BAB II KESEHATAN MENTAL DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
2.1. Kesehatan Mental 2.1.1. Pengertian Kesehatan Mental 2.1.1.1. Secara etimologi Secara etimologi, kesehatan mental yang biasanya disebut mental hygiene, berasal dari dua kata yaitu mental dan hygeia. Hygeia adalah nama dewi kesehatan Yunani. Dan hygiene berarti “ilmu kesehatan”. Sedangkan mental (dari kata latin mens, mentis) artinya: jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Mental hygiene dalam hal ini sering disebut pula sebagai psiko hygiene. Psyche (dari kata yunani psuche) artinya: nafas, asas kehidupan, hidup, jiwa, roh, sukma, semangat (Kartono dan Jenny Andrea, 1989: 3). Jadi pengertian kesehatan mental secara etimologi adalah jiwa yang sehat atau ilmu yang mempelajari tentang kesehatan jiwa. 2.1.1.2. Secara terminologi Adapun pengertian kesehatan mental secara terminologi, beberapa pakar memberikan definisi yang berbeda-beda. Berikut ini adalah rumusan-rumusan pengertian kesehatan mental menurut pakar-pakar tersebut :
29
a) Kartini Kartono “Hygiene mental adalah ilmu kesehatan jiwa yang mempermasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psiko-fisik yang kompleks” (Kartono, 1989: 3-4). b) Abdul Aziz El-Quussy “Kesehatan mental adalah keserasian yang sempurna atau integrasi antara fungsi-fungsi jiwa yang bermacam-macam, disertai kemampuan untuk menghadapi kegoncangan-kegoncangan jiwa yang ringan, yang biasa terjadi pada orang, disamping secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan” (El-Quussy, 1974: 38). c) M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky “Mental yang sehat adalah integrasinya jiwa muthmainnah (jiwa yang tenteram), jiwa radhiyyah (jiwa yang meridloi), dan jiwa mardhiyyah (jiwa yang diridloi)” (Adz-Dzaky, 2002: 457). d) Zakiah Daradjat “Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat” (Daradjat, 1984: 4). Dari beberapa definisi di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah integrasi atau keserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan yang disertai perasaan tentram dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga mampu menghadapi goncangangoncangan kejiwaan dengan berlandaskan keimanan dan
30
ketakwaan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Dalam penelitian ini, ke-empat pakar tersebut merupakan representasi dari pakar-pakar yang lain dalam memberikan rumusan pengertian kesehatan mental. Karena secara implisit maupun eksplisit, ke-empat pakar tersebut memasukkan unsur agama dalam definisi kesehatan mental. 2.1.1.3. Konsep kesehatan mental dalam konseling Para
pakar
dalam
bidang
kesehatan
mental,
telah
menggunakan istilah “wellness” untuk menggambarkan suatu keadaan “sehat” secara lebih komprehensif. Istilah ini mempunyai makna yang lebih luas yang mencakup mental health dan mental hygiene, dan dikembangkan secara holistik untuk mendeskripsikan konsep keutuhan internal dan eksternal dari kepribadian yang sehat. Para ahli dalam bidang konseling telah sepakat bahwa “wellness” merupakan tujuan umum konseling (Surya, 2003: 181). Dalam pengertian “wellness”, kondisinya tidak hanya sehat jasmani atau mental, akan tetapi kepribadian secara keseluruhan sebagai suatu refleksi dari kesatuan unsur jasmani dan rohani, serta interaksinya dengan dunia luar. Dengan demikian, “wellness” merupakan konsep “sehat” yang bersifat multidimensional.
31
Kondisi “wellness” diwujudkan melalui lima tugas hidup, yaitu: a. Spiritualitas Spiritualitas merupakan tugas hidup yang paling utama dalam kebulatan “wellness”. Tugas hidup dalam dimensi spiritualitas merupakan naluri keagamaan dari setiap manusia dari sejak dahulu kala hingga masa kini dalam berbagai
peradaban,
budaya
dan
bangsa.
Naluri
keagamaan tercermin dalam nilai-nilai suci dan esensial bagi kode-kode etika, moral dan hukum yang digunakan untuk memelihara dan melindungi kesucian hidup. Dimensi
ini
mengandung
ke-Mahaesaan
Tuhan,
kedamaian hidup, makna dan tujuan hidup, optimisme atau harapan di masa depan serta nilai-nilai yang dijadikan pedoman untuk melangkah dan membuat keputusan. b. Regulasi diri Regulasi diri yaitu tugas-tugas untuk mengatur diri sendiri agar mampu hidup secara baik dan sehat. Tugas regulasi diri mencakup karakteristik tugas-tugas sebagai berikut : 1. Mewujudkan dan mempertahankan harga diri 2. Pengendalian diri
32
3. Keyakinan yang realistis 4. Spontanitas dan respon emosional secara cepat 5.
Stimulasi
intelektual,
pemecahan
masalah
dan
kreativitas. 6. Rasa humor 7. Kesegaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat c. Pekerjaan Untuk mewujudkan kondisi hidup yang sehat, pekerjaan tidak hanya bermakna
bermakna ekonomis, akan tetapi juga
sosial,
psikologis
dan
spiritual.
Secara
ekonomis, pekerjaan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan
ekonomis
melalui
penghasilan
yang
diperolehnya. Secara sosial, pekerjaan dapat menunjang berkembangnya interaksi dan kehidupan sosial. Secara psikologis, pekerjaan merupakan jalan dalam proses perkembangan kebutuhan
dan
psikologis.
dapat
memenuhi
Secara
spiritual,
kebutuhanpekerjaan
merupakan salah satu pelaksanaan ajaran agama. d. Persahabatan Persahabatan yaitu hubungan sosial antar individu dalam masyarakat yang berdasarkan komitmen, keakraban dan saling pengertian. Dengan persahabatan, individu akan memperoleh dukungan sosial, yang meliputi dukungan
33
yang bersifat emosional, dukungan benda nyata, dan informasional. e. Cinta Kesehatan kita diasuh dalam hubungan pernikahan atau hubungan emosional yang intim melalui kepercayaan, pemeliharaan
dan
kerja
sama.
Berbeda
dengan
persahabatan, dalam cinta hubungan antar individu memiliki derajat keintiman yang lebih mendalam dan bersifat emosional serta seksual. Cinta diwujudkan melalui lembaga keluarga (Surya, 2003: 183-184). 2.1.1.4. Pengertian mental yang sakit (penyakit mental) Penyakit mental merupakan istilah umum bagi sebarang reaksi psikotis yang serius, baik yang bersifat psikogenis maupun organis sifatnya. Pada waktu sekarang orang lebih suka menggunakan istilah “gangguan mental” atau “mental disorder” untuk penyakit mental, disebabkan oleh implikasi somatis atau organisnya dalam penggunaan istilah “penyakit” (Kartono, 1989: 80). Menurut Frederick H. Kanfer dan Arnold P. Goldstein, gangguan kepribadian atau jiwa adalah kesulitan yang dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan
34
sikapnya terhadap dirinya sendiri (Ancok dan Fuad Nashori, 1994: 91). 2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental Ada dua faktor yang mempengaruhi kesehatan mental, yaitu faktor intern dan ekstern. 2.1.2.1. Faktor intern Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti keimanan, ketakwaan, sikap menghadapi problema hidup, keseimbangan dalam berfikir, kondisi kejiwaan seseorang dan sebagainya. Seseorang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang tinggi, dalam hal ini akan dapat memperoleh ketenangan dan ketentraman batin dalam hidupnya. Apabila ia menghadapi suatu problematika hidup, ia menghadapinya dengan sabar dan tidak mudah putus asa karena sebenarnya dalam diri manusia yang beriman, tidak terjadi putus asa atau “reaksireaksi kompensasi” dan “mekanisme pertahanan diri” yang sifatnya merugikan. (Daradjat, 1982: 40-41). Sikap seseorang dalam menghadapi problematika hidup, juga berpengaruh terhadap kesehatan mental. Menurut para ahli ilmu jiwa, sikap dan cara orang menghadapi kesukaran itu berbeda-beda antara satu dengan yang lain, sesuai dengan kepribadian dan kepercayaan terhadap lingkungannya. Jika
35
masalah ini ditinjau dari segi agama, maka akan kita dapati perbedaan antara orang yang beragama dan orang yang tidak beragama. Bagi orang yang beragama, kesukaran atau bahaya sebesar apapun yang harus dihadapinya, dia akan waras dan sabar, karena dia merasa bahwa kesukaran dalam hidup itu merupakan bagian dari cobaan Allah terhadap hamba-Nya yang beriman. Dia tidak memandang setiap kesukaran dan ancaman terhadap dirinya dengan cara yang negatif, tetapi sebaliknya melihat bahwa di celah-celah kesukaran itu terdapat harapan-harapan. Dia tidak akan menyalahkan orang lain atau mencari sebab-sebab negatif pada orang lain (Daradjat, 1994: 60). Jadi
menurut
hemat
penulis,
penghayatan
dan
pengamalan agama merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kesehatan mental. Karena dengan menghayati dan mengamalkan agama dengan sungguh-sungguh, maka keimanan dan ketakwaan akan diraih. Dengan beriman dan bertakwa, manusia mampu bersikap tenang dan sabar dalam menghadapi problema hidup dan mampu berfikir secara seimbang serta kondisi kejiwaannya penuh dengan ketentraman dan kedamaian karena selalu mengingat Allah. Maka dari itu, orang yang menyikapi penderitaan yang dialaminya dengan sabar dan menyadari
36
bahwa
di
balik
digolongkan
penderitaan
sebagai
orang
terdapat yang
hikmah,
sehat
dapat
mentalnya.
Sebaliknya, orang yang menyikapi penderitaannya dengan keluhan dan kekecewaan merupakan orang yang mengalami gangguan mental. Dalam sebuah ayat Allah SWT. berfirman :
اﻟﺬ ﻳﻦ أﻣﻨﻮا وﺗﻄﻤﺌﻦ ﻗﻠﻮﻳﻬﻢ ﺑﺬآﺮاﷲ اﻻ ﺑﺬآﺮاﷲ ﺗﻄﻤﺌﻦ ( 28 : ) اﻟﺮﻋﺪ.اﻟﻘﻠﻮب Artinya : “(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’du : 28) (Tim Disbintalad, 1999: 470). Menurut Ustman Najati, mengingat Allah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ingat kepada Allah yang dapat menimbulkan perasaan tenteram dan tenang. Di dalam jiwanya tidak ada perasaan bersalah. Ini merupakan terapi bagi kegelisahan yang dirasakan manusia ketika ia merasa lemah dan tidak punya penyangga serta penolong dalam menghadapi berbagai tekanan dan masalah kehidupan (Najati, 1981: 326). 2.1.2.2. Faktor ekstern Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar diri seseorang, seperti keadaan ekonomi, kondisi lingkungan, baik
37
lingkungan
keluarga,
masyarakat,
maupun
lingkungan
pendidikan dan sebagainya. Sebenarnya faktor intern itu lebih dominan pengaruhnya dibandingkan dengan faktor ekstern. Hal ini sesuai dengan pendapat
Daradjat
(1982:
15),
bahwa
sesungguhnya
ketenangan hidup, ketenangan jiwa atau kebahagiaan batin itu tergantung dari faktor ekonomi, adat kebiasaan dan sebagainya. Akan tetapi lebih tergantung pada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut. 2.1.3. Tanda-Tanda Kesehatan Mental Untuk mengetahui sehat dan tidaknya mental seseorang, pada tahun 1959, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1959) merumuskan kriteria jiwa atau mental yang sehat, adalah sebagai berikut : a. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya. b. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya. c. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima. d. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas. e. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong
dan
saling memuaskan. f. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran untuk dikemudian hari.
38
g. Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif. h. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar (Hawari, 1997: 12). Kriteria jiwa yang sehat versi WHO tersebut, belum memasukkan elemen
agama.
Oleh
karena
itu,
pada
tahun
1984,
WHO
menyempurnakan batasan sehat dengan menambah satu elemen spiritual (agama), sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya sehat dalam arti fisik, psikologis dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti spiritual atau agama (empat dimensi sehat: biopsiko-sosio-spiritual) (Hawari, 1997: 12). Sedangkan menurut Muhammad Mahmud Mahmud, sebagaimana yang dikutip oleh Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001: 136-144), tandatanda kesehatan mental yaitu : Kemapanan (al-sakinah), ketenangan (al-tuma’ninah), dan rileks (alrahah) batin dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat maupun Tuhan. Memadahi (al-kifayah) dalam beraktivitas. Seseorang yang mengenal potensi, ketrampilan, dan kedudukannya secara baik, maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan hal itu merupakan tanda dari kesehatan mentalnya. c. Menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi,
39
maupun kemampuannya, karena keadaan itu merupakan anugerah dari Allah SWT untuk menguji kualitas kerja manusia. Tanda kesehatan mental yang lain adalah adanya kesediaan diri untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia mampu bergaul dan menyesuaikan diri dengan orang lain. Firman Allah SWT.:
وﻻ ﺗﺘﻤﻨﻮا ﻣﺎ ﻓﻀﻞ اﷲ ﺑﻪ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ ﻟﻠﺮﺟﺎل ﻥﺼﻴﺐ ﻣﻤﺎاآﺘﺴﺒﻮا وﻟﻠﻨﺴﺎء ﻥﺼﻴﺐ ﻣﻤﺎ اآﺘﺴﺒﻦ وا ﺱﺌﻠﻮا اﷲ ﻣﻦ ﻓﻀﻠﻪ ان (32 : ) ا ﻟﻨﺴﺎء.اﷲ آﺎن ﺑﻜﻞ ﺷﺊ ﻋﻠﻴﻤﺎ Artinya : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang Allah lebihkan sebagian kamu daripada yang lain. Bagi lakilaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan-perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. An-Nisa’ : 32) (Tim Disbintalad, 1999: 150). d. Adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. Artinya, kesehatan mental seseorang ditandai dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan yang hina dapat menyebabkan psikopatologi, sedang perbuatan yang baik menyebabkan pemeliharaan kesehatan mental. Firman Allah SWT. :
ﻓﺎن اﻟﺠﻨﺔ هﻲ.واﻣﺎ ﻣﻦ ﺧﺎف ﻣﻘﺎم رﺑﻪ وﻥﻬﻰ اﻟﻨﻔﺲ ﻋﻦ اﻟﻬﻮى ( 41-40 :اﻟﻤﺄوى ) اﻟﻨﺎزﻋﺎت
40
Artinya : “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (Q.S. An-Nazi’at : 40-41) (Tim Disbintalad, 1999: 1212 ). e. Kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik tanggung jawab keluarga, sosial, maupun agama. Tanggung jawab menunjukkan kematangan
diri
seseorang,
sekaligus
sebagai
tanda-tanda
kesehatan mental. Firman Allah SWT.:
وﻟﻮ ﺷﺎء اﷲ ﻟﺠﻌﻠﻜﻢ أﻣﺔ واﺣﺪة وﻟﻜﻦ ﻳﻀﻞ ﻣﻦ ﻳﺸﺎء وﻳﻬﺪى ﻣﻦ (93 : ) ا ﻟﻨﺤﻞ.ﻳﺸﺎء وﻟﺘﺴﺌﻠﻦ ﻋﻤﺎ آﻨﺘﻢ ﺗﻌﻤﻠﻮن Artinya : “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. An-Nahl : 93) (Tim Disbintalad, 1999: 519). f.
Memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang diperbuat. Berkurban berarti kepedulian diri seseorang untuk kepentingan bersama dengan cara memberikan sebagian kekayaan dan atau kemampuannya. Sedang menebus kesalahan artinya kesadaran diri akan kesalahan yang diperbuat, sehingga ia berani menanggung segala resiko akibat kesalahannya, kemudian ia senantiasa berusaha memperbaikinya agar tidak melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
g. Kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi. Hal itu dianggap
41
sebagai tanda kesehatan mental, sebab masing-masing pihak merasa hidup tidak sendiri, mereka akan saling membantu. Pergaulan hidupnya dilandasi oleh sikap saling percaya dengan mengesampingkan sikap saling curiga, buruk sangka, iri hati, cemburu, dan adu domba. Firman Allah SWT. :
اﻥﻤﺎ اﻟﻤﺆﻣﻨﻮن اﺧﻮة ﻓﺄ ﺹﻠﺤﻮا ﺑﻴﻦ اﺧﻮﻳﻜﻢ واﺗﻘﻮا اﷲ ﻟﻌﻠﻜﻢ (10 : ) ا ﻟﺤﺠﺮات. ﺗﺮﺣﻤﻮن Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat : 10) (Tim Disbintalad, 1999: 1034). h. Memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik. Keinginan yang tidak masuk akal akan membawa seseorang ke jurang angan-angan, lamunan, kegilaan, dan kegagalan. Keinginan yang terealisir dapat memperkuat kesehatan mental, sebaliknya keinginan yang terkatung-katung akan menambah beban batin dan kegilaan. Keinginan yang baik adalah keinginan yang dapat mencapai keseimbangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. i. Adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh atau al-surur) dan kebahagiaan (al-sa’adah) dalam menyikapi atau menerima nikmat yang diperoleh. Kepuasan dan kebahagiaan dikatakan sebagai tanda-tanda kesehatan mental, sebab individu merasa sukses, telah terbebas dari segala beban, dan terpenuhi kebutuhan hidupnya.
42
Sikap penerimaan nikmat yang mendatangkan kepuasan atau kebahagiaan tidak selalu dipandang dari sisi kuantitatif, melainkan dari kualitas dan berkahnya. Sedangkan tanda-tanda mental yang sakit, dikemukakan oleh Kartini Kartono yaitu dengan adanya fenomena ketakutan, pahit hati, hambar hati, apatis, cemburu, iri hati, dengki, kemarahan-kemarahan yang eksplosif, ketegangan batin yang kronis, dan lain-lain. Dengan demikian, sakit mental itu merupakan bentuk gangguan pada ketenangan batin dan ketentraman hati (Kartono, 1989: 5). Sedangkan menurut Islam, indikasi orang yang tidak sehat mentalnya antara lain adalah pemarah, pendendam, pendengki (hasad), takabbur (sombong, angkuh), suka pamer (riya’), membanggakan diri sendiri (‘ujub), berburuk sangka (su’udzan), was-was, pendusta (kadzib), rakus dan serakah, berputus asa, pelupa (lalai), pemalas, kikir (bathil), dan hilangnya perasaan malu (Adz-Dzaky, 2002: 335-379). 2.1.4. Prinsip-Prinsip Kesehatan Mental Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan mental ialah fundamen (dasar-dasar) yang harus ditegakkan manusia guna mendapatkan kesehatan mental dan terhindar dari gangguan kejiwaan. Di antara prinsip tersebut adalah sebagai berikut : a. Gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri Memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri (self image) merupakan dasar dan syarat utama untuk mendapatkan
43
kesehatan mental. Orang yang memiliki “self image” memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, orang lain, alam dan lingkungan dan Tuhan. b. Keterpaduan atau integrasi diri Keterpaduan diri berarti adanya keseimbangan antara kekuatankekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah) dalam hidup, dan kesanggupan mengatasi stres (ketegangan emosi). Orang yang memiliki keseimbangan diri berarti orang yang seimbang kekuatan id, ego, dan super egonya. Orang yang memiliki
kesatuan
pandangan
hidup
adalah
orang
yang
memperoleh makna dan tujuan dari kehidupannya. c. Perwujudan diri Perwujudan (aktualisasi) diri sebagai proses kematangan diri dapat berarti sebagai kemampuan mempergunakan potensi jiwa dan memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri serta peningkatan motivasi dan semangat hidup. d. Berkemampuan menerima orang lain, melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal Kemampuan menerima orang lain berarti kesediaan menerima kehadiran, mencintai, menghargai menjalin persahabatan dan memperlakukan orang lain dengan baik. Melakukan aktivitas sosial berarti bersedia bekerja sama dengan masyarakat dalam melakukan pekerjaan sosial yang menggugah hati dan tidak menyendiri dari
44
masyarakat. Menyesuaikan diri dengan lingkungan berarti usaha untuk mendapatkan rasa aman, damai dan bahagia dalam hidup bermasyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. e. Berminat dalam tugas dan pekerjaan Setiap manusia harus berminat dalam tugas dan pekerjaan yang ditekuninya. Tanpa adanya minat, manusia sulit mendapatkan rasa gembira dan bahagia dalam tugas dan pekerjaannya. f. Agama, cita-cita dan falsafah hidup Untuk pembinaan dan pengembangan kesehatan mental, manusia membutuhkan agama, seperangkat cita-cita yang konsisten, dan pandangan hidup yang kukuh. Dengan agama, manusia dapat terbantu dalam mengatasi persoalan hidup yang berada di luar kesanggupan dirinya sebagai manusia yang lemah. Dengan citacita, manusia dapat bersemangat dan bergairah dalam perjuangan hidup yang berorientasi ke masa depan, membentuk kehidupan secara tertib, dan mengadakan perwujudan diri dengan baik. Dengan falsafah hidup, manusia dapat menghadapi tantangan yang dihadapinya dengan mudah. g. Pengawasan diri Manusia yang memiliki pengawasan diri akan terhindar dari kemungkinan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, baik hukum agama, adat maupun aturan moral dalam hidupnya. Karena
45
dengan pengawasan diri tersebut, manusia mampu membimbing tingkah lakunya. h. Rasa benar dan tanggung jawab Rasa benar dan rasa tanggung jawab, penting bagi tingkah laku karena setiap individu ingin bebas dari rasa dosa, salah dan kecewa. Sebaliknya rasa benar, tanggung jawab dan sukses adalah keinginan setiap manusia yang sehat mentalnya. Rasa benar yang ada dalam diri selalu mengajak manusia kepada kebaikan, tanggung jawab dan kesuksesan, serta membebaskannya dari rasa dosa, salah dan kecewa (Jaelani, 2001: 83-86). 2.1.5. Metode Perolehan dan Pemeliharaan Kesehatan Mental Orang yang tidak merasa tenang, aman serta tenteram dalam hatinya adalah orang yang sakit rohani atau mentalnya. Para ahli psikiatri dalam hal ini mengakui bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu berupa kebutuhan jasmani, rohani maupun kebutuhan sosial yang diperlukan untuk melangsungkan proses kehidupan secara lancar. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya. Kemampuan untuk menyesuaikan diri ini akan mengembalikan ke kondisi semula, hingga proses kehidupan berjalan lancar seperti apa adanya. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai bahwa seseorang tak mampu menahan keinginan bagi terpenuhinya
46
kebutuhan bagi dirinya. Dalam kondisi seperti itu akan terjadi pertentangan
(konflik)
dalam
batin.
Pertentangan
ini
akan
menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan rohani, yang dalam kesehatan mental disebut kekusutan rohani. Kekusutan rohani ini disebut “kekusutan fungsional.” (Jalaluddin, 2001: 159). Usaha penanggulangan
kekusutan rohani atau
mental ini
sebenarnya dapat dilakukan sejak dini oleh yang bersangkutan. Dengan mencari cara yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan memilih
norma-norma
moral,
maka
kekusutan
mental
akan
terselesaikan. Penyelesaian dengan memiliki penyesuaian diri dengan normanorma moral yang luhur seperti bekerja dengan jujur, resignasi (penyerahan
diri
sepenuhnya
kepada
Tuhan),
sublimasi
dan
kompensasi. Dalam konteks ini terlihat hubungan agama sebagai terapi kekusutan mental. Sebab nilai-nilai luhur termuat dalam ajaran agama bagaimanapun dapat digunakan untuk penyesuaian dan pengendalian diri, hingga terhindar dari konflik batin. (Jalaluddin, 2001: 159). Pendekatan terapi keagamaan ini dapat dirujuk dari informasi AlQur’an sendiri sebagai kitab suci. Di antara konsep terapi gangguan mental ini adalah pernyataan Allah SWT dalam surat Yunus dan surat Al-Isra’.
ﻳﺎﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس ﻗﺪ ﺟﺎءﺗﻜﻢ ﻣﻮﻋﻈﺔ ﻣﻦ رﺑﻜﻢ وﺷﻔﺎئ ﻟﻤﺎ ﻓﻲ اﻟﻤﺪور وهﺪى (57 : ) ﻳﻮ ﻥﺲ.ورﺣﻤﺔ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ
47
Artinya : “Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu (Al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (penyakit batin/jiwa) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman .” (Q.S. Yunus : 57) (Tim Disbintalad, 1999: 394). Ada beberapa metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental, diantaranya: a. Metode Iman Metode iman berkaitan dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan dan kepada hal-hal yang gaib. Keimanan yang direalisasikan secara benar akan membentuk kepribadian mukmin (syakhshiyah al-mu’min) yang membentuk enam karakter (al-thab’u), yaitu: 1). Karakter rabbani, yaitu karakter yang mampu mentransinternalisasikan (mengambil dan mengamalkan) sifat-sifat dan asma-asma Allah SWT ke dalam tingkah laku nyata sebatas pada kemampuan manusiawinya. Proses pembentukan karakter rabbani dapat ditempuh melalui tiga tahap, yaitu: a. Proses ta’alluq Proses ta’alluq adalah menggantungkan kesadaran
diri
kepada Allah dengan cara berpikir dan berdzikir kepadaNya.
48
b. Proses takhalluq. Proses takhalluq adalah adanya kesadaran diri untuk mentrans-internalisasikan sifat-sifat dan asma-asma Allah SWT sebatas pada kemampuan manusiawinya. c. Proses tahaqquq. Proses tahaqquq adalah kesadaran diri akan adanya kebenaran, kemuliaan, keagungan Allah SWT, sehingga tingkah lakunya didominasi oleh-Nya. 2). Karakter malaki, yaitu karakter yang mampu mentransinternalisasikan sifat-sifat malaikat yang agung dan mulia, seperti menjalankan perintah Allah SWT. dan tidak bermaksiat dengan-Nya, bertasbih kepada-Nya, dan sebagainya. 3). Karakter
qur’ani,
yaitu
karakter
mampu
mentrans-
internalisasikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam tingkah laku nyata, seperti membaca, memahami, dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalam al-qur’an dan sunah, sebab ia memberikan petunjuk (al-hidayah), rahmah (al-rahmah), berita gembira (al-tabsyir) bagi orang muslim yang bertakwa, memberikan wawasan dan totalitas untuk semua aspek kehidupan, dan sebagainya. 4). Karakter rasuli, yaitu karakter yang mampu mentransinternalisasikan sifat-sifat rasul yang mulia, seperti jujur (al-
49
shidiq), dapat dipercaya (al-amanah), menyampaikan informasi atau wahyu (al-tabligh), dan cerdas (al-fathanah). 5). Karakter yang berwawasan dan mementingkan masa depan (hari akhir). Karakter ini menghendaki adanya karakter yang mementingkan jangka panjang dari pada jangka pendek atau wawasan masa depan daripada masa kini, tingkah lakunya penuh perhitungan sebab semuanya akan diperhitungkan (hisab). 6). Karakter takdiri, yaitu karakter yang menghendaki adanya penyerahan dan kepatuhan pada hukum-hukum, aturan-aturan, dan sunah-sunah Allah SWT. yang pasti untuk kemaslahatan hidupnya, seperti mengetahui dan mematuhi sunnah-sunnah Allah SWT., baik sunah qur’ani maupun sunnah kauni. b. Metode Islam Metode Islam berkaitan dengan prinsip-prinsip ibadah dan muamalah. Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim (syakhshiyah al-muslim) yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan diri dalam setiap kondisi. Kondisi seperti itu merupakan syarat mutlak bagi terciptanya kesehatan mental. Kepribadian muslim menimbulkan lima karakter ideal, yaitu: 1) Karakter
syahadatain,
yaitu
karakter
yang
mampu
menghilangkan dan membebaskan dari segala belenggu atau
50
dominasi tuhan-tuhan temporal yang relatif, seperti materi dan hawa nafsu, kemudian mengisi diri sepenuh hati dengan Allah, Tuhan yang mutlak. 2). Kakter mushalli, yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah (Ilahi) dan dengan sesama manusia (insani). Komunikasi
Ilahiyah
ditandai
dengan
takbir,
sedang
komunikasi insaniyah ditandai dengan salam. Karakter ini juga menghendaki adanya kebersihan dan kesucian lahir dan batin. Kesucian lahir diwujudkan dalam wudhu, sedang kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyukan. 3). Karakter muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan kesucian jiwanya serta untuk pemerataan kesejahteraan umat pada umumnya. Karakter ini menghendaki adanya pencarian harta secara halal dan mendistribusikannya dengan cara yang halal pula. Ia menuntut adanya produktifitas dan kreatifitas. 4). Karakter sha’im, yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan diri dari nafsu-nafsu rendah, seperti menahan makan, minum, hubungan seksual pada waktu, tempat dan cara yang dilarang. 5). Karakter hajji, yaitu karakter yang mau mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT. Karakter ini menghasilkan jiwa yang egaliter, memiliki
51
wawasan inklusif dan pluralistik, melawan kebatilan, serta meningkatkan wawasan wisata spiritual. c. Metode Ihsan Metode ihsan berkaitan dengan prinsip-prinsip moral dan etika. Metode ini apabila dilakukan dengan benar maka membentuk kepribadian muhsin (syakhsiyah al-muhsin) yang dapat ditempuh melalui beberapa tahapan: 1). Tahap permulaan (al-bidayah) Pada tahapan ini, seseorang merasa rindu kepada Khalik-nya. Ia sadar dalam kerinduannya itu terdapat tabir (al-hijab) yang menghalangi
hubungannya,
sehingga
ia
berusaha
menghilangkan tabir tersebut. Tahapan ini disebut juga tahapan takhalli. Takhalli adalah mengosongkan diri dari segala sifatsifat yang kotor, tercela, dan maksiat. Kepribadian muhsin tingkat ini diantaranya meninggalkan syirik, kufur, nifaq, bid’ah, sombong, riya’ dan sebagainya. 2).Tahap kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujahadat). Pada tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifatsifat tercela dan maksiat, kemudian ia berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang baik. Tahapan ini disebut juga tahapan tahalli. Tahalli adalah upaya mengisi diri dengan sifat-sifat yang baik. Fase yang umum dipakai untuk kepribadian muhsin ini adalah:
52
a. Taubat dari segala tingkah laku yang mengandung dosa. b. Menjaga diri dari hal-hal yang syubhat (al-wara’). c. Tidak terikat oleh gemerlapan materi atau dunia (al-zuhud). d. Merasa butuh pada Allah (al-faqr). e. Sabar terhadap cobaan dan melaksanakan kebajikan. f. Tawakal pada putusan Allah, dan sebagainya. Dalam
tahapan
al-mujahadat,
seseorang
yang
melaksanakannya harus ditopang oleh tujuh pendidikan dan latihan psikofisik (riyadhat al-nafs), yaitu: a). Musyarathah, yaitu memberikan dan menentukan syarat bagi diri sendiri, dengan cara membekali diri dengan iman dan ilmu pengetahuan, memperingatkan diri menjauhi segala maksiat dan mendekati perbuatan ma’ruf. b). Muraqabah, yaitu mawas diri dari perbuatan maksiat agar selalu dekat kepada Allah. Kedekatan Allah dengan manusia sangat tergantung pada kedekatan manusia. Jika manusia mendekat niscaya Dia mendekat, tetapi jika manusia menjauh maka Dia juga akan menjauh. c). Muhasabah, yaitu membuat perhitungan terhadap tingkah laku yang diperbuat. Apakah perbuatan yang dilakukan hari ini lebih baik dari hari kemarin. Jika lebih jelek maka ia harus beristighfar dan berusaha memperbaikinya. Jika sama berarti kehidupannya statis dan tidak memperoleh nilai
53
lebih sama sekali. Jika ternyata lebih baik maka harus disyukuri dan tetap dilakukan secara istiqamah. d). Mu’aqabah, yaitu menghukum diri karena melakukan keburukan dengan cara berbuat baik, sebab perbuatan baik dapat menghapus perbuatan buruk. e). Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh berusaha menjadi baik. Dalam kesungguhan itu, seseorang tidak lagi memperdulikan
pengorbanan
yang
dikeluarkan,
baik
dengan harta maupun jiwa. Dalam mujahadah diperlukan adanya jihad dan ijtihad, sedang jihad yang paling berat adalah melawan hawa nafsu. f). Mu’atabah, yaitu menyesali diri atas perbuatan dosanya dengan cara bertaubat (kembali pada hukum-hukum dan aturan-aturan Allah). g). Mukasyafah, yaitu membuka penghalang atau tabir agar tersingkap
semua
rahasia
Allah.
Ketidakbahagiaan
seseorang sesungguhnya disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang cara dan hukum yang ditempuh untuk memperoleh kebahagiaan itu. Ketika seseorang telah memperoleh kasyaf, maka pola hidupnya selalu baik dan benar, terhindar dari hal-hal yang munkar, dan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
54
3). Tahap merasakan (al-muziqat). Pada tahapan ini seorang hamba tidak sekedar menjalankan perintah sang Khalik dan menjauhi larangan-Nya, namun ia merasa kelezatan, kedekatan, kerinduan dengan-Nya. Tahapan ini disebut juga tajalli. Tajalli adalah menampakkannya sifatsifat Allah SWT pada diri manusia setelah sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir yang menghalangi menjadi sirna (Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001: 150-161).
2.2. Bimbingan Konseling Islam 2.2.1. Pengertian Bimbingan Konseling Islam Bimbingan dan konseling merupakan alih bahasa dari istilah inggris guidance dan counseling. Mengenai kedudukan dan hubungan antara bimbingan dan konseling terdapat banyak pandangan, salah satunya memandang konseling sabagai teknik bimbingan. Dengan kata lain, konseling berada di dalam bimbingan. Pendapat lain mengatakan bahwa bimbingan terutama memusatkan diri pada pencegahan munculnya masalah sementara konseling memusatkan diri pada pencegahan masalah yang dihadapi individu. Dalam pengertian lain, bimbingan sifat atau fungsinya preventif, sementara konseling kuratif atau korektif. Dengan demikian bimbingan dan konseling berhadapan dengan obyek garapan yang sama, yaitu problem atau masalah. Perbedaannya terletak pada titik berat perhatian dan perlakuan terhadap masalah tersebut.
55
a. Pengertian bimbingan Islami Bimbingan
itu
sendiri
didefinisikan
bermacam-macam.
Prayitno dan Erman Amti mendefinisikan bimbingan dengan menyimpulkan rumusan-rumusan pengertian yang dikemukakan oleh para tokoh. Keduanya menyimpulkan bahwa bimbingan adalah: “Proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anakanak, remaja maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan; berdasarkan normanorma yang berlaku” (Prayitno dan Erman Amti, 1999: 99). Sedangkan pengertian bimbingan Islami dikemukakan oleh Aunur Rahim Faqih sebagai berikut : “Proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat” (Faqih, 2001: 4). Bimbingan Islami merupakan proses pemberian bantuan, artinya
bimbingan
melainkan
sekedar
tidak
menentukan
membantu
individu.
atau
mengharuskan,
Individu
dibantu,
dibimbing, agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah. Maksudnya sebagai berikut : 1. Hidup selaras dengan ketentuan Allah artinya sesuai dengan kodrat yang ditentukan Allah; sesuai dengan sunnatullah; sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Allah;
56
2. Hidup selaras dengan petunjuk Allah artinya sesuai dengan pedoman yang telah ditentukan Allah melalui rasul-Nya (ajaran Islam); 3. Hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah berarti menyadari eksistensi diri sebagai makhluk Allah untuk mengabdi kepadanya; mengabdi dalam arti seluas-luasnya. (Faqih, 2001: 4). Dengan
demikian
bimbingan
Islami
merupakan
proses
bimbingan sebagaimana kegiatan bimbingan lainnya, tetapi dalam seluruh seginya berlandaskan ajaran Islam, artinya berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. b. Pengertian konseling Islami 1. Secara etimologis Istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa AngloSaxon, istilah konseling berasal dari “sellen” yang berarti “menyerahkan” atau menyampaikan.” (Prayitno dan Erman Amti, 1999: 100). 2. Secara terminologi Pengertian konseling secara umum dikemukakan oleh beberapa pakar, yaitu sebagai berikut:
57
a. Dewa Ketut Sukardi “Konseling adalah suatu upaya bantuan yang dilakukan dengan empat mata atau tatap muka antara konselor dan konseli yang berisi usaha yang laras, unik, human (manusiawi), yang dilakukan dalam suasana keahlian dan yang didasarkan atas norma-norma yang berlaku, agar memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri dalam memperbaiki tingkah lakunya pada saat ini dan mungkin pada masa yang akan datang.” (Sukardi, 2000: 22). b. Prayitno dan Erman Amti “Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.” (Prayitno dan Erman Amti, 1999: 99). c. Hasan Langgulung “Konseling adalah proses yang bertujuan menolong seseorang yang mengidap kegoncangan emosi sosial yang belum sampai kepada tingkat kegoncangan psikologis atau kegoncangan akal, agar ia dapat menghindari diri dari padanya.” (Langgulung, 1986: 452). Dari pendapat para pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa konseling adalah sebuah proses pemberian batuan dengan cara wawancara antara seorang konselor dengan seorang klien, yang sedang mengalami suatu masalah psikologis dengan tujuan klien memahami masalahnya tersebut dan dapat menyelesaikannya sendiri. Definisi-definisi tersebut hanya merupakan pemahaman dari pemikiran empiris sanis belaka yang tidak melibatkan unsur Islam, dengan kata lain tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
58
Sedangkan dalam konseling Islami adalah penjabaran dari ayatayat Al-Qur’an sebagai dasar rujukan yang dijadikan landasan dalam proses konseling. Kemudian jika aspek Islam dimasukkan dalam pengertian konseling, maka akan dihasilkan rumusan pengertian konseling Islami sebagai berikut : a. Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits Landasan (fondasi atau dasar pijak) utama konseling Islami adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits, sebab keduanya merupakan sumber dari segala sumber pedoman kehidupan umat Islam. Al-Qur’an dan Al-Hadits dapatlah diistilahkan sebagai landasan ideal dan konseptual konseling Islami. Dari Al-Qur’an dan Al-Hadits itulah gagasan, tujuan dan konsep-konsep konseling Islami bersumber (Musnamar, 1992: 5-6). Jika Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dasar utama yang dilihat dari sudut asal-usulnya, yang merupakan landasan “naqliyah”, maka dasar lain yang digunakan dalam konseling Islami yang sifatnya “aqliyah” adalah filsafat dan ilmu (pendapat para pakar muslim). Dalam Islam, aktivitas konseling sangat kental, luas dan lengkap. Karena ajaran Islam datang ke permukaan bumi ini memiliki tujuan yang sangat prinsip atau mendasar, yaitu membimbing, mengarahkan, menganjurkan kepada manusia
59
menuju kepada jalan yang benar yaitu “jalan Allah”. Dengan jalan itulah manusia akan dapat hidup selamat dan bahagia di dunia hingga di akhirat. Keselamatan dan kebahagiaan tidak dapat diraih begitu saja dengan
mudah,
melainkan
memerlukan
perjuangan,
pengorbanan dan upaya yang disiplin, terus menerus dan totalitas dengan prinsip saling tolong menolong, kebersamaan dan penuh kasih sayang (Adz-Dzaky, 2002: 181). Islam adalah nama dari agama yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia sebagai falsafah dan sandaran hidup. Di dalamnya mengandung ajaran yang membimbing dan mengarahkan akal fikiran, jiwa qalbu, indrawi dan jasmani kepada kefitrahan yang selalu cenderung untuk berbuat ketaatan dan ketauhidan kepada Yang Maha Mencipta, yaitu kecenderungan positif yang pada eksistensinya ada di dalam diri setiap manusia yang ada di permukaan bumi ini. Firman Allah SWT. surat Al-Maidah ayat 3:
اﻟﻴﻮم أآﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ دﻳﻨﻜﻢ وأﺗْﻤﻤﺖ ﻋﻠﻴﻜﻢ ورﺽﻴﺖ ﻟﻜﻢ اﻹﺱﻼم دﻳﻨﺎ ( 3 : ) ا ﻟﻤﺎ ﺉﺪﻩ Artinya : “Hari ini Aku telah menyempurnakan untukmu agamamu dan Aku aku telah mencukupkan nikmat-Ku untukmu dan Aku telah meridhai Islam sebagai agama bagimu. (Q.S. Al-Maidah: 3) (Tim Disbintalad, 1999: 193).
60
Oleh karena itu, bagi siapa saja yang tidak mengikuti fitrahNya dan kecenderungan atau dorongan fitrah itu yang ada dalam dada, maka ia akan mendapatkan kerugian yang besar di bumi dan di langit, di dunia hingga di akhirat, karena telah terlepas dan terjauh dari bimbingan dan petunjuk-Nya. (Adz Dzakky, 2002: 182-183). Konseling menurut ajaran Al-Qur’an adalah merupakan upaya meningkatkan kemampuan daya tangkal yang bersumber pada kemantapan iman dan jati diri menuju takwa kepada Allah SWT. sekarang dan pada waktu mendatang sesuai dengan fitrah manusia yang bahagia dan sejahtera hidupnya. Sabda Nabi Muhammad SAW. :
اﻟﺪّﻳﻦ:ﻲ ﺹﻠَﻰ اﷲ ﻋﻠَﻴﻪ وﺱﻠﱠﻢ ﻗَﺎل ّ ن اﻟﻨّﺒ ّأ:ى ّ ﻋﻦ ﺗﻤﻴﻢ اﻟﺪّار ﻷ ﺉﻤّﺔ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ َ ِﷲ وﻟﻜﺘﺎﺑﻪ وﻟﺮﺱﻮﻟﻪ و:ِﻟﻤﻦ ؟ َﻗﺎل:ﺼﻴﺤﺔ ﻗﻠﻨﺎ ِ اﻟ ّﻨ (وﻋﺎﻣّﺘﻬِﻢ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ Artinya : “Dari Tamim Ad-Dariyyi: Sesunguhnya Nabi SAW. telah bersabda: Agama itu nasehat, kami bertanya kepada beliau, untuk siapa? Rasulullah menjawab : Untuk Allah, kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya dan untuk pemimpin kaum dan umat Islam seluruhnya.”(H.R. Muslim) (Muslim, 1991: 74). Dari beberapa ayat dan Hadits di atas, menunjukkan secara jelas bahwa konseling Islami adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya
61
seorang
konseli
dapat
mengembangkan
potensi
akal
pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada AlQur’an dan Hadits Rasulullah SAW. b. Menurut pakar 1. Hamdani Bakran Adz-Dzaky “Suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.” (Adz-Dzaky, 2001: 180). 2. HM. Arifin “Konseling adalah usaha pemberian bantuan kepada seseorang yang mengalami kesulitan baik lahiriah maupun batiniah yang menyangkut kehidupannya di masa kini dan di masa mendatang. Bantuan tersebut berupa pertolongan di bidang mental dan spiritual agar orang yang bersangkutan mampu mengatasinya dengan kemampuan yang ada pada dirinya mapun dorongan dari kekuatan iman dan takwa kepada Allah.” (Arifin,1994: 6). 3. Thohari Musnamar “Konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat”. (Musnamar, 1992: 5).
62
Dari beberapa definisi tentang konseling yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut baik dalam kerangka term pendidikan secara umum maupun pendidikan Islam, maka peneliti menyimpulkan bahwa konseling Islami adalah proses pemberian bantuan secara kontinyu terhadap individu agar mampu hidup selaras, mandiri dengan ketentuan dan petunjuk dari Allah SWT., sehingga ia dapat meningkatkan amal shaleh baik dari pengertian dan kemampuannya dalam menghadapi berbagai masalah yang pada akhirnya akan mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. 2.2.2. Asas-Asas Bimbingan Konseling Islami Bimbingan konseling Islami berlandaskan terutama kepada AlQur’an dan Al-Hadits atau Sunnah Nabi, ditambah dengan berbagai landasan filosofis dan landasan keimanan. Berdasarkan landasanlandasan tersebut dijabarkan asas-asas atau prinsip-prinsip pelaksanaan konseling Islami (Faqih, 2001: 21-22), yaitu sebagai berikut: a. Asas kebahagiaan dunia dan akhirat Bimbingan dan konseling Islam tujuan akhirnya adalah membantu klien, yakni orang yang dibimbing, mencapai kebahagiaan hidup yang senantiasa didambakan oleh setiap muslim. Firman Allah SWT. surat Al-Baqarah ayat 201:
وﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﻘﻮل رﺑّﻨ َﺎ اﺗﻨَﺎ ﻓﻰ اﻟ ّﺪ ﻥﻴَﺎ ﺣﺴﻨﺔ ّو ﻓﻰاﻻﺧﺮة ﺣﺴﻨﺔ وّﻗﻨَﺎ (201 : ﻋﺬاب اﻟﻨّﺎر )اﻟﺒﻘﺮة
63
Artinya : “Dan diantara mereka ada yang mendo’a: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”(Q.S. Al-Baqarah: 201) (Tim Disbintalad, 1999: 56). Kebahagiaan hidup duniawi bagi seorang muslim hanya merupakan kebahagiaan yang sifatnya sementara, kebahagiaan akhiratlah yang menjadi tujuan utama, sebab kebahagiaan akhirat merupakan kebahagiaan abadi. Kebahagiaan akhirat akan tercapai bagi semua manusia jika dalam kehidupan dunianya juga mengingat Allah. Oleh karena itulah Islam mengajarkan hidup dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kehidupan keduniaan dan keakhiratan (Faqih, 2001: 22-23). b. Asas fitrah Bimbingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada klien untuk mengenal, memahami dan menghayati fitahnya sehingga segala gerak tingkah laku dan tindakannya sejalan dengan fitrahnya tersebut. Manusia menurut Islam dilahirkan dalam atau dengan membawa fitrahnya, yaitu berbagai kemampuan potensial bawaan dan kecenderungan sebagai muslim atau beragama Islam. Konseling Islami membantu klien untuk mengenal dan memahami fitrahnya itu, atau mengenal kembali fitrahnya tersebut manakala pernah “tersesat”, serta menghayatinya sehingga dengan demikian akan mampu mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
64
karena bertingkah laku sesuai dengan fitrahnya itu. Hadits Nabi Muhammad SAW.:
أ ّن رﺱﻮل اﷲ ﺹﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ ﻗﺎل آ ّﻞ إﻥﺴﺎن ﺗﻠﺪﻩ أﻣّﻪ ﻋﻠَﻰ: ﻋﻦ أﺑﻰ هﺮﻳﺮة ﺠّﺴﺎ ﻥﻪ ﻓﺈن آﺎﻥﺎ ﻣﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓَﻤﺴﻠﻢ ِ ﺼّﺮاﻥﻪ وﻳﻤ ِ وأﺑﻮاﻩ ﺑﻌﺪ ﻳﻬ ِّﻮ داﻥﻪ وﻳﻨ. اﻟْﻔﻄﺮة .()رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ Artinya : “Dari Abi Hurairah: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda: Setiap manusia dilahirkan ibunya dalam keadaan fitrah. Dan kemudian ayah-ibunya yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi. Dan jika ayah-ibunya itu seorang muslim, maka jadilah (si anak) seorang muslim.” (H.R. Muslim). Fitrah kerap kali juga diartikan sebagai bakat, kemampuan, atau potensi. Dalam arti luas maka potensi dan bakat tersebut diperhatikan pula dalam bimbingan dan konseling Islam (Faqih, 2001: 23-24). c. Asas “lillahi ta’ala” Bimbingan dan konseling Islam dilaksanakan semata-mata karena Allah SWT. konsekuensi dari asas ini berarti konselor melakukan tugasnya dengan penuh keikhlasan, tanpa pamrih, sementara klien menerima atau meminta konseling pun dengan ikhlas dan rela pula, karena semua pihak merasa bahwa semua yang dilakukan adalah karena dan untuk pengabdian kepada Allah semata, sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagai makhluk Allah yang harus senantiasa mengabdi kepada-Nya (Faqih, 2001: 24-25). Firman Allah SWT. surat Adz-Dzariyat ayat 56:
65
(56 : ن )اﻟﺬ ارﻳﺎ ت ِ ﻻ ﻟﻴﻌﺒﺪ و ّ ﻦ وا ﻻِﻥﺲ ا ّ وﻣﺎ ﺧﻠَﻘﺖ اﻟﺠ Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat : 56) (Tim Disbintalad, 1999: 1051). d. Asas bimbingan seumur hidup Manusia hidup betapapun tidak akan ada yang sempurna dan selalu bahagia. Dalam kehidupannya mungkin saja manusia akan menjumpai berbagai kesulitan dan kesusahan. Oleh karena itu, bimbingan dan konseling Islam diperlukan selama hayat masih di kandung badan. Kesepanjanghayatan konseling ini, selain dilihat dari kenyataan hidup manusia, dapat pula dilihat dari sudut pendidikan. Seperti telah
diketahui
bahwa
konseling
merupakan
bagian
dari
pendidikan. Pendidikan sendiri berasaskan pendidikan seumur hidup, karena belajar menurut Islam,wajib dilakukan oleh semua orang Islam, tanpa membedakan usia (Faqih, 2001: 25). e. Asas kesatuan jasmaniah-rohaniah Manusia dalam hidupnya di dunia merupakan satu kesatuan jasmaniah
rohaniah.
Bimbingan
dan
konseling
Islam
memperlakukan kliennya sebagai makhluk jasmaniah-rohaniah tersebut, tidak memandang sebagai makhluk biologis semata, atau makhluk rohaniah semata (Faqih, 2001: 26). Firman Allah SWT. surat Al-Isra’ ayat 72 yang menyebutkan perlunya keseimbangan jasmani dan rohani sebagai berikut :
66
ﻞ ﺱﺒﻴﻼ ّ وﻣﻦ آﺎن ﻓﻲ هﺬﻩ اﻋﻤﻰ ﻓﻬﻮ ﻓﻰ اﻻﺧﺮة اﻋﻤﻰ واَﺽ (72 : )اﻻﺱﺮاء Artinya : “Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (Q.S. Al-Isra’: 72) (Tim Disbintalad, 1999: 541). f. Asas keseimbangan rohaniah Rohani manusia memiliki unsur daya kemampuan pikir, merasakan atau menghayati dan kehendak atau hawa nafsu, serta juga akal. Kemampuan ini merupakan sisi lain kemampuan fundamental potensial untuk mengetahui, memperhatikan atau menganalisis, dan menghayati. Bimbingan dan konseling Islami menyadari keadaan kodrati manusia tersebut, dan dengan berpijak pada firman-firman
Allah
serta
Hadits
Nabi,
membantu
klien
memperoleh keseimbangan diri dalam segi mental rohaniah tersebut. Firman Allah surat Al-A’raf ayat 179:
ﻻ ﻳﻔﻘﻬﻮن ﺑﻬﺎ ّ ﺲ ﻟَﻬﻢ ﻗﻠﻮب ِ ﻦ واﻻﻥ ِّ وﻟَﻘﺪ ذرأﻥﺎ ﻟﺠﻬﻨّﻢ آﺜﻴﺮا ِﻣّﻦ اﻟﺠ وﻟَﻬﻢ اﻋﻴﻦ ﻻّﻳﺒﺼِﺮون ﺑﻬﺎ وﻟَﻬﻢ اذان ﻻّﻳﺴﻤﻌﻮن ﺑﻬﺎ اوﻟﺌﻚ آﺎﻻﻥﻌﺎم (179 : ﻞ اوﻟﺌﻚ هﻢ اﻟﻐﻔِﻠﻮن )اﻻﻋﺮاف ّ ﺑﻞ هﻢ اﺽ Artinya : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
67
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S. AlA’raf: 179) (Tim Disbintalad, 1999: 318). Orang yang dibimbing diajak untuk mengetahui apa-apa yang perlu diketahuinya, kemudian memikirkan apa-apa yang perlu dipikirkannya, sehingga memperoleh kayakinan, tidak menerima begitu saja, tetapi juga tidak menolak begitu saja.
Kemudian
diajak memahami apa yang perlu dipahami dan dihayatinya setelah berdasakan pemikiran dan analisis yang jernih diperoleh keyakinan tersebut. Klien diajak untuk menginternalisasikan norma dengan mempergunakan
semua
kemampuan
rohaniah
potensialnya
tersebut, bukan cuma mengikuti hawa nafsu (perasaan dangkal, kehendak) semata (Faqih, 2001: 27-28). g. Asas kemaujudan individu Bimbingan dan konseling Islam berlangsung pada citra manusia menurut Islam, memandang seseorang individu merupakan suatu maujud
(eksistensi)
tersendiri.
Individu
mempunyai
hak,
mempunyai perbedaan individu dari yang lainnya, dan mempunyai kemerdekaan pribadi sebagai konsekuensi dari haknya dan kemampuan fundamental potensial rohaniahnya (Faqih, 2001: 2829). Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.:
ن ﻟﺮﺑّﻚ ﻋﻠﻴﻚ ّ ن رﺱﻮل اﷲ ﺹﻠّﻰ اﷲ ُﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠّﻢ ﻗﺎل إ ّ أ: ﻋﻦ ﺱﻠﻤﺎن .ﻖ ﺣﻘّﻪ ّ ﻞ ذى ﺣ ّ ﺣﻘّﺎ وﻟﻨﻔﺴﻚ ﻋﻠﻴﻚ ﺣﻘّﺎ وﻷهﻠﻚ ﻋﻠﻴﻚ ﺣﻘّﺎ ﻓﺄﻋﻂ آ
68
()رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى Artinya : “Dari Salman: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda: Bahwasanya Tuhanmu mempunyai hak atasmu yang wajib engkau tunaikan, begitu juga dirimu dan ahlimu semuanya mempunyai hak yang wajib engkau tunaikan. Dekatilah ahlimu, dan berikanlah hak mereka masing-masing.” (H.R. Bukhori). h. Asas sosialitas manusia Manusia merupakan makhluk sosial. Hal ini diakui dan diperhatikan dalam konseling Islami. Pergaulan, cinta kasih, rasa aman, penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, rasa memiliki dan dimiliki, semuanya merupakan aspek-aspek yang diperhatikan di dalam bimbingan dan konseling Islam, karena merupakan citra hakiki manusia. Dalam bimbingan dan konseling Islam, sosialitas manusia diakui dengan memperhatikan hak individu, individu juga diakui dalam batas tanggung jawab sosial, dan masih ada pula hak “alam” yang harus dipenuhi manusia (prinsip ekosistem), begitu pula hak Tuhan (Faqih, 2001: 29). Firman Allah SWT. surat An-Nisa ayat 1:
ﻳﺎﻳّﻬﺎاﻟﻨَﺎس اﺗّﻘﻮارﺑّﻜﻢ اﻟَﺬي ﺧﻠَﻘﻜﻢ ﻣّﻦ ﻥّﻔﺲ وّاﺣﺪة وّﺧﻠَﻖ ﻣﻨﻬﺎ ﺚ ﻣﻨﻬﻤﺎ رﺟﺎﻻ آﺜﻴﺮا وﱠﻥﺴﺎء واﺗّﻘﻮااﷲ اﻟَﺬي ﺗﺴﺎءﻟﻮن ﺑﻪ ّ زوﺟﻬﺎ وﺑ (1 : ن اﷲ آﺎن ﻋﻠَﻴﻜﻢ رﻗﻴﺒﺎ )اﻟﻨﺴﺎء ّ واﻻرﺣﺎم ا Artinya : “Hai Sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
69
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisa: 1) (Tim Disbintalad, 1999: 140). i. Asas kekhalifahan manusia Manusia menurut Islam, diberi kedudukan yang tinggi sekaligus tanggung jawab yang besar, yaitu sebagai pengelola alam semesta (khalifatullah fil ard). Dengan kata lain, manusia dipandang sebagai makhluk berbudaya yang mengelola alam sekitar sebaikbaiknya.
Sebagai
khalifah,
manusia
harus
memelihara
keseimbangan ekosistem, sebab problem-problem kehidupan kerap kali muncul dari ketidakseimbangan ekosistem tersebut yang diperbuat oleh manusia itu sendiri (Faqih, 2001: 30). Firman Allah SWT. surat Ar-Ruum ayat 41:
ﻇﻬﺮاﻟﻔﺴﺎد ﻓﻲ اﻟﺒ ّﺮ واﻟﺒﺤﺮ ﺑِﻤﺎ آﺴﺒﺖ أَﻳﺪي اﻟﻨّﺎس ﻟﻴﺬﻳﻘﻬﻢ ﺑﻌﺾ (41 : اﻟّﺬي ﻋﻤِﻠﻮا ﻟَﻌﻠّﻬﻢ ﻳﺮﺟﻌﻮن )اﻟﺮوم Artinya : ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar.” (Q.S. Ar-Rum: 41) (Tim Disbintalad, 1999: 801). j. Asas keselarasan dan keadilan Islam menghendaki keharmonisan, keselarasan, keseimbangan, keserasian
dalam
segala
segi.
Dengan
kata
lain,
Islam
menghendaki manusia berlaku “adil” terhadap hak dirinya sendiri,
70
hak orang lain, hak alam semesta, dan juga hak Tuhan (Faqih, 2001: 32). Firman Allah SWT. surat An-Nisa ayat 135:
(135 : )اﻟﻨﺴﺎء... ﻳﺎ ﻳّﻬﺎ اﻟّﺬ ﻳﻦ ا ﻣﻨﻮا آﻮﻥﻮ ا َﻗﻮﱠا ﻣﻴﻦ ﺑﺎ ﻟﻘﺴﻂ Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan.” (Q.S. An-Nisa: 135) (Tim Disbintalad, 1999: 179 ). k. Asas pembinaan akhlaqul karimah Manusia menurut pandangan Islam, memiliki sifat-sifat yang baik (mulia, dan sebagainya) sekaligus mempunyai sifat-sifat lemah. Sifat-sifat yang baik merupakan sifat yang dikembangkan oleh bimbingan dan konseling Islam. Bimbingan dan konseling Islam, membantu klien memelihara, mengembangkan, menyempurnakan sifat-sifat yang baik tersebut. Sejalan dengan tugas dan fungsi Rasulullah diutus oleh Allah SWT. (Faqih, 2001: 32). Firman Allah SWT. surat Al-Ahzab ayat 21:
ل اﷲ اﺱﻮة ﺣﺴﻨَﺔ ﻟّﻤﻦ آﺎن ﻳﺮﺟﻮااﷲ واﻟﻴﻮم ِ ﻟﻘَﺪ آﺎن ﻟَﻜﻢ ﻓﻲ رﺱﻮ (21 : اﻻَﺧﺮوذآﺮ اﷲ آﺜﻴﺮا )اﻻﺣﺰاب Artinya : ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. AlAhzab: 21) (Tim Disbintalad, 1999: 827). l. Asas kasih sayang Setiap manusia memerlukan cinta kasih dan rasa sayang dari orang lain. Rasa kasih sayang ini dapat mengalahkan dan menundukkan
71
banyak hal. Bimbingan dan konseling Islam dilakukan dengan berlandaskan kasih dan sayang, sebab hanya dengan kasih sayanglah konseling akan berhasil (Faqih, 2001: 33). Hadits Nabi Muhammad SAW. :
ﻻﻳﺆﻣﻦ: ﻰ ﺹﻠّﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠّﻢ ﻗﺎل ّ ﻋﻦ اﻟﻨّﺒ, ﻋﻦ أﻥﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ﺐ ﻟﻨﻔﺴﻪ ّ ﺐ ﻷﺧﻴﻪ ﻣﺎ ﻳﺤ ّ اﺣﺪآﻢ ﺣﺘﱠﻰ ﻳﺤ Artinya : “Tiadalah seseorang beriman sampai ia mencintai saudaranya (sesama manusia seperti ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Muslim). m. Asas saling menghargai dan menghormati Dalam bimbingan dan konseling Islam, kedudukan konselor dan klien pada dasarnya sama atau sederajat; perbedaannya terletak pada fungsinya saja, yakni pihak yang satu memberikan bantuan dan yang satu menerima bantuan. Hubungan yang terjalin antara kedua belah pihak merupakan hubungan yang saling menghormati sesuai dengan kedudukannya masing-masing sebagai makhluk Allah SWT. Pembimbing dipandang diberi kehormatan yang dibimbing karena dirinya dianggap mampu memberikan bantuan mengatasi kesulitannya atau untuk tidak mengalami masalah, sementara klien diberi kehormatan atau dihargai oleh konselor dengan cara yang bersangkutan bersedia membantu atau membimbingnya (Faqih, 2001: 33-34). Prinsip saling menghargai ini seperti yang diajarkan Allah dalam kasus yang relatif sederhana sebagai berikut:
72
ﻞ ّ ن اﷲ آﺎن ﻋﻠﻰ آ ّ واذاﺣﻴّﻴﺘﻢ ﺑﺘﺤﻴّﺔ ﻓﺤﻴّﻮاﺑﺎﺣﺴﻦ ﻣﻨﻬﺎ اوردّوهﺎ ا ( 86 : ﺷﻴﺊ ﺣﺴﻴﺒﺎ ) اﻟﻨﺴﺎء Artinya : ”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu.” (Q.S. An-Nisa: 86) (Tim Disbintalad, 1999: 165). n. Asas musyawarah Bimbingan
dan
konseling
Islam
dilakukan
dengan
asas
musyawarah; artinya antara pembimbing atau konselor dengan yang dibimbing atau klien terjadi dialog yang baik, satu sama lain tidak saling mendikte, tidak ada perasaan tertekan dan keinginan tertekan. (Faqih, 2001: 34). Firman Allah SWT. :
ﻓﺒﻤﺎ رﺣﻤﺔ ﻣﻦ اﷲ ﻟﻨﺖ ﻟﻬﻢ وﻟﻮ آﻨﺖ ﻓﻈﺎ ﻏﻠﻴﻈﺎ اﻟﻘﻠﺐ ﻻﻥﻔﻀﻮاﻣﻦ ﺣﻮﻟﻚ ﻓﺎ ﻋﻒ ﻋﻨﻬﻢ واﺱﺘﻐﻔﺮ ﻟﻬﻢ وﺷﺎورهﻢ ﻓﻰاﻻﻣﺮ ( 159 : ) ال ﻋﻤﺮان Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..........”(Q.S. Ali Imran, 3: 159) (Tim Disbintalad, 1999: 128-129).
73
o. Asas keahlian Bimbingan dan konseling Islam dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki keahlian di bidang tersebut, baik keahlian dalam metodologi dan teknik-teknik bimbingan dan konseling, maupun dalam bidang yang menjadi permasalahan (obyek garapan atau materi) bimbingan dan konseling. (Faqih, 2001: 35). 2.2.3. Tujuan Bimbingan Konseling Islami Menurut Faqih (2001: 35), secara umum tujuan bimbingan konseling Islami adalah sebagai berikut : “Membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.” Individu yang dimaksud di sini adalah orang yang dibimbing atau klien, baik orang perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan diri sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia untuk menjadi manusia yang selaras perkembangan
unsur
dirinya
dan
pelaksanaan
fungsi
atau
kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu, makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya (Musnamar, 1992: 33). Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor manusia bisa tidak seperti yang dikehendaki, yakni menjadi manusia yang seutuhnya. Dengan kata lain yang bersangkutan berhadapan dengan masalah (problem), yaitu menghadapi adanya kesenjangan antara yang
74
seharusnya (ideal) dengan yang senyatanya. Orang yang menghadapi masalah, lebih-lebih jika berat, maka yang bersangkutan tidak merasa bahagia. Konseling Islami berusaha membantu individu agar bisa hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat. Karena itu tujuan akhir konseling Islami adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat (Musnamar, 1992: 33). Firman Allah SWT. surat Al‘Ashr ayat 1-3
ﻻ اﻟّﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا ّ ( ا2) ن اﻻﻥﺴﺎن ﻟﻔﻲ ﺧﺴﺮ ّ ( إ1) واﻟﻌﺼﺮ ّ وﻋﻤﻠﻮااﻟﺼّﻠﺤﺖ وﺗﻮاﺹﻮا ﺑﺎﻟﺤ .(3) ﻖ وﺗﻮاﺹﻮا ﺑﺎﻟﺼّﺒﺮ (3-1 : )اﻟﻌﺼﺮ Artinya : “Demi masa (1). Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian (2). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehatmenasehati supaya mentaati kebenaran dan nesehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (3). (Q.S. Al‘Ashr: 1-3) (Tim Disbintalad, 1999: 1266). Konseling Islami berusaha membantu mencegah jangan sampai individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain, membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan pencegahan masalah ini merupakan salah satu tujuan pemberian konseling Islami. Karena berbagai faktor, individu bisa juga terpaksa menghadapi masalah, dan kerap kali pula individu tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka konseling Islami berusaha membantu memecahkan masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan masalah ini merupakan salah satu fungsi konseling Islami juga, khusus
75
merupakan fungsi konseling sebagai bagian sekaligus teknik konseling Islami (Faqih, 2001: 35). Di sisi lain, tujuan konseling dapat difokuskan pada pengoptimalan perkembangan klien, upaya-upaya yang memungkinkan klien lebih maju dalam menguasai tugas dan krisis perkembangan. Hal ini mengandung pengertian bahwa konseling bukan hanya untuk individu yang berkesulitan saja, melainkan konseling dapat dijalankan bagi semua individu (Mappiare, 2004: 67). Tujuan konseling Islami dapat dirumuskan sebagai proses penemuan diri dan duniannya, sehingga individu dapat memilih, merencanakan, memutuskan, memecahkan masalah, menyesuaikan secara
bijaksana,
dan
berkembang
sepenuh
kemampuan
dan
kesanggupannya serta dapat memimpin diri sendiri sehingga individu dapat menikmati kebahagiaan batin yang sedalam-dalamnya dan produktif bagi lingkungannya (Gunawan, 1992: 41). Dengan demikian, secara singkat tujuan konseling Islami dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai (muthmainnah), bersikap lapang dada (radhiyah) dan mendapatkan pencerahan taufiq dan hidayah Tuhannya (mardhiyyah). Firman Allah SWT. surat Ar-Ra’du ayat 11:
(11 : )اﻟﺮﻋﺪ...ن اﷲ ﻻ ﻳﻐﻴّﺮ ﻣﺎ ﺑﻘﻮم ﺣﺘّﻰ ﻳﻐﻴّﺮوا ﻣﺎ ﺑِﺄﻥﻔﺴﻬﻢ ّ إ...
76
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah dirinya sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’du: 11) (Tim Disbintalad, 1999: 465). b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Firman Allah surat Al-Qashash ayat 83:
ﺗﻠﻚ اﻟﺪّار اﻻﺧﺮة ﻥﺠﻌﻠﻬﺎ ﻟﻠّﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﺮﻳﺪون ﻋﻠﻮّا ﻓﻰ اﻻَرض وﻻ ﻓﺴﺎداواﻟﻌﺎﻗﺒﺔ (83 : ﻟﻠﻤﺘّﻘﻴﻦ ) اﻟﻘﺼﺺ Artinya : “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. AlQashash: 83) (Tim Disbintalad, 1999: 774). c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong menolong dan rasa kasih sayang. Sebagaimana firman Allah SWT. surat Al-Ma’idah ayat 2:
ن ِ وﺗﻌﺎوﻥﻮا ﻋﻠَﻰ اﻟﺒ ّﺮ واﻟﺘﻘﻮى وﻻ ﺗﻌﺎوﻥﻮا ﻋﻠَﻰ اﻹﺙﻢ واﻟﻌﺪوا... (2 : ن اﷲ ﺷﺪﻳﺪ اﻟﻌﻘﺎ ب )اﻟﻤﺎﺉﺪة ّ واﺗّﻘﻮا اﷲ إ Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” (Q.S. Al-Ma’idah: 2) (Tim Disbintalad, 1999: 192).
77
d. Untuk menghasilkan kecerdasan spiritual pada diri individu sehingga muncul dan berkembang rasa keinginan untuk berbuat taat kepada Tuhannya, ketulusan mematuhi segala perintah-Nya serta ketabahan menerima ujian-Nya. Firman Allah SWT. surat Ath-Thalaq ayat 4:
(4 : ﻣﻦ ﻳﺘّﻖ اﷲ ﻳﺠﻌﻞ ﻟّﻪ ﻣﻦ أﻣﺮﻩ ﻳﺴﺮا )اﻟﻄﻼق... Artinya : “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (Q.S. Ath-Thalaq: 4) (Tim Disbintalad, 1999: 1139). e. Untuk menghasilkan potensi Ilahiyah, sehingga dengan potensi itu individu dapat melakukan tugasnya sebagai khalifah dengan baik dan benar, ia dapat dengan baik menanggulangi berbagai persoalan hidup, dan dapat memberikan kemanfaatan dan keselamatan bagi lingkungannya pada berbagai aspek kehidupan (Adz-Dzaky, 2002: 21). Firman Allah surat Al-Isra’ 84:
ﻞ ﻳﻌﻤﻞ ﻋﻠَﻰ ﺷﺎآﻠَﺘﻪ ﻓَﺮﺑّﻜﻢ أَﻋﻠَﻢ ﺑِﻤﻦ هﻮ أهﺪى ﺱﺒﻴﻼ ّ ﻗﻞ آ (84 : )اﻻﺱﺮاء Artinya:
“Katakanlah: Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya” (Q.S. AlIsra’: 84) (Tim Disbintalad, 1999: 543).
2.2.4. Fungsi Bimbingan Konseling Islam Fungsi bimbingan dan konseling Islam dirumuskan oleh Faqih, sebagai berikut :
78
a. Fungsi preventif; yakni membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. b. Fungsi
kuratif
atau
korektif,
yakni
membantu
individu
memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya. c. Fungsi preservatif; yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (in state of good). d. Fungsi developmental atau pengembangan; yakni membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya menjadi sebab munculnya masalah baginya (Faqih, 2001: 37). 2.2.5. Metode dan Pendekatan Bimbingan Konseling Islami Yang dimaksud dengan metode konseling Islami adalah landasan berpijak yang benar tentang bagaimana proses konseling itu dapat berlangsung baik dan menghasilkan perubahan-perubahan positif pada klien mengenai cara dan paradigma berfikir, cara menggunakan potensi nurani, cara berperasaan, cara berkeyakinan dan cara bertingkah laku berdasarkan wahyu (Al-Qur’an) dan paradigma kenabian (As-Sunnah) (Adz-Dzaky, 2001: 190). Firman Allah SWT. surat An-Nahl ayat 125 :
ﻞ ر ّﺑﻚ ﺑﺎﻟﺤﻜﻤﺔ واﻟﻤﻮﻋﻈَﺔ اﻟﺤﺴﻨﺔ وﺟﺎدﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟّﺘﻲ هﻲ أَﺣﺴﻦ ِ ادع إﻟﻰ ﺱﺒﻴ
79
(125 : ﻞ ﻋﻦ ﺱﺒﻴﻠﻪ وهﻮ أَﻋﻠَﻢ ﺑﺎﻟﻤﻬﺘﺪ ﻳﻦ ) اﻟﻨﺤﻞ ّ ن رﺑّﻚ هﻮ أﻋﻠﻢ ﺑﻤﻦ ﺽ ّإ Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang telah tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.:” (Q.S. An-Nahl: 125) (Tim Disbintalad, 1999: 526). Ayat di atas menjelaskan tentang metode atau teori dalam membimbing, mengarahkan dan mendidik untuk menuju kepada perbaikan, perubahan dan pengembangan yang lebih positif dan membahagiakan. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut: a. Metode “Al-Hikmah” “Al-Hikmah” dalam perspektif bahasa mengandung makna: (a) Sikap kebijaksanaan yang mengandung asas musyawarah dan mufakat, asas keseimbangan, asas mufakat dan menjauhkan mudharat serta asas kasih sayang; (b) Energi Ilahiyah yang mengandung potensi perbaikan, perubahan, pengembangan dan penyembuhan, (c) Esensi ketaatan dan ibadah; (d) Wujudnya berupa cahaya yang selalu menerangi jiwa, kalbu, akal, fikiran dan inderawi, (e) Kecerdasan Ilahiyah, yang dengan kecerdasan itu segala persoalan hidup dalam kehidupan dapat teratasi dengan baik dan benar; (f) Rahasia ketuhanan yang tersembunyi dan gaib; (g) Ruh dan esensi Al-Qur’an, (h) Potensi kenabian. Dengan demikian metode “Al-hikmah” ialah sebuah pedoman, penuntun dan pembimbing untuk memberi bantuan kepada
80
individu yang sangat membutuhkan pertolongan dalam mendidik dan
mengembangkan
eksistensi
dirinya
hingga
ia
dapat
menyelesaikan atau mengatasi berbagai ujian hidup secara mandiri. Proses aplikasi konseling dengan teori ini semata-mata dapat dilakukan konselor dengan pertolongan Allah secara langsung atau melalui utusan-Nya, yaitu Allah mengutus Malaikat-Nya, dimana ia hadir dalam jiwa konselor atas izin-Nya. Teori ini tidak dapat dilakukan oleh konselor yang tidak taat, tidak dekat dengan Allah dan malaikat-Nya, karena metode ini merupakan metode konseling yang dilakukan para rasul, nabi, dan auliya Allah serta menyangkut problem dan penyakit yang paling berat dan tidak dapat disembuhkan dengan cara-cara manusia atau makhluk,
seperti
penyimpangan-penyimpangan
perilaku
diakibatkan karena terganggunya jiwa, dan yang menyebabkan jiwa terganggu adalah akibat ulah syetan dan iblis, dimana mereka bersenyawa dalam jiwa dan menggerakkan seluruh aktivitas individu dalam prilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun lingkungan (Adz-Dzaky, 2002: 198). b. Metode “Al-Mau’idloh Al-Hasanah” Yang dimaksud metode “Al-Mau’izhoh Al-Hasanah” yaitu metode konseling dengan cara mengambil pelajaran-pelajaran atau i’tibari’tibar dari perjalanan kehidupan para nabi, rasul, para auliya Allah. Bagaimana Allah membimbing dan mengarahkan cara
81
berfikir, cara berperasaan, cara berperilaku serta menanggulangi berbagai problem kehidupan. Bagaimana cara membangun ketaatan dan ketakwaan kepada-Nya, bagaimana cara mereka mengembangkan eksistensi diri dan menemukan jati diri dan citra diri, bagaimana cara mereka melepaskan diri dari hal-hal yang dapat menghancurkan mental spiritual dan moral. Dalam penggunaan teori ini, sebelumnya konselor harus benarbenar telah menguasai dengan baik tentang sejarah, riwayat hidup dan perjuangan orang-orang agung, pejabat-pejabat Allah dan kekasih-kekasih-Nya, khususnya Rasulullah SAW., sebagaimana firman-Nya:
ل اﷲ اﺱﻮة ﺣﺴﻨﺔ ﻟﻤﻦ آﺎن ﻳﺮﺟﻮااﷲ واﻟْﻴﻮْم ِ ﻟَﻘﺪ آﺎن ﻟَﻜﻢ ﻓﻲ رﺱﻮ (21 : اﻻﺧﺮ وذآﺮ اﷲ آﺜﻴﺮا )اﻻﺣﺰاب Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. AlAhzab: 21) (Tim Disbintalad, 1999: 827). Materi “Al-Mau’idloh Al-Hasanah” dapat diambil dari sumbersumber pokok ajaran Islam maupun dari para pakar selama tidak bertentangan dengan norma-norma Islam tersebut (Adz-Dzaky, 2002: 201-202). c. Metode “Mujadalah” Yang dimaksud metode “Mujadalah” ialah metode konseling yang terjadi dimana seorang konseli sedang dalam kebimbangan. Teori
82
ini biasa digunakan ketika seorang konseli ingin mencari suatu kebenaran yang dapat meyakinkan dirinya, yang selama ini ia memiliki problem kesulitan mengambil suatu keputusan dari dua hal atau lebih, sedangkan ia berasumsi bahwa kedua hal atau lebih itu baik dan benar untuk dirinya. Padahal dalam pandangan konselor hal itu dapat membahayakan perkembangan jiwanya, akal fikirannya, emosionalnya dan lingkungannya (Adz-Dzaky, 2002: 202-203). Pada pembahasan di atas, telah dibahas tentang adanya sejumlah teori konseling. Apabila ditilik lebih lanjut teori-teori tersebut, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan, yaitu pendekatan konseling direktif, konseling nondirektif, dan konseling elektrik. Adapun rincian dari masingmasing pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: a. Konseling direktif Konseling
direktif
yang
karena
proses
dan
dinamika
pengentasan masalahnya mirip “penyembuhan penyakit”, pernah juga disebut “konseling klinis” (clinical counseling). Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa klien tidak mampu mengatasi sendiri masalah yang dihadapinya. Karena itu, klien membutuhkan bantuan dari orang lain, yaitu konselor. Dalam konseling direktif, klien bersifat pasif, dan yang aktif adalah konselor.
83
Dengan demikian, inisiatif dan peranan utama pemecahan masalah lebih banyak dilakukan oleh konselor. Klien bersifat menerima perlakuan dan keputusan yang dibuat oleh konselor. Dalam konseling direktif diperlukan data yang lengkap tentang klien untuk dipergunakan dalam usaha diagnosis (Prayitno dan Erman Amti, 1999: 299). b. Konseling non-direktif Konseling non-direktif merupakan upaya bantuan pemecahan masalah yang berpusat pada klien. Melalui pendekatan ini, konseli diberi kesempatan mengemukakan persoalan, perasaan dan pikiran-pikirannya secara bebas. Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Tetapi oleh karena sesuatu hambatan, potensi dan kemampuannya itu tidak dapat berkembang atau berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk mengembangkan dan memfungsikan kembali kemampuannya itu, klien memerlukan bantuan. Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka dalam konseling ini, inisiatif dan peranan utama pemecahan masalah diletakkan di pundak konseli sendiri. Sedangkan kewajiban dan peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar potensi dan kemampuan yang ada pada diri konseli itu
84
berkembang secara optimal, dengan jalan menciptakan hubungan konseling yang hangat dan permisif. Suasana seperti ini akan memungkinkan klien mampu memecahkan sendiri masalahnya (Prayitno dan Erman Amti, 1999: 300). c. Konseling elektrik Dalam kenyataan praktek konseling, menunjukkan bahwa tidak semua masalah dapat dientaskan secara baik hanya dengan satu pendekatan atau teori saja. Ada masalah yang lebih cocok diatasi dengan pendekatan direktif, dan ada pula yang lebih cocok dengan pendekatan non-direktif atau dengan teori khusus tertentu. Dengan perkataan lain, tidaklah dapat ditetapkan bahwa setiap masalah harus diatasi dengan salah satu pendekatan atau teori saja. Pendekatan atau teori mana yang cocok digunakan sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Sifat masalah yang dihadapi (misalnya tingkat kesulitan dan kekomplekannya). 2. Kemampuan klien dalam memainkan peranan dalam proses konseling. 3. Kemampuan konselor sendiri, baik pengetahuan maupun ketrampilan
dalam
menggunakan
masing-masing
pendekatan atau teori konseling. Mereka yang mempelajari pendekatan ini mungkin ada yang tertarik dan merasa
85
dirinya lebih cocok untuk mendalami dan mempraktekkan satu pendekatan tertentu saja. Dan mungkin ada pula yang berusaha “menggabungkan” antara kedua pendekatan tersebut. Kebanyakan diantara mereka bersikap elektrik yang mengambil berbagai kebaikan dari kedua pendekatan konseling
yang
ada
itu,
mengembangkan
dan
menerapkannya dalam praktek sesuai dengan permasalahan klien. Sikap elektrik ini telah ada sejak lama dan bahkan dianggap lebih tepat dan sesuai dengan filsafat atau tujuan konseling daripada sikap yang hanya mengandalkan satu pendekatan saja (Prayitno dan Erman Amti, 1999: 301302). Dengan adanya metode dan pendekatan di atas, maka seorang konselor dapat memilih metode dan pendekatan yang cocok untuk diterapkan dalam proses konseling sesuai dengan sifat permasalahan dan kepribadian seorang klien. 2.3. Korelasi antara Logoterapi dan Konsep Dakwah Korelasi antara logoterapi dan konsep dakwah, kiranya dapat dilihat dari aspek tujuan dan materi dakwah. Menurut Syukir (1990: 51), tujuan umum dakwah yaitu mengajak umat manusia kepada jalan yang benar, yang diridhai Allah SWT., agar dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat.
86
Sedangkan tujuan utama logoterapi adalah meraih hidup bermakna dan mampu mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan pribadi. (Bastaman, 2000: 70). Dari tujuan dakwah dan tujuan logoterapi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akhir dari kedua tujuan itu adalah kebahagiaan. Oleh karena itu, logoterapi dapat digunakan sebagai materi dakwah. Karena logoterapi merupakan psikoterapi yang memusatkan diri pada pencarian makna hidup, dengan kebahagiaan sebagai efek sampingnya. Kebahagiaan di dunia dapat diraih dengan makna hidup pribadi, sedangkan kebahagiaan hidup di akhirat dapat diraih dengan makna hidup paripurna. Selanjutnya, logoterapi dapat dijadikan sebagai materi dakwah dengan melihat aspek materi dakwah itu sendiri. Menurut Tasmara (1997: 43), materi dakwah yaitu semua pernyataan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, baik tertulis maupun lisan dengan pesan-pesan (risalah) tersebut. Mengenai risalah-risalah itu, Tasmara mengutip pendapat M. Natsir yang membaginya dalam tiga pokok yaitu: a. Menyempurnakan hubungan manusia dengan Kholik-nya, hablum minallah. b. Menyempurnakan hubungan manusia dengan sesama manusia, hablum minannas. c. Mengadakan keseimbangan (tawazun) antara keduanya itu. Dari pendapat tersebut, penulis menyatakan bahwa logoterapi dapat dijadikan materi dakwah, karena logoterapi juga berbicara tentang hablum
87
minallah melalui makna hidup paripurna, dan juga berbicara tentang hablum minannas melalui makna hidup pribadi. Selain itu, ajaran Islam itu meliputi seluruh aspek kehidupan di dunia dan juga di akhirat, maka dengan sendirinya materi itu akan sangat luas dan kompleks sekali. Adapun materi pokok yang harus disampaikan menurut Agus Toha antara lain: a. Akidah Islam, tauhid dan keimanan, b. Pembentukan pribadi yang sempurna, c. Pembangunan masyarakat yang adil dan makmur, d. Kesejahteraan di dunia dan akhirat. (Kuswata dan Kuswara, 1990: 37). Dari keempat materi itu, logoterapi lebih cenderung memuat materi pembentukan pribadi yang sempurna. Karena dalam logoterapi, pasien (klien) dituntun untuk mencari, menemukan dan memenuhi makna hidup, sehingga pribadi sempurna dapat diraih. Selanjutnya, di antara ajaran-ajaran logoterapi yang mempunyai kesesuaian dengan ajaran Islam adalah tentang dimensi spiritual. Dimensi spiritual yang oleh Frankl dinamakan juga “dimensi noetic”, dalam pandangan logoterapi lebih cenderung ke arah dimensi antropologis daripada dimensi teologis. Selain itu, dimensi spiritual yang dimaksud Frankl tidak mengandung konotasi agama, tetapi merupakan sumber dari kualitas-kualitas insani. Kualitas-kualitas insani adalah semua kemampuan, sifat , sikap dan kondisi yang semata-mata terpatri dan terpadu pada eksistensi manusia dan
88
tidak dimiliki oleh hewan dan makhluk-makhluk lainnya. Yang termasuk kualitas-kualitas insani antara lain adalah intelegensi, ide, makna, imajinasi, kesadaran diri, pengembangan diri, humor, nilai-nilai, cinta kasih, hasrat untuk hidup bermakna, moralitas, hati nurani, transendensi diri, keimanan, kreativitas, kebebasan dan tanggung jawab (Bastaman, 1996: 57). Malik Badri dalam bukunya yang berjudul “Dilema Psikolog Muslim”, memberikan penghargaan khusus kepada logoterapi. Dia menganggap logoterapi sebagai aliran psikologi barat yang mengembangkan sikap optimis dan banyak kesesuaiannya dengan ajaran Islam (Al-Qur’an dan AlHadits). (Bastaman, 2000: 68). Jika ajaran-ajaran logoterapi banyak kesesuaiannya dengan ajaran Islam, maka logoterapi dapat digunakan sebagai materi dakwah, meskipun ada ajaran logoterapi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu logoterapi tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam hal ini, Ya’qub menyatakan bahwa ajaran Islam itu dinamis, progressif dialektis dan romantis. Seorang muballigh harus mampu menunjukkan kehebatan ajaran Islam itu kepada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah, melalui argumentasi (dalil-dalil) atau keterangan yang mudah dipahami oleh mereka (Ya’qub, 1992: 29). Dari pendapat tersebut, tersirat makna bahwa seorang da’i dapat menggunakan materi apa saja termasuk logoterapi, dengan tujuan untuk memudahkan mad’u dalam menangkap pesan dakwah yang disampaikan. Jadi, meskipun logoterapi tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits,
89
logoterapi dapat dijadikan sebagai materi dakwah, karena banyak ajaran logoterapi yang mempunyai substansi yang sama dengan Al-Qur’an dan AlHadits. Lebih lanjut, Sanwar (1984: 74) menegaskan bahwa Al-Islam sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., hendaknya selalu dipegang teguh, sebaliknya yang bertentangan dengan ajaran Islam harus dihindarkan dan dilawan. Oleh karena itu, seorang da’i jika menggunakan logoterapi sebagai materi dakwah harus memilah-milah terlebih dahulu, ajaran mana yang sesuai dengan Islam dan ajaran mana yang bertentangan dengan Islam. Karena pada dasarnya, logoterapi tidak sepenuhnya bersifat Islami. Ada beberapa ajarannya yang berbeda, bahkan bertentangan dengan Islam.