perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Terdahulu Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang sejenis dan relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti dalam upaya menyusun skripsi adalah sebagai berikut. Asim Gunarwan (1997) dengan judul “The Speech Act of Critizing among Speakers of Javanese” dalam bentuk makalah. Penelitian ini mengkaji tindak tutur mengkritik dalam bahasa Jawa. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasannya itu ialah melihat bagaimana tindak tutur mengkritik direalisasikan dalam masyarakat Jawa, strategi-strategi seperti apa yang pada umumnya digunakan, apakah variabel umur, pendidikan, dan dialek memberikan warna terhadap pemilihan strategi mengkritik. Metode yang digunakan oleh Asim Gunarwan adalah metode kuantitatif dengan mengambil responden dari Jawa Timur dan Jawa Tengan sebanyak 142 responden. Parameter yang digunakan ada tiga hal, yaitu (a) ± power (kekuasaan), (b) ± solidaritas, dan c) ± formalitas. Berdasarkan kajiannya itu, Asim Gunarwan memperoleh hasil sebagai berikut. Pertama, strategi mengkritik yang paling tinggi skornya di antara kelima strategi yang ada berarti strategi yang paling banyak digunakan di kalangan masyarakat Jawa adalah strategi terus terang plus kesantunan negatif. Skor di bawahnya adalah strategi terus terang dengan kesantunan positif. Skor di bawahnya lagi secara berturut-turut adalah strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka, strategi samar-samar, dan dan yang paling rendah skornya commit user dimaksud adalah skor rata-rata adalah strategi bertutur dalam hati. Skorto yang
11
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
untuk semua situasi. Kedua, dari segi usia, ada kecenderungan kelompok usia muda lebih suka menggunakan strategi mengkritik yang langsung atau strategi terus terang, tanpa upaya penyelamatan muka (bald on record) daripada kelompok usia tua. Ketiga, dari segi pendidikan, ada kecenderungan di kalangan masyarakat Jawa semakin tinggi pendidikan, semakin jarang menggunakan strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka. Hal ini terlihat jelas dari perbandingan kelompok pendidikan SMA dan kelompok pendidikan S2 atau S3. Kelompok pendidikan SMA cenderung menggunakan strategi terus terang tanpa upaya penyelamatan muka, sedangkan kelompok pendidikan S2/S3 cenderung menghindari strategi tersebut.Keempat, dari segi dialek, Asim Gunarwan memperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok penutur dari Jawa Timur dan kelompok penutur dari Jawa Tengah dalam hal pemilihan strategi. Perbedaannya hanyalah terletak pada skor penggunaan strategi terus terang dengan kesantunan negatif dan strategi terus terang dengan kesantunan positif, penutur dari Jawa Tengah skornya lebih tinggi daripada penutur dari Jawa Timur. Implikasinya adalah penutur dari Jawa Tengah cenderung lebih santun daripada penutur dari Jawa Timur. Hoang Thi Xuang Hoa (2007)dari Universitas Nasional Vietnam dengan judul“Critizing Behaviors by the Vietnamese and the America: Topicd, Social, Fatirs, and Frequency”. Penelitian ini mengkaji dan membandingkan perilaku mengkritik dalam masyarakat Vietnam dan Amerika. Kajian ditekankan pada berbagai faktor sosial yang memengaruhi strategi mengkritik, topik mengkritik, dan frekuensi mengkritik. Berdasarkan kajiannya itu, ditemukan bahwa dalam masyarakat Vietnam, faktor yang sangat penting dan menjadi pertimbangan utama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
dalam melakukan mengkritik adalah faktor tujuan mengkritik. Mereka tidak raguragu melakukan mengkritik kepada siapa pun. Mereka juga tidak perduli dengan efek buruk yang timbul akibat mengkritik. Yang penting bagi mereka adalah mengkritik itu dilakukan dengan tujuan yang baik, yaitu memperbaiki kesalahan. Urutan kedua yang menjadi pertimbangan penting dalam melakukan mengkritik adalah umur atau usia. Menurut kepercayaan masyarakat tradisional Vietnam, umur diyakini memiliki kaitan dengan pengalaman, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Oleh karena itu, umur harus ditempatkan pada derajat kehormatan tertentu. Faktor ketiga yang menjadi pertimbangan penting adalah bobot pelanggaran (severity of offence). Bagaimana orang Vietnam melakukan mengkritik bergantung pada bobot pelanggarannya. Urutan keempat yang menjadi pertimbangan adalah faktor tempat (setting). Bagi orang Vietnam, faktor tempat ini tampaknya tidak terlalu menjadi pertimbangan penting karena hanya menempati urutan keempat. Orang Vietnam tidak terlalu menaruh perhatian di mana mengkritik itu dikemukakan. Yang menarik adalah faktor power dan social distance hanya menempati urutan kelima dan keenam. Hal ini berarti bahwa orang Vietnam tidak begitu memiliki beban untuk melakukan mengkritik kepada orang yang power-nya lebih tinggi atau kepada orang yang tidak dikenal. Faktor terakhir yang menjadi pertimbangan adalah faktor efek mengkritik. Faktor efek ini menempati urutan terendah sehingga orang Vietnam tidak merasa khawatir akan efek buruk yang timbul akibat mengkritik. Sebaliknya, dalam masyarakat Amerika, faktor yang justru menjadi pertimbangan sangat penting ketika melakukan mengkritik adalah faktor tempat mengkritik (setting of criticism). Privasi diyakini memiliki nilai yang sangat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
penting. Oleh karena itu, ketika mereka melakukan mengkritik, mereka lebih suka menyampaikannya secara pribadi dan tidak di tempat publik. Bagi orang Amerika, mengkritik di tempat publik sangat mengancam muka penerima mengkritik. Urutan kedua yang menjadi pertimbangan adalah faktor distance. Bagaimana orang Amerika melakukan mengkritik sangat dipengaruhi oleh social distance antara pelaku mengkritik dan penerima mengkritik. Sementara itu, efek mengkritik dan bobot mengkritik menempati urutan ketiga dan keempat. Urutan berikutnya yang menjadi pertimbangan adalah umur, di bawahnya lagi adalah status petutur, dan pertimbangan yang paling rendah adalah gender. Sementara itu, berkenaan dengan topik mengkritik diperoleh perbandingan sebagai berikut. Berkenaan dengan frekuensi mengkritik, terdapat kesamaan antara orang Vietnam dan orang Amerika. Pertama, dalam kedua kelompok tersebut yang paling sering menjadi sasaran mengkritik adalah teman dekat dan anggota keluarga, menyangkut berbagai topik yang disebutkan di atas. Sementara itu kenalan, kolega di kantor, bos dan superordinat frekuensinya lebih rendah. Hal ini dapat dipahami, mengkritik orang yang memiliki hubungan yang tidak terlalu dekat risikonya lebih besar, karena itu harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, dalam kedua kelompok masyarakat tersebut, mengkritik orang yang posisinya lebih tinggi relatif jarang dilakukan. Di samping kesamaan, terdapat juga perbedaan. Pertama, perbedaan itu menyangkut frekuensi secara umum. Orang Vietnam secara umum lebih sering melakukan kritik daripada orang Amerika. Kedua, orang Vietnam lebih sering mengkritik istri atau suami daripada mengkritik saudara kandung. Sementara orang Amerika, lebih sering mengkritik saudara kandung daripada mengkritik istri atau suami. commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
MIN Shang-chao (2008) dari Universitas Zhejiang China dengan judul “Study on the Differences of Speech Act of Criticism in Chinese and English”. Penelitian ini mengkaji perbedaan tindak tutur mengkritik dalam masyarakat Cina dan masyarakat penutur bahasa Inggris. Dalam kajiannya itu dijelaskan bahwa tindak tutur mengkritik dapat mengandung berbagai macam tipe tindakan seperti deklarasi, representatif, dan ekspresif. Hal ini menyiratkan bahwa tindak tutur mengkritik juga dipandang sebagai tindak tutur kompleks. Dia membedakan tindak tutur mengkritik menjadi dua kategori, yaitu mengkritik langsung dan mengkritik tidak langsung. Mengkritik langsung disebutnya sebagai ekspresi langsung tentang evaluasi negatif tanpa reservasi. Penutur langsung menunjukkan kesalahan petutur dan langsung menuntut perbaikan. Mengkritik langsung bersifat sangat eksplisit, maksud kritik terlihat jelas sehingga tidak menimbulkan salah pengertian. Mengkritik langsung sangat mencoreng muka positif petutur. Mengkritik langsung ini disebutnya on record criticism. Sementara itu, mengkritik tidak langsung berarti daya ilokusi mengkritik itu diungkapkan melalui performansi tindak tutur yang lain. Maksud mengkritik yang sebenarnya disembunyikan sehingga muka petutur dapat diselamatkan beberapa derajat. Mengkritik tidak langsung ini dipandang sebagai kritik yang efektif dan berterima dengan hasil yang positif. Akan tetapi, tidak berarti bahwa mengkritik tidak lansung daya ilokusinya lebih rendah dibandingkan dengan mengkritik langsung. Kadang-kadang mengkritik tidak langsung justru lebih tinggi daya ilokusinya daripada mengkritik langsung. Dari hasil penelitian, MIN Chang-chao mengambil kesimpulan
bahwa
masyarakat
Cina
cenderung
commit to user
menggunakan
strategi
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
mengkritiktidak langsung, sedangkan orang Barat cenderung menggunakan strategi mengkritik langsung. Edy Jauhari (2013) dari Universitas Airlangga Surabaya dengan judul “Strategi Kesantunan Kritik dalam Masyarakat Budaya Jawa Mataram: Sebuah Kajian Pemberdayaan Fungsi Bahasa Sebagai Sarana Kontrol Sosial” dalam bentuk makalah. Data dalam makalah ini dikumpulkan melalui Discourse Completion Task (DCT). Dalam hal ini DCT disebarkan kepada 43 informan di wilayah setral budaya Jawa Mataraman di Jawa Tengah. Penggunaan DTC ini digunakan sebagai alat untuk memahami berbagai macam penggunaan strategi kesantunan kritik, yaitu strategi Melakukan Kritik secara Verbal (MKV), Melakukan Kritik dalam Hati (MKH), Strategi Kritik Langsung dan Kritik Tidak Langsung. Makalah ini menggunakan parameter relative power atau kekuasaan (P), Social Distance atau jarak sosial (D), dan parameter publik (Pu). Berdasarkan makalah ini, strategi kritik yang sering digunakan dalam masyarakat budaya Jawa Mataraman adalah strategi MKV, sedangkan strategi MKH tidak banyak digunakan. Penggunaan strategi MKV pada umumnya diwujudkan dengan strategi dengan strategi kritik tidak langsung, bukan kritik langsung. Dalam penelitian ini strategi kritik tidak langsung dipandang lebih santun digunakan daripada strategi kritik langsung. Penjelasan di atas merupakan kajian studi terdahulu, penelitian-penelitian tersebut membahas mengenai masalah tindak tutur dan kesantunan berbahasa dalam objek kajian penelitiannya. Untuk itu, dengan menggunakan analisis yang sama, yakni kajian pragmatik, penulis mencoba meneliti dari segi yang berbeda. Dalam penelitian ini, penulis mencoba memfokuskan penelitian mengenai tindak commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tutur mengkritik dan strategi kesantunan dalam acara Sentilan Sentilun di Metro TV.
B. Landasan Teori 1. Pragmatik Menurut Asim Gunarwan (dalam PELLBA 7, 1994: 83-84), bidang linguistik yang mempelajari maksud ujaran, bukan makna kalimat yang diujarkan disebut pragmatik. Pragmatik merupakan ilmu tentang tanda yang sebenarnya telah dikemukakan sebelumnya oleh seorang filsuf bernama Charles Morris. Menurut Moriss, dalam kaitannya dengan ilmu bahasa, semiotika (semiotics) memiliki tiga cabang, yakni sintaktika 'studi relasi formal tandatanda', semantika 'studi relasi tanda dengan penafsirannya' (Levinson, 1985:9). Pragmatik mempelajari maksud ujaran atau daya (force) ujaran. Pragmatik juga mempelajari fungsi ujaran, yakni untuk apa suatu ujaran itu dibuat atau diujarkan. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik secara berbedabeda. Pragmatik sangat erat kaitannya dengan tindak ujar. Menurut Leech (dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:8) mendefinisikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). Leech melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang berkaitan dengan semantik. Pada kesempatan lain, menurut Jenny Thomas dalam bukunya yang berjudul Meaning in Interaction : an Introduction to Pragmatics juga memberikan batasan dalam ilmu pragmatik. Menurut Thomas (1995:22), pragmatik adalah bidang ilmutoyang commit user mengkaji makna dalam interaksi.
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengertian tersebut dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negoisasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran. Pragmatik mengungkapkan maksud suatu tuturan di dalam peristiwa komunikasi. Oleh karena itu, analisis pragmatik berupaya menemukan maksud penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan secara tersirat dibalik tuturan. Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics menyebutkan beberapa batas ilmu pragmatik. Menurut Yule (2006:4) ilmu pragmatik mempunyai empat batasan. Keempat batasan itu, yakni: a. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang maksud penutur. b. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang makna kontekstual. c. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan. d. Pragmatik adalah studi yang mempelajari tentang ungkapan jarak hubungan. Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, secara umum pragmatik mempelajari tentang maksud yang terkandung dalam sebuah ujaran. Pragmatik adalah ilmu yang mempelajari maksud dalam ujaran yang diucapkan oleh seseorang dan bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi agar tuturannya tersebut dapat dimengerti oleh mitra tuturnya. Dasar dalam ilmu pragmatik, yaitu hubungan antara bahasa dengan konteks yang melatarbelakangi bahasa tersebut.Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa dalam kajian pragmatik, bentuk bahasa yang muncul dalam peristiwa komunikasi merupakan commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hasil perpaduan antara maksud, pesan, atau makna komunikasi dengan situasi atau konteks yang melatarinya.
2. Situasi Tutur Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan (Rustono, 1999:25). Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Tidak selamanya tuturan itu secara langsung menggambarkan makna yang dikandung oleh unsur-unsurnya. Leech (edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993: 19-20) menjelaskan mengenai aspek-aspek situasi ujar untuk mengetahui apakah suatu percakapan tersebut merupakan fenomena atau sistematis. Aspek situasi ujar tersebut adalah sebagai berikut: a. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa) Penyapa adalah orang yang menyapa. Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyampaikan fungsi pragmatis tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran dalm bertutur. Orang yang menyapa akan diberi simbol n „penutur‟ orang yang disapa dengan simbol t „petutur‟. Simbol-simbol ini merupakan singkatan untuk „penutur/penulis‟ dan „petutur/pembaca‟. Jadi penggunaan penutur dan petutur tidak membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja. b. Konteks sebuah tuturan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
Konteks diartikan sebagai aspek-aspek yang bergantung dengan lingkungan fisik dan sosial sebagai tuturan. Konteks dapat diartikan juga sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan membantu petutur menafsirkan makna tuturan. c. Tujuan sebuah tuturan Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tuturan adalah sesuatu yang ingin disampaikan melalui makna yang dimaksud atau maksud penutur mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan dianggap lebih netral daripada maksud, karena tidak membebani pemakaiannya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan. d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi-performasi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan demikian pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada tata bahasa. e. Tuturan sebagai produk tindakan verbal Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam pragmatik kata „tuturan‟ dapat digunakan dalam arti yang lain, yaitu sebagai produk suatu tindak verbal (sentence-instance) atau tanda kalimat (sentencetoken), tetapi bukanlah sebuah kalimat. Maksud yang kedua ini tuturantuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya dikaji dalam pragmatik, sehingga dengan tepat pragmatik dapat digambarkan sebagai suatu ilmu yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
mengkaji makna tuturan. Tindakan verbal adalam tindakan mengekspresikan kata-kata atau bahasa.
3. Tindak Tutur Tindak tutur (speech act) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan penutur dan mitra tutur. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Istilah Tindak tutursendiri mulai diperkenalkan oleh seorang filosof Inggris J.L Austin pada pidato kuliahnya yang dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul How to do things with words (1962). Melalui bukunya tersebut, Austin mengemukakan pandangan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi untuk mengatakan sesuatu, bahasa juga dapat digunakan untuk sesuatu. Berkaitan dengan tindak tutur, Austin mengemukakan dua terminologi yang berkaitan dengan teori tindak tutur, yaitu tuturan konstatif (constative) dan tuturan performatif (performative). Tuturan konstatif adalah tuturan yang pengutaraannya hanya dipergunakan untuk menyatakan sesuatu. Tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraanya dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak tutur yang menggunakan kalimat performatif oleh Austin (1968:100-102) digolongkan dalam tiga peristiwa tindakan, yaitu: a.
Tindak Lokusi (locutionary act) Tindak lokusi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut to user sebagai The Act of Saying commit Something. Searle (1969) menyebut tindak tutur
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lokusi ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional act) karena tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna. b.
Tindak Ilokusi (illocutionary act) Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu (the act of to do something). Berbeda dari lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan.
c.
Tindak Perlokusi (perlocutionary act) Sebuah tuturan yang diucapkan seseorang sering memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin (1962:101) dinamakan tindak perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur inilah yang merupakan tindak perlokusi. Leech (dalam M. D. D. Oka, 1993:327-329) mengklasifikasikan tindak
tutur menjadi lima macam, yaitu: 1. Asertif, merupakan tindak tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang dituturkan. Misalnya, menceritakan, melaporkan, mengemukakan, menyatakan, mengumumkan, mendesak. 2. Direktif, merupakan tindak tutur yang dimaksudkan oleh penutur untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan sesuatu tindakan. Misalnya, memohon, meminta, memberi perintah, menuntut, melarang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
3. Komisif, merupakan tindak tutur yang menyatakan janji atau penawaran. Misalnya, menawarkan, menawarkan diri, menjanjikan, berkaul, bersumpah. 4. Ekspresif, merupakan tindak tutur yang berfungsi untuk menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami oleh mitra tutur. Misalnya, mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, merasa ikut bersimpati, meminta maaf. 5. Deklaratif, merupakan tindak tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan. Misalnya, memecat, membabtis, menikahkan, mengangkat, menghukum, memutuskan. 6. Rogatif, merupakan tindak tutur yang dinyatakan oleh penutur untuk menanyakan jika bermotif langsung atau mempertanyakan jika bermotif ragu-ragu, misalnya menanyakan, mempertanyakan, dan menyangsikan. Sehubungan dengan pengertian tindak tutur atau tindak ujar, maka tindak tutur dikategorikan oleh Searle menjadi lima jenis (1996: 147-149), yaitu: a. Asertif (Assertives) Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran proposisi atas hal yang dikatakannya. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur menyatakan, melaporkan, memprediksi, menunjukkan, dan menyebutkan. b. Direktif (Directives) Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar mitra tutur melakukan tindakan yang commit to user disebutkan di dalam tuturan itu atau berharap mitra tutur melakukan sesuatu.
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, memerintah, meminta, dan menantang. c. Komisif (Commisives) Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat penuturnya pada suatu tindakan yang dilakukannya pada masa mendatang dan melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam tuturan. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur berjanji, bersumpah, berkaul, menawarkan, menyatakan kesanggupan, dan mengancam. d. Ekspresif (Expressives) Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur memuji, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh. e. Deklarasi (Declarations) Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan mengangkat.
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adapun jenis-jenis tindak tutur yang lain adalah tindak tutur langsung dan tidak langsung, serta tindak tutur literal dan tidak literal. George Yule (1996:54-56) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak tutur langsung dan tidak langsung adalah sebagai berikut: a. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung 1) Tindak Tutur Langsung Menurut George Yule (1996:54-55), tindak tutur langsung terjadi apabila ada hubungan antara struktur dengan fungsi. Jadi tindak tutur langsung adalah bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan. Sebuah tuturan dapat diungkapkan secara langsung maupun tidak langsung, seperti dalam I Dewa Putu Wijana (1996: 29) yang mengatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengandung arti yang sebenarnya dan berfungsi untuk menyatakan informasi secara langsung karena modusnya adalah kalimat berita (deklaratif). Sebuah tuturan juga mungkin saja merupakan pengungkapan secara tidak langsung karena maksud memerintah yang diutarakan dengan kalimat berita. Berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif) (I Dewa Putu Wijana, 1996:30). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Apabila kalimat berita, kalimat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
Tanya, dan kalimat perintah difungsikan secara konvensional maka akan membentuk tindak tutur langsung (direct speech act). 2) Tindak Tutur Tidak Langsung Tindak tutur tidak langsung terjadi apabila ada hubungan tidak langsung dengan fungsi. Jadi tindak tutur tidak langsung adalah bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan (George Yule, 1996:55). I Dewa Putu Wijana (1996: 30) mengatakan bahwa tindak tutur tidak langsung dapat digunakan untuk berbicara secara sopan, seperti halnya kalimat perintah dapat diutarakan dengan kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. b. Tindak Tutur Literal dan Tidak Literal 1) Tindak Tutur Literal Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. 2) Tindak Tutur Tidak Literal Tindak tutur tidak lateral (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya (I Dewa Putu Wijana, 1996:32).
4. Tindak Tutur Mengkritik Hoang Thi Xuan Hoa (2007: 144) menyatakan bahwa criticizing is sometimes performed to vent the speaker’s negative feeling or attitude to the hearer or the hearer’s work,choice, behaviour, etc.(Kritik diungkapkan untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
menyatakan perasaan negatif atau sikap negatif penutur terhadap petutur atau terhadap kinerja, pilihan perilaku petutur, dan sebagainya). Menurutnya, mengkritik mempunyai dua fungsi utama, yaitu menunjukkan perilaku yang dianggap negatif yang dilakukan petutur dan meminta supaya petutur melakukan perbaikan. Menurut Rustono (1999: 39) dan Brown dan Levinson (1987:66), tindak tutur mengkritik termasuk dalam tindak tutur ekspresif. Sebagaimana dijelaskan Searle, tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang mengekspresikan sikap atau keadaan psikologis penutur. Karena termasuk kategori tindak tutur ekspresif, maka Brown dan Levinson (1987:66) memasukkan mengkritik sebagai tindak tutur yang mengancam muka positif. Tindak tutur mengkritik tampaknya tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu kategori atau taksonomi yang dikemukakan oleh Austin, Searle atau yang lain. Ini dikarenakan tindak tutur mengkritik merupakan kompilasi dari berbagai ekspresi, seperti ketidaksetujuan, evaluasi negatif, statemen tentang tindakan yang salah, dan saran untuk perubahan. Dengan kata lain, tindak tutur mengkritik cenderung merupakan tindak tutur kompleks (complex speech act). Pandangan ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan Nguyen (2005:14), bahwa tindak tutur mengkritik tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu klasifikasi yang dibuat siapapun, termasuk klasifikasi Searle. Menurut Nguyen, tindak tutur mengkritik dapat terbentuk dari berbagai tindak tutur yang berbeda-beda yang masing-masing membawa daya ilokusi yang berbeda pula dan tidak ada satupun yang merupakan tindak utama (inti). Sebagai contoh, mengkritik dapat merupakan kompilasi dari commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ekspresi ketidaksetujuan, evaluasi negatif, statemen tentang tindakan salah, dan saran untuk perbaikan. Tindak tutur mengkritik merupakan tindakan ilokusi yang titik ilokusinya adalah untuk memberikan evaluasi negatif atas tindakan, pilihan, kata-kata, dan produk yang menjadi bertanggung jawab petutur. Tindakan ini dilakukan dengan harapan mempengaruhi tindakan petutur di masa depan untuk perbaikan mitra tutur (H), dilihat oleh penutur
(S) sebagai alat
berkomunikasi. Ketidakpuasan penutur (S) dengan atau tidak menyukai mengenai apa yang telah dilakukan mitra tutur (H), akan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan untuk penutur (S) (Nguyen, 2008: 45). Nguyen bertolak pada pandangan mengkritik yang dikemukakan oleh Wierzbicka. Dijelaskan bahwa tindak tutur mengkritik adalah tindak ilokusi yang ilokusi poinnya adalah untuk memberikan evaluasi negatif terhadap tindakan, pilihan, kata-kata dan produk-produk yang menjadi tanggung jawab penutur. Mengkritik dalam konteks ini berarti memberikan komentar, baik berupa pendapat, saran, masukan maupun sanggahan kepada seseorang. Kritik dilakukan dengan harapan dapat mempengaruhi tindakan petutur pada masa yang akan datang agar menjadi lebih baik dan manfaatnya ada pada petutur sendiri. Kritik juga dilakukan untuk menyampaikan ketidakpuasan atau ketidaksukaan penutur mengenai apa yang dilakukan petutur tetapi tanpa menyiratkan bahwa apa yang dilakukan petutur memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan bagi penutur. Nguyen (2005:7) berpendapat mengenai pengertian tindak tutur mengkritik yang diadaptasi dari Wierzbicka (1987) dan Olshatai dan Weinbach:
commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A criticsm is defined as an illocutionary act whose illocutionary point is to give negative evaluation on H’s actons, choice, word, and prodects for which he or she may be held responsible. This act is performed in hope of influencing H’s future actions for the better for his or her own benefids as viewed by S or to communicate S’s dissatidfaction/ discontent with or dislike regarding what H has done but without the implicature that H has done brings undesirable qonsequences for S. Tindak tutur mengkritik sendiri dibagi menjadi dua, yaitu tindak tutur mengkritik langsung dan tidak langsung. 1) Mengkritik Langsung adalah kritik yang secara eksplisitmenunjukkan masalah denganpilihan, tindakan, dan kinerja dari H. No. a.
Tipe
Karakteristik Pada
Penilaian Negatif
umumnya
diekspresikan
melalui
evaluasi baik evaluasi negatif maupun positif. b.
Menggambarkansikappenuturterhadappilihan
Pencelaan
H (mitra tutur). c.
EkspresiPertentangan Umumnya diekpresikan dengan kata negasi „Tidak‟, performatif „Saya tidak setuju‟ atau tanpa performatif tersebut atau dengan melalui argumen terhadap H (mitra tutur).
d.
Pernyataan Masalah
Kesalahan ataumasalah yang ditemukan menyatakan pilihan H (mitra tutur).
e.
Pernyataan Kesulitan
Biasanya dinyatakan dengan struktur seperti
„Saya merasasulit mengerti‟, „Sulituntuk commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memahami...‟. f.
Konsekuensi
Peringatan tentang konsekuensi negatif atau efek negatif pilihanH, untuk H (mitra tutur)dirinya sendiri atau untuk publik.
Sumber: Nguyen, 2008: 47-48 2) Mengkritik tidak langsung adalah kritik yang menyiratkanmasalah denganpilihan, tindakan, kinerja, atauproduk dari H (mitra tutur)., dengan memperbaikiH, menunjukkanaturan danstandar, memberikan nasihat, menunjukkan atau bahkan meminta dan menuntut perubahan kerja atau pilihan H, dan dengan cara jenis yang berbeda dari petunjuk untuk meningkatkan kesadaran H dari ketidaktepatan pilihan H (mitra tutur). No. a.
Tipe Koreksi
Karakteristik Termasuk semua ujaran yang memiliki tujuan memperbaiki kesalahan dengan menegaskan alternatif khusus untuk pilihanH (mitra tutur).
b.
MenunjukkanStandar
Biasanya
dinyatakan
sebagai
kewajiban kolektif dan bukan suatu kewajiban bagi pribadi H atau sebagai aturan S (penutur) yang berpikir umumnya disepakati dan diterapkan untuk semua. c.
Tuntutan Perubahan
Biasanya
diekspresikan
melalui
struktur seperti „Anda harus‟, „itu adalah
wajib
bahwa‟atau
„Anda
diminta‟ atau „Anda perlu‟. d.
Permintaan Perubahan commitBiasanya to user
diekspresikan
melalui
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
struktur seperti „Ya...?‟, „Bisa...?‟, „Kan. ..?‟, atau imperatif (dengan atau tanpa penanda kesantunan), atau inginpernyataan, atau tanpa adanya struktur tersebut
melainkan
menggunakan
permintaan perubahan. e.
Nasihat Perubahan
Biasanya diungkapkan melalui ujaran „Saya menyarankan Anda..‟, Atau struktur dengan„ Seharusnya‟, dengan atau tanpa ujaran tersebut.
f.
Saran Perubahan
Biasanya
dinyatakan „Saya
performatif
melalui
menyarankan
agar...‟, seperti „Anda bisa‟, „itu akan lebih baik jika‟ atau “kenapa tidak Anda‟, atau tanpa ujaran tersebut. g.
EkspresiKetidakpastian
Ungkapan
untuk
ketidakpastian meningkatkan
mengekspresikan S
dan
kesadaran
untuk H
dari
ketidaktepatan pilihanH (mitra tutur). h.
Mengajukan/Mengandaik
Pertanyaan
retorik
untuk
an
meningkatkan kesadaran H dari dalam kesesuaian pilihan H (mitra tutur).
i.
Petunjuklain
Termasuk jenis lain dari petunjuk yang bukan milik kedua-duanya. Mungkin termasuk sarkasme.
Sumber: Nguyen, 2008: 47-48 5. Strategi Kesantunan Brown Levinson commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
Kesantunan berbahasa merupakan kesantunan yang digunakan penutur untuk mengurangi derajat perasaan tidak senang atau sakit hati sebagai akibat tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Strategi kesantunan berbahasa adalah cara atau strategi yang secara sadar maupun tidak sadar dipergunakan oleh seorang penutur dalam rangka mengurangi akibat tidak menyenangkan dari tuturannya terhadap mitra tuturnya (Nadar, F.X. 2009:251). Brown dan Levinson dalam bukunya yang berjudul Politeness Some Universal in Language Usage, menjelaskan tentang konsep muka „face‟ penting dalam kajian penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Brown dan Levinson memberikan batasan tentang konsep muka. Muka adalah „face‟ atau citra diri yang dimiliki oleh setiap warga masyarakat yang senantiasa dijaga, dihormati, dan tidak dilanggar dalam proses pertuturan antarpeserta tutur. Tindakan pengancaman muka adalah tindak tutur yang secara alamiah berpotensi untuk melukai citra atau muka „face‟ lawan tutur dan oleh karena itu dalam pengutaraannya harus digunakan strategi-strategi tertentu. Kata “strategi” dalam strategi kesantunan berbahasa tidak selalu mengandung arti usaha sadar untuk berperilaku sopan melainkan juga merujuk pada ungkapan-ungkapan berbahasa yang bersifat rutin serta mengacu pada upaya berbicara secara sopan. Oleh karena itu, seorang penutur menghadapi sejumlah plihan sebelum membuat tuturan yang melanggar muka negatif ataupun muka positif lawan tutur. Menurut Brown dan Levinson, sebuah tindak tutur dapat mengancam commit to user muka mitra tuturnya. Tindak tutur tersebut disebut sebagai face-threatening
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
act (FTA). Untuk mengurangi ancaman terhadap muka mitra tutur, muka penutur hendaknya menggunakan strategi kesantunan. Muka citra diri yang bersifat umum yang ingin dimiliki oleh setiap warga masyarakat, meliputi dua aspek yang saling berkaitan dengan muka negatif dan muka positif. a.
Muka positif, yaitu muka yang mengacu pada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai, dan seterusnya. Contoh: (1) Saya senang dengan kejujuran Anda. (2) Sekarang kejujuran itu tidak menjamin kesuksesan. Tuturan (1) merupakan tuturan yang santun karena menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya, sedangkan tuturan (2) kurang santun karena tidak menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya.
b.
Muka negatif, yaitu muka yang mengacu pada citra diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Contoh: -
Jangan tidur terlalu malam, nanti bangunnya kesiangan! Tuturan tersebut merupakan tuturan yang tidak santun karena penutur
tidak membiarkan mitra tuturnya bebas melakukan apa yang sedang dikerjakannya. Ketidaksantunan tuturan itu menyangkut muka negatif. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
Kesantunan yang berkenaan dengan muka negatif dinamakan kesantunan negatif. FTA (Face Threatening Act) yang mengancam muka negatif lawan tutur, menurut Brown dan Levinson (1987:66), antara lain meliputi: a.
Tindakan yang mengakibatkan lawan tutur menyetujui atau menolak melakukan sesuatu, seperti ungkapan mengenai: orders and requestsm suggestions, advice, remindings threats, warnings, deres (memerintah, meminta, memberi saran, memberi nasihat, mengingatkan, mengancam, memperingatkan, dan menentang):
b.
Tindakan yang mengungkapkan upaya penutur melakukan sesuatu terhadap lawan tutur dan memaksa lawan tutur untuk menerima atau menolak tindak tersebut, seperti ungkapan mengenai offers, promises (menawarkan dan berjanji);
c.
Tindakan yang mengungkapkan keinginan penutur untuk melakukan sesuatu terhadap lawan tutur atau apa yang dimiliki oleh lawan tutur, seperti ungkapan mengenai compliments, espressions of strong (negative) emotions toward H-e.g. hatred, anger (pujian atau memberi ucapan selamat, mengagumi, membenci dan marah). Brown dan Levinson (1987:67-68) menyatakan bahwa FTA yang
berpotensi mengancam muka negatif penutur antara lain meliputi tindak mengungkap dan menerima ucapan terima kasih, melakukan pembelaan, menerima tawaran, merespon perbuatan lawan tutur yang memalukan, dan melakukan janji atau tawaran yang tidak diinginkan penutur. Sementara itu, tindakan yang mengancam muka positif penutur, menurut Brown dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
Levinson (1987:68) antara lain terdiri atas tindakan meminta maaf, menerima ucapan selamat, melakukan tindakan fisik yang memalukan merendahkan diri dan mengakui kesalahan. Di samping itu, strategi kesantunan Brown dan Levinson
tidak
berkenaan dengan kaidah-kaidah, tetapi menyangkut strategi-strategi. Brown dan Levinson (1987:69) menyatakan bahwa dalam melakukan FTA, seorang dapat menggunakan salah satu atau lebih dari lima strategi yang ditawarkan, yaitu: melakukan FTA secara langsung (on record), menggunakan strategi kesantunan positif, menggunakan strategi kesantunan negatif, melakukan FTA secara tidak langsung (off record), dan tidak melakukan FTA (diam saja). a. Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa basi (baldonrecord) Seorang pelaku dapat dikatakan bertanggung jawab terhadap tindakan A yang dilakukannya, seandainya jelas bagi semua peserta tujuan tuturan apa yang menyebabkan pelaku melakukan tindakan A, yaitu hanya ada satu tujuan tuturan yang pada situasi pertuturan tersebut dipahami oleh peserta pertuturan. Misalnya saya mengatakan “Saya dengan ini berjanji bahwa saya akan datang besok” dan seandainya para peserta tutur samasama memahami bahwa dengan mengatakan itu jelas-jelas saya mengatakan keinginan saya bertanggung jawab untuk melakukan hal tersebut, maka saya gunakan istilah, saya secara on record melakukan janji tersebut. Seandainya penutur memutuskan memilih membuat tuturannya commitmasih to user secara on record maka penutur harus menentukan apakah penutur
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
harus membuat tuturan secara lugas tanpa usaha menyelamatkan muka lawan „baldly without redress’. Definisi mengenai baldly without redress adalah melakukan tindakan secara lugas, tanpa usaha penyelamatan muka berarti melakukan tindakan tersebut dengan cara yang paling langsung, jelas, tegas dan ringkas (misalnya untuk meminta seseorang, cukup mengatakan „Kerjakan X‟). Tindakan semaacam ini biasanya dilakukan manakala penutur tidak mempedulikan akan adanya sanksi pembalasan dari mitra tutur, misalnya dalam situasi di mana (a) penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa karena hal-hal yang bersifat mendesak maka hal-hal yang terkait dengan muka dapat ditangguhkan terlebih dahulu (b) bilamana ancaman terhadap muka mitra tutur sangatlah kecil, misalnya untuk tindakan terkait dengan penawaran, permintaan, saran dan lain sebagainya yang jelas-jelas mengacu pada kepentingan lawan dan tidak memerlukan pengorbanan yang besar pada pihak penutur, dan (c) dimana penutur mempunyai kekuasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan mitra tutur, atau penutur memperoleh dukungan luas untuk melakukan tindakan yang mengancam muka mitra tutur tanpa harus kehilangan mukanya sendiri. Seandainya penutur memutuskan bahwa dirinya menghendaki perlunya mengurangi perasaan kurang senang mitra tuturnya maka penutur tersebut harus melakukan redressive action „tindakan penyelamatan muka‟. Tindakan penyelamatan muka mitra tutur ini diperlukan karena penutur biasanya berkeinginan untuk menjaga kelangsungan hubungan yang harmonis dengan mitra tuturnya. commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tindakan penyelamatan muka adalah tindakan yang „memberikan muka‟ kepada mitra tutur, yang berusaha untuk menangkal rasa kurang senang mitra tutur akibat dari tindakan yang kurang menyenangkan dengan cara melakukan penambahan dan perubahan tuturan sedemikian rupa yang dapat menunjukkan secara jelas kepada mitra tutur bahwa keinginan untuk melakukan tindakan yang kurang menyenangkan tersebut sebenarnya tidak dikehendaki atau tidak dimaksudkan sama sekali oleh penutur, dan bahwa penutur sebenarnya memahami keinginan mitra tutur dan penutur sendiri menginginkan keinginan mitra tutur tersebut dapat tercapai. Tindakan penyelamatan muka tersebut terwujud dalam dua bentuk tergantung aspek muka (negatif atau positif) yang diberi tekanan S=Penutur, H=Mitra tutur. b. Kesantunan Positif Brown dan Levinson (1987) dalam bukunya yang berjudul Politeness Some Universals in Language Usage memberikan batasan mengenai kesantunan positif. Kesantunan positif adalah kesantunan yang diasosiasikan dengan muka positif mitra tutur, yaitu keinginan agar penutur dihargai dan dipahami keinginannya. Pada hakikatnya kesantunan positif ditujukan terhadap muka positif mitra tutur, yaitu citra positif yang dianggap dimiliki oleh mitra tutur, yaitu citra positif yang dimiliki oleh mitra tutur. Kesantunan positif berupa pendekatan yang menorehkan kesan pada muka mitra tutur bahwa pada hal-hal tertentu penutur juga mempunyai keinginan yang sama dengan mitra tutur (yaitu dengan memperlakukannya sebagai anggota kelompok, sahabat, sebagai seseorang yang keinginannya maupun commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seleranya dikenal dan disukai). Untuk mengurangi kekecewaan mitra tutur, Brown dan Levinson (1987:103-129) strategi-strategi sebagai berikut : 1) Strategi 1: Notice attend to H (his interest, wants, deeds, goods (Memperhatikan minat, keinginan, kelakuan, barang-barang mitra tutur). Penggunaan strategi ini misalnya penutur memperhatikan kondisi mitra tutur yang meliputi segala perubahan secara fisik, kepemilikan barangbarang tertentu dan lain-lain. Contoh : “Wah, baru saja potong rambut ya…..Omong-omong saya datang untuk meminjam sedikit tepung terigu.” 2) Strategi 2: Exaggerate (interest, approval, sympathy with H) (“Melebihlebihkan rasa ketertatikan, persetujuan, simpati terhadap mitra tutur”) Contoh : “Kebun Anda betul-betul luar biasa.” 3) Strategi 3: Intensify interest to H (“Meningkatkan rasa tertarik terhadap mitra tutur”)Misalnya pada suatu interaksi, penutur suka menyelipkan sisipan ungkapan dan juga pertanyaan-pertanyaan yang tujuannya hanya untuk membuat mitra tutur lebih terlihat pada interaksi tersebut. Contoh
:“Anda tahu kan.”
4) Strategi 4: Use in group identity markers (“Menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok”) Contoh : “Bantu saya membawa tas ini ya nak?” 5) Strategi 5: Seek agreement (“Mencari dan mengusahakan persetujuan dengan mitra tutur”)
Contoh :
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A : “Dalam perjalanan pulang ban saya kempes” B : “Masa Allah, bannya kempes” 6) Strategi 6: Avoid disagreement (“Menghindari pertentangan dengan mitra tutur”) Contoh : A:
“Bagaimanakah dia, badannya kecil?”
B:
“Ya, memang kecil, tapi sebenarnya tidak terlalu kecil dan tidak juga terlalu besar.”
7) Strategi 7: Presuppose/raise/assert common ground (“Mempresuposisikan atau menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan mitra tutur”) Contoh : A:
Oh, this cut hurts owfully, Mum (“Oh luka ini sakit sekali, ma”)
B:
Yes dear, it hurts terribly, I know (“Ya sayang, memang sakit sekali, saya tahu”)
8) Strategi 8: Joke (“Membuat lelucon”) Contoh : “Tidak masalah kan, kalau kue itu saya habisi saja?” 9) Strategi 9: Assert or presuppose S`s knowledge of and concern for H`s wants (“Mempresuposisikan atau membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan mitra tuturnya”) Contoh : “Ya, saya tahu kamu tidak suka pesta, tetapi pesta ini betulbetul baik. Datanglah!” 10) Strategi 10: Offer, promise (“Membuat penawaran dan janji”) Contoh : “Saya akan singgah kapan-kapan minggu depan.” commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
11) Strategi 11: Be optimistic (“Menunjukkan rasa optimisme”) Contoh : “Anda pasti dapat meminjamkan mesin pemotong rumput akhir pekan ini, saya yakin.” 12) Strategi 12: Include both S and H in the activity (“Berusaha melibatkan mitra tutur dan penutur dalam suatu kegiatan tertenti. Bisa kan?”) Contoh : “Kami perlu istirahat.” 13) Strategi 13: Give (or ask for) reasons (“Memberikan dan meminta alasan”) Contoh : Bagaimana kalu saya bantu membawa koper Anda 14) Strategi 14: Assume or assert reciprocity (“Menawarkan suatu tindakan timbal balik, yaitu kalau mitra tutur melakukan X maka penutur akan melakukan Y”) Contoh : “Saya akan meminjamkan buku novel saya kalau Anda meminjami saya artikel Anda.” 15) Strategi 15: Give sympathy to H (“Memberikan rasa simpati kepada mitra tutur”) Contoh : “Kalau ada yang dapat saya lakukan untuk Anda, mohon saya diberitahu.” c.
Kesantunan Negatif Kesantunan negatif adalah keinginan yang diasosiasikan dengan muka negatif mitra tutur, yaitu keinginan agar penutur tidak dilanggar hakhaknya oleh mitra tutur. Kesantunan negatif pada hakikatnya ditujukan terhadap bagaimana memenuhi atau menyelamatkan sebagian muka negatif mitra tutur, yaitu keinginan dasar mitra tutur untuk mempertahankan apa commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dianggap sebagai wilayah dan keyakinan dirinya. Jadi, pada dasarnya, strategi kesantunan negatif mengandung jaminan dari mitra tutur bahwa penutur mengakui, menghormati dan seandainya terpaksa melakukan pelanggaran, maka akan berusaha untuk sedikit mungkin melakukan pelanggaran tersebut (keinginan muka negatif mitra tutur dan tidak akan mencampuri atau pun melanggar kebebasan bertindak mitra tutur). Untuk mengurangi pelanggaran terhadap muka negatif mitra tutur, Brown dan Levinson (1987:130-210) menawarkan sepuluh strategi-strategi sebagai berikut: 1) Strategi 1:Be conventionally indirect (“Mengurangi Ungkapan secara tidak langsung sesuai konvensional masyarakat yang bersangkutan”) Contoh :“Tolong ambilkan garamnya!” 2) Strategi 2: hedge (“Gunakan bentuk pertanyaan dengan partikel tertentu”) Contoh : “Saya minta tolong, bisakan?” 3) Strategi 3:Be pessimistic (“Lakukan secara hati-hati dan jangan terlalu optimistik”) Contoh : “Mungkin Anda dapat membantu saya.” 4) Strategi 4: Minimise the imposition (“Kurangilah kekuatan atau daya ancaman terhadap muka mitra tutur”) Contoh : “Bolehkah saya mencicipi kue itu sedikit saja?” 5) Strategi 5: Give deference (“Beri penghormatan”) Contoh : “Maaf pak, apakah Bapak keberatan kalau saya menutup jendela?”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
6) Strategi 6: Apologize (“Gunakan permohonan maaf”) Contoh : “Maaf mengganggu Anda, tetapi……” 7) Strategi 7: Impersonalize S and H (“Jangan menyebutkan penutur dan mitra tutur”) Contoh : “Keluarkan bawang itu” 8) Strategi 8: State the FTA as a general rule (“Nyatakan tindakan mengancam muka sebagai suatu ketentuan sosial yang umum berlaku”) Contoh : “Johnny, kita tidak duduk di meja, kita duduk di kursi.” 9) Strategi 9: Nominalize (“Nominalkan pernyataan”) Contoh : “Prestasi Anda dalam ujian sangat mengesankan kami.” 10) Strategi 10: Go on records as incurring a debt, or as not indebting H (“Nyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikanm (hutang) atau tidak kepada mitra tutur”) Contoh : “Saya dapat mengerjakan hal ini dengan mudah untuk Anda.” d. Melakukan tindak tutur secara tidak langsung (offrecord) Realisasi linguistik dari tindakan off record antara lain meliputi penggunaan metafora dan ironi, pertanyaan retoris, penyederhanaan masalah, tautologi, dan semua ungkapan yang dikemukakan secara tidak langsung oleh penutur sehingga membuka peluang untuk diinterpretasikan secara berbeda-beda. Brown dan Levinson (1987:213-227) menawarkan lima belas strategi-strategi secara tidak langsung (offrecord) sebagai berikut : 1) Strategi 1: givehints (memberi isyarat). Contoh : “Wah, saya haus sekali.”(=Berikan saya minum) commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Strategi 2: give association clues (memberi petunjuk asosiasi). Cntoh : “Kamu pulang lewat pasar Minggu, nggak?” (=Kamu bawa mobil. Aku mau numpang sampai Pasar Minggu) 3) Strategi 3: presuppose (menggunakan prasuposisi). Contoh : “Aku traktir lagi, nih?” (Sebelumnya sudah mentraktir temannya). 4) Strategi 4: understate (menggunakan ungkapan yang lebih halus) Contoh : “Dia kurang pandai di sekolah.” (=Dia bodoh, tidak pandai) 5) Strategi 5: overstate (menggunakan ungkapan yang berebihan) Contoh : “Aku telepon ratusan kali,kok nggak jawab!” 6) Strategi 6: usetautologies (menggunakan tautologi). Contoh : “Kamu kemarin kok nggak datang, sih.Janji tinggal janji.” 7) Strategi 7: use contradictions (menggunakan kontradiksi). Contoh : “Ah, saya nggak apa-apa. Kecewa, tidak. Nggak kecewa, juga tidak.” 8) Strategi 8: use ironic (menggunakan ironi). Contoh : “Kamu selalu datang tepat waktu, ya.”(=Kamu selalu datang terlambat) 9) Strategi 9: use metaphors (menggunakan metafora). Contoh : “Wah, kamu ini kuda, ya?”(=Kamu tidak mengenal lelah) 10) Strategi 10: use rethorical questions (menggunakan pertanyaan retorik). Contoh : “Aku harus ngomong apa lagi?” (=Sudah aku jelaskan panjang lebar, kamu tetap tidak mengerti) 11) Strategi 11: be ambiguous (menggunakan ungkapan yang ambigu). commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Contoh : “Wah, ada yang baru menang lotere, nih!”(=Tak jelas maknanya, tergantung konteks). 12) Strategi 12: be vague (meggunakan ungkapan yang samar-samar). Contoh : “Kamu tahu kan, aku pergi kemana?” 13) Strategi
13:
over
generalize
(menggunakan
generalisasi
yang
berlebihan). Contoh : “Kamu itu gampang sekali nangis. Orang dewasa kan nggak begitu!” 14) Srategi 14: displace H (tidak mengacu ke mitra tutur secara langsung). Contoh : “Tito, bawakan koper Ayah, ya!” (=Tito masih balita, istrinya yang datang, membawakan koper). 15) Strategi 15: be incomplete, use ellipsis (menggunakan ungkapan yang tidak lengkap). Contoh : “Aduh panasnya….. .” (=Aduh panasnya ruangan ini. Tolong AC nya dinyalakan). e. Strategi diam Strategi diam ini dilakukan oleh penutur untuk menanggapi ujaran laim yang kurang pantas jika dijawab, sehingga dengan diam penutur menunjukkan kesantunan daripada menjawab atau melakukan tindak tutur tertentu. Untuk kepentingan analisis dan sebagai keefektifan dalam mempergunakan teori, maka di dalam penelitian ini penulis hanya meneliti jenis tindak tutur mengkritik dan strategi kesantunan menurut Brown Levinson. 6. Acara Sentilan Sentilun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
Acara Sentilan Sentilun adalah sebuah acara yang ditayangkan Metro TV setiap senin pukul 21.30 WIB. Tokoh dalam acara ini adalah tokoh rekaan yang dimainkan secara apik oleh aktor Butet Kartaredjasa dan Slamet Rahardjo. Acara Sentilan Sentilun membahas gonjang-ganjing suasana perpolitikan di indonesia dari sudut pandang tersendiri. Acara ini dibuat sedemikian rupa sehingga tema politik yang berat sekalipun akan dibawakan dengan gaya yang kocak dan ringan mudah untuk dicerna oleh orang awam sekalipun. Celetukan-celetukan yang panas, mungkin dapat memerahkan telinga para politisi di Indonesiapun tidak terlalu kentara tetapi cukup telak mengenai sasaran. Acara Sentilan Sentilun bersetting di sebuah kediaman seorang yang kaya raya dan ningrat dari Jawa, seorang Ndoro atau majikan bernama Sentilan yang diperankan oleh Slamet Raharjo dan seorang batur atau pembantunya bernama Sentilun yang diperankan oleh Butet Jogja atau Butet Kertaradjasa. Celetukan-celetukan Sentilun yang polos dan sok tahu cukup membantu untuk melihat gambaran perpolitikan ala rakyat indonesia pada umumnya. Sentilun disini digambarkan sebagai wong cilik, seorang batur atau pembantu yang ceriwis kritis dan selalu ingin tahu. Dia menyentil lawan bicaranya dengan gayanya yang ceplas-ceplos dan sok tahu. Sentilun adalah gambaran seorang rakyat jelata yang sadar akan politik. Celetukan dan kritik pedas Sentilun bisa menjadi obat kesumpekan karena morat-maritnya keadaan di dalam negeri serta sebagai pendidikan politik yang murah meriah bagi rakyat Indonesia. Sehingga rakyat tidak hanya disuguhi sinetron yang ceritanya itu-itu saja, acara-acara komedi yang commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kurang mendidik, berita kasus korupsi yang tidak ada habisnya lalu kemudian hilang lalu ada lagi kemudian hilang lagi, namun ikut diajak menertawakan wakil-wakilnya yang ada di legislatif, pejabat-pejabatnya di eksekutif dan penegak-penegak hukumnya di lembaga yudikatif.
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Objek kajian penelitian ini adalah tindak tutur mengkritik dan strategi kesantunan berbahasa. Sumber data dalam penelitian ini adalah acara Sentilan Sentilun. Dari sumber data akan diperoleh data penelitian berupa dialog percakapan dari pembawa acara dan narasumber yang mengandung tindak tutur mengkritik dan strategi kesantunan berbahasa. Dialog dalam acara Sentilan Sentilun akan dianalisis menggunakan teori tindak tutur mengkritik dari Nguyen dan strategi kesantunan berbahasa dari Brown dan Levinson. Dari tindak tutur mengkritik tersebut akan diidentifikasikan dalam bentuk strategi tindak tutur mengkritik langsung dan strategi tindak tutur mengkritik tidak langsung. Kerangka berpikir yang terkait dalam penelitian ini secara garis besar dilukiskan pada bagan di bawah ini.
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Acara Sentilan Sentilun
Dialog Narasumber, Pembawa Acara dan Pemain Figuran dalam Acara Sentilan Sentilun di Metro TV yang Mengandung Tindak Tutur Mengkritik dan Strategi Kesantunan
Tindak TuturMengkritik Strategi Kesantunan Berbahasa Tindak Tutur Mengkritik Langsung
1. Penilaian
Tindak Tutur Mengkritik Tidak Langsung
1. Koreksi
1. Bald On Record
Negatif
2. Menunjukan Standar
2. Kesantunan
2. Pencelaan
3. Tuntutan Perubahan
3. Ekspesi
4. Permintaan Perubahan
Pertentangan 4. Pernyataan Masalah 5. Pernyataan Kesulitan 6. Konsekurnsi 7.
5. Nasihat Perubahan 6. Saran Perubahan 7. Ekspresi Ketidakpastian 8. Mengajukan/ Mengandaikan 9. Petunjuk Lain
8.
commit to user
Positif 3. Kesantunan Negatif 4. Kesantunan Samar-Samar (Off Record)