untuk menjadi diri mereka sendiri dan kesempatan untuk memberikan kontribusi, dengan menemukan makna.
Peneliti-peneliti tersebut juga menghasilkan suatu model baru yang disebut dengan “hirarki keterlibatan” yang menyerupai “hirarki kebutuhan Maslow”
Gambar 2.1 Hierarcy of Engagement Sumber: http://www.scotland.gov.uk/Resource/Img/176883/0053498.gif Pada baris bawah hierarchy of engagement, terdapat kebutuhan dasar gaji dan tunjangan. Setelah karyawan merasa puas akan kebutuhan ini, maka karyawan mencari kesempatan untuk berkembang, kemungkinan untuk promosi dan gaya kepemimpinan promosi akan diperkenalkan dalam model. Akhirnya, ketika semua
23
kutipan aspirasi tingkat yang lebih rendah diatas telah dipenuhi, karyawan akan mencari penyusaian dari nilai-makna, yang ditampilkan dengan arti sebenarnya dari koneksi, tujuan umum dan perasaan makna ditempat kerja. Studi The Blessing White (2006) dalam Markos, Solomon; Sridevi, M Sandhya (2010, p89-96) telah menemukan bahwa hampir dua per tiga (60%) dari karyawan yang survey ingin memilik lebih banyak kesempatan untuk berkembang untuk tetap merasa puas dalam pekerjaan mereka. Hubungan manajer-karyawan yang kuat merupakan unsur krusial dalam Employee Engagement dan formula retensi. ( Markos, Sridevi, 2010, 89).
2.1.3.3 Perilaku Umum dari Employee Engagement Karyawan yang memiliki Employee Engagement akan mendemonstarasikan tiga perilaku umum secara konstan yang meningkatkan kinerja organisasi: 1. Berbicara (Say) Karyawan menganjurkan rekan kerja mereka kepada organisasi dan mengacu kepada para karyawan dan para pelanggan yang potensial. 2. Bertahan (stay) Karyawan memiliki keinginan yang besar untuk menjadi anggota dari organisasi walaupun memiliki kesempatan untuk bekerja ditempat lain. 3. Bekerja keras (Strive) Karyawan bekerja keras dalam waktu yang lebih lama, berusaha dan berinisiatif untuk berkontribusi pada kesuksesan dari bisnis. (Baumruk ana Gorman, 2006).
24
2.1.3.4 Dimensi dan indikator dari Employee Engagement Menurut Thomas (2007) dan Gibbons (2006) dimensi dan indikator di dalam Employee Engagement: Tabel 2.3 Dimensi dan indikator dari Employee Engagement Dimensi
Indikator •
Siap mendedikasikan diri
pada pekerjaan Kesiapan
•
Memikirkan cara baru untuk
bekerja lebih efektif •
Semangat dalam melakukan
pekerjaan • Kerelaan
Kesediaan memotivasi diri
untuk mencapai keberhasilan •
Kesediaan
untuk
bekerja
keras atau ekstra keras •
Pekerjaan sebagai sumber
kebanggaan diri Kebanggaan
•
Pekerjaan dikerjakan secara
lengkap dan menyeluruh •
Kesiapan mencurahkan jiwa
bagi pekerjaan Sumber: Thomas (2007) dan Gibbons (2006)
2.1.3.5 Employee Engagement Index Menurut Bucknall, Wei dan Mercer (2006, p80) Employee Engagement Index adalah indeks yang didasarkan pada survey periodik yang diselenggarakan untuk mengukur seberapa karyawan merasa engaged dengan perusahaan.
25
Employee Engagement Index merupakan suatu alat ukur yang penting yang memungkinkan pihak manajemen untuk mengetahui dan mengikuti perkembangan isu di dalam suatu perusahaan mengenai keinginan karyawan untuk bertindak melebihi tuntutan kerja dengan sukarela. Sebagai tambahan, hal ini memungkinkan perusahaan untuk berfokus terhadap isu tersebut yang akan membuat perbedaan yang signifikan terhadap efiesiensi di dalam suatu organisasi dan membantu pihak manajemen untuk menggunakan keahlian karyawannya secara efektif dan memaksimalkannya. 2.1.3.6 Employee Engagement Index Formula Terdapat rumus untuk menghitung tingkat engagement karyawan di dalam suatu perusahaan menurut Bucknall, Wei, dan Mercer (2006, p80), yakni No. of Satisfied Employee EEI =
x 100% No. of Staff responding to survey
2.1.4.
Motivasi Kerja
2.1.4.1 Pengertian Motivasi Kerja Motivasi dalam manajemen ditunjukan pada sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Pentingnya motivasi karena menyebabkan,menyalurkan dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal.
26
Sementara Gibson,et al. ( 2009:130 ) juga memiliki pendapat yang serupa bahwa motivasi merupakan pendorong karyawan untuk bertindak dan berperilaku secara langsung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan dorongan dari dalam (diri sendiri) atau internal tention, hal yang menyebabkan,menyalurkan dan merupakan latar belakang yang melandasi perilaku seseorang. Di dalam lingkungan perusahaan sangat dibutuhkan motivasi kerja. Pada hakekatnya motivasi karyawan dan pengusaha berbeda karena ada perbedaaan kepentingan,maka perlu diciptakan motivasi yang searah untuk mencapai tujuan bersama dalam rangka kelangsungan usaha dan ketenangan kerja sehingga apa yang menjadi kehendak dan dicita-citakan kedua belah pihak dapat diwujudkan. Untuk dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik membutuhkan motivasi dari setiap karyawan. Karyawan yang memiiki motivasi tinggi akan dapat melaksanakann pekerjaan dengan lebih baik, dibandingkan dengan karyawan yang tidak memiliki motivasi ( Mas’ud, 2004, p39 ). 2.1.4.2 Teori - Teori Motivasi 1. Teori Dua Faktor Frederick Herzberg Malthis dan Jackson (2006) mengemukakan bahwa teori motivasi Higiene Herzberg mengasumsikan bahwa sekelompok factor, motivator, menyebabkan tingkat kepuasan dan motivasi kerja yang tinggi. Akan tetapi faktor-faktor Higiene dapat menimbulkan ketidakpuasan kerja. Hasil penelitian Herzberg menyatakan tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan yaitu : 1. Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang untuk mencakup perasaan untuk berprestasi, bertanggung jawab,
27
kemajuan dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas semuanya itu. 2. Hal- hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama faktor yang bersifat pelengkap pekerjaan seperti peraturan pekerjaan, penerangan, cuti, jabatan, hak, gaji, dan tunjangan. 3. Karyawan kecewa, jika peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan menjadi sensitive pada lingkungannya dan mulai mencari kesalahan. Teori Herzberg dalam buku Malthis dan Jackson (2006), menyatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruh oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan, yaitu : 1) Maintenance Factors Faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh kesejahteraan fisik. Kebutuhan kesehatan ini menurut Herzberg merupakan kebutuhan yang berlangsung secara terus menerus, karena kebutuhan ini akan kembali kepada titik nol setelah dipenuhi. Faktor pemeliharaan ini meliputi hal-hal seperti gaji, kondisi kerja fisik, kepastian pekerjaan, mobil dinas dan macammacam tunjangan lainnya. Hilangnya fakor pemeliharaan dapat menyebabkan
timbulnya
ketidakpuasan
karyawan
dan
meningkatkannya absensi karyawan, bahkan dapat menyebabkan turnover. 2) Motivation Factors
28
Faktor motivasi adalah hal-hal yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang yang menyangkut kepuasan psikologis dalam melakukan pekerjaan. Faktor motivasi ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan. Misalnya ruangan yang nyaman, penerangan yang baik, dan penempatan yang tepat. Dalam teori ini timbul pendapat bahwa dalam perencanaan pekerjaan harus direncanakan sebaik mungkin, agar kedua faktor ini (faktor maintenance dan faktor motivasi) dapat dipenuhi.
Tabel 2.4 Faktor-faktor motivator dan hygiene Motivator (Satisfiers)
Hygiene (Dissatisfiers)
•
Prestasi
•
Hubungan antarpersonal
•
Pengakuan perusahaan
•
Administrasi kebijakan
•
Pekerjaan itu sendiri
•
Kondisi kerja
•
Tanggung jawab
•
Pengawasan
•
Kemajuan
•
Gaji
Sumber : Mathis dan Jackson “Human Resource Management” (2006, p115) Implikasi penelitian Herzberg terhadap manajemen dan praktik SDM adalah dimana seseorang mungkin tidak termotivasi untuk bekerja lebih keras walaupun manajer mempertimbangkan dan menyampaikan faktor – faktor higiene dengan hatihati untuk menghindari ketidakpuasan karyawan. Herzberg menyarankan bahwa hanya motivator yang membuat karyawan mencurahkan lebih banyak usaha dan dengan demikian meningkatkan kinerja karyawan.
2. Teori Kebutuhan Hierarki (Maslow Theory)
29
Menurut Abraham Maslow, dalam Munandar (2006:326), mengemukakan bahwa kondisi manusia berada dalam kondisi mengejar yang berkesinambung. Jika satu kebutuhan dipenuhi, langsung kebutuhan tersebut diganti oleh kebutuhan lain. Tingkat kebutuhan tersebut ditunjukkan dalam 5 tingkatan, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks, yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting. Kebutuhan manusia dibagi menjadi lima tingkatan hirarki piramid, yaitu: 1) Physiological (kebutuhan fisik), yaitu kebutuhan yang timbul berdasarkan kondisi psikologikal badan kita, seperti kebutuhan untuk makanan dan minuman, kebutuhan udara segar. 2) Safety (kebutuhan rasa aman), yaitu kebutuhan keamanan jiwa, raga, dan harta benda milik. Jika dikaitkan dengan kerja maka kebutuhan akan keamanan sewaktu bekerja, perasaan aman yang menyangkut masa depan karyawan. 3) Social needs (kebutuhan sosial), yaitu kebutuhan untuk memiliki keluarga dan sanak saudara, rasa dihormati, status sosial, harga diri, dan kebutuhan pendidikan agama. 4) Self esteem (kebutuhan harga diri), yaitu keinginan untuk dipuji dan keinginan untuk diakui prestasi kerjanya. Keinginan untuk didengar dan dihargai pandangannya. 5) Self actualization (kebutuhan aktualisasi diri), yaitu kebutuhan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
30
Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk menjadi kreatif, kebutuhan untuk dapat merealisasikan potensinya secara penuh.
3. Teori X dan Y dari McGregor Menurut Douglas McGregor, dalam Robbins (2008:210), mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia yang pada dasarnya negatif, disebut Teori X atau pada dasarnya manusia itu positif, disebut Teori Y. Dan dalam tingkat dimana sifat manusia itu tetap atau dapat diubah. McGregor juga mengungkapkan bahwa asumsi tersebut menentukan strategi manajerial yang nantinya akan digunakan oleh manajer. Menurut Teori X, empat asumsi yang dimiliki oleh manajer adalah: 1) Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin, berusaha untuk menghindarinya. 2) Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan. 3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah formal bila mungkin. 4) Sebagian karyawan menempatkan kemanan diatas semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi. Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai sifat-sifat manusia dalam Teori X, McGregor menyebutkan empat asumsi positif yang disebutnya sebagai Teori Y: 1) Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain.
31
2) Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi unutk mencapai berbagai tujuan. 3) Karyawan bersedia belajar untuk menerima, bahkan mencari, dan bertanggung jawab. 4) Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen. Jika seorang manajer tidak mempercayai karyawannya, manajer akan menggunakan jam kerja, memonitor karyawan berkali-kali, dan di sisi lain manajer akan mengkomunikasikan kurangnya kepercayaan tersebut.
Karena perlakuan
tersebut akhirnya karyawan akan menjadi lebih pasif, mendapatkan respon seperti itu, manajer semakin yakin dengan asumsi buruknya terhadap karyawan. Di sisi lain jika manajer percaya dengan apa yang dikerjakan karyawan, dan percaya bahwa karyawan akan menghubungkan tujuan mereka sendiri untuk orangorang yang ada di organisasi dan akan mendelegasikan lebih banyak, manajer akan berfungsi sebagai guru dan pelatih, dan membantu karyawan mengembangkan insentif dan mengkontorol dimana manajer dapat memonitor secara langsung. Manajer dengan Teori Y akan lebih efektif, karena ia bisa membawa lebih banyak motivasi dan kreativitas pada karyawan.
2.1.4.3 Dimensi dan indikator dari Motivasi Teori Herzberg dalam buku Malthis dan Jackson (2006), menyatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruh oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan, yaitu faktor motivasi dan faktor hygiene. Teori Herzberg merupakan teori paling cocok untuk digunakan dalam penelitian ini karena dalam
32
faktor hygiene terdapat variabel gaji, sehingga cocok diterapkan dalam penelitan yang dilakukan di dalam perusahaan di mana para karyawan menerima gaji. Sedangkan dalam teori Maslow, tidak terdapat variabel gaji. Tabel 2.5 Dimensi dan indikator dari Motivasi Dimensi
Faktor Motivasi
Faktor Hygiene
Indikator •
Keberhasilan pekerjaan
•
Pengakuan
•
Tanggung jawab
•
Pengembangan
•
Kebijakan dan administrasi
•
Kualitas supervise
•
Kondisi kerja
•
Gaji
Sumber: Mathis dan Jackson “Human Resource Management” (2006, p115) 2.1.4.4 Tujuan Motivasi Menurut Hasibuan (2003), tujuan motivasi terdiri dari : 1) Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan. 2) Meningkatkan produktivitas kerja karyawan. 3) Memperhatikan kestabilan karyawan perusahaan. 4) Meningkatkan kedisiplinan karyawan. 5) Mengefektifkan pengadaan karyawan. 6) Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik. 7) Meningkatkan loyalitas, kreativitas, dan partisipasi karyawan. 8) Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan. 9) Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas - tugasnya. 10) Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.
33
2.2
Tinjauan Terdahulu Untuk melakukan penelitian yang dilakukan, maka dilakukan penelusuran
lebih lanjut terhadap penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Berikut ini adalah penelitian terdahulu : 1) Penelitian oleh Lubna Rivzi (2012) yang berjudul “Examining the Impact of Job Security, Organizational Climate and Engagement on Motivation Level of Employees at IMC PVT LTD”. Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa para karyawan tetap termotivasi dalam bekerja walaupun perusahaan merekrut karyawan tidak tetap. Namun, iklim organisasi tidak terlalu berpengaruh terhadap motivasi kerja. Di lain sisi, para karyawan tidak hanya merasa terikat dengan perusahaan, tapi juga dengan supervisor dan departemen yang membawahi mereka. 2) Penelitian oleh Solomon Markos & M. Sandhya Sridevi (2010) yang berjudul “Employee Engagement: The Key to Improving Performance”. Hasil dari penelitian tersebut ditemukan bahwa tingkat employee engagement di dalam organisasi berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya kinerja karyawan pada organisasi tersebut. 3) Penelitian oleh Saket Jeswani & Sumita Dave (2012) yang berjudul “Impact of Organizational Climate on Turnover Intention: An Empirical Analysis on Faculty Members of Technical Education of India”. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa iklim organisasi memiliki dampak yang besar terhadap tingkat turnover anggota fakultas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi dan imbalan yang diberikan manajemen adalah dua anteseden iklim organisasi, yang memiliki dampak yang signifikan terbalik pada turnover intention.
34
2.3
Kerangka Pemikiran Untuk lebih memperjelas dari penelitian yang menunjukan bahwa adanya
suatu hubunngan antara Job Insecurity, Organizational Climate, dan Employee Engagement terhadap Motivasi Kerja dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut
Job Insecurity (X1)
Organizational Climate (X2)
Job Insecurity (X1)
Motivasi Kerja (Y)
Employee Engagement (X3)
Organizational Climate (X2)
Employee Engagement (X3) Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Sumber : Penulis, 2013
2.4
Hipotesis Menurut Sugiyono (2007, p51) hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dengan menguji hipotesis dan menegaskan perkiraan hubungan, diharapkan bahwa solusi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 95%, sehingga tingkat presisi atau batas ketidakakuratan sebesar = 5% = 0,05.
Sedangkan hipotesis dalam penelitian ini adalah:
35
Untuk T-1 :
Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Job Insecurity (X1) dengan Motivasi Kerja karyawan PT. Laguna (Y). Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Job Insecurity (X1) dengan Motivasi Kerja karyawan PT. Laguna (Y).
Untuk T-2 :
Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Organizational Climate (X2) dengan Motivasi Kerja karyawan PT. Laguna (Y). Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Organizational Climate (X2) dengan Motivasi Kerja karyawan PT. Laguna (Y).
Untuk T-3 :
Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Employee Engagement (X1) dan Motivasi Kerja karyawan PT. Laguna (Y). Ha :
Ada pengaruh yang signifikan antara Employee Engagement
(X1) dan Motivasi Kerja karyawan PT. Laguna (Y). Untuk T-4 :
Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara Job Insecurity (X1) Organizational Climate (X2), dan Employee Engagement (X3) dengan Motivasi Kerja karyawan PT. Laguna (Y). Ha : Ada pengaruh yang signifikan antara Job Insecurity (X1) Organizational Climate (X2), dan Employee Engagement (X3) dengan Motivasi Kerja karyawan PT. Laguna (Y).