BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka dilakukan untuk mendapatkan pengantar pemahaman obyek penelitian dan mendapat juga landasan teoritik penyusunan konsep penelitian. Kajian pustaka adalah berikut : 2.1.1 Hasil Penelitian Terdahulu Noor Irfan, 2011, Analisis Framing Pemberitaan Harian Kompas Atas RUUK-DIY, Universitas Diponegoro Semarang, Magister Ilmu Komunikasi, Program Pascasarjana. Latar belakang membahas mengenai analisis isi berita dan tajuk rencana harian umum Kompas. Gencarnya pemberitaan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan-Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK-DIY) pada harian umum Kompas, baik dalam jumlah berita maupun tulisan Tajuk Rencana, mengundang pertanyaan serius yang perlu dikritisi di era keterbukaan saat ini. Karena harian Kompas yang berskala nasional tidak mudah dipahami bila justru berpihak terhadap daerah, sementara di daerah setempat sudah ada koran lokal yang hegemonik kekuasaan lokal. Kajian Teoritis yang penulis ambil adalah membahas analisis isi berita maupun tulisan Tajuk Rencana dengan menggunakan teori framing model Gamson dan Modigliani. Metodologi Penelitian yang dipakai adalah pendekatan kualitatif kritis untuk berusaha memahami politik pemberitaan dibalik wacana
15
16 RUUK-DIY pada harian Kompas. Diawali dengan menggunakan paradigma konstruksionis dalam analisis teks yakni analisis framing model Gamson dan Modigliani. Teknik pengumpulan data yang peneliti pergunakan adalah teknik selektif, observatif, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini adalah bahwa melalui analisis framing Gamson dan Modigliani diperoleh fakta keberpihakan harian umum Kompas terhadap warga Yogyakarta yang menginginkan penetapan dalam suksesi kepala daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal yang berlawanan dengan kehendak pemerintah pusat yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono dan Kemendagri Gamawan Fauzi yang menginginkan pemilihan sebagaimana berlaku untuk daerah lain di Indonesia. Koran Kompas memiliki kredibilitas dan idealisme tinggi, hanya sedikit media di Indonesia mempertaruhkan reputasinya dalam pemihakan terhadap RUUK-DIY. Dengan demikian pasti memiliki alasan kuat dalam pemihakan ini. Kesimpulan Analisis framing Gamson dan Modigliani ini adalah bahwa Kompas memiliki komitmen kebangsaan yang sangat kuat terhadap persoalan kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan. Dengan demikian persoalan RUUKDIY Kompas melihat saat ini bukan merupakan prioritas persoalan yang harus segera di tangani. Di lain hal, Kompas memiliki kepercayaan kuat terhadap kecerdasan masyarakat Yogya dalam menyelesaikan persoalannya sendiri. Dalam hal penetapan maupun keistimewaan Yogyakarta, terbukti sudah 66 tahun menurut Kompas tidak ada persoalan yang urgen baik dalam skala kedaerahan maupun nasional.
17 Agus Widodo, 2009, Aliran Sesat di Televisi (Studi Analisis Framing Realitas Sosial Aliran Sesat Dalam Acara “Cerita Anak” di Trans TV), Universitas
Mercubuana
Jakarta,
Magister
Ilmu
Komunikasi,
Program
Pascasarjana. Latar belakang membahas mengenai bagaimana konstruksi berita aliran sesat yang ditayangkan oleh Trans TV, pada program acara anak ”cerita anakanak”. Program ”cerita anak” ini mengemas berita yang seharusnya di konsumsi oleh orang dewasa namun Trans TV menyajikan berita tersebut untuk anak-anak yang mana anak-anak sebagai target audience dalam program tersebut. Permasalahan mengenai penyimpangan ajaran keagamaan memang sedang ramai ditulis dan ditayangkan melalui media masa, pengemasan berita tersebut oleh Trans TV, melalui program ”cerita anak”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana konstruksi berita aliran sesat dalam program anak ”cerita anak”. Kajian Teoritis yang penulis ambil adalah membahas analisis berita maupun tulisan Tajuk Rencana dengan menggunakan teori framing model Gamson dan Modigliani. Metodologi Penelitian yang dipakai adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, untuk berusaha memahami realitas aliran sesat dalam program acara “cerita anak” di Trans TV. Teknik pengumpulan data yang peneliti pergunakan adalah wawanca, observasi, dan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa isi media merupakan hasil dari para pekerja media mengkonstrusikan realitas dari yang dipilihnya, maka seluruh isi media adalah seluruh realitas yang telah di konstruksikan. Sebagai salah satu
18 analisis yang berada dalam kategori penelitian konstruktivisme maka analisis framing dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksikan oleh media, dengan cara, dan teknik pada peristiwa yang ditekankan atau ditonjolkan. Penelitian ini menemukan bahwa dalam mengemas berita aliran sesat Trans TV tidak mengindahkan kaidah-kaidah dalam penulisan berita, sehingga membentuk pola pikir pola pikir anak untuk menjustifikasi bahwa ajaran agama yang menyimpang tersebut adalah sesat. Trans TV seolah hanya hanya memberikan tampilan yang indah dan menarik untuk ditonton, agar tidak ditinggalkan penontonnya, namun tidak menyajikan isi berita dengan benar. Beberapa teknik editing dan gaya penulisan naskah menjadi komponen utama dalam mengkonstruksikan berita aliran sesat. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa Trans TV belum layak untuk memberikan berita aliran sesat khususnya untuk anak-anak. Dengan demikian para pekerja media masa, khususnya televisi diharapkan untuk mencermati dengan seksama, isi program acara yang berkaitan dengan anak-anak, agar efek dari tayangannya tidak menjerumuskan masa depan anak.
2.1.2 Komunikasi Masa Komunikasi
massa diadopsi dari
istilah
bahasa Inggris, mass
communication, sebagai kependekan dari mass media communication. Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communication diartikan sebagai salurannya, yaitu media massa (mass media) sebagai kependekan dari media of mass communication. Massa mengandung pengertian orang banyak, mereka tidak harus berada di lokasi
19 tertentu yang sama, melainkan dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi, yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesanpesan komunikasi yang sama. 2.1.2.1 Unsur-Unsur Komunikasi Massa Harold D. Lasswell (dalam Wiryanto, 2005) memformulasikan unsurunsur komunikasi dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut ”Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect?” Unsur who (sumber atau komunikator). Sumber utama dalam komunikasi massa adalah lembaga atau organisasi atau orang yang bekerja dengan fasilitas lembaga atau organisasi (institutionalized person). Yang dimaksud dimaksud dengan lembaga dalam hal ini adalah seperti perusahaan surat kabar, stasiun radio, televisi, majalah, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud institutionalized person adalah orang yang bekerja atau pengelola pada institusi media tersebut (misalnya redaktur, produser, dan sebagainya). Melalui tajuk rencana atau program acaranya, who bisa menyatakan pendapat atau gagasannya dengan fasilitas lembaga media yang bersangkutan. Oleh karena itu, ia memiliki kelebihan dalam suara atau wibawa dibandingkan berbicara tanpa fasilitas lembaga. Pers atau media massa sering disebut sebagai lembaga sosial. Dalam UU RI No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 1 ayat (1) menyatakan: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, megolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
20 Bentuk institusi media massa dipertegas lagi pada pasal 1 ayat (2) yang menyatakan: Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi. McQuail (1987) menyebutkan ciri-ciri khusus institusi (lembaga) media sebagai berikut : - Memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan dan budaya. Upaya tersebut merupakan respon terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. - Menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain: dari pengirim ke penerima, dari anggota audience ke anggota audience lainnya, dari seseorang ke masyarakat dan institusi masyarakat terkait. Semua itu bukan sekedar saluran fisik jaringan komunikasi, melainkan juga merupakan saluran tatacara dan pengetahuan yang menentukan siapakah sebenarnya yang patut atau berkemungkinan untuk mendengar sesuatu dan kepada siapa ia harus mendengarnya. - Media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik, dan merupakan institusi yang terbuka bagi semua orang untuk peran serta sebagai penerima (atau dalam kondisi tertentu sebagai pengirim). Institusi media juga mewakili kondisi publik, seperti yang tampak bilamana media massa menghadapi maslah yang berkaitan dengan pendapat publik (opini publik) dan ikut berperan membentuknya (bukan masalah pribadi, pandangan ahli, atau penilaian ilmiah). - Partisipasi anggota audience dalam institusi pada hakikatnya bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Bahkan lebih bersifat suka rela daripada beberapa institusi lainnya, misalnya pendidikan, agama atau politik. Pemakaian diasosiasikan orang dengan waktu senggang dan santai, bukannya dengan pekerjaan dantugas. Hal tersebut dikaitkan juga dengan ketidakberdayaan formal institusi media: media tidak dapat mengandalkan otoritasnya sendiri dalam masyarakat, serta tidak mempunyai organisasi yang menghubungkan pameran-serta ”lapisan atas” (produsen pesan) dan pemeran-serta ”lapisan bawah” (audience). - Industri media dikaitkan dengan industri dan pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan.
21 - Meskipun institusi media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya sinambungan pemakaian media, mekanisme hukum, dan pandanganpandangan menentukan yang berbeda antara negara yang satu dengan lainnya. Komunikator dalam proses komunikasi massa selain merupakan sumber pesan, mereka juga berperan sebagai gate keeper (lihat McQuail; Nurudin, 2003). Yaitu berperan untuk menambah, mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami oleh audience-nya. Bitner (dalam Tubbs, 1996) menyatakan bahwa pelaksanaan peran gate keeper dipengaruhi oleh: ekonomi;
pembatasan legal;
batas waktu; etika pribadi dan
profesionalitas; kompetisi diantara media dan nilai berita. Unsur says what (pesan). Pesan-pesan komunikasi massa dapat diproduksi dalam jumlah yang sangat besar dan dapat menjangkau audience yang sangat banyak. Pesan-pesan itu berupa berita, pendapat, lagu, iklan, dan sebagainya. Charles Wright (1977) memberikan karakteristik pesan-pesan komunikasi massa sebagai berikut: - Publicly.
Pesan-pesan komunikasi massa pada umumnya tidak ditujukan kepada orang perorang secara eksklusif, melainkan bersifat terbuka, untuk umum atau publik. - Rapid. Pesan-pesan komunikasi massa dirancang untuk mencapai audience yang luas dalam waktu yang singkat serta simultan. - Transient. Pesan-pesan komunikasi massa untuk memenuhi kebutuhan segera, dikonsumsi sekali pakai dan bukan untuk tujuan yang bersifat permanen. Pada umumnya, pesan-pesan komunikasi massa cenderung dirancang secara timely, supervisial, dan kadang-kadang bersifat sensasional. Unsur in which channel (saluran atau media). Unsur ini menyangkut semua peralatan yang digunakan untuk menyebarluaskan pesan-pesan komunikasi massa. Media yang mempunyai kemampuan tersebut adalah surat kabar, majalah,
22 radio, televisi, internet, dan sebagainya. Unsur to whom (penerima atau mass audience). Penerima pesan-pesan komunikasi massa biasa disebut audience atau khalayak. Orang yang membaca surat kabar, mendengarkan radio, menonton televisi, browsing internet merupakan beberapa contoh dari audience. Menurut Charles Wright (dalam Wiryanto, 2005), mass audience memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut : - Large, yaitu penerima-penerima pesan komunikasi massa berjumlah banyak, merupakan individu-individu yang tersebar dalam berbagai lokasi; - Heterogen, yaitu penerima-penerima pesan komunikasi massa terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, beragam dalam hal pekerjaan, umur, jenis kelamin, agama, etnis, dan sebagainya; - Anonim, yaitu anggota-anggota dari mass audience umumnya tidak saling mengenal secara pribadi dengan komunikatornya. Unsur with what effect (dampak). Dampak dalam hal ini adalah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam diri audience sebagai akibat dari keterpaan
pesan-pesan
media.
David
Berlo
(dalam
Wiryanto,
2005)
mengklasifikasikan dampak atau perubahan ini ke dalam tiga kategori, yaitu: perubahan dalam ranah pengetahuan; sikap; dan perilaku nyata. Perubahan ini biasanya berlangsung secara berurutan.
2.1.2.2 Ciri-ciri Komunikasi Massa Ciri-ciri komunikasi massa, menurut Elizabeth Noelle Neumann (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1994) adalah sebagai berikut : 1. Bersifat tidak langsung, artinya harus melalui media teknis; 2. Bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi;
23 3. Bersifat terbuka, artinya ditujukan pada publik yang tidak terbatas dan anonim; 4. Mempunyai publik yang tersebar. Pesan-pesan media tidak dapat dilakukan secara langsung artinya jika kita berkomunikasi melalui surat kabar, maka komunike kita tadi harus diformat sebagai berita atau artikel, kemudian dicetak, didistribusikan, baru kemudian sampai ke audience. Antara kita dan audience tidak bisa berkomunikasi secara langsung, sebagaimana dalam komunikasi tatap muka. Istilah yang sering digunakan adalah interposed. Konsekuensinya adalah, karakteristik yang kedua, tidak terjadi interaksi antara komunikator dengan audience. Komunikasi berlangsung satu arah, dari komunikator ke audience, dan hubungan antara keduanya impersonal. Karakteristik pokok ketiga adalah pesan-pesan komunikasi massa bersifat terbuka, artinya pesan-pesan dalam komunikasi massa bisa dan boleh dibaca, didengar, dan ditonton oleh semua orang. Karakteristik keempat adalah adanya intervensi pengaturan secara institusional antara si pengirim dengan si penerima. Dalam berkomunikasi melalui media massa, ada aturan, norma, dan nilai-nilai yang harus dipatuhi. Beberapa aturan perilaku normatif ada dalam kode etik, yang dibuat oleh organisasiorganisasi jurnalis atau media. Dengan demikian, komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah audience yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
24 2.1.3 Analisis Framing 2.1.3.1 Konsep Framing Konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspekaspek khusus sebuah realita oleh media. Dalam ranah studi komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktivitas komunikasi. Ide tentang Framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson pada tahun 1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, wacana, dan yang menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas.(Sudibyo, 1999:23) Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspekaspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas/peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis
25 berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Framing seperti dikatakan Todd Gitlin adalah sebuah strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Secara sederhana, framing adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2001: 162). Ada beberapa definisi dalam (Eriyanto, 2002:68). Definisi tersebut dapat diringkas dan yang disampaikan menurut beberapa ahli. Meskipun berbeda dalam penekanannya dan pengertian. Masih ada titik singgung utama dari definisi tersebut, yaitu antara lain: 1. Menurut Robert N. Entman Framing adalah proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain. 2. Menurut William A. Gamson Framing adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwaperistiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.
26 3. Menurut Todd Gitlin Framing adalah strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dengan realitas. 4. Menurut David E. Snow and Robert Benford Framing adalah pemberian makna untuk menafsikan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan system kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu. 5. Menurut Amy Binder Framing adalah skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa. 6. Menurut Zhondang Pan and Gerald M. Kosicki Framing adalah strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita. Selain definisi diatas, secara umum framing dikelompokan dalam beberapa jenis, yang meliputi Model framing Murray Edelman, Robert N. Entman, William A. Gamson & Andre Modigliani, Zhongdan Pan & Gerald M. Kosicki, Todd Gitlin, David E. Snow and Robert Benford, dan Amy Binder. Analisis
framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis.
Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya (Eriyanto, 2002: 13). Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yan dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah definisi
27 permasalahan
yang
khusus,
interpretasi
kausal,
evaluasi
moral
dan
merekomendasi penanganannya (Entman, 1993:52). Framing secara esensial, menurut Robert M. Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi
frame
adalah
mendefinisikan
masalah,
mendiagnosis
penyebab,
memberikan penilaian moral dan menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan (Entman, 1993:53). Umumnya analisis framing digunakan untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksikan fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perpektifnya. (Sobur, 2006:162) Menurut Frank D. Durham (Eriyanto, 2002:67) framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu. Bagi khalayak, penyajian realitas yang demikian membuat realitas lebih bermakna dan dimengerti. Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tahap perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan; apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang iberitakan, dan bagian mana yang tidak diberitakan. Penekanan aspek tertentu itu
28 dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan akta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu; penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap symbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol dan mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas.
29 Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari lapangan psikologi dan sosiologi. Tetapi secara umum, teori framing dapat dilihat dalam dua tradisi yaitu psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu atau gagasan tertentu. Teori framing misalnya banyak berhubungan dengan teori mengenai skema atau kognitif; bagaimana seseorang memahami dan melihat realitas dengan skema tertentu. Misalnya, teori atribusi Heider yang melihat manusia pada dasarnya tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks. Karenanya, individu berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah besar informasi yang dapat ditangkap oleh panca indera sebagai dasar hubungan sebab akibat. Atribusi tersebut dipengaruhi baik oleh faktor personal maupun pengaruh lingkungan eksternal. Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh pemikiran Erving Goffman. Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan manusia berusaha memberi penafsiran atas prilaku tersebut agar bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang. Dimensi psikologis. Framing sangat berhubungan dengan dimensi psikologi. Framing adalah upaya atau strategi yang dilakukan wartawan untuk menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna, lebih mencolok, dan diperhatikan oleh publik. Upaya membuat pesan (dalam hal ini teks berita) lebih menonjol dan mencolok ini, pada taraf paling awal tidak dapat dilepaskan dari
30 aspek psikologi. Secara psikologis, orang cenderung menyederhanakan realitas dan dunia yang kompleks itu bukan hanya agar lebih sederhana dan dapat dipahami, tetapi juga agar lebih mempunyai perspektif/dimensi tertentu. Orang cenderung melihat dunia ini dalam perspektif tertentu, pesan atau realitas juga cenderung dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Karenanya, realitas yang sama bisa jadi digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda juga. Daniel Kahneman dan Amos Tversky (Eriyanto, 2002:72) membuat serangkaian penelitian lewat studi eksperimental bagaimana pesan yang dibingkai atau dibungkus secara berbeda akan dimaknai dan dipahami secara berbeda pula oleh khalayak. Pemaknaan dan pemahaman khalayak tidak tergantung pada realitas atau fakta, tetapi tergantung pada bagaimana realitas itu disajikan; bagaimana pesan dibingkai dengan kemasan tertentu yang menyebabkan pemahaman tertentu dalam benak khalayak. Penelitian Kahneman dan Tversky tersebut menunjukkan bagaimana pendapat khalayak bisa dibentuk oleh frame yang dibangun oleh pertanyaan. Realitas yang hendak ditanyakan adalah sama, tetapi pertanyaan yang diajukan berbeda dengan penonjolan pada bagian tertentu dan penekanan pada bagian yang lain. Dimensi sosiologis. Selain psikologi, konsep framing juga banyak mendapat pengaruh dari lapangan sosiologi. Garis sosiologi ini terutama dapat ditarik dari Alfred Schutz, Erving Goffman hingga Peter L. Berger. Pada level sosiologis, frame dilihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi dari ruang berita dan pembuat berita membentuk berita secara bersama-sama. Ini
31 menempatkan media sebagai organisasi yang kompleks yang menyertakan di dalamnya praktik profesional. Pendekatan semacam ini untuk membedakan pekerja media sebagai individu sebagaimana dalam pendekatan sosiologis. Melihat berita dan media seperti ini berarti menempatkan berita sebagai institusi sosial. Berita ditempatkan, dicari, dan disebarkan lewat praktik profesional dalam organisasi. Karenanya, hasil dari suatu proses berita adalah produk dari proses institusional. Praktik ini menyertakan hubungan dengan institusi dimana berita itu dilaporkan. Berita adalah produk dari institusi sosial dan melekat dalam hubungannya dengan institusi lainnya. Berita adalah produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi. Konsep framing mengacu pada perspektif dramaturgi yang dipelopori Erving Goffman. Dramaturgi adalah sebuah kerangka analisis dari presentasi simbol yang mempunyai efek persuasif. Dramaturgi melihat realitas seperti layaknya sebuah drama, masing-masing aktor menampilkan dan berperan menurut karakter masing-masing. Manusia berprilaku laksana dalam suatu panggung untuk menciptakan kesan yang meyakinkan kepada khalayak. Dalam perpektif media, seperti dikatakan P.K Manning (Eriyanto, 2002:81) pendekatan dramaturgi tersebut mempunyai dua pengaruh. Pertama, ia melihat realitas dan actor menampilkan dirinya dengan simbol, dan penampilan masing-masing. Media karenanya dilihat sebagai transaksi, melalui mana aktor menampilkan dirinya lengkap dengan simbol dan citra yang ingin dihadirkannya. Kedua, pendekatan dramaturgi melihat hubungan interaksionis antara khalayak dengan aktor. Realitas yang terbentuk karenanya dilihat sebagai hasil transaksi antara keduanya.
32 Dalam pandangan Goffman, ketika seseorang menafsirkan realitas tidak dengan konsepsi hampa. Seseorang selalu mengorganisasi peristiwa tiap hari. Pengalaman dan realitas yang diorganisasikan tersebut menjadi realitas yang dialami oleh seseorang. Dalam perspektif Goffman, frame mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman hidup kita supaya kita bisa memahaminya. Menurut Goffman, sebuah frame adalah sebuah skema interpretasi, dimana gambaran dunia yang dimasuki seseorang diorganisasikan sehingga pengalaman tersebut menjadi punya arti dan makna. Frame menawarkan penafsiran atas berbagai realitas sosial yang berlangsung tiap hari. Gamson dan Modgliani, berpendapat bahwa frame adalah cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana (Gamson dan Modigliani, 1989: 3). Gamson mengandaikan wacana media terdiri dari sejumlah package interpretif yang mengandung konstruksi makna tentang objek wacana. Package adalah gugusan ide-ide yang memberi petunjuk mengenai isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan dengan wacana yang terbentuk. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk memaknai pesan yang disampaikan serta untuk menafsirkan pesan yang ia terima. Dari pemikiran di atas, Gamson dan Modigliani merumuskan model analisis framing. Dalam perspektif, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruki fakta. Analisis ini dicermati strategi seleksi, penonjolan dan pentaatan fakta kedalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat utnuk menggiring
33 interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan seorang ketika menyeleksi isu dan menulis editorial. Permasalahan yang akan di teliti ialah mengenai editorial tentang hortikultura yang terdapat pada Tabloid Sinar Tani. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti menggunakan model framing Gamson dan Modigliani dengan alasan, karena model ini menjelaskan bahwa ada atau tidaknya unsur nilai editorial dipengaruhi oleh bagaimana seorang wartawan tersebut memandang suatu peristiwa yang diliputnya yang kemudian dia tuliskan dalam bentuk naskah editorial. Dan cara pandang wartawan inilah yang menentukan ada atau tidaknya unsur nilai editorial pada naskah yang ia buat. Cara pandang ini juga yang membuat editorial yang ditulisnya berbeda dari media lainnya. Karena setiap media massa masing-masing memiliki kebijakan sendiri dalam pemilihan tema editorial ataupun dalam menentukan angle sebuah peristiwa, dengan harapan, editorial tersebut dapat bermanfaat dan tersampaikan dengan baik ke pada pembaca. Berikut ini tabel dari model analisis framing Gamson dan Modigliani. Editorial tentang Holtikultura pada Tabloid Sinar Tani selama Januari sampai Desember 2013 sebanyak lima editorial yang akan dianalisis dengan menggunakan model ini.
34 Tabel 2.1. Model Framing Gamson & Modigliani Frame (media package) Seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu (central organizing idea for making sense of relevant, suggesting what is at issues). Frame ini akan didukung oleh perangkat wacana lain, seperti kalimat, kata, dsb. Secara umum, Perangkat ide sentral ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu framing device dan reasoning device. Framing Devices (Perangkat Framing) Reasoning Devices (Perangkat Penalaran) Berkaitan langsung dengan ide sentral atau Berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari bingkai yang ditekankan dalam teks. Perangkat teks yang merujuk pada gagasan tertentu. ini antara lain : pemakaian kata, kalimat, Artinya ada dasar pembenar dan penalaran grafik/gambar, dan metafora tertentu. alasan tertentu sehingga membuat gagasan yang disampaikan media atau seseorang tampak benar, alamiah, dan wajar. Roots Methapors Perumpamaan atau pengandaian. Analisis kausal atau sebab akibat. Catchphrases Frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana. Ini umumnya berupa jargon atau slogan. Exemplar Mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian (bias teori, perbandingan) yang memperjelas bingkai. Depiction Penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Depiction ini umumnya berupa kosakata, leksikon untuk melabeli sesuatu. Visual Images Gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun atau grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan. Sumber: Eriyanto, 2002:225
Appeals to principle Premis dasar, klaim-klaim moral.
Consequences Efek atau konsekuensi yang didapat dari bingkai.
Dari tabel tersebut, penulis memahami bahwa ada dua perangkat untuk mengetahui bagaimana ide sentral dapat diterjemahkan ke dalam editorial, yaitu framing devices (perangkat framing) dan reasoning devices (perangkat penalaran). Framing devices (perangkat framing), dalam framing devices, ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam teks itu didukung dengan pemakaian symbol tertentu untuk menekankan arti yang hendak dikembangkan dalam editorial.
35 Simbol itu dipakai untuk memberi kesan adalah efek penonjolan pada makna yang disajikan. Simbol itu dapat diamati dari pemakian kata, kalimat, grafis, atau pemakaian foto dan aksentuasi gambar tertentu. Semua elemen tersebut dipakai dalam teks dan dipahami dalam analisis framing bukan sebagai perangkat editorial, melainkan sebagai suatu strategi wacana untuk menekankan makna/mengedepankan pandangan tertentu agar dapat diterima oleh khalayak. Semua elemen dalam perangkat bingkai itu dipakai untuk memberikan citra tertentu atas seseorang atau peristiwa tertentu.
Elemen-elemen yang terdapat
dalam framing devices : a. Metaphors : perumpamaan / pengandaian, sejenis gaya Bahasa perbandingan yang mengandung dua gagasan. Yang pertama, objek kenyataan yang dipikirkan, yang kedua pembanding dari objek kenyataan. b. Catchphrases : istilah, bentukan kata, frase, yang khas sebagai cerminan fakta yang merujuk pada pemikiran tertentu, misalnya berupa jargon, slogan atau semboyan. c. Exemplar : mengaitkan bingkai dengan contoh uraian, bisa (teori perbandingan) yang memperjelas bingkai. d. Depiction : penggambaran fakta dengan menggunakan istilah / kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra / makna tertentu, misalnya eufimisme, akronimisasi. Umumnya berupa kosakata, pembenaran, penguatan dan sebagainya. e. Visual Images : pemakaian simbol, misalnya dengan menggunakan gambar, foto, karikatur, atau video. Reasoning Devices (perangkat penalaran), ide awal pemikiran yang dikembangkan dalam teks berita itu didukung dengan seperangkat penalaran untuk menekankan kepada khalayak bahwa “versi berita” yang disajikan dalam teks itu adalah benar. Ia merupakan kumpulan dari fakta yang di jejer yang pada hasil akhirnya berupa bukan hanya paparan atas suatu informasi, melainkan juga suatu bingkai informasi dengan perspektif dan pandangan tertentu. Elemen-
36 elemen dalam reasoning devices : a. Roots : analisis kausal/sebab akibat, pembenaran isu dengan menghubungkan suatu objek atau lebih dengan yang di anggap menjadi sebab timbulnya hal yang lain. b. Appeals to principle : pemikiran prinsip yang digunakan untuk membenarkan isi teks, bisa berupa pepatah, doktrin ajaran atau mitos. c. Consequences : efek yang didapat dari bingkai peristiwa. 2.1.3.2 Proses Framing Tahap awal framing tidak dilakukan oleh media. Manusia memiliki kemampuan untuk menafsirkan realitas yang terjadi di sekitarnya berdasarkan frame of reference dan field of experience yang dimilikinya. Eriyanto (2005) menyatakan, ada empat hal yang dilakukan manusia ketika menyusun bingkai konstruksi realitasnya sendiri, yaitu: 1. Simplifikasi Manusia cenderung memandang segala peristiwa melalui kerangka berpikir yang sederhana, sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya. Seiring dengan bertambahnya usia, pengetahuan, dan pengalaman, manusia akan memandang dunia secara lebih beragam. Namun tetap saja proses pemahaman realitas akan dilakukan secara sederhana. 2. Klasifikasi Manusia menyadari bahwa dunia terdiri dari berbagai hal, sehingga secara psikologis manusia akan memisahkan hal-hal tersebut ke dalam beberapa kategori untuk memudahkan proses pemahaman. Manusia melekatkan ciri-ciri tertentu pada sebuah kategori tertentu, sehingga segala peristiwa yang terjadi dapat terlihat perbedaanperbedaannya. 3. Generalisasi Klasifikasi membantu manusia melihat ciri-ciri peristiwa atau individu. Generalisasi merupakan kelanjutan dari proses tersebut, yang pada akhirnya membatasi ciri-ciri yang berdekatan atau mirip pada ciri-ciri yang didapat pada klasifikasi. Hal ini dapat menghasilkan prasangka.
37 4. Asosiasi Suatu peristiwa tidak hanya diidentifikasi atau dipahami, tetapi selanjutnya dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain. Keragaman dunia dianggap memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Aditjondro (dalam Sobur, 2002:165-166) menyatakan bahwa proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers (reporter, redaktur, editor, sampai bagian desain/kreatif), tetapi juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi-sisi informasi yang ingin ditonjolkannya (sambil menyembunyikan sisi-sisi lain), dan mengaksentuasikan kesahihan pandangannya dengan mengacu pada pengetahuan, ketidaktahuan, dan perasaan para pembaca. Proses framing menjadikan media massa sebagai arena di mana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca. 2.1.3.3 Efek Framing Eriyanto (2005) menyatakan bahwa efek paling mendasar framing adalah menyajikan realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi, dan tidak beraturan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Framing memiliki dua wajah yang ditampilkan dalam cara kerjanya sebagai berikut: 1. Menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek yang lain 2. Menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi yang lain 3. Menampilkan aktor tertentu dan menyembunyikan aktor yang lainnya Efek dengan skala lebih besar adalah mobilisasi massa. Framing memberikan definisi tertentu atas realitas yang dijadikan acuan khalayak dalam memaknai peristiwa atau isu di sekitarnya, atau dengan kata lain framing mampu
38 membentuk opini publik. Khalayak seakan digiring menuju satu perspektif tertentu dan tidak ada alternatif pandangan yang lain. Akibatnya, framing kerap disalahgunakan menjadi alat untuk menutupi kesalahan atau menimpakan kesalahan pada pihak lain. Framing dapat pula ditunjukkan oleh cara penulisan atau tampilan berita yang dramatis oleh media, sehingga khalayak hanya akan mengingat bagianbagian berita yang menarik perhatian mereka. Bagian-bagian inilah yang dijadikan referensi oleh khalayak dalam melakukan simplifikasi atas realitas yang terjadi untuk lebih mudah memahami realitas tersebut. Bentuk framing tidak hanya berupa tulisan, tetapi tampilan visual seperti foto atau gambar kerap digunakan untuk mempengaruhi khalayak. L. M. Scott dalam Severin dan Tankard (2005) menyatakan bahwa gambar
bukan hanya gambaran nyata dari
suatu realitas, tetapi juga alat pembawa daya tarik emosional. Selanjutnya, untuk membahas bagaimana Tabloid Sinar Tani membingkai
editorial tentang pembatasan import holtikultura, penulis menggunakan model Gamson dan Modigliani untuk mengamati pembingkaian editorial Tabloid Sinar Tani. Alasan penggunaan model Gamson dan Modigliani adalah bahwa model ini mempunyai dua komponen analisis framing
yaitu framing device (perangkat
framing) dan reasoning device (perangkat penalaran). Kedua komponen ini membantu mendeskripsikan bagaimana hubungan positif antara penilaian yang diberikan oleh Tabloid Sinar Tani pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan para petani holtikultura kepada persoalan tersebut.
39 2.1.4 Agenda Setting Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Ini termasuk dalam kelebihan dari teori agenda setting sementara yang lainnya adalah memiliki asumsi bahwa suatu berita mudah dipahami dan mudah untuk diuji. Dari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki teori agenda setting tentu ada saja dampak negatif dan positifnya. Rakhmat (2007:68) mengatakan : Teori agenda setting yang dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw dalam “Public Opinion Quarterly”, adalah salah satu teori tentang proses dampak media atau efek komunikasi massa terhadap masyarakat dan budaya. Agenda setting menggambarkan kekuatan pengaruh media yang sangat kuat terhadap pembentukkan opini masyarakat, karena media memberi tekanan pada suatu peristiwa maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Dengan demikian teori agenda setting berbicara tentang bagaimana efek komunikasi massa terhadap khalayak itu dikonseptualisasikan. Mengacu pada hal yang sama, Sendjaja (2005:5.25) menuturkan : Teoritis utama agenda setting adalah Maxwell McCombs dan Donald Shaw. Mereka menuliskan bahwa audience tidaknya mempelajari beritaberita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penekanan terhadap topik tersebut. Misalnya, dalam merefleksikan apa yang dikatakan oleh para kandidat dalam suatu kampanye pemilu, media massa terlihat menentukan mana topik yang penting. Dengan kata lain, media massa menetapkan agenda kampanye tersebut. Kemampuan untuk mempengaruhi perubahan kognitif individu ini merupakan aspek terpenting dari kekuatan komunikasi massa. Dalam hal kampanye, teori ini mengasumsikan bahwa jika para calon pemilih dapat diyakinkan akan pentingnya suatu isu maka mereka akan memilih kandidat atau partai yang diproyeksikan paling berkompeten dalam menangani isu tersebut. Perubahan kognitif yang terjadi pada individu tampaknya menjadi sasaran penting dalam penyelenggaraan komunikasi massa dengan menggunakan
40 media tertentu, sepertti misalnya media elektronik atau medua cetak. Dalam konteks inilah agenda setting menjadi suatu rumusan kebijakan komunikasi yang diarahkan dengan konsep tertentu. Dalam hal agenda setting ini, Rakhmat (2007:68) mengemukakan : Agenda setting mempunyai fungsi yaitu media mengacu pada kemampuan media, dengan liputan berita yang diulang-ulang, yaitu mengangkat pentingnya sebuah isu dalam benak publik (Tankard, 2005:261). Teori agenda setting bisa dilihat dari seringnya media massa memilihkan topik tertentu bagi pemirsa atau pembaca sehingga mereka menjadi akrab dengan topik tersebut dan dianggap penting. Cohen (1963), hampir satu dasawarsa sebelum McCombs dan Shaw mengemukakan teori Agenda Setting, dengan singkat menyatakan asumsi dasar model ini bahwa membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, memberikan clues tentang mana issue yang lebih penting Menurut Sendjaja (2005:5.25-5.26), asumsi agenda setting ini memiliki kelebihan karena mudah dipahami dan relatif mudah untuk diuji. Dasar pemikirannya adalah di antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang mendapat lebih banyak perhatian dari media akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan terjadi sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media. Perkiraan ini dapat diuji dengan membandingkan hasil dari analisis isi media secara kuantitatif dengan perubahan dalam pendapat umum yang diukur melalui survei pada dua (atau lebih) waktu yang berbeda. Menurut Rakhmat (1984:68), model Agenda Setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan itu. Apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput
41 juga dari perhatian masyarakat. Sementara itu, Littlejohn (dalam rakhmat 1984:69) mengatakan, bahwa agenda setting beroperasi dalam tiga bagian yang dapat dijelaskan berikut. 1. Agenda media itu sendiri harus diformat. Proses ini akan memunculkan masalah bagaimana agenda media itu terjadi pada waktu pertama kali. 2. Agenda media dalam banyak hal memengaruhi atau berinteraksi dengan agenda publik atau kepentingan isu tertentu bagi publik. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan, seberapa besar kekuatan media mampu memengaruhi agenda publik dan bagaimana publik itu melakukannya. 3. Agenda publik memengaruhi atau berinteraksi ke dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan adakah pembuatan kebijakan publik yang dianggap penting bagi individu. Rakhmat (1984:69) menambahkan bahwa efek media massa diukur dengan membandingkan dua pengukuran pertama peneliti mengukur agenda media dengan analisis isi yang kuantitatif, atau peneliti menentukan batas waktu tertentu, mengkoding berbagai isi media, dan menyusun (meranking) isi itu berdasarkan panjang (waktu dan ruang), penonjolan (ukuran headlines, lokasi dalam surat kabar, frekuensi pemunculan, posisi dalam surat kabar), dan konflik (cara penyajian bahan). Selanjutnya peneliti mengukur agenda masyarakat dengan menganalisis self-report khalayak. Ia menghitung topik-topik yang penting menurut khalayak. Merangkingnya dan mengkorelasinya dengan ranking isi media. Ia juga menganalisis kondisi-kondisi antara (contingent conditions) yang mempengaruhi proses agenda setting dengan meneliti sifat-sifat stimulus dan karakteristik khalayak. Model Agenda Setting,
menurut Becker, McComb dan Meleod, D
42 George, Winter (dalam Rakhmat (1995:69), yaitu adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan itu. Selanjutnya, model agenda
setting
kemudian dikemukakan dengan gambar berikut : Gambar 2.1 Model Agenda Setting Variabel Media Massa - panjang - penonjolan - konflik
Variabel Antara - sifat stimulus - sifat khalayak
Variabel Efek - pengenalan - salience - prioritas
Variabel Efek Lanjutan - persepsi - aksi
Pada model tersaji diatas dapat dilihat empat konsep, yaitu: variabel media massa, variabel antara, variabel efek, dan variabel efek lanjutan. Variabel media massa diukur dengan menentukan batas waktu tertentu, merancang isi media dan menyusun isi berdasarkan panjang, penonjolan dan konflik. Variabel antara merupakan unsur-unsur yang terdapat pada manusia. Sifat-sifat stimulus menunjukkan karakteristik issues, termasuk jarak issue (apakah issue itu baru muncul atau baru pudar), kedekatan geografis (apakah issue itu bertingkat lokal atau nasional), dan sumber (apakah disajikan pada media yang kredibel atau media yang tidak kredibel). Sifat-sifat khalayak menunjukkan variabel-variabael psikososial, termasuk data geografis, keanggotaan dalam sistem sosial, kebutuhan, sikap, diskusi interpersonal, dan terpaan media (Rakhmat, 2000:69). Menurut Fisher (dalam Rakhmat, 2000:69), proses perantara merupakan intervening process, yaitu proses perhatian, pemahaman dan penerimaan yang terjadi dalam diri individu. Proses perantara ini tidak dijadikan variabel dalam
43 penelitian karena konsep perantara atau mediasi organisme merupakan konsep Black Box, yaitu struktur khusus dan fungsi proses antara internal yang dipandang tidak begitu penting dibandingkan dengan perubahan masukan menjadi keluaran Karena itu, menurut pengertian black-box ini, penjelasan memerlukan pengamatan masukan dan keluaran namun tidak menuntut pengamatan langsung pada kegiatan dalam diri organisme yang bersangkutan. Pemberitaan suatu peristiwa saat diterima individu berdasarkan apa yang dilihat, timbul suatu pemikiran aktif dalam diri individu tersebut. Selama proses berlangsung, individu mengevaluasi pesan yang diterimanya berdasarkan pengetahuan dan sikap yang dimiliki sebelumnya, dan pada akhhirnya akan terjadi perubahan atau terbentuknya sikap yang baru terhadap isu yang disampaikan oleh media. Efek media massa diukur dengan membandingkan dua pengukuran yaitu agenda media dan agenda khalayak. Karena pembaca dan pemirsa serta pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda setting tentu berkaitan dengan masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan kepada orang lain atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian (community salience) Mengenai kondisi-kondisi yang mempengaruhi efek agenda setting, sifat issues dikemukakan menjadi faktor yang mempengaruhi agenda media pada agenda publik (Weaver, 1996). Issues tidak langsung diranking oleh pemilih hampir dengan urutan yang sama seperti yang dilakukan surat kabar dan televisi, sedangkan masalah-masalah ekonomi
44 yang langsung (obstrusive) dianggap lebih penting oleh pemilih daripada oleh surat kabar dan televisi. Weaver juga menemukan bahwa efek dari agenda setting dipengaruhi oleh karakteristik sosial dan motivasi pemilih. (Rakhmat, 2001:68). Dengan demikian kepekaaan pengelola media terhadap issue-issue yang tengah berkembang di tengah masyarakat menjadi penting untuk merumuskan agenda setting.
2.1.5 Aktualisasi Agenda Seting Dalam Analisis Framing Framing atau pembingkaian terhadap isu-isu aktual yang menjadi sorotan redaktur atau wartawan pada dasar bersumber dari agenda setting. Agenda setting tergantungf pada kepekaaan pengelola media terhadap issue-issue yang tengah berkembang di tengah masyarakat. Misalnya, skandal water gate yang
disoroti
oleh media massa secara berulang-ulang dan intensif menyebabkan kejatuhan Presiden Nixon seperti yang diungkapkan oleh Griffin (2003:390) berikut : President Nixon dismissed the break-in as a "third-rate burglary," but over the following year Americans showed an increasing public awareness of Water gate's significance. Half the country became familiar with the word Watergate over the summer. By April 1973 that figure had risen to 90 percent. When television began gavel-to-gavel coverage of the Senate hearings on the matter a year after the break-in, virtually every adult in the United States knew what Watergate was about. Six months after the hearings President Nixon still protested, "1 am not a crook." But by the spring of 1971, he was forced from office because the majority of citizens and their representatives had decided that he was. Presiden Nixon diberhentikan “break-in” sebagai "ketiga tingkat pencurian," tapi selama tahun berikutnya Amerika menunjukkan kesadaran masyarakat meningkat signifikan terhadap skandal water gate. Setengah negara menjadi akrab dengan kata Watergate selama musim panas. Pada April 1973
45 angka itu meningkat menjadi 90 persen. Ketika televisi mulai meliput ketukanketukan palu dari dengar pendapat Senat mengenai masalah ini setahun setelah “break-in”, hampir setiap orang dewasa di Amerika Serikat tahu apa itu seputar Watergate. Sekitar enam bulan setelah dengar pendapat, Presiden Nixon masih protes, "saya bukan penjahat." Tetapi pada musim semi tahun 1971, ia dipaksa dari kantor karena mayoritas warga dan perwakilan mereka telah memutuskan. Terhadap skandal watergate tersebut, Griffin (2003:390) mengemukakan : Journalism professors Maxwell McCombs and Donald Shaw regard Watergate as a perfect example of the agenda-setting function of the mass media. They were not surprised that the Watergate issue caught fire after months on the front page of the Washington Post. McCombs and Shaw believe that the "mass media have the ability to transfer the salience of items on their news agendas to the public agenda. Menurut Griffin, Profesor jurnalisme Maxwell McCombs dan Donald Shaw menganggap Watergate sebagai contoh sempurna dari fungsi agenda-setting media massa. Mereka tidak terkejut bahwa masalah Watergate terbakar setelah berbulan-bulan di halaman depan dari Washington Post. McCombs dan Shaw percaya bahwa "media massa memiliki kemampuan untuk mentransfer artipenting item pada agenda berita mereka dengan agenda publik. Lebih jauh Griffin (2003:391) menjelaskan : Although McCombs and Shaw first referred to the agenda-setting function of the media in 1972, the idea that people desire media assistance in determining political reality-had already been voiced by a number of current events analysts. In an attempt to explain how the United States had been drawn into World War I, Pulitzer Prize-winning author Walter Lippmann claimed that the media act as a mediator between "the world outside and the pictures in our heads." McCombs and Shaw also quote University of Wisconsin political scientist Bernard Cohen's observation concerning the specific function the media serve: "The press may not be successful much of the time in telling people what
46 to think, but it is stunningly successful in telling its readers what to think about. Meskipun McCombs dan Shaw pertama menyebut fungsi agenda-setting media pada tahun 1972, gagasan bahwa orang-orang menginginkan bantuan media dalam menentukan realitas politik -sudah disuarakan oleh sejumlah acara analis saat ini. Dalam upaya untuk menjelaskan bagaimana Amerika Serikat telah ditarik ke dalam Perang Dunia I, penulis pemenang hadiah Pulitzer Walter Lippmann mengklaim bahwa media bertindak sebagai mediator antara "dunia luar dan gambar-gambar di kepala kita." McCombs dan Shaw juga mengutip pengamatan Wisconsin ilmuwan politik Bernard Cohen mengenai fungsi spesifik media melayani: "Pers mungkin tidak berhasil banyak waktu dalam menceritakan orang apa yang harus dipikirkan, tetapi memukau sukses dalam menceritakan pembacanya apa yang harus berpikir mengenai apa. Menurut Griffin (2003:391) : The power of the press in America is a primordial one. It sets the agenda of public discussion; and this sweeping political power is unrestrained by any law. It determines what people will talk and think about-an authority that in other nations is reserved for tyrants, priests, parties and mandarins. Kekuatan pers di Amerika adalah salah satu kekuatan yang primordial. Ini menetapkan agenda diskusi publik; dan kekuatan politik “sweeping” ini tidak dibatasi oleh hukum apapun. Hal ini menentukan apa yang orang akan berbicara dan berpikir tentang-otoritas yang di negara lain disediakan untuk tiran, imam, pesta dan mandarin. Mengenai teori agenda setting, Griffin (2003:391) mengatakan : McCombs and Shaw's agenda-setting theory found an appreciative audience among mass communication researchers. The prevailing selective exposure hypothesis claimed that people would attend only to
47 news and views that didn't threaten their established beliefs. The media were seen as merely stroking preexistent attitudes. After two decades of downplaying the influence of newspapers, magazines, radio, and television, the field was disenchanted with this limited effects approach. Agenda-setting theory boasted two attractive features: It reaffirmed the power of the press while still maintaining that individuals were free to choose. Menurut McCombs dan Shaw, teori agenda-setting menemukan khalayak yang apresiatif di antara peneliti komunikasi massa. Yang berlaku selektif terhadap paparan hipotesis yang mengklaim bahwa orang-orang akan menghadiri hanya untuk berita dan pandangan yang tidak mengancam keyakinan diri mereka. Media hanya dipandang sebagai menyentuh prakondisi sikap. Setelah dua dekade mengecilkan pengaruh surat kabar, majalah, radio, dan televisi, lapangan itu kecewa
dengan
pendekatan
efek
terbatas
ini.
Teori
Agenda-setting
membanggakan dua fitur menarik: Ini menegaskan kembali kekuatan pers dengan tetap mempertahankan bahwa individu bebas untuk memilih. Griffin (2003:391) mengatakan bahwa menurut “McCombs and Shaw's agenda-setting hypothesis represents a back-to-the basics approach to mass communication research.” Artinya, hipotesis agenda-setting merupakan pengembalian pada dasar-dasar pendekatan penelitian komunikasi massa. Griffin (2003:392) pun mengatakan bahwa : Because the agenda-setting hypothesis refers to substantive issues, the researchers discarded news items about campaign strategy, position in the polls, and the personalities of the candidates. The remaining stories were then sorted into fifteen subject categories, which were later collapsed into five major issues. A composite index of media prominence revealed the following order of importance: foreign policy, law and order, fiscal policy, public welfare, and civil rights. Karena hipotesis agenda-setting mengacu pada isu-isu substantif, para
48 peneliti membuang item-item berita tentang strategi kampanye, posisi dalam jajak pendapat, dan kepribadian dari para kandidat. Kisah-kisah yang tersisa kemudian diurutkan ke dalam lima belas kategori subjek, yang kemudian menyerap ke dalam lima isu utama. Sebuah indeks komposit media yang menonjol mengungkapkan urutan penting sebagai berikut: kebijakan luar negeri, hukum dan ketertiban, kebijakan fiskal, kesejahteraan masyarakat, dan hak-hak sipil. In order to measure the public's agenda, McCombs and Shaw asked Chapel Hill voters to on 1ine what each one considered the key issue of the campaign, regardless of what the candidates might be saying. The researchers assigned the specific answers to the same broad categories used for media analysis. They then compared the aggregate data from undecided voters with the composite description of media content. The rank of the five issues on both lists was nearly identical.) Untuk mengukur agenda publik, McCombs dan Shaw meminta Chapel Hill pemilih untuk pada apa masing-masing yang dianggap sebagai isu utama kampanye, terlepas dari apa yang mungkin dikatakan kandidat. Para peneliti yang ditugaskan memberi jawaban secara khusus untuk kategori yang sama menggunakan analisa media. Mereka kemudian membandingkan data agregat dari pemilih belum memutuskan dengan deskripsi komposit konten media. Peringkat dari lima isu di kedua daftar itu hampir identik. Mengacu pada transfer arti penting atribut dalam framing, Griffin (2003:396) mengungkapkan : Well into the 19905, almost every' article about the theory included a reiteration of the agenda-setting mantra-the media aren't very successful in telling us what to think, but they are stunningly success in telling us what to think about in other words, the media make same issues more salient. We think about those issues more and regard them as more important. By the end of the century, however, McCombs was saying that the media do more that. They do., in fact, influence the way we think. The specific process he cites is one that many media scholars discussframing.
49 Hampir setiap artikel 'tentang teori termasuk pengulangan mantra-media agenda-setting tidak sangat sukses dalam memberitahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi mereka sukses memukau dalam memberitahu kita apa yang harus dipikirkan dengan kata lain, media membuat masalah yang sama menjadi lebih menonjol. Kami berpikir tentang isu-isu tersebut lebih banyak dan menganggap mereka sebagai lebih penting. Pada akhir abad ini, bagaimanapun, McCombs mengatakan bahwa media melakukan lebih itu. Yang mereka lakukan, pada kenyataannya mempengaruhi cara kita berpikir. Proses spesifik ia mengutip adalah salah satu yang banyak sarjana media yang membahas pembingkaian (framing). Dalam konteks ini,
Griffin (2003:396) mengemukakan pandangan
penulis teori komunikasi berikut : James Tankard, one of the leading writers on mass communication theory, defines a media frame as "the central organizing idea far news content that supplies a context and suggests what the issue is through the use of selection, emphasis, exclusion, and elaboration. The final four nouns in that sentence suggest that the media not only set the agenda: far what issues, events, or candidates are mast important, they also transfer the salience of specific attributes belonging to those potential objects of interest. Menurut Griffin, James Tankard, salah satu penulis terkemuka pada teori komunikasi massa, mendefinisikan bingkai (frame) media sebagai "ide pengorganisasian konten berita jauh pusat yang memasok konteks dan menunjukkan apa yang masalah melalui penggunaan seleksi, penekanan, pengucilan, dan elaborasi. Akhir dari keempat kata tersebut dalam kalimat itu menunjukkan bahwa media tidak hanya mengatur agenda: tidak hanya mentransfer sejauh apa permasalahan, peristiwa, atau kandidat yang penting, mereka juga mentransfer arti-penting dari atribut khusus milik objek-objek
50 potensial kepentingan. saya sendiri "akhir empat" pengalaman dapat membantu menjelaskan perbedaan. Dalam konteks ini, Griffin (2003:396) mengatakan : We see, therefore, that there are two levels of agenda setting. The first level, according to McCombs, is the transfer of salience of an attitude object in the mass media's pictures of the world to a prominent place among the pictures in our head. The Final Four becomes important to us. This is the agenda-setting function that survey researchers have traditionally studied. Menurut Griffin, selain mengatakan dua level agenda setting, yaitu yang pertama menurut McCombs adalah “transfer of salience of an attitude object in the mass media's pictures of the world to a prominent place among the pictures in our head”; fungsi agenda setting itu sendiri bagi para peneliti menjadi tradisi pembelajaran. Kemudian tentang fungsi kedua agenda setting, Griffin (2003:397) menjelaskan : The second level of agenda setting is the transfer of salience of a bundle of attributes that the media associate with an attitude abject to the specific features of the image projected on the walls of our minds. According to McCombs, the agenda setting of attributes mirrors the process of framing that Robert Entman describes in his article clarifying the concept. Tingkat kedua dari pengaturan agenda adalah transfer salience dari kemasan atribut yang diasosiasikan media dengan sikap untuk fitur tertentu dari gambar yang diproyeksikan pada dinding pikiran kita. Menurut McCombs, pengaturan agenda atribut mencerminkan proses framing itu dijelaskan oleh Robert Entman dalam artikelnya tentang konsep. Lebih jauh, Griffin (2003:397) menjelaskan : To frame is to select some aspects of a perceived reality and make them more salient in a communication text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation and/or treatment recommendation for the item described.
51 Membingkai untuk memilih beberapa aspek dari realitas yang dirasakan dan membuat mereka lebih menonjol dalam teks komunikasi, sedemikian rupa untuk mempromosikan definisi masalah secara khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan atau rekomendasi pengobatan untuk item dijelaskan. Dengan demikian pembingkaian (framing) terkait erat dengan agenda setting yang menjadi kebijakan penerbit pers. Dalam konteks ini, Griffin (2003:397) menjelaskan : Is there evidence that the process of framing as defined by agenda-setting theorists actually alters the pictures in the minds of people when they read the newspaper or tune in to broadcast news? Does the media's construction of an agenda with a cluster of related attributes create a coherent image in the minds of subscribers, listeners, arid viewers? McCombs cites two national election studies in other countries that show this is how framing works, One was conducted in Japan, the other in Spain. I find compelling evidence in a third study conducted by Salma Ghanem for her doctoral dissertation under McCombs supervision at the University of Texas. Pertanyaan yang dajukan Griffin adalah “apakah ada bukti bahwa proses framing seperti yang didefinisikan oleh teori agenda-setting sebenarnya mengubah gambar dalam pikiran orang-orang ketika mereka membaca koran atau mendengarkan untuk menyiarkan berita?” Kemudian ditanyakan juga “Apakah konstruksi media dari agenda dengan sekelompok atribut terkait menciptakan citra yang koheren dalam benak pelanggan, pendengar, pemirsa kering?” McCombs mengutip dua studi pemilihan umum nasional di negara-negara lain yang menunjukkan hal ini adalah cara kerja framing. Salah satunya yang dilakukan di Jepang, yang lain di Spanyol. Saya menemukan bukti kuat dalam penelitian ketiga dilakukan oleh Salma Ghanem untuk disertasi doktornya di bawah pengawasan McCombs di University of Texas. Mengenai penelitian Ghanem ini, Griffin (2003:397) mengungkapkan :
52 Ghanem analyzed the changing percentage of Texans 'who ranked crime as the most important problem facing the country between 1992 and 1995. The figure rose steadily from 2 percent in 1992 to more than onethird of the respondents in 1994, and then dipped back to a still high 20 percent. Ironically, even as public concern about crime was on the rise the first two years, the actual frequency and severity of unlawful acts were actually going down. On the basis of many first level agenda-setting studies like the Chapel Hill research, Ghanem assumed that the increased salience of crime was driven by a media that featured crime stories prominently and often. She found a high correlation (+.70) between the amount of media coverage and the depth of public concern. Menurut keterangan Griffin, Ghanem menganalisis persentase perubahan peringkat kejahatan Texas sebagai masalah paling penting yang dihadapi negara antara tahun 1992 dan 1995. Angka tersebut terus meningkat dari 2 persen pada tahun 1992 menjadi lebih dari sepertiga dari responden pada tahun 1994, dan kemudian mencapai 20 persen. Ironisnya, bahkan ketika perhatian publik tentang kejahatan itu meningkat dua tahun pertama, frekuensi aktual dan tingkat keparahan tindakan melanggar hukum benar-benar akan turun. Atas dasar berbagai tingkat pertama studi agenda-setting seperti penelitian Chapel Hill, Ghanem mengasumsikan bahwa peningkatan salience kejahatan didorong oleh media yang menampilkan cerita-cerita kriminal menonjol dan sering. Dia menemukan korelasi yang tinggi (+ 0,70) antara jumlah liputan media dan kedalaman perhatian publik. Deskripsi ini menunjukkan bahwa pembingkaian (framing) secara signifikan dapat mempengaruhi khalayak. Griffin (2003:397) menambahkan : Ghanem was more interested in tracking the transfer of salience of specific crime attributes-the second level of agenda setting. Of the dozen or so media frames for stories about crime, two bundles of attributes were strongly linked to the public's increasing alarm. The most powerful frame was one that cast crime as something that could happen to anyone. The stories noted that the robbery took place in broad daylight, or the shooting was random and without provocation. ) Menurut Griffin, Ghanem lebih tertarik dalam pelacakan transfer salience kejahatan tertentu atribut-tingkat kedua penetapan agenda. Dari selusin media yang framing-nya untuk cerita tentang kejahatan, dua kemasan atribut yang sangat terkait dengan peningkatan alarm publik. Bingkai (frame) yang paling kuat adalah
53 salah satu yang melontarkan kejahatan sebagai sesuatu yang bisa terjadi pada siapa saja. Dalam perspektif ini, Griffin (2003:397) memaparkan : The second frame was where the crime took place. Out-of-state problems were of casual interest, but when a reported felony occurred locally or in the state of Texas, concern rose quickly. Note that both frames were features of news stories that shrank the psychological distance between the crimes they described and the average citizens 'who read or heard about them many concluded, "I cou1d be next." The high correlations (+.78, +.73) between these media frames and the subsequent public concern suggest that attribute frames make compelling arguments for the choices people make after exposure to the news. Bingkai kedua adalah di mana kejahatan itu terjadi. Out-of-state masalah adalah kepentingan kasual, tapi ketika kejahatan dilaporkan terjadi secara lokal atau di negara bagian Texas, kekhawatiran meningkat dengan cepat. Perhatikan bahwa kedua frame adalah fitur dari berita yang mempersempit jarak psikologis antara kejahatan yang mereka gambarkan dengan warga yang rata-rata membaca atau mendengar tentang mereka banyak yang menyimpulkan, "Saya yang berikutnya." Korelasi yang tinggi (+ .78, .73 +) antara frame media dan perhatian publik selanjutnya menunjukkan bahwa atribute frame membuat argumen menarik untuk pilihan orang membuat setelah terpapar berita. Menurut Griffin (2003:397) “Framing is not an option. Reporters inevitably frame a story by the personal attributes of public figures they select to describe.” Framing bukanlah pilihan. Wartawan pasti membingkai cerita dengan atribut pribadi dari figur publik mereka pilih untuk menjelaskan. McCombs dan Shaw tidak lagi berlangganan komentar klasik Cohen tentang batasan peran agenda-setting media. Mereka sekarang pekerjaan utama mereka dengan versi revisi yang
diperluas untuk
menggambarkan pengaturan fungsi agenda media yang jauh lebih kuat. Karena itu, Griffin (2003: 397) mengatakan “ The media may not only tell us what to think
54 about,They also may tell us how and what to think about it,and perhaps even what to do about it.”Media mungkin tidak hanya memberitahu kita apa yang harus dipikirkan, mereka juga dapat memberitahu kita bagaimana dan apa yang harus berpikir tentang hal ini, dan bahkan mungkin apa yang harus dilakukan tentang hal itu. “The new dimension of framing reopens the possibility of a powerful media effects model. As Ohio State University journalism professor Gerald Kosicki states” (Griffin, 2003 :400) Dimensi baru framing membuka kembali kemungkinan model efek media yang kuat. Seperti Ohio State University profesor jurnalisme Gerald Kosicki menyatakan, “ media "gatekeepers" do not merely keep watch over information, shuffling it here and there. Instead, they engage in active construction of the messages, emphasizing certain aspects of an issue and not others.” Media "gatekeeper" tidak hanya berjaga-jaga atas informasi, menyeret itu di sana-sini. Sebaliknya, mereka terlibat dalam konstruksi aktif pesan, menekankan aspek-aspek tertentu dari masalah dan bukan orang lain. “But Kosicki questions whether framing is event legitimate topic of study under agenda-setting banner. He sees nothing in McCombs and Shaw's original model that anticipates the importance of interpretive frames.(Griffin, 2003 :400) Tapi Kosicki pertanyaan apakah framing adalah event topik yang sah studi di bawah agenda-setting. Dia melihat apa-apa di McCombs dan Shaw model asli yang mengantisipasi pentingnya frame interpretatif. Griffin (2003 :400) mengatakan : Agenda setting as a concept is not limited to the correspondence between salience of topics for the media and the audience. We can also consider the saliency of varioi.ls attributes of these objects (topics, issues, persons or whatever) reported in the media. To what extent is our view of an object shaped or influenced by the picture sketched in the media, especially by those attributes which the media deem newsworthy?
55 Pengaturan sebagai sebuah Agenda Setting tidak terbatas pada korespondensi antara arti-penting topik bagi media dan khalayak. Kita juga dapat mempertimbangkan saliency atribut varian benda-benda (topik, isu, orang atau apa pun) dilaporkan di media. Sampai sejauh mana pandangan kita tentang suatu objek dibentuk atau dipengaruhi oleh gambar sketsa di media, terutama oleh mereka atribut yang dianggap layak diberitakan media? Griffin (2003 :400) juga mengatakan : McCombs' definition of framing appears to be quite specific: "Framing is the selection of a restricted number of thematically related attributions for inclusion on the media agenda when a particular object is discussed." It doesn't seem to include the emotional connotation of key terms used in ongoing public debate of issues such as abortion. The effect on the audience may be quite different if a store is labeled as anti-abortion forces versus freedom of choice rather than right to life advocates versus pro abortion advocates. The definition also seems to exclude presentational factors such as a broadcaster's raised eye brow while saying one of these phrases. Definisi 'framing McCombs tampaknya cukup spesifik: " Framing adalah pemilihan dari sejumlah terbatas atribusi tematis terkait untuk dimasukkan dalam agenda media saat objek tertentu dibahas" Ini tampaknya tidak termasuk konotasi emosional istilah kunci yang digunakan dalam debat publik yang sedang berlangsung dari isu-isu seperti aborsi. Efek pada khalayak mungkin sangat berbeda jika toko diberi label sebagai pasukan anti-aborsi terhadap kebebasan memilih daripada hak untuk pendukung kehidupan dibandingkan pendukung pro aborsi. Definisi ini juga tampaknya mengesampingkan faktor presentasional seperti penyiar menaikkan alis mata sambil mengatakan salah satu frase. Griffin (2003 :401) berpendapat :
56 In contrast, the popularity of framing as an interpretive construct in media studies has resulted in diverse and ambiguous meanings. The way that Stuart Hall and other critical theorists use the term is so elastic that the word seems to refer to anything they don't like. Thus I regard a narrow view of framing as a distinct advantage for empirical media effects research. Yet in recent research on media framing during a Spanish election, McCombs explored the evaluative tone of candidate attributes as well as their selection by the media. If agenda-setting research becomes so all-inclusive that every statement is regarded as a media frame, the theory may lose its focus and vitality. Menurut Griffin, sebaliknya, popularitas framing sebagai konstruk interpretatif dalam studi media telah menghasilkan makna yang beragam dan ambigu. Cara yang Stuart Hall dan teori kritis lainnya menggunakan istilah begitu elastis bahwa kata tampaknya merujuk pada apa yang mereka tidak suka. Jadi saya menganggap pandangan yang sempit framing sebagai keuntungan tersendiri untuk penelitian efek media yang empiris. Namun dalam penelitian baru-baru ini pada media framing selama pemilu Spanyol, McCombs dieksplorasi nada evaluatif calon atribut serta pilihan mereka oleh media. Jika penelitian agendasetting menjadi begitu all-inclusive bahwa setiap pernyataan dianggap sebagai bingkai media, teori mungkin kehilangan fokus dan vitalitas. Akhirnya Griffin (2003 :401) berpandangan: Whether or not we accept a restricted definition of framing, the agendasetting function of the mass media has earned a firm place in mediaeffects literature. McCombs and Shaw have established a plausible case that some people look to print and broadcast news for guidance on which issues are really important. Agenda-setting theory also provides a needed reminder that news stories are just that-stories. The message always requires interpretation. For these reasons, McCombs and Shaw have accomplished the function they ascribe to the media. Agenda-setting theory has a priority place on the agenda of mass communication theory and research. (page.401) Menurut Grifffin, apakah atau tidak kita menerima definisi terbatas dari
57 framing, fungsi agenda-setting media massa telah mendapatkan tempat yang kuat dalam literatur media efek. McCombs dan Shaw telah menetapkan kasus yang masuk akal yang terlihat beberapa orang untuk mencetak dan siaran berita untuk bimbingan yang isu-isu yang benar-benar penting. Teori Agenda-setting juga menyediakan pengingat diperlukan bahwa berita hanya itu-cerita. Pesan selalu membutuhkan interpretasi. Untuk alasan ini, McCombs dan Shaw telah mencapai fungsi mereka mempercayai media. Teori Agenda-setting memiliki tempat prioritas dalam agenda teori komunikasi massa dan penelitian.
2.1.6 Tabloid Tabloid merupakan surat kabar yang memuat berita-berita ringan, dimana pertama kali di Inggris adalah tabloid review yang diterbitkan oleh Daniel Depoe tahun 1784 bentuknya antara tabloid, majalah dan surat kabar, hanya halamannya kecil, serta terbit tiga kali satu minggu. Isinya mencakup berita, artikel, kebijakan nasional, aspek moral dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1790 Richard Stede membuat tabloid The Tatler, setelah itu dia dan Joseph Addison menerbitkan The Spectator. Tabloid tersebut berisi masalah politik, berita-berita internasional serta berita-berita hiburan (teater) dan gosip (Nuraini Juliastuti, 2002: 40). Dari sinilah tabloid berkembang hingga ke Amerika yang dipelopori oleh Benyamin Franklin tahun 1740. Hingga tahun 1821 tabloid berkembang pesat, saat itu nama tabloid tersebut adalah Saturday evening Post dan North American Review. Di Amerika atau negara-negara maju lainnya tabloid dikenal sebagai bacaan kuning atau Yellow paper, yang hanya memuat berita-berita ringan.
58 Akibat perkembangan teknologi komunikasi, tabloid berkembang di Indonesia tahun 1986, pertama kali yang terbit adalah tabloid bola, kemudian berkembang tidak hanya menyajikan berita-berita sepak bola tetapi juga menyajikan berita-berita selebritis baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dipelopori oleh Arswendo Atmowiloto (Nuraini Juliastuti, 2002:42). Tabloid merupakan media yang paling simpel organisasinya, mudah mengelolanya, serta tidak membutuhkan modal banyak, maka tabloid dapat diterbitkan oleh setiap kelompok masyarakat, tetapi dalam hal ini tabloid merupakan salah satu bentuk media massa khususnya media cetak, dimana fungsi media massa adalah menyiarkan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Untuk itulah tabloid juga mempunyai fungsi sama dengan media masa yang lainnya. Tabloid menurut Depdiknas (2008:1581) adalah surat kabar ukuran kecil (setengah dari ukuran surat kabar biasa) yang banyak memuat berita secara singkat, padat, dan bergambar, mudah dibaca umum; surat kabar sensasi; surat kabar kuning; tulisan dalam bentuk ringkas dan padat (tentang kritik paparan, dan sebagainya). Tabloid juga dapat diartikan sebagai barang cetakan yang bentuknya setengah dari surat kabar harian dan umumnya full color. Tabloid adalah istilah suatu format dari surat kabar, dengan waktu penerbitan non harian, bisa mingguan atau dwimingguan. Tabloid memiliki ukuran, bahan, ketebalan bentuk yang menyerupai surat kabar, hanya saja umumnya disajikan full color. Gaya desain maupun gaya penulisan dari tabloid tidak seformal surat kabar. Sirkulasi tabloid tidak secepat surat kabar yang terbit
59 harian, sehingga berita yang ditampilkan bisa lebih personal dan mendetail dan disajikan dengan gaya jurnalistik yang khas. Dari pemaparan diatas, maka secara sederhana tabloid dapat diartikan sebagai surat kabar ukuran kecil (setengah dari ukuran surat kabar biasa) yang banyak membuat berita secara singkat, padat dan bergambar, mudah dibaca umum, selain itu tabloid merupakan tulisan dalam bentuk ringkas dan padat (tentang kritik, paparan dan sebagainya). Tabloid disini dikategorikan sebagai majalah, karena tipe suatu majalah ditentukan oleh khalayak yang dituju. Maksudnya redaksi sudah menentukan siapa yang akan menjadi pembacanya apakah petani, nelayan, atau pengusaha bisnis. Dengan demikian tabloid lebih mengacu pada sasaran khalayaknya, karena tabloid banyak jenisnya, misalnya tabloid Sinar Tani, isi dari tabloid tersebut adalah menginformasikan tentang perkembangan pertanian/agribisnis dan perkembangan
industri pertanian di Indonesia. untuk itulah fungsi tabloid sesuai sasaran khalayak yang dituju karena sejak awal redaksi sudah menentukan siapa yang akan menjadi pembacanya apakah petani, nelayan, atau pengusaha. Jadi fungsi tabloid berbeda satu dengan lainnya.
Dalam sebuah rubrik di tabloid sering menghadirkan variasi bahasa yang bermacam-macam. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan topik pembicaraan yang terdapat pada setiap rubrik. Penelitian ini hanya difokuskan pada editorial tentang hortikultura.
60 2.1.7 Editorial Editorial sebenamya bukanlah kolom yang paling dicari pembaca Ketika berhadapan dengan media cetak, misalnya saja surat kabar, orang cenderung akan terfokus pada informasi utama. Jarang sekali, kalau boleh dikatakan demikian, ditemukan orang yang langsung mencari dan membaca kolom editorial Fakta tersebut pulalah yang mungkin menyebabkan kebanyakan media cetak tidak menaruh editorial pada halaman muka tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Dalam format surat kabar skala nasional, "Media Indonnsia" tercatat sebagai salah, satu dari segelintir surat kabar yang memilih meletakkan kolom editorialnya pada halaman depan. Sementara dalam format majalah, "GetLife" boleh disebut sebagai yang cukup mengedepankan kolom tersebut; Anda akan langsung menatapnya begitu membuka kovemya. Kolom editorial memang tidak selalu hadir dengan nama editorial. Masing-masing media cenderung memberi nama yang perbeda sebagai ciri khas medianya. Ada yang menyebutnya sebagai "Dari Kami" (Intisari), "Readmefirst" (GetLife), "Prologue" (PC Media), "Mata" (Matabaca), "Dari Meja Redaksi" (Buletin Pillar). Sementara "Kompas" menyebutnya "Tajuk Rencana", "Seputar Indonesia" "Tajuk". Adapun "Media Indonesia" dan "Berita GKMI" termasuk yang masih memakai nama "editorial" pada kolom tersebut. Pandangan editorial sebagai salah satu tulisan yang mengekspresikan opini tercermin dalam pendapat Meyer Sebranek dan Pave Kemper. Opini tersebut menjadi suatu reaksi terhadap berita-berita terkini, kejadian atau isu-isu yang merisaukan.
61 Portland Oregonian, mengatakan bahwa tujuan menulis editorial bukanlah untuk membujuk atau meyakinkan, melainkan untuk membantu para pembaca menentukan pendapat mereka sendiri tentang berbagai isu. Landaver mengatakan bahwa halaman editorial adalah memberikan informasi, analisis, dan rekomendasi yang membantu para pembaca menentukan sendiri di mana mereka berada. Tujuan sebuah editorial adalah membut orang berpikir dan jika seorang penulis editorial beranggapan, bahwa tujuannya mempengaruhi opini, ia tidak akan tidur semalaman. Rahasia editorial yang baik adalah apakah editorial itu mengundang kritik atau memberikan pujian?. Pertama menjelaskan informasi (Exoplining Information) yaitu mengajarkan atau menjelaskan kepada pembaca bahwa mereka dapat berperan dalam banyak editorial. Prinsip menjelaskan yang baik adalah kejelasan, kesempurnaan, dan ketepatan.
Dalam penjelasan, penekanan bukan pada pengalaman atau penilaian seseorang, melainkan pada penyajian fakta dan gagasan yang objektif dan tanpa prasangka. Kedua, meyakinkan pembaca (persuading the Readers) melalui metode-metode persuasif dibagi ke dalam tiga klasifikasi umum, yaitu penalaran deduktif, penalaran induktif, dan kombinasi keduanya. Ketiga, menilai peristiwa (Evaluating Event) selainmenjelaskan dan keyakinan (persuasif), editorial bisa juga memulai: peristiwa. Berbeda dengan penjelasan yang menyajikan fakta-fakta objektif dan bisa dibuktikan, penilaian bersifat subjektif sebagai ungkapan suatu sudut pandang yang tidak diverifikasi secara bebas, penilaian.tetap merupakan persoalan penilaian. Tugas utama para penulis adalah memberikan informasi dan bimbingan
ke
arah
pertimbangan-
pertimbangan
yang
esensial
dalam
62 melaksanakan fungsi demokrasi yang sesungguhnya. Dengandemikian, penulis editorial harus menjaga integritasnya dan integritas profesinya dengan menjalankan petunjuk di bawah ini: Pertama; penulis editorial hams menyajikan fakta-fakta yang jujur dan tuntas. Kedua, Penulis editorial harus mengambil kesimpulan objektif dari fakta-fakta yang disajikan, berdasarkan bobot bukti dab berdasarkan konsep yang menurutnya bagus. Ketiga, penulis editorial tidak dibenarkan
terpengaruh
oleh
kepentingan
pribadi
atau
memanfaatkan
pengaruhnya untuk kepentingan pribadi atau orang lain, dia harus menyuarakan kepada mereka yang tidak setuju dengannya di dalam kolom surat pembaca atau dengan alat-alat lainnya. Keempat, penulis editorial secara teratur harus menyadari bahwa dirinya tidak sempuma. Kelima, penulis editorial secara teratur harus mengulas kesimpulannya sendiri dalam ikatannya dengan informasi yang dapat diperolehnya. Keenam, penulis editorial .harus punya keberanian yang teguh dan filosofi hidup demokrasi. Ketujuh, penulis editorial harus. membantu temannya dalam konteks kesetian terhadap integritas takaran profesionalisme yang tinggi.
2.1.8 Hortikultura Hortikultura berasal dari kata hortos: yang berarti kebun dan corele; yang berarti mengusahakan (budidaya), jadi Hortikultura merupakan penguasaan khusus meliputi tanaman sayur-sayuran, tanaman hias, dan tanaman buah-buahan yang mencakup aspek : bercocok tanam, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit (Setiawan, 2007:23). Adapun dalam GBHN 1993-1998 selain buah-
63 buahan, sayuran dan tanaman hias, yang termasuk dalam kelompok hortikultura adalah tanaman obat-obatan. Ditinjau dari fungsinya tanaman hortikultura dapat memenuhi kebutuhan jasmani sebagai sumber vitamin, mineral dan protein (dari buah dan sayur), serta memenuhi kebutuhan rohani karena dapat memberikan rasa tenteram, ketenangan hidup dan estetika (dari tanaman hias/bunga). Peranan hortikultura adalah : a). Memperbaiki gizi masyarakat, b) memperbesar devisa negara, c) memperluas kesempatan kerja, d) meningkatkan pendapatan petani, dan e)pemenuhan kebutuhan keindahan dan kelestarian lingkungan. Namun dalam kita membahas masalah hortikultura perlu diperhatikan pula mengenai sifat khas dari hasil hortikultura, yaitu : a). Tidak dpat disimpan lama, b) perlu tempat lapang (voluminous), c) mudah rusak (perishable) dalam pengangkutan, d) melimpah/meruah pada suatu musim dan langka pada musim yang lain, dan e) fluktuasi harganya tajam (Notodimedjo, 1997: 38). Dengan mengetahui manfaat serta sifat-sifatnya yang khas, dalam pengembangan hortikultura agar dapat berhasil dengan baik maka diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam terhadap permasalahan hortikultura tersebut. Hortikultura adalah komoditas yang akan memiliki masa depan sangat cerah melirik dari keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya dalam pemulihan perekonomian Indonesia waktu mendatang. Oleh karenanya kita harus berani untuk memulai mengembangkannya pada saat ini. Seperti halnya negaranegara lain yang mengandalkan devisanya dari hasil hortikultura, antara lain Thailand dengan berbagai komoditas hortikultura yang serba Bangkok, Belanda
64 dengan bunga tulipnya, Nikaragua dengan pisangnya, bahkan Israel dari gurun pasirnya kini telah mengekspor apel, jeruk, anggur dan sebagainya. Pengembangan hortikultura di Indonesia pada umumnya masih dalam skala perkebunan rakyat yang tumbuh dan dipelihara secara alami dan tradisional, sedangkan jenis komoditas hortikultura yang diusahakan masih terbatas. Apabila dilihat dari data selama Pelita V pengembangan hortikultura yang lebih ditekankan pada peningkatan keragaman komoditas telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, yaitu pada periode 1988 – 1992 telah terjadi peningkatan produktivitas sayuran dari 3,3 ton/ha menjadi 7,7 ton/ha, dan buahbuahan dari 7,5 ton/ha menjadi 9,9 ton/ha (Amrin Kahar, 1994:52). Terjadinya
peningkatan
tersebut
dapat
dikatakan
bahwa
petani
hortikultura merupakan petani yang responsif terhadap inovasi teknologi berupa : penerapan teknologi budidaya, penggunaan sarana produksi dan pemakaian benih/bibit yang bermutu. Tampak disini bahwa komoditas hortikultura memiliki potensi untuk menjadi salah satu pertumbuhan baru di sektor pertanian. Oleh karena itu dimasa mendatang perlu ditingkatkan lagi penanganannya terutama dalam menyongsong pasar bebas abad 21.
2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ini berusaha mengamati frame yang dibentuk oleh Tabloid Sinar Tani dalam membingkai editorialnya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan model Gamson dan Modigliani untuk mengamati pembingkaian editorial Tabloid Sinar Tani. Dalam penelitian analisis framing, salah satu paradigma
65 pemikiran yang tidak boleh hilang adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pandangan konstruksionis, media, dan wartawan, itu sendiri dilihat seperti berikut ini:
Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Pembingkaian
Editorial
tentang
Hortikultura
merupakan
proses
pembingkaian tentang daya saing hortikultura pada editorial tabloid sinar tani yang dianalisis melalui dua turunannya, yaitu simbol berupa framing device (Perangkat Framing) dan reasoning device (Perangkat Penalaran). Sedangkan Tabloid Sinar Tani merupakan obyek penelitian yang hanya di fokuskan pada editorial tentang hortikultura edisi januari sampai desember 2013.
Sementara dalam konsep framing dimana framing memiliki dua aspek penting yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan, apa yang dipilih dan apa yang dibuang. Bagian mana yang ditekankan dalam realitas dan bagian mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana yang tidak diberitakan. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak.
66 Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Sehingga dengan menggunakan pendekatan konstruksionis dalam penelitian analisis framing dengan menggunakan model Gamson dan Modigliani, penulis dapat mengamati pembingkaian editorial Tabloid Sinar Tani. Adapun perangkat framing yang digunakan dalam model Gamson dan Modigliani terbagi kedalam dua bentuk perangkat berupa framing device (Perangkat Framing) dan reasoning device (Perangkat Penalaran). Dalam analisa framing device ini terdapat beberapa “turunan”, yaitu metafora, berupa
perumpamaan atau pengandaian, catchphrases merupakan
slogan slogan yang harus dikerjakan, exemplar mengaitkan bingkai dengan contoh, teori atau pengalaman masa silam. Depiction pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif.
penggambaran
atau
Visual image adalah gambar gambar
yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Sedangkan pada Reasoning device (Perangkat Penalaran), ada roots memperlihatkan analisis sebab-akibat, appeals to principles merupakan premis atau klaim moral dan consequences merupakan efek atau konsekwensi yang didapat dari bingkai. Framing device (Perangkat Framing) menunjuk pada penyebutan Pembatasan Impor Hortikultura, sedangkan reasoning device menunjuk pada analisis sebab-akibat berupa dengan pembatasan impor hortikultura berdampak pada daya saing hortikultura.
67 Berdasarkan
pendekatan
teoritik
yang
dikemukakan maka
dibangun kerangka pemikiran dengan gambar berikut: Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Fakta dan Peristiwa
Pembingkaian Editorial
Tabloid Sinar Tani
Editorial tentang hortikultura
Analisis Framing Model Gamson dan Modigliani Framing Device (Perangkat Framing) 1. 2. 3. 4. 5.
Metaphors Catchphrases Exemplaar Depiction Visual images
Reasoning Device (Perangkat Penalaran) 1. Roots 2. Appeals to principle 3. Consequences
Hasil Analisis