BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Stres Kerja 2.1.1 Pengertian Stres Kerja Menurut Hariandja dalam Tunjungsari (2011) stres adalah ketegangan atau tekanan emosional yang dialami seseorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Menurut Morgan dan King (Dhania, 2010) stres merupakan suatu kondisi internal yang terjadi dengan ditandai gangguan fisik, lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi pada kondisi yang tidak baik. Stres kerja dapat disimpulkan sebagai gejala-gejala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikososial dan somatik yang merupakan hasil dari tidak atau kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya, dan
kecakapannya)
dan
lingkungannya,
yang
mengakibatkan
ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secra efektif (Munandar, 2001).
2.1.2 Sumber Stres Kerja Sumber stres kerja yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam
10
pembangkit stres kerja saja tetapi dari beberapa pembangkit stres kerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres kerja dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kategori besar, yaitu (Munandar, 2001) :
1. Faktor-Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan a. Tuntutan Fisik Kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal. Di samping dampaknya terhadap prestasi kerja, kondisi kerja fisik memiliki dampak juga terhadap kesehatan mental dan keselamatan kerja seorang tenaga kerja. Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Bising yang berlebih (sekitar 80 desibel) yang berulangkali di dengar, untuk jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan stress kerja. Vibrasi (getaran), dalam penelitian dari Sutherland dan Cooper dalam Munandar (2001) ditemukan bahwa kondisi kerja yang tidak menyenangkan karena adanya getaran dinilai sebagai pembangkit stress kerja oleh 37% dari pekerja. Hygiene, lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit stress kerja. Hal ini dinilai oleh para pekerja sebagai faktor tinggi pembangkit stress kerja.
11
b. Tuntutan Tugas Kerja shift, penelitian menunjukkan bahwa kerja shift merupakan sumber utama dari stress kerja bagi para pekerja pabrik. Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. Tiga faktor yang harus baik keadaannya agar dapat berhasil menghadapi kerja shift: tidur, kehidupan sosial dan keluarga, dan ritme circadian. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan, sehingga salah satu dapat membatalkan efek positif dari keberhasilan yang telah dicapai dengan kedua faktor lain. Beban kerja, beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stress kerja. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut kedalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit ‘kuantitatif’, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit ‘kualitatif’, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan atau potensi dari tenaga kerja.
2. Peran Individu dalam Organisasi Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus ia
12
lakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasan. Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya (dysfunction) peran, yang merupakan pembangkit stres kerja, yang akan dibicarakan di sini ialah konflik peran dan ketaksaan peran (role ambiguity). a. Konflik Peran Konflik peran timbul, jika seorang tenaga kerja mengalami adanya : 1. Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki 2. Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya. 3. Tuntutan- tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya. 4. Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya Konflik peran dibedakan menjadi: -
Konflik peran-pribadi: Tenaga kerja ingin melakukan tugas berbeda dari yang disarankan dalam uraian pekerjaannya.
-
Konflik ‘Intrasender’ : tenaga kerja menerima penugasan tanpa memiliki tenaga kerja yang cukup untuk dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil.
13
-
Konflik ‘Intersender” : tenaga kerja diminya untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga ada orang merasa puas dengan hasilnya, sedangkan orang lain tidak.
-
Peran dengan beban berlebih : tenaga kerja mendapat penugasan kerja yang terlalu banyak dan tidak dapat ia tangani secara efektif.
b. Ketaksaan Peran Ketaksaan peran dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran menurut Everly dan Girdano (dalam Munandar, 2001) ialah : 1. Ketidakjelasaan dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan kerja) 2. Kesamaran tentang tanggung jawab 3. Ketidakjelasaan tentang prosedur kerja 4. Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain 5. Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang unjuk-kerja pekerjaan
3. Pengembangan Karir (Career Development) Untuk menghasilkan kepuasaan pekerjaan dan mencegah timbulnya frustasi pada para tenaga kerja (yang merupakan bentuk reaksi terhadap stress
14
kerja), perlu diperhatikan tiga unsur yang penting dalam pengembangan karir, yaitu : 1. Peluang untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya 2. Peluang mengembangkan keterampilan yang baru 3. Penyuluhan karier untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karir Pengembangan karir merupakan pembangkit stress kerja potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.
4. Hubungan dalam Pekerjaan Harus hidup dengan orang lain, merupakan salah satu aspek dari kehidupan yang penuh stress kerja. Hubungan yang baik antara anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan yang terisolasi, dimana tenaga kerja tidak dapat berbicara dengan tenaga kerja lain selama jam kerja, jadi bekerja sendirian sepanjang hari (misalnya sebagai operator kran, operator mesin pemintal benang), dan pekerjaan yang ‘berdesakan’, tempat sejumlah tenaga kerja harus bekerja dalam ruang kerja yang sempit, dapat merupakan pembangkit stress kerja.
15
5. Struktur dan Iklim Organisasi Faktor stress kerja yang ditemukenali dalam kategori ini terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dan pada support sosial. Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambil keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku yang negatif, misalnya menjadi perokok berat.
6. Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan Kategori pembangkit stress kerja potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam suatu organisasi, dan dengan demikian memberi tekanan pada individu.
7. Ciri-ciri Individu a. Kepribadian Mereka yang berkepribadian introvert bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan yang lebih besar daripada mereka yang yang berkepribadian extrovert, pada konflik peran. b. Kecakapan Jika seorang tenaga kerja menghadapi masalah yang ia rasakan tidak mampu ia pecahkan, sedangkan situasi tersebut mempunyai arti yang penting bagi dirinya, situasi tersebut akan ia rasakan sebagai situasi yang
16
mengancam dirinya sehingga ia mengalami stress. Ketidakmampuan menghadapi situasi menimbulkan rasa tidak berdaya. Sebaliknya jika merasa mampu menghadapi situasi orang justru akan merasa ditantang dan motivasinya akan meningkatkan. c. Nilai dan kebutuhan Setiap organisasi memiliki kebudayaan masing-masing yang terdiri dari keyakinan-keyakinan,
nilai-nilai dan
norma-norma
perilaku
yang
menunjang organisasi. Dan setiap tenaga kerja harus dapat menyesuaikan diri, jika dalam proses penyesuaian diri tidak terjadi internalisasi dari nilai-nilai yang penting, hanya terjadi penyesuaian perilaku sesuai dengan norma-norma perilaku yang diterima, maka situasi perbedaan atau bahkan pertentangan nilai ini akan mempertajam perbedaan kebutuhan.
2.2 Subjective Well Being 2.2.1 Pengertian Subjective Well Being Menurut Diener (2000) subjective well being merupakan evaluasi diri seseorang dari segi affective dan cognitive mereka. Selain itu Diener, dkk dalam Eid dan Larsen (2008) menyatakan bahwa subjective well being berarti ketika seseorang menyatakan bahwa ia berada dalam tingkat subjective well being yang tinggi adalah jika ia memiliki kepuasaan hidup dan merasakan kesenangan lebih sering dibandingkan perasaan yang tidak menyenangkan seperti kesedihan dan kemarahan. Sebaliknya seseorang yang menyatakan bahwa ia berada dalam tingkat subjective well being yang rendah adalah jika ia tidak memiliki kepuasaan
17
hidup, sedikit rasa senang dan afeksi serta perasaan negatif yang lebih sering muncul seperti kemarahan dan kecemasan. Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa subjective well being adalah bentuk evaluasi diri seseorang dalam kondisi yang cenderung stabil dan dipengaruhi oleh emosi positif, emosi negatif, tinggi rendahnya mood seseorang dan tingkat kepuasaan seseorang.
2.2.2 Komponen-Komponen Subjective Well being Subjective well being dibangun oleh dua komponen penting, yaitu komponen afektif dan komponen kognitif (Diener, Scollon, & Lucas, 2003), dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Komponen afektif meliputi afek positif dan afek negatif yang menggambarkan perasaan individu sebagai suatu pengalaman yang sedang
berlangsung
baik
pengalaman
yang
positif
maupun
pengalaman yang negatif (Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Menurut Eid dan Larsen (2008) afek positif dan afek negatif yang ada pada individu memiliki penyebab yang berbeda dan dapat terjadi bersamaan, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Intinya, individu dengan afek positif yang tinggi belum tentu memiliki afek negatif yang rendah begitu juga berlaku sebaliknya. Oleh karena itu, pengertian subjective well being secara keseluruhan tidak dapat terlepas dari afek positif dan afek negatif.
18
2. Komponen kognitif diartikan sebagai evaluasi terhadap adanya ketidaksesuaian antara suatu hal yang dicita-citakan dengan yang dapat dicapai yang dipersepsikan oleh masing-masing individu. Komponen kognitif terdiri dari kepuasan terhadap keseluruhan hidup, kepuasan hidup merupakan bagian dari komponen kognitif karena penilaiannya menggunakan proses berpikir (Eddington & Shuman, 2005).
Kepuasan hidup individu yang satu dengan yang lainnya
berbeda di setiap kebudayaan dan kondisi, hal ini dikarenakan setiap individu memiliki ukuran standard kepuasan hidupnya sendiri. Puas atau tidaknya kehidupan mereka dibandingkan dengan keadaan lingkungan di sekitar mereka (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003).
2.2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Subjective Well Being Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi subjective well being menurut Diener dan Suh (2000) adalah: 1. Faktor Budaya a. Tightnees : dalam ruang lingkup sosial yang sempit orang cenderung memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Mereka merasa takut untuk berbuat salah, dan di kritik. b. Cultural Complexity : di dalam budaya yang sederhana, pengertian untuk menjadi “turn out well” lebih terbatas dan memiliki kecenderungan untuk merasa tidak puas. Cultural complexity dapat mengarah kepada kecemasan, dan juga apabila cultural complexity dikaitkan dengan
19
individu maka akan mengarah kepada persaingan dimana tekanan dalam persaingan tersebut akan mengurangi subjective well being mereka.
2. Faktor Individu a. Individualism : individualism erat kaitannya dengan kemakmuran seseorang yang memiliki efek positif terhadap subjective well being. Hal tersebut membuat seseorang akan lebih dapat mengontrol lingkungannya serta memiliki determinasi diri dan subjective well being yang lebih (Lachman dan Weaver dalam Diener, 2000). Dan semakin tinggi posisi seseorang secara social maka akan semakin tinggi pula determinasi dirinya. b. Kesehatan : semakin tinggi tingkat depresi seseorang maka semakin rendah tingkat subjective well being nya yang mengakibatkan tingginya tingkat stress kerja. Hal tersebut membuat seseorang dalam kondisi yang lemah dan mudah terserang penyakit. c. Person Environment Fit : setiap gejala kultural megarah pada attribut kepribadian. Tightness berhubungan dengan kecenderungan kompulsif, komplesitas berhubungan dengan komplesitas kognisi dan rendahnya tingkat penguasaan diri. Individualisme berhubungan dengan keterpusatan diri (Triandis, dkk dalam Diener dan Suh, 2000). Kecocokan atribut personal seseorang dengan atribut kultural akan menuju pada baiknya environment fit seseorang yang berakibat naiknya tingkat subjective well being seseorang dan sebaliknya (Cross dalam Diener dan Suh, 2000).
20
i.
Pendekatan Teori yang digunakan dalam Subjective Well Being Diener dan Suh (2000) mengenalkan teori evaluasi, dimana subjective well being ditentukan oleh bagaimana cara individu mengevaluasi informasi atau kejadian yang dialami. Hal ini melibatkan proses kognitif yang aktif karena menentukan bagaimana informasi tersebut akan diatur. Cara-cara yang digunakan untuk mengevaluasi suatu peristiwa, juga dipengaruhi oleh temperamen, standar yang ditetapkan oleh individu, mood saat itu, situasi yang tejadi dan dialami saat itu serta pengaruh budaya. Dengan kata lain subjective well being mencakup evaluasi kognitif dan afektif. Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai kepuasan mereka terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian evaluatif mengenai aspekaspek khusus dalam kehidupan, seperti kepuasaan kerja, minat, dan hubungan. Reaksi afektif dalam subjective well being yang dimaksud adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Teori yang dimaksud, yaitu : 1. Bottom Up Theories Teori memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasaan hidup yang dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Secara khusus,
subjective
well
being
merupakan
penjumlahan
dari
21
pengalaman-pengalaman positif yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Semakin banyaknya peristiwa menyenangkan yang terjadi, maka semakin bahagia dan puas individu tersebut. Untuk meningkatkan subjective well being, teori ini beranggapan perlunya mengubah lingkungan dan situasi yang akan mempengaruhi pengalaman individu, misalnya : pekerjaan yang memadai, lingkungan rumah yang aman, pendapatan yang layak.
2. Top Down Theories Subjective well being yang dialami seseorang tergantung dari cara individu
tersebut
mengevaluasi
dan
menginterpretasi
suatu
peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang positif. Perspektif teori ini menganggap bahwa individulah yang menentukan atau memegang peranan apakah peristiwa yang dialaminya akan menciptakan kesejahteraan psikologis bagi dirinya. Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap dan caracara yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan subjective well being diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian seseorang.
b. Kerangka Pemikiran
22
Menurut Munandar (2001) faktor-faktor dalam pekerjaan individu yang dapat menimbulkan stress kerja dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kategori besar, yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran individu dalam organisasi, pengembangan karier, hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi, tuntutan dari luar organisasi/pekerjaan dan ciri-ciri individu. Sedangkan menurut Diener (2000) subjective well being merupakan evaluasi diri seseorang dari segi afeksi dan kognisi mereka. Berdasarkan penjelasan yang sudah ada mengenai variable-variabel yang akan diteliti pada para pekerja tambang, maka peneliti menyusun kerangka pemikiran sebagai berikut : Skema Kerangka Berpikir
Pekerja Tambang
Stressor Kerja: ‐Faktor intrinsik dalam pekerjaan ‐Peran individu dalam organisasi ‐Pengembangan karir ‐Hubungan dalam pekerjaan ‐Struktur dan iklim organisasi ‐Tuntutan dari luar organisasi ‐ Ciri-ciri individu
Subjective well being: ‐Afeksi negatif dan positif ‐ Kognisi
c. Hipotesis
23
Ha : Ada hubungan yang signifikan antara stressor kerja dan Subjective Well Being pada pekerja tambang Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara stressor kerja dan Subjective Well Being pada pekerja tambang
24