BAB II TASAWUF MODERN DAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
2.1. Konsep Dasar Tasawuf Modern 2.1.1. Pengertian Tasawuf Tasawuf dalam praktek dan ajarannya dikenal dengan istilah “Sufisme” atau mistik Islam (Wilcox, (terj.) IG Harimurti Bagoesoka, 1995: 19). Kata sufi mulanya muncul dalam tulisan pada abad ke-9, yang berasal dari kata shuf, yang berarti wol, karena konteks kaum sufi memakai busana wol; atau dari ahli shuffah, nama yang dilekatkan pada orang-orang yang tinggal di beranda masjid Nabi Muhammad SAW, atau dari kata shafi, yang berarti kesucian. Kata Inggris yang paling dekat dengan tasawuf adalah gnostism. Seorang agnostik adalah orang yang tidak tahu. Orang gnostik adalah orang yang tahu; dalam hal ini orang yang tahu tentang Tuhan. Tasawuf bukanlah penjelasan, melainkan pengalaman-pengalaman menyaksikan diri sejati, dengan pula menyaksikan Tuhan (Wilcox, 1995: 19-25). Ada sebagian ahli tasawuf yang berpendapat bahwa kata “sufi” ditinjau dari bahasa (lughawi) berasal dari kata kerja “Tashawwafa-Yatashawwafu-Tashawwufan” (ÊÕæøÝÇ - ÊÕæøÝ – íÊÕæøÝ) atau dari kata dasar “shafa” (ÕÇÝ ), yang artinya banyak bulu.
19
20
Makna tasawuf secara terminologi terdapat penafsiran yang beragam sebagaimana yang dikutip Saifullah Al-Aziz (1998: 14-18) dalam bukunya “Risalah Memahami Ilmu Tasawuf”, antara lain : a. Syaikh Abul Qasim al-Junaidi bin Muhammad al-Khazzaz al-Nahwandi mengatakan: “Tasawuf ialah hendaknya keadaanmu beserta Allah SWT tanpa adanya perantara” b. Syaikh Ma’ruf bin al-Faizan Abu Mahfudh al-Abid yang terkenal dengan sebutan al-Karkhi berkata: “Tasawuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan dari segala sesuatu yang ada pada tangan makhluk”.
c. Syaikh Abul Husain Ahmad bin Muhammad an-Nuri berkata: “Tasawuf bukan suatu bentuk ilmu tetapi moral”. d. Syaikh Abul Faidl Dzunnun al-Mishri berkata : “Sufi adalah orang yang tidak payah karena mencari dan tidak susah karena musnahnya milik”. e. H. Abu Bakar Atjeh yang mengatakan bahwa: “Pada hakikatnya tasawuf itu dapat diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani” (Atjeh, t.th: 28). Tasawuf adalah jalan kembali ke azali manusia bagi semua orang yang telah dikaruniai potensi untuk menemukan makna dan tujuan kehidupan, dengan mengalami serta menghayati realitas agama yang telah dicontohkan oleh para nabi. Terkait dengan arti modern, tasawuf menurut Sayyed Hussen Nashr, merupakan spirit of Islamic religion, di mana tasawuf pada masa moden memberi cakupan tidak hanya sekedar etika Islam, namun ada juga estetika, bukan hanya berbicara baik buruk tetapi juga keindahan, yang berperan berusaha membangun
21
dunia dengan moral dan keindahan yang penuh makna, yaitu hidup dengan benar, rajin ibadah, berakhlak mulia serta merasakan manis indahnya hidup (Burhani, 2001: 162). 2.1.2. Dasar Hukum Tasawuf Meskipun pengertian tasawuf ataupun kata “shufi” tidak terdapat dalam alQur'an maupun al-Hadits, namun apabila kita mencari dan menyelediki secara seksama, maka banyak sekali didapati dari al-Qur'an dan al-Hadits yang menunjukkan ajakan itu. Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf Islam bersumber dari ajaran Islam sendiri dapat dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur'an maupun hadits Nabi yang mengajarkan umatnya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, mencintai Allah SWT dengan selalu dzikrullah. Di antara ayat-ayat al-Qur'an maupun hadits Rasulullah SAW yang menjadi dasar ajaran tasawuf adalah sebagai berikut:
Þõáú Çöäú ßõäúÊõãú ÊõÍöÈøõæúäó Çááåó ÝóÇÊøóÈöÚõæäöì íõÍúÈöÈúßõãõ Çááåõ æóíóÛúÝöÑú áóßõãú ÐõäõæúÈóßõãú æóÇááåõ ÛóÝõæÑñÑóÍöíúãñ (Çá ÇãÑÇä: 31) “Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah SWT, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran: 31) (Depag RI, 1989: 80).
íóÇÇóíøõåóÇ ÇáøóÐöíúäó ÇóãóäõæÇ ÇÐúßõÑõæÇ Çááåó
ÐößúÑðÇ
ßóËöíúÑðÇ
æóÓóÈøöÍõæåõ
ÈõßúÑóÉð æóÇóÕöíúáÇð (ÇáÇÍÒÇÈ: 41-42)
22
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang” (QS. Al-Ahzab: 41-42) (Depag RI, 1989: 674).
æóÇöÐóÇ ÓóÇóáóßó ÚöÈóÇÏöì Úóäøöì ÝóÅöäøöì ÞóÑöíúÈñ ÇõÌöíúÈõ ÏóÚúæóÉó ÇáÏøóÇÚöì ÇöÐóÇ ÏóÚóÇäöì ÝóáúíóÓúÊóÌöíúÈõæáöì ÝóáúíõÄúãöäõæúÇ Èöì áóÚóáøóåõãú íóÑúÔõÏõæúäó (ÇáÈÞÑÉ: 186) “Dan apabila hamba-hambaku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka ini memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu dalam kebenaran” (QS. al-Baqarah: 186) (Depag RI, 1989: 45).
æó
öááåö
ÝóÇóíúäóãóÇ
ÇáúãóÔúÑöÞõ ÊõæóáøõæúÇ
æóÇáúãóÛúÑöÈõ ÝóËóãøó
æóÌúåõ
Çááåö (ÇáÈÞÑÉ: 115) “Timur dan barat adalah kepunyaan Allah SWT, kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Allah SWT” (QS. al-Baqarah: 115) (Depag RI, 1989: 31).
æóáóÞóÏú ÎóáóÞúäóÇ ÇúáÇöäúÓóÇäó æóäóÚúáóãõ ãóÇ ÊõæóÓúæöÓõ Èöåö äóÝúÓõåõ æóäóÍúäõ ÇóÞúÑóÈõ Çöáóíúåö ãöäú ÍóÈúáö ÇáúæóÑöíúÏö (Þ: 16) “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darah yang ada di lehernya”. (QS. Qaf: 16) (Depag RI, 1989: 852).
Çöäøó ÇáøóÐöíúäó íõÈóÇíöÚõæäóßó ÇöäøóãóÇ íõÈóÇíöÚõæäó
Çááåó
ÇóíúÏöíúåöãú (ÇáÝÊÍ: 10)
íóÏõ
Çááåö
ÝóæúÞó
23
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS. al-Fath: 10) (Depag RI, 1989: 838). Selain ayat-ayat al-Qur'an di atas, terdapat pula hadits Rasulullah SAW yang mengajarkan pada umatnya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah, mencintaiNya dan selalu berdzikir kepada-Nya. Hadits yang dijadikan sumber pedoman tasawuf adalah:
Úóäú ÇóÈöì åõÑóíúÑóÉó ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ ÞóÇáó: ÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íóÞõæúáõ Çááåõ ÚóÒøó æóÌóáøó ÇóäóÇ ÚöäúÏó Ùóäøö ÚóÈúÏöì Èöì æóÇóäóÇ ãóÚóåõ Íöíúäó íóÐúßõÑõäöì ÝóÇöäú ÐóßóÑóäöì Ýöì äóÝúÓöåö ÐóßóÑúÊõåõ Ýöì äóÝúÓöì æóÇöäøó ÐóßóÑóäöì Ýöì ãóáÇóÁò åõãú ÎóíúÑñ ãöäúåõ æóÇöäö ÇÞúÊóÑóÈó Çöáóíøó ÔöÈúÑðÇ ÊóÞóÑøóÈúÊõ Çöáóíúåö ÐöÑóÇÚðÇ æóÇöäö ÇÞúÊóÑóÈó Çöáóíøó ÐöÑóÇÚðÇ ÇöÞúÊóÑóÈó Çöáóíúåö ÈóÇÚðÇ æóÇöäú ÇóÊóÇäöì ãóÇÔöíðÇ ÇóÊóíúÊõåõ åöÑúæóáóÉð (ÑæÇå ãÓáã) Dari Abi Hurairah ra. beliau berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Berfirman Allah Maha Mulia dan Maha Agung: Aku adalah menurut persangkaan hamba-Ku pada diri-Ku dan Aku besertanya di kala ia menyebut asma-Ku. Apabila ia menyebut-Ku pada dirinya secara sirri, maka Akupun akan menyebutnya dengan pahala dan rahmat secara rahasia. Andaikata ia menyebut-Ku pada suatu perkumpulan, maka Akupun akan menyebutnya pada suatu perkumpulan yang lebih baik. Dan andaikata ia mendekat padaKu dengan sejengkal, maka Aku akan menyebutnya dengan satu elo (dari siku sampai ujung jari) selanjutnya bila ia mendekat pada-Ku satu elo, maka Aku dekati ia sehasta. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang padamu dengan cepat-cepat”. (Muslim bin Hajjaj alQusyairi an-Naisabury, 261 M), juz 4, hlm. 2047). 2.1.3. Tujuan Tasawuf Berbicara mengenai tujuan tasawuf, maka perlu diketahui tentang manusia sebagai objek material, yang memiliki tugas menjalankan tuntunan dalam ajaran
24
tasawuf, sebagaimana yang temaktub dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Sehingga manusia mempelajari, memahami dan menjalankan tuntunan yang baik dan benar dengan maksud mengenal Tuhan (ma’rifatullâh) yang didasari dengan akhlak dan aqidah yang kuat guna mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (Al-Aziz S., 1998: 39-40). Adapun yang dimaksud dengan tujuan memperoleh kesempurnaan hidup dan ma’rifatullâh dalam pandangan tasawuf adalah sebagai berikut: a. Ma’rifatullâh, yaitu melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesaran-Nya, tapi tidak dengan kaifiyat-Nya (Artinya Tuhan tidak digambarkan seperti sesuatu yang diciptakannya). b. Insan kâmil. Tujuan tasawuf berikutnya adalah tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau “insan kâmil”. Manusia yang sudah mengenal dirinya sendiri, keberadaannya dan memiliki sifat-sifat utama. (Al-Aziz S., 1998: 40-45). Dengan demikian tujuan terakhir dari tasawuf adalah memperoleh kebahagiaan di dunia maupun akhirat dengan puncaknya menemui dan melihat Tuhannya (Atjeh, t.th.: 38). 2.1.4. Ajaran-Ajaran Tasawuf Dalam pengamalan ajaran tasawuf, langkah yang ditempuh adalah dengan cara berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT yang dilakukan melalui beberapa pendakian dari satu tingkat ke tingkat lainnya yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan agar dapat mencapai tujuan utama bertasawuf, yaitu ma’rifatullâh dan insan kâmil. Adapun langkah-langkah bertasawuf yang ditempuh harus melalui jalan syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. (Al-Aziz S., 1998: 68).
25
Bagi kaum “mutasawifîn” sebelum memasuki lebih lanjut pada inti pokok ajaran tasawuf, terlebih dahulu haruslah memahami secara mendalam masalah syari’at. Syari’at adalah peraturan-peraturan atau garis-garis yang telah ditentukan, termasuk di dalamnya hukum-hukum halal dan haram, yang diperintah dan yang dilarang, yang sunat, makruh, mubah, haram dan wajib, yang berfungsi sebagai landasan dasar dalam menjalankan amal ibadah yang bersifat lahiriyah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, berjihad di jalan Allah SWT, menuntut ilmu dan sebagainya. Tingkatan yang selanjutnya adalah thariqah. Menurut pandangan ahli tasawuf, thariqah adalah jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa Rasulullah SAW dan yang dicontohkan oleh sahabat, tabi’in, dan terus bersambung sampai kepada guru, ulama, kiai hingga pada masa sekarang ini. Tingkatan berikutnya adalah hakikat, yaitu keadaan seseorang yang sudah sampai pada tujuan dalam ma’rifatullâh sehingga terbukanya nur cahaya yang ghaib bagi hati seseorang. Hakikat berarti kebenaran sejati dan mutlaq, sebagai akhir dari semua perjalanan. Adapun jalan terakhir yang ditempuh adalah ma’rifat. Ma’rifat adalah mengenal Allah SWT, baik lewat sifat-sifat-Nya, asma-asma-Nya maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Ma’rifat merupakan puncak dari dari tujuan tasawuf. (AlAziz S, 1998: 69-83).
26
Oleh karena itu, pelaksanaan ajaran ketashawufan tidak sempurna jika tidak dikerjakan dengan melalui tingkatan-tingkatan tersebut, mulai dari syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat. Berkaitan dengan perjalanan tasawuf yang ditempuh dengan tingkatan syari’ah, thariqat, hakikat dan ma’rifat, maka ada proses yang perlu ditempuh dalam pencapaiannya. Takhalli, tahalli, dan tajalli merupakan suatu proses untuk menuju tujuan akhir yaitu kedekatan dengan Tuhan. Proses tersebut dilalui dengan latihanlatihan ruhani. a. Takhallî (membersihkan diri dari sifat tercela) Dalam memasuki gerbang tasawuf, langkah pertama untuk bertemu Tuhan adalah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, seperti hasad/iri, dengki, prasangka buruk, sombong (kibir), merasa sempurna daripada orang lain (‘ujub), bangga diri, pengumpat (ghîbah), mengadu domba (namîmah), dusta (kidzib), ingkar janji (khiânat) dan sebagainya (Teologia, 2003: 219). b. Tahallî (mengisi diri dengan sifat terpuji) Setelah manusia membersihkan hatinya, maka harus pula diikuti dengan penyinaran hati agar hati yang kotor dan gelap menjadi bersih dan terang, karena hati yang demikian itulah yang dapat menangkap pancaran nur Ilahi. Sifat-sifat terpuji antara lain : menyesali diri dari perbuatan yang tercela (taubat), perasaan takut kepada Allah SWT (taqwa dan khauf), amal yang tulus (ikhlas), rasa terima kasih (syukur), tahan terhadap segala kesukaran (sabar), senang menerima keputusan Tuhan (ridha), berpasrah diri kepada Allah SWT (tawakkal), perasaan
27
cinta Allah SWT semata (mahabbah), selalu ingat mati (dzikrul maut). (Teologia, 2003: 220). c. Tajallî (Kenyataan Tuhan) Pada tahapan ini seorang sufi melakukan latihan jiwa (riyadhah), berusaha melepaskan diri dan kalbunya dari sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji serta memutuskan segala hubungan yang dapat merugikan kesucian dirinya dalam rangka mempersiapkan dirinya menerima nur (cahaya) Allah SWT. Pada tahapan ini terbukalah segala sekat yang menghalangi hamba dengan terbukanya tabir rahasia yang selama ini menyelimuti (Teologia, 2003: 220). Dari keempat aspek syari’at, tharîqah, hakikat dan ma’rifat adalah langkah yang ditempuh dalam meraih tingkatan-tingkatan takhallî, tahallî, dan tajallî, yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan utama bertasawuf yaitu ma’rifaullâh dan insan kâmil dalam bertasawuf sesuai dengan ajaran al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam sejarah pemikiran dan praktek Islam, pengertian tasawuf mengalami pasang surut. Lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin sejak abad ke 2 H hingga sekarang lewat pribadi seperti al-Hasan al-Bashry, Sufyan at-Tsawry, al-Harits alMuhasibi, Ba Yazid Bisthami dan sebagainya. Tasawuf tidak pernah bebas dari kritikan para ulama zhahir (eksoferis). Tasawuf di mata mereka adalah bid’ah terhadap ajaran Islam. tasawuf dianggap tidak memiliki akar dalam ajaran Islam dan sejaraah Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, tasawuf merupakan hasil bekerjanya kekuatan dan pengaruh Kristen, Hindu, Budha dan Persia.
28
Seorang orientalis Abu al-Wafa’ al-Ghonimi at-Taftazani beranggapan juga bahwa tasawuf bersumber dari Kristen yang dibuktikan dengan argumennya; Pertama, adanya suatu interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nashrani pada masa Jahiliyah maupun Islam. Kedua, adanya segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran serta tata cara mereka ketika melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan diri (khalwat) dengan kehidupan al-Masih dan ajarannya. Serta dengan para rahib dalam cara mereka bersembahyang dan berpakaian (Djaelani, 1998: 17). Orientalis lain, Iqnaz Goldziher menyimpulkan bahwa tasawuf terbagi kedalam dua aliran; Pertama, asketisisme. Aliran ini menurutnya sekalipun telah terpengaruh kependetaan Kristen, tetapi tetap mengakar pada semangat Islam dan para ahli sunnah. Kedua, tasawuf berkaitan dengan pengenalan (ma’rifah), pendakian batin (hal), intuisi (wijdan) dan rasa (dzauq) (Djaelani, 1996: 18). Kemudian dari ajaran Kristen atau Islamkah tasawuf berasal ? praktekpraktek tasawuf pun seperti diungkapkan oleh Haider dalam sebuah pengantar “Antara Tasawuf Eksesif dan Tasawuf Positif”. Tasawuf dimulai dari jantung kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu kota Makkah dan Madinah. Oleh alGhazali di abad XII lepas dari beberapa pandangan ekstremnya yang berhasil menunjukkan ketidakterpisahan cara hidup tasawuf dengan ajaran Islam itu sendiri. Seiring perkembangan sejarah yang kian sekuler dan rasional, dalam beberapa decade terakhir ini sufisme mengalami kebangkitan di dunia muslim mulai Syiria, Iran, Turki, Pakistan sampai Asia Tenggara.
29
Menurut Sayyid Husain Nashr dalam suatu survey terdapat peningkatan dalam minat terhadap sufisme, terutama di kalangan pendidik. Menurutnya, sebagian kebangkitan itu berkaitan dengan meningkatnya kegiatan-kegiatan tarekat dan sufi semacam Syadzaliyah sebagaimana yang pernah diteliti oleh Radjasa Mu’tasim dan Munir Mulkhan di Kudus adalah tarekat yang aktif (Syukur dkk, 2001: 34). Satu versi tentang sebab kelahiran tarekat adalah kehendak untuk menjaga ajaran ruhaniah Islam agar tidak menyeleweng dari tuntunan Rasulullah SAW. Sebab ada beberapa orang dalam masyarakat pada masa awal lahirnya tarekat yang bergabung dalam kelompok-kelompok tertentu, kemudian menciptakan amalanamalan ritual aneh, terlihat menyimpang ajaran Islam, dan terkesan penuh nuansa bid’ah (Burhani, t.th.: 110). Kondisi ini menuntut para pemimpin agama untuk memperhatikan ajaran murni Muhammad yang suci dari kreasi manusia. Maka dibangunlah tarekat-tarekat yang masih memiliki persambungan silsilah hingga Nabi Muhammad SAW. Kemudian lahirlah para sarjana muslim kontemporer seperti Fazlurrahman, Ibnu Taimiyah serta Ibnul Qayyim al-Jauziyah, menyatakan bahwa apa yang disebut tasawuf tidak lebih dari etika Islam, karena tasawuf cukup disebut dengan moralitas islam.
Tujuan tasawuf dalam konteks ini adalah sama dengan tugas Nabi
Muhammad SAW. Fazlurrahman dan salah seorang muridnya Nurcholis Madjid juga mempromosikan jenis tasawuf baru yang bernama neosufism. Kemudian Buya Hamka juga merumuskan dan mempelopori kegiatan ruhaniah Islam yang disebut dengan “Tasawuf Modern”.
30
Pemaknaan yang dikemukakan Hamka dalam karyanya dengan menyebutkan istilah modern mempunyai arti tersendiri, yang menurut Mukti Ali dalam mengartikan modern masih banyak artikulasi yang kabur. Menurutnya kata modern terkait dengan ukuran “baik”. Karena dianggap lebih efektif dan efisien, nyatanya juga tidak demikian keadaannya, misal di kota besar sangat efektif dan efisien dalam mendukung perekonomiannya, dan di sisi lain terdapat timbulnya kriminalitas yang kompleks. Modern dikaitkan dengan ukuran “baru”nya sesuatu. Karena lebih baru maka tentu akan lebih lengkap dan lebih memuaskan. Dalam kenyataannya pun tidak demikian, contoh: penemuan tenaga nuklir adalah sesuatu yang baru, tetapi akan menimbulkan bahaya besar bagi penggunanya. Ada juga yang mengartikan modern dengan ukuran kebaratan (westernized) karena yang dianggap dari barat sebagai hal yang modern. Hal ini justru berbahaya, karena logikanya, barat bukan sesuatau yang serba sempurna dan konstruktif, sangat mungkin ada sebagian dari hasil budaya barat yang penuh cacat dan desduktrif. Sebagai pegangan pengertian, Mukti Ali memberikan alternatif mengenai definisi “modern”. Menurutnya modern berarti kesadaran bahwa sejarah itu bergerak ke arah tujuan tertentu dan kesanggupan seseorang untuk mengarahkan jalannya. Sejarah itulah arti modern (Damami, 2000: 129-130). Ada beberapa kriteria dan ciri tasawuf modern (neo Sufism) yang menjadi kategori baru dalam diskursus tasawuf modern. 1. Para sufisme ortodoks terbagi dalam kelompok tarekat. Keterlibatannya dalam sebuah tarekat tertentu adalah hampir dikatakan persyaratan mutlak dalam menempuh jalan sufi. Berbeda dengan neosufisme, ia tidak mengenal adanya
31
tarekat kelompok tertentu. Seorang mistikus modern bisa melibatkan diri ke jamaah A, sore hari mengikuti jamaah B, malam hari mengikuti jamaah C dan seterusnya. Pendeknya mereka tidak memandang inklusif kelompok sendiri dan membuka diri dengan kelompok lain. 2. Sufisme ortodoks memiliki ketergantungan yang kuat dengan guru (mursyid). Seorang baru diakui sebagai peserta tarekat tertentu setelah di bai’at oleh pemimpin tarekat. Bisa dikatakan tidak ada tasawuf model ini tanpa keterlibatan seorang imam. Sufisme modern tidak mengenal adanya khalifah atau mursyid. Hubungan antara murid dengan guru lebih bersifat demokratis. Tidak terdapat sumpah atau bai’at antara peserta dan pembimbing spiritual. 3. Dalam kaitannya dengan masyarakat luas ada beberapa kelompok yang bersikap mengasingkan diri (withdrawal). Mereka memiliki seragam khusus yang membedakannya dengan orang selain kelompok seorang sufisme modern. Mereka tetap terlibat pada berbagai tradisi kaum modern. Mereka tetap kenal dengan mol, kantor, dan dalam penampilan nyaris tidak ada perbedaan antara orang biasa ataupun pengikut jamaah tertentu. 4. Tasawuf baru (modern) didominasi oleh orang terpelajar. Dalam banyak hal berbalikan dengan sufi konvensional yang didominasi oleh sikap taklid (sendiko dawuh) tidak banyak komentar atau melawan guru. 5. Komunitas sufisme modern cenderung hidup wajar, tinggal di rumah yang wajar (sesuai dengan kemampuan), makan makanan yang wajar pula. Berbeda dengan kelompok yang diikuti orang hidup seadanya, mengikuti pola hidup menderita.
32
6. Sufisme konvensional tokoh-tokoh yang menjadi idola adalah Abdul Qadir alJaelani, at-Tijani, dan sebagainya. kelompok neosufisme lebih tertarik dengan Ibn ‘Arabi, Bayazid al-Bustami, Suhrawardi, Mullasadra serta Mansaur al-Hallaj. Tokoh yang terakhir umumnya tidak berhenti pada amalan praktek, tetapi juga terlibat pada diskursus pemikiran, perdebatan ilmiah (Burhani, 2001: 169-171).
2.2. Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling Islam Bimbingan dan Konseling Islam atau dalam studi ilmu dakwah disebut dengan ilmu irsyad merupakan salah satu cabang dari ilmu dakwah terapan. Syukriadi Sambas sebagaimana dikutip oleh Sulthon (2003: 124-125) menjelaskan bahwa ilmu dakwah terapan terdiri dari empat sub disiplin, yaitu ilmu tabligh Islam (komunikasi dan penyiaran Islam), ilmu irsyad (Bimbingan dan Konseling Islam), ilmu tadbir (manajemen dakwah), dan ilmu tathwir (pengembangan masyarakat Islam). Bimbingan dan Konseling Islam merupakan suatu istilah yang sering didengar dalam kancah kehidupan modern. Pijakan dari konsep Bimbingan dan Konseling Islam berangkat dari asumsi bahwa agama itu merupakan kebutuhan fitrah dari setiap manusia. Allah telah menciptakan manusia dan telah meniupkan ruh-Nya, sehingga iman kepada Allah merupakan sumber ketenteraman, keamanan dan kebahagiaan manusia. Sebaliknya dalam paradigma ini, maka ketiadaan iman kepada Allah menjadi sumber kegalauan, kegelisahan dan kesengsaraan bagi manusia (Mubarok, 2002: 74-75).
33
Dalam pandangan Islam manusia menduduki statusnya sebagai makhluk beragama (QS. Adz-Dzariyat: 51-56). Kedudukan manusia sebagai makhluk beragama telah mengantarkannya sebagai makhluk yang mampu melakukan hubungan vertikal dengan melaksanakan kewajiban terhadap Allah SWT sekaligus hubungan horisontal sebagai anggota komunitas sosial (QS. Al-Hujurat: 13). Untuk melaksanakan kedua statusnya sebagai makhluk beragama dan makhluk sosial tersebut Allah SWT telah mengaruniakan potensi jasmani dan ruhani kepadanya (QS. Shadd: 71-72). (Musnamar, 1992: 7-8). Islam adalah nama dari agama yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai falsafah dan sandaran hidup. Di dalamnya mengandung ajaran membimbing dan menggiring akal pikiran, jiwa, qalbu, indrawi dan jasmani kepada kefitrahan yang selalu cenderung berbuat ketaatan dan ketauhidan kepada Tuhan yang maha Pencipta (Adz-Dzaky, 2001: 130). Berkenaan dengan ilmu irsyad (Bimbingan dan Konseling Islam) penulis akan memaparkan ruang lingkup disiplin ilmu tersebut dalam uraian berikut ini.
2.2.1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam Dalam rangka usaha layanan serta pemberian bantuan, usaha layanan konseling merupakan bagian yang sangat penting. Bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa: “layanan konseling merupakan jantung hati dari usaha secara keseluruhan (counseling is the heart of guidance program). Oleh karena itu para petugas dalam bidang konseling kiranya perlu memahami dan dapat melaksanakan usaha layanan konseling itu dengan sebaik-baiknya” (Sukardi, 1985: 11).
34
Bila ditinjau dari sejarah perkembangan Ilmu Konseling di Indonesia, maka sebenarnya istilah konseling pada awalnya dikenal dengan istilah "penyuluhan" yang merupakan terjemahan dari istilah "counseling". Penggunaan istilah "penyuluhan" sebagai terjemahan counseling ini dicetuskan oleh Tatang Mahmud, seorang pejabat Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia pada tahun 1953 (Hallen, 2002: 1). Dalam kamus bahasa Inggris "counseling" dikaitkan dengan kata "counsel" yang diartikan oleh Winkel (1997: 70) sebagai berikut : a. Nasehat (to abtain counsel) b. Anjuran ( to dive counsel) c. Pembicaraan (to take counsel) Dengan demikian, secara etimologi, “konseling” berarti pemberian nasehat, pemberian anjuran, dan pembicaraan dengan bertukar pikiran. Mengenai kedudukan dan hubungan antara bimbingan dan konseling Islam terdapat banyak pandangan, salah satunya memandang konseling sebagai teknik bimbingan. Dengan kata lain, konseling berada adalam bimbingan. Pendapat lain mengatakan bahwa bimbingan terutama memusatkan diri pada pencegahan masalah, sementara konseling memusatkan diri pada pencegahan masalah yang dihadapi individu. Dalam pengertian lain, bimbingan sifat atau fungsinya preventif, sementara konseling bersifat kuratif atau korektif. Dengan demikian bimbingan dan konseling Islam berhadapan degan objek garapan yang sama, yaitu problem atau masalah. Perbedaan terletak pada titik berat perhatian dan perlakuan terhadap masalah
35
tersebut. masalah yang digarap atau dihadapi bimbingan adalah masalah yang ringan, sedangkan garapan konseling relatif berat (Faqih, 2001: 2). Apabila ditelaah dari berbagai sumber, akan dijumpai pengertian-pengertian yang berbeda mengenai konseling. Kesulitan merumuskan suatu definisi biasanya disebabkan oleh luasnya ruang lingkup atau perbedaan kerangka pikir yang digunakan. Sebagai disiplin yang masih dalam proses pembangunan, maka semangat pengembangan Bimbingan dan Konseling Islam itu sendiri tergambar dalam definisi yang dirumuskan oleh para pemikir muslim sebagai berikut: a. Menurut Aunur Rahim Faqih (2001: 4), Bimbingan dan Konseling Islam adalah: “Proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat”. b. Bimbingan dan Konseling Islam sebagaimana didefinisikan oleh Hallen (2002: 22) adalah: “Suatu usaha membantu individu dalam menanggulangi penyimpangan perkembangan fitrah beragama yang dimilikinya, sehingga ia kembali menyadari peranannya sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk menyembah/ mengabdi kepada Allah SWT sehingga akhirnya tercipta kembali hubungan yang baik dengan Allah, dengan manusia dan alam semesta”. c. Menurut Hamdani Bakran Adz-Dzaky (2001: 457) Bimbingan dan Konseling Islam adalah: “Suatu aktivitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta (klien) dalam hal bagaimana sehingga seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kepribadiannya, keimanan dan keyakinan sehingga dapat menanggulangi problematika hidup dengan baik dan benar secara mandiri yang berpandangan pada al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah SAW”.
36
Berdasarkan tiga definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwasanya Bimbingan dan Konseling Islam adalah: “Suatu aktivitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta (klien) yang mengalami penyimpangan perkembangan fitrah beragama, dengan mengembangkan potensi akal pikirannya, kepribadiannya, keimanan dan keyakinan yang dimilikinya sehingga klien dapat menanggulangi problematika hidup secara mandiri yang berpandangan pada al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah SAW demi tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat”.
2.2.2. Dasar Bimbingan dan Konseling Islam Al-Quran dan Sunah Rasul dapat diistilahkan sebagai landasan ideal dan konseptual Bimbingan dan Konseling Islam. Karena itulah, gagasan, tujuan dan konsep-konsep (pengertian makna hakiki) Bimbingan dan Konseling Islam bersumber pada keduanya. (Musnamar, 1992: 6). Dalam melangkah pada usaha membantu seseorang, diperlukan adanya dasar yang menjadi pedoman. Dasar Konseling merupakan titik pijak untuk melangkah ke arah tujuan yang diharapkan, yakni suatu usaha yang berjalan baik, terstrukutur, terarah. Bimbingan dan Konseling Islam adalah usaha yang memiliki dasar utama dengan berlandaskan pada ketentuan al-Qur'an dan as-Sunnah, di mana keduanya merupakan sumber pedoman kehidupan umat Islam (Faqih, 2001: 5). Ada beberapa isyarat al-Qur'an dan al-Hadits yang berisi ajaran memerintah atau memberi isyarat agar memberi bimbingan, petunjuk kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
37
íóÇÇóíøõåóÇÇáäøóÇÓõ ÞóÏú ÌóÇÁóÊúßõãú ãóæúÚöÙóÉñ ãöäú ÑóÈøößõãú æóÔöÝóÇÁñ áöãóÇ Ýöì ÇáÕøõÏõæÑö æóåõÏðì æóÑóÍúãóÉõ áöáúãõÄúãöäöíäó “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang bearada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman”. (QS. Yunus: 57). (Depag RI, 1989: 315).
æóÇöäøóßó áóÊóåúÏöì Çöáóì ÕöÑóÇØò ãõÓúÊóÞöíúãò “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. As-Syura: 52). (Depag RI, 1989: 791). Dalam hadits Rasulullah SAW menyebutkan:
ãóäú ÑóÇóì ãöäúßõãú ãõäúßóÑðÇ ÝóáúíõÛóíöøÑúåõ ÈöíóÏöåö ÝóÇöäú áóãú íóÓúÊóØöÚú ÝóÈöáöÓóÇäöåö ÝóÇöäú áóãú íóÓúÊóØöÚú ÝóÈöÞóáúÈöåö æóÐóáößó ÇóÖúÚóÝõ ÇúáÇöíúãóÇäö (ãÊÝÞ Úáíå) “Barangsiapa dari kamu sekalian melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangan (kekuasaan), dan jika kamu tidak kuasa maka dengan ucapan, dan jika tidak kuasa maka dengan hatimu, yang demikian adalah lemahnya iman”( HR. Bukhari dan Muslim). Keterangan al-Qur'an dan al-Hadits tersebut memberi petunjuk kepada kita bahwa Bimbingan dan Konseling Islam di samping perlu dilakukan kepada orang lain, karena dimungkinkan keberhasilannya dipandang sebagai salah satu tugas dan ciri bagi orang yang beriman.
2.2.3. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam a. Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam Menurut Faqih (2001: 34-37) fungsi Bimbingan dan Konseling Islam, yaitu:
38
1). Fungsi preventif, yakni membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. 2). Fungsi kuratif atau korektif, membantu individu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialami. 3). Fungsi developmental, yakni memelihara agar keadaan yang telah baik tidak menjadi buruk kembali serta mengembangkan keadaan yang sudah baik menjadi lebih baik, sehingga memungkinkan menjadi sebab munculnya masalah baginya. 4). Fungsi preservatif, membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama. Bila fungsi Bimbingan dan Konseling Islam ditinjau dari segi manfaat, atau keuntungan apa yang diperoleh pelayanan tersebut, maka dapat dikelompokkan menjadi empat fungsi; fungsi pemahaman, fungsi pencegahan, fungsi pengentasan dan fungsi pengembangan. (Faqih, 2001: 199). b. Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Adz-Dzaky (2002: 49) adalah sebagai berikut:
1). Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai (muthmainnah) bersikap lapang dada (radhiyah), dan mendapatkan pencerahan taufiq hidayah Tuhannya (mardhiyah).
39
2). Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya.
3). Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong menolong, dan rasa kasih sayang. Sedangkan Faqih (2001: 217) menjelaskan bahwa Bimbingan dan Konseling Islam mempunyai dua tujuan, yaitu: pertama, tujuan umum Bimbingan dan Konseling Islam adalah membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kedua, tujuan khusus Bimbingan dan Konseling Islam adalah membantu individu agar tidak menghadapi masalah, memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang baik atau yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dengan orang lain.
2.2.4. Asas-asas Bimbingan dan Konseling Islami Telah disebutkan bahwa Bimbingan dan Konseling Islami berlandaskan alQur'an dan Hadits Nabi plus landasan filosofis dan keimanan. Berdasarkan landasan tersebut dapat diketahui berbagai asas-asas pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Islami (Faqih, 2001: 22-35), yaitu:
40
a. Asas Kebahagiaan Dunia dan Akhirat Tujuan akhir BKI adalah membantu klien atau konseli yaitu orang-orang yang dibimbing agar mereka senantiasa menyadari akan fitrahnya sebagai manusia yaitu seorang hamba yang harus mengabdi kepada Tuhannya. Dengan demikian jika fitrah itu telah kembali maka kebahagiaan hidup dunia dan akhirat insya Allah akan tercapai. Dalam firman Allah SWT:
æóãöäåõãú ãóäú íóÞõæáõ ÑóÈøóäóÇÇÊöäóÇ Ýöì ÇáÏøõäúíóÇ ÍóÓóäóÉð æóÝöì ÇáÇÎöÑóÉö ÍóÓóäóÉð æóÞöäóÇ ÚóÐóÇÈó ÇáäøóÇÑö “Dan di antara mereka ada orang yang berdo’a: ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Al-Baqarah/2: 201) (Depag RI, 1989: 49).
b. Asas Fitrah Asas ini merupakan bantuan kepada klien atau konseli untuk mengenal memahami dan menghayati fitrahnya sehingga gerak tingkah laku dan tindakanya sesuai dengan fitrahnya. Firman Allah:
ÝóÇóÞöãú æóÌúåóßó ááÏøöíúäö ÍóäöíúÝðÇ ÝöØúÑóÊó Çááåö ÇáøóÊöì ÝóØóÑó ÇáäøóÇÓó ÚóáóíåóÇ áÇóÊóÈúÏöíúáó áöÎóáúÞö Çááåö Ðóáößó ÇáÏøöíúäõ ÇáÞóíøöãõ æóáóßöäøó ÇóßúËóÑó ÇáäøóÇÓö áÇóíóÚúáóãõæäó “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tetapi tidak ada perubahan fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.(QS. Ar-Rum/30: 30) (Depag RI, 1989: 645). c. Asas Lillâahi Ta’ala
41
Asas lillâhi ta’âla diselenggarakan oleh konselor kepada seorang klien yang membutuhkan bimbingan dan pertolongan ini semata-mata karena Allah SWT:
Þõáú
Çöäøó
ÕóáÇóÊöì
æóäõÓõßöì
æóãóÍúíóÇíó
æóãóãóÇÊöì ááåö ÑóÈøö ÇáúÚóÇáóãöíúäó ”Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’am/6: 162) (Depag RI, 1989: 216). d. Asas Bimbingan Seumur Hidup Asas ini memberikan fasilitas bimbingan kepada seorang klien untuk selama-lamanya (seumur hidup) karena bagaiamanapun juga yang namanya manusia mesti suatu saat akan mengalami kesalahan dan kehilafan. Disinilih perlunya bimbingan seumur hidup e. Asas Kesatuan Jasmaniah Dan Ruhaniah Asas ini berusaha membantu individu untuk hidup dalam kesembangan jasmaniah dan ruhaniah artinya jasmaniah yang sehat juga perlu didukung oleh ruhani yang sehat demikian juga sebaliknya. f. Asas Keseimbangan Ruhaniah Asas ini didasarkan pada firman Allah SWT berikut ini:
æóáóÞóÏú ÐóÑóÃúäóÇ áöÌóåóäøóãó ßóËöíÑðÇ ãöäó ÇáúÌöäøö æóÇáÇöäúÓö áóåõãú ÞõáõæÈñ áÇóíóÝúÞóåõæäó ÈöåóÇ æóáóåõãú ÇóÚúíõäñ áÇó íõÈúÕöÑõæúäó ÈöåóÇ æóáóåõãú ÇóÐóÇäñ áÇóíóÓúãóÚõæäó ÈöåóÇ ÇõæáóÆößó ßóÇáÇóäúÚóÇãö Èóáú åõãú ÇóÖóáøõ ÇõæáóÆößó åõãõ ÇáÛóÇÝöáõæäó (ÇáÇÚÑÇÝ: 179)
42
”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tatapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al-A’raf/7: 179) (Depag RI, 1989: 251252).
g. Asas Kemaujudan Asas ini berlangsung pada manusia menurut citra manusia sebagai maujud (eksistensi) tersendiri dimana individu yang satu berbeda dengan individu yang lainnya. Individu mempunyai kemerdekaan pribadi sebagai konsekuensi kemampuan fundamental potensial ruhaniahnya.
ÅöäøóÇ ßõáøó ÔóìúÁò ÎóáóÞúäóÇåõ ÈöÞóÏóÑò (ÇáÞãÑ: 49) ”Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. Al-Qamar/54: 49) (Depag RI, 1989: 883).
h. Asas Sosialitas Manusia Manusia merupakan makhluk sosial. Pergaulan, cinta kasih, penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, rasa ingin memiliki dan dimiliki; semuanya merupakan aspek-aspek yang diperlihatkan dalam konseling Islam karena hal itu adalah ciri hakikat manusia. i. Asas Kekhalifahan Manusia Asas ini menerangkan bahwa setiap manusia adalah khalifah walau dalam lingkup yang kecil yaitu pemimpin keluarga. Oleh karena itu harus ada rasa
43
tanggung jawab manusia untuk mengatur alam ini karena semuanya akan diminta pertanggungan jawabannya dihadapan Allah SWT. j. Asas Keselarasan Dan Keadilan Asas ini menginginkan adanya keselarasan keseimbangan, keadilan, di dalam diri manusia.
k. Asas Bimbingan Akhlakul Karimah Pada dasarnya manusia mempunyai sifat-sifat yang baik, lemah lembut, kasih sayang dan lain-lain. Tetapi manusia sering terjerumus pada sifat-sifat yang tidak baik. Sehingga seorang konselor islami turut serta memberikan bimbingan akhlakul karimah kepada seorang klien l. Asas Kasih sayang Setiap manusia memerlukan cinta kasih dan rasa sayang dari orang lain. Bimbingan dan Konseling Islam bersandar pada cinta dan kasih sayang. m. Asas Saling Menghargai dan Menghormati Dalam Bimbingan dan Konseling Islam antara konselor dengan klien adalah sama kedudukannya yaitu sama-sama sebagai makhluk Allah SWT. Hanya saja yang menjadikan mereka berbeda adalah bahwa seorang konselor memberikan bimbingan kepada klien. Sedangkan klien menerima bimbingan tersebut. Hubungan konselor dan klien adalah saling menghormati sesuai dengan kedudukanya masing-masing sebagai makhluk Allah SWT.
44
æóÅöÐóÇ ÍõíøöíÊõãú ÈöÊóÍöíøóÉò ÝóÍóíøõæÇ ÈöÇóÍúÓóäó ãöäúåóÇ ÇóæúÑõÏøõæåóÇ Çöäøó Çááåó ßóÇäó Úóáóì ßõáøö ÔóíúÁò ÍóÓöúíÈðÇ (ÇáäÓÇÁ: 86) "Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” (QS. An-Nisa’/4: 86) (Depag RI, 1989: 133). n. Asas Musyawarah Bimbingan dan konseling Islam dilakukan dengan asas musyawarah artinya antara pembimbing dengan yang dibimbing terjadi dialog yang baik. Antara yang satu dengan yang lainnya tidak salin mendeskreditkan atau memojokkan tidak ada perasaan tertekan dan keinginan untuk menekan. Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur'an:
ÝóÈöãóÇÑóÍúãóÉò ãöäó Çááåö áöäúÊó áóåõãú æóáóæúßõäúÊó ÝóÙøðÇ ÛóáöíÙó ÇáÞóáúÈö áÇóäúÝóÖøõæÇ ãöäú Íóæúáößó ÝóÇÚúÝõ Úóäúåõãú æóÇÓúÊóÛúÝöÑú áóåõãú æóÔóÇóæöÑúåõãú ÝöìÇáÇóãúÑö ÝóÇöÐóÇ ÚóÒóãúÊó ÝóÊóæóßøóáú Úóáóì Çááåö Çöäøó Çááåó íõÍöÈøõ ÇáúãõÊóæóßøöáöíäó (Çá ÇãÑÇä: 159) "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap merek. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkanlah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imran/3: 159) (Depag RI, 1989: 103).
o. Asas Keahlian
45
Bimbingan dan Konseling Islam memang harus dilakukan oleh orangorang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya dan professional dalam tindakannya dengan tujuan bimbingan yang diberikan dapat menyelesaikan problematika yang dimiliki oleh klien