BAB IV KONSEP TASAWUF MODERN HAMKA DAN IMPLEMENTASINYA DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
4.1. Analisis terhadap Konsep Tasawuf Modern Hamka Ketika Hamka menulis bukunya yang terkenal “Tasawuf Modern”, beliau bersungguh-sungguh telah meletakkan dasar-dasar bagi neo sufisme di Indonesia. Di dalam buku tersebut terdapat alur pikiran yang memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoteris Islam, namun sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisme itu harus tetap terkendalikan oleh ajaran-ajaran standar syari’at Islam. Sebagai seorang ulama yang sangat mengenal pemikiran kaum pembaharu Islam klasik seperti al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah serta yang lainnya, dia menunjukkan konsistensi pemikirannya dengan memahami pemikiran tokoh Islam lain. Maka bukanlah suatu hal yang terjadi secara kebetulan bila Suhrowardi, Mullasadro, Mnasur al-Hallaj sebagai figur yang merintis neo sufisme (pembaharu sufi klasik) dengan mengedepankan syari’at Islam yang terkandung dalam ajaran al-Qur'an dan as-Sunah (Simuh, dkk., 2001: 39). Dengan memegang teguh al-Qur'an dan as-Sunah, sedikit berbeda dengan paradigma sufisme awal (tasawuf klasik) yang sering menjerumuskan orang kedalam pasivitas hidup, akan tetapi dengan kebangunan neo sufisme sebagaimana yang ditawarkan Hamka dan tokoh pembaharu lainnya justru lebih menekankan aktifisme
68
69
salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia dan mengharapkan kebahagiaan akhirat (Simuh, dkk., 2001: 42). Praktik Tasawuf Modern mengarah pada perilaku kaum muslimin yang proaktif dalam menggapai kebahagiaan dunia dengan berbagai langkah yang telah diajarkan dalam al-Qur'an dan berbagai fatwa Rasulullah SAW, yang di dalamnya tertanam sikap untuk tidak meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan menggunakan waktu yang sebaik-baiknya untuk tujuan yang bermanfaat. Hamka menekankan agar kaum muslimin menjalankan tugas-tugas keduniaan untuk pemenuhan spiritual. menurutnya, ajaran yang diemban sufi (pelaku tasawuf) yang sebenarnya bukanlah sufi yang mengelienasikan diri dari kehidupan masyarakat (zuhud dan uzlah belaka), melainkan seorang sufi yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar), membantu orang sakit dan miskin sekaligus membebaskan orang-orang yang tertindas. Mereka justru mampu melakukan ta’awun (memberi pertolongan) kepada muslim lain dan sesama manusia secara umum untuk kemajuan masyarakat. Inilah beberapa praktek tasawuf di era modern yang menekankan pentingnya aktivisme intelektual dan aktivisme spiritual dalam bentuk-bentuk normatif maupun fenomena masyarakat yang lebih praktis. Langkah semacam ini diharapkan membentuk jiwa sufi yang sempurna (insan kamil) dan benar-benar menjalankan esensi ajaran Islam yang kaffah. Standarisasi dan perspektif inilah nampaknya yang senantiasa menjadi semacam cerminan bagi Hamka untuk menilai ulang tentang “fungsi tasawuf”. (Damami, 2000: 170). Jadi, wacana yang dibangun oleh tokoh-tokoh neo sufisme, sebagaimana yang ditawarkan Hamka dalam “Tasawuf Modern”nya menekankan perlunya pelibatan
70
diri seseorang dalam masyarakat secara lebih kuat dan dinamis daripada sufisme lama. Perombakan paradigma ke arah rekonstruktif tasawuf Islam ini mengacu pada versi ajaran tasawuf lama yang memaknai zuhuid atau asketisme kurang dinamis, dengan tidak mengurangi subtansi dari zuhuid ini, maka seperti yang telah dirumuskan oleh para sufi modern, bahwa makna zuhud dilalui dengan tiga tahapan. Pertama, meninggalkan segala yang haram (zuhud orang awam). Kedua, meninggalkan hal-hal yang berlebihan dalam perkara yang halal (zuhud orang khawwash). Dan ketiga, meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah SWT (zuhud ‘arifin) (Simuh, dkk., 2001: 43). Menurut pengamatan Hamka, umat Islam Indonesia juga umat Islam dunia, sudah cukup lama tidak pernah mendapat cahaya falsafat. Akibatnya, cara berfikir umat Islam menjadi gelap, dan tentu saja mundur, bahkan falsafat itu sendiri dibenci oleh umat Islam (Hamka, 1986: 15). Pada masyarakat bawah masih berkubang dalam kubangan praktek-praktek ketarekatan yang memabukkan dan melenakan. Apabila orang Indonesia menyebut istilah “tasawuf”, maka mereka lalu teringat kepada apa yang disebut “tarekat”. Kenyataan ini yang pertama kali dipegang Hamka sebagai titik berangkat merubah persepsi yang keliru. “Tarekat” menurut Hamka merupakan kegiatan ketasawufan yang memiliki peraturan-peraturan khusus sendiri-sendiri yang sudah baku dan tidak dapat diubah-ubah. Sementara itu, apa yang disebut “tasawuf” sendiri pada bentuk aslinya tidak mempunyai aturan-aturan tertentu sebagaimana tarekat. Adapun jalan tasawuf yang benar adalah: Pertama, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatan-muatan peribadatan yang
71
telah dirumuskan sendiri oleh al-Qur'an dan as-Sunah. Kedua, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi dalam arti kegiatan yang dapat mendukung “pemberdayaan umat Islam” agar kemiskinan ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan mentalitas, yang dengan demikian kalau umat Islam ingin berkorban, maka ada hal atau barang yang akan dikorbankan, kalau akan mengeluarkan zakat maka ada bagian kekayaan yang akan diberikan kepada orang yang berhak dan sebagainya; untuk itu bukan tradisi pandangan tarekat yang cenderung membenci dunia yang patut dibenahi, melainkan roh asli “tasawuf” yang semula bermaksud untuk zuhud terhadap dunia, yaitu sikap hidup agar hati tidak dikuasai oleh keduniawian. Maka dari hal tersebut, Hamka menyimpulkan bahwa tasawuf yang bermuatan zuhud yang benar, dilaksanakan lewat peribadatan dan i’tiqad yang benar, yang mampu berfungsi sebagai media pembinaan dan bimbingan moral yang efektif. (Damami, 2000: 179). Konsep “Tasawuf Modern” yang ditawarkan Hamka telah mengemukakan beberapa hal yang menyangkut kebahagiaan; kesehatan jiwa dan badan; qana’ah; dan tawakkal. Dari pembahasan yang telah penulis uraikan dalam bab III menujukkan bahwa konsep semacam ini sudah sejak dahulu menjadi ajaran yang diajarkan Rasulullah SAW kepada umat Islam. Akan tetapi dalam perkembangan kehidupan manusia sepeninggal Rasulullah SAW telah terjadi pengaruh cara berfikir manusia yang menyimpang dari dasar Islam. Kelemahan para kaum sufi yang telah melenceng dari ajaran Islam dalam menjalankan tasawuf berdampak pada runtuhnya kekuatan Islam. Terbukti dengan munculnya berbagai perbedaan pandangan para
72
kaum sufi dan aliran yang dibawanya, sehingga memunculkan faham tasawuf dalam dunia Islam yang satu sama lain saling mengaku kebenaran ajarannya. Contohnya, munculnya thariqat-thariqat tasawuf, seperti thariqat naqsyabandiyah, thariqat qadiriyah, thariqat idrusiyah, thariqat rifa’iyah dan sebagainya. Persoalannya, semua ajaran yang telah dibangun oleh suatu faham thariqat yang berbeda-beda menujukkan eksistensinya dengan kebenaran atas ajaran yang dikandungnya dengan berdalih sesuai dengan ajaran al-Qur'an dan al-Hadits. Maka dari itu, suatu langkah awal yang telah dilakukan Hamka dalam merekontruksi ajaran tasawuf adalah dengan merumuskan apa yang disebut sebagai “Tasawuf Modern”. Dia mencoba mengembalikan tasawuf Islam sesuai dengan pangkal ajaran yang dibawa Rasulullah SAW dengan pandangan kaum muslimin kepada tauhid yang bersih. Konsep tasawuf yang ditawarkan Hamka berisi tentang ajaran menuju jalan kebahagiaan, pemenuhan kesehatan jiwa dan badan, bersikap qana’ah dan mempertanggungjawabkan diri seseorang serta tawaakal kepada Allah SWT. Semuanya merupakan suatu bentuk realisasi ajaran tasawuf dengan mengedepankan kebahagiaan di dunia dan akhirat, dengan memposisikan aktifitas manusia yang amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini sebagaimana yang terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya (salafus shalihin) (Hamka, 1994: 215). Ada beberapa hal menarik berkenaan dengan “Tasawuf Modern” yang ditawarkan Hamka: Pertama, kebahagiaan hakiki yang ditempuh manusia adakalanya mengalami kemudahan dan kesukaran. Namun hal itu bukan menjadi rintangan bagi umat Islam dalam mengarungi samudra kehidupan ini dalam upayanya menempuh suatu
73
kebahagiaan. Ada beberapa aspek yang dijadikan sandaran dalam memperoleh kebahagiaan, antara lain: a. Pemenuhan kebahagiaan agama. Kebahagiaan agama ini dapat diperoleh apabila dapat memenuhi empat hal yang menjadi syarat utama dalam kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT, yaitu i’tikad yang bersih, yakin, iman dan agama. b. Kebahagiaan budi pekerti (perangai). Kesempurnaan ibadah tergantung pada kesempurnaan budi pekerti. Dalam menempuh kebahagiaan budi pekerti (perangai) ini ada dua keutamaan yang menunjang, yaitu keutamaan otak dan keutamaan budi, yang keduanya dapat dilakukan dengan cara ikhtiar, baik pikiran maupun pekerjaan, yaitu dengan cara dipelajari dan diusahakan (Hamka, 1990: 118-119). c. Kebahagiaan harta benda. Kebahagiaan harta benda dalam diri manusia sangat didambakan guna memperoleh kebahagiaan hidup dan mencapai kesuksesan. Kebahagiaan harta benda sebagai kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada, sudi menerima walaupun berlipat ganda dari karunia Tuhan. Kedua, berkaitan dengan kesehatan jiwa dan badan, Hamka menuturkan perlunya keseimbangan dari keduanya. Kalau jiwa dalam kondisi sehat dengan sendirinya akan terpancar bayangan kesehatan kepada mata yang darinya memancar nur yang gemilang timbul dari sukma yang tiada sakit. Demikian juga kesehatan badan yang akan membukakan pikiran, kecerdasan akal, menyebabkan kebersihan jiwa seseorang. Pengendalian diri terhadap timbulnya sakit jiwa dan badan diperlukan pemeliharaan kesehatan yang berupa: a. Bergaul dengan orang-orang yang budiman
74
b. Membiasakan pekerjaan berfikir c. Menahan syahwat dan marah d. Bekerja dengan teratur dan menimbang sebelum mengerjakan e. Mengoreksi aib diri sendiri Ketiga, qana’ah. Qana’ah ialah menerima dengan cukup dan di sisi lain Hamka menyebutkan bahwa qana’ah adalah kesederhanaan. Dalam hal ini Hamka (1990: 231) menyebutkan bahwa qana’ah mengandung lima perkara, yaitu: a. Menerima dengan rela akan apa yang ada. b. Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas dan berusaha. c. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan. d. Bertawakkal kepada Tuhan. e. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia. Keempat, jalan yang harus ditempuh dalam bertasawuf adalah tawakal kepada Allah SWT, yaitu dengan menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam. Dalam bertawakal kepada Allah SWT ini sebagai bentuk
pengabdian
penuh
kepada-Nya
dengan
tanpa
mengganggu
gugat
keputusannya atas kekuasaan dan kekuatan-Nya dalam menitahkan alam semesta beserta isinya. Hal ini merupakan perwujudan tanda kepatuhan yang setulus-tulusnya pada diri manusia dalam mengusahakan langkah yang ditempuh dengan menyerahkan keputusan akhir hanya kembali kepada Allah SWT. Dari konsep yang ditawarkan Hamka, terlihat bahwa tasawuf yang digagas oleh Hamka harus tetap berpegang teguh terhadap al-Qur'an dan al-Hadits. Namun Hamka hanya memberikan warna tasawuf yang tidak bersifat statis seperti yang
75
banyak digagas oleh para ahli tasawuf sebelumnya. Hamka memberi tawaran tasawuf yang lebih bersifat aktif, dinamis dan progresif.
4.2. Analisis terhadap Implementasi Konsep Tasawuf Modern Hamka dalam Bimbingan dan Konseling Islam 4.2.1. Analisis terhadap Konsep Tasawuf Hamka dalam Perspektif Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam Konsep tasawuf yang ditawarkan Hamka merupakan salah satu kegiatan pembaharuan dalam dunia Islam khususnya di Indonesia. Hamka mencoba mengajak umat manusia untuk memahami ajaran tasawuf sesuai dengan hakikat tasawuf itu sendiri. Hakikat tasawuf diartikan sebagai kehendak memperbaiki budi dan menshifa’-kan (membersihkan) batin” (Damami, 2000: 169). Bila diaplikasikan dalam tataran praktek Bimbingan dan Konseling Islam, maka tawaran konsep tasawuf Hamka merupakan langkah yang signifikan dalam mengembangkan materi tasawuf sebagai kerangka penanaman nilai-nilai spiritual dan akhlak bagi klien yang mengalami hambatan atau membutuhkan pertolongan kaitannya dengan upaya membersihkan diri agar sehat jasmani dan rohani dan bahagia di dunia dan akhirat. Di era modern sekarang ini sudah mulai merebak penyakit masyarakat yang menyimpang dari tuntunan ajaran agama, sehingga perlu pelayanan Bimbingan dan Konseling Islam yang kooperatif dalam menangani gejala-gejala sosial melalui pendekatan tasawuf. Sebagaimana ditawarkan Hamka dengan muara yang mengarah pada perolehan kebahagiaan, menjaga kesehatan jasmani dan rohani, menerapkan
76
hidup qana’ah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan penuh tawakkal. Pemberian bantuan kepada klien yang mengalami kehidupan yang goncang dan jauh dari norma agama, sangat tepat bila dilakukan dengan menggunakan materi-materi tasawuf yang mengedepankan pada penyembuhan segala sesuatu atas permohonan pertolongan kepada Sang Khaliq, yang mencipataka segala sesuatu dengan kadar ukurannya dan di antaranya sebagai obat (syifa’) bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Hal ini dipertegas dalam al-Qur'an:
íóÇÇóíøõåóÇÇáäøóÇÓõ ÞóÏú ÌóÇÁóÊúßõãú ãóæúÚöÙóÉñ ãöäú ÑóÈøößõãú æóÔöÝóÇÁñ áöãóÇ Ýöì ÇáÕøõÏõæÑö æóåõÏðì æóÑóÍúãóÉñ áöáúãõÄúãöäöíúäó (íæäÓ: 57) “Hai Manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Depag RI, 1989: 315) Upaya pemberian layanan Bimbingan dan Konseling Islam yang mengarah kepada jalan pembersihan diri dari sifat-sifat tercela (takhalli), kemudian mengisi diri dari sifat-sifat terpuji (tahalli), yang dilanjutkan dengan pemahaman dan pengamalan secara tulus (tajalli) sebagai pangkal dari ajaran tasawuf (teologia, 2003: 219-220) merupakan alternatif dari terapi Islam dalam memecahkan segala persoalan hidup manusia. Aplikasi materi tasawuf sebagaimana tertuang dalam ayat di atas, setidaknya konselor memberikan bimbingan kepada klien yang benar-benar membutuhkan pertolongan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, yaitu dengan mengajarkan ajaran agama, mampu mengontrol hidup dengan sifat-sifat terpuji seperti ikhtiar, tawakkal, sabar, ikhlas, qana’ah yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
77
Berdasarkan konsep pengertian Bimbingan dan Konseling Islam, baik yang umum maupun yang khusus sebagaimana telah didefinisikan oleh para ahli, terlihat bahwa kons4ep tasawuf yang ditawarkan Hamka bisa menjadi materi alternatif yang dapat ditawarkan dalam proses pemberian bimbingan dan konseling Islam.
4.2.2. Analisis Konsep Tasawuf Modern Hamka dalam Perspektif Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam Untuk mengimplementasikan tasawuf Hamka dalam praktik Bimbingan dan Konseling Islam, berarti mencakup pula upaya pemberian bantuan kepada klien dengan menggunakan pendekatan fungsi-fungsi Bimbingan dan Konseling Islam, yaitu: 1). Fungsi preventif, yakni membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. 2). Fungsi kuratif atau korektif, membantu individu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialami. 3). Fungsi developmental, yakni memelihara agar keadaan yang telah baik tidak menjadi buruk kembali serta mengembangkan keadaan yang sudah baik menjadi lebih baik, sehingga memungkinkan menjadi sebab munculnya masalah baginya. 4). Fungsi preservatif, membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (Faqih, 2001: 34-37). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, konsep “Tasawuf Modern” Hamka memberikan gambaran mengenai kebahagiaan, menjaga kesehatan jiwa dan badan, pemuasan hidup atas dasar qan’ah sekaligus penyerahan diri secara tulus kepada Allah SWT dengan tawakal. Hal ini menunjukkan suatu bentuk ajaran normatif yang perlu dikembangkan dalam tataran praktik melalui upaya pelayanan
78
bimbingan kepada umat manusia, khususnya umat Islam selaku klien yang membutuhkan pertolongan. Sehingga peran tasawuf diharapkan sesuai dengan fungsi tasawuf. Hamka mengemukakan bahwa fungsi tasawuf harus labil berdasarkan pada konteks “nasib umat Islam Indonesia” yang serba “miskin”; miskin ekonomi, miskin ilmu pengetahuan, miskin kebudayaan, miskin politik dan yang lebih tragis lagi yaitu miskin mentalitas. Perspektif inilah nampaknya yang senantiasa menjadi semacam cerminan bagi Hamka untuk menilai ulang tentang “fungsi tasawuf”. Fungsi tasawuf tersebut dapat diaktualisasikan dan dikembangkan dalam perilaku dan penanaman nilai-nilai spiritual berdasarkan pada fungsi Bimbingan dan Konseling Islam. Adapun bila diimplementasikan konsep Tasawuf Modern Hamka ditinjau dari fungsi Bimbingan dan Konseling Islam, terdapat rumusan bahwa : pertama, konsep mengenai pemenuhan kebahagiaan merupakan langkah-langkah dari fungsi developmental; Kedua, menjaga kesehatan jiwa dan badan merupakan realisasi dari fungsi preventif; Ketiga, pemuasan hidup atas dasar qan’ah merupakan realisasi dari fungsi kuratif atau korektif; Keempat, upaya penyerahan diri secara tulus kepada Allah SWT dengan tawakal merupakan realisasi dari fungsi preservatif. Dari berbagai langkah fungsional mengenai konsep modern Hamka tersebut dalam sasaran Bimbingan dan Konseling Islam sangat tepat dalam memberikan daya perubahan perilaku umat manusia ke arah yang lebih responsif khususnya dalam menjalankan ajaran agama, memahami nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama, dan mengamalkan dalam segi kehidupan. Hal ini bersesuaian dengan tujuan tasawuf dan Bimbingan dan Konseling Islam. Dalam menempuh tujuan dari tasawuf,
79
diperlukan langkah-langkah dalam upaya pemberian bantuan kepada umat Islam yang mengalami penyimpangan-penyimpangan hidup dalam menjalankan ajaran agama. Proses bantuan ini secara maksimal akan terwujud bila sesuai dengan tujuan Bimbingan dan Konseling Islam. Mengapa ? karena baik tasawuf yang ditawarkan Hamka maupun Bimbingan dan Konseling Islam, sama-sama memiliki fungsi:
a. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan, kesehatan dan kebersihan jiwa dan mental. Jiwa menjadi tenang, jinak dan damai (muthmainnah) bersikap lapang dada (radhiyah), dan mendapatkan pencerahan taufiq hidayah Tuhannya (mardhiyah).
b. Untuk menghasilkan suatu perubahan, perbaikan dan kesopanan tingkah laku yang dapat memberikan manfaat baik pada diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan sosial dan alam sekitarnya. c. Untuk menghasilkan kecerdasan rasa (emosi) pada individu sehingga muncul dan berkembang rasa toleransi, kesetiakawanan, tolong menolong, dan rasa kasih sayang (Adz-Dzaky 2002: 49). d. Membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, sekaligus membantu individu agar tidak menghadapi masalah, memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang baik atau yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak akan menjadi sumber masalah bagi dirinya dengan orang lain (Faqih 2001: 217). Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa langkah-langkah yang ditempuh dalam tasawuf sebagai bentuk pembersihan diri manusia ke jalan Allah
80
SWT, sebagaimana yang telah dikonsepkan Hamka, dapat diimplementasikan dalam Bimbingan dan Konseling Islam sesuai dengan fungsi dan tujuan baik tasawuf maupun Bimbingan dan Konseling Islam. Mengapa ? karena pelaksanaan Tasawuf tidak jauh berbeda dengan teknik terapi yang ada dalam Bimbingan dan Konseling Islam, seperti adanya pelatihan konsentrasi, pendekatan etik, dan meditasi. Dan tidak dapat dipungkiri pula dalam hal mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan jalan tasawuf, maka konsentrasi terutama dalam upaya kegiatan yang bersifat meditative sangat ditekankan dalam tasawuf, seperti wirid, zikir, pernafasan dan sebagainya (Teologia, 2003: 220).
4.2.3. Analisis Konsep Tasawuf Modern Hamka dalam Perspektif Asas-Asas Bimbingan dan Konseling Islam Sebagai objek kajian dalam Tasawuf dan Bimbingan Konseling Islam, manusia didudukan sebagai makhluk religius. namun, dalam perjalanan hidupnya manusia dapat jauh dari hakikatnya, bahkan dalam kehidupan keagamaanpun kerapkali muncul pula berbagai masalah yang menimpa dan menyulitkannya, sehingga hal ini memerlukan penanganan yang optimal. Implementasi tasawuf sebagaimana yang dikonsepkan Hamka merupakan wujud dari realisasi penghayatan ajaran agama yang melangkah kepada upaya komprehensif. Namun langkah ini bila dikaitkan dengan upaya pemberian bantuan kepada individu yang memerlukan kehidupan yang dinamis dengan berupaya memperoleh kebahagiaan hidup, senantiasa terpelihara kesehatan jiwa dan badan, hidup yang sederhana yang tercukupi (qana’ah), serta memegang teguh dalam bertawakal kepada Allah SWT. Semuanya itu akan terealisasi secara konkrit bila
81
mendasarkan diri pada ketentuan dasar Bimbingan dan Konseling Islam yaitu alQur'an dan as-Sunah ditambah dengan berbagai landasan filosofis dan keimanan. Landasan tersebut sekaligus merupakan asas-asas pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Islam (Faqih, 2001: 22-35), yang antara lain meliputi: a. Asas kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam al-Qur'an telah disebutkan bahwa kebahagiaan hidup duniawi adalah sementara, kebahagiaan akhiratlah yang menjadi tujuan utama dan kebahagiaan abadi. Hal ini yang juga menjadi tolok ukur ajaran tasawuf, termasuk yang ditawarkan Hamka. b. Asas Fitrah. Penerapan asas fitrah dalam tasawuf menujukkan bahwa pemberian bantuan ini dilakukan untuk mengenal, memahami dan menghayati fitrahnya, yaitu dilahirkan dalam kondisi suci (fitrah) yang merupakan kemampuan potensial bawaan serta kecenderungan sebagai makhluk beragama. Tasawuf Hamka yang berupaya mengembalikan manusia pada kodrat awalnya sebagai manusia beragama. c. Asas Lillahi Ta’ala. Dengan tahapan-tahapan jalan tasawuf yang dirumuskan Hamka, kesemuanya diaplikasikan dalam bentuk pemberian bantuan kepada umat manusia yang diselenggarakan semata-mata karena Allah SWT. Konsekuensi ini memungkinkan seseorang dalam menempu jalan sufi dengan penuh keikhlasan baik lahir maupun batin. d. Asas Kesatuan Jasmaniah Dan Ruhaniah. Sebagaimana yang Hamka utarakan mengenai kesehatan jiwa dan badan, langkah tasawuf ini selaras dengan asas kesatuan jasmaniah dan ruhaniah yang menjadi asas BKI. Integrasi kedua aspek ini menunjang langkah pencapaian spritual tasawuf yang seimbang.
82
e. Asas Keseimbangan Ruhaniah. Keseimbangan ruhaniah yang dibutuhkan dalam tasawuf merupakan salah satu pemberian bantuan dalam usaha menanamkan nilai-nilai yang terpuji, sehingga dari sini i’tikad dan keimanannya bertambah kokoh. f. Asas Kemaujudan. Aplikasi ajaran tasawuf berdasarkan pada asas kemaujudan ini mengarah kepada pemahaman pada diri seorang sufi bahwa setiap individu memiliki
eksistensi
tersendiri,
karakteristik,
hak
dan
kewajiban
serta
kemerdekaan pribadi yang perlu dihormati. g. Asas Sosialitas Manusia. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam Tasawuf Hamka telah menitikberatkan pada pergaulan, cinta kasih, rasa aman, penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, rasa memiliki dan dimiliki. h. Asas kekhalifahan manusia. Pencipataan manusia sebagai langkah pemberian derajat yang tinggi pada manusia sekaligus memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengemban amanat di muka bumi (khalifah fil ardh). Dalam konsep tasawuf modern Hamka sudah menempatkan ini sebagai bekal membentuk manusia yang berbudaya sehingga mampu mengelola, menjaga dan melestarikan alam semesta dengan sebaik-baiknya. i. Asas keselarasan dan keadilan. Islam menghendaki keharmonisan, keselarasan, keseimbangan, keserasian dalam segala segi kehidupan. Aplikasi tasawuf di era modern ini memerlukan sosok seorang sufi yang benar-benar bersikap bijaksana dan adil atas hak-hak kehidupan seperti yang diutarakan Hamka. j. Asas bimbingan akhlakul karimah. Asas ini sebagai tujuan dari praktik-praktik penanaman nilai-nilai dalam ajaran tasawuf. Dan pemberian bantuan menuju
83
sikap yang akhlakul karimah perlu dipertahankan dalam kehidupan manusia sekarang ini. k. Asas kasih sayang. Implementasi Tasawuf dalam kehidupan manusia dipandang sebagai ajaran yang mempertahankan sikap kasih sayang yang tulus kepada sesama manusia, alam dan Tuhannya. Dengan sikap demikian pemberian bantuan kepada orang lain akan dapat diterima secara baik. l. Asas saling menghargai dan menghormati. Hubungan manusia yang satu dengan yang lain tidak terdapat perbedaan dihadapan Allah SWT. Maka dari itu, langkah dalam pemberian bantuan kepada manusia harus mencerminkan sikap saling menghargai dan menghormati. m. Asas Keahlian. Dalam mencapai derajat tasawuf yang benar dan lurus diperlukan seorang ahli agama yang mumpuni, sehingga pemberian bantuan yang diberikan terarah dan tidak menyesatkan. Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa implementasi ajaran tasawuf sebagaimana yang dikonsepkan Hamka kaitannya dengan perolehan kebahagiaan, kesehatan jiwa dan badan, hidup qana’ah dan tawakal sangat selaras dengan asas-asas Bimbingan dan Konseling Islam. Sehingga formulasi yang ditawarkan tersebut memberikan signal positif dan secara responsif diterima sebagai langkah pembaharuan tasawuf di Indonesia.