BAB II IMAN DAN KESEHATAN MENTAL, KEPRIBADIAN MUSLIM SERTA BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
2.1. Iman dan Kesehatan Mental 2.1.1. Pengertian Iman Kata iman (bahasa Arab) adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi’il) : إﻳﻤﺎﻧﺎ- ﻳﺆﻣﻦ-أﻣﻦ. Dalam bahasa Indonesia kata iman biasanya diartikan dengan kepercayaan atau keyakinan. Sidi Ghazalba berpendapat bahwa kata iman lebih tepat diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan kayakinan (As. Asmaran, 2002: 41). Secara terminologi iman menurut Ibrahim (1998: 113) ialah membenarkan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang diketahui sebagai berita yang dibawa Nabi Saw. Al-Qardhawi (1993: 3) mengartikan istilah iman sebagai kepercayaan yang meresap syak dan ragu serta memberi keyakinan bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Ada yang menyamakan istilah iman dengan akidah, dan ada yang membedakannya. Bagi yang membedakan, akidah hanyalah bagian dalam (aspek hati) dari iman, sebab iman mencakup aspek dalam dan aspek luar. Aspek dalam berupa keyakinan dan aspek luarnya berupa pengakuan lisan dan pembuktian dengan amal. Sumber akidah Islam adalah al-Qur'an dan as-Sunnah. Artinya apa saja yang
14
15
disampaikan oleh Allah dalam al-Qur'an dan oleh Rasulullah dalam sunnahnya wajib diimani. (Ilyas, 1993: 4). Akidah Islam merupakan asas ajaran Islam. Ia menyangkut pokok-pokok kepercayaan yang harus diimani oleh setiap muslim. Pokok-pokok iman tersebut tercakup dalam rukun iman, yaitu: (1) iman kepada Allah; (2) iman kepada Malaikat; (3) iman kepada Kitabkitab suci/wahyu; (4) iman kepada para Rasul; (5) iman kepada akhirat; dan (6) iman kepada takdir (Thayib dan Sugianto, 2002: 42). Rangkaian butir keimanan inilah baik secara legal formalistik maupun (idealnya) secara filosofis yang mesti diupayakan dipakukan kuat-kuat dalam jiwa setiap insan muslim, guna memperoleh rasa “aman” dalam arti yang sesungguhnya. Dengan kata lain orang yang telah dirasuki iman yang enam itu, seyogyanya secara optimis bersemi pula rasa aman tentram dan optimis yang meluap-luap dalam dirinya (Arsyad, 1992: 9). Iman berhakikat dinamis, demikian menurut Madjid (1995: 6) karena dia menyangkut sikap batin atau hati, yang dalam bahasa Arab disebut qalb (diindonesiakan menjadi kalbu) yang makna harfiahnya ialah sesuatu yang berganti-ganti. Maka tidak mungkin membuat iman sedemikian rupa, sehingga sekali jadi untuk selama-lamanya demikian, melainkan kita harus menumbuhkan iman itu dalam diri kita sedemikian rupa, mungkin dari tingkat yang sederhana, kemudian
16
berkembang dan terus berkembang menuju kesempurnaan. Allah berfirman dalam surat al-An’am 82 :
ﻢ ﺑﻈﻠﻢ ﺃﻭﻟـﺌﻚ ﳍﻢ ﺍﻷﻣﻦ ﻭﻫﻢ ﻣﻬﺘﺪﻭﻥﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻭﱂ ﻳﻠﺒﺴﻮﺍ ﺇﳝﺎ Artinya : “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Depag RI, 1989: 200). 2.1.2. Pengertian Kesehatan Mental Secara etimologi, kesehatan mental yang biasanya disebut mental hygiene, berasal dari dua kata yaitu mental dan hygiene. Hygiene adalah nama dewi kesehatan Yunani. Dan Hygiene berarti ilmu kesehatan. Sedangkan mental (dari kata latin mens, mentis) artinya : jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Mental hygiene dalam hal ini sering disebut pula sebagai psiko hygiene. Psyche (dari kata Yunani, pscuche) artinya : nafas, asas kehidupan, hidup, jiwa roh, sukma, semangat (Kartono dan Andari, 1989: 3). Adapun pengertian kesehatan mental secara terminologi, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda diantaranya seperti di bawah ini: Kartini Kartono: “Hygiene mental adalah ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psiko-fisik yang kompleks” (Kartono, 1989: 3-4).
17
Abdul Aziz El-Quusy : “Kesehatan mental adalah keseriusan yang sempurna atau integrasi antara fungsi-fungsi jiwa yang memacam-macam, disertai kemampuan untuk menghadapi kegoncangan-kegoncangan jiwa yang ringan, yang biasa terjadi pada orang, di samping secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan” (el-Quusy, 1974: 38). Dadang Hawari : “Kesehatan mental adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain” (Hawari, 1999: 11). Pengertian-pengertian kesehatan mental di atas menggambarkan adanya norma-norma sehat atau norma dalam persepktif kesehatan mental. Menurut Boehar, kesehatan mental adalah keadaan dan poros dinamisme seseorang dari segi sosial yang membawa kepada pemuasan-pemuasan kebutuhan (Langgulung, 1992: 229). Untuk mengetahui ciri-ciri dari orang yang mempunyai mental yang sehat adalah orang tersebut mempunyai pola-pola kebiasaan yang baik dalam membebaskan diri dari ketegangan yang menimpanya. Ia juga mampu dan dapat menerima perubahan dalam hidupnya dan mempunyai sikap yang membawa kepuasan dalam menyelesaikan dan menyesuaian diri terhadap segala kekuatan dan rangsangan yang berubah-ubah dalam lingkungannya (Rahmawati, 2004: 66). Menurut Bastaman (1997: 134) bahwa ciri-ciri mental yang sehat adalah: (1) bebas dari gangguan dan penyakit kejiwaan; (2) mampu
secara
luwes
menyesuaikan
diri
dan
menciptakan
hubungangan antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan; (3)
18
mengembangkan potensi-potensi pribadi yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan; dan (4) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan dan berupaya menerapkan tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu Fahmi (1982: 108) berpendapat bahwa ciri-ciri orang yang sehat mentalnya adalah antara lain; Mempunyai kemampuan untuk tegap menentang kegoncangan, tekanan dan berbagai hambatan tanpa terganggu keseimbangannya. Tidak kacau pikirannya dan juga tidak mencari cara yang menyimpang yang tidak tepat untuk mengatasi kegoncangan, seperti permusuhan, sering marah, atau tenggelam dalam khayal. Karenanya tingkat kemauan menahan tekanan perasaan adalah ciri terpenting yang mewarnai kepribadian seseorang yang dapat menjadi pembeda dirinya dengan orang lain. Setelah kita mengetahui ciri-ciri orang yang sehat mentalnya, di bawah ini penulis kemukakan pendapat Yahya Jaya berkiatan dengan prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsip-prinsip dalam kesehatan mental adalah merupakan (pondasi) yang harus ditegakkan oleh seseorang dalam dirinya, guna mendapatkan kesehatan mental dan terhindar dari gangguan-gangguan kejiwaan. Pertama, memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri (self image), mampu menyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri maupun orang lain, lingkungan serta hubungannya dengan Tuhan. Self image antara lain dapat diperoleh dengan cara penerimaan
19
diri, keyakinan dan kepercayaan dengan cara penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri sendiri. Kedua, keterpaduan atau integral diri yang berarti adanya keseimbangan antar kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah) dalam hidup, dan kesanggupan mengatasi ketegangan emosi (stress). Orang yang memiliki keseimbangan diri berarti orang yang seimbang kekuatan id, ego dan super egonya. Ketiga, perwujudan atau aktualisasi diri sebagai proses kematangan diri, berarti sebagai kemampuan mempergunakan potensi jiwa dan memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri serta peningkatan motivasi dan semangat hidup. Keempat, kemampuan menerima orang lain, melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya. Kemampuan menerima orang lain berarti kesediaan menerima kehadiran,
mencintai,
menghargai,
menjalin
persahabatan
dan
memperlakukan orang lain dengan baik. Melakukan aktivitas sosial berarti kesediaan bekerjasama dengan masyarakat dalam melakukan pekerjaan sosial yang menggugah hati dan tidak menyendiri dari masyarakat. Menyesuaikan diri dengan lingkungan berarti berusaha untuk dapat merasa aman, damai dan bahagia dalam hidup bermasyarakat. Kelima, berminat dalam tugas dan pekerjaan yang tekuninya, karena dengan demikian bisa ditambah rasa bahagia dan bisa dikurangi
20
penderitaan. Tanpa adanya minat, orang akan sulit mendapatkan rasa gembira dan bahagia dalam tugas dan pekerjaannya. Pribadi yang sehat dan normal adalah pribadi yang aktif dan produktif. Ia dapat mengembangkan tanggungjawab terhadap tugas dan pekerjaan yang diberikan. Keenam, agama, cita-cita dan falsafah hidup untuk pembinaan dan pengembangan kesehatan mental, orang membutuhkan agama, seperangkat cita-cita yang konsisten dan pandangan hidup yang kokoh. Dengan agama orang yang dapat dibantu dalam mengatasi persoalan hidup yang berada di luar kesanggupan dirinya sebagai manusia yang lemah. Dengan cita-cita orang dapat bersemangat, bergerak dalam perjuangan hidupnya, berorientasi ke masa depan, membentuk kehidupan secara tertib dan mengadakan perwujudan diri dengan baik. Dengan falsafah hidup, orang dapat menghadapi, tantangan dengan mudah. Ketujuh, pengawasan diri sendiri terhadap hawa nafsu atau dorongan dan keinginan serta kebutuhan dan akal pikiran merupakan hak pokok dari kehidupan orang dewasa yang bermental sehat dan berkepribadian normal, karena dengan pengawasan tersebut seseorang yang bertantangan dengan hukum, baik hukum agama, hukum negara, adat maupun aturan moral dalam hidupnya. Kedelapan, rasa benar dan tanggung jawab penting bagi tingkah laku, karena setiap individu ingin bebas dari rasa dosa, salah satu
21
kecewa. Rasa benar dan tanggung jawab serta sukses adalah keinginan setiap orang yang sehat mentalnya. Rasa benar, yang ada dalam diri selalu mengajak orang kepada kebaikan. Tanggung jawab dan rasa sukses membebaskan diri dari rasa dosa, salah dan kecewa (Jaya, 1994: 82 –84). 2.1.3. Hubungan Iman dengan Kesehatan Mental Dewasa ini masalah kesehatan mental cukup mendapat perhatian, terutama oleh para ahli ilmu pengetahuan, lebih khusus lagi di kalangan para ahli perawatan jiwa. Tidak jarang kita mendengar kasus penyakit yang secara teoritis dengan obat tertentu dapat disembuhkan yang diharapkan itu tak kunjung tiba. Kalaupun ada kesembuhan, sifatnya hanya sementara. Penyembuhan tuntas baru berhasil setelah pasien tersebut mendapat perawatan ahli jiwa melalui konsultasi dan memenuhi petunjuknya (Asmuni, 1993: 46). Dari pelbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar dapat disimpulkan bahwa; (1) komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit dan mempercepat penyembuhan (dengan catatan terapi medis diberikan sebagaimana mestinya); (2) agama lebih bersifat protektif dan pencegahan dan; (3) komitmen agama mempunyai hubungan yang signifikan dan positif dengan keuntungan klinis (Hawari, 1996: 430). Firman Allah dalam surat alFath ayat 4 :
22
ﻢﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﺴﻜﻴﻨﺔ ﰲ ﻗﻠﻮﺏ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ ﻟﻴﺰﺩﺍﺩﻭﺍ ﺇﳝﺎﻧﺎ ﻣﻊ ﺇﳝﺎ Artinya : “Allah-lah yang telah menurunkan ketenangan jiwa ke dalam hati orang-orang mukmin, supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka yang sudah ada” (Depag RI, 1989: 837). Pada ayat di atas Allah mensifati diri-Nya bahwa Dialah Tuhan yang Maha Mengetahui dan Bijaksana yang dapat beriman. Barang kali (Jalaluddin, 2001: 156) hubungan antara kejiwaan dan agama sebagaimana kayakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga muncul dengan perasaan positif seperti rasa bahagia, rasa senang, merasa dicintai atau rasa aman. Dengan iman, seseorang memiliki tempat bergantung, tempat mengadu dan tempat memohon apabila ia ditimpa problema atau kesusahan hidup, baik yang berkaitan dengan perilaku fisik maupun psikis. Ketika seseorang telah mengerahkan daya upayanya secara maksimal untuk mencapai satu tujuan, namun tetap mengalami kegagalan, tidak berarti kemudian ia putus asa atau bunuh diri. Keimanan akan mengarahkan seseorang untuk mengoreksi diri, apakah prosedur yang dilakukan untuk mencapai tujuan sudah sesuai atau belum dengan hukum-hukum Tuhan yang pasti, jika sesuai dengan hukum-hukum-Nya tetapi masih mengalami kegagalan, maka yang perlu diperhatikan adalah hikmah dibalik kegagalan itu (Mujib dan Yusuf Mudzakir, 2001: 151).
23
2.2. Kepribadian Muslim 2.2.1. Pengertian Kepribadian Muslim Sebelum mendefinisikan secara etimologi dan terminologi apa itu kepribadian muslim, di bawah ini penulis kemukakan terlebih dahulu definisi kepribadian secara umum. Secara etimologi
menurut tinjauan buku-buku psikologi
kepribadian berasal dari kata personare (Yunani), yang berarti menyuarakan melalui alat. Di zaman Yunani kuno para pemain sandiwara bercakap-cakap atau berdialog menggunakan semacam penutup muka (topeng) yang dinamakan persona. Dari kata ini kemudian dipindahkan ke bahasa Inggris menjadi personality (kepribadian) (Jalaluddin, 2001: 171). Kepribadian adalah kata yang dibentuk dari pokok kata pribadi dengan awalan ke dan akhiran an. Pribadi berarti manusia perorangan, diri manusia atau orang sendiri. Secara populer, kepribadian diartikan dengan kesan-kesan yang ditimbulkan oleh sifat lahiriah seseorang (Asmuni, 1993: 46). Secara terminologi definisi kepribadian banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya: M. A. W. Brouwer : “Kepribadian adalah corak tingkah laku sosial. Corak ketakutan, dorongan dan keinginan. Corak gerak-gerik, corak opnin dan sikap. Tingkah laku itu kadang-kadang kelihatan (overt) kadang-kadang tidak (covert)” (Brouwer, 1989: 3).
24
William Stern: “Kepribadin adalah suatu kesatuan banyak (unita multi complex) yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu dan mengandung sifat-sifat khusus seseorang yang bebas menentukan dirinya sendiri. Menurutnya ada tiga hal yang menjadi ciri khas kepribadian itu, yakni: (1) kesatuan banyak, terdiri atas unsur-unsur yang banyak dan tersusun secara berjenjang dari unsur yang berfungsi tinggi keunsur yang terendah; (2) bertujuan untuk mempertahankan diri dan mengembangkan diri, dan; (3) individualitas merdeka untuk menentukan diri sendiri secara luar sadar” (Jalaluddin, 2001: 172). Gordon Allport: Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu yang khas (Koeswara, 1991: 11). Tentunya masih banyak pendapat yang memuat definisi tentang kepribadian. Walaupun setiap pendapat berbeda-beda dari yang lain, namun pada prinsipnya pendapat itu masing-masing memuat ciri-ciri yang mendasari definisi itu masing-masing karena itu tampaknya cukup beralasan jika pengertian kepribadian didefinisikan dari berbagai aspek dan sudut pandang. Jalaludin (2001: 173) kepribadian dapat didefinisikan sebagai individuality kalau dikaitkan dengan ciri khas yang ditampilkan seseorang, hingga secara individu seseorang dapat dibedakan dari orang lain. Sebaliknya disebut personality jika dihubungkan dengan tingkah laku seseorang secara lahiriyah maupun batiniyah. Kepribadian disebut mentality bila dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku seseorang yang berhubungan dengan kemampuan intelektual.
Selanjutnya
kepribadian
disebut
identity
kalau
dihubungkan dengan sifat kehadiran seseorang sebagai suatu kesatuan
25
dari ciri khas yang dimiliki serta usaha untuk memperhatikan jati diri tersebut, dari unsur pengaruh luar. Definisi di atas merupakan definisi secara umum, berikut ini dijelaskan bagaimana definisi dari kepribadian muslim itu sendiri. Khalil al-Musawi: “Kepribadian muslim yakni segala tindak tanduk dan perilaku yang menjadikan agama, akal dan nilai-nilai akhlak sebagai ukuran. Agama, akal dan akhlak di sini dijadikan dasar tetinggi untuk mengatur segala tindak tanduk” (al-Musawi, 1992: 211). Jalaluddin: “Kepribadian muslim adalah identitas yang dimiliki seseorang sebagai diri khas dari keseluruhan tingkah laku secara lahiriyah maupun batinnya” (Jalaluddin, 2001: 174) Ahmad D. Marimba: “Kepribadian muslim ialah kepribadian yang seluruh aspeknya yakni baik tingkah laku luarnya, kegiatan-kegiatan jiwanya, maupun filsafat hidup dan kepercayaan menunjukkan pengabdian kepada Tuhan penyerahan diri kepadanya (Marimba, 1989: 68). Kepribadian muslim dapat dilihat dari kepribadian orang perorangan (individu) dan kepribadian dalam kelompok masyarakat (umrah). Kepribadian individu meliputi ciri khas seseorang dalam sikap dan tingkah laku serta kemampuan intelektual yang dimilikinya, maka seorang muslim akan menampilkan ciri khasnya masing-masing. Dengan demikian akan ada perbedaan kepribadian antara seorang muslim dengan muslim lainnya. Allah berfirman dalam surat al-Ra’d 11 :
26
ﺇﻥ ﺍﷲ ﻻ ﻳﻐﲑ ﻣﺎ ﺑﻘﻮﻡ ﺣﱴ ﻳﻐﲑﻭﺍ ﻣﺎ ﺑﺄﻧﻔﺴﻬﻢ Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka” (Depag RI, 1989: 370) Secara fitrah perbedaan ini memang diakui adanya, Islam memandang setiap manusia memiliki potensi yang berbeda, hingga kepada setiap orang dituntut untuk menunaikan perintah agamanya sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Kepribadian muslim merupakan kepribadian yang dikehendaki oleh Islam. Islam diturunkan ke muka bumi ini senantiasa untuk membimbing
umatnya
ke
jalan
yang
benar,
sebagaimana
diturunkannya al-Qur'an untuk menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang adil berdasarkan etika yang dapat dipertahankan di muka bumi (Fazlurrahman, 1983: 54). 2.2.2. Struktur Kepribadian dalam Perspektif Islam Struktur kepribadian manusia menurut Islam dibangun atas sistem dan daya nafsani yang terdiri dari roh, akal, nafsu dan kalbu. Kalbu memiliki daya struktur supra kesadaran, akal memiliki daya struktur kesadaran, nafsu memiliki daya bawah sadar dan roh memiliki daya terobosan terhadap lapisan-lapisan cahaya Allah (Hasar, 2004: 93). Secara rinci, berikut ini adalah penjelasan mengenai roh, nafsu, akal dan kalbu menurut Mujib dan Yusuf Mudzakir sebagaimana dikutip Hasar Mugeni dalam jurnal al-Hadharah.
27
Pertama, roh atau nyawa terdapat dua pengertian yaitu roh merupakan tubuh yang halus dan yang halus dari manusia sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt yang sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Isra ayat 85:
ﻭﻳﺴﺄﻟﻮﻧﻚ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻗﻞ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻣﻦ ﺃﻣﺮ ﺭﰊ ﻭﻣﺎ ﺃﻭﺗﻴﺘﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺇﻻ ﻗﻠﻴﻞﺍ Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakan “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, melainkan sedikit” (Depag RI, 1989: 437). Menurut para mufasir, ungkapan roh pada ayat di atas memiliki sejumlah pemahaman tentang hakikat ruh itu. Roh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian ahli menyebut roh sebagai substansi halus (jism lathif) ada pula roh yang menyebutnya dengan substansi sederhana (jauhar basith). Roh inilah yang menjadi pembela antara esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Kedua, nafsu dapat diartikan menghimpun kekuatan, marah dan syahwat pada manusia. Pengertian ini menurut para ahli tasawuf karena sesungguhnya mareka maksud dari nafsu itu adalah pokok yang menghimpun sifat-sifat yang tercela dari manusia. Nafsu juga bisa berarti dari manusia dan zatnya. Tetapi nafsu itu disifati dengan bermacam-macam menurut keadaannya. Firman Allah dalam surat alFajr ayat 27 – 28 :
ﺍﺭﺟﻌﻲ ﺇﱃ ﺭﺑﻚ ﺭﺍﺿﻴﺔ ﻣﺮﺿﻴﺔ.ﻳﺎ ﺃﻳﺘﻬﺎ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﺍﳌﻄﻤﺌﻨﺔ
28
Artinya : “Hai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridha-Nya” (Depag RI, 1989: 1059) Setiap manusia diwajibkan Tuhan untuk melawan atau menyiasati hawa nafsunya, karena hawa nafsu sangat berbahaya bagi dirinya. Ia selalu hendak membelokkan jalan agar orang tersesat. Agama mewajibkan bagi setiap pribadi muslim untuk berjihad menaklukkan hawa nafsunya agar martabat kemanusiaannya tetap terjaga dengan baik. Kalau nafsu diperturutkan, hilanglah harga diri, jatuhlah kewibawaan di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, akal memiliki arti al-Imsa (menahan), al-Ribath (ikatan). Akal merupakan organ tubuh yang lazim disebut dengan otak yang memiliki cahaya nurani dan dipersiapkan mampu memperoleh pengetahauan. Akal juga diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh, menyimpan dan mengeluarkan pengetahuan. Akal mampu mengantarkan manusia pada substansi humanistik (Zat insaniyah) atau potensi fitrah yang memiliki daya-daya pembeda antara hal-hal yang baik dan yang buruk yang berguna dan yang membahayakan. Keempat, yaitu hati atau kalbu yang merupakan salah satu daya fitrah nafsani. Kalbu dalam Islam sering disebut kabidun, karena dinisbatkan kepada zatnya (tempat hati yang sebenarnya), damirun, karena hati yang sebenarnya tersembunyi di dalam jantung, sirrun, karena hati itu mampu menyimpan rahasia, baik rahasia dirinya maupun rahasia bagi orang lain, luthfun karena hati itu sebagai sumber
29
dari sifat-sifat yang khas, dan fuadun karena hati dapat dipergunakan untuk mengendalikan perbuatan manusia 2.2.3. Proses Pembentukan Kepribadian Muslim Pembentukan kepribadian bukan suatu proses yang berlangsung cepat, melainkan memakan waktu yang cukup lama. Ia berproses dalam diri manusia sejak manusia itu masih berada dalam kandungan dan berkembang terus setelah ia dilahirkan (Asmuni, 1993: 46). Pembentukan kepribadian muslim pada dasarnya merupakan upaya untuk mengubah sikap ke arah kecenderungan kepada nilai-nilai keislaman. Perubahan sikap, tentunya tidak terjadi secara spontan. Semuanya
berjalan
dalam
suatu
proses
yang
panjang
dan
berkeseimbangan (Jalaluddin, 2001: 180). Pembentukan kepribadian muslim secara menyeluruh adalah pembentukan yang meliputi berbagai aspek yaitu: (1) aspek idiil (dasar) dari landasarn pemikiran yang bersumber dari ajaran wahyu; (2) aspek materiil (bahan), berupa pedoman dan materi ajaran yang terangkum dalam materi bagi pembentukan akhlak al-Karimah; (3) aspek sosial, menitikberatkan pada hubungan yang baik antara sesama makhluk, khususnya sesama manusia; (4) apsek teologi, pembentukan kepribadian muslim yang ditunjukkan pada pembentukan nilai-nilai tauhid
sebagai
upaya
menjadikan
kemampuan
diri
sebagai
pengabadian Allah yang setia; (5) aspek teleogis (tujuan) pembentukan kepribadian muslim mempunyai tujuan yang jelas; (6)aspek duratif
30
(waktu) pembentukan kepribadian muslim dilakukan sejak lahir hingga meninggal dunia; (7) aspek dimensional, pembentukan kepribadian muslim
didasarkan
atas
penghargaan
terhadap
faktor-faktor
pembawaan yang berbeda dan; (8) aspek fitrah manusia, yaitu pembentukan kepribadian muslim bimbingan terhadap peningkatan dan pengembangan kemampuan jasmani dan rohani. (Jalaluddin, 2001: 183). Kita
menghandaki
bagi
setiap
individu
muslim
dapat
menyempurnakan kepribadian Islamnya. Pribadi yang bermujahadah dengan dirinya dan mengendalikan bahwa nafsunya dan berguna bagi orang lain. Firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 110:
ﻛﻨﺘﻢ ﺧﲑ ﺃﻣﺔ ﺃﺧﺮﺟﺖ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﺗﺄﻣﺮﻭﻥ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺗﻨﻬﻮﻥ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻭﺗﺆﻣﻨﻮﻥ ﺑﺎﻟﻠﹼﻪ Artinya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah” (Depag RI, 1989: 94) Seorang muslim yang benar adalah mereka yang menjadi muslim yang selamat akidahnya, benar ibadahnya, teguh akhlak dan sanggup menerangi hawa nafsunya serta mampu berbuat kebajikan dan mencegah kemunkaran.
31
2.3. Bimbingan dan Konseling Islam Sebelum mendefiniskan bimbingan dan konseling Islam alangkah baiknya terlebih dahulu memaparkan bagaimana bimbingan konseling Islam dan dakwah. Dalam pembahasan ini semata-mata penulis ingin menegaskan bahwa bimbingan konseling Islam merupakan bagian dari bentuk dakwah karena memuat unsur da’i/konselor dan mad’unya/klien. Dalam menjalankan dakwahnya seorang da’i dibekali oleh Allah dengan dua hal, yaitu akal pikiran dan sumber ajaran Islam (al-Qur'an dan alHadits). Selain itu seorang da’i dapat menggunakan berbagai metode dakwahnya, sepanjang metode tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Hadits. Pemahaman terhadap dakwah yang disampaikan di hadapan manusia adalah bahwa sesungguhnya Islam mengatur seluruh kehidupan ini dan Islam memberi jawaban terhadap semua persoalan, bukanlah terbatas pada bentukbentuk peribadatan saja, tetapi secara rinci dan tegas telah memberi segenap petunjuk dan aturan kepada manusia agar selamat dunia dan akhirat (Abdul Aziz, 2000: 4). Perjalanan dakwah pada era sekarang ini adalah tantangan yang tidak ringan karena kehidupan oleh berbagai persoalan yang komplek, kebutuhan umat tidak saja hanya pemahaman agama, tetapi masalah ekonomi, sosial budaya dan kesehatan mental juga merupakan kebutuhan prioritas yang sangat mempengaruhi kualitas keimanannya. Maka Ma’arif (1995: 106) menegaskan bahwasannya dakwah yang efektif adalah dakwah terpadu,
32
dengan demikian hasil dakwah yang dicapai lebih optimimal dan berdayaguna. Realisasi ajaran Islam dalam kehidupan sangat membutuhkan usaha dakwah secara integral (Muhtarom, 1996: 20). Da’i/konselor Islam sebagai komunikator berperan menyampaikan ide-ide tertentu untuk menuju kepada sasaran pokok yaitu diterimanya ide-ide tersebut sehingga ada perubahan sikap atau adanya pengukuhan terhadap sikap tertentu (reinforcment). Dengan demikian komunikator merupakan seorang pelaku utama untuk mempengaruhi perubahan sikap dari komunikasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya menuju masyarakat yang bermental sehat. 2.3.1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam Bimbingan dan Konseling merupakan alih bahasa dari istilah Inggris guidance dan counseling. Dalam kamus bahasa Inggris kata guidance berarti : pimpinan, bimbingan, pedoman, petunjuk. Kata counseling berarti : nasehat, perembukan, penyuluhan (Shadily, 1992: 150 dan 283). Dahulu istilah counseling diindonesiakan menjadi penyuluhan. Akan tetapi karena istilah penyuluhan banyak digunakan di bidang lain, semisal dalam penyuluhan pertanian dan penyuluhan keluarga berencana yang sama sekali berbeda isinya dengan yang dimaksud counseling, maka agar tidak menimbulkan salah paham, istilah counseling tersebut langsung diserap menjadi konseling (Musnamar, 1992: 3).
33
Secara umum bimbingan dan konseling didefinisikan sebagai berikut : Prayitno dan Erman Amti: “Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang yang ahli kepara seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku”. Sedangkan konseling adalah proses pemberian bantaun yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu (klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien” (Prayitno dan Amti, 1999: 99). Dewa Ketut Sukardi: “Bimbingan adalah pemberian bantuan oleh seseorang kepada orang lain dalam menentukan pilihan, penyesuaian dan pemecahan masalah. Sedangkan konseling adalah suatu upaya bantuan yang dilakukan dengan empat mata atau tatap muka antara konselor dan konseli yang berisi usaha yang laras, unik, human (manusia) yang dilakukan dalam suasana keahlian dan didasarkan atas norma-norma yang berlaku agar memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri dalam memperbaiki tingkah lakunya pada saat ini dan mungkin pada masa yang akan datang” (Sukardi, 2000: 22). Dari
sudut
pandang
Islam
bimbingan
dan
konseling
Didefinisikan sebagai berikut : Ainur Rahim Faqih dan Hamdani Bakran Adz-Dzaky : “Bimbingan Islam adalah proses pemberian bantuan individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunai dan di akhirat” (Faqih, 2004: 4). Sedangkan konseling Islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan dalam hal bagaimana seorang klien dapat mengembangkan potensi dan akal pikirannya, kejiwaan, keimanan dan keyakinan serta dapat menaggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada al-Qur'an dan as-Sunnah” (Adz-Dzaky, 2001: 180).
34
Dari rumusan-rumusan di atas, maka dapat disimpukan bahwa bimbingan adalah merupakan pemberian bantuan yang diberikan kepada individu guna mengatasi berbagai kesukaran di dalam kehidupannya, agar individu itu dapat mencapai kesejehateraan hidupnya. Adapun konseling diartikan sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan dengan mempertemukan konselor dan klien yang didasarkan atas norma-norma yang berlaku yang endingnya pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. 2.3.2. Landasan Bimbingan dan Konseling Islam Landasan (fondasi atau dasar pijak) utama Konseling Islam adalah al-Qur'an dan al-Hadits, sebab keduanya merupakan sumber pedoman kehidupan umat Islam. Al-Qur'an dan al-Hadits dapatlah diistilahkan sebagai landasan ideal dan konseptual Konseling Islam. Dari al-Qur'an dan al-Hadits itulah gagasan tujuan dan konsep-konsep Islam bersumber (Musnamar, 1992: 5-6). Dalam Islam, aktivitas konseling sangat lengkap, karena ajaran Islam turun ke permukaan bumi ini memiliki tujuan yang sangat prinsip atau mendasar yaitu bimbingan, mengarahkan kepada manusia menuju manusia kepada jalan yang benar, jalan yang diridhoi Allah agar mendapat hidup selamat dunia dan akhirat. Firman Allah dalam Surat al-Maidah ayat 3:
ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢ ﻭﺃﲤﻤﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻧﻌﻤﱵ ﻭﺭﺿﻴﺖ ﻟﻜﻢ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺩﻳﻨﺎ
35
Artinya : “Hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan nikmat-Ku kepadamu dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu” (Depag RI, 1989: 157). Jika al-Qur'an dan hadits merupakan landasan utama yang dilihat dari asl-usulnya yang merupakan landasarn naqliyah, maka landasan lain yang dipergunakan oleh bimbingan dan Konseling Islam yang sifatnya aqliyah adalah filasafat dan ilmu. Filsafat Islam dan ilmu atau landasan ilmiah yang sejalan dengan ajaran Islam. 2.3.3. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam 2.3.3.1. Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam Fungsi bimbingan dan konsling Islam ditinjau dari kegunaan atau manfaat, ataupun keuntungan-keuntungan apa yang diperoleh melalui pelayanan sebagaimana dikutip dari pendapatnya Musnamar (1992: 34) dikelompokan sebagai berikut: (1) fungsi preventif yakni membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya; (2) fungsi kuratif atau korektif yakni membantu individu memecahkan masalah yang dihadapi atau dialaminya; (3) fungsi preservatif yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) itu kembali menjadi tidak baik (menimbulkan masalah kembali) dan; (4) fungsi developmental atau pengembangan yakni membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik atau
36
menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinnya menjadi sebab munculnya masalah baginya. 2.3.3.2. Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam Tujuan umum dari konseling Islam secara implisit sudah ada dalam batasan atau definisi bimbingan dan konseling Islam, yakni yang ingin dicapai dengan Bimbingan dan Konseling yaitu mewujudkan individu menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Berikut ini adalah tujuan Bimbingan dan Konseling Islam seperti yang dikemukakan oleh Adz-Dzaky (2001: 167168). Pertama,
untuk
menghasilkan
suatu
perubahan,
perbaikan, kesehatan dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai (mutmainnah), bersikap lapang dada (radhiyah) dan untuk mendapatkan pencerahan taufik hidayah Tuhannya (mardhiyah). Kedua, untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopnan tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja, maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Ketiga, untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan berkembang rasa
37
toleransi, kesetiakawanan tolong-menolong dan rasa kasih sayang. Keempat, untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintah-Nya, serta ketabahan menerima ujian-Nya. Sedangkan tujuan bimbingan konseling Islam secara khusus merupakan penjabaran dari tujuan umum tersebut yang dikaitkan secara langsung dengan permasalahan yang dihadapi oleh individu yang bersangkutan sesuai dengan kompleksitas permasalahan itu.