BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Akulturasi Menurut Sayegh dan Lasry (1993), istilah akulturasi diperkenalkan oleh Antropolog Amerika di awal tahun 1880 untuk menggambarkan proses perubahan budaya antara dua kelompok budaya yang berbeda dan saling berhubungan. (Jasinskaja-Lahti ja, 2000 : 6). Kemudian pada tahun 1936 Redfield, Linton dan Herskovit mengemukakan definisi klasik mengenai akulturasi : "Acculturation comprehends those phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continous first-hand contact, with subsequent change in the original culture patterns of either or both groups". Dalam pengertian ini dinyatakan bahwa akulturasi meliputi fenomena pada kelompok individu yang memiliki budaya berbeda, budaya tersebut masuk secara langsung dan terus menerus sehingga terjadi perubahan pada budaya asli. Perubahan tersebut dapat terjadi pada salah satu kelompok maupun pada kedua kelompok. Definisi Redfield dkk., tersebut dikembangkan oleh Dewan Penelitian Ilmu Sosial sebagai berikut: "Culture change that is initiated by the conjunction of two or more autonomous cultural systems. Acculturative change may be the consequence of direct cultural transmission ; if may be derived from nonculturul causes, such as ecological or demographic modification induced by an impinging culture ; it may be delayed, as with internal adjustments following upon the acceptance of alien traits or patterns ; or it may be a reactive adaptation of
10
traditional modes of life. Its dynamics can be seen as the selective adaptation of values systems, the processes of integration and differentiation, the generation of developmental sequences, and the operation of roles determinants and personality factors ".
Sesuai dengan definisi tersebut. Berry (1990) mengatakan akulturasi meliputi suatu hubungan, scbuah proses dan suatu kcadaan yaitu ; adanya kebutuhan untuk memiliki aktivitas yang dinamis selama dan sclelah terjadinya hubungan langsung yang terus menerus atau adanya interaksi antara budaya, dan ada hasil pada proses yang relatif stabil, tapi ada juga perubahan langsung dalam proses yang terus menerus. Jadi pada awalnya akulturasi dipahami sebagai proses hubungan dua arah dengan terjadinya perubahan dalam kedua kelompok. Konsep akulturasi pada mulanya merupakan bagian dari disiplin ilmu antropologi dan sosiologi, dan sering membicarakan tentang fenomena budaya kelompok, termasuk individu dan hubungan masyarakat. Kemudian hal tersebut dimasukan dalam psikologi antar budaya (cross cultural psychology). Kelompok dan individu dibedakan dengan jelas, kemudian diperkenalkan istilah '"psychological acculturation" untuk menggantikan antropologi yang menggunakan istilah akulturasi. Perbedaan ini dibuat oleh Graves, 1967. Ia menggambarkan proses penyesuaian psikologis sebagai perubahan pada pengalaman individu yang mengakibatkan adanya hubungan dengan budaya lain, dan sebagai hasil partisipasi dalam proses tingkat kelompok akulturasi budaya atau kelompok etnik yang dilalui.
11
Sam (1994) menyatakan bahwa akulturasi sebagai aplikasi untuk akulturasi individu, akulturasi yang terakhir dikonsepkan dalam disiplin psikologi sebagai sebuah proses resosialisasi meliputi ciri-ciri psikologis seperti ; perubahan dalam sikap, nilai-nilai dan identifikasi, keahlian pada keterampilan sosial baru dan norma, perubahan dalam rekomcndasi dan afiliasi anggota kelompok serta penyesuaian atau adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Dalam penelitian akulturasi anak jalanan akan dapat diketahui proses resosialisasi anak jalanan yang meliputi sikap, nilai-nilai dan identifikasi, keterampilan sosial baru dan norma, hubungan dengan anggota kelompok anak jalanan dan penyesuaian diri mereka terhadap lingkungan jalanan.
B. Model Akulturasi dan Perilaku Anak Jalanan Model akulturasi memiliki dua aspek, yaitu : 1.
Tingkat keinginan mereka untuk memelihara identitas dan kebiasaan budaya asli mereka.
2.
Tingkat keinginan mereka untuk berhubungan dengan kelompok lain dalam masyarakat (http://www.cic.sfu.ca./forum/)
Berry menyatakan bahwa ada empat model akulturasi, yang dikenal sebagai model akulturasi, yakni : 1.
Integration, yaitu ; memperkuat identitas kebudayaan sendiri ketika melakukan hubungan dengan kelompok lain.
12
2.
Separation, yaitu ; memperkuat identitas kebudayaan sendiri dan menghindari hubungan dengan kelompok lain.
3.
Assimilation, yaitu ; menghilangkan identitas kebudayaan sendiri dan masuk dalam masyarakat yang luas.
4.
Marginaltzation, yaitu ; relatif sedikit berhubungan dengan budaya sendiri atau budaya orang lain. Cenderung membentuk budaya baru.
Menurut peneliti pendapat yang dikemukakan oleh Berry dapat disimpulkan yaitu
tergantung
bagaimana
cara
individu
di
dalam
mempertahankan
kebudayaannya sendiri ataupun sebaliknya yaitu menerima suatu kultur atau budaya lain yang baru dikenal untuk dapat digabungkan budayanya sendiri dan budaya yang baru. Tidak menutup kemungkinan bahwa individu atau kelompok dapat menghilangkan identitas kebudayaannya sendiri.
13
Gambar 2.1 : Model Akulturasi dan Perilaku Anak Jalanan, gabungan dari Yuping Liu dan Departemen Sosial RI Faktor Lingkungan : Jalan
Memelihara hubungan dengan kelompok mayoritas
Akulturasi Menelihara budaya asli? Ya Ya Tidak Integrasi Assimilasi Tidak Separasi Marginalisasi
Seleksi Agen Sosialisasi Lingkungan Primer : Keluarga Sekolah Masyarakat
Model Penguat Interaksi Sosial
Dari Berubah vs Lestari
Sosialisasi Anak Jalanan: - Apa yang dipelajari - Bagaimana mempelajari
Prilaku Anak Jalanan
Model akulturasi jika digabungkan dcngan perilaku anak jalanan akan diperoleh seperti gambar 2.1. (Liu : 2000 : 3). Model ini pada mulanya digunakan oleh Yuping Liu dalam teori model akulturasi dan prilaku konsumen yang kemudian dielaborasi dengan model situasi sosial yang digunakan oleh Departemen Sosial RI, sehingga menjadi teori model akulturasi dan prilaku anak jalanan. Dari gambar di atas dapat dielaborasi menjadi dua bagian : 1. Belajar Menggunakan Budaya Baru ; Perspektif Sosialisasi Anak Jalanan Anak yang sudah turun ke jalan akan bersosialisasi dengan lingkungan
14
jalanan. Dalam sosialisasi tersebut mereka mempelajari budaya yang ada dalam lingkungan baru tersebut. Sosialisasi akan dilihat dari tiga pendekatan, yaitu
;
pendekatan
perkembangan
kognitif
pendekatan
komunikasi
interpersonal dan pendekatan belajar sosial. Konsep pendekatan belajar sosial adalah belajar melalui agen sosialisasi dalam hal nilai-nilai, sikap dan pengetahuan yang dibawa oleh individu dalam bersosialisasi. Menurut O'guinn dan Faber (BKSN, 2000 : 7) bahwa agen sosialisasi yang terpenting adalah keluarga, teman sebaya, media massa dan institusi sosial. Kemajuan sosialisasi anak jalanan akan dipengaruhi oleh agen sosialisasi melalui modelling, reinforcement dan interaksi sosial. Agen sosialisasi akan membawa pengaruh yang berbeda dalam sosialisasi individu. Informasi dan penerimaan yang diperoleh individu cendrung berbeda. Agen sosialisasi dalam hal ini adalah: a.
Keluarga, sekolah dan masyarakat (lingkungan sosial utama) Keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap individu. Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia. Keluarga menjadi tempat belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial dalam bennteraksi dengan kelompoknya. Di dalam keluarga akan terjadi pembentukan norma sosial, internalisasi norma dan sebagainya. (Gerungan, 1996 : 180). Anak jalanan yang memiliki keluarga utuh dan memperoleh perhatian orang tua, mendapatkan pendidikan yang cukup dan kasih sayang secara teoritis akan terhindar dari pengaruh kelompok sosial
15
jalanan. Demikian sebaliknya bagi anak jalanan yang berada dalam keluarga broken home alau terlepas dan ikatan keluarga, maka mereka akan pasrah terhadap pengaruh lingkungan jalanan. Keluarga, sekolah dan masyarakat, tempat keluarga anak jalanan tinggal merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak, sebelum perubahan-perubahan yang terjadi menyebabkan seorang anak keluar dari lingkungan sosial dan menjadi anak jalanan. Perubahan-perubahan tersebut antara lain ; kesulitan ekonomi keluarga, perceraian orang tua, biaya sekolah yang tinggi, atau penolakan warga masyarakat sekitarnya yang menyebabkan anak-anak menjadi korban dan tidak lagi dapat hidup layak untuk dapat tumbuh kembang secara wajar. b.
Lingkungan jalanan secara umum Lingkungan jalanan merupakan lingkungan kedua bagi anak jalanan. Di jalanan anak berinteraksi dcngan berbagai orang baik sebagai pribadi maupun wakil lembaga. Mereka antara lain pemegang otoritas jalanan/public spaces sepcrti petugas DLLAJ, kepala Stasiun, Kepala Terminal, Polisi, Petugas Kamtib, para pekerja LSM, dan berbagai pihak lainnya. Proses interaksi ini dapat menghasilkan bentuk-bentuk kepribadian tertentu bagi anak jalanan misalnya, bagi anak jalanan yang baru dirazia ia merasakan pengalaman traumatis, sedangkan yang sudah biasa dirazia, ia menganggap sebagai pengalaman biasa. Bagi yang sudah kenal dengan polisi malah menjadi pelindung mereka dari eksploitasi preman. Anak juga berinteraksi dengan berbagai norma dari pemegang
16
otoritas jalanan serta bentuk-bentuk perlawanan terhadapnya. Mereka biasa main kucing-kucingan bila melihat petugas atau mereka terpaksa ditangkap petugas dan dibawa ke penampungan. c.
Lingkungan jalanan secara khusus Yang dimaksud dengan lingkungan jalanan secara khusus adalah kehidupan kaum marginal. Jalanan adalah ruang yang terbuka, dimana siapapun bisa masuk dan mengadu nasib. Jenis-jenis pekerjaan di jalan tidak membutuhkan prasyarat formal, kecuali kondisi fisik yang kuat, keberanian, dan modal usaha yang tidak terlalu banyak. Karena bersifat terbuka dan longgar terhadap norma sosial, maka ragam pekerjaan mereka bervariasi baik positif maupun negatif. Pemulung, pengamen, pengasong tergolong positif, sedangkan pemalak, penodong, pemeras, preman, pelacur jalanan dianggap negatif. Anak jalanan dengan kemampuan yang terbatas untuk mcnilai, sulit membedakan antara positif dan negatif, sehingga ada beberapa perilaku yang terinternalisasi dalam pola prilaku mereka yang juga didorong untuk survival. (BKSN, 2000 : 28) Adanya kehidupan kaum marginal juga menjadi situasi tandingan bagi anak jalanan sehingga meskipun ada tekanan dari pemegang otoritas jalanan, mereka selalu mendapat tempat dimana keberadaan mereka dapat diterima dan seolah-olah mengesahkan sikap dan nilai-nilai yang dianutnya. Lebih spesifik dari kaum marginal adalah kehidupan kelompok sebaya diantara anak-anak jalanan. Rata-rata anak jalanan
17
hidup dalam suatu kelompok yang terbentuk karena kesamaan asal daerah,
kesamaan
kesenangan,
dan
jenis
pekerjaan,
sebagainya.
kesamaan
Dalam
nasib,
kelompoknya
kesamaan mereka
mengembangkan cara/strategi agar dapat terus hidup di jalanan, mampu bersaing, dan menguasai wilayah pekerjaan. Tidak jarang mereka menciptakan suatu subkultur yang diadopsi dari kultur jalanan, misalnya menggunakan anting-anting, tato, menciptakan bahasa, mencari ruang dan cara yang aman jika tidur seperti diatas pohon misalnya, dan sebagainya. (BKSN, 2000 : 29). d.
Institusi Sosial. Agen sosialisasi lainnya yang berperan dalam akulturasi anak jalanan adalah sekolah dan institusi lainnya yang berhubungan dengan anak jalanan, seperti rumah singgah. Kedua institusi ini pada dasarnya bermaksud untuk memberikan perlindungan kepada individu agar terhindar dari pengaruh negatif dalam akulturasi. Namun peran institusi ini tidak sekuat agen sosialisasi lainnya. Pendekatan belajar sosial memudahkan pemahaman kita bagaimana individu belajar berakulturasi dengan budaya baru. Setiap individu akan memperoleh akulturasi yang berbeda dari agen sosialisasi, tergantung bagaimana pandangan dan penerimaan individu terhadap budaya baru tersebut.
18
2.
Perubahan versus Pertahanan Perubahan dan pertahanan merupakan tema yang penting terhadap perkembangan individu. Pada waktu yang sama individu bisa berintegrasi dan ada juga kebutuhan untuk mempertahankan din dari proses perubahan. Ketika individu masuk dalam kebudayaan baru ia lebih menyukai pengalaman dengan perubahan terhadap akulturasi, khususnya ketika budaya asli jauh berbeda dengan budaya baru. (Liu, 2000 : 19). Penting bagi individu berinteraksi dengan perubahan yang ada dan dalam waktu yang sama memelihara budaya aslinya.
C
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akulturasi Banyak faktor yang dapat mempengaruhi akulturasi anak jalanan. Faktorfaktor yang diuraikan berikut ini dilihat dari perspektif akulturasi psikologi (psychological acculturation), diantaranya (http://www.cic.sfu.ca/forums/Tung March, 1998). 1.
Peralihan perilaku (Behavioral Shift), yang terdiri dari : a. Mempelajari budaya Ketika berinteraksi dengan lingkungan jalanan, banyak budaya baru yang ditemui oleh anak jalanan. Tanpa disadari, budaya baru tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Budaya baru ini masuk melalui proses belajar dalam bentuk pengamatan, ingatan, reproduksi motoris, penguatan dan motivasi (Knoers dan Haditono, 1998 :126).
19
Proses belajar terjadi secara terus menerus, sehingga terjadi akulturasi pada individu. b.
Pergantian budaya Perubahan sosial membawa dampak terhadap perubahan budaya lokal. Budaya baru yang dibawa oleh perubahan sosial tersebut secara perlahan merubah budaya lokal/budaya asli. Hal ini dinamakan dcngan pergantian budaya.
c.
Konflik budaya Konflik budaya sering terjadi ketika bertemu dua kelompok yang memiliki budaya berbeda. Budaya kelompok mayoritas akan mendominasi dan menekan individu dalam berperilaku. Sehingga budaya minoritas secara perlahan tergusur dan bahkan hilang dari komunitas aslinya. Konflik budaya ini memiliki dimensi yang sangat luas, karena banyak kepentingan yang turut memicu terjadinya konflik budaya. Jadi secara umum konflik budaya muncul karena rekayasa sosial dan perubahan alamiah.
2.
Acculturative stress, terdiri dari : a.
Penilaian terhadap rnasalah Ketegangan yang muncul dalam masyarakat melahirkan penilaian yang berbeda pada setiap individu. Ketika individu melihat bahwa rnasalah yang muncul disebabkan oleh ketegangan yang berasal dari budaya asli, maka pada akhirnya muncul penilaian
20
negatif terhadap budaya asli tersebut. Penilaian budaya ini bisa berdampak terhadap perubahan perilaku individu dalam kelompok. b.
Stressors Ketegangan budaya sering terjadi di masyarakat. Penyebab ketegangan ini mendorong terjadinya akulturasi dalam masyarakat. Secara umumnya penyebabnya adalah ; fluktuasi ekonomi, konflik sosial, rezim otoriter, bencana alam dan berbagai hal yang menyebabkan munculnya ketegangan dalam masyarakat. Dalam upaya mcmpertahankan kehidupannya, masyarakat yang minoritas atau kelompok lemah mengalami penyesuaian perilaku dengan budaya baru.
c.
Fenomena stress Ketegangan secara fenomenal merupakan gejala umum yang terjadi pada masyarakat terbuka atau daerah urban. Mereka tidak bisa menghindar dari ketegangan yang muncul secara komunal. Pada akhirnya akulturasi menjadi alternatif bagi mereka untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
3.
Adaptasi sosiokultural, yaitu : a.
Pengetahuan budaya, keahlian sosial
b.
Hubungan interpersonal dan intergroup
c.
Keluarga dan hubungan masyarakat
21
D. Anak Jalanan 1.
Pengertian Anak Jalanan Jika dilihat dari The Minimum Ages Convention No. 138 (1973),
pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Dalam Conventionon The Right of the Child (1989) disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah Sementara itu dalam UndangUndang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Akan tetapi walaupun seseorang belum genap berusia 12 tahun, namun apabila ia sudah pernah kawin maka dia tidak lagi berstatus anak, melainkan orang yang sudah dewasa. (Prinst, 1997 : 79). Secara umum konsep yang dibuat oleh Departemen Sosial RI tentang anak jalanan yang dihasilkan dari Lokakarya Kemiskinan dan Anak Jalanan, tanggal 25 - 26 Oktober 1995 menyatakan : "Anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian waklunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya". (BKSN, 2000 : 23). Kemudian definisi tersebut dikembangkan oleh Johannes pada seminar tentang pemberdayaan anak jalanan yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung pada bulan Oktober 1996 yang mengatakan bahwa anak jalanan adalah : "Anak yang menghabiskan sebagian waktunya di jalanan, baik untuk bekerja maupun tidak, yang terdiri dari anakanak yang mempunyai hubungan dengan keluarga, dan anak yang hidup
22
mandiri sejak masa kecil karena kehilangan orang tua/keluarga". (BKSN, 2000 : 23). Pada penelitian ini, peneliti memberikan definisi anak jalanan, yaitu ; anak yang berusia antara umur 11 - 14 tahun dan menghabiskan sebagian waktunya di jalan, baik untuk bekerja maupun hidup dan tinggal di jalan. 2. Anak Jalanan Sebagai Remaja 1)
Tugas Perkembangan Remaja a.
Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita
b.
Mencapai peran sosial pria dan wanita
e.
Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
d.
Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
e.
Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orangorang dewasa lainnya
f.
Mempersiapkan karier ekonomi
g.
Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
h.
Memperoleh peringkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi (Harlock, 1996 : 207)
23
2) Ciri-ciri Masa Remaja a.
Masa remaja sebagai periode yang penting Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan
cepatnya perkembangan mental yang cepat terutama pada masa awal remaja.
Semua
perkernbangan
itu
menimbulkan
perlunya
penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru. b.
Masa remaja sebagai periode peralihan
c.
Masa remaja sebagai periode perubahan
d.
Masa remaja sebagai usia bermasalah
e.
Masa remaja sebagai masa mencari identitas
f.
Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa". 3.
Ciri-ciri Anak Jalanan Anak-anak jalanan pada umumnya memiliki ciri-ciri fisik dan psikis yang mudah dikenali, seperti uraian berikut ditambah dengan ciri lainnya. (BKSN, 2000 : 24)
24
Tabel 2.1 Ciri-ciri Anak Jalanan Ciri Fisik 1. 2. 3. 4.
Warna kulit kusam Pakaian tidak terurus Rambut kusam Kondisi badan tidak terurus
Ciri Psikis 1. 2 3. 4. 5.
Tidak peduli Perpindahan tinggi Peka Kreatif Semangat hidup tinggi
6. 7. 8.
Berwatak keras Berani mengambil resiko Mandiri
Sumber : BKSN, 2000 : 24 Selain itu, ada ciri umum yang biasa digunakan oleh Departemen Sosial, yaitu : a.
Usia berkisar antara 6-18 lahun.
b.
Intensitas hubungan dengan keluarga (masih berhubungan teratur setiap harinya, frekuensi berkomunikasi dengan keluarga kurang misalnya seminggu sekali, sama sckali tidak ada komunikasi dengan keluarga).
c.
Waktu yang dihabiskan di jalanan rata-rata lebih dari 4 jam sehari, secara umum dibagi dalam tingkatan sebagai berikut : 1) Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya seperti; tidak sekolah dan tinggal di jalanan, disebut anak yang hidup di jalanan atau Children of the Street, 2) Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya seperti ; tidak sekolah, kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu, sebulan, dua bulan, atau tiga bulan sekali, disebut anak yang bekerja di jalanan atau Children on the Street,
25
3) Anak masih tinggal dengan orang tuanya, seperti ; tiap hari pulang ke rumah, masih sekolah atau sudah putus sekolah. Biasanya disebut anak yang rentan menjadi anak jalanan (Vulnerable to be Street). d.
Tempat tinggal anak jalanan sering dijumpai di : 1) Pasar, 2) Terminal bus, 3) Stasiun kereta api, 4) Taman-taman kota, 5) Daerah lokalisasi WTS, 6) Perempatan jalan atau di jalan raya, 7) Pusat perbelanjaan/mall, 8) Kendaraan umum, 9) Tempat pembuangan sampah.
e.
Aktivitas anak jalanan diantaranya ; 1) penyemir sepatu, 2) pengasong, 3) pemulung, 4) pengamen, 5) ojek payung, 6) pengelap mobil, 7) kuli dan profesi lainnya di jalan.
4.
Faktor Penyebab Masalah Anak jalanan Ada tiga tingkatan penyebab masalah anak jalanan. Yaitu : a.
Tingkat mikro yaitu faktor yang berhubungan antara anak dan keluarganya. Adapun faktor tersebut adalah : (1) lari dari keluarga, disuruh bekerja (yang masih sekolah atau putus sekolah), berpetualangan. bermain-main atau diajak teman. (2) penyebab dari keluarga : terlantar ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga, terpisah dengan orangtua, sikap-sikap yang salah terhadap anak.
26
b.
Pada tingkat messo diidentifikasikan sebagai berikut (1) pada masayarakat miskin yaitu anak dipandang sebagai asset untuk membantu peningkatan ekonomi keluarga, (2) pada masyarakat urban anak-anak mengikuti kegiatan orang tuanya, (3) penolakan masyarakat dan anggapan bahwa anak jalanan selalu melakukan tindakan tidak terpuji.
c.
Pada tingkat makro adalah (1) ekonomi, adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian (2) pendidikan, biaya sekolah yang tinggi dan perilaku guru yang diskriminatif (3) belum seragamnya unsur pemerintah memandang anak jalanan, sebagian berpandangan anak jalanan merupakan kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan sebagian yang lain berpandangan bahwa anak jalanan sebagai pembuat masalah (pendekatan keamanan dan ketertiban).
5. Perilaku Sosial Anak Jalanan Perilaku sosial anak jalanan dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: anak yang hidup di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, anak yang rentan di jalanan. Setiap kelompok dapat dibedakan jika dilihat berdasarkan waktu di jalanan, tempat tinggal, latar belakang, aktivitas, dll.
27
Tabel 2.2 : Perilaku Sosial Anak Jalanan No
AspekAspek
1.
Waktu
2.
Ruang hidup
Anak yang Hidup di Jalanan 24 jam penuh
Anak yang Bekerja di Jalanan Temporal menurut jam kerja Tertentu sesuai tempat kerja
Anak yang Rentan di Jalanan Tergantung teman bermainnya
Semua fasilitas jalan dan tempat Umum Tempat Jalanan dan tempat Orang tua, tinggal umum mengontrak, atau di tempat kerja Hubungan Terputus Pulang ke rumah dengan ortu tiap hari atau secara periodik Latar Non ekonomi ; Ekonomi; belakang kekerasan, mencari uang, penolakan, mebantu penyiksaan,percera keluarga, ian orang tua, dll, memenuhi kebutuhan sendiri Aktivitas Lebih banyak Aktivitas berkeliaran dan ekonomi; berganti-ganti menyemir sepatu, pekerjaan, seperti mengasong, mengamen. mengamen, mengemis, menjual koran menyemir sepatu dll Sifat hidup Berpindah-pindah Menetap (nomaden)
Jalanan dan lingkungan rumah
8.
Sikap
Lebih lunak
9.
Perilaku norma
3.
4.
5.
6.
7.
Curiga, susah Lebih lunak diatur, liar, reaklif. sensitif, tak acuh, tertutup, bebas Mengembangkan Masih normalif nilai subkultur jalanan untuk bertahan hidup di jalan
28
Orang tua
Pulang ke rumah tiap hari Untuk tambahan belanja
Aktivitas ekonomi; menyemir sepatu, mengasong, mengamen, menjual koran, dll
Menetap
Masih normatif
10.
Jenis masalah
Eksploitasi pekerjaan, seksualitas, kriminalitas, kesehatan, narkoba, dll
Biaya sekolah, kebutuhan keluarga, biaya hidup, pengaruh teman, eksploitasi keluarga 11. Frekuensi Sering dan banyak Jarang dan masalah terjadi. Kurang sedikit terjadi. kontrol orang Masih ada tua/LSM kontrol orang tua / LSM 12. Motivasi Untuk terus hidup Untuk membantu kerja orang tua dan uang jajan 13. Minat Umumnya tidak Masih ada minat, kembali berminat tapi tuntutan kepada mencari uang keluarga lebih kuat. Sumber : BKSN, 2000 : 32
29
Ikut-ikutan teman
Jarang dan sedikit terjadi. Masih ada kontrol orang tua.
Untuk memperoleh uang jajan Masih tinggal dengan orang tua